PAPER PENYULUHAN ADOPSI DIFUSI INOVASI A-Dikonversi
PAPER PENYULUHAN ADOPSI DIFUSI INOVASI A-Dikonversi
PAPER PENYULUHAN
MOHAMMAD RIFKY F
D1E011090
KELAS A
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah segala puji syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya paper ini terselesaikan. Penyusun juga
mengucapkan terimakasih kepada dosen – dosen pengampu mata kuliah
penyuluhan atas bimbingannya dan teman – teman kuliah atas dukungannya
dalam penyusunan dan penyelesaian paper ini
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
JUDUL.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1.Latar Belakang...................................................................................................1
1.2.Tujuan................................................................................................................1
II. ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI MELALUI PENDEKATAN
PSIKOLOGI...........................................................................................................2
2.1. Adopsi Inovasi..................................................................................................2
2.1.1.Pengertian Adopsi Inovasi..............................................................................2
2.1.2.Tahapan Adopsi Inovasi..................................................................................4
2.1.3.Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Adopsi Inovasi...................................7
2.2.Difusi Inovasi...................................................................................................17
III. PENDIDIKAN ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN
PSIKOLOGI.........................................................................................................22
3.1.Konsep Dasar Pendidikan Orang Dewasa........................................................22
3.1.1.Definisi Pendidikan Orang Dewasa..............................................................22
3.1.2.Tujuan Pendidikan Orang Dewasa................................................................26
3.2.Hambatan Pendidikan Orang Dewasa (10)......................................................27
3.2.1.Hambatan Fisiologik.....................................................................................27
3.2.2.Hambatan Psikologik....................................................................................32
3.2.Hambatan Perilaku...........................................................................................38
IV. PRINSIP DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENDIDIKAN
ORANG DEWASA MELALUI PENDEKATAN PSIKOLOGI.....................42
4.1.Suasana.............................................................................................................42
4.1.1.Suasana Pendidikan Aktif.............................................................................42
4.1.2.Suasana Saling Menghormati........................................................................43
4.1.3.Suasana Saling Percaya.................................................................................44
4.1.4.Suasana untuk Menemukan Jati Diri.............................................................45
iv
I. PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengkaji adopsi, inovasi dan difusi melalui pendekatan psikologi
2. Mengkaji pendidikan orang dewasa melalui pendekatan psikologi
3. Mengkaji prinsip dan faktor yang berpengaruh dalam pendidikan orang
dewasa melalui pendekatan psikologi
4. Mengkaji dinamika kelompok
6
Ibrahim dkk (2004) menyebutkan adopsi adalah proses yang terjadi sejak
pertama kali seseorang mendengar hal yang baru sampai orang tersebut
mengadopsinya. Peternak sasaran mengambil keputusan setelah melalui beberapa
tahapan dalam proses adopsi. Beberapa tahapan yang harus dilalui yaitu tingkat
adopsi sangat dipengaruhi tipe keputusan untuk menerima atau menolak inovasi.
Tipe keputusan adopsi inovasi, proses adopsi dapat melalui empat tahap yaitu:
tahap mengetahui (knowledge), persuasi (persuasion), pengambilan keputusan
(decision) dan konfirmasi (confirmation) dimana konfirmasi merupakan bagian
dari perefleksian dan pengembangan adopsi secara berkelanjutan (Hughes dkk,
2012).
1. Perubahan Kognitif
Terjadi melalui penyampaian info inovasi sehingga masyarakat menjadi
tahu. Teknik penyampaian pengetahuan ada dua macam yaitu pertama adalah
penyampaian secara massal dan kedua adalah penyampaian secara individual.
Menurut Ban dan Hawkins (2010) perubahan kognitif seseorang menyebabkan
perbedaan persepsi seseorang walaupun dalam situasi yang sama, sehingga dalam
tahap ini harus dilakukan redundancy (pengulangan pesan) yaitu menentukan
suatu strategi yang dapat mewakili suatu gagasan yang mengacu pada sebagian
besar gaya kognitif.
2. Perubahan Afektif
Terjadi ketika masyarakat tahu dan memahami informasi inovasi yang
diberikan dimana pemahaman tersebut diperoleh dengan belajar secara lebih
mendalam terhadap informasi inovasi yang disampaikan. Perubahan ini terjadi
berkenaan dengan sikap, kemampuan, dan penguasaan segi – segi emosional yaitu
perasaan dan nilai. Menurut Tika (2010) nilai yang dimaksud adalah asumsi dasar
mengenai hal – hal yang ideal diinginkan atau berguna antara lain : hakikat
dengan lingkungan, hakikat orientasi waktu, hakikat sifat manusia, hakikat
aktivitas manusia, hakikat hubungan manusia, hakikat kebenaran dan hakikat
universalisme / partikularisme.
3. Perubahan Psikomotorik
Perubahan ini berkenaan dengan suatu keterampilan atau gerakan – gerakan
fisik (tindakan). Hughes dkk (2012) berpendapat bahwa tindakan dipengaruhi oleh
persepsi (afektif). Variabel persepsi yang mempengaruhi tindakan tersebut salah
satunya adalah ramalan pemenuhan diri (self – fullfiling prophecy), yang terjadi
ketika ekspektasi atau prediksi sasaran memainkan peran yang berhubungan
dengan kejadian yang di ramalkan misal, fenomena sosial atau fenomena hal baru
yang terjadi dan ekspetasi masyarakat terhadap orang lain terutama orang asing.
Berdasarkan hal tersebut penting bagi penyuluh untuk memahami ekspetasi
masyarakat terhadap orang lain (terutama penyuluh itu sendiri).
2.1.2 Tahapan Adopsi Inovasi
1. Kesadaran (Awareness)
Merupakan kesadaran terhadap permasalahannya, sehingga masyarakat akan
terpacu berfikir kreatif dimana terfokus pada unsur pribadi dengan segala
keunikannya (Rivai dan Arifin, 2009). Menurut Hughes dkk (2012) unsur pribadi
(kepribadian) merupakan struktur tak terlihat dan proses yang mendasari di dalam
diri seseorang yang menjelaskan alasan berperilaku yang cenderung relatif sama
di situasi yang berbeda dan ataupun berbeda dari perilaku orang lain. Unsur
pribadi tersebut biasanya terjadi karena kekuatan sifat – sifat yang mereka miliki.
Sifat – sifat ini biasanya akan berinteraksi dengan faktor eksternal terutama pada
berbagai faktor situasional. Tika (2010) menguatkan bahwa emosi memainkan
peranan utama dalam membentuk persepsi. Misalnya emosi negatif dijumpai
menghasilkan penyederhanaan berlebihan terhadap isu – isu inovasi, mengurangi
kepercayaan dan penafsiran yang negatif terhadap perilaku pihak lain. Sebaliknya,
emosi positif dapat meningkatkan hubungan yang potensial di antara unsur –
unsur suatu masalah, mengambil pandangan yang luas di antara unsur – unsur
suatu masalah dan mengembangkan penyelesaian yang lebih inovatif.
Berdasarkan hal tersebut hendaknya penyuluh memahami konsep ini karena
masyarakat (sasaran adopsi) memiliki emosi yang berbeda ketika hendak
diberdayakan melalui adopsi inovasi, sehingga bukan sesuatu yang mengherankan
apabila terdapat persepsi yang berbeda – beda.
2. Minat (Interest)
Keinginan untuk mengetahui lebih lanjut inovasi yang ditawarkan dengan
cara memancing rasa ingin tahu nya (Ban dan Hawkins, 2010). Minat tersebut
merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan bila
orang tersebut diberi kebebasan untuk memilih. Pada suatu masyarakat pedesaan,
umumnya motivasi yang sering muncul adalah motivasi sosial. Menurut Gross
(2014), motivasi sosial merupakan proses aktifitas yang meliputi inisiasi,
pengarahan, energisasi, terhadap tingkah laku individu berdasarkan situasinya
yaitu pada saat orang lain berada dekat dengan individu yang bersangkutan.
3. Evaluasi (Evaluation)
Menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi. Tahap ini
merupakan titik kritis karena merupakan faktor yang paling menentukan dalam
menimbulkan semangat akan suatu program inovasi yang di jalankan (Musyafak
dan Ibrahim, 2005). Hughes dkk (2012) menerangkan, selain manfaat dan
kekurangan penggunaan inovasi, salah satu yang menjadi pertimbangan lain
dalam melakukan adopsi adalah keahlian masyarakat, sifat pribadi masyarakat
akan perkembangan serta hierarki kebutuhan masyarakat. Sifat pribadi masyarakat
akan perkembangan yang perlu di pertimbangkan lebih dalam adalah kemampuan
dalam menerima dan menerapkan inovasi serta mencurahkan waktu dan usaha
yang diperlukan untuk menerima dan menerapkannya. Pada hierarki kebutuhan
masyarakat hal – hal yang harus dipertimbangkan lebih dalam ialah kebutuhan
fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan rasa memiliki, kebutuhan harga diri,
dan kebutuhan aktualisasi diri.
Menurut Feist dan Feist (2010), aktualisasi diri merujuk pada manusia
secara keseluruhan – kesadaran dan ketidaksadaran, fisiologis dan kognitif.
Aktualisasi diri tersebut salah satunya adalah konsep diri. Konsep diri meliputi
seluruh aspek dalam keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh
individu tersebut. Bagian – bagian dari diri organismik berada di luar kesadaran
seseorang atau tidak dimiliki oleh orang tersebut, sehingga, saat manusia
(masyarakat sasaran) sudah membentuk konsep dirinya, ia akan menemukan
kesulitan dalam menerima perubahan / inovasi dan pembelajaran yang penting,
karena pengalaman yang tidak konsisten dengan diri mereka, biasanya disangkal
atau hanya diterima dengan bentuk yang telah didistorsi atau diubah. Berdasarkan
hal tersebut penyuluh hendaknya manyadari bahwa dalam praktiknya ada
beberapa masyarakat yang belum dapat beradaptasi terhadap suatu inovasi
walaupun pertimbangan (evaluasi) telah dilakukan dengan matang, hal tersebut
karena setiap masyarakat mempunyai konsep diri yang sudah terbangun dimana
jika sudah terbangun akan terasa sulit membuat perubahan karena konsep diri
tersebut seringkali memunculkan kecemasan dan ancaman.
4. Percobaan/Demplot/Percontohan (Trial)
Melakukan percobaan untuk menguji sendiri inovasi dalam skala kecil. Pada
tahap ini, penyuluh harus membuat miniatur/model inovasi terlebih dahulu.
Tujuannya adalah untuk meyakinkan penilaian inovasinya sehingga ketika
penyuluh melakukan demplot pada peternak, maka peternak merasa ingin
menerapkan dalam usaha peternakannya. Sederhananya, penyuluh berperan untuk
menuntun peternak agar secara teknis dapat mempraktekan inovasi secara
mandiri. Penyuluh harus aktif melakukan supervisi, karena apabila mengalami
kegagalan maka kepercayaan peternak akan inovasi yang diberikan akan sirna
seketika. Hilangnya kepercayaan akan menyulitkan untuk mengadopsi kembali
inovasi yang telah disuluhkan (trauma) (Baba, 2008).
Menurut Rivai dan Arifin (2009) Inovasi merupakan sesuatu yang baru yang
berasal dari potensi terpendam yang dimiliki oleh manusia untuk dipakai dalam
menempuh kehidupan yang disebut kreativitas, bentuk kreativitas dapat berupa
ide – ide baru atau hasil penyempurnaan yang muncul dari hasil imajinasi yang
kemudian diberi sentuhan teknologi sehingga menjadi terobosan baru dalam
memecahkan masalah yang timbul. Selanjutnya imajinasi merupakan kemampuan
dalam menciptakan gagasan atau gambaran mental dalam pikiran kita atau
visualisasi untuk menciptakan citra yang jelas tentang suatu yang kita inginkan
bisa tercapai. dan memiliki manfaat atau nilai yang lebih baik. King (2010),
menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk memikirkan
sesuatu dalam cara yang baru dan tidak biasa untuk menghasilkan pemecahan
masalah yang tidak biasa karena cara berpikir ini lebih cenderung kearah yang
divergen (menyebar) atau satu pertanyaan menghasilkan banyak jawaban.
Ban dan Hawkins (2010) menjelaskan terdapat lima sifat inovasi antara lain:
Keuntungan relatif, maksudnya adalah apakah inovasi tersebut
memungkinkan peternak mencapai tujuannya dengan lebih baik, atau
dengan biaya yang lebih rendah daripada yang telah dilakukan sebelumnya
Kompabilitas (kemudahan untuk dipahami), berkaitan dengan nilai sosial
budaya dan kepercayaan dengan gagasan yang diperkenalkan sebelumnya
atau dengan keperluan yang dirasakan oleh peternak.
Komplesitas (kerumitan), yaitu inovasi tersebut memerlukan pengetahuan
dan keterampilan khusus dan sangat terkait dengan displin ilmu.
Triabilitas (dapat dicoba), yaitu kecenderungan peternak untuk mengadopsi
inovasi dalam skala kecil dan terbukti lebih baik.
Observalibitas (dapat diamati dan dipahami), sehingga terdapat proses
pembelajaran dan diskusi dari peternak yang bersangkutan.
7. Pengaruh (Impact) yang menyangkut hasil yang telah dicapai perserta didik
Komponen ini menyangkut hasil yang telah dicapai oleh peserta didik dan
lulusan. Pengaruh ini meliputi antara lain, (a) perubahan taraf hidup yang ditandai
dengan memperoleh pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan
pendapatan, kesehatan dan penampilan diri, (b) kegiatan membelajarkan orang
lain atau mengikutsertakan orang lain dalam memanfaatkan hasil yang telah
dimiliki, (c) peningkatan partisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan
masyarakat, baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda dan dana. Pengaruh
tersebut tidak hanya sampai pada ketiga hal tersebut saja, tapi juga membuat
peserta didik mampu beradaptasi terhadap stimulus poin a, b dan c dengan pola
berbeda melalui generalisasi stimulus yaitu suatu proses dimana setelah stimulus
terkondisikan untuk menghasilkan respon tertentu, stimulus yang mirip dengan
stimulus asli setelah stimulus pengaruh hasil pendidikannya terkondisikan untuk
menghasilkan respon tertentu. Semakin besar kesamaan antara kedua stimulus,
semakin besar kemungkinan terjadinya generalisasi stimulus. Respon terkondisi
yang dimunculkan oleh stimulus baru tersebut biasanya ridak sama intens dengan
respon terkondisi asli, meskipun semakin mirip stimulus baru tersebut dengan
stimulus lama, akan semakin miriplah respon yang baru dengan respon yang lama
(Feldman, 2012).
3.1.2. Tujuan Pendidikan Orang Dewasa
Perubahan perilaku yang lebih baik dari pada saat ini, baik secara kognitif,
afektif dan psikomotor agar terjadi peningkatan dalam hal merubah dan
mendapatkan material sehingga tercapai kesejahteraan. Aspek kognitif berupa
konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek
tersebut. Aspek afektif nampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan
pribadi terhadap obyek tersebut (Sudjana, 2004).
Reed (2011) mengemukakan minat merupakan salah satu dimensi dari aspek
afektif yang banyak berperan juga dalam kehidupan seseorang, khususnya dalam
kehidupan belajar seorang murid. Aspek afektif adalah aspek yang
mengidentifikasi dimensi-dimensi perasaan dari kesadaran emosi, disposisi, dan
kehendak yang memengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. Dimensi aspek
afektif mencakup tiga hal penting, yaitu: (1) Berhubungan dengan perasaan
mengenai objek yang berbeda; (2) Perasaan-perasaan tersebut memiliki arah yang
dimulai dari titik netral ke dua kubu yang berlawanan, titik positif dan titik
negatif; (3) Berbagai perasaan memiliki intensitas yang berbeda, yang dimulai
dari kuat ke sedang ke lemah. Mengartikan minat adalah perhatian yang kuat,
intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melakukan suatu
aktivitas. Yetti (2009), berpendapat bahwa minat adalah kesadaran seseorang pada
sesuatu, seseorang, suatu soal atau situasi yang bersangkut paut dengan dirinya.
Tanpa kesadaran seseorang pada suatu objek, maka individu tidak akan pernah
mempunyai minat terhadap sesuatu. Menurut Feldman (2012), minat sebagai
sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang pada apa yang akan mereka
lakukan bila diberi kebebasan untuk memilihnya. Bila mereka melihat sesuatu itu
mempunyai arti bagi dirinya, maka mereka akan tertarik terhadap sesuatu itu yang
pada akhirnya nanti akan menimbulkan kepuasan bagi dirinya. Fiest dan Fiest
(2010) menyatakan kepuasan bagi dirinya tersebut di namakan sebagai respon
afektif, yaitu tanggapan emosi, perasaan dan reaksi fisiologi (afektif) dimana
kedua tanggapan tersebut tidak dapat dipisahkan dari kognisi dan saling
berinteraksi dengan situasi tertentu untuk menentukkan perilaku.
3.2 Hambatan Pendidikan Orang Dewasa
3.2.1 Hambatan Fisiologik
Fisiologik berasal dari kata fisio yaitu fungsi atau faal organ tubuh dan logik
yaitu ilmu, sehingga fisiologik merupakan ilmu yang mempelajari fungsi faal
organ - organ tubuh. Pada orang dewasa secara fisiologik terjadi penurunan fungsi
organ dimana menjadi salah satu kendala penghambat pendidikan. Penurunan
fungsi tersebut antara lain:
1. Titik penglihatan
Kendala ini berkaitan dengan gangguan pada titik penglihatan orang
dewasa. Gangguan titik penglihatan tersebut menyebabkan gangguan persepsi
penglihatan. Pada saat penglihatan terganggu atau hilang akan mempengaruhi
perilaku belajar seseorang. Menurut Feldman (2012) beberapa gangguan persepsi
penglihatan pada orang dewasa diantaranya adalah gangguan akomodasi (yaitu
kemampuan lensa mata untuk memfokuskan cahaya dengan mengubah
ketebalannya) pada lensa mata seseorang yang menyebabkan bayangan tidak atau
kurang terfokus pada bagian tepian mata. King (2010) menambahkan gangguan
penglihatan lain pada orang dewasa adalah synasethesia perception yaitu
merupakan suatu kasus gangguan penglihatan dimana individu mengalami
kebingungan pada indra persepsinya (indra penglihatan) akibat induksi dengan
indra lainnya. Sebagai contoh, beberapa individu “melihat” music atau
“mengecap” warna. Seorang wanita yang dapat mengecap suara. Bentuk paling
umum adalah grapheme synaesthesia, dimana huruf atau angka memiliki
tingkatan warna tertentu sehingga seorang individu dapat merasakan bahwa huruf
“A” memiliki warna kuning bunga matahari dan angka 2 memilki warna abu –
abu semen. Hal tersebut diakibatkan karena gangguan bagian korteks parietal
posterior yang terkait dengan integrasi normal. Fiest dan Fiest (2010) menguatkan
bahwa gangguan persepsi tersebut akan berpengaruh terhadap pembelajaran
individu secara observasi terutama terjadi gangguan perhatian individu terhadap
materi yang dipelajari secara observasi dan pada akhirnya akan terjadi produksi
perilaku yang berbeda pada individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut
maka penyuluh / pendidik disarankan untuk melakukan representasi verbal.
2. Kemampuan mendengar
Penurunan kemampuan mendengar merupakan salah satu kendala dalam
pendidikan orang dewasa, terutama pada lansia. Penurunan pendengaran tersebut
ditandai dengan kurang mampu membedakan bunyi. Menurut King (2010)
kurangnya kemampuan untuk membedakan bunyi disebabkan oleh penurunan
sistim fisiologi auditori (pendengaran) saat memproses getaran pada udara.
Penurunan pemrosesan getaran udara tersebut meliputi dua macam yaitu
penurunan frekuensi (tinggi bunyi) dan amplitudo (intensitas bunyi). Penurunan
tersebut fisiologi auditori tersebut biasanya seringkali terjadi pada telinga bagian
dalam. Menurut Feldman (2012) telinga bagian merupakan bagian dari telinga
yang mengubah getaran suara menjadi bentuk yang dapat disalurkan ke otak.
Bentuk ini juga mengandung organ yang membuat manusia dapat mengalokasikan
posisi dan menentukan bagaimana bergerak dalam ruang. Ketika suara memasuki
telinga dalam melalui jendela oval, suara ini kemudian bergerak menuju koklea
atau rumah siput, suatu bentuk lengkung yang terlihat seperti seekor siput dan
dipenuhi dengan cairan yang bergetar sebagai respon terhadap suara. Di dalam
koklea tersebut terdapat membran basilar, suatu struktur yang terletak menuju
pusat koklea, membagi koklea tersebut menjadi ruang atas dan ruang bawah.
Membrane basilar ini dilingkupi oleh sel rambut. Ketika sel rambut ini
digerakkan oleh getaran yang memasuki koklea tersebut, maka sel – sel yang ada
didalamnya akan mengirimkan suatu pesan neural ke otak dalam bentuk informasi
auditori yaitu korteks serebrum tepatnya pada lobus temporal (dibawah dahi).
Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa penurunan pendengaran tersebut
berpengaruh terhadap penurunan senstivitas reaksi, yaitu perbedaan sensivitas
aktivitas otak sebagai hasil pemberian stimulus yang mendukung (suara) dimana
berpengaruh terhadap kepribadian dalam bentuk perilaku. Dengan kata lain
kepribadian tersebut berhubungan dengan perbedaan dalam proses biologis atau
bagaimana individu akan berespon terhadap suatu stimulus dalam hal ini adalah
bunyi sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi potensi perilaku individu
terutama pada perhatian individu terhadap materi yang diterangkan saat proses
pendidikan.
King (2010) dalam penelitiannya menerangkan bahwa penurunan
kemampuan bunyi secara fisiologis di tandai dengan beberapa gejala. Beberapa
gejala tersebut adalah penurunan kemampuan pada kedua telinga untuk
menentukan lokasi suara, hal tersebut karena setiap telinga menerima rangsangan
yang agak berbeda dari sumber bunyi. Akibat dari hal tersebut, maka individu
seringkali menemui kesulitan menentukan arah bunyi yang datang tepat dari
depan mereka, karena suara tersebut sampai ke telinga mereka pada waktu yang
bersamaan. Hal tersebut juga terjadi pada suara yang datang tepat dari atas dan
dari belakang individu.
Solusi untuk mengatasi kendala ini adalah pada proses belajar perlu
dilakukan remediasi (pengulangan pesan) yang dilakukan secara bertahap. Hal
tersebut karena belajar merupakan suatu proses yang memerlukan intelektual /
pikiran (akal) dan emosi / perasaan (budi). Feldman (2012) menyatakan bahwa
pengulangan dalam pendidikan tersebut dapat dilakukan melalui latihan, dimana
proses ini cara ini dilakukan untuk mentransfer memori jangka pendek ke memori
jangka panjang. Transfer yang dibuat dari memori jangka pendek ke memori
jangka panjang ini sepertinya sangat tergantung pada jenis latihan yang di
lakukan. Ia menyarankan agar informasi tersebut dapat masuk ke memori jangka
panjang perlu di lakukan latihan elaboratif. Latihan ini terjadi ketika informasi
diperhatikan dan diorganisasi dalam beberapa cara. Organisasi ini mungkin
melibatkan perluasan informasi untuk membuatnya sesuai dengan kerangka
berpikir logis tertentu, mangaitkan informasi tersebut dengan memori lain,
mengubahnya menjadi gambar sebuah gambar, atau mengubahnya dalam
beberapa cara lain. Salah satu strategi yang digunakan untuk latihan ini adalah
dengan menggunakan mnemonics, yaitu teknik formal untuk mengorganisasi
informasi dalam sebuah cara untuk membuat informasi tersebut lebih dapat
diingat.
4. Lebih Suka pada Hal yang Bersifat Pengalaman
King (2010) menyatakan bahwa orang dewasa cenderung menyukai pada
hal yang bersifat pengalaman karena beberapa aspek kognisi (pikiran) yang
membaik seiring dengan bertambahnya usia salah satunya adalah kebijaksanaan
(wisdom). Kebijaksanaan ini meliputi pengetahuan peserta didik mengenaik aspek
praktis dalam hidup. Kebijaksanaan ini mungkin meningkat seiring bertambahnya
usia karena bertambahnya pengalaman hidup. Dengan kata lain orang dewasa
cenderung dapat mengembangkan dirinya melalui pengalaman dan kesulitan
hidup yang dilaluinya akibatnya pengalaman dari peserta didik akan bertentangan
dengan struktur pemikiran dari pendidik. Ia juga menyarankan bahwa untuk
mendidik pada situasi semacam ini pendidik / penyuluh perlu melakukan asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi dilakukan dengan menjelaskan keadaan lingkungan
yang bersangkutan melalui struktur pemikiran dari si pendidik dan akomodasi
dilakukan dengan memodifikasi struktur pemikiran pendidik (dengan kata lain
mengubah cara berpikir dari peserta didik).
Cervone dan Pervin (2012) menyatakan orang dewasa lebih suka pada hal
yang bersifat pengalaman karena mereka memliki ketahanan psikologis.
Ketahanan psikologis tersebut disebabkan karena meningkatnya kebijaksanaan
pribadi walaupun mungkin terjadi penurunan kognitif. Hal tersebut terjadi karena
orang dewasa memilih domain tertentu dalam kehidupan di mana mereka
memfokuskan energi dan pengetahuan mereka, sehingga dapat dimungkkinan
mereka sangat mampu mempertahankan tingkat dari fungsi dan kesejahteraan
dalam domain kehidupan yang dipilih dimana hal ini berkaitan erat dengan
kebiasaan mereka. Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan teori Carl
Gustav Jung dapat di analisis bahwa kemungkinan besar orang dewasa mampu
memfokuskan energi dan pengetahuan mereka disebabkan oleh dominansi tipe
kecerdasan pada salah satu bagian otak yang ada di dalam diri sejak mereka lahir
dimana ini akan menjadi naluri berpikir seumur hidup mereka dan dominansi ini
bersifat genetik (merupakan karpet merah (anugrah) yang di berikan oleh Yang
Maha Kuasa) (Poniman, 2011).
5. Perlu bukti konkrit
Pendidik / penyuluh dalam mendidik perlu memberikan bukti konkrit ke
peserta didik. Pemberian bukti konkrit tersebut dapat berupa demonstrasi ataupun
memberi contoh fakta kepada peserta didik dalam bentuk media visual, audio
maupun kinestetik kepada peserta didik. King (2010) melalui penelitian
longitudinal K.Warner Schaie tentang kemampuan intelektual orang dewasa,
menyatakan bahwa orang dewasa perlu di berikan bukti konkrit karena pada masa
dewasa mengalami penurunan dua dari keenam kemampuan intelektual yaitu
kemampuan numerik (kemampuan untuk mengenali dan mengingat unit bahasa,
seperti daftar kata – kata) dan kecepatan penginderaan (kemampuan untuk secara
cepat dan tepat membuat pembedaan dari rangsang visual) terutama pada masa
dewasa tengah. Kecepatan pengideraan menunjukan penurunan terlebih dahulu,
yaitu dimulai pada masa dewasa awal.
Fiest dan Fiest (2010) menambahkan bahwa tiga unsur tersebut harus
dilengkapi dengan kecederungan untuk aktualisasi diri (self-actualization)
sebagaimana dirasakan oleh kesadaran sehingga pengalaman peserta didik selaras
dengan pandangan mereka terhadap diri. Tujuannya adalah supaya pendidikan
yang di lakukan tersebut berhasil, karena orang dewasa mempunyai sifat dasar
seperti manusia pada umumnya yaitu mereka lebih tertarik pada diri mereka.
3.2.3 Hambatan perilaku
1. Harapan Penyelenggara
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dipertimbangkan pendidik
diantaranya adalah keselarasannya (harapan penyelenggara), dengan harapan
peserta didik. Menurut Feldman (2012) dalam mempertimbangkan harapan pada
peserta didik, pendidik harus memperhatikan tiga kebutuhan yang menyebabkan
seseorang mempunyai harapan antara lain
Kebutuhan berprestasi adalah karakteristik yang stabil dan dipelajari
ketika seseorang mendapatkan kepuasan dengan berjuang untuk dan
mencapai tingkat kesempurnaan.
Kebutuhan berafiliasi adalah ketertarikan untuk membangun dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain (berusaha menjalin
pertemanan). Para individu dengan tingkat kebutuhan berafiliasi yang tinggi
biasanya sensitif terhadap hubungan dengan orang lain. Mereka ingin
menghabiskan lebih banyak waktu bersama teman – teman mereka dan lebih
sedikit waktu untuk menyendiri.
Kebutuhan berkuasa adalah tendensi untuk mencari pengaruh, kontrol
atau pengaruh terhadap orang lain dan untuk dilihat sebagai seorang
individu yang berkuasa (berusaha memberikan pengaruh pada orang lain).
Individu tipe ini biasanya lebih cenderung terlibat dalam organisasi. Mereka
juga cenderung bekerja dalam profesi yang kebutuhan berkuasa mereka
akan mendapat pemenuhan seperti manajemen bisnis
Cervone dan Pervin (2012) menambahkan bahwa efikasi diri yang tinggi
dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif
untuk menghasilkan empat variabel prediktif. Ketika efikasi diri tinggi dan
lingkungan responsif, hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat efikasi
rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, peserta didik mungkin
akan merasa depresi karena mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil
melakukan suatu tugas yang terlalu sulit untuknya. Saat seseorang dengan efikasi
diri yang tinggi menemui situasi lingkungan yang tidak responsif, biasanya akan
meningkatkan usahanya untuk mengubah lingkungan. Orang tersebut dapat
melakukan protes – protes, kegiatan aktivis sosial, atau bahkan kekuatan untuk
memulai perubahan; namun saat semua usaha tersebut gagal maka orang tersebut
akan menyerah dan mencari lingkungan baru yang lebih responsif. Berdasarkan
hal tersebut dapat di analisis bahwa penyelenggara / penyuluh harus menciptakan
lingkungan yang responsif bagi peserta didik. King (2010) menguatkan bahwa hal
– hal lain yang mampu memberikan harapan pada peserta didik adalah keyakinan
religius. Partisipasi religius juga dapat memberikan dampak positif terhadap
kesehatan melalui hubungannya dengan dukungan sosial. Pikiran yang religius
dapat berperan menjaga harapan dan menstimulasi perubahan hidup yang positif.
3. Ragu Apakah dapat diterapkan / Tidak
Ketidakselarasan antara harapan peserta didik dengan harapan
penyelenggara menimbulkan keraguan. Keraguan (skeptis) tersebut biasanya
sering di alami oleh penyelenggara / pendidik / penyuluh apakah materi yang di
ajarkan pada peserta sesuai atau tidak dengan harapan peserta didik, hal tersebut
keraguan muncul karena diawali dari kecemasan. Menurut Fiest dan Fiest (2010),
kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai kesadaran bahwa kejadian yang
dihadapkan pada seseorang berada di luar jangkauan praktis dari sistem konstruk
orang tersebut. Cervone dan Pervin (2012) menambahkan seseorang akan merasa
cemas jika tidak memiliki konstruk, ketika seseorang telah “kehilangan pegangan
strukturalnya pada peristiwa, ketika seseorang terjebak dalam konstruk yang
buruk”. Orang melindungi dirinya dari kecemasan dalam berbagai cara
diantaranya individu mungkin memperluas suatu konstruk dan memudahkannya
untuk bisa diaplikasikan pada berbagai jenis peristiwa, atau mereka mungkin
membatasi konstruk mereka dan berfokus pada detail tertentu.
Cervone dan Pervin (2012) menguatkan bahwa pada masa dewasa awal dan
tengah mereka cenderung memiliki ketahanan psikologis. Mereka umumnya
mampu menahan kesulitan yang menyertai di kemudian tahun dan
mempertahankan rasa diri dan kesejahteraan pribadi. Berdasarkan hal tersebut
maka penyuluh atau pendidik hendaknya memfokuskan sistem pengajarannya
pada pengetrap awal kemudian setelah itu baru pada pengetrap akhir dan jika
dimungkinkan diterapkan kepada laggard.
46
4.1. Suasana
4.1.1. Suasana Pendidikan Aktif
Suasana dimana seluruh sasaran pendidikan (dalam bentuk individu maupun
kelompok) yaitu manusia aktif secara fisiologi (panca indera) dan psikologi
(mental). Aktif secara fisiologi yang dimaksud adalah sasaran pendidikan aktif
secara jasmaniah atau berkaitan dengan faktor – faktor fisik antara lain
pendengaran, penglihatan, struktur tubuhnya, (Eryanto dkk, 2013) sedangkan aktif
secara psikologi adalah sasaran pendidikan aktif secara non – fisik di mana terdiri
atas faktor intelektif dan faktor non – intelektif. Menurut Ahmadi dan Supriyono
(2004) faktor intelektif meliputi (1) faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat;
(2) faktor kecakapan nyata berupa prestasi yang telah di miliki sedangkan faktor
non – intelektif berupa (1) unsur – unsur kepribadian tertentu seperti sikap,
kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi dan penyesuaian diri; (2) faktor
kematangan fisik maupun psikis; (3) faktor lingkungan spiritual dan keamanan.
Feldman (2012) mengatakan bahwa emosi merupakan perasaaan yang secara
umum memiliki elemen fisiologis dan kognitif serta memengaruhi perilaku
terutama dalam proses pembelajaran, dalam hal ini adalah terjadinya reaksi
intingtif terhadap kejadian tubuh yang terjadi sebagai respon terhadap beberapa
situasi atau kejadian lingkungan.
2. Peniruan
Feldman (2012) berpendapat melalui pendekatan sosial Bandura bahwa cara
belajar ini cenderung melibatkan cara belajar observasional yang mana merupakan
pembelajaran dengan cara melihat dan meniru perilaku orang lain atau model
(sesuatu yang di tiru / tiruan). Proses ini terlihat nyata pada tahap reproduksi
motorik di mana orang memberi perhatian dan mengingat apa yang telah mereka
lihat berdasarkan proses yang di lakukan sebelumnya yaitu perhatian dan
pengendapan.
3. Kebiasaan / Kondisi
Kebiasaan adalah serangkaian perbuatan seseorang secara berulang-ulang
untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses berfikir lagi. Berdasarkan
pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa kebiasaan belajar merupakan
serangkaian tingkah laku yang dilakukan secara konsisten/berulang oleh peserta
didik dalam kegiatan belajarnya. Dengan kata lain kebiasaan belajar merupakan
prilaku peserta didik yang ditunjukkan secara berulang tanpa proses berfikir lagi
dalam kegiatan belajar yang dilakukannya. Istilah belajar menunjukkan pada
kegiatan dan peranan peserta didik yang menerima pelajaran atau belajar yang
artinya suatu kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan atau
keterampilan mengenai suatu pekerjaan yang dapat dicapai melalui proses berpikir
atau dengan cara melakukan praktek (Siagian 2010).
4. Mengartikan
Mengartikan merupakan cara belajar yang dilakukan untuk memahami
materi pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Bani (2012) membagi pemahaman
dalam tiga kategori antara lain
2. Prinsip Menghubungkan
Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mampu menghubungkan
apa yang telah di pelajarinya sebelumnya dengan materi pelajaran baru yang
diberikan oleh pendidik ataupun di lingkungan disekitarnya.
3. Prinsip Akibat
Prinsip ini menjelaskan bahwa peserta didik harus mengetahui konsekuensi
saat belajar. Konsekuensi belajar tersebut biasanya mengorbankan waktu, tenaga,
uang, mental dan pikiran dimana pengorbanan tersebut ada kalanya menyebabkan
seseorang dalam kondisi tertekan atau stress dimana membebani kemampuan
mereka dalam memcahkan masalah (King, 2010).
4. Prinsip Kesiapan
Prinsip ini menjelaskan, peserta didik harus siap secara fisik dan psikis
untuk menerima karena belajar bersifat terus – menerus dan berulang – ulang
(rutinitas).
V. DINAMIKA KELOMPOK
3. Kekuasaan (Power)
Hughes dkk (2012) menjelaskan bahwa dari sudut pandang kelompok,
kekuasaan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan situasinya, berdasarkan
pernyataan diatas maka dapat dianalisis bahwa kelompok dipengaruhi oleh lima
kekuasaan sosial yaitu (1) kekuasaan kepakaran, (2) kekuasaan rujukan, (3)
kekuasaan sah, (4) kekuasaan penghargaan, dan (5) kekuasaan paksa.
5.2.3. Aturan atau Kebiasaan Kelompok
1. Kepercayaan (Belief)
Merupakan segala sesuatu yang secara akal atau perasaan anggota kelompok
dinilai dan diterima sebagai kebenaran, yang digunakan sebagai landasan kegiatan
kelompok dan masing – masing anggotanya untuk mencapai tujuan kelompok
yang diinginkan. Menurut Tika (2010) kepercayaan merupakan salah satu unsur
budaya kelompok dimana mengandung nilai – nilai kelompok, dengan kata lain
keyakinan merupakan sikap tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam
kelompok. Hughes dkk (2012) menyatakan bahwa nilai adalah konstruk yang
mewakili perilaku atau keadaan umum yang dianggap penting oleh individu
dimana nilai tersebut di pelajari dari proses sosialisasi, lalu di internalisasi dan
bagi anggota nilai – nilai tersebut merupakan komponen tak terpisahkan dari diri,
sehingga nilai memainkan peran penting dalam karakter psikologis seseorang dan
dapat memengaruhi perilaku dalam berbagai situasi. Berdasarkan pernyataan
tersebut penting bagi penyuluh maupun pemimpin kelompok untuk menyadari
bahwa individu (anggota) dalam unit kerja yang sama dapat memercayai nilai –
nilai yang berbeda, terutama karena kita tidak dapat melihat nilai – nilai secara
langsung. Kita hanya dapat menarik kesimpulan mengenai nilai – nilai yang
dipercayai anggota lain dari perilaku mereka.
2. Sanksi (Sanction)
Merupakan perlakuan yang diberikan kepada setiap anggota kelompok yang
berupa imbalan (reward) bagi yang menaati dan hukuman (punishment) bagi yang
melanggar aturan – aturan kelompoknya. Winardi (2005), menyatakan bahwa
sanksi dapat di pergunakan sebagai cara untuk melakukan manajemen perubahan
terhadap kelompok dengan tujuan agar tiap anggota menyesuaikan diri dengan
perubahan atau tuntutan perubahan dari lingkungan (faktor eksternal). Perubahan
tersebut dapat terjadi baik evolusioner maupun revolusioner, namun perlu diingat
bahwa tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih
baik, hingga dalam hal demikian perlu di upayakan agar bila dimungkinkan
perubahan diarahkan ke hal yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.
3. Norma (Norm)
Norma adalah aturan – aturan informal yang diadopsi oleh kelompok untuk
mengatur dan membuat perilaku anggota – anggota kelompok menjadi tertata,
meskipun norma jarang sekali ditulis atau didiskusikan secara terbuka, namun
memiliki pengaruh yang kuat dan konsisten terhadap perilaku. Hal tersebut karena
kebanyakan orang memiliki kemampuan yang baik untuk membaca isyarat –
isyarat sosial yang memberitahu mereka tentang norma yang berlaku (Hughes,
2012). Winardi (2005) menambahkan bahwa kelompok pada umumnya
mengembangkan norma – norma mereka sendiri guna membantu pengembangan
perilaku yang dianggap baik (oleh mereka) akibatnya kebanyakan anggota
kelompok mengikuti norma – norma tersebut, terutama pada kelompok yang
bersifat kohesif maka, setiap perubahan yang menyebabkan rusaknya norma –
norma kelompok yang cenderung ditentang sehingga salah satu tugas pokok yang
dihadapi para penyuluh atau pemimpin, umumnya adalah meneliti dan memahami
alasan – alasan yang melatarbelakangi tantangan para karyawan mereka terhadap
perubahan yang sedang dilaksanakan. Tantangannya adalah berupa mencari cara
dan jalan untuk mengurangi atau mengantisipasi sikap menentang tersebut.
5. Sosialisasi (Socialization)
Merupakan proses pembelajaran atau pewarisan nilai – nilai kelompok
dalam rangka menyiapkan setiap anggota kelompok untuk dapat melaksanakan
perannya sesuai dengan kedudukannya dalam kelompok , sehingga berprilaku dan
dapat melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Leilani dan
Hasan (2006) menambahkan bahwa sosialisasi dapat dikatakan baik apabila
anggota memiliki kesamaan mata pencaharian dan didukung oleh sistem
komunikasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A., dan Supriyono, W., 2004. Psikologi belajar. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Andarwati, Siti, Budi Guntoro, F. Trisakti Haryadi dan Endang Sulastri. 2012.
“Dinamika Kelompok Peternak Sapi Potong Binaan Universitas Gadjah
Mada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jurnal Sains Peternakan.
Vol.1(1) : 39 – 46, Maret. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Baba, Syahdar. 2008. “Rekayasa Teknologi Biogas untuk diadopsi Peternak Sapi
Potong di Sulawesi Selatan”. Prosiding Seminar Nasional Sapi Potong.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Ban, van den ben, A.W. dan H.S. Hawkins. 2010. Penyuluhan Pertanian Cet. ke-
12 diterjemahkan oleh Agnes Dwina Herdiasti. Kanisius: Yogyakarta.
Bani, Suddin. 2012. “Objek Evaluasi Pendidikan”. Lentera Pendidikan. 5 (2) :231
– 239. Desember.
Eryanto, Henry dan Darma Rika. 2013. Pengaruh Modal Budaya, Tingkat
Pendidikan Orang Tua dan Tingkat Pendapatan Orang Tua terhadap
Prestasi Akademik pada Mahapeserta didik Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Ekonomi dan Bisnis.
1(1) : 39 – 61. Maret.
Feist, Jess dan Gregory J. Feist. 2010. Teori Kepribadian Edisi ke-7 Buku 2.
Penerjemah Smitha Prathita Sjahputri. Jakarta : Salemba Humanika
Giblin, Les. 2004. Skill with People. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gross, Richard. 2014. Psychology : The Science of Mind and Behaviour 6th
Edition. London : Hodder Education.
King, Laura A., .2010. Psikologi Umum : Sebuah Pandang Apresiatif, Buku
1. Penerjemah: Brian Marwensdy. Jakarta : Salemba Humanika.
King, Laura A.,. 2010. Psikologi Umum : Sebuah Pandang Apresiatif, Buku
2. Penerjemah: Brian Marwensdy. Jakarta : Salemba Humanika.
Leilani, Ani Dan OD. Subhakti Hasan. 2006. “Analisis Dinamika Kelompok Pada
Kelompok Tani Mekar Sari Desa Purwasari Kecamatan Dramaga
Kabupaten Bogorjurnal Penyuluhan Pertanian”. Jurnal Penyuluhan
Pertanian. Vol. 1(1) : 18 – 27.
Lepper, M. R., Corpus, J. H., & Iyengar, S. S. 2005. Intristic and Extrinsic
Motivational Orientations in The Classroom: Age Differences and
Academic Correlates. Journal of Educational Psychology, 97, 184 -196.
Musyafak, Akhmad dan Tatang M Ibrahim. 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan
Difusi Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian. 3 (1): 20 – 37. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian: Kalimantan Barat, Maret.
Purba, Debora Elfina dan Ali Nina Liche Seniati. 2004. “Pengaruh Kepribadian
dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior”.
Makara, Sosial Humaniora. Vol.8, No.3 : 105 – 111, Desember.
Reed, Stephen K. 2011. Kognisi Teori dan Aplikasi Edisi ke-7. Penerjemah
Aliya Tusyani. Jakarta: Salemba Humanika. Hal: 101.
Siagian, Roida Eva Flora. 2010. “Pengaruh Minat dan Kebiasaan Belajar Peserta
didik terhadap Prestasi Belajar Matematika”. Jurnal Formatif 2(2) : 122
- 131
Sinaga, Asmina Herawaty. 2004. “Peranan Waktu dalam Adopsi Teknologi pada
Kegiatan Penyuluhan Pertanian”. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu
Pertanian. Vol. 2(1) : 29 – 32. April. Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.
Taylor, R., 2011. Kiat-kiat Pede untuk Meningkatkan Rasa Percaya Diri. :
Jakarta. penerbit PT Gramedia Pustaka Utama