Anda di halaman 1dari 89

i

PAPER PENYULUHAN

ADOPSI, DIFU I, INOVASI DAN PENDIDIKAN


S ORANG DEWASA TERHADAP DINAMIKA KELOMPOK

MOHAMMAD RIFKY F
D1E011090
KELAS A

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
ii

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya paper ini terselesaikan. Penyusun juga
mengucapkan terimakasih kepada dosen – dosen pengampu mata kuliah
penyuluhan atas bimbingannya dan teman – teman kuliah atas dukungannya
dalam penyusunan dan penyelesaian paper ini

Munculnya berbagai permasalahan penyuluhan yang di hadapi oleh


masyarakat Indonesia merupakan suatu yang fenomenal. Masalah-masalah
tersebut sering di jumpai dalam kehidupan terutama dalam bidang peternakan,
sehingga atas dasar permasalahan tersebut penyusun membuat paper penyuluhan
berdasarkan kumpulan – kumpulan karya hasil penelitian dimana karya tersebut
dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk pemecahan masalah penyuluhan di
bidang peternakan.

Paper tersebut di susun agar pembaca dapat mengetahui dan memahami


Penyuluhan. Semoga dengan makalah yang berjudul “Adopsi, Difusi, Inovasi dan
Pendidikan Orang Dewasa terhadap Dinamika Kelompok” menjadi acuan dan
perhatian para pembaca.

Penyusunan paper ini, masih terdapat kekurangan dan kekeliruan.


Berdasarkan hal tersebut, selaku penyusun, meminta maaf sebesar-besarnya serta
senantiasa terbuka menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah
berikutnya. Semoga bermanfaat bagi kesejahteraan bangsa dan membangun
masyarakat Indonesia yang di cintai ke arah perbaikan dan kemajuan di masa
mendatang.

Purwokerto, 6 Juni 2014

Penyusun
iii

DAFTAR ISI

JUDUL.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1.Latar Belakang...................................................................................................1
1.2.Tujuan................................................................................................................1
II. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI MELALUI PENDEKATAN
PSIKOLOGI...........................................................................................................2
2.1. Adopsi Inovasi..................................................................................................2
2.1.1.Pengertian Adopsi Inovasi..............................................................................2
2.1.2.Tahapan Adopsi Inovasi..................................................................................4
2.1.3.Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi...................................7
2.2.Difusi Inovasi...................................................................................................17
III. PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN
PSIKOLOGI.........................................................................................................22
3.1.Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa........................................................22
3.1.1.Definisi Pendidikan Orang Dewasa..............................................................22
3.1.2.Tujuan Pendidikan Orang Dewasa................................................................26
3.2.Hambatan Pendidikan Orang Dewasa (10)......................................................27
3.2.1.Hambatan Fisiologik.....................................................................................27
3.2.2.Hambatan Psikologik....................................................................................32
3.2.Hambatan Perilaku...........................................................................................38
IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN
ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI.....................42
4.1.Suasana.............................................................................................................42
4.1.1.Suasana Pendidikan Aktif.............................................................................42
4.1.2.Suasana Saling Menghormati........................................................................43
4.1.3.Suasana Saling Percaya.................................................................................44
4.1.4.Suasana untuk Menemukan Jati Diri.............................................................45
iv

4.1.5.Suasana Tidak Mengancam...........................................................................46


4.1.6.Suasana Keterbukaan....................................................................................47
4.1.7.Suasana Membenarkan Perbedaan................................................................49
4.1.8.Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah...............................................50
4.1.9.Suasana Membolehkan Keraguan.................................................................51
4.1.10.Suasana Evaluasi Bersama dan Evaluasi Diri.............................................52
4.2.Belajar..............................................................................................................53
4.2.1.Jenis – Jenis Belajar......................................................................................53
4.2.2.Cara – Cara Belajar.......................................................................................55
4.2.3.Prinsip – Prinsip Belajar................................................................................57
4.2.4.Ciri – Ciri Belajar..........................................................................................58
4.2.5.Faktor – Faktor Psikologis yang Memengaruhi Belajar...............................61
V. DINAMIKA KELOMPOK (DK)...................................................................62
5.1. Konsep Dasar Dinamika Kelompok................................................................62
5.1.1. Definisi Dinamika Kelompok.......................................................................62
5.1.2. Analisis Dinamika Kelompok.......................................................................64
5.2. Unsur Sosiologi Dinamika Kelompok............................................................66
5.2.1. Tujuan Kelompok.........................................................................................66
5.2.2. Pembagian Tugas dan Hak serta Kewajiban Kelompok..............................68
5.2.3. Aturan dan Kebiasaan Kelompok................................................................69
5.2.4. Kemudahan dan Tegangan Kelompok.........................................................71
5.2.5. Kegiatan Sosial Kelompok...........................................................................72
5.3. Unsur Psikologi Dinamika Kelompok............................................................74
DAFTAR PUSTAKA
5

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peternakan merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian
nasional. Pembangunan ekonomi akan tetap berbasis peternakan secara luas,
dengan kata lain kegiatan agribisnis peternakan akan menjadi salah satu kegiatan
unggulan pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai aspek yang luas.
Penyuluhan peternakan sebagai bagian integral pembangunan peternakan
merupakan salah satu upaya pemberdayaan peternak-peternak dan pelaku usaha
peternakan lain untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan dan
kesejahteraannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka kegiatan penyuluhan
peternakan harus mengakomodasikan aspirasi dan peran aktif peternak-peternak
dan pelaku usaha peternakan lainnya melalui pendekatan partisipatif. Pendekatan
partisipatif dalam praktiknya memerlukan pemahaman terhadap adopsi, difusi dan
inovasi, pendidikan orang dewasa dan faktor yang memengaruhinya serta
dinamika kelompok. Pemahaman tersebut diperlukan oleh seorang penyuluh
karena diperlukan untuk pengembangan pembangunan peternakan di masa
mendatang, sebab melalui pemberian pemahaman tersebut, peternak-peternak
ditingkatkan kemampuannya baik secara afektif, kognitif dan psikomotor agar
dapat mengelola usaha ternaknya dengan produktif, efisien dan menguntungkan,
sehingga peternak-peternak dan keluarganya dapat meningkatkan
kesejahteraannya. Meningkatnya kesejahteraan peternak – peternak dan
keluarganya adalah tujuan strategis utama dari pembangunan peternakan.

1.2 Tujuan
1. Mengkaji adopsi, inovasi dan difusi melalui pendekatan psikologi
2. Mengkaji pendidikan orang dewasa melalui pendekatan psikologi
3. Mengkaji prinsip dan faktor yang berpengaruh dalam pendidikan orang
dewasa melalui pendekatan psikologi
4. Mengkaji dinamika kelompok
6

II. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI PETERNAKAN MELALUI


PENDEKATAN PSIKOLOGI

2.1 Adopsi Inovasi


2.1.1 Pengertian Adopsi Inovasi
Adopsi merupakan proses keluarnya ide (inovasi) sampai diterima dan
dilaksanakan masyarakat maupun peternak sehingga menjadi perilaku. Perilaku
dalam hal ini adalah perpaduan antara pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan
keterampilan (psikomotorik). Menurut Suprapto dan Fahrianoor, (2004), adopsi
adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak
yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang
mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau
menolaknya kemudian mengukuhkannya.

Ibrahim dkk (2004) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak
pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut
mengadopsinya. Peternak sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa
tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat
adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi.
Tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu:
tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan
(decision) dan konfirmasi (confirmation) dimana konfirmasi merupakan bagian
dari perefleksian dan pengembangan adopsi secara berkelanjutan (Hughes dkk,
2012).

Penyuluh dalam melakukan adopsi dan inovasi ke masyarakat harus


memperhatikan tiga pokok falsafah penyuluhan antara lain:
1. penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat,
2. penyuluh tidak menciptakan ketergantungan, tetapi menciptakan kemadirian
sehingga tercapai kesejahteraan,
3. penyuluh harus terampil dan membuat masyakarat menjadi terampil
7

1. Perubahan Kognitif
Terjadi melalui penyampaian info inovasi sehingga masyarakat menjadi
tahu. Teknik penyampaian pengetahuan ada dua macam yaitu pertama adalah
penyampaian secara massal dan kedua adalah penyampaian secara individual.
Menurut Ban dan Hawkins (2010) perubahan kognitif seseorang menyebabkan
perbedaan persepsi seseorang walaupun dalam situasi yang sama, sehingga dalam
tahap ini harus dilakukan redundancy (pengulangan pesan) yaitu menentukan
suatu strategi yang dapat mewakili suatu gagasan yang mengacu pada sebagian
besar gaya kognitif.

2. Perubahan Afektif
Terjadi ketika masyarakat tahu dan memahami informasi inovasi yang
diberikan dimana pemahaman tersebut diperoleh dengan belajar secara lebih
mendalam terhadap informasi inovasi yang disampaikan. Perubahan ini terjadi
berkenaan dengan sikap, kemampuan, dan penguasaan segi – segi emosional yaitu
perasaan dan nilai. Menurut Tika (2010) nilai yang dimaksud adalah asumsi dasar
mengenai hal – hal yang ideal diinginkan atau berguna antara lain : hakikat
dengan lingkungan, hakikat orientasi waktu, hakikat sifat manusia, hakikat
aktivitas manusia, hakikat hubungan manusia, hakikat kebenaran dan hakikat
universalisme / partikularisme.

3. Perubahan Psikomotorik
Perubahan ini berkenaan dengan suatu keterampilan atau gerakan – gerakan
fisik (tindakan). Hughes dkk (2012) berpendapat bahwa tindakan dipengaruhi oleh
persepsi (afektif). Variabel persepsi yang mempengaruhi tindakan tersebut salah
satunya adalah ramalan pemenuhan diri (self – fullfiling prophecy), yang terjadi
ketika ekspektasi atau prediksi sasaran memainkan peran yang berhubungan
dengan kejadian yang di ramalkan misal, fenomena sosial atau fenomena hal baru
yang terjadi dan ekspetasi masyarakat terhadap orang lain terutama orang asing.
Berdasarkan hal tersebut penting bagi penyuluh untuk memahami ekspetasi
masyarakat terhadap orang lain (terutama penyuluh itu sendiri).
2.1.2 Tahapan Adopsi Inovasi
1. Kesadaran (Awareness)
Merupakan kesadaran terhadap permasalahannya, sehingga masyarakat akan
terpacu berfikir kreatif dimana terfokus pada unsur pribadi dengan segala
keunikannya (Rivai dan Arifin, 2009). Menurut Hughes dkk (2012) unsur pribadi
(kepribadian) merupakan struktur tak terlihat dan proses yang mendasari di dalam
diri seseorang yang menjelaskan alasan berperilaku yang cenderung relatif sama
di situasi yang berbeda dan ataupun berbeda dari perilaku orang lain. Unsur
pribadi tersebut biasanya terjadi karena kekuatan sifat – sifat yang mereka miliki.
Sifat – sifat ini biasanya akan berinteraksi dengan faktor eksternal terutama pada
berbagai faktor situasional. Tika (2010) menguatkan bahwa emosi memainkan
peranan utama dalam membentuk persepsi. Misalnya emosi negatif dijumpai
menghasilkan penyederhanaan berlebihan terhadap isu – isu inovasi, mengurangi
kepercayaan dan penafsiran yang negatif terhadap perilaku pihak lain. Sebaliknya,
emosi positif dapat meningkatkan hubungan yang potensial di antara unsur –
unsur suatu masalah, mengambil pandangan yang luas di antara unsur – unsur
suatu masalah dan mengembangkan penyelesaian yang lebih inovatif.
Berdasarkan hal tersebut hendaknya penyuluh memahami konsep ini karena
masyarakat (sasaran adopsi) memiliki emosi yang berbeda ketika hendak
diberdayakan melalui adopsi inovasi, sehingga bukan sesuatu yang mengherankan
apabila terdapat persepsi yang berbeda – beda.

2. Minat (Interest)
Keinginan untuk mengetahui lebih lanjut inovasi yang ditawarkan dengan
cara memancing rasa ingin tahu nya (Ban dan Hawkins, 2010). Minat tersebut
merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan bila
orang tersebut diberi kebebasan untuk memilih. Pada suatu masyarakat pedesaan,
umumnya motivasi yang sering muncul adalah motivasi sosial. Menurut Gross
(2014), motivasi sosial merupakan proses aktifitas yang meliputi inisiasi,
pengarahan, energisasi, terhadap tingkah laku individu berdasarkan situasinya
yaitu pada saat orang lain berada dekat dengan individu yang bersangkutan.
3. Evaluasi (Evaluation)
Menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi. Tahap ini
merupakan titik kritis karena merupakan faktor yang paling menentukan dalam
menimbulkan semangat akan suatu program inovasi yang di jalankan (Musyafak
dan Ibrahim, 2005). Hughes dkk (2012) menerangkan, selain manfaat dan
kekurangan penggunaan inovasi, salah satu yang menjadi pertimbangan lain
dalam melakukan adopsi adalah keahlian masyarakat, sifat pribadi masyarakat
akan perkembangan serta hierarki kebutuhan masyarakat. Sifat pribadi masyarakat
akan perkembangan yang perlu di pertimbangkan lebih dalam adalah kemampuan
dalam menerima dan menerapkan inovasi serta mencurahkan waktu dan usaha
yang diperlukan untuk menerima dan menerapkannya. Pada hierarki kebutuhan
masyarakat hal – hal yang harus dipertimbangkan lebih dalam ialah kebutuhan
fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan harga diri,
dan kebutuhan aktualisasi diri.

Menurut Feist dan Feist (2010), aktualisasi diri merujuk pada manusia
secara keseluruhan – kesadaran dan ketidaksadaran, fisiologis dan kognitif.
Aktualisasi diri tersebut salah satunya adalah konsep diri. Konsep diri meliputi
seluruh aspek dalam keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh
individu tersebut. Bagian – bagian dari diri organismik berada di luar kesadaran
seseorang atau tidak dimiliki oleh orang tersebut, sehingga, saat manusia
(masyarakat sasaran) sudah membentuk konsep dirinya, ia akan menemukan
kesulitan dalam menerima perubahan / inovasi dan pembelajaran yang penting,
karena pengalaman yang tidak konsisten dengan diri mereka, biasanya disangkal
atau hanya diterima dengan bentuk yang telah didistorsi atau diubah. Berdasarkan
hal tersebut penyuluh hendaknya manyadari bahwa dalam praktiknya ada
beberapa masyarakat yang belum dapat beradaptasi terhadap suatu inovasi
walaupun pertimbangan (evaluasi) telah dilakukan dengan matang, hal tersebut
karena setiap masyarakat mempunyai konsep diri yang sudah terbangun dimana
jika sudah terbangun akan terasa sulit membuat perubahan karena konsep diri
tersebut seringkali memunculkan kecemasan dan ancaman.
4. Percobaan/Demplot/Percontohan (Trial)
Melakukan percobaan untuk menguji sendiri inovasi dalam skala kecil. Pada
tahap ini, penyuluh harus membuat miniatur/model inovasi terlebih dahulu.
Tujuannya adalah untuk meyakinkan penilaian inovasinya sehingga ketika
penyuluh melakukan demplot pada peternak, maka peternak merasa ingin
menerapkan dalam usaha peternakannya. Sederhananya, penyuluh berperan untuk
menuntun peternak agar secara teknis dapat mempraktekan inovasi secara
mandiri. Penyuluh harus aktif melakukan supervisi, karena apabila mengalami
kegagalan maka kepercayaan peternak akan inovasi yang diberikan akan sirna
seketika. Hilangnya kepercayaan akan menyulitkan untuk mengadopsi kembali
inovasi yang telah disuluhkan (trauma) (Baba, 2008).

5. Menerima dan Menerapkan (Adopsi) :


Menerima dan menerapkan inovasi dengan penuh keyakinan berdasarkan
penilaian dan uji coba yang telah dilakukan atau di amatinya sendiri sehingga
tercapai ketepatan umpan balik. Hal tersebut karena umpan balik berkaitan dengan
kecepatan pelaksanaan dimana pada akhirnya akan memengaruhi ketepatan
pengambilan keputusan (Ban dan Hawkins, 2010). Menurut King (2010) adanya
kecepatan pelaksanaan kemungkinan dipengaruhi oleh tujuan dan minat. Tujuan
dan minat tersebut dipengaruhi oleh motivasi. Motivasi tersebut merupakan
kekuatan yang menggerakkan sasaran untuk berperilaku, berpikir dan merasa
seperti yang mereka lakukan. Motivasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain.
 Dorongan (drive)
Adalah keadaan tergugah yang terjadi karena adanya kebutuhan fisiologis
 Kebutuhan (need)
Adalah keadaan kekurangan sesuatu yang memberikan energi untuk
menghilangkan atau mengurangi keadaan kekurangan tersebut
 Homeostasis (homeostasis)
Adalah kcenderungan tubuh mempertahankan keadaan seimbang atau
tenang.
2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi
1. Sifat Inovasinya Sendiri
Menurut Musyafak dan Ibrahim, (2005) inovasi memiliki sifat “baru”. Sifat
“baru” tersebut kemudian dapat di introduksi oleh masyarakat tani yang belum
pernah mengenal sebelumnya. Jadi, sifat “baru” pada suatu inovasi harus dilihat
dari sudut pandang atau persepsi masyarakat tani (calon adopter), bukan kapan
inovasi tersebut dihasilkan. Ia juga menegaskan bahwa inovasi akan menjadi
kebutuhan peternak apabila apabila inovasi tersebut dapat memecahkan masalah
yang sering dihadapi peternak, sehingga identitikasi masalah secara benar menjadi
sangat penting, paling tidak dua alasan yaitu sesuatu yang dihadapi oleh peternak
dan jika masalah tersebut ternyata benar merupakan masalah peternak belum tentu
pemecahannya sesuai dengan kondisi peternak. Ban dan Hawkins (2010)
menambahkan, sejumlah studi telah menganalisis hubungan antara ciri – ciri suatu
inovasi dan tingkat adopsinya. Sebagian besar studi tersebut menggunakan
pertimbangan objektif, atau menganggap bahwa semua peternak mempunyai
persepsi sama. Hal tersebut menyebabkan hasil studi tidak dapat mencapai
kesimpulan sama.

Menurut Rivai dan Arifin (2009) Inovasi merupakan sesuatu yang baru yang
berasal dari potensi terpendam yang dimiliki oleh manusia untuk dipakai dalam
menempuh kehidupan yang disebut kreativitas, bentuk kreativitas dapat berupa
ide – ide baru atau hasil penyempurnaan yang muncul dari hasil imajinasi yang
kemudian diberi sentuhan teknologi sehingga menjadi terobosan baru dalam
memecahkan masalah yang timbul. Selanjutnya imajinasi merupakan kemampuan
dalam menciptakan gagasan atau gambaran mental dalam pikiran kita atau
visualisasi untuk menciptakan citra yang jelas tentang suatu yang kita inginkan
bisa tercapai. dan memiliki manfaat atau nilai yang lebih baik. King (2010),
menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk memikirkan
sesuatu dalam cara yang baru dan tidak biasa untuk menghasilkan pemecahan
masalah yang tidak biasa karena cara berpikir ini lebih cenderung kearah yang
divergen (menyebar) atau satu pertanyaan menghasilkan banyak jawaban.
Ban dan Hawkins (2010) menjelaskan terdapat lima sifat inovasi antara lain:
 Keuntungan relatif, maksudnya adalah apakah inovasi tersebut
memungkinkan peternak mencapai tujuannya dengan lebih baik, atau
dengan biaya yang lebih rendah daripada yang telah dilakukan sebelumnya
 Kompabilitas (kemudahan untuk dipahami), berkaitan dengan nilai sosial
budaya dan kepercayaan dengan gagasan yang diperkenalkan sebelumnya
atau dengan keperluan yang dirasakan oleh peternak.
 Komplesitas (kerumitan), yaitu inovasi tersebut memerlukan pengetahuan
dan keterampilan khusus dan sangat terkait dengan displin ilmu.
 Triabilitas (dapat dicoba), yaitu kecenderungan peternak untuk mengadopsi
inovasi dalam skala kecil dan terbukti lebih baik.
 Observalibitas (dapat diamati dan dipahami), sehingga terdapat proses
pembelajaran dan diskusi dari peternak yang bersangkutan.

King (2010) menambahkan bahwa untuk memunculkan lima sifat inovasi


tersebut penyuluh harus memunculkan solusi kreatif terhadap suatu masalah.
Memunculkan solusi kreatif pada suatu masalah dapat dideskripsikan sebagai
sebuah 5 tahap proses yang berurutan yaitu :
 Persiapan : Tahap dimana seseorang terlibat dalam suatu situasi masalah
yang menarik dan membangkitkan kengintahuan
 Inkubasi :tahap dimana seseorang membuar beragam hubungan yang tidak
biasa dalam proses berpikir
 Pencerahan :tahap dimana semua potongan informasi tentang masalah
tampak saling melengkapi dan cocok
 Evaluasi :tahap dimana untuk menentukan apakah gagasan tersebut baru
atau apakah tampak jelas
 Elaborasi : tahap klimaks proses kreatif dimana membutuhkan banyak kerja
keras. Feldman (2012) menyarankan bahwa pada tahap elaborasi diperlukan
pendekatan arousal terhadap motivasi dengan cara mempertahankan atau
meningkatkan rangsangan sampai pada level tertentu. Hal tersebut karena
tahap ini menyebabkan motivasi seseorang menurun.
2. Sifat Sasarannya
Penyuluh juga disamping memperhatikan tahap – tahap inovasi, juga harus
memperhatikan pengadopsi yaitu masyarakat itu sendiri. Berdasarkan kategori dan
ciri – cirinya, pengadopsi dibedakan menjadi lima antara lain:
 Perintis / Inovator :
Cepat menerima sesuatu hal yang baru, banyak membaca, kaya,
berpengaruh dan terpandang, hubunngan dengan kaum atas lebih banyak dari pada
dengan peternak, pergaulan peternak baik tetapi sangat terbatas (Sinaga, 2004).
Feldman (2012) mengemukakan bahwa inovator cenderung memiliki kreativitas
tinggi yaitu merupakan kemampuan untuk membangun ide – ide orisinil atau
mengatasi masalah dengan cara – cara baru. Pengadopsi ini biasanya memiliki
cara berpikir yang divergen, kemampuan untuk mengembangkan respon yang
tidak biasa, namun sesuai terhadap masalah atau pernyataan. Aspek lain yang
menyebabkan pengadopsi ini memiliki kreativitas adalah komplesitas kognitif atau
pilihan terhadap stimulus dan pola berpikir yang rumit sehingga mereka seringkali
memiliki ketertarikan yang sangat luas dan lebih mandiri serta lebih tertarik
dengan masalah – masalah abstrak.
 Pengerap Dini / Early adopter :
Daya penerimaannya cepat, mudah diyakini, pendidikannya tinggi, rata –
rata umur muda, keadaan ekonomi baik, aktif dalam masyarakat pergaulan dengan
peternak baik. Pengadopsi ini cenderung memiliki motivasi yang tinggi., terutama
pada motivasi yang memberi atribusi pada dorongan yang dinamis untuk proses
kognitif (berpikir). Pengadopsi ini biasanya memiliki rencana dan intensi yang
kuat dan konsisten dimasa depan (Fiest dan Fiest, 2010).
 Pengetrap Awal / The Early Majority :
Daya penerimaannya cukup, pendidikan cukup tinggi, rata – rata umur
pertengahan/setengah umur, cukup aktif dalam masyarakat, pergaulan dengan
peternak sangat baik. King (2010) mengatakan bahwa pengadopsi ini sebagian
besar berusia 20 – 30 an. Pengadopsi biasanya memiliki kemampuan fisik
kesehatan dan berpikir yang optimal karena pada usia ini manusia mencapai
perkembangan fisik tepatnya berada pada titik puncak.
 Pengetrap Akhir / The Late Majority :
Daya penerimaannya sangat lambat, apa yang dilakukannya selalu melihat
orang lain dulu, rata – rata umur sudah tua, tidak aktif dalam masyarakat dan
kurang bergaul karena ekonominya kurang cukup. Feldman (2012)
mengemukakan bahwa pengetrap ini mengalami penuaan fisik karena rata – rata
sudah berumur 40 tahunan (masa dewasa akhir). Pada masa dewasa akhir ini
seseorang cnderung menerima orang lain dan kehidupan mereka sendiri serta
tidak terlalu memedulikan mengenai masalah – masalah yang mengganggu
mereka. Disisi lain sebagian mereka juga mengalami krisis paruh baya. King
(2010) menambahkan pada usia ini manusia cenderung lebih buruk pada wilayah
ingatan dibandingkan dengan yang lebih muda. Pada usia ini mereka jarang
mengingat dimana dan kapan peristiwa – peristiwa penting dalam kehidupannya
terjadi lebih baik dibandingkan mereka yang lebih muda dan biasanya mereka
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengingatnya. Akan tetapi beberapa
aspek yang membaik seiring pada usia ini adalah kebijaksanaan. Berdasarkan hal
tersebut maka penyuluh disarankan melakukan pelatihan dengan tujuan
meningkatkan kemampuan kognitif mereka.
 Penolak / laggards :
Acuh tak acuh dan selalu menolak inovasi dan ukuran pemerintah,
berpandangan agresif (paranoid), rata – rata sudah tua dan bersifat pasif. Fiest dan
Fiest (2010) menyatakan sifat – sifat tersebut muncul sebab individu model ini
sudah membentuk konsep dirinya. Konsep diri yang sudah terbangun tidak
mungkin membuat perubahan sama sekali, apabila bisa di rubah itu pun akan
terasa sulit bagi individu yang bersangkutan. Perubahan ini biasanya lebih mudah
terjadi ketika adanya penerimaan dari orang lain, yang membantu seseorang untuk
mengurangi kecemasan yang menyebabkan kesadaran atas perubahan
komprehensif yang terjadi dalam dirinya dan ancaman yang menyebabkan
kesadaran seseorang yang dihadapkan pada sesuatu yang berada diluar jangakauan
praktis dari sistem konstruk orang tersebut, serta mengakui dan menerima
pengalaman – pengalaman yang sebelumnya di tolak.
3. Cara Pengambilan Keputusan
Terlepas dari ragam karateristik individu dan masyarakat. Cara pengambilan
keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan
memengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal tersebut, apabila keputusan adopsi
dapat dilakukan secara pribadi (individu) relatif lebih cepat dibanding
pengambilan keputusan berdasarkan keputusan bersama (kolektif) warga
masyarakat lain, bahkan jika harus menunggu peraturan – peraturan tertentu
(seperti rekomendasi pemerintah / penguasa).Musyafak dan Ibrahim (2005)
menyarankan keputusan secara individu dapat dapat dilakukan dengan beberapa
teknik antara lain : konsultasi, diagnosa resep dan partisipastif.

Teknik konsultasi, dilakukan dengan membuat peternak memposisikan


dirinya sebagai klien yang menyampaikan permasalahan dirinya kepada penyuluh
atau peneliti dengan tujuan untuk memperoleh solusi yang dihadapi. Pada teknik
ini diperlukan keterampilan untuk mendengarkan klien agar penyuluh
mendapatkan afeksi dari sasaran (Giblin, 2004). King (2010) juga menambahkan
teknik ini dapat dikombinasikan dengan mewawancarai mereka langsung
sehingga informasi didapatkan dengan cepat. Pertanyaan pada wawancara tersebut
dapat berisfat tidak terstruktur, terbuka dan menggali pokok bahasan yang luas
mulai dari keyakinan agama sampai kebiasaan atau kegiatan yang dilakukan oleh
mereka. Salah satu masalah pada wawancara adalah kecenderungan sasaran untuk
menjawab pertanyaan dengan cara yang mereka pikir diterima atau diinginkan
secara sosial daripada dengan cara mengomunikasikan apa yang benar – benar
mereka pikirkan atau rasakan. Cervone dan Pervin (2012) berpendapat masalah
tersebut terjadi diakibatkan setiap individu memiliki tingkat stress psikologi yang
berbeda – beda yang akhirnya berpengaruh terhadap coping (kemampuan untuk
mengantisipasi stress). Cara coping individu pada berbagai situasi – situasi
tertentu ini berbeda. Perbedaan kuncinya adalah perbedaan antara coping yang
berfokus pada masalah yang mengacu pada upaya coping dengan mengubah
situasi yang penuh stress dan coping yang berfokus pada emosi yang mengacu
coping pada individu untuk berjuang meningkatkan kondisi internal dirinya.
Teknik diagnosa resep dilakukan dengan prosedur penyuluh/peneliti
mengambil inisiatif mengajukan pertanyaan yang mungkin peternak tidak
memahami kenapa hal tersebut ditanyakan, selanjutnya penyuluh/peneliti
mendiagnosis penyebab masalah atas dasar jawaban peternak dan memberikan
resep sebagai pemecahan masalah. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di
analisis bahwa teknik ini mengacu pada pendekatan psikodinamika terhadap
kepribadian. Feldman (2012) menjelaskan psikodinamika kepribadian didasarkan
pada ide bahwa kepribadian dimotivasi oleh kekuatan dan konflik dalam diri yang
tidak terlalu disadari oleh individu dan tidak dapat mereka kontrol, dengan kata
lain teknik ini dibuat dengan berdasarkan pada teori psikoanalisis yaitu teori
dimana banyak perilaku individu di motivasi oleh ketidaksadaran. Hal tersebut
memiliki kesamaan dengan Feist dan Feist (2010), melalui teori Skinner bahwa
ketidaksadaran terjadi karena manusia jarang mengobservasi hubungan antara
variabel genetik dan lingkungan dan perilaku mereka sendiri sehingga hampir
semua perilaku individu yang bersangkutan termotivasi secara tidak sadar.

Prosedur teknik partisipasi dilakukan dengan oleh penyuluh / peneliti


dengan meminta peternak secara aktif memberikan informasi faktual tentang
masalah yang dihadapi, sedangkan peneliti / penyuluh melengkapi informasi
tersebut sesuai dengan keahliannya. Diupayakan peternak dapat melihat
alternative pemecahan dan hasil yang diperkirakan dari setiap alternatif. Pilihan –
pilihan solusi masalah datang dari peternak itu sendiri, sedangkan penyuluh hanya
menyumbangkan keahliannya. Musyafak dan Ibrahim (2005) menjelaskan bahwa
kelebihan ketiga teknik tersebut adalah adanya partisipasi dari individu, umpan
balik dapat diperoleh secara langsung dari peternak, topik pembahasan langsung
ke permasalahan spesifik yang dihadapi individu peternak, hasil akhir merupakan
integrasi informasi dari peternak dan penyuluh, peternak akan merasa
diperhatikan lebih sehingga mempunyai motivasi tinggi. Kelemahannya sasaran
target sempit, biaya perkapita penyuluhan tinggi, memungkinkan adanya rasa
kecemburuan dari peternak lain, umpan balik dari peternak kurang lengkap,
4. Saluran Komunikasi yang digunakan
Adopsi inovasi dapat mudah dan jelas disampaikannya melalui saluran
komunikasi yang relevan dengan melihat ukuran populasi dari sasaran. Saluran
komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Penyuluh/peneliti dalam mengomunikasikan secara langsung dan tidak langsung,
harus bersikap persuasif. Menurut Feldman (2012) persuasi adalah proses
mengubah sikap, salah satu konsep sentral dari psikologi sosial. Sikap adalah
evaluasi tentang seseorang, perilaku, kepercayaan, atau konsep tertentu.
Kemudahan dimana kita dapat mengubah sikap sasaran bergantung pada sejumlah
faktor diantaranya sebagai berikut.
 Sumber pesan.
 Karakteristik pesan
 Karakteristik target

Sumber pesan. Karakteristik dari seseorang yang menyampaikan persuasif,


dikenal sebagai sikap komunikator, memiliki pengaruh besar dalam efektivitas
pesan tersebut. Komunikator yang secara fisik dan sosial menarik akan
menghasilkan perubahan sikap yang lebih besar dibandingkan mereka yang
kurang menarik. Terlebih lagi, keahlian dan tingkat kepercayaan komunikator
terkait dengan pengaruh pesan – kecuali dalam situasi – situasi ketika audensi
(sasaran) percaya bahwa sang komunikator memiliki motif tertentu. King (2010)
menambahkan bahwa salah satu yang menentukan komunikator secara fisik dan
sosial menarik adalah bahasa. Bahasa merupakan bentuk komunikasi baik itu
lisan, tertulis maupun isyarat yang didasarkan pada sebuah sistem simbol dengan
kata lain, bahasa berperan sebagai sistem simbol yang amat kaya, karena mampu
mengekspresikan sebagian besar pikiran. Sederhananya bahasa berperan dalam
serangkaian proses kognitif yang dianggap penting. Fiest dan Fiest (2010)
mengemukakan bahwa bahasa berperan sebagai strategi encoding yaitu
mengategorisasikan informasi yang diterima dari stimulus eksternal menjadi
konstruk personal, termasuk konsep diri, pandangan mereka terhadap orang lain
dan cara mereka melihat dunia.
Karakteristik pesan. Setiap pesan mempunyai karakteristik yang berbeda
dan karakteristik tersebut akan menghasilkan respon sikap yang berbeda baik itu
mempunyai pengaruh maupun tidak. Umumnya pesan memiliki dua sisi yang
menyebutkan posisi sebagai komunikator dan posisi dari lawan mereka (sasaran)
dipandang lebih efektif dibandingkan pesan yang memiliki satu sisi. Dengan
asumsi bahwa argumentasi bagi sisi yang lain dapat dimentahkan secara efektif
dan audensi mengetahui mengenai topik tersebut (Feldman, 2012). Adanya dua
sisi tersebut disebabkan adanya atribusi. Menurut King (2010) atribusi merupakan
suatu motivasi untuk menemukan penyebab dasar perilaku individu sebagai
bagian dari upaya mereka untuk memahami perilaku. Dengan demikian, atribusi
adalah mengenai mengapa orang – orang berprilaku seperti yang mereka lakukan.

Karakteristik target. Fiest dan Fiest, (2010), menyatakan setelah seorang


komunikator menyampaikan pesan, karakteristik target pesan dapat menentukan
apakah pesan tersebut akan diterima atau tidak.misalnya orang – orang yang
pandai lebih tahan terhadap persuasi dibandingkan mereka yang kurang pandai.
Perbedaan gender dalam keterbujukan sepertinya juga ada. Dalam lingkup publik,
wanita relatif mudah dipaksa daripada pria, terutama ketika mereka kurang
memiliki pengetahuan mengenai topik dari pesan tersebut. Meskipun demikian,
mereka sama dengan pria yang terkait dengan perubahan sikap pribadi mereka.
Pada kenyataannya, kedalaman dari perbedaan resistensi terhadap persuasi antara
pria dengan wanita tidak terlalu besar. Perbedaan resistensi tersebut, kemungkinan
dipengaruhi oleh faktor kognitif sosial terutama pada proses belajar sosial dimana
proses belajar tersebut berasal dari kepribadian yang mempunyai kesatuan
mendasar, yang berarti kepribadian manusia mempunyai stabilitas yang relatif.
Hal tersebut karena manusia (individu) belajar untuk mengevaluasi pengalaman
baru atas dasar penguatan terdahulu. Evaluasi yang relatif konsisten ini akan
membawa pada stabilitas yang lebih besar dan kesatuan dari kepribadian serta
akan memberikan sifat responsif terhadap perubahan melalui pengalaman baru
atau dapat dimodifikasi dan diubah selama manusia mampu untuk belajar.
5. Keadaan Penyuluh
Berdasarkan keadaannya terdapat lima dimensi pelayanan penyuluhan
antara lain:
 Tangible (Pelayanan Fisik)
Kemampuan penyuluh peternakan dalam menunjukkan tingkat kualitas
pelayanan kepada para peternak yang meliputi ketersediaan fasilitas fisik, keadaan
fasilitas dan kelengkapan fasilitas yang merupakan bukti nyata dari pelayanan
penyuluh peternakan dalam pemberian jasa kepada peternak.
 Reliability (Kendala)
Kemampuan penyuluh peternakan untuk memberikan pelayanan sesuai
dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya (Abubakar dan Siregar,
2010).
 Responsiveness (Ketanggapan)
Ketanggapan penyuluh peternakan terhadap permasalahan yang diperoleh
peternak dan cara penyuluh peternakan memecahkan masalah bersama peternak
dalam kelompok tani-ternak. Feldman (2012) menguatkan dalam pengambilan
keputusan ini diperlukan unsur kreativitas dan cara berpikir yang kovergen
(mengarah pada logika dan pengalaman).
 Insurance (Jaminan)
Meliputi kredibilitas (sifat jujur dan dipercaya), kompetensi (penguasaan
keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar penyampaian materi
penyuluhan sesuai dengan kebutuhan peternak.
 Empaty (Empati)
Atribut yang menggambarkan dimensi yang menekankan pada pelayanan
dalam melayani peternak dengan memberikan perhatian yang tulus dan bersifat
individual atau pribadi dengan berupaya memahami keinginan peternak. Fiest dan
Fiest (2010) menambahkan bahwa empati ini merupakan suatu bentuk
penghargaan positif dan akan menciptakan perasaan percaya diri dan berharga
bagi sasaran.
6. Ragam Sumber Informasi
Ragam informasi diperlukan untuk mendukung proses adopsi inovasi
informasi tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti informasi
interpersonal, media cetak, media elektronik, publikasi ilmiah, dan pertemuan
ilmiah/teknis. Kebutuhan informasi dan motivasi kognitif dapat mempengaruhi
penggunaan sumber informasi. Feldman (2012) menerangkan bahwa yang
dimaksud motivasi kognitif adalah produk dari pikiran, harapan dan tujuan
manusia. Misalnya tingkat ketika orang termotivasi dalam belajar untuk
menghadapi tes berdasarkan harapan mereka mengenai seberapa baik belajar
dapat menghasilkan dalam bentuk nilai yang baik.

Cervone dan Pervin (2012) menambahkan melalui teori kognitif sosialnya


bahwa motivasi kognitif menunjukkan motivasi mendasar manusia terhadap
pemikiran dihubungkan dengan diri, atau pemikiran rujukan – diri dimana hal
tersebut diperoleh dan dicapai melalui pembelajaran observasional. Ide umumnya
adalah bahwa orang umumnya mengarahkan dan memotivasi tindakan mereka
sendiri melalui proses berpikir. Proses berpikir utama sering melibatkan diri.
pertimbangan proses motivasi yang individu miliki berhubungan dengan hal ini
dalam psikologi kepribadian. Fiest dan Fiest (2010) menjelaskan melalui teori
kepribadian Allport bahwa psikologi kepribadian merupakan organisasi yang
dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan karateristik perilaku dan
pikirannya untuk menyesuaikan, melakukan refleksi atas hal tersebut dan
berinteraksi dalam cara – cara yang menyebabkan lingkungan beradaptasi dengan
mereka. Definisi komprehensif Allport atas psikologi kepribadian memberikan
gagasan bahwa manusia adalah produk dan proses; manusia mempunyai struktur
terorganisasi, sementara pada saat yang bersamaan, mereka memproses
kemampuan untuk berubah. Sederhananya, kepribadian mencakup sistem fisik
dan psikologis; meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran yang tidak terlihat;
serta tidak hanya merupakan sesuatu tetapi melakukan sesuatu. Psikologi
kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses, serta struktur dan
perkembangan.
2.2 Difusi Inovasi
Difusi inovasi merupakan perembesan atau penyebaran adopsi inovasi dari
satu individu yang telah mengadopsi ke individu yang lain dalam sistem sosial
masyarakat sasaran yang sama. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya
tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Bedanya adalah jika dalam proses
adopsi pembawa inovasinya berasal dari “luar” sistem sosial masyarakat sasaran.
Sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari sistem sosial
masyarakat sasaran itu sendiri. Kecepatan difusi juga tergantung kepada aktivitas
yang dilakukan oleh penyuluhnya sendiri. Berdasarkan hal tersebut setiap
penyuluh diharapkan dapat mempercepat proses difusi inovasi, melalui:
1. Melakukan diagnosa terhadap masalah – masalah masyarakatnya serta
kebutuhan – kebutuhan nyata (real need) yang belum dirasakan
masyarakatnya. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005) diagnosa kebutuhan
– kebutuhan nyata tersebut dapat dilihat dari banyaknya kesesuaian (daya
adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di
peternak. Sumarno (2010) menambahkan bahwa faktor ekonomi dan faktor
non ekonomi sasaran perlu diperhatikan pada saat melakukan difusi inovasi,
karena difusi inovasi merupakan suatu kegiatan yang mengandung resiko,
berorientasi ke masa depan, dan memerlukan pertimbangan yang matang
sehingga disarankan untuk penyuluh harus mendidik sasaran agar terbentuk
keterampilan yang dapat mewujudkan keinginan, kebutuhan dan
kemampuan individu. King (2010) menguatkan bahwa keterampilan dapat
memunculkan self efficacy. Self efficacy merupakan kepercayaan individu
bahwa ia dapat menguasai sebuah situasi dan menghasilkan keluaran yang
positif. Self efficacy memengaruhi apakah individu mencoba untuk
membangun kebiasaan yang sehat, sebanyak apakah usaha mereka dalam
mengatasi stress, berapa lama mereka dapat bertahan menghadapi rintangan
dan berapa banyak stress yang dialami. Penelitian telah menunjukkan bahwa
Self efficacy berhubungan dengan keberhasilan berbagai perubahan yang
positif.
2. Membuat masyarakat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang
dialaminya, dengan cara menunjukkan kelemahan – kelemahan mereka,
masalah – masalah mereka, adanya kebutuhan – kebutuhan baru yang
memacu mereka untuk siap melakukan perubahan – perubahan; sedemikian
rupa hingga dengan kesadarannya sendiri mereka termotivasi untuk
melakukan perubahan – perubahan. Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005),
agar mereka termotivasi melakukan inovasi, penyuluh harus menyampaikan
inovasinya dengan cara yang bermutu. Giblin (2004) menambahkan bahwa
untuk memotivasi sasaran mendifusi inovasi, langkah yang harus dilakukan
adalah mengetahui apa yang akan membuat sasaran melakukannya
(apa yang mereka inginkan, apa yang mereka cari, apa yang mereka suka)
karena apabila penyuluh mengetahui apa yang menggerakkan sasaran,
penyuluh akan mengetahui bagaimana caranya menggerakkan sasaran.
Langkah selanjutnya adalah penyuluh hanya menunjukkan bagaimana
sasaran bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan melakukan
apa yang anda (penyuluh) ingin mereka (sasaran) lakukan.Tentu saja dalam
proses nya anda harus bertanya, melihat dan mendengarkan serta ditambah
usaha penyuluh untuk mengetahui. Berdasarkan cara yang dikemukakan
oleh Giblin dapat di analisis bahwa cara secara tidak langsung berhubungan
dengan psikoterapi menggunakan teknik kongruensi. Fiest dan Fiest (2010)
menjelaskan bahwa teknik kongruensi adalah teknik terapi dengan
memanfaatkan pengalaman organismik seseorang (sasaran) sejalan dengan
kesadaran atas pengalaman tersebut, serta dengan kemampuan dan
keinginan untuk secara terbuka mengekspresikan perasaan – perasaan
tersebut. Individu yang mengalami kogruen biasanya menjadi nyata dan
jujur secara utuh atau terintegrasi menjadi apa adanya, sehingga teknik ini
memerlukan persyaratan khusus yaitu penyuluh harus bersikap baik hati dan
ramah, namun juga seorang manusia yang utuh, dengan perasaan bahagia,
marah, frustasi, kebingungan dan lainnya atau dengan kata lain penyuluh
harus berjiwa besar dan memiliki hati yang kuat, sebab teknik ini bersifat
dinamis, menyendiri, dan tidak “tak berarah”.
3. Menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat sasaran dan bersamaan
dengan itu semakin menunjukkan kesiapannya untuk membantu mereka
serta membuat mereka yakin bahwa dia mampu membantu mereka untuk
memecahkan masalahnya serta mewujudkan terpenuhinya kebutuhan –
kebutuhan baru tadi. Abubakar dan Siregar (2010) menyatakan bahwa untuk
menjalin hubungan yang erat dengan sasaran salah satu cara yang tepat
adalah dengan menekankan perlakuan penyuluh terhadap para peternak
sebagai individu – individu. Penekanan perlakuan tersebut bertujuan agar
sasaran mempunyai kesadaran terhadap dirinya. Menurut King (2010),
kesadaran yang dimaksud disini adalah merujuk pada kawasan kejadian
eksternal dan sensasi internal, termasuk keawasan terhadap diri dan berbagai
pikiran tentang pengalaman sendiri; kawasan ini terjadi dalam suatu kondisi
tergugah (arousal), keadaan fisiologis saat seseorang sedang terlibat dengan
lingkungan. Dengan demikian, seseorang yang dalam keadaan tidur tidak
sama kesadarannya dengan ketika ia sedang dalam keadaan terjaga, hal
tersebut karena arus kesadaran dari pikiran seperti sensasai, citra, pikiran
dan perasaan akan terus berubah.
Cara lain yang di lakukan agar membuat sasaran yakin bahwa dia
(penyuluh) dapat membantu mereka (sasaran) adalah anda berbicara lewat
orang ketiga, maksudnya adalah anda tidak membuat pernyataan itu
langsung, melainkan mengutip seseorang. Biarkan orang lain membuat
pernyataan itu untuk anda sekalipun orang lain itu tidak hadir, memang hal
ini kelihatannya aneh tetapi orang tidak meragukan sedikit pun (yakin)
bahwa apa yang anda katakan pada mereka secara tidak langsung itu benar.
Teknik ini dilakukan karena manusia pada kodratnya bersikap skeptis (ragu
– ragu) pada anda (penyuluh) dan apa yang anda katakan bila anda
mengatakan hal – hal yang sifatnya menguntungkan diri anda (penyuluh)
Bila dimungkinkan kaitkanlah cara ini dengan mengutip kisah – kisah
sukses dan atau sesuatu yang beracu pada fakta dan data statistik. (Giblin,
2004).
4. Mendukung dan membantu masyarakat sasaran, agar keinginan – keinginan
untuk melakukan perubahan tadi dapat benar – benar menjadi tindakan
nyata untuk melakukan perubahan. Menurut Sumarno (2010) agar
masyarakat dapat melakukan tindakan nyata untuk melakukan perubahan,
penyuluh harus memilih stimuli yang akan atau telah disampaikannya.
Stimuli harus memiliki pengaruh nyata. Stimuli yang memiliki pengaruh
nyata dalam difusi inovasi adalah informasi inovasi yang telah diterima oleh
sasaran, karena informasi ini berperan untuk mengurangi dan
menghilangkan ketidakpastian atau jumlah yang kemungkinan alternatif,
dengan kata lain, informasi sangat berperan dalam mempengaruhi
pembentukan atau perubahan sikap seseorang terhadap suatu objek,
sehingga makin banyak (berulang) informasi yang diperoleh seseorang
maka semakin mantap sikap orang terhadap suatu pilihan dan akan
menghilangkan ketidakpastian. Feldman (2012) menyatakan bahwa metode
pengulangan informasi berfungsi sebagai penguat. Penguat ini, merupakan
stimulus yang berfungsi meningkatkan kemungkinan akan kembalinya
terjadinya perilaku yaitu keyakinan (hilangnya keraguan / ketidakpastian).
Biasanya dalam praktiknya penguat ini bersifat sekunder sehingga harus
berasosiasi dengan penguat primer (kebutuhan biologis dan psikis). King
(2010) menguatkan bahwa dalam melakukan pengulangan informasi, adalah
pertama penyuluh harus memastikan bahwa informasi yang dipelajari akurat
dan teratur. Penyuluh harus meninjau kembali catatan secara rutin dan
mencari kemungkinan kesalahan dan kebingungan dari awal, karena tidak
ada gunanya mengingat dan mempelajari informasi yang tidak lengkap dan
tidak akurat. Kedua, atur materi dengan cara yang memungkinkan penyuluh
memungkinkan menyimpannya di ingatan dengan efektif lalu atur
informasi, susun ulang materi dan berikan struktur yang memudahkan untuk
mengingatnya. Salah satu teknik yang memudahkan untuk mengingat adalah
membuat peta konsep atau membuat analogi dari ingatan jangka panjang
yang bisa memanfaatkan skema (peta konsep) yang sudah ada (sudah
dibuat).
5. Memantapkan hubungan dengan masyarakat dan pada akhirnya melepaskan
mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan –
perubahan tanpa harus selalu menggantungkan bantuan guna melaksanakan
perubahan – perubahan yang dapat mereka prakarsai dan dilaksanakan
sendiri. Menurut Abubakar dan Siregar (2010), untuk memantapkan
hubungan dengan masyarakat yang pertama harus di lakukan adalah
penyuluh harus memberikan jaminan (insurance) kepada sasaran dengan
tujuan untuk menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat, karena
kepercayaan ini merupakan pondasi utama yang paling kuat untuk
membangun suatu hubungan dan langkah selanjutnya adalah penyuluh harus
menetapkan suatu standar kinerja yang spesifik dalam melakukan difusi
inovasi, tujuannya adalah agar masyarakat mengetahui dengan jelas apa
yang harus dilakukan sehingga sasaran mampu beradaptasi dan langkah
terakhir adalah bersikap empati. Giblin (2004) menambahkan bahwa untuk
membangun suatu kepercayaan yang pertama harus dilakukan adalah
penyuluh harus memahami kodrat manusia, kedua adalah menciptakan
kesan baik, dan terakhir adalah meyakinkannya. Menciptakan kesan baik
dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu bersikap tulus, tunjukan
antusiasme, jangan terlalu cemas, jangan berusaha membangun diri
anda dengan menghambat orang lain, jangan memukul siapa pun atau
apa pun. King (2010) juga menyarankan untuk membangun kepercayaan
penyuluh harus melakukan atribusi yaitu memahami perilaku sasaran
dengan cara menemukan penyebab dasar mengapa sasaran termotivasi untuk
berperilaku demikian dengan mempertimbangkan dimensi sebab akibat.
Dimensi sebab akibat yaitu penyebab internal / eksternal; penyebab yang
stabil / sementara; penyebab yang dapat dikendalikan / tidak dapat
dikendalikan. Tujuan dari mempertimbangkan dimensi sebab akibat tersebut
adalah karena setiap individu (sasaran) memiliki beragam perilaku.
Beragam perilaku tersebut muncul karena faktor lingkungan dan juga bahwa
tindakan manusia di atur oleh pikirannya sendiri atau kepentingan dirinya,
dan sifat ini sangat kuat dalam diri manusia.
26

III. PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN


PSIKOLOGI

3.1 Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa


3.1.1. Definisi Pendidikan Orang Dewasa
Pendidikan Orang Dewasa (POD) merupakan proses pendidikan yang di
organisasikan melalui pesan atau isi, metode dan pelaksanaan yang ditujukan pada
orang dewasa dengan rentang usia antara 17 – 45 tahun. Eryanto dan Rika (2013)
manyatakan pendidikan merupakan kegiatan yang mengatur perkembangan
manusia secara terarah untuk menjadi manusia yang baik dan berguna. Pendidikan
tersebut berdasarkan komponenya terdiri atas tujuh poin yaitu:

1. Masukan Sarana (Instrumental Input)


Keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinkan bagi kelompok
masyarakat dapat melakukan kegiatan belajar, dalam masukan ini termasuk tujuan
program, kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan lainnya, tenaga pengelola
program, sumber belajar, media, fasilitas, biaya, dan pengelolaan program
(Sudjana, 2004).

2. Masukan Mentah (Raw Input)


Komponen yang dimaksud disini adalah peserta didik (warga belajar)
dengan berbagai karateristik yang dimilikinya, termasuk ciri – ciri yang
berhubungan dengan faktor internal yang meliputi struktur kognitif (seperti skema
organisasi informasi dalam memori individu) dan faktor eksternal yaitu meliputi
seluruh penyebab eksternal seperti tekanan sosial, aspek situasi sosial, uang,
cuaca, atau keberuntungan (Feldman, 2012; King, 2010), pengalaman, sikap,
minat, keterampilan, kebutuhan belajar, aspirasi dan serta ciri –ciri yang
berhubungan dengan faktor internal seperti keadaan keluarga dalam segi
pendidikan ekonomi, status sosial, biaya, dan sarana belajar serta cara dan
kebiasaan belajar dimana kandungan karakteristik tersebut memengaruhi
kecepatan belajar peserta didik.
27

3. Masukan Lingkungan (Environmental Input)


Merupakan faktor lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya
program pendidikan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sosial seperti
teman bergaul atau teman bekerja serta modal budaya dimana dapat memberikan
pengetahuan baru (Eryanto dan Rika, 2013), lapangan kerja, kelompok sosial dan
sebagainya, serta lingkungan alam seperti iklim, lokasi, tempat tinggal. Masukan
tersebut meliputi lingkungan wilayah atau daerah, lingkungan nasional dan
lingkungan internasional. Lingkungan wilayah atau daerah mencakup kebijakan
dan perkembangan pendidikan, sosial ekonomi dan budaya, lapangan kerja / usaha
dan potensi lain yaitu minat / kecenderungan yang menyebabkan sesorang
berusaha untuk mencari ataupun mencoba aktifitas – aktifitas dalam bidang
tertentu (Yetti, 2009).

4. Proses yang Menyangkut Interaksi antara Masukan Sarana terutama


Pendidik dengan Masukan Mentah
Proses ini menyangkut interaksi antara masukan saran, terutama pendidik
dengan masukan mentah atau peserta didik (warga belajar). Proses ini terdiri dari
kegiatan belajar – membelajarkan, bimbingan, dan penyuluhan serta evaluasi.
Kegiatan belajar – membelajarkan lebih mengutamakan pendidik untuk
membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar dan bukan menekankan pada
peranan mengajar. Reed, (2011) menyarankan untuk melakukan pengulangan
verbal dan pembelajaran melalui model Atkinson-Shiffrin dimana model ini
melibatkan pengulangan informasi secara terus – menerus sampai kita pikir sudah
berhasil mempelajarinya dan hal ini berguna ketika materi yang dipelajari bersifat
abstrak terutama pada orang dewasa yang mengalami penurunan penalaran.
Kegiatan belajar dengan model tersebut juga dapat didukung dengan
memanfaatkan berbagai media visual, auditori maupun kinestetik yaitu media
elektronika, lingkungan sosial budaya, dan lingkungan alam. Fiest dan Fiest
(2010) kegiatan belajar yang ditujukan menggunakan model tersebut secara tidak
langsung mengarah pada teori kognitif sosial Bandura yaitu merupakan teori
pembelajaran melalui observasi atau pembelajaran melalui modeling.
5. Keluaran (Output)
Komponen ini dimaknai sebagai kuantitas lulusan yang disertai dengan
perubahan tingkah laku (perilaku) yang didapat melalui kegiatan belajar –
pembelajaran. Perubahan perilaku tersebut mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang mereka perlukan sehingga
dapat mencapai perubahan kehidupan yang diinginkan masyarakat hal tersebut
karena orang dewasa secara tidak sadar melakukan segala usaha dalam
pergaulannya secara terus menerus dan spontan untuk perkembangan jasmani dan
rohani ke arah kedewasaannya (Eryanto dan Rika, 2013), dalam pandangan ini
mencakup hasil lulusan yang dapat bekerja dengan baik dalam masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, maka penguasaan keterampilan untuk penguasaan
terhadap pekerjaan sangat diutamakan (Sudjana, 2004). Feldman (2012),
menambahkan berdasarkan dari penelitian psikolog Albert Bandura dan rekan –
rekannya bahwa sebelum mencapai perubahan perilaku, peserta didik secara tidak
sadar melakukan proses belajar observasional / belajar melalui imitasi yaitu
merupakan salah satu bagian utama pembelajaran manusia yang mana merupakan
pembelajaran dengan cara melihat perilaku sampai agresi orang lain atau model
dan hal tersebut menurutnya mungkin memiliki dasar genetis. Proses belajar
tersebut terjadi karena pada tubuh manusia terdapat neurotransmitter yaitu bentuk
zat – zat kimia yang membawa pesan di sepanjang sinapsis (ruang antara dua
neuron di mana akson dari suatu neuron pengirim berkomunikasi dengan dendrit
dari neuron penerima menggunakan pesan – pesan kimia) ke suatu dendrit (dan
terkadang tubuh sel) dari suatu neuron penerima sehingga memiliki suatu tautan
penting antara sistem saraf dan perilaku karena memegang peran penting untuk
mempertahankan otak vital dan fungsi tubuh terutama neurotransmitter jenis
dopamine (DA) dan Gamma – Amino butyric acid (GABA) yang ditemukan di
otak ataupun di sumsum tulang belakang terlibat dalam pergerakan, atensi,
perilaku agresi dan belajar. Oleh karena itu, penting bagi pengajar untuk
memahami hal ini karena sejumlah besar masalah terkait dengan cakupan di mana
seseorang dapat belajar hanya dengan melihat perilaku orang lain.
6. Masukan Lain
Komponen ini lebih menekankan pada daya dukung lain yang
memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kemampuan
yang dimiliki untuk kemajuan kehidupannya dimana ada upaya untuk mengarah
pada tercapainya perkembangan yang dapat merangsang suatu cara berpikir yang
rasional, kreatif dan sistematis sehingga memperluas keilmuan, meningkatkan
kemampuan dan potensi serta membuat seseorang lebih peka terhadap setiap
gejala – gejala sosial yang muncul (Eryanto dan Rika, 2013). Masukan lain ini
meliputi dana, lapangan kerja / usaha, informasi, alat dan fasilitas, pemasaran,
lapangan kerja, paguyuban peserta didik (warga belajar), latihan lanjutan, bantuan
eksternal dan lain sebagainya (Sudjana, 2004).

7. Pengaruh (Impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai perserta didik
Komponen ini menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dan
lulusan. Pengaruh ini meliputi antara lain, (a) perubahan taraf hidup yang ditandai
dengan memperoleh pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan
pendapatan, kesehatan dan penampilan diri, (b) kegiatan membelajarkan orang
lain atau mengikutsertakan orang lain dalam memanfaatkan hasil yang telah
dimiliki, (c) peningkatan partisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan
masyarakat, baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda dan dana. Pengaruh
tersebut tidak hanya sampai pada ketiga hal tersebut saja, tapi juga membuat
peserta didik mampu beradaptasi terhadap stimulus poin a, b dan c dengan pola
berbeda melalui generalisasi stimulus yaitu suatu proses dimana setelah stimulus
terkondisikan untuk menghasilkan respon tertentu, stimulus yang mirip dengan
stimulus asli setelah stimulus pengaruh hasil pendidikannya terkondisikan untuk
menghasilkan respon tertentu. Semakin besar kesamaan antara kedua stimulus,
semakin besar kemungkinan terjadinya generalisasi stimulus. Respon terkondisi
yang dimunculkan oleh stimulus baru tersebut biasanya ridak sama intens dengan
respon terkondisi asli, meskipun semakin mirip stimulus baru tersebut dengan
stimulus lama, akan semakin miriplah respon yang baru dengan respon yang lama
(Feldman, 2012).
3.1.2. Tujuan Pendidikan Orang Dewasa
Perubahan perilaku yang lebih baik dari pada saat ini, baik secara kognitif,
afektif dan psikomotor agar terjadi peningkatan dalam hal merubah dan
mendapatkan material sehingga tercapai kesejahteraan. Aspek kognitif berupa
konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek
tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan
pribadi terhadap obyek tersebut (Sudjana, 2004).

Reed (2011) mengemukakan minat merupakan salah satu dimensi dari aspek
afektif yang banyak berperan juga dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam
kehidupan belajar seorang murid. Aspek afektif adalah aspek yang
mengidentifikasi dimensi-dimensi perasaan dari kesadaran emosi, disposisi, dan
kehendak yang memengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. Dimensi aspek
afektif mencakup tiga hal penting, yaitu: (1) Berhubungan dengan perasaan
mengenai objek yang berbeda; (2) Perasaan-perasaan tersebut memiliki arah yang
dimulai dari titik netral ke dua kubu yang berlawanan, titik positif dan titik
negatif; (3) Berbagai perasaan memiliki intensitas yang berbeda, yang dimulai
dari kuat ke sedang ke lemah. Mengartikan minat adalah perhatian yang kuat,
intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melakukan suatu
aktivitas. Yetti (2009), berpendapat bahwa minat adalah kesadaran seseorang pada
sesuatu, seseorang, suatu soal atau situasi yang bersangkut paut dengan dirinya.
Tanpa kesadaran seseorang pada suatu objek, maka individu tidak akan pernah
mempunyai minat terhadap sesuatu. Menurut Feldman (2012), minat sebagai
sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang pada apa yang akan mereka
lakukan bila diberi kebebasan untuk memilihnya. Bila mereka melihat sesuatu itu
mempunyai arti bagi dirinya, maka mereka akan tertarik terhadap sesuatu itu yang
pada akhirnya nanti akan menimbulkan kepuasan bagi dirinya. Fiest dan Fiest
(2010) menyatakan kepuasan bagi dirinya tersebut di namakan sebagai respon
afektif, yaitu tanggapan emosi, perasaan dan reaksi fisiologi (afektif) dimana
kedua tanggapan tersebut tidak dapat dipisahkan dari kognisi dan saling
berinteraksi dengan situasi tertentu untuk menentukkan perilaku.
3.2 Hambatan Pendidikan Orang Dewasa
3.2.1 Hambatan Fisiologik
Fisiologik berasal dari kata fisio yaitu fungsi atau faal organ tubuh dan logik
yaitu ilmu, sehingga fisiologik merupakan ilmu yang mempelajari fungsi faal
organ - organ tubuh. Pada orang dewasa secara fisiologik terjadi penurunan fungsi
organ dimana menjadi salah satu kendala penghambat pendidikan. Penurunan
fungsi tersebut antara lain:
1. Titik penglihatan
Kendala ini berkaitan dengan gangguan pada titik penglihatan orang
dewasa. Gangguan titik penglihatan tersebut menyebabkan gangguan persepsi
penglihatan. Pada saat penglihatan terganggu atau hilang akan mempengaruhi
perilaku belajar seseorang. Menurut Feldman (2012) beberapa gangguan persepsi
penglihatan pada orang dewasa diantaranya adalah gangguan akomodasi (yaitu
kemampuan lensa mata untuk memfokuskan cahaya dengan mengubah
ketebalannya) pada lensa mata seseorang yang menyebabkan bayangan tidak atau
kurang terfokus pada bagian tepian mata. King (2010) menambahkan gangguan
penglihatan lain pada orang dewasa adalah synasethesia perception yaitu
merupakan suatu kasus gangguan penglihatan dimana individu mengalami
kebingungan pada indra persepsinya (indra penglihatan) akibat induksi dengan
indra lainnya. Sebagai contoh, beberapa individu “melihat” music atau
“mengecap” warna. Seorang wanita yang dapat mengecap suara. Bentuk paling
umum adalah grapheme synaesthesia, dimana huruf atau angka memiliki
tingkatan warna tertentu sehingga seorang individu dapat merasakan bahwa huruf
“A” memiliki warna kuning bunga matahari dan angka 2 memilki warna abu –
abu semen. Hal tersebut diakibatkan karena gangguan bagian korteks parietal
posterior yang terkait dengan integrasi normal. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan
bahwa gangguan persepsi tersebut akan berpengaruh terhadap pembelajaran
individu secara observasi terutama terjadi gangguan perhatian individu terhadap
materi yang dipelajari secara observasi dan pada akhirnya akan terjadi produksi
perilaku yang berbeda pada individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut
maka penyuluh / pendidik disarankan untuk melakukan representasi verbal.
2. Kemampuan mendengar
Penurunan kemampuan mendengar merupakan salah satu kendala dalam
pendidikan orang dewasa, terutama pada lansia. Penurunan pendengaran tersebut
ditandai dengan kurang mampu membedakan bunyi. Menurut King (2010)
kurangnya kemampuan untuk membedakan bunyi disebabkan oleh penurunan
sistim fisiologi auditori (pendengaran) saat memproses getaran pada udara.
Penurunan pemrosesan getaran udara tersebut meliputi dua macam yaitu
penurunan frekuensi (tinggi bunyi) dan amplitudo (intensitas bunyi). Penurunan
tersebut fisiologi auditori tersebut biasanya seringkali terjadi pada telinga bagian
dalam. Menurut Feldman (2012) telinga bagian merupakan bagian dari telinga
yang mengubah getaran suara menjadi bentuk yang dapat disalurkan ke otak.
Bentuk ini juga mengandung organ yang membuat manusia dapat mengalokasikan
posisi dan menentukan bagaimana bergerak dalam ruang. Ketika suara memasuki
telinga dalam melalui jendela oval, suara ini kemudian bergerak menuju koklea
atau rumah siput, suatu bentuk lengkung yang terlihat seperti seekor siput dan
dipenuhi dengan cairan yang bergetar sebagai respon terhadap suara. Di dalam
koklea tersebut terdapat membran basilar, suatu struktur yang terletak menuju
pusat koklea, membagi koklea tersebut menjadi ruang atas dan ruang bawah.
Membrane basilar ini dilingkupi oleh sel rambut. Ketika sel rambut ini
digerakkan oleh getaran yang memasuki koklea tersebut, maka sel – sel yang ada
didalamnya akan mengirimkan suatu pesan neural ke otak dalam bentuk informasi
auditori yaitu korteks serebrum tepatnya pada lobus temporal (dibawah dahi).
Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa penurunan pendengaran tersebut
berpengaruh terhadap penurunan senstivitas reaksi, yaitu perbedaan sensivitas
aktivitas otak sebagai hasil pemberian stimulus yang mendukung (suara) dimana
berpengaruh terhadap kepribadian dalam bentuk perilaku. Dengan kata lain
kepribadian tersebut berhubungan dengan perbedaan dalam proses biologis atau
bagaimana individu akan berespon terhadap suatu stimulus dalam hal ini adalah
bunyi sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi potensi perilaku individu
terutama pada perhatian individu terhadap materi yang diterangkan saat proses
pendidikan.
King (2010) dalam penelitiannya menerangkan bahwa penurunan
kemampuan bunyi secara fisiologis di tandai dengan beberapa gejala. Beberapa
gejala tersebut adalah penurunan kemampuan pada kedua telinga untuk
menentukan lokasi suara, hal tersebut karena setiap telinga menerima rangsangan
yang agak berbeda dari sumber bunyi. Akibat dari hal tersebut, maka individu
seringkali menemui kesulitan menentukan arah bunyi yang datang tepat dari
depan mereka, karena suara tersebut sampai ke telinga mereka pada waktu yang
bersamaan. Hal tersebut juga terjadi pada suara yang datang tepat dari atas dan
dari belakang individu.

Feldman (2012) menambahkan bahwa penurunan fisiologi pendengaran


disebabkan penurunan kepekaan terhadap frekuensi yang berbeda seiring dengan
pertambahan usia terutama rentang frekuensi yang didengar. Ia pun juga
menguatkan melalui teori frekuensi tentang pendengaran bahwa area yang
berbeda dari membran basilar merespon frekuensi yang berbeda pula, hal tersebut
karena keseluruhan membrane basilar bertindak sebagai microphone, bergetar
sebagai suatu keseluruhan respon terhadap suatu suara. Menurut penjelasan ini,
saraf reseptor mengirimkan sinyal - sinyal yang terkait langsung dengan frekuensi
(jumlah gelombang per detik) dari suara yang di tampilkan pada individu, dengan
jumlah impuls saraf menjadi suatu fungsi langsung dari frekuensi suara tersebut.
Setelah suatu pesan auditori meninggalkan telinga, pesan tersebut dialirkan ke
korteks auditori di otak melalui suatu rangkaian koneksi neural yang rumit. Di
dalam korteks auditori sendiri, terdapat neuron –neuron yang memberikan respon
secara selektif terhadap suara yang sangat spesifik.

Cervone dan Pervin (2012) menyatakan bahwa setelah stimulus auditori


mencapai korteks auditori, stimulus ini akan melewati hemisfer – hemisfer
(bagian – bagian) otak. Hemisfer ini terdiri dari dua bagian yaitu kiri dan kanan
dimana masing terlibat dalam aktivasi emosi negatif dan positif atau disebut
dengan dominansi hemisfer. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa pengukuran
aktivitas hemisfer dilakukan sebelum dan pada saat penayangan klip film yang
didesain untuk mengurangi emosi positif dan negatif.
3. Penurunan Merespon Warna,
yaitu merasa pusing atau tidak nyaman jika melihat warna kontras, seperti
merah, kuning. ketidaknyaman dalam merespon warna kontras disebabkan oleh
penurunan fungsi atau degenerasi dua macam sel reseptor dalam retina yang peka
terhadap cahaya. Menurut Feldman (2012) nama yang diberikan kepada mereka
mencerminkan bentuknya : batang dan kerucut. Sel batang adalah reseptor yang
tipis dan berbentuk silinder yang sangat sensitif terhadap cahaya. Sel kerucut
adalah reseptor yang berbentuk kerucut dan peka terhadap cahaya, serta
bertanggung jawab untuk fokus yang jelas dan persepsi warna, terutama pada
cahaya yang terang. Sel batang dan kerucut ini tersebar secara tidak merata di
seluruh bagian retina. Sel kerucut terkonsentrasi pada bagian tertentu yang disebut
fovea. Fovea adaah bagian yang sangat sensitif dari retina. Sel batang dan kerucut
bukan hanya tidak sama secara struktural, namun mereka juga memainkan peran
yang sangat berbeda dalam penglihatan. Sel kerucut terutama bertanggung jawab
untuk memfokuskan persepsi warna secara lebih jelas, terutama dalam situasi
cahaya yang terang dan mampu melakukan adaptasi terang atau proses
menyesuaikan dengan cahaya terang setelah berada pada cahaya gelap lebih cepat
yaitu hanya dalam waktu kurang lebih dari satu menit. Sedangkan sel batang
memerlukan waktu 20 – 30 menit untuk melakukan adaptasi gelap atau proses
menyesuaikan diri dengan kondisi gelap. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat
di analisis bahwa peserta didik mengalami ketidaknyamanan dalam melihat warna
kontras disebabkan oleh penurunan fungsi atau degenerasi sel kerucut. King
(2010) menambahkan bahwa penurunan fungsi pada kedua sel reseptor tersebut
mengakibatkan penurunan atensi dan set persepsi peserta didik. Atensi yang
dimaksud disini adalah kemampuan untuk memfokuskan pada aspek spesifik
sebuah pengalaman dan mengabaikan aspek yang lain dan set persepsi yang
dimaksud adalah kemampuan filter psikologis dalam pemrosesan infomasi
mengenai lingkungan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa adanya
penurunan atensi dan set persepsi tersebut menyebabkan penurunan peserta
pendidik dalam belajar terutama belajar melalui observasi yaitu merupakan proses
pembelajaran dengan menggunakan model sebagai bahan belajar.
4. Penurunan Konsentrasi
Penurunan konsentrasi belajar adalah penurunan pemusatan perhatian dalam
proses tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan, penggunaan dan
penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai pengetahuan dan kecakapan
dasar yang terdapat dalam berbagai bidang studi. Konsentrasi belajar yang
menjadi salah satu aspek penting bagi penerima dalam memahami dan mengerti
suatu pembelajaran, tercermin melalui setiap tingkah laku (behavior) yang
dilakukan. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa konsentrasi seseorang di dalam
belajar merupakan bagian dari kognitif manusia yang juga merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari manusia secara psikologis hal tersebut karena setiap
peserta didik mempunyai tiga kualitas psikologis yang penting bagi manusia
antara lain, (1) manusia adalah suatu entitas yang dapat memberikan penalaran
mengenai dunia menggunakan bahasa (2) manusia dapat membuat penalaran
bukan hanya tentang keadaan saat ini, tetapi juga kejadian – kejadian di masa lalu
dan hipotesis kejadian – kejadian di masa depan, (3) kemampuan penalaran ini
umumnya melibatkan refleksi terhadap diri – entitas yang menggunakan bahasa
untuk penalaran – dalam bentuk masa lampau, masa kini dan masa depan
mengenai diri mereka dan dunia sehingga ketiga aspek tersebut akan berpengaruh
terhadap proses kognitif sosial pada peserta didik (Cervone dan Pervin (2012).
Feldman (2012) menambahkan, bahwa penurunan konsentrasi dalam belajar
menyebabkan penurunan pengopresasian konsep, yaitu proses pengelompokan
mental untuk benda – benda, kejadian, atau orang yang sama. Konsep membuat
kita dapat mengorganisasi fenomena yang kompleks menjadi kategori kognitif
yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah untuk digunakan. Fiest dan Fiest
(2010) menambahkan penurunan kemampuan proses penilaian menyebabkan
penurunan kemampuan untuk meregulasi perilaku individu melalui proses mediasi
kognitif akibatnya peserta didik tidak / kurang mampu menyadari diri secara
reflektif dan juga seberapa berharga tindakannya berdasarkan tujuan yang telah
dibuat untuk dirinya. Lebih spesifiknya lagi, proses penilaian bergantung pada
standar pribadi, performa rujukan, pemberian nilai pada kegiatan dan atribusi
terhadap performa.
3.2.2 Hambatan Psikologik
Psikiologik secara harfiah berasal dari kata psiko yaitu mental / jiwa dan
logik yaitu ilmu, sehingga psikologi merupakan ilmu yang mempelajari kejiwaan
manusia atau hal – hal yang berhubungan dengan sifat kejiwaan seseorang. Pada
orang dewasa hambatan psikologik yang sering terjadi antara lain,
1. Tidak suka digurui
Program pendidikan orang dewasa, pesertanya adalah orang dewasa yang
mempunyai (merasa mempunyai) keahliannya sendiri, pengalamannya dan
seringkali memimpin dalam lingkungannya. Sikap atau tingkah menggurui dapat
dirasakan peserta sebagai peremehan terhadap dirinya. Hal tersebut karena setiap
peserta didik mempunyai emosi yang berbeda – beda. King (2010) menyatakan
bahwa emosi adalah persaan atau afeksi yang dapat melibatkan rangsangan
fisiologis (seperti denyut jantung yang cepat), pengalaman sadar, dan ekspresi
perilaku (sebuah senyuman atau raut muka cemberut)
Menurut Feldman (2012), emosi tersebut dilakukan oleh seseorang karena
beberapa hal antara lain
a. mempersiapkan kita untuk bertindak sebagai tautan antara kejadian di
lingkungan dan respon yang kita keluarkan
b. membentuk perilaku orang dimasa depan yaitu emosi memfasilitasi
pembelajaran yang akan membantu seseorang membuat respons yang
sesuai di masa depan
c. membantu seseorang berinteraksi secara lebih efektif dengan orang lain.
Seseorang mengomunikasikan emosi yang dirasakan melalui perilaku
verbal dan non verbal sehingga emosi kita dapat dilihat oleh pengamat
disekeliling kita.

Giblin (2004) menyarankan pendidik / penyuluh untuk membuat peserta didik


merasa penting, karena setiap orang yang mempunyai (merasa mempunyai
keahlian) seringkali merasa ingin dipentingkan. Hal tersebut karena sifat yang
paling umum pada setiap orang dimana sifat ini begitu kuat pada dirinya adalah
hasrat ingin dipentingkan / hasrat ingin diakui.
2. Lebih suka di motivasi
Orang dewasa dalam proses pembelajaran cenderung lebih suka motivasi
ketimbang di gurui, karena dengan motivasi akan menumbuhkan minat belajar
atau mempunyai keinginan untuk melaksanakan kegiatan belajar (Eryanto dan
Rika, 2013). Menurut Lepper et al., (2005) melalui pendekatan kognisi
menyatakan bahwa motivasi adalah produk pikiran, harapan dan tujuan manusia –
kognisi mereka. Teori kognitif dari motivasi tersebut menggambarkan kunci
perbedaan antara motivasi intrinsik menyebabkan kita untuk berpartisipasi dalam
aktivitas bagi kesenangan kita bukan untuk imbalan konkrit dan nyata apa pun
yang dapat kita terima. dan ekstrinsik motivasi ekstrinsik menyebabkan kita
melakukan sesuatu demi uang, nilai dan imbalan lainnya yang konkret dan nyata.

Feldman (2012) menyatakan bahwa motivasi merupakan faktor yang


mengarahkan dan memberikan energi pada tingkah laku manusia dan organisme
lainnya karena memiliki aspek biologis, kognitif dan sosial, serta kompleksitas.
Melalui model Maslow kebutuhan terkait motivasi dalam hierarki bahwa
kebutuhan primer harus dipuaskan atau dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan
yang lebih baik atau lebih tinggi tingkatannya. Urutan kebutuhan tersebut dari
level dasar sampai level tertinggi antara lain, pertama kebutuhan dasar (fisiologis)
yang merupakan kebutuhan primer seperti kebutuhan akan air, makanan, tidur,
seks dan sebagainya; kedua adalah kebutuhan terhadap rasa aman dan
mendapatkan perlindungan dengan kata lain, bahwa orang membutuhkan
lingkungan yang aman dan telindungi agar dapat berfungsi secara efektif; ketiga
adalah rasa cinta dan rasa memilki meliputi kebutuhan untuk mendapatkan dan
memberikan afeksi serta untuk memberikan kontribusi pada anggota dari beberapa
kelompok atau lingkungan sosial setelah memenuhi kebutuhan tahap ini maka
orang akan berjuang untuk memenuhi kebutuhan penghargaan; keempat
kebutuhan penghargaan yaitu kebutuhan untuk mengembangkan rasa harga diri
dengan mengetahui jika orang tersebut mengetahui dan menghargai
kompetensinya; dan kelima aktualisasi diri yaitu keadaan pemenuhan diri ketika
orang menyadari potensi tertinggi mereka dalam cara unik mereka sendiri.
3. Lebih Suka Memakai Kebiasaan dan Cara Berpikir Lama
King (2010) menyatakan bahwa berpikir (thinking) melibatkan proses
memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep
abstrak, menyelesaikan masalah, mengambil keputusan dan melakukan refleksi
kritis atau menghasilkan gagasan kreatif. Ia juga menambahkan bahwa cara
berpikir akan menentukan proses kognitif yang terjadi dalam pemecahan sebuah
masalah, penalaran, dan pengambilan keputusan yang akhirnya berpengaruh pada
konsep berpikir dari peserta didik yang bersangkutan. Konsep berpikir tersebut
adalah kategori – kategori mental yang digunakan untuk mengelompokkan objek
– objek, kejadian – kejadian, dan beragam sifat, hal tersebut karena manusia
memiliki kemampuan khusus untuk menciptakan kategori – kategori makna
terhadap informasi yang ada di dunia (Fiest dan Fiest, 2010).

Solusi untuk mengatasi kendala ini adalah pada proses belajar perlu
dilakukan remediasi (pengulangan pesan) yang dilakukan secara bertahap. Hal
tersebut karena belajar merupakan suatu proses yang memerlukan intelektual /
pikiran (akal) dan emosi / perasaan (budi). Feldman (2012) menyatakan bahwa
pengulangan dalam pendidikan tersebut dapat dilakukan melalui latihan, dimana
proses ini cara ini dilakukan untuk mentransfer memori jangka pendek ke memori
jangka panjang. Transfer yang dibuat dari memori jangka pendek ke memori
jangka panjang ini sepertinya sangat tergantung pada jenis latihan yang di
lakukan. Ia menyarankan agar informasi tersebut dapat masuk ke memori jangka
panjang perlu di lakukan latihan elaboratif. Latihan ini terjadi ketika informasi
diperhatikan dan diorganisasi dalam beberapa cara. Organisasi ini mungkin
melibatkan perluasan informasi untuk membuatnya sesuai dengan kerangka
berpikir logis tertentu, mangaitkan informasi tersebut dengan memori lain,
mengubahnya menjadi gambar sebuah gambar, atau mengubahnya dalam
beberapa cara lain. Salah satu strategi yang digunakan untuk latihan ini adalah
dengan menggunakan mnemonics, yaitu teknik formal untuk mengorganisasi
informasi dalam sebuah cara untuk membuat informasi tersebut lebih dapat
diingat.
4. Lebih Suka pada Hal yang Bersifat Pengalaman
King (2010) menyatakan bahwa orang dewasa cenderung menyukai pada
hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang
membaik seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan
(wisdom). Kebijaksanaan ini meliputi pengetahuan peserta didik mengenaik aspek
praktis dalam hidup. Kebijaksanaan ini mungkin meningkat seiring bertambahnya
usia karena bertambahnya pengalaman hidup. Dengan kata lain orang dewasa
cenderung dapat mengembangkan dirinya melalui pengalaman dan kesulitan
hidup yang dilaluinya akibatnya pengalaman dari peserta didik akan bertentangan
dengan struktur pemikiran dari pendidik. Ia juga menyarankan bahwa untuk
mendidik pada situasi semacam ini pendidik / penyuluh perlu melakukan asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi dilakukan dengan menjelaskan keadaan lingkungan
yang bersangkutan melalui struktur pemikiran dari si pendidik dan akomodasi
dilakukan dengan memodifikasi struktur pemikiran pendidik (dengan kata lain
mengubah cara berpikir dari peserta didik).

Cervone dan Pervin (2012) menyatakan orang dewasa lebih suka pada hal
yang bersifat pengalaman karena mereka memliki ketahanan psikologis.
Ketahanan psikologis tersebut disebabkan karena meningkatnya kebijaksanaan
pribadi walaupun mungkin terjadi penurunan kognitif. Hal tersebut terjadi karena
orang dewasa memilih domain tertentu dalam kehidupan di mana mereka
memfokuskan energi dan pengetahuan mereka, sehingga dapat dimungkkinan
mereka sangat mampu mempertahankan tingkat dari fungsi dan kesejahteraan
dalam domain kehidupan yang dipilih dimana hal ini berkaitan erat dengan
kebiasaan mereka. Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan teori Carl
Gustav Jung dapat di analisis bahwa kemungkinan besar orang dewasa mampu
memfokuskan energi dan pengetahuan mereka disebabkan oleh dominansi tipe
kecerdasan pada salah satu bagian otak yang ada di dalam diri sejak mereka lahir
dimana ini akan menjadi naluri berpikir seumur hidup mereka dan dominansi ini
bersifat genetik (merupakan karpet merah (anugrah) yang di berikan oleh Yang
Maha Kuasa) (Poniman, 2011).
5. Perlu bukti konkrit
Pendidik / penyuluh dalam mendidik perlu memberikan bukti konkrit ke
peserta didik. Pemberian bukti konkrit tersebut dapat berupa demonstrasi ataupun
memberi contoh fakta kepada peserta didik dalam bentuk media visual, audio
maupun kinestetik kepada peserta didik. King (2010) melalui penelitian
longitudinal K.Warner Schaie tentang kemampuan intelektual orang dewasa,
menyatakan bahwa orang dewasa perlu di berikan bukti konkrit karena pada masa
dewasa mengalami penurunan dua dari keenam kemampuan intelektual yaitu
kemampuan numerik (kemampuan untuk mengenali dan mengingat unit bahasa,
seperti daftar kata – kata) dan kecepatan penginderaan (kemampuan untuk secara
cepat dan tepat membuat pembedaan dari rangsang visual) terutama pada masa
dewasa tengah. Kecepatan pengideraan menunjukan penurunan terlebih dahulu,
yaitu dimulai pada masa dewasa awal.

Cervone dan Pervin (2012) menambahkan melalui teori Bandura bahwa


orang dewasa cenderung melakukan pembelajaran secara observasional
(pemodelan / demosntrasi) kemampuan untuk mempelajari bentuk kompleks pada
perilaku hanya dengan mengamati sebuah model tampilan perilaku. Proses
pemodelan dapat lebih kompleks dibandingkan imitasi sederhana atau mimikri.
Proses tersebut melibatkan pada bagaimana orang akan mempelajari aturan secara
umum mengenai perilaku dengan mengamati orang lain, sehingga orang dewasa
dengan cara yang demikian dapat mempelajari respon kognitif dan respon
emosional tertentu dengan merasakan menjadi model, seolah – olah
mengalaminya dengan mengamati model. Feldman (2012) lebih jauh lagi
menambahkan bahwa dalam informasi yang didapatkan melalui proses
pembelajaran yang dilakukan dengan cara demonstrasi secara obervasional, akan
masuk ke dalam memori jangka panjang, terutama memori prosedural dan memori
episodik. Memori prosedural merupakan memori tentang kecakapan dan
kebiasaan atau menyimpan informasi tentang bagaimana cara melakukan sesuatu
sedangkan memori episodik adalah memori tentang kejadian – kejadian yang
terjadi pada waktu, tempat atau konteks tertentu (kapan dan bagaimana).
6. Harus sesuai dengan kebutuhan
Kegiatan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari orang dewasa
yang bersangkutan. Feldman (2012) menyatakan melalui teori self-determination
(teori determinasi diri) bahwa kebutuhan pendidikan berkaitan dengan tiga
kebutuhan dasar yaitu kompetensi, otonomi dan keterikatan. Kebutuhan –
kebutuhan ini bersifat bawaaan dan ada dalam setiap orang. Kebutuhan ini
mendasar untuk pertumbuhan dan fungsi manusia, seperti air, tanah, dan sinar
matahari yang penting untuk pertumbuhan tumbuhan. Serupa dengan itu, teori
determinasi diri menyatakan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk
tumbuh dan memenuhi diri, dan siap untuk muncul ketika diberikan konteks yang
tepat. King (2010) secara rinci menjelaskan tiga kebutuhan dasar tersebut antara
lain
 Kompetensi. Kebutuhan organismik pertama yang sebutkan dalam teori
determinasi diri. Kebutuhan ini dapat dipenuhi ketika individu merasa
mampu untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan.
 Keterhubungan. Kebutuhan organismik kedua yang sebutkan dalam teori
determinasi diri sebagai kebutuhan untuk terlibat dalam hubungan yang
hangat dengan orang lain.
 Otonomi. Merupakan kebutuhan terakhir yang disebutkan dalam teori
determinasi. Kebutuhan ini dideskripsikan sebagai perasaan bahwa individu
dapat mengendalikan kehidupan kita. Otonomi berarti menjadi mandiri dan
data mengandalkan diri. otonomi merupakan aspek penting dalam perasaan
bahwa perilaku seseorang termotivasi oleh diri sendiri dan muncul dari
murni minat.

Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa tiga unsur tersebut harus
dilengkapi dengan kecederungan untuk aktualisasi diri (self-actualization)
sebagaimana dirasakan oleh kesadaran sehingga pengalaman peserta didik selaras
dengan pandangan mereka terhadap diri. Tujuannya adalah supaya pendidikan
yang di lakukan tersebut berhasil, karena orang dewasa mempunyai sifat dasar
seperti manusia pada umumnya yaitu mereka lebih tertarik pada diri mereka.
3.2.3 Hambatan perilaku
1. Harapan Penyelenggara
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dipertimbangkan pendidik
diantaranya adalah keselarasannya (harapan penyelenggara), dengan harapan
peserta didik. Menurut Feldman (2012) dalam mempertimbangkan harapan pada
peserta didik, pendidik harus memperhatikan tiga kebutuhan yang menyebabkan
seseorang mempunyai harapan antara lain
 Kebutuhan berprestasi adalah karakteristik yang stabil dan dipelajari
ketika seseorang mendapatkan kepuasan dengan berjuang untuk dan
mencapai tingkat kesempurnaan.
 Kebutuhan berafiliasi adalah ketertarikan untuk membangun dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain (berusaha menjalin
pertemanan). Para individu dengan tingkat kebutuhan berafiliasi yang tinggi
biasanya sensitif terhadap hubungan dengan orang lain. Mereka ingin
menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman – teman mereka dan lebih
sedikit waktu untuk menyendiri.
 Kebutuhan berkuasa adalah tendensi untuk mencari pengaruh, kontrol
atau pengaruh terhadap orang lain dan untuk dilihat sebagai seorang
individu yang berkuasa (berusaha memberikan pengaruh pada orang lain).
Individu tipe ini biasanya lebih cenderung terlibat dalam organisasi. Mereka
juga cenderung bekerja dalam profesi yang kebutuhan berkuasa mereka
akan mendapat pemenuhan seperti manajemen bisnis

King (2010) menambahkan bahwa dengan memperhatikan tiga kebutuhan


tersebut. Pendidik dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang optimisme.
Optimisme yang dimaksud disini adalah pengharapan bahwa hal – hal lebih baik
mungkin terjadi dan hal – hal buruk kecil kemungkinannya terjadi di masa depan.
Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa optimisme hampir serupa dengan
efikasi diri, yaitu keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan
suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam
lingkungan.
2. Harapan Peserta
Jarang sekali orang dewasa menghadiri suatu program pendidikan dengan
harapan tertentu. Makin tinggi harapan peserta didik, akan menjadi semakin sulit
pendidik untuk dapat memenuhi harapan tersebut. Menurut Fiest dan Fiest (2010)
harapan memiliki keterkaitan erat dengan efikasi diri. Efikasi diri pada setiap
orang bervariasi dari satu situasi ke situasi lain, tergantung pada kompetensi yang
dibutuhkan untuk kegiatan yang berbeda; ada atau tidaknya orang lain;
kompetensi yang dipersepsikan dari orang lain tersebut, terutama apabila mereka
adalah kompetitor; predisposisi dari orang tersebut yang lebih condong terhadap
kegagalan atas performa daripada keberhasilan; kondisi psikologis yang
mendampinginya, terutama adanya rasa kelelahan, kecemasan, apatis dan
ketidakberdayaan.

Cervone dan Pervin (2012) menambahkan bahwa efikasi diri yang tinggi
dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif
untuk menghasilkan empat variabel prediktif. Ketika efikasi diri tinggi dan
lingkungan responsif, hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat efikasi
rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, peserta didik mungkin
akan merasa depresi karena mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil
melakukan suatu tugas yang terlalu sulit untuknya. Saat seseorang dengan efikasi
diri yang tinggi menemui situasi lingkungan yang tidak responsif, biasanya akan
meningkatkan usahanya untuk mengubah lingkungan. Orang tersebut dapat
melakukan protes – protes, kegiatan aktivis sosial, atau bahkan kekuatan untuk
memulai perubahan; namun saat semua usaha tersebut gagal maka orang tersebut
akan menyerah dan mencari lingkungan baru yang lebih responsif. Berdasarkan
hal tersebut dapat di analisis bahwa penyelenggara / penyuluh harus menciptakan
lingkungan yang responsif bagi peserta didik. King (2010) menguatkan bahwa hal
– hal lain yang mampu memberikan harapan pada peserta didik adalah keyakinan
religius. Partisipasi religius juga dapat memberikan dampak positif terhadap
kesehatan melalui hubungannya dengan dukungan sosial. Pikiran yang religius
dapat berperan menjaga harapan dan menstimulasi perubahan hidup yang positif.
3. Ragu Apakah dapat diterapkan / Tidak
Ketidakselarasan antara harapan peserta didik dengan harapan
penyelenggara menimbulkan keraguan. Keraguan (skeptis) tersebut biasanya
sering di alami oleh penyelenggara / pendidik / penyuluh apakah materi yang di
ajarkan pada peserta sesuai atau tidak dengan harapan peserta didik, hal tersebut
keraguan muncul karena diawali dari kecemasan. Menurut Fiest dan Fiest (2010),
kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai kesadaran bahwa kejadian yang
dihadapkan pada seseorang berada di luar jangkauan praktis dari sistem konstruk
orang tersebut. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan seseorang akan merasa
cemas jika tidak memiliki konstruk, ketika seseorang telah “kehilangan pegangan
strukturalnya pada peristiwa, ketika seseorang terjebak dalam konstruk yang
buruk”. Orang melindungi dirinya dari kecemasan dalam berbagai cara
diantaranya individu mungkin memperluas suatu konstruk dan memudahkannya
untuk bisa diaplikasikan pada berbagai jenis peristiwa, atau mereka mungkin
membatasi konstruk mereka dan berfokus pada detail tertentu.

Giblin (2004) menyarankan untuk menghindari terjadinya skeptis tersebut


maka antar penyuluh perlu memahami dan menerapkan cara terampil meyakinkan
orang. Caranya adalah anda tidak membuat pernyataan itu secara langsung,
melainkan mengutip seseorang. Ia juga menambahkan bahwa agar pendidik tidak
merasa ragu apakah materi yang diajarkan sesuai maka perlu melakukan regulasi
diri yaitu dengan cara memotivasi diri untuk menyusun tujuan – tujuan pribadi,
merencanakan strategi serta mengevaluasi dan memodifikasi perilaku yang akan
mereka lakukan, tetapi juga menghindari lingkungan dan impuls emosional yang
akan mengganggu perkembangan seseorang. King (2010) juga menambahkan
bahwa untuk melakukan regulasi diri tersebut perlu membuat tujuan – tujuan yang
spesifik, berjangka pendek dan menantang, karena sebuah tujuan yang tidak jelas
dan rancu akan menyebabkan kegiatan yang dilakukan pendidik dalam mengajar
menjadi tidak pasti. Ia juga menyarankan untuk merencanakan bagaimana
mencapai tujuan dan mengawasi serta secara sistematis mengevaluasi pencapaian
tujuan secara konsisten.
4. Sulit Menerima Perubahan
Pendidik tidak jarang menghadapi peserta didik yang sulit menerima
perubahan. Berdasarkan hal tersebut maka pendidik perlu mengubah jenis sasaran
peserta didik ke pengetrap awal. Menurut King (2010) pengetrap awal yang di
jadikan sasaran pendidikan adalah mereka yang mengalami perubahan fisik pada
masa dewasa awal dan mereka yang mengalami perubahan fisik pada dewasa
tengah.

Peserta didik dewasa awal biasanya berumur sekitar 20 – 30 tahun dimana


pada masa ini kondisi fisik mereka mengalami puncak produktivitas baik fisik,
mental dan kognitifnya, ia juga menambahkan bahwa pada masa dewasa awal
mereka memiliki pemikiran yang lebih realistis dan pragmatis, berpikir secara
relatif dan reflektif, mampu mengenali sudut pandang dunia yang bersifat
subjektif dan memahami perbedaan – perbedaan sudut pandang dunia yang harus
diakui (dengan kata lain, kemampuan intelektual mereka sangat kuat pada masa
dewasa awal). Peserta didik dewasa tengah biasanya berumur sekitar 30 – 50
tahun. pada masa ini peserta didik sudah mengalami penurunan pada penampilan
fisik diantaranya adalah kulit yang keriput dan kendur karena hilangnya sejumlah
lemak dan kolagen, performa reproduksi yang menurun. Sedangkan pada aspek
kognitif terjadi penurunan fluid intelligence (yang melibatkan kecerdasan
pemrosesan informasi, seperti memori, kalkulasi dan pemecahan analogi) namun
di sisi lain terjadi kestabilan dan peningkatan crystallized intelligence (kecerdasan
berdasarkan akumulasi informasi, kecakapan dan strategi yang dipelajari melalui
pengalaman) (Feldman, 2012).

Cervone dan Pervin (2012) menguatkan bahwa pada masa dewasa awal dan
tengah mereka cenderung memiliki ketahanan psikologis. Mereka umumnya
mampu menahan kesulitan yang menyertai di kemudian tahun dan
mempertahankan rasa diri dan kesejahteraan pribadi. Berdasarkan hal tersebut
maka penyuluh atau pendidik hendaknya memfokuskan sistem pengajarannya
pada pengetrap awal kemudian setelah itu baru pada pengetrap akhir dan jika
dimungkinkan diterapkan kepada laggard.
46

IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN


ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI

4.1. Suasana
4.1.1. Suasana Pendidikan Aktif
Suasana dimana seluruh sasaran pendidikan (dalam bentuk individu maupun
kelompok) yaitu manusia aktif secara fisiologi (panca indera) dan psikologi
(mental). Aktif secara fisiologi yang dimaksud adalah sasaran pendidikan aktif
secara jasmaniah atau berkaitan dengan faktor – faktor fisik antara lain
pendengaran, penglihatan, struktur tubuhnya, (Eryanto dkk, 2013) sedangkan aktif
secara psikologi adalah sasaran pendidikan aktif secara non – fisik di mana terdiri
atas faktor intelektif dan faktor non – intelektif. Menurut Ahmadi dan Supriyono
(2004) faktor intelektif meliputi (1) faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat;
(2) faktor kecakapan nyata berupa prestasi yang telah di miliki sedangkan faktor
non – intelektif berupa (1) unsur – unsur kepribadian tertentu seperti sikap,
kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri; (2) faktor
kematangan fisik maupun psikis; (3) faktor lingkungan spiritual dan keamanan.
Feldman (2012) mengatakan bahwa emosi merupakan perasaaan yang secara
umum memiliki elemen fisiologis dan kognitif serta memengaruhi perilaku
terutama dalam proses pembelajaran, dalam hal ini adalah terjadinya reaksi
intingtif terhadap kejadian tubuh yang terjadi sebagai respon terhadap beberapa
situasi atau kejadian lingkungan.

King (2010), menambahkan bahwa umumnya orang dewasa muda mencapai


perubahan kemampuan fisik pada usia 20 – an dan usia tersebut merupakan masa
seseorang berada di puncak kesehatannya terutama pada kekuatan dan kecepatan
dalam belajar dan berlatih, di sisi lain dewasa muda merupakan masa di mana
kemampuan fisik mulai mengalami penurunan. Penurunan kekuatan dan
kecepatan belajar mulai terlihat nyata pada akhir usia 30 - an sehingga faktor
umur perlu di pertimbangkan dalam pendidikan orang dewasa.
47

4.1.2. Suasana Saling Menghormati


Merupakan suasana di mana ada rasa menghormati (penghargaan) antara
orang sasaran pendidikan dengan pendidik. Suasana tersebut tercermin dengan
adanya keseimbangan antara tuntutan hak dan kewajiban dari masing - masing
sasaran pendidik dan pendidik (King, 2010). Menurut Arliani (2012), sikap saling
menghormati merupakan bagian dari pendidikan di mana merupakan upaya untuk
memperbaiki karakter bangsa dengan cara memberikan harga atau memberikan
penilaian yang baik karena suasana saling menghormati atau menghargai tersebut
muncul karena setiap orang (termasuk sasaran pendidikan dan pendidik) ingin di
hargai.

Giblin (2004) menguatkan bahwa adanya keinginan untuk dihargai tersebut


muncul karena KODRAT MANUSIA itu sendiri di mana kodrat tersebut
merupakan kata kunci utama munculnya keinginan untuk di hormati terutama
dalam berkomunikasi saat mendidik orang dewasa, yaitu ORANG TERUTAMA
TERTARIK PADA DIRI MEREKA SENDIRI, BUKAN PADA ORANG
LAIN, dengan kata lain, orang lain sepuluh ribu kali lebih tertarik pada dirinya
sendiri daripada orang lain (lawan bicara) di dunia ini dan hal tersebut akan tetap
berlaku sampai akhir zaman, karena manusia di tempatkan di Bumi dengan kodrat
seperti itu. Hal tersebut terjadi karena tindakan manusia di atur oleh pikirannya
sendiri atau kepentingan dirinya, sifat tersebut sangat kuat dalam diri manusia
sehingga pikiran menonjol dalam kasih sayang adalah kepuasan yang di peroleh si
pemberi dengan memberi, bukan dengan menerima. Berdasarkan hal tersebut
pendidik hendaknya memahami kodrat manusia peserta didik dengan cara
mengenali dan mengakui orang sebagaimana mereka adanya bukan apa yang
pendidik kira / pikirkan tentang mereka, dan bukan pendidik menginginkan
mereka menjadi apa, karena dengan memahami kodrat manusia maka pendidik
dapat mengetahui mengapa orang – orang melakukan hal – hal yang mereka
lakukan dan hal ini akan menjadi dasar yang kokoh bagi pendidik untuk menjalin
hubungan baik dengan peserta didik atau secara sederhananya pendidik menjadi
terampil dalam mendidik peserta didik
4.1.3. Suasana Saling Percaya
Merupakan suasana di mana peserta didik dan pendidik saling percaya
sehingga tercipta suasana saling keterbukaan dan mempunyai keinginan untuk
memperbaiki diri. Menurut Kementan (2012), suasana saling percaya di pedesaan,
terutama peternak – peternak baik antar anggota maupun kelompok pendidikan
dapat di wujudkan dengan menciptakan suasana keterbukaan di dalam kelompok
pendidikan dengan langkah – langkah yang terdiri atas:

 Menetapkan tujuan secara bersama


 Pemilihan pengurus kelompok pendidikan secara demokratis
 Menciptakan suasana keterbukaan dalam kelompok
 Mendorong anggota kelompok berperan aktif
 Melakukan pergantian pengurus kelompok pendidikan
 Menguatkan organisasi kelompok

Langkah – langkah tersebut di atas dapat berjalan dengan baik apabila


terdapat komunikasi yang baik dengan pihak peternak – peternak sebagai peserta
didik terhadap pendidik. Arliani (2012) menambahkan memahami orang lain
merupakan salah satu kunci dalam berkomunikasi. Berdasarkan teori tersebut,
maka pemahaman orang lain dapat dilakukan melalui pendekatan teori Giblin
(2004), dengan cara mengenali dan mengakui KODRAT MANUSIA karena ini
merupakan pengetahuan dasar yang kokoh ketika berkomunikasi dengan orang,
selanjutnya adalah berkomunikasi sesuai dengan topik yang paling menarik pada
peserta didik yaitu DIRI PESERTA DIDIK tersebut atau permasalahan dari
peserta didik yang bersangkutan, karena dengan cara ini pendidik mengusap
mereka dengan cara yang benar. Teknik ini dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu pertama sebisa mungkin singkirkan tiga kosa kata yaitu “Saya, Aku,
Milikku” dan kedua memancing mereka untuk berbicara tentang diri atau
permasalahan peserta didik. Singkatnya pendidik mengorbankan kepuasan yang
diperoleh dari berbicara tentang dirinya dengan cara berbicara tentang diri
mereka.
4.1.4. Suasana untuk Menemukan Jati Diri
Suasana pendidikan harus di arahkan agar peserta didik menemukan kata
kunci diri mereka, dengan dua cara pertama adalah mendeteksi diri apakah
peserta sudah mengalami perubahan signifikan menuju arah yang sesuai atau
mengalami penurunan dan kedua adalah arahkan peserta untuk mengikuti
perubahan luar dengan cara perlahan – lahan mengubah kebiasaan dari segala
sesuatu yang diperlukan hingga pada akhirnya sepenuhnya berubah mengikuti alur
irama baru selanjutnya adalah pendidik harus melihat passion atau sesuatu
kegiatan atau aktivitas membuat peserta didik merasa senang, rela mengorbankan
waktu, tenaga dan dana untuk melatihnya sehingga pendidik dapat mengarahkan
peserta peserta didik sesuai minat dan bakatnya (Azzaini, 2013).

Pendidik berkewajiban mengarahkan peserta didik pada hakikat manusia


yang pertama dan paling utama yaitu sebagai makhluk yang terikat oleh Tuhan,
sehingga pendidik berkewajiban melihat kepercayaan pada peserta pendidik dan
menerangkan hal – hal yang bersifat religius sesuai dengan jenis kepercayaan
yang di anutnya (Arliani, 2012). Kedua adalah arahkan peserta didik untuk
bersikap mandiri ketika berada di lingkungan, sikap mandiri tersebut di tujukan
dengan keberanian peserta didik untuk mendeskripsikan diri (bercerita) namun
sebagian besar peserta didik mengalami ketakutan untuk mendekripsikan diri
sehingga peserta didik akan menarik diri dari pergaulan dan berusaha sekecil
mungkin untuk berkomunikasi, dan hanya akan berbicara apabila terdesak saja,
bila kemudian terpaksa berkomunikasi, pembicaraanya seringkali tidak relevan,
sebab berbicara relevan akan mengundang reaksi orang lain, dan ia akan di tuntut
berbicara lagi (Wahyuni, 2014). Ketiga adalah menemukan permasalahannya
yaitu dengan di arahkan untuk menemukan hakikat jati dirinya secara rasional.
Fiest dan Fiest (2010) menyarankan untuk menemukan hakikat jati dirinya secara
rasional pendidik perlu memberikan penghargaan diri yang positif. Penghargaan
positif itu didefinisikan sebagai pengalaman menghargai diri sendiri. Hal tersebut
harus diyakini oleh pendidik bahwa menerima penghargaan positif dari orang lain
diperlukan dalam memberikan penghargaan positif pada diri sendiri.
4.1.5. Suasana Tidak Mengancam
Suasana pendidikan yang aman merupakan suasana lingkungan yang tidak
ada ancaman dimana menyebakan peserta didik mengalami stress. Misal: tempat
yang tidak mengalami musibah seperti gempa, gunung meletus, banjir dan lain –
lain. Menurut King (2010) dari sisi psikologi stress di definisikan sebagai respon
individu terhadap stresor yaitu lingkungan atas peristiwa yang mengancam
mereka dan membebani kemampuan coping peserta didik. Coping yang dimaksud
di sini merupakan salah satu jenis pemecahan masalah yang prosesnya melibatkan
mengelola situasi yang berlebihan, meningkatkan usaha untuk menyelesaikan
permasalahan – permasalahan kehidupan dan mencari cara untuk mengalahkan
stress atau menguranginya. Definisi tersebut muncul karena manusia dapat
berpikir dan bernalar serta mengalami banyak situasi sosial dan lingkungan. Ia
juga menjelaskan berdasarkan hasil penelitian Hans Selye yaitu seorang pelopor
penelitian stress kelahiran Austria, bahwa stres merupakan sejumlah perubahan
fisiologis pada tubuh saat mempersiapkan dirinya sendiri untuk menangani stres
yang berakibat kerusakan pada tubuh di karenakan tuntutan yang diberikan
kepadanya.

Feldman (2012) menguatkan bahwa perubahan fisiologis sebagian besar


berkaitan erat dengan divisi sistem saraf otonom di mana berfungsi mengontrol
tubuh secara tidak sadar sehingga tetap hidup, dengan cara memainkan suatu
peran yang penting terutama pada kondisi darurat / kritis terutama saat stres
dengan cara mengaktivasi divisi simpatis dan divisi parasimpatis. Divisi simpatis
bertindak mempersiapkan tubuh mengambil tindakan dalam situasi yang penuh
tekanan tersebut dengan cara menyatukan seluruh sumber yang ada untuk
mengantisipasi ancaman yang ada sedangkan divisi parasimpatis bertindak
menenangkan tubuh setelah situasi darurat terlewati dengan mengarahkan tubuh
untuk menyimpan energi untuk digunakan dalam kondisi darurat selanjutnya.
Berdasarkan teori tersebut penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan
tingkat ancaman pada lingkungan.
4.1.6. Suasana Keterbukaan
Mengakui kekhasan kepribadian sehingga perlu dilakukan remediasi
dengan mendidik orang secara individu bukan secara umum biasanya di lakukan
pada orang yang berkepribadian menyimpang. Teknik remediasi tersebut di
lakukan bertujuan untuk mengubah keadaan individu dengan memperbaiki
keterampilan kognitif (King, 2010). Konsep dalam teknik tersebut meliputi latihan
berulang, modifikasi instruksional dan memberikan instruksi rinci dan
mendapatkan umpan balik segera serta penguatan positif berupa benda lain
sebagai penghargaan terhadap reaksi yang diharapkan muncul. Fiest dan Fiest
(2010) menambahkan bahwa proses penguatan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan penguatan internal dimana penguatan internal tersebut terkait
dengan persepsi peserta didik dan persepsi tersebut pada akhirnya berpengaruh
pada peningkatan penguatan eksternal dimana merujuk pada kejadian, kondisi
atau tindakan yang diberikan nilai oleh masyarakat atau budaya seseorang.

Feldman (2012) menguatkan bahwa upaya untuk memperbaiki keterampilan


kognitif dapat dilakukan dengan mentransfer material dari memori jangka pendek
ke memori jangka panjang melalui latihan elaboratif. Latihan elaboratif tersebut di
lakukan dengan memperhatikan dan mengorganisasikan informasi dalam beberapa
cara. Organisasi tersebut kemungkinan melibatkan perluasan informasi untuk
membuatnya sesuai dengan kerangka berpikir logis tertentu, mengaitkan informasi
tersebut dengan memori lain, mengubahnya menjadi sebuah gambar, atau
mengubahnya dalam beberapa cara lain. Misalnya, sebuah daftar sayuran yang
akan di beli di supermarket dapat disimpan dalam memori sebagai bahan – bahan
pembuat salad, dapat di kaitkan dengan item – item yang telah di beli pada belanja
sebelumnya, atau dapat diingat dalam bentuk gambaran sebuah peternakan dengan
baris yang terdiri atas setiap item tersebut. Strategi organisasional seperti ini
disebut dengan mnemonics yaitu merupakan teknik formal untuk mengorganisasi
informasi dalam sebuah cara yang membuat informasi tersebut lebih dapat di ingat
atau dengan kata lain, peserta didik dapat dengan luas meningkatkan penyimpanan
informasi dalam dirinya melalui teknik tersebut.
Semiun Y (2006) berpendapat bahwa penyebab terhambatnya sikap
keterbukaan adalah aspek kognitif dan aspek hati. Aspek kognitif meliputi
gangguan kecemasan yang menunjukkan kekhawatiran dan keprihatinan
mengenai bencana yang diantisipasi individu. Aspek suasana hati. Aspek-aspek
suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, panik dan
kekhawatiran, individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan
adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang
tidak diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya adalah depresi dan sifat
mudah marah. Taylor (2011) menambahkan bahwa untuk memunculkan suasana
keterbukaan pendidik harus memunculkan rasa percaya diri pada peserta didik,
yang dimaksud rasa percaya diri tersebut adalah keyakinan seseorang akan
kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk
mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana
kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan
tanpa kita sadari.

Giblin (2004) menambahkan, cara yang paling praktis dalam


memunculkan suasana keterbukaan adalah membuat peserta didik merasa penting,
karena sifat paling umum dan melekat begitu kuat pada manusia sehingga
membuat orang melakukan apa yang mereka lakukan walaupun itu baik atau
buruk. Sifat tersebut adalah hasrat untuk menjadi penting, hasrat untuk di akui
karena bagi orang lain, Dia sama pentingnya bagi dirinya sendiri seperti Anda
penting bagi diri Anda maka sebagai pendidik memanfaatkan sifat ini adalah salah
satu cara untuk menciptakan suasana keterbukaan karena semakin anda membuat
orang merasa penting maka semakin besar tanggapan mereka pada anda.
Beberapa langkah yang di rekomendasikan oleh Giblin terdiri atas: (1)
dengarkanlah mereka; (2) puji dan hargai jika mereka patut mendapatkannya (3)
gunakan foto dan nama mereka sesering mungkin; (4) berhenti sejenak sebelum
menjawab mereka; (5) gunakan kata “anda” dan “milik anda” (6) perhatikan
setiap orang; (7) sambut orang yang menunggu untuk bertemu anda.
4.1.7. Suasana Membenarkan Perbedaan
Pendidik harus menciptakan suasana membenarkan perbedaan kebenaran
karena perbedaan kepribadian maksudnya adalah pendidik memberikan toleransi
terhadap berbagai jenis kepribadian peserta didik yang berbeda. Purba dan Ali
(2004) dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa berbagai jenis kepribadian
peserta didik dipengaruhi oleh trait extraversion yang ditampilkan dalam bentuk
mudah bergaul dan aktif, trait openness to experience yang ditampilkan dalam
bentuk imajinatif dan kreatif, trait conscientiousness yang ditampilkan dalam
bentuk bertanggung jawab, tekun, dan berorientasi pada keberhasilan.

Ketiga jenis sifat tersebut berpengaruh terhadap persepsi dan kemampuan


peserta didik dalam memberikan pertanyaan maupun pendapat (King, 2010),
sehingga pendidik harus mempunyai cara terampil dalam menyetujui pendapat
orang lain (peserta didik). Giblin (2004) menyarankan salah satu hal yang dapat di
lakukan untuk menjadi terampil dalam menyetujui pendapat orang lain adalah
pendidik harus menguasai Seni Bersedia Menyetujui karena hal tersebut
merupakan salah satu mutiara kebijaksanaan di mana akan sangat membantu
pendidik dalam mendidik peserta didik dan ini membutuhkan, kepandaian, hati
yang kuat. Teknik ini dibentuk karena mempunyai beberapa alasan yaitu orang
menyukai mereka yang setuju dengan mereka; orang tidak menyukai mereka yang
tidak setuju dengan mereka dan orang tidak suka bila tidak di setujui. Seni
Bersedia Menyetujui mempunyai enam bagian antara lain:
 Belajar untuk mau menyetujui, setuju dengan orang lain
 Katakan pada orang bila anda setuju dengan mereka
 Jangan katakan pada orang bila anda tidak setuju dengan mereka, kecuali
mutlak perlu
 Akuilah bila anda salah
 Tahanlah diri anda untuk tidak berdebat
 Tanganilah orang yang berkelahi dengan tepat
4.1.8. Suasana Mengakui Hak untuk Berbuat Salah
Suasana yang di maksud disini adalah bahwa baik peserta didik dan
pendidik dalam proses pembelajaran, mengakui secara lantang atau bersikap jujur
jika melakukan suatu kesalahan saat proses pendidikan berlangsung apabila
kesalahan yang di lakukan tersebut secara sengaja atau tidak di sengaja merugikan
pendidik maupun peserta didik. Menurut Giblin (2004) dibutuhkan sikap berjiwa
besar untuk melakukan hal tersebut dan orang akan kagum pada siapapun yang
melakukan ini. Arliani (2012), menambahkan sikap seperti yang disebutkan oleh
Giblin diatas termasuk sikap saling menghargai. Sikap saling menghargai tersbut
merupakan bentuk pengendalian diri. Orang semacam ini adalah orang yang dapat
menghargai orang lain tidak akan menyakiti siapapun, baik dalam bentuk
perkataan (lisan maupun tulisan) maupun perbuatan, tahu berterimakasih,
memahami orang lain peduli sekeliling, senang membantu orang lain, dan
bersedia antri sehingga peserta didik akan tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak
mulia dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perkembangan kognisi ketika
saat memasuki masa tua. King (2010) menambahkan bahwa beberapa aspek
kognisi yang membaik seiring dengan bertambahnya usia terutama pada orang
dewasa yang lebih tua salah satunya adalah kebijaksanaan (wisdom),
pengetahuan pakar mengenai aspek praktis dalam hidup. Kebijaksanaan mungkin
meningkat seiring bertambahnya usia karena bertambahnya pengalaman hidup,
akan tetapi tidak semua orang dewasa yang lebih tua memiliki kebijaksanaan hal
tersebut karena perbedaan tersebut dipengaruhi oleh tiga tahap dewasa Erickson di
mana terjadi sepanjang hidup manusia, tiga tahapan tersebut antara lain:

 Intimacy versus isolation (masa dewasa awal): Merupakan masa dimana


seseorang menghadapi tugas perkembangan antara menjalin hubungan intim
dengan orang lain atau terisolasi secara sosial.
 Generativity versus stagnation (masa dewasa tengah): Masa dimana
seseorang cenderung membantu generasi yang lebih muda untuk
mengembangkan kehidupan yang bermakna
 Integrity versus despair (masa dewasa akhir): masa evaluasi hidup.
4.1.9. Suasana Membolehkan Keraguan
Orang dewasa yang berkumpul untuk belajar bersama, sering kali
menghasilkan beberapa alternatif atau teori. Pemaksaan untuk menerima salah
satu sebagai yang paling tepat, paling benar, dapat menghambat proses belajar.
Keraguan harus diperkenankan dalam waktu yang cukup, agar tercapai keputusan
akhir yang memuaskan, dengan kata lain pendidik memberikan waktu bagi peserta
didik untuk berfikir. Menurut King (2010), berpikir melibatkan proses
memanipulasi informasi secara mental, seperti membentuk konsep – konsep
abstrak menyelesaikan beragam masalah, mengambil keputusan, dan melakukan
refleksi kritis atau menghasilkan gagasan kreatif sehingga pada bagian tersebut
akan di lihat karakteristik dasar konsep – konsep yaitu komponen mendasar dalam
proses – proses kognitif (berpikir) yang terjadi dalam pemecahan sebuah masalah,
penalaran dan pengambilan keputusan. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan bahwa
proses – proses kognitif berkaitan dengan afektif dimana meliputi semua aspek
psikologis, sosial, dan fisiologis dari manusia yang menyebabkan mereka
berinteraksi dengan lingkungan mereka dengan variasi yang lebih stabil. Contoh
dari interaksi tersebut antara lain berpikir, membuat rencana, merasa dan
mengevaluasi; tidak hanya sekadar tindakan.

Feldman (2012) menguatkan melalui penelitian Kosslyn, De Beni, Pazzaglia


dan Gardini bahwa proses kognitif (berpikir) terdiri atas bangunan-bangunan
gambaran mental. Gambaran mental yang dimaksudkan di sini adalah representasi
dalam pikiran tentang suatu benda atau kejadian baik secara visual, auditori dan
kinestetik. Kenyataannya setiap modalitas sensori (seperti panca indera, otot, otak
dan lain-lain) dapat menghasilkan gambaran mental yang saling berhubungan hal
tersebut di buktikan melalui hasil penelitian bahwa gambaran mental memiliki
banyak properti dari stimulus aktual yang mereka wakili. Misalnya, diperlukan
waktu lebih lama bagi pikiran kita untuk memindai gambaran mental dari benda
yang besar di bandingkan benda yang kecil, sehingga tidak heran jika setiap
peserta didik mempunyai cara berpikir yang berbeda – beda.
4.1.10. Suasana Evaluasi Bersama & Evaluasi Diri
Terciptanya suasana evaluasi pada akhirnya membuat orang ingin tahu apa
arti dirinya dalam kelompok belajar. Orang ingin mengetahui kekuatan dan
kelemahan dirinya. Maka evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok
dirasakan berharga untuk bahan renungan, sehingga pada akhirnya ia lebih
mengenal dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja kurang tepat.
Feldman (2012) menambahkan bahwa persepsi merupakan kegiatan menyortir,
meinterpretasikan, menganalisis, dan mengintegrasikan rangsang (stimulus) yang
dibawa oleh organ indra dan otak, King (2010) menguraikan bahwa ketika organ
indra (reseptor) mencatat adanya rangsangan, energi tersebut di konversi menjadi
impuls kimia listrik. Proses perubahan energi fisik menjadi energi kimia listrik
disebut transduksi (transduction). Transduksi menghasilkan potensial aksi yang
mengalirkan informasi mengenai sistem rangsangan melalui sistem saraf ke otak,
ketika rangsangan ini sampai ke otak, informasi bergerak ke bagian yang
berhubungan pada korteks serebrum. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat di
ketahui bahwa ketidaktepatan persepsi disebabkan perbedaan persepsi di mana
dipengaruhi oleh dua hal antara lain (1) sensasi yaitu aktivasi dari organ indra
oleh sumber fisik dan (2) rangsangan (stimulus) yaitu setiap sumber fisik yang
menghasilkan respon pada organ indra di mana tipe – tipe ataupun intensitas
stimulus yang berbeda. Evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai.
Sebagian besar evaluasi yang digunakan adalah evaluasi mikro karena lingkup
pendidikannya berada di tingkat kelas. Implementasi dari model evaluasi mikro
dalam bentuk tes yang di gunakan untuk mengukur dan menilai tingkat
kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang telah
disampaikan (Arifin, 2012). Bani (2012) menambahkan, dalam sistem pendidikan
nasional, rumusan tujuan pendidikan mengacu kepada klasifikasi hasil belajar
rumusan Benyamin Bloom yang yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotoris, secara
rinci disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
4.2. Belajar
4.2.1. Jenis – Jenis Belajar
1. Berdasarkan Konsep
King (2010) berpendapat berdasarkan teori psikologi behaviorisme bahwa
konsep pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa di bagi menjadi dua jenis
yaitu pembelajaran asosiasi dan pembelajaran melalui pengamatan. Konsep
Pembelajaran asosiasi merupakan pembelajaran yang muncul ketika sebuah
hubungan dibuat untuk menghubungkan dua peristiwa dan prosesnya disebut
dengan pengondisian. Pengondisian ini terbagi menjadi dua jenis yaitu:
pengondisian klasik dan pengondisian instrumental.

Pembelajaran melalui pengamatan merupakan proses belajar yang terjadi


ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini
melibatkan empat proses antara lain :
 Perhatian
Merupakan proses awal di mana peserta didik harus benar – benar
memperhatikan apa yang di katakan dan di lakukannya.
 Pengendapan,
proses kedua yang diperlukan agar pembelajaran melalui pengamatan
sehingga untuk mereproduksi tindakan seorang model (yang di tiru), peserta didik
harus menyimpan setiap informasi dalam setiap ingatannya sehingga dapat
mengeluarkan ingatan tersebut saat diperlukan. Sebuah deskripsi verbal yang
sederhana (bercerita) atau gambar detail dari tindakan model dalam sebuah buku
catatan dari tindakan model dapat membantu proses pengendapan (Bani 2012).
 Reproduksi motorik
merupakan proses peniruan terhadap tindakan model. Proses ini melibatkan
divisi somatis, yang berfungsi mengontrol pergerakan volunteer dan
pengomunikasian informasi ked an dari organ – organ indera (Feldman, 2012).
 Pengamatan
pemberian insentif atau memberikan perhatian pada reproduksi motorik.
2. Berdasarkan Prinsip,
Jenis belajar tersebut di lakukan berdasarkan prinsip penguatan
(reinforcement). Feldman (2012) menyatakan bahwa penguatan adalah proses di
mana stimulus meningkatkan kemungkinan terjadinya pengulangan perilaku yang
telah dimunculkan, dengan kata lain stimulus ini bertindak sebagai penguat
sehingga dalam hal ini pendidik harus mengetahui jenis stimulus yang cocok bagi
peserta didik. Satu – satunya cara untuk mengetahui apakah stimulus merupakan
penguat untuk organisme adalah dengan mengobservasi apakah frekuensi perilaku
sebelumnya menjadi meningkat setelah pemunculan stimulus tersebut. Giblin
(2004), menambahkan bahwa cara praktis agar pendidik mengetahui jenis
stimulus yang cocok bagi peserta didik adalah pendidik memberikan stimulus
sesuai dengan KODRAT MANUSIA itu sendiri.

3. Berdasarkan pemecahan masalahnya


Jenis belajar tersebut di lakukan dengan melakukan usaha untuk
menemukan cara yang tepat dalam mencapai sebuah tujuan ketika tujuan tersebut
tidak langsung dapat di raih. King (2010) menyarankan empat langkah dalam
pemecahan masalah antara lain sebagai berikut:

 Menemukan dan membatasi masalah


Pendidik harus menyadari permasalahan peserta didik setelah itu definsikan
dengan jelas. Pendefinisian secara jelas tersebut merupakan langkah pertama
untuk memunculkan solusi
 Mengembangkan beberapa strategi pemecahan masalah yang baik
pendidik membuat dan menetapkan tujuan-tujuan yang lebih kecil dan
sederhana (subgoaling). Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan strategi
yang efektif dalam penyelesaian masalah.
 Mengevaluasi solusi – solusi
Artinya adalah dengan menilai seberapa efektif solusi yang di gunakan
 Memikirkan dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi yang
dihasilkan seiring dengan waktu
4.2.2. Cara – Cara Belajar
1. Kesadaran:
Fiest dan Fiest (2010) menerangkan bahwa tingkat kesadaran yang meliputi
pengalaman yang diterima dalam bentuk terdistorsi dimana pengalaman ini
disimbolisasikan secara akurat dan dimasukan dengan bebas ke dalam struktur
diri. Menurut King (2010) menyatakan kesadaran terutama dalam belajar
melibatkan dua aspek yaitu keawasan dan ketergugahan. Kedua aspek ini
berhubungan dengan bagian – bagian yang berbeda di otak. Aspek Keawasan
merupakan keadaan subjektif dimana merasa sadar terhadap apa yang sedang
terjadi, biasanya melibatkan korteks serebrum, terutama daerah – daerah
asosiasinya dan lobus frontal dimana kemungkinan integrasi masukan dari
berbagai indra, beserta informasi tentang emosi dan ingatan terdapat di daerah –
daerah asosiasi tersebut. Aspek ketergugahan adalah keadaan fisiologis yang
ditentukan oleh sistem aktivasi retikular atau merupakan suatu struktur jaringan
yang mencakup batang otak, medula, dan talamus. Terdapat lima tingkatan
kesadaran yaitu

 kesadaran tinggi (higher-level consciousness),


 kesadaran tingkat- rendah (lower-level consciousness),
 keadaan kesadaran terubah (altered state of consciousness)
 kawasan bawah kesadaran
 tidak ada kawasan kesadaran (no awareness)

2. Peniruan
Feldman (2012) berpendapat melalui pendekatan sosial Bandura bahwa cara
belajar ini cenderung melibatkan cara belajar observasional yang mana merupakan
pembelajaran dengan cara melihat dan meniru perilaku orang lain atau model
(sesuatu yang di tiru / tiruan). Proses ini terlihat nyata pada tahap reproduksi
motorik di mana orang memberi perhatian dan mengingat apa yang telah mereka
lihat berdasarkan proses yang di lakukan sebelumnya yaitu perhatian dan
pengendapan.
3. Kebiasaan / Kondisi
Kebiasaan adalah serangkaian perbuatan seseorang secara berulang-ulang
untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses berfikir lagi. Berdasarkan
pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa kebiasaan belajar merupakan
serangkaian tingkah laku yang dilakukan secara konsisten/berulang oleh peserta
didik dalam kegiatan belajarnya. Dengan kata lain kebiasaan belajar merupakan
prilaku peserta didik yang ditunjukkan secara berulang tanpa proses berfikir lagi
dalam kegiatan belajar yang dilakukannya. Istilah belajar menunjukkan pada
kegiatan dan peranan peserta didik yang menerima pelajaran atau belajar yang
artinya suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau
keterampilan mengenai suatu pekerjaan yang dapat dicapai melalui proses berpikir
atau dengan cara melakukan praktek (Siagian 2010).

4. Mengartikan
Mengartikan merupakan cara belajar yang dilakukan untuk memahami
materi pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Bani (2012) membagi pemahaman
dalam tiga kategori antara lain

 Pertama adalah pemahaman terjemahan mulai dari terjemahan dalam arti


yang sebenarnya
 Kedua, pemahaman penafsiran, menghubungkan bagian-bagian terdahulu
dengan yang diketahui berikutnya atau menghubungkan beberapa bagian
dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan
pokok.
 Ketiga, pemahaman ekstrapolasi yaitu mampu melihat sesuatu dibaliknya
dan dapat memperluas persepsi terhadap sesuatu sehingga dapat
mengembangkan makna yang terkandung dalam pernyataan
King (2010) menambahkan bahwa untuk memperluas persepsi, dibutuhkan
pemahaman aspek – aspek fisik dan psikologis. Fiest dan Fiest (2010)
menyarankan untuk melakukan pendekatan menggunakan sistem kepribadian
kognitif-afektif yang menjelaskan variasi dalam berbagai situasi dan juga
stabilitas dari perilaku dalam diri seseorang.
4.2.3. Prinsip – Prinsip Belajar
1. Prinsip Latihan
Prinsip latihan harus dilakukan untuk meningkatkan pengalaman pada
peserta didik. Azzaini (2013) menambahkan bahwa peningkatan pengalaman dari
peserta didik berawal dari pembentukan myelin (ingatan otot) yaitu merupakan
sumber dari segala talenta yang dibentuk melalui pelatihan yang terprogram dan
berulang – ulang.

2. Prinsip Menghubungkan
Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mampu menghubungkan
apa yang telah di pelajarinya sebelumnya dengan materi pelajaran baru yang
diberikan oleh pendidik ataupun di lingkungan disekitarnya.

3. Prinsip Akibat
Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mengetahui konsekuensi
saat belajar. Konsekuensi belajar tersebut biasanya mengorbankan waktu, tenaga,
uang, mental dan pikiran dimana pengorbanan tersebut ada kalanya menyebabkan
seseorang dalam kondisi tertekan atau stress dimana membebani kemampuan
mereka dalam memcahkan masalah (King, 2010).

4. Prinsip Kesiapan
Prinsip ini menjelaskan, peserta didik harus siap secara fisik dan psikis
untuk menerima karena belajar bersifat terus – menerus dan berulang – ulang
(rutinitas).

5. Mental dan Semangat


Feldman (2012) berpendapat bahwa mental dan semangat merupakan bagian
dari motivasi dimana merupakan kekuatan yang menggerakkan orang untuk
berperilaku, berpikir, dan merasa seperti yang mereka lakukan. Pada pendidikan
motivasi akan kebutuhan berprestasi merupakan dorongan yang harus di miliki
oleh peserta didik dimana karakteristik bersifat stabil dan dapat dipelajari ketika
seseorang mendapatkan kepuasaan dengan berjuang saat proses pembelajaran
untuk mencapai tingkat kesempurnaan.
4.2.4. Ciri – Ciri Belajar
1. Prosesnya bersifat aktif
Belajar mengajar ini pada prosesnya melibatkan peserta didik untuk
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sehingga dalam hal ini pendidik
harus mengorientasikan strategi pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik
selain itu juga harus didukung oleh hubungan interpersonal yang baik antara
pendidik dengan peserta didik (Mulyatiningsih, 2010). Menurut King (2010)
keaktifan belajar dapat terjadi apabila pendidik dan peserta didik memiliki
kesadaran penuh dan keterbukaan pikiran. Kesadaran penuh yang dimaksud
adalah terjaga dan secara mental hadir dalam kegiatan pembelajaran sedangkan
keterbukaan pikiran yang dimaksud adalah mampu menerima sudut pandang yang
lain dalam melihat suatu hal, dalam pendidikan orang dewasa, hendak penyuluh /
pendidik perlu menerangkan pada peserta didik untuk memiliki keterbukaan yang
sederhana pada suatu sudut pandang sehingga peserta didik tidak melompat terlalu
cepat pada kesimpulan. Cara lain agar tercapai keaktifan belajar adalah penyuluh
bersikap rendah hati dan mendengarkan dengan baik apa yang peserta didik
ungkapkan berdasarkan lima aturan yaitu tatap ketika ia berbicara, condongkan
badan ke si pembicara dan dengarkan dengan penuh perhatian, ikuti topic
pembicaraannya dan jangan memotong atau menyela, gunakan kata “anda” dan
“milik anda” (Giblin, 2004).

2. Proses Belajar Sifatnya individu


Proses belajar merupakan suatu hal yang bersifat individu karena setiap
individu sejak permulaan kehidupan (saat bayi) terbiasa untuk belajar dengan tipe
yang sederhana (habituasi) atau pembiasaan. Habituasi merupakan penurunan
respon terhadap stimulus yang terjadi setelah penampilan stimulus yang sama
secara berulang – ulang. Berdasarkan hal tersebut penyuluh hendaknya
memahami bahwa dalam pengajaran kepada peserta didik perlu di lakukan
habituasi atau pembiasaan belajar, tentunya habituasi tersebut harus di awali
dengan tipe belajar dalam kerangka yang lebih sederhana sehingga dapat
dipahami oleh peserta didik (Feldman, 2012).
3. Belajar dipengaruhi oleh Pengalaman
Belajar merupakan proses yang dipengaruhi oleh pengalaman. Pengalaman
tersebut mempengaruhi proses berpikir (kognitif) dimana menekankan pada
keawasan, keyakinan, pengharapan dan tujuan yang disadari (King, 2010)
Menurut Feldman (2012) proses kognitif terkait dengan kemajuan metakognisi
yaitu kesadaran dan pemahaman tentang kognisi tersebut. Metakognisi ini
melibatkan perencanaan, pengawasan dan perbaikan strategi berpikir yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap proses belajar. Ia juga berpendapat bahwa
perkembangan kognitif terjadi sebagai sebuah konsekuensi dari interaksi sosial
ketika peserta didik bekerja dengan orang lain (baik pendidik/penyuluh atau
dengan peserta didik lain) untuk bersama – sama memecahkan masalah sehingga
melalui interaksi seperti ini kecakapan kognitif akan meningkat dan mereka
meraih kemampuan untuk berfungsi secara intelektual sendiri. Lebih spesifik lagi
ia menyebutkan bahwa kemampuan kognitif akan meningkat ketika peserta didik
menghadapi informasi yang jatuh dalam zona perkembangan proksimal mereka
(ZPD) yaitu zona tingkatan dimana peserta didik dapat hampir, tetapi tidak
sepenuhnya memahami atau mengerjakan tugas sendiri. Ketika informasi jatuh
dalam ZPD, peserta didik dapat meningkatkan pemahaman mereka atau
menguasai suatu tugas baru dan sebaliknya jika informasi jatuh di luar ZPD
mereka tidak akan dapat menyelesaikan atau menguasainya.

Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa proses tersebut disebabkan


karena setiap individu mempunyai perilaku yang bersifat berkelanjutan. Perilaku
tersebut memproses informasi mengenai situasi internal ataupun eksternal
sehingga mengikuti hal tersebut, saat individu menghadapi situasi yang berbeda,
perilakunya akan bervariasi dari satu situasi ke situasi lainnya. Pengaruh relative
dari variabel situasi tersebut dapat ditentukan dengan mengobservasi keseragaman
atau perbedaan dari reaksi manusia dalam suatu situasi tertentu. Hal tersebut
karena manusia mengategorisasikan informasi yang diterima dari stimulus
eksternal. Manusia menggunakan proses kognitif (nerpikir) untuk mengubah
stimulus ini menjadi konstruk personal.
4. Melalui Indera
Indera merupakan bagian yang terpenting saat belajar karena indera
merupakan salah satu di antara banyak reseptor yang berfungsi menangkap
rangsangan (stimulus) dari lingkungan dan diterima oleh individu dalam bentuk
sensasi. Menurut King (2010) seluruh sensasi dimulai dari reseptor sensoris.
Reseptor sensoris adalah sel – sel yang terspesialisasi untuk mendeteksi informasi
rangsangan dan memancarakannya ke saraf sensoris dan otak. Pada manusia tipe
reseptor sensoris adalah panca indera yaitu pendengaran, penglihatan, peraba,
penciuman dan pengecap. Feldman (2012) mengatakan bahwa pada indera, yaitu
terutama saat beraksi terhadap sesuatu yang di pelajari, energi stimulus mencapai
sel panca indera. Energi yang diterima ini mulai membentuk rangkaian kejadian
yang mengubah bentuk stimulus luar ke impuls neural yang dapat
dikomunikasikan ke otak. Bahkan sebelum pesan neural tersebut mencapai otak,
beberapa pengodean dasar dari informasi panca indera telah terjadi. Pemrosesan
utama dari bentuk stimulus di dalam otak ini terjadi di korteks otak, dan disinilah
pemrosesan paling rumit terjadi, karena banyak neuron di korteks tersebut yang
sangar terspesialisasi dan diaktivasi hanya oleh stimulus terntentu dari suatu
bentuk atau pola tertentu yang dikenal dengan deteksi bagian.

Cervone dan Pervin (2012), menguatkan bahwa deteksi bagian dapat


mengalami perubahan sebagai hasil dari pengalaman yang ada dan hal tersebut
memberikan gambaran jelas mengenai plastisitas sistem saraf. Deteksi bagian
tersebut terlihat dari penggambaran otak yang menyingkap saat dilakukan
stimulus berupa pelatihan dimana penggambaran tersebut mengalami perluasa
secara signifikan dari area abu – abu otak (korteks), khususnya pada bagian otak
yang terlibat dalam persepsi gerakan. Berdasarkan hal tersebut dapat di analisis
bahwa sistem saraf dimana merupakan bagian dari sistem biologis manusia
memiliki hubungan dengan fenomena psikologis yang melibatkan suasana hati,
impuls dasar, dan emosi seperti rasa takut dan fenomena fungsi – fungsi
psikologis pada tingkat yang lebih tinggi seperti moral, jati diri dan sebagainya.
4.2.5. Faktor – Faktor Psikologis yang Memengaruhi Belajar
1. Tujuan : tujuan ini merupakan stimulus (rangsangan) yang terasa secara
fisik dari dalam individu dan buka suatu peristiwa mental yang bertanggung
jawab atas suatu perilaku (Feist dan Feist, 2010). Tujuan terdiri atas 3
macam yaitu sekedar ingin tahu; pemenuhan kebutuhan jangka pendek, dan
pemenuhan kebutuhan jangka panjang
2. Tingkat Aspirasi (Cita – Cita): proses belajar yang dilakukan oleh setiap
individu dipengaruhi oleh aspirasi yang diharapkan. Bagi warga belajar
yang memang memiliki aspirasi untuk meraih prestasi sebaik – baiknya,
akan mendorong untuk lebih aktif mengikuti kegiatan belajarnya dan
sebaliknya.
3. Pengertian atau Pemahaman tentang hal yang dipelajari: pemahaman
seseorang terhadap sesuatu yang dipelajarinya sehingga mendorong atau
menghambat proses belajarnya.
4. Pengetahuan tentang keberhasilan dan kegagalan: orang yang memiliki
pengetahuan keberhasilan hanya dapat dicapai melalui proses belajar, maka
ia akan mencapai hasil belajar yang baik dan sebaliknya.
5. Umur: kemampuan belajar akan meningkat mulai usia 5 -7 tahun (Feldman,
2012) kemudian berada pada puncak perkembangannya pada usia 20-an
dimana usia tersebut merupakan masa puncak kesehatannya dan akan
mengalami penurunan secara nyata pada akhir usia 30-an (King, 2010).
6. Kapasitas belajar: kapasitas belajar setiap individu berbeda – beda
tergantung pada umur, jenis, kelamin, keadaan psikis, genetik (mesin
kecerdasan yang dominan pada otak), banyaknya stimulus yang diterima
dan ketahanan serta tingkat konsentrasi.
7. Bakat : berkaitan dengan faktor hereditas pada bidang – bidang tertentu.
Biasanya ditentukan oleh mesin kecerdasan yang dominan yaitu Sensing
(memori), Thinking (analitis), Intuiting (imajinasi), Feeling (emosi) dan
Insting (naluri) dimana masing – masing darinya terdapat pada belahan otak
limbik kiri, neokortek kiri, neokortek kanan dan limbik kanan (Poniman,
2011).
66

V. DINAMIKA KELOMPOK

5.1. Konsep Dasar Dinamika Kelompok


5.1.1. Definisi Dinamika Kelompok
Dinamika kelompok merupakan kekuatan – kekuatan yang terdapat di
dalam (internal) maupun di lingkungan (eksternal) kelompok yang akan
menentukan perilaku kelompok yang bersangkutan untuk bertindak atau
memaksimalkan kegiatan demi tercapainya tujuan bersama. Kekuatan – kekuatan
tersebut muncul karena sebuah kelompok dapat terdiri atas dua orang atau lebih
yang berinteraksi satu sama lain dengan cara saling memengaruhi atau di
pengaruhi (Hughes, 2012). Santosa (2004) mengemukakan bahwa dinamika
kelompok merupakan interaksi dan interdependensi antar anggota kelompok yang
satu dengan yang lain secara timbal balik dan antara anggota dengan kelompok
secara keseluruhan, namun menurut Muchlas (2005), Dinamika kelompok
merupakan seperangkat teknik seperti permainan peran, brainstorming kelompok
tanpa pemimpin, terapi kelompok, latihan sensitifitas, pembentukan tim dan
analisis transaksional.

Hughes dkk (2012) mengemukakan bahwa masing – masing kelompok


memiliki sifat yang spesial, hal tersebut karena terdapat dua ciri khas dari
kelompok yaitu interaksi satu sama lain dan pengaruh timbal balik. Apabila di
bandingkan dengan tim maka secara umum terdapat empat hal yang
membedakannya. Pertama, anggota tim biasanya memiliki perasaan identifikasi
yang lebih kuat antara satu sama lain jika dibandingkan dengan kelompok
sehingga identifikasi dalam kelompok menjadi lebih sulit. Kedua, tim memiliki
tujuan atau tugas yang sama sedangkan kelompok mungkin milik sekumpulan
individu dengan tujuan pribadi. Ketiga, ketergantungan tugas biasanya lebih besar
dalam tim dibandingkan dalam kelompok. Keempat anggota tim sering memiliki
peran yang berbeda dan spesial dibandingkan anggota kelompok karena anggota
kelompok sering memainkan peran yang bervariasi dalam kelompok. Berdasarkan
pernyataan diatas penting bagi penyuluh untuk memahami konsep tersebut.
67

Dinamika kelompok pada dasarnya seperti organisasi karena mempunyai


kekuatan eksternal dan kekuatan internal yang memengaruhi perilaku kelompok
yang bersangkutan dimana jika digunakan dengan cara yang benar dapat bersifat
konstruktif (membangun) sedangkan jika digunakan dengan cara yang tidak benar
dapat bersifat destruktif (menghancurkan) atau jika di analogikan, kekuatan
eksternal dan internal seperti pedang bermata dua. Tika (2010), mengemukakan
bahwa masalah yang sering dihadapi oleh kelompok adalah masalah adaptasi
eksternal dan integrasi internal sehingga penyuluh harus menjelaskan dan
menerapkan salah satu unsur budaya kelompok yaitu memahami masalah adaptasi
eksternal dan masalah intgrasi internal yang ditekankan pada bagaimana cara
untuk memahami dan merasakan masalah – masalah yang dihadapi oleh
kelompok atau anggota kelompok menyangkut penyesuaian dengan lingkungan
eksternal dan masalah integrasi internal dalam kelompok tersebut.

Permasalahan internal dan eksternal dapat terjadi di akibatkan adanya


perubahan. Winardi (2005), mengemukakan bahwa perubahan merupakan proses
perpindahan kondisi yang sekarang berlaku menuju ke kondisi dimasa mendatang
yang di lakukan oleh individu dan kelompok – kelompok dengan bereaksi dan
melibatkan aneka macam kekuatan dinamik eksternal dan internal yang seringkali
berinteraksi hingga mereka saling memperkuat satu sama lainnya dan turut
menyebabkan adanya keharusan untuk menciptakan perubahan yang jelas.
Berdasarkan pernyataan tersebut, penyuluh perlu bereaksi dan menyesuaikan diri
terhadap berbagai macam kekuatan tersebut agar mampu bertahan dan
berkembang dengan cara melaksanakan kegiatan inovasi dan perbaikan
permasalahan secara berkesinambungan. Hughes dkk (2012), menyarankan
penyuluh hendaknya melakukan pembelajaran melalui tindakan, maksudnya
adalah belajar sambil melakukannya yang lebih diarahkan pada program dan
kegiatan pelatihan menggunakan isu dan tantangan dunia atau permasalahan yang
sesungguhnya di hadapi oleh kelompok dengan menempatkannya sebagai peran
pemecah masalah sehingga kelompok tersebut mampu menghasilkan keputusan
solutif.
5.1.2. Analisis Dinamika Kelompok
Penyuluh yang bergelut dalam suatu kelompok harus mempunyai cara untuk
memecahkan permasalahan dinamika kelompok yaitu permasalahan internal dan
eksternal. Permasalahan tersebut dapat dipecahkan salah satunya dengan
menganalisis berdasarkan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sosiologis dan
pendekatan psikologi. Kedua macam pendekatan tersebut di pilih karena dinamika
suatu kelompok berkaitan erat dengan sosial dan psikis dari anggota – anggota
kelompok.

Pendekatan sosiologis merupakan analisis dinamika kelompok melalui


analisis terhadap bagian – bagian atau komponen kelompok dan analisis terhadap
sistem sosial tersebut. Menurut Leilani dan Hasan (2006), sistem sosial pada suatu
kelompok dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain tujuan kelompok, struktur
kelompok, fungsi tugas, pembinaan dan pengembangan kelompok, kekompakan
kelompok, suasana kelompok, ketegangan kelompok, keefektifan kelompok dan
agenda / agenda terselubung. Tika (2010) menambahkan bahwa sistem sosial
dipengaruhi oleh konsepsi keyakinan dan nilai, hierarki nilai dan nilai dasar
budaya kelompok.

Pendekatan psikologis yaitu analisis dinamika kelompok melalui analisis


terhadap faktor – faktor yang memengaruhi dinamika kelompok tersebut. Winardi
(2005) mengemukakan bahwa dorongan adanya dinamika (perubahan) kelompok
seringkali muncul dari sistem psikologi. Ia menjelaskan bahwa keberhasilan
dalam hal mencapai tujuan – tujuan keorganiasian hingga tingkat tertentu
tergantung pada faktor – faktor manusia. Tingkat hingga di mana kemampuan
manusia “disadap” seringkali menimbulkan perbedaan tentang apakah upaya –
upaya kelompok mencapai keberhasilan atau tidak sehingga perlu di ingatkan
bahwa perubahan – perubahan dalam moral dan motivasi para kelompok –
kelompok dapat menimbulkan dampak besar.
Hughes dkk (2012) mengemukakan bahwa sistem sosial dan psikologi suatu
kelompok dipengaruhi oleh kebudayaan kelompok dimana kebudayaan kelompok
ini di definisikan sebagai sistem latar belakang, norma, nilai atau kepercayaan
yang dibagi bersama di antara anggota – anggota dari kelompok yang akhirnya
kebudayaan kelompok tersebut akan menciptakan iklim kelompok dimana
merupakan reaksi perasaan atau reaksi emosional kita terhadap kelompok yang
kemungkinan dipengaruhi oleh tingkatan kita berbagi nilai, kepercayaan, dan latar
belakang yang telah ada pada anggota – anggota kelompok. Dengan demikian,
iklim organisasi berhubungan dengan tingkatan hubungan anggota – anggota
kelompok terhadap satu sama lain. Salah satu aspek kebudayaan kelompok yang
menakjubkan adalah sering kali budaya tersebut hanya bisa di kenali oleh orang
luar; kebudayaan kelompok menjadi suatu hal yang sangat biasa untuk anggota
kelompoknya sehingga mereka tidak sadar bagaimana hal tersebut memengaruhi
perilaku dan persepsi mereka. Tika (2010) menambahkan bahwa untuk
membentuk suatu budaya kelompok mengetahui proses pembentukkannya. Proses
pembentukkan tersebut antara lain (1) adanya interaksi antarpimpinan / pendiri
kelompok dengan kelompok / anggota dalam kelompok; (2) adanya interaksi yang
menimbulkan ide yang di transformasikan menjadi artifak, nilai, dan asumsi; (3)
artifak, nilai dan asumsi kemudian di implemetasikan sehingga menjadi budaya
organisasi; (4) untuk mempertahankan budaya kelompok dilakukan pembelajaran
(learning) kepada anggota baru dalam kelompok.

Winardi (2005) menguatkan dalam membentuk budaya kelompok, diagnosis


kelompok mutlak diperlukan sebagai titik tolak bagi pembentukan dan perubahan
kelompok yang terencana. Diagnosis kelompok dapat diterapkan melalui sejumlah
langkah dasar antara lain (1) mengenal dan menafsirkan masalah yang dihadapi,
dan merasakan kebutuhan akan perubahan; (2) mendeterminasi kesiapan dan
kemampuan organisasi yang bersangkutan untuk berubah; (3) mengidentifikasi
sumber – sumber daya manajerial dan angkatan kerja kelompok untuk perubahan;
(4) mendeterminasi sebuah strategi perubahan dan sasaran – sasarannya; (5)
mengumpulkan berbagai informasi yang di perlukan untuk diagnosa masalah.
5.2. Unsur Sosiologi Dinamika Kelompok
5.2.1. Tujuan Kelompok
Dinamika kelompok pada dasarnya memiliki tujuan yang akan di capai.
Leilani dan Hasan (2006), mengemukakan untuk mengetahui kelompok tersebut
dikatakan baik atau tidak dapat dilakukan dengan menganalisis anggota kelompok
melalui perilaku para anggota dan pimpinannya. Tika (2010) mengemukakan
bahwa tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari misi utama kelompok.
Tujuan utama tidak secara otomatis bahwa anggota – anggota kelompok akan
mempunyai tujuan yang sama, sehingga untuk mencapai tahap mengenai tujuan,
kelompok memerlukan bahasa dan share asumsi yang sama menyangkut
pelaksanaan logika dasar dari suatu yang abstrak menjadi tujuan konkret
menyangkut perancangan, manufaktur dan penjualan produk atau pelayanan.
Asumsi – asumsi harus terdapat petunjuk – petunjuk yang harus dipatuhi
kelompok menyangkut perilaku nyata, termasuk menjelaskan kepada anggota
kelompok bagaimana merasakan, memikirkan segala sesuatu menyangkut
masalah budaya kelompok dan solusinya yang berdasarkan lima kategori dasar
antara lain : (1) Hubungan dengan lingkungan; (2) Hakikat realitas, ruang, dan
waktu; (3) Hakikat sifat manusia; (4) Hakikat aktivitas manusia; (5) Hakikat
hubungan manusia.

Kelompok yang dinamis harus mempunyai sejumlah tujuan perubahan yang


direncanakan. Tujuan tersebut harus memuat dua tipe umum hasil yaitu tipe
pertama dan tipe kedua. Tipe pertama, ditujukan ke arah guna memperbaiki
kemampuan organisasi yang bersangkutan, guna menghadapi perubahan –
perubahan yang tidak direncanakan yang dihadapi oleh kelompok dengan cara
meningkatkan efektifitas, fleksibilitas dan sistem peramalan secara tepat dan tepat
waktu. Tipe kedua, perubahan yang direncanakan ditujukan ke arah upaya
mengubah perilaku para anggota, agar mereka menjadi kontributor lebih efektif
bagi tujuan – tujuan organisasi mereka dengan cara menimbulkan beberapa sikap
dan nilai baru, cara memvisualisasikan organisasi dan meningkatkan peranan para
anggota di dalamnya (Winardi, 2005).
Penetapan tujuan dalam suatu merupakan hal penting bagi kelompok.
Penetapan tujuan tersebut harus ditetapkan dengan benar di awal agar resolusi
(pemecahan) atau hasil yang dicapai jelas dan realistis. Hughes dkk (2012)
menyarankan untuk dapat menetapkan tujuan dengan benar, berikut ini beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi dalam penetapan tujuan antara lain:
1. Tujuan harus spesifik dan dapat diamati
Tujuan yang spesifik akan menghasilkan usaha dan kinerja yang lebih baik
daripada tujuan yang sifatnya umum. Tujuan yang spesifik berkaitan erat dengan
tujuan yang diamati sehingga dengan menetapkan tujuan secara spesifik penyuluh
maupun kelompok akan lebih mudah untuk memantau kemajuan.
2. Tujuan harus dapat tercapai, tetapi menantang
Tujuan yang ditetapkan harus menantang sehingga pencapaiannya sudah
pasti karena dengan pencapaian tujuan yang menantang maka kelompok akan di
tuntut menghasilkan kinerja yang tinggi sebab kinerja yang lebih tinggi muncul
saat tujuan yang ditetapkan cukup tinggi (menantang).
3. Tujuan memerlukan komitmen
Sebuah tujuan harus di dukung komitmen untuk menjamin kesuksesan
penetapan tujuan. Komitmen tersebut dapat dilakukan dengan melibatkan anggota
kelompok dalam penetapan tujuan dan menyediakan sumber daya yang di
perlukan oleh anggota kelompok untuk mencapai tujuan.
4. Tujuan memerlukan umpan balik
Umpan balik perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja anggota
kelompok ketika memenuhi kriteria suatu tujuan. Umpan balik itu sendiri dapat
berupa imbalan (reward) dan atau hukuman (punishment).

Winardi (2005) menguatkan, bahwa dalam penetapan tujuan yang spesifik


kelompok harus memusatkan perhatian pada target – target spesifik yang
memerlukan perubahan dalam rangka menutup celah – celah kinerja dan untuk
mencapai sasaran – sasaran yang diinginkan. Tika (2010) menambahkan bahwa
tujuan berkaitan dengan asumsi dasar dimana akan berpengaruh terhadap
keyakinan dan nilai – nilai budaya kelompok.
5.2.2. Pembagian Tugas dan Hak serta Kewajiban Kelompok
1. Jenjang Sosial (Social Rank)
Jenjang atau pelapisan anggota – anggota kelompok yang menunjukkan
perbedaan nilai tertentu yang akan membedakan penghargaan, kehormatan dan
hak / wewenang anggota – anggotanya. Winardi (2005) menguatkan bahwa
jenjang sosial berkaitan erat dengan perubahan nilai – nilai sosial. Perubahan nilai
– nilai sosial dapat berubah melalui banyak cara termasuk didalamnya antara lain:
dari organisasi menuju individu; dari konformitas menuju orisinalitas; dari
independensi menuju interdependensi; dari materialisme menuju kualitas
kehidupan; dari kondisi status quo menuju perubahan; dari masa mendatang
menuju masa kini; dari kegiatan bekerja menuju waktu luang; dari ototritas
menuju partisipasi; dari sentralisasi menuju desentralisasi; dari ideologi menuju
desentralisasi; dari ideologi menuju pragmatisasi; dari ekonomi menuju kearah
keadilan sosial; dari alat – alat menuju ke tujuan – tujuan; dari moralitas mutlak
menuju arah keadilan sosial.

2. Peran Kedudukan (Status Role)


Yakni peran yang harus di lakukan / ditunjukkan oleh anggota kelompok
sesuai dengan kedudukan yang diperolehnya dalam struktur sistem sosial
(kelompok) yang bersangkutan. Adanya perbedaan peran – kedudukan akan
membuat setiap anggota melaksanakan tugas / kewajiban sesuai dengan hak yang
diperoleh dari kedudukannya. Tika (2010) menambahkan bahwa setiap peran
kedudukan menuntut pola pekerjaan – pekerjaan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan kelompok.

3. Kekuasaan (Power)
Hughes dkk (2012) menjelaskan bahwa dari sudut pandang kelompok,
kekuasaan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan situasinya, berdasarkan
pernyataan diatas maka dapat dianalisis bahwa kelompok dipengaruhi oleh lima
kekuasaan sosial yaitu (1) kekuasaan kepakaran, (2) kekuasaan rujukan, (3)
kekuasaan sah, (4) kekuasaan penghargaan, dan (5) kekuasaan paksa.
5.2.3. Aturan atau Kebiasaan Kelompok
1. Kepercayaan (Belief)
Merupakan segala sesuatu yang secara akal atau perasaan anggota kelompok
dinilai dan diterima sebagai kebenaran, yang digunakan sebagai landasan kegiatan
kelompok dan masing – masing anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok
yang diinginkan. Menurut Tika (2010) kepercayaan merupakan salah satu unsur
budaya kelompok dimana mengandung nilai – nilai kelompok, dengan kata lain
keyakinan merupakan sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam
kelompok. Hughes dkk (2012) menyatakan bahwa nilai adalah konstruk yang
mewakili perilaku atau keadaan umum yang dianggap penting oleh individu
dimana nilai tersebut di pelajari dari proses sosialisasi, lalu di internalisasi dan
bagi anggota nilai – nilai tersebut merupakan komponen tak terpisahkan dari diri,
sehingga nilai memainkan peran penting dalam karakter psikologis seseorang dan
dapat memengaruhi perilaku dalam berbagai situasi. Berdasarkan pernyataan
tersebut penting bagi penyuluh maupun pemimpin kelompok untuk menyadari
bahwa individu (anggota) dalam unit kerja yang sama dapat memercayai nilai –
nilai yang berbeda, terutama karena kita tidak dapat melihat nilai – nilai secara
langsung. Kita hanya dapat menarik kesimpulan mengenai nilai – nilai yang
dipercayai anggota lain dari perilaku mereka.

2. Sanksi (Sanction)
Merupakan perlakuan yang diberikan kepada setiap anggota kelompok yang
berupa imbalan (reward) bagi yang menaati dan hukuman (punishment) bagi yang
melanggar aturan – aturan kelompoknya. Winardi (2005), menyatakan bahwa
sanksi dapat di pergunakan sebagai cara untuk melakukan manajemen perubahan
terhadap kelompok dengan tujuan agar tiap anggota menyesuaikan diri dengan
perubahan atau tuntutan perubahan dari lingkungan (faktor eksternal). Perubahan
tersebut dapat terjadi baik evolusioner maupun revolusioner, namun perlu diingat
bahwa tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih
baik, hingga dalam hal demikian perlu di upayakan agar bila dimungkinkan
perubahan diarahkan ke hal yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
3. Norma (Norm)
Norma adalah aturan – aturan informal yang diadopsi oleh kelompok untuk
mengatur dan membuat perilaku anggota – anggota kelompok menjadi tertata,
meskipun norma jarang sekali ditulis atau didiskusikan secara terbuka, namun
memiliki pengaruh yang kuat dan konsisten terhadap perilaku. Hal tersebut karena
kebanyakan orang memiliki kemampuan yang baik untuk membaca isyarat –
isyarat sosial yang memberitahu mereka tentang norma yang berlaku (Hughes,
2012). Winardi (2005) menambahkan bahwa kelompok pada umumnya
mengembangkan norma – norma mereka sendiri guna membantu pengembangan
perilaku yang dianggap baik (oleh mereka) akibatnya kebanyakan anggota
kelompok mengikuti norma – norma tersebut, terutama pada kelompok yang
bersifat kohesif maka, setiap perubahan yang menyebabkan rusaknya norma –
norma kelompok yang cenderung ditentang sehingga salah satu tugas pokok yang
dihadapi para penyuluh atau pemimpin, umumnya adalah meneliti dan memahami
alasan – alasan yang melatarbelakangi tantangan para karyawan mereka terhadap
perubahan yang sedang dilaksanakan. Tantangannya adalah berupa mencari cara
dan jalan untuk mengurangi atau mengantisipasi sikap menentang tersebut.

4. Perasaan – Perasaan (Sentiment)


Merupakan tanggapan emosional yang diberikan / ditujukan oleh setiap
anggota terhadap kelompoknya. Perasaan tersebut dapat berwujud kesenangan,
kesetiaan, kekecewaan dan lain – lain. Adanya perasaan – perasaan tertentu
dikalangan anggota kelompok, sebenarnya dapat dijadikan ukuran untuk melihat
apakah kelompok tersebut telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan semua
anggotanya ataukah tidak. Tika (2010) menambahkan bahwa perasaan dapat
dijadikan tolak ukur apakah para anggota berhasil atau gagal mengatasi dua
masalah pokok kelompok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal
dan masalah adaptasi integrasi internal sehingga peran pimpinan ataupun
penyuluh untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan asumsi dasar dan
keyakinan yang dianut anggota kelompok.
5.2.4. Kemudahan dan Tegangan Kelompok
1. Kemudahan (Facility)
Kemudahan merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai yang diperlukan
kelompok untuk dapat melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok,
seingga yang perlu diperhatikan bukanlah sekadar penyediaan kemudahan saja
tetapi bagaimana kemudahan dapat tersedia tepat waktu, mudah diperoleh /
didapat dan memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat digunakan dengan
memperoleh hasil yang baik maka disini anggota harus memanfaatnya
semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan kelompok. Winardi (2005)
menambahkan bahwa kemudahan dapat digunakan untuk mencapai tujuan apabila
pemimpin kelompok mengapresiasi sepenuhnya dinamika – peluang – serta
ancaman – ancaman dalam lingkungan kompetitif mereka dan memberikan cukup
perhatian terhadap isu kemasyarakatan yang lebih luas sehingga kelompok yang
bersangkutan perlu mengupayakan agar sumber – sumber daya kemudahannya
(inputnya dimanage secara strategik dengan memperhitungkan kekuatan dan
kelemahannya) dan bahwa kelompok tersebut memanfaatkan peluang – peluang
yang ada.
2. Tegangan dan Himpitan (Stress and Strain)
Yaitu adanya berbagai tegangan (tekanan) dapat memperkuat persatuan dan
kesatuan antar sesama anggota kelompok yang bersangkutan demi tercapainya
tujuan kelompok. Leilani dan Hasan (2006) menyatakan bahwa elemen yang
memengaruhi ketegangan kelompok yaitu ketegangan internal dan eksternal.
Ketegangan internal merupakan ketegangan yang berasal dari dalam kelompok
yang berkaitan dengan tercapainya tujuan sedangkan ketegangan eksternal
merupakan ketegangan diluar kelompok yang berkaitan dengan kesatuan dan
kelangsungan hidup kelompok. Tika (2010), menyatakan ketegangan terjadi
karena adanya konflik dimana konflik tersebut disebabkan oleh tujuh hal yaitu (1)
perbedaan pendapatl (2) salam paham; (3) salah satu atau kedua belah pihak
merasa dirugikan; (4) perasaan yang terlalu sensitif; (5) konflik yang disebabkan
struktur; (6) perilaku yang tidak menyenangkan; (7) konflik yang disebabkan
faktor luar kelompok.
5.2.5. Kegiatan Sosial Kelompok
1. Komunikasi (Communication)
Merupakan interaksi antar sesama anggota dalam pelaksanaan kegiatan
demi tercapainya tujuan kelompok. komunikasi di dalam kelompok harus
diupayakan untuk menembus setiap isolasi sosial (perbedaan status, umur,
pendidikan dll) yang ada di dalam kelompok sehingga semua pihak dapat mau
berinteraksi untuk mencapai tujuan kelompok yang sudah disepakati. Winardi
(2005) menambahkan komunikasi (penyampaian pesan) secara luas perlu di
upayakan agar pihak – pihak yang terlibat memahami apa saja alasan dibalik
komunikasi tersebut, bagaimana bentuknya dan bagaimana dampak – dampak
yang dapat di duga akan timbul, guna mengurangi perasaan tidak tenang.

2. Pemeliharaan Batas (Boundary Maintenance)


Yaitu pemeliharaan batas – batas sistem sosial (kelompok) dengan
lingkungannya. Pemeliharaan batas tersebut dimaksudkan agara ada perbedaan
yang jelas antara sesama anggota kelompok dengan yang bukan anggota
kelompoknya sehingga terpupuk rasa kesetiakawanan dalam mewujudkan
identitas kelompok maupun untuk menghadapi tekanan dari luar. Tika (2010)
menambahkan bahwa yang dimaksud identitas kelompok disini adalah sejauh
mana para anggota suatu kelompok dapat mengidentifikasi dirinya sebagai satu
kesatuan dalam kelompok. identitas kelompok sebagai satu kesatuan sangat
membantu dalam mencapai tujuan dan sasaran kelompok.

3. Kaitan Sistemik (Systemic Linkage)


Yaitu proses terjadinya jalinan atau keterkaitan antar sistem – sistem sosial
atau antar kelompok satu dengan kelompok lainnya karena tercapainya tujuan
kelompoknya selalu dipengaruhi dan tidak mungkin terlepas dari keterkaitannya
dengan kelompok lain. Hughes dkk (2012), semakin banyak jumlah sistem –
sisitm sosial yang terkait maka akan semakin banyak melibatkan kecakapan, nilai,
persepsi dan kemampuan diantara anggota – anggota dari setiap kelompok yangg
terkait sehingga akan lebih banyak “daya manusia” yang tersedia.
4. Kelembagaan (Institutionalization)
Merupakan proses pengembangan fungsi – fungsi sosial atau hubungan –
hubungan sosial. Konsep ini memberikan arahan bahwa, untuk tercapainya tujuan
– tujuan kelompok, perlu dikembangkan lembaga – lembaga atau sub – kelompok
yang harus menjalankan fungsi masing – masing, serta saling keterkaitannya
dengan sub – kelompok yang jelas. Winardi (2005) menguatkan bahwa
kelembagaan mempunyai manfaat untuk mengembangkan budaya kelompok.
Budaya kelompok tersebut terbentuk dua pokok permasalahan yaitu (1) adaptasi
eksternal dan ketahanan yang berkaitan dengan bagaimana kelompok yang
bersangkutan akan mencapai suatu “relung” (niche) menghadapi lingkungan
eksternal yang secara terus – menerus mengalami perubahan dimana mencakup
visi dan strategi, tujuan – tujuan, alat – alat, dan pengukuran; (2) integrasi internal
yang berkaitan dengan penetapan dan pemeliharaan hubungan – hubungan kerja
efektif antara para anggota suatu organisasi yang mencakup bahasa dan konsep,
batas – batas kelompok dan tim, kekuasaan dan status, imbalan dan hukuman.

5. Sosialisasi (Socialization)
Merupakan proses pembelajaran atau pewarisan nilai – nilai kelompok
dalam rangka menyiapkan setiap anggota kelompok untuk dapat melaksanakan
perannya sesuai dengan kedudukannya dalam kelompok , sehingga berprilaku dan
dapat melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Leilani dan
Hasan (2006) menambahkan bahwa sosialisasi dapat dikatakan baik apabila
anggota memiliki kesamaan mata pencaharian dan didukung oleh sistem
komunikasi yang baik.

6. Kontrol Sosial (Social Control)


Merupakan proses pengawasan terhadap perilaku atau kegiatan – kegiatan
setiap anggota kelompok agar tidak menyimpang dari aturan – aturan yang telah
disepakati, demi tercapainya tujuan seperti yang diharapkan. Tika (2010)
menambahkan pengawasan perlu di lakukan secara berkala untuk mengetahui
perilaku anggota – anggota organisasi. Hasil dari pengawasan tersebut dapat
dijadikan sebagai umpan balik untuk memperkuat budaya kelompok.
5.3. Unsur Psikologi Dinamika Kelompok
1. Tujuan Kelompok (Group Goal)
Kejelasan tujuan kelompok akan sangat berpengaruh terhadap perilaku atau
tindakan – tindakan anggota kelompok, sehingga perlu dikaji seberapa jauh
anggota benar – benar telah dipahami dan dihayati oleh setiap anggota kelompok
yang bersangkutan. Winardi (2005) menambahkan bahwa peranan unsur psikologi
dalam kelompok sangat krusial dalam kaitannya dengan mengimplementasikan
perubahan dalam kelompok yang berasal dari sumber – sumber lain. Andai kata
perubahan kelompok yang bersangkutan memerlukan adanya modifikasi perilaku
para anggota, maka faktor – faktor tersebut perlu dipertimbangkan.

Leilani dan Hasan (2006) mengemukakan bahwa tujuan kelompok yang


telah dirumuskan harus sesuai dengan dimensi waktu, karena tujuan terkait
dengan rincian jenis dan kegiatan anggota dalam melaksanakan tujuan tersebut
dan jenis dan kegiatan terkait dengan dimensi waktu. Hughes dkk (2012)
menyarankan agar tujuan kelompok dapat tercapai maka diperlukan suatu umpan
balik yang membantu. Umpan balik yang membantu ini melibatkan berbagai
informasi atau persepsi dengan orang lain mengenai sifat, kualitas atau dampak
perilaku orang tersebut, karena hal tersebut penting bagi kinerja dan kemajuan
anggota. Tanpa umpan balik, seorang anggota tidak akan mampu mengetahui
apakah ia melakukan pekerjaannya dengan baik atau sikapnya melukai orang lain.
Umpan balik yang efektif dari atasan (pimpinan kelompok) juga memainkan
peran penting dalam membangun semangat. Pada berbagai cara, pengembangan
kecakapan umpan balik yang baik adalah hasil dari pengembangan kemampuan
berkomunikasi, mendengarkan, dan keasertifan yang baik. Memberikan umpan
balik yang baik juga tergantung pada kejelasan mengenai tujuan dari umpan balik
dan pada pemilihan konteks medium yang tepat untuk memberikannya serta
pemberian sinyal non – verbal dan sinyal emosional, sehingga dalam melakukan
umpan balik yang membantu diperlukan beberapa hal yang harus diperhatikan
antara lain: (1) bersikap spesifik; (2) bersikap deskriptif; (3) bersikap tepat waktu;
dan (4) bersikap fleksibel.
2. Struktur Kelompok (Group Structure)
Merupakan pola yang teratur tentang bentuk tata hubungan antara individu
– individu dalam kelompok yang sekaligus menggambarkan kedudukan dan peran
masing – masing dalam upaya pencapaian tujuan kelompok. Ketidakjelasan
mengenai struktur kelompok akan berpengaruh terhadap ketidakjelasan
kedudukan, peran, hak, kewajiban, dan kekuasaan masing – masing angotanya,
sehingga pelaksanaan kegiatan tidak mungkin dapat berlangsung efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan kelompok. Menurut Leilani dan Hasan (2006)
struktur kelompok di pengaruhi oleh tujuh faktor yaitu (1) kewenangan; (2) sistem
komunikasi; (3) aktivitas; (4) hak dan kewajiban, (5) besarnya kelompok, (6)
aspek kualitatif anggota dan (7) solidaritas dalam kelompok.

Tika (2010) menambahkan bahwa struktur kelompok dipengaruhi oleh


kinerja komunikasi. Komunikasi tersebut dibatasi oleh hierarki kewenangan yang
formal. Terkadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola
komunikasi antara pimpinan kelompok dan anggota atau antar anggota itu sendiri.
Ia juga menyatakan bahwa secara spesifik kinerja komunikasi dapat tercermin
dalam lima pola kinerja komunikasi, antara lain: (1) kinerja komunikasi yang
terapil dalam bentuk ritual; (2) kinerja komunikasi yang disebut passion; (4)
kinerja komunikasi yang dilakukan secara sosial; (4) kinerja komunikasi yang
disebut organizational politics; (5) kinerja komunikasi yang disebut enkulturisasi.

Hughes dkk (2012), bahwa ukuran setiap kelompok memiliki dampak


terhadap pemimpin sekaligus para anggotanya yang pada akhirnya akan
memengaruhi struktur kelompok terutama pada efektifitas kelompok dalam
berbagai cara, hal tersebut karena disebabkan oleh 3 hal. Pertama, kemunculan
pemimpin sebagian merupakan fungsi dari ukuran kelompok. Kedua, ketika
kelompok semakin besar, maka orang yang tergabung dalam sub kelompok
dengan tugas, nilai dan ekspetasi yang sama muncul sehingga memiliki pengaruh
yang lebih besar. Ketiga, ukuran kelompok juga dapat memengaruhi gaya
kepemimpinan seorang pemimpin.
3. Fungsi Tugas (task function)
Merupakan seperangkat tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota
kelompok sesuai dengan fungsinya masing – masing sesuai dengan kedudukan
dalam struktur kelompok. Leilani dan Hasan (2006), menyatakan bahwa fungsi
tugas dipengaruhi oleh
 kepuasaan karena bisa mencapai tujuan kelompok;
 pencarian informasi dan perolehan gagasan yang diperlukan kelompok;
 adanya koordinasi untuk mencapai kesepakatan bersama;
 diseminasi informasi (penyebaran informasi);
 penjelasan yang baik terhadap sebuah permasalahan yang membingungkan
anggota.
Tika (2010), menambahkan bahwa fungsi tugas dipengaruhi oleh lima
faktor, dimana lima faktor tersebut merupakan alasan dasar pembentukan
kelompok antara lain (1) kebutuhan akan interaksi sosial; (2) kebutuhan akan
keamanan; (3) kebutuhan akan status; (4) kedekatan tempat kerja dan (5) tujuan
bersama.

4. Pembinaan dan Pemeliharaan Kelompok (Group Building and


Maintenance)
Merupakan upaya kelompok untuk tetap memelihara dan mengembangkan
kehidupan kelompok atau upaya kelompok untuk berusaha memelihara tata kerja
dalam kelompok, mengatur, memperkuat, dan mengekalkan kelompok. Hughes
dkk (2012) menyarankan salah satu cara terbaik untuk memelihara tata kerja
adalah membangun hubungan kerja yang efektif dengan rekan kerja. Membangun
hubungan yang efektif tersebut dapat dilakukan dengan cara menyadari
kepentingan bersama, nilai – nilai, tujuan dan harapan, namun untuk mengetahui
aspirasi dan kepentingan bersama, seseorang harus mengetahui tujuan, nilai dan
kepentingan dari rekan kerjanya. Membangun hubungan komunikasi informal
adalah salah satu cara terbaik untuk mengetahui kepentingan dan nilai – nilai
bersama tesebut dengan cara kita perlu terbuka dan jujur dalam
mengomunikasikan kebutuhan, nilai – nilai, dan tujuan kita sendiri.
5. Kekompakan Kelompok (Group Cohesiveness)
Merupakan rasa keterikatan anggota kelompok terhadap kelompoknya. Rasa
keterikatan tersebut dapat dilihat/ditunjukan pada kesamaan tindakan (integrasi),
kerjasama, kesadaran, menjadi anggota, persamaan nasib, homogenitas perilaku,
kesepakatan terhadap tujuan kelompok, dan pengakuan terhadap kedisiplinan
kelompok. Leilani dan Hasan (2006) menjelaskan bahwa kekompakan kelompok
merupakan kesatuan dan persatuan kelompok. Semua ini menjadi suatu kekuatan
dalam kelompok, sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh anggota.
Tika (2010) menambahkan untuk menjaga kekompakan kelompok perlu
diperhatikan masalah enam unsur masalah integrasi internal yaitu (1) bahasa yang
sama dan kategori konseptual; (2) batas – batas kelompok dan kriteria inklusif dan
eksklusif; (3) kekuatan dan status; (4) hubungan kekeluargaan dan cinta; (5)
imbalan dan hukuman; (6) agama dan ideologi.

Hughes dkk (2012), menyatakan kekompakan kelompok merupakan perekat


yang menjaga keutuhan kelompok. Kekompakan merupakan total kekuatan yang
menarik para anggota untuk masuk ke dalam sebuah kelompok, mencegah mereka
keluar dari kelompok, dan memotivasi mereka untuk aktif di dalam kelompok
tersebut. Kelompok yang amat kompak saling berinteraksi dan memengaruhi satu
sama lain lebih dari kelompok yang kurang kompak. Kelompok yang amat
kompak memiliki tingkat ketidakhadiran dan pergantian (keluar – masuk) anggota
yang lebih rendah daripada kelompok yang kurang kompak; rendahnya
ketidakhadiran dan pergantian (keluar – masuk) anggota tersebut dapat
menghasilkan kinerja kelompok yang lebih tinggi pula; kinerja yang tinggi pada
gilirannya, dapat menghasilkan kekompakan yang lebih tinggi, dengan begitu
terciptalah lingkaran proses kelompok yang positif. Meskipun demikian,
kekompakan kelompok yang lebih tinggi dapat menimbulkan beberapa masalah
diantaranya adalah bertentangan dengan tujuan organisasi yang lebih besar,
adanya pembatasan yang berlebihan sehingga dapat menghalangi penggunaan
sumber daya eksternal yang dapat membuat mereka semakin efektif yang
akhirnya berakibat pada penurunan kinerja kelompok yang bersangkutan.
6. Suasana Kelompok (Group Atmosphere)
Merupakan lingkungan dan non – fisik (emosional) yang akan memengaruhi
perasaan setiap anggota kelompok terhadap kelompoknya, dengan kata lain
suasana kelompok merupakan sikap mental dan perasaan – perasaan yang secara
umum ada dalam kelompok (Leilani dan Hasan, 2006). Tika (2010)
menambahkan bahwa perasaan setiap anggota kelompok merupakan bentuk dari
pewarisan (learning) budaya kelompok. Pewarisan tersebut merupakan proses
pembelajaran untuk melestarikan budaya organisasi dari pimpinan atau anggota
kelompok kepada anggota – anggota baru dengan maksud agar budaya organisasi
dapat dipakai sebagai pedoman berperilaku oleh seluruh anggota kelompok dalam
organisasi. Pewarisan ini biasanya diajarkan dalam bentuk sistem komunikasi non
– verbal melalui signal yang sama kepada setiap anggota kelompok yang
kemudian menghasilkan perasaan atau pengalaman berbagi nilai, antara lain
kecemasan bersama, respon emosional bersama, aksi nyata bersama, melepaskan
emosi bersama dan penurunan emosi bersama.

Hughes dkk (2012), menambahkan bahwa suasana kelompok yang penuh


ketegangan dapat meningkatkan dorongan emosional kelompok sehingga
menimbulkan stress bagi anggota kelompok. Stress tersebut dapat menghambat
kinerja kelompok diantaranya mencakup penurunan kesehatan dan kesejahteraan
emosional, kinerja berkurang dan penurunan efektivitas kelompok. Salah satu
langkah penting dalam mengelola stress dalam lingkup kelompok dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain
 Memantau stress pemimpin / penyuluh dan anggota kelompok yang
bersangkutan;
 Identifikasi penyebab stress;
 Praktikan gaya hidup sehat;
 Belajar untuk rileks;
 Bangun hubungan suportif dengan orang lain;
 Pertahankan persepektif.
7. Tegangan Kelompok (Group Pressure)
Yaitu tekanan – tekanan atau ketegangan dalam kelompok yang
menyebabkan kelompok berusaha keras untuk mencapai tujuan kelompok.
Menurut Leilani dan Hasan (2006) ketegangan kelompok terbagi menjadi dua
macam yaitu ketegangan internal dan ketegangan eksternal. Andarwati dkk (2012)
menambahkan bahwa adanya kedua macam tegangan dalam kelompok
menyebabkan kelompok tersebut berusaha keras untuk mencapai tujuan
kelompok, yaitu persaingan untuk maju, imbalan (penghargaan) dan hukuman.

Hughes dkk (2012) menyatakan hukuman merupakan adminsitrasi dari


sebuah peristiwa tidak menyenangkan atau penarikan acara positif atau stimulus
yang pada gilirannya mengurangi kemungkinan bahwa perilaku tertentu akan
terulang. Pemberian hukuman harus di kelola secara benar (kontingen) agar tidak
menimbulkan efek emosional yang tidak diinginkan, tidak etis, dan efektif
menekan perilaku yang tidak diinginkan. Berdasarkan hal tersebut,
penyelenggaraan hukuman perlu dilaksanakan secara benar dengan cara
komunikasi efektif dua arah antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin perlu
memberikan alasan yang jelas untuk memberi hukuman dan konsekuensi atas
perilaku tidak dapat diterima di masa depan.

Ruvendi (2005) mendefinisikan imbalan merupakan sesuatu yang diterima


oleh kelompok ataupun dalam kelompok sebagai balas jasa atas prestasinya
kepada perusahaan dalam melaksanakan pekerjaannya. Imbalan tersebut biasanya
diberikan dalam bentuk insentif, bonus, gaji, upah, tunjangan, pangkat dan lain –
lain. Pada umumnya imbalan terbagi menjadi dua macam yaitu imbalan intirnsik
dan ekstrinsik. Imbalan intrinsik merupakan imbalan yang bersumber dari
kelompok itu sendiri seperti penyelesaian tugas, prestasi, otonomi, perkembangan
kelompok, sedangkan imbalan ekstrinsik merupakan imbalan yang berasal dari
luar kelompok, seperti penghargaan pemerintah, tunjangan nasional, dana hibah
prestasi dan lain – lain. Imbalan biasanya akan meningkatkan kepuasan anggota
sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi ketegangan kelompok.
8. Keefektifan Kelompok (Group Effectiveness)
Yaitu keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya, yang dapat dilihat
pada tercapainya keadaan atau perubahan – perubahan (fisik maupun non – fisik)
yang memuaskan anggotanya. Leilani dan Hasan (2006), menyatakan bahwa
keefektifan kelompok cenderung dapat meningkatkan dinamika kelompok jika
dilihat dari berbagai sudut pandang antara lain :
 Hasil atau produktivitasnya.
 Moral kelompok, semangat dan kesungguhan
 Tingkat kepuasan anggota – anggotanya

Ruvendi (2005) menjelaskan bahwa kepuasan anggota adalah suasana


psikologis tentang perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap
kelompok mereka, dengan kata lain kepuasan anggota dapat diartikan sebagai apa
yang membuat orang – orang menginginkannya dan menyenangi kelompoknya.
Apa yang membuat mereka bahagia dalam kelompoknya atau keluar dari
kelompoknya. Tika (2010) menambahkan bahwa kelangsungan hidup kelompok
merupakan kriteria efektifitas yang mengacu kepada tanggung jawan kelompok
dalam memperbesar kapasitas dan potensinya untuk berkembang sehingga dalam
praktiknya, para pimpinan/manajer kelompok menggunakan indikator jangka
pendek untuk kelangsungan hidup jangka panjang. Indikator – indikator tersebut
terdiri atas ukuran produktivitas, efisiensi, kecelakaan, moral, kepuasan anggota,
pergantian anggota, kualitas dan keuntungan.

Hughes dkk (2012) menambahkan bahwa terdapat hubungan antara


kepuasan anggota dengan motivasi. Hubungan implisit antara kepuasan dan
motivasi adalah bahwa kepuasan meningkat saat anggota menyelesaikan sebuah
tugas atau tantangan, khususnya saat tugas tersebut membutuhkan usaha besar.
Berdasarkan hal tersebut pemimpin / penyuluh perlu mengetahui berbagai teori
motivasi, hal tersebut karena pemimpin / penyuluh yang mengetahui berbagai
teori motivasi lebih cenderung memilih teori yang tepat untuk pengikut dan
situasi tertentu, dan seringkali mereka memeroleh pekerja dengan kinerja lebih
baik dan lebih puas sebagai hasilnya.
9. Agenda Terselubung (Hidden Agenda)
Yaitu tujuan – tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok yang diketahui oleh
semua anggotanya, tetapi tidak dinyatakan secara tertulis. Meskipun demikian
seringkali agenda terselubung justru sangat penting untuk mendinamisasikan
kelompok. Menurut
Leilani dan Hasan (2006) agenda terselubung adalah
program, tugas atau
tujuan yang tidak diketahui, disadari oleh para anggota
kelompok, karena berada di bawah permukaan agenda terselubung saling
mempengaruhi dan sama pentingnya dengan maksud dan tujuan yang terbuka.
Winardi (2005) mengemukakan bahwa adanya agenda terselubung dalam sautu
kelompok disebabkan dari faktor dimensi manusia. Faktor dimensi manusia
tersebut terdiri dari lima fase inti yang merupakan landasan bagi model Adkar
antara lain kesadaran tentang adanya kebutuhan untuk dinamis; kesadaran untuk
berpartisipasi dan membantu pendinamisan tersebut; pengetahuan tentang
bagaimana melaksanakan pendinamisasian; kemampuan untuk
mengimplementasikan dinamisasi tersebut sehari – hari;
perkuatan agar
dinamisasi tersebut tetap berlangsung
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dianalisis bahwa agenda terselubung
cenderung dipengaruhi oleh faktor dimensi manusia dimana tidak terlepas dari
hierarki kebutuhan dasar manusia. Hughes dkk (2012) menjelaskan melalui teori
hierarki kebutuhan Maslow bahwa dimensi manusia dipnegaruhi oleh lima tingkat
kebutuhan yang digambarkan dalam bentuk segitiga lima tingkat kebutuhan yaitu

kebutuhan aktualisasi diri

kebutuhan harga diri

kebutuhan rasa memiliki


kebutuhan keamanan kebutuhan fisiologis
86

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar dan Amelia Nani Siregar. 2010. “Kualitas Pelayanan Penyuluh


Pertanian dan Kepuasan Petani dalam Penanganan dan Pengolahan Hasil
Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.)”. Jurnal Penyuluhan Pertanian. Vol. 5 No.
1, Mei.

Ahmadi, A., dan Supriyono, W., 2004. Psikologi belajar. Jakarta: PT Rineka
Cipta.

Andarwati, Siti, Budi Guntoro, F. Trisakti Haryadi dan Endang Sulastri. 2012.
“Dinamika Kelompok Peternak Sapi Potong Binaan Universitas Gadjah
Mada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Sains Peternakan.
Vol.1(1) : 39 – 46, Maret. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Arifin, Zainal. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidkan Islam. Kementrian Agama.

Arliani, Elly. 2012. “Mengembangkan Sikap Saling Menghargai melalui


Pembelajaran Matematika : Upaya Memperbaiki Karakter Bangsa”.
Prosisding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematik
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. November.

Azzaini, Jamil. 2013. ON. Co – Writer: Sofie Beatrix. Bandung: PT Mizan


Pustaka.

Baba, Syahdar. 2008. “Rekayasa Teknologi Biogas untuk diadopsi Peternak Sapi
Potong di Sulawesi Selatan”. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Ban, van den ben, A.W. dan H.S. Hawkins. 2010. Penyuluhan Pertanian Cet. ke-
12 diterjemahkan oleh Agnes Dwina Herdiasti. Kanisius: Yogyakarta.

Bani, Suddin. 2012. “Objek Evaluasi Pendidikan”. Lentera Pendidikan. 5 (2) :231
– 239. Desember.

Cervone, Daniel dan Lawrence A. Pervin. 2012. Kepribadian : Teori dan


Penelitian Edisi 10 Buku ke-2. Penerjemah Aliya Tusyani, Evelyn Ridha
Manulu, Lala S.S, Petty G.G, Putri N.S. Jakarta : Salemba Humanika.
87

Eryanto, Henry dan Darma Rika. 2013. Pengaruh Modal Budaya, Tingkat
Pendidikan Orang Tua dan Tingkat Pendapatan Orang Tua terhadap
Prestasi Akademik pada Mahapeserta didik Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.
1(1) : 39 – 61. Maret.

Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian Edisi ke-7 Buku 2.
Penerjemah Smitha Prathita Sjahputri. Jakarta : Salemba Humanika

Feldman, Robert S. 2012. Pengantar Psikologi edisi ke-10 buku ke-1.


Penerjemah Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan. Jakarta:
Salemba Humanika.

Feldman, Robert S. 2012. Pengantar Psikologi edisi ke-10 buku ke-2.


Penerjemah Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan. Jakarta:
Salemba Humanika.

Giblin, Les. 2004. Skill with People. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gross, Richard. 2014. Psychology : The Science of Mind and Behaviour 6th
Edition. London : Hodder Education.

Hughes, Richard, Robert C. Ginnett, dan Gordon J. Curphy. 2012.


Leadership:Memperkaya Pelajaran dari Pengalaman edisi 7
diterjemahkan oleh Putri Iva Izzati. Jakarta: Salemba Humanika.

Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2004. Komunikasi dan


Penyuluhan Pertanian. Malang : Banyumedia Publishing.

Kemetrian Pertanian. 2012. “Buku II: Kelompok Tani sebagai Wahana


Kerjasama”. Materi Penyuluhan Pertanian dan Penguatan Kelembagaan
Petani. Pusat Penyuluhan dan Pertanian. Badan Penyuluhan dan
Pengembangan SDM Pertanian.

King, Laura A., .2010. Psikologi Umum : Sebuah Pandang Apresiatif, Buku
1. Penerjemah: Brian Marwensdy. Jakarta : Salemba Humanika.

King, Laura A.,. 2010. Psikologi Umum : Sebuah Pandang Apresiatif, Buku
2. Penerjemah: Brian Marwensdy. Jakarta : Salemba Humanika.
Leilani, Ani Dan OD. Subhakti Hasan. 2006. “Analisis Dinamika Kelompok Pada
Kelompok Tani Mekar Sari Desa Purwasari Kecamatan Dramaga
Kabupaten Bogorjurnal Penyuluhan Pertanian”. Jurnal Penyuluhan
Pertanian. Vol. 1(1) : 18 – 27.

Lepper, M. R., Corpus, J. H., & Iyengar, S. S. 2005. Intristic and Extrinsic
Motivational Orientations in The Classroom: Age Differences and
Academic Correlates. Journal of Educational Psychology, 97, 184 -196.

Muchlas, M. 2005. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University


Press.

Mulyatiningsih, Endang. 2010. Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, dan


Menyenangkan. Diklat Peningkatan Kompentensi Pengawas dalam
Rangka Penjaminan Mutu Pendidikan. Bojongsari, Depok: Direktorat
Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jawa
Barat.

Musyafak, Akhmad dan Tatang M Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan
Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian. 3 (1): 20 – 37. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian: Kalimantan Barat, Maret.

Poniman, Farid. 2011. STIFIn Personality : Mengenali Mesin Kecerdasan Anda.


Bekasi : Griya STIFIn Lt.2

Purba, Debora Elfina dan Ali Nina Liche Seniati. 2004. “Pengaruh Kepribadian
dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior”.
Makara, Sosial Humaniora. Vol.8, No.3 : 105 – 111, Desember.

Reed, Stephen K. 2011. Kognisi Teori dan Aplikasi Edisi ke-7. Penerjemah
Aliya Tusyani. Jakarta: Salemba Humanika. Hal: 101.

Rivai, Veithzal dan Arvian Arifin. 2009. Islamic Leadership: membangun


Superleadership melalui Kecerdasan Spiritual. PT Bumi Aksara:
Jakarta.

Ruvendi, Ramlan. 2005. “Imbalan Dan Gaya Kepemimpinan Pengaruhnya


Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Di Balai Besar Industri Hasil
Pertanian Bogor”.Jurnal Ilmiah Binaniaga. Vol 1 (1) : 17 – 26.

Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta : Bumi Aksara.


Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 1. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.

Siagian, Roida Eva Flora. 2010. “Pengaruh Minat dan Kebiasaan Belajar Peserta
didik terhadap Prestasi Belajar Matematika”. Jurnal Formatif 2(2) : 122
- 131

Sinaga, Asmina Herawaty. 2004. “Peranan Waktu dalam Adopsi Teknologi pada
Kegiatan Penyuluhan Pertanian”. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu
Pertanian. Vol. 2(1) : 29 – 32. April. Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.

Sudjana, S. HD. 2004. Pendidikan Non Formal, Wawasan, Sejarah


Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas. Penerbit Falah
Production: Bandung dalam Syamsi, Ibnu. 2010. Pendidikan Luar
Sekolah sebagai Pemberdaya dalam Masyarakat.

Sumarno, Muhammad. 2010. “Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi Pengusaha


Sentra Industri Kecil Kerajinan Gerabah Asongan Kabupaten Sentul”.
Jurnal Manajemen dan Kewiraushaan. Vol. 12(1) : 1 – 10. Maret.
Fakultas Teknik dan Pascasarjana. Universitas Negeri Medan.

Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan


Praktek. Arti Bumi Intaran: Yogyakarta.

Taylor, R., 2011. Kiat-kiat Pede untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri. :
Jakarta. penerbit PT Gramedia Pustaka Utama

Tika, Moh. Pabundu. 2010. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja


Perusahaan. Cetakan ke-3 Jakarta : PT Bumi Aksara.

Wahyuni, Sri. 2014. “Hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan


berbicara di depan umum pada mahapeserta didik psikologi”. eJournal
Psikologi. 2 (1) : 50 – 64.

Yetti, Rivda. 2009. “Pengaruh Keterlibatan Orang Tua terhadap Minat


Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan Stres Lingkungan”.
PEDADOGI : Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. IX (1) : 17 – 28. April.

Anda mungkin juga menyukai