Anda di halaman 1dari 45

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENANGGULANGAN

DAMPAK LIMBAH MINYAK DI LAUT BINTAN

USULAN PENELITIAN

PUTRI AZHURA
( NIM : 170563201029 )

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL.................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1. Latar Belakang................................................................................................1
2. Rumusan Masalah...........................................................................................9
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................9
1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................10
1.4.1 Manfaat Teoritis....................................................................................10
1.4.2 Manfaat Praktis......................................................................................10
BAB II KAJIAN PUSTAKA.................................................................................9
2.1 Tinjauan Pustaka............................................................................................9
2.2 Kerangka Teori.............................................................................................12
2.1.1 Governance............................................................................................12
2.1.2 Collaborative Governance....................................................................14
2.1.3 Hambatan dalam Collaborative Governance........................................21
2.3 Kerangka Pemikiran.....................................................................................25
2.4 Definisi Konsep............................................................................................26
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................28
3.1 Pendekatan Penelitian...................................................................................28
3.2 Objek dan Lokasi Penelitian.........................................................................29
3.3 Fokus Penelitian...........................................................................................29
3.4 Sumber Data.................................................................................................30
3.5 Teknik Pengumpulan Data...........................................................................31
3.6 Informan.......................................................................................................32
3.7 Teknik Analisa Data.....................................................................................33
3.8 Jadwal Penelitian..........................................................................................34
DAFTAR REFERENSI......................................................................................36
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Informan................................................................................................32
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian...................................................................................35

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Grafik Limbah Minyak......................................................................4
Gambar 2.1 Aktor Governance.............................................................................13
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran..........................................................................25

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan dengan sekitar 17508 pulau, 5 pulau

terbesar diantaranya adalah pulau papua, sumatra, kalimantan, sulawesi dan jawa.

Bentuk geografis Indonesia yang berupa kepulauan dan letaknya di jalur

perdagangan laut membentuk Indonesia sebagai poros maritim di dunia. Pulau

sumatra terdiri dari 11 provinsi, salah satunya adalah provinsi Kepulauan Riau.

Kepulauan Riau berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara,

Malaysia dan provinsi Kalimantan Barat di sebelah timur, provinsi Kepulauan

Bangka Belitung dan Jambi di sebelah selatan, Negara Singapura, Malaysia dan

provinsi Riau di sebelah barat.

Secara keseluruhan wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 5 kabupaten, dan 2

kota, 52 kecamatan serta 199 kelurahan/desa dengan jumlah 2.40 pulau besar, dan

kecil 30% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar

8.201,72 km2, sekitar 96% merupakn lautan dan hanya 4% daratan.

Kepulauan Riau merupakan satu kawasan lintas batas dan jalur perdagangan

dunia, dengan letaknya yang strategis Kepulauan Riau rentan akan permasalahan

lingkungan hidup. Manusia dan lingkungan pada hakekatnya ibarat satu bangunan

yang saling membutuhkan satu dengan yang lain, manusia amat bergantung pada

lingkungan dan lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia.

Lingkungan hidup adalah sebuah kesatuan ruang dengan segala benda dan

makhluk hidup di dalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta

1
2

makhluk hidup yang lainnya yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan

terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,

dan penegakan hukum.

Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi

lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.  Analisis mengenai dampak

lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah kajian mengenai

dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada

lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang

penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap lingkungan hidup

tentu saja bukan hanya pemerintah saja yang wajib memelihara dan menjaga

lingkungan sekitarnya, tetapi yang lebih penting yaitu masyarakat, sektor swasta,

dan aparat penegak hukum yang juga harus ikut berperan aktif dalam melindungi

pencemaran lingkungan wilayah pesisir.


3

Pencemaran laut menjadi salah satu masalah lingkungan saat ini dan

penyebab utamanya adalah akibat aktvitas manusia yang tidak bertanggungjawab.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kelautan khususnya,

membuat aktivitas manusia di laut banyak menimbulkan pencemaran terhadap

lingkungan laut salah satunya yaitu kapal-kapal yang membuang limbah minyak

di perairan.

Wilayah pesisir Kabupaten Bintan setiap tahunnya mengalami pencemaran

limbah minyak hitam (sludge oil) karena berbatasan langsung dengan Negara

tetangga. Permasalahan limbah minyak hitam ini berawal dari akibat limbah

minyak yang dibuang oleh kapal-kapal yang melewati perairan Internasional yang

berhadapan langsung dengan teritorial Kabupaten Bintan sehingga di saat musim

utara limbah minyak tersebut akan terbawa arus masuk ke perairan Kabupaten

Bintan yang berbatasan langsung.

Pada tahun 2017 total limbah mencapai 19,1 ton dan pada tahun 2018 total

limbah semakin meningkat menjadi 41,6 ton. Pembuangan limbah masih terus-

menerus berlangsung hingga januari 2019 di kawasan wisata bintan, hingga

minggu kedua januari sudah terkumpul 3,5 ton limbah minyak. Dan pada

November 2019 hingga Januari 2020 sudah ada sekitar 33,4 ton limbah minyak

yang sudah terkumpul. Berdasarkan data limbah yang telah dijabarkan, dapat di

lihat dari grafik di bawah ini, sebagai berikut :


4

1.1 Grafik Limbah Minyak

45
40
35
30
25
TON

20
15
10
5
0
2017 2018 2019 2020

2017 2018 2019 2020

Sumber : https://kkp.go.id/

Limbah-limbah tersebut dikumpulkan di gudang penyimpanan Bahan

Berbahaya dan Beracun (B3) di kawasan Bintan. Limbah minyak ini diperkirakan

berasal dari wilayah Out Port Limit (OPL) atau perairan perbatasan Indonesia,

Singapura, dan Malaysia.

Permasalahan limbah ini tidak bisa di pandang sebelah mata, karena jumlah

limbah minyak yang di kumpulkan setiap tahunnya semakin meningkat. Dan

secara tidak langsung dampak limbah minyak sangat berbahaya bagi

kelangsungan hidup biota laut, susunan kimia yang kompleks dapat

membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut.

Kenyataannya dampak limbah minyak ini tak hanya di rasakan oleh

kelangsungan hidup biota laut, tetapi juga berdampak kepada keberlagsungan

perekonomian masyarakat yang mencari nafkah dengan memanfaatkan kekayaan

laut. Menurut penelitian yang di lakukan oleh (Negara, 2020) ada 3 dampak

merugikan yang terjadi akibat dari pencemaran tersebut, antara lain : (1)

Tangkapan ikan nelayan tempatan menjadi berkurang drastis, dan bahkan banyak
5

ditemukan iakan-ikan yang mati membusuk, (2) Industri pariwisata disepanjang

pantai kawasan Bintan menjadi sepi wisatawan, dikarenakan wisatawan tidak mau

untuk turun ke pantai yang kotor, (3) Ekosistem pantai menjadi rusak. Limbah

minyak yang mengotori pantai mengakibatkan resort yang pantainya terkena

tumpahan minyak mengalami kerugian mencapai Rp. 2,3 Miliar setiap tahunnya.

Tak bisa dipungkiri bahwasannya kontribusi terbesar dari pajak Pendapatan Asli

Daerah (PAD) di Kabupaten Bintan berasal dari industri pariwisata sebesar 51%,

oleh karena itu Pemerintah Bintan harus melakukan kerjasama dengan masyarakat

dan sektor swasta untuk menanggulangi dampak limbah minyak.

Dilansir dari web Kementrian Kelautan dan Perikanan bahwa tumpahan

minyak di Bintan terus berulang setiap tahunnya sejak 2015, upaya telah

dilakukan oleh pengelola resort untuk mengurangi limbah ini agar kenyamanan

pengunjung tidak terusik dengan mengumpulkan limbah ke dalam drum dan akan

di ambil oleh pihak Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau.

B0erbagai upaya juga telah dilakukan oleh pemerintah daerah dengan

mengundang kementrian terkait akan tetapi belum membuahkan hasil dan belum

ada langkah konkrit dari pemerintah yang dapat melegakan masyarakat pesisir

Bintan. Dan pada 15 Januari 2020 Kementrian Kelautan dan Perikanan melakukan

koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau, TNI AL

Kawal, POKMASWAS, pihak resort, dan masyarakat untuk bekerjasama dalam

penanganan limbah minyak di Bintan, Kepulauan Riau.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Yudiatmaja, Samnuzulsari, Suyito,

& Yudithia, 2020) selama ini pemerintah hanya melakukan rapat dan koordinasi
6

dalam menanggapi masalah limbah minyak tersebut, karena ada beberapa alasan

pemerintah belum bisa menyelesaikan masalah ini. Pertama, pemerintah terjebak

oleh rezim internasional di mana hukum Indonesia tidak dapat menangkap kapal-

kapal yang membuang limbah minyak di air laut internasional, sebaliknya jika

kapal membuang limbah minyak di laut Indonesia bisa dikenakan sanksi sesuai

Undang-undang No 32 Tahun 2009 pasal 104, yakni :

“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media


lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”

Kedua, kurangnya komitmen dari pemerintah dalam menangani limbah

minyak. Rapat dan koordinasi yang dilakukan tidak pernah dihadiri oleh

pemerintah pusat agar tidak pernah menjadi pengaturan agenda. Di sisi lain,

pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten keterbatasan untuk mengatasi

masalah ini, seperti kewenangan, sarana, dan personel. Meskipun ada berbagai

lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani masalah tersebut,

kenyataannya tindakan pemerintah tidak terlihat. Ketiadaan tindakan pemerintah

menghasilkan kekosongan dan status kelembagaan quo dalam kasus ini.

Kekosongan kelembagaan adalah situasi di mana ada kekosongan kekuasaan,

tidak terlihat norma, dan kebijakan dalam pengaturan politik. Status quo mengacu

pada kecenderungan untuk tidak melakukan apa pun terhadap atau

mempertahankan keputusan saat ini atau sebelumnya. Dengan kata lain, upaya

yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat menyelesaikan masalah karena

rintangannya. Ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam kekuatan pelaksana.

Akibatnya, keadaan tersebut berlangsung lama dan tentunya tidak menguntungkan


7

masyarakat.

Masalah limbah minyak di perairan Bintan adalah masalah tata kelola

multilevel. Tata kelola internasional juga beroperasi berdasarkan prinsip tata

kelola multilevel. Pemerintahan berjenjang dapat dibedakan dari pemerintahan

berjenjang dimana tingkat pemerintahan yang berbeda saling berbagi atau

mentransfer tanggung jawab satu sama lain. Dan tata kelola multilevel

menganalisis hubungan berbagai tingkat negara bagian dan interaksi dengan

berbagai jenis aktor. Asumsi tersebut didukung oleh data yang menunjukkan

adanya konvergensi kewenangan di antara para pelaku (pemerintah pusat,

provinsi, dan kabupaten) dan kurangnya diplomasi antara pihak Indonesia dan

Pemerintah Singapura. Sedangkan interaksi dengan berbagai jenis aktor di

pemerintahan lokal untuk menanggulangi dampak limbah minyak bisa dilakukan

dengan melakukan collaborative governance.

Dalam beberapa tahun terakhir collaborative governance menjadi salah satu

konsep kepemerintahan yang banyak diminati oleh para pemangku

kepemerintahan dalam membantu menyelesaikan tugas-tugas dan kepentingan

daerah. Collaborative Governance dapat dilakukan oleh pemerintah pusat atau

pemerintah daerah dalam rangka menyelesaikan suatu masalah publik dengan

melakukan kolaborasi dengan pihak lain yang terkait dalam proses penyelesaian

masalah tersebut.

Fokus collaborative governance mengarah kepada tahapan kebijakan publik

yaitu tugas dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah pasal 63 ayat
8

2 dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pelindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin

menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk

hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan.

Dalam pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi

bertugas dan berwenang mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan

kemitraan, mengkoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dalam penyelesaian

masalah.

Johansson (2010:371-392) mengemukakan bahwa peran dari negosiasi

antara pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan publik akan sangat menentukan

arah perubahan dari suatu kebijakan. Keterlibatan segenap elemen masyarakat

dalam proses kebijakan publik memang diharapkan mampu membawa dampak

yang positif bukan hanya bagi penyelenggaraan proses kebijakan, melainkan lebih

jauh dari itu demi mencapai kesejahteraan rakyat yang lebih luas lagi.

Dalam kata lain, collaborative governance hadir untuk meningkatkan

kerjasama antar pemangku kepentingan yaitu sektor publik, privat, dan

masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga sebagai suatu usaha dan

respon pemerintah dalam kegiatan penanganan masalah publik. Keterlibatan

sektor publik (pemerintah) dengan privat dan masyarakat sebagai pemangku

kepentingan akan membuat sektor publik menjadi lebih efektif dan efisien.

Model collaborative governance menurut Ansell & Gash (2007:550-561)

terdiri dari empat variabel utama, yaitu kondisi awal, desain kelembagaan,
9

kepemimpinan dan proses kolaboratif. Tahapan pada proses kolaboratif meliputi

dialog face-to-face, membangun kepercayaan, komitmen terhadap proses,

memahami bersama dan hasil sementara. Tidaklah mudah untuk menyatukan para

aktor dan merealisasikan tahapan proses kolaboratif, karena setiap stakeholder

mempunyai kepentingan masing-masing.

Berdasarkan masalah ini peneliti tertarik untuk meneliti tentang

“Collaborative Governance Dalam Penanggulangan Dampak Limbah Minyak

Di Laut Bintan”.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah ini dimaksud untuk menegaskan masalah yang akan

diteliti, sehingga dapat di tentukan pemecahan masalah yang tepat dan mencapai

tujuan penelitain. Berdasarkan hal diatas penlis merumuskan permasalahan dalam

penelitian ini, yaitu : Bagaimana collaborative governance dalam penanggulangan

dampak limbah minyak di Laut Bintan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasakan uraian dan permasalahan diatas maka tujuan yang ingin dicapai

pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menemukan solusi agar tahapan proses collaborative governance dalam

penanggulangan dampak limbah minyak di Bintan bisa terlaksana dengan

baik sesuai dengan tahapannya


10

2. Meminimalisir terjadinya faktor penghambat dalam penanggulangan

dampak limbah minyak di Bintan agar kolaborasi terlaksana dan hasilnya

bisa di nikmati oleh semua stakeholder.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan sejumlah sasaran spesifik atas tujuan yang hendak dicapai

tersebut, penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau sejumlah manfaat,

meliputi :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menambah wacana dan

pengetahuan mengenai collaborative governance dalam menanggulangi

dampak limbah minyak di laut Bintan. Dan memberikan referensi bagi para

peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan kepada

pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat disekitar kawasan yang terkena

dampak limbah minyak berupa saran-saran untuk digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan dalam collaborative

governance.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah peninjauan kembali mengenai pustaka-pustaka

yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Tinjauan pustaka merupakan

hal yang penting dalam sebuah penelitian, karena dengan adanya tinjauan pustaka

maka peneliti akan semakin banyak mengetahui tentang penelitian-penelitian yang

telah dilakukan yang berkaitan serta relevansi dengan penelitian yang akan

dilakukan peneliti, sehingga peneliti dapat memahami dan mengetahui

permasalahan dalam penelitian sebelumnya (Sugiyono, 2014).

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang peneliti lakukan sebagai

berikut:

Lina Maria Ulfa (2018) “Collaborative Governance dalam

penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Taman Kota Surabaya”. Dimana

dalam penelitian ini penulis menggunakan teori dari Anshell dan Gash

karena penulis beranggapan bahwa komponen yang terdapat dalam teori

tersebut sangatlah komprehensif dan tepat digunakan dalam menjawab

permasalahan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proses kolaborasi

tersebut sudah memenuhi komponen kolaborasi yaitu kondisi awal,

kepemimpinan, proses kolaborasi dan hasil kolaborasi. Dalam pelaksanaan

kegiatan ini yang menjadi inisiator adalah pemerintah daerah.

9
10

Denny Irawan (2017) “Collaborative Governance (Studi Deskriptif

Proses Pemerintahan Kolaboratif Dalam Pengendalian Pencemaran Udara di

Kota Surabaya)”. Dimana dalam penelitian ini penulis menggunakan teori

dari Ratner karena penulis beranggapan bahwa tiga tahapan yang

merupakan proses kolaborasi dalam tata kelola pemerintahan sangat tepat

digunakan dalam menjawab permasalahan. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah proses pemerintahan kolaboratif dalam pengendalian pencemaran

udara di Kota Surabaya yang dilakukan melalui tiga tahapan yaitu

Identifying Obstacles and Opportunities, Debating Strategies for Influence,

dan Planning Collaborative Actions belum berjalan secara efektif. Hal ini

terlihat dari kriteria pemerintahan kolaboratif yang masih belum terpenuhi

terutama kriteria Distributive Accountability dan Access to Resources pada

tahap Debating Strategies for Influenc. Kriteria tersebut menunjukkan

kurangnya keterlibatan stakeholders lain di dalam forum kolaborasi, dan

ketersediaan sumber keuangan yang masih belum mencukupi.

Putri Fatimah (2019) “Collaborative Governance dalam

Pemberdayaan Kelompok Tani di Kabupaten Wajo”. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan teori dari Edward DeSev karena penulis beranggapan

bahwa 8 indikator Collaborative Governance yang sangat tepat digunakan

dalam menjawab permasalahan penelitian ini. Kesimpulan dari penelitian ini

adalah aspek sumber daya baik dari segi keuangan, teknik dan SDM dalam

kolaborasi ini masih kurang. Bantuan sarana dan prasarana yang ada masih
11

minim, dari sektor SDM spesialis tenaga ahli masih kurang serta dalam

pembangunan infrastruktur pertanian.

Eva Nopiana Ashari (2018) “Efektivitas Collaborative Governance

dalam Penanggulangan Hiv & Aids di Kabupaten Sragen”. Penelitian ini

menggunakan teori dari Donhue karena penulis beranggapan bahwa teori ini

sangat tepat digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.

Kesimpulan dari kegiatan ini adalah . Kolaborasi yang berjalan selama ini

juga masih belum efektif. Pembagian tugas dan tanggung jawab diantara

masing-masing stakeholders masih belum merata dan juga masih terdapat

ego sektoral yang menyebabkan antar stakeholders tersebut lebih

bertanggung jawab kepada pihak pendonor, serta masih terbatasnya sumber

daya yang menyebabkan program-program penanggulangan HIV/AIDS

belum bisa berjalan maksimal.

Asti Amelia Novita (2018) “Collaborative Governance dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kawasan Pertambangan”. Penelitian ini

menggunakan teori Ansell dan Gash,karena penulis beranggapan bahwa

teori ini sangat tepat digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Collaborative governance

menunjukkan bahwa keterbatasan satu pihak bukan alasan dari gagalnya

suatu usaha perlindungan lingkungan. Kegagalan terjadi karena absensinya

peran dari sistem manajemen stakeholder yang baik.


12

2.2 Kerangka Teori

2.1.1 Governance

Governance berasal dari kata “govern” yang berarti mengambil peran yang

lebih besar, yang terdiri dari semua proses aturan dan lembaga yang

memungkinkan pengelolaan dan pengendalian msalah-masalah kolektif

masyarakat. Secara luas, governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan

unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non-pemerintah (Dwiyanto,

2015:251). Dalam konsep governance pemerintah merupakan salah satu aktor dan

bukan menjadi aktor tunggal dan tidak selalu menjadi aktor yang paling

menentukan.

Menurut Chema (dalam Keban, 2008:38) governance merupakan suatu

sistem nilai, kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial,

politik dikelola melalui interaksi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Oleh

karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain yaitu state (negara atau

pemerintah), private sector (sektor swasta atau dunia usaha) dan society

(masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.

Menurut Pandji (2009:130) Governance merupakan paradigma baru dalam

tatanan pengelolaaan kepemerintahan. Ada tiga pilar Governance , yaitu

pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Sementara itu, paradigma

pengelolaaan pemerintahan yang sebelumnya berkembang adalah government

sebagai satu-satunya penyelenggara pemerintahan.


13

Berdasarkan beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa dalam konsep

governance, beberapa urusan-urusan publik yang sebelumnya dikelola oleh aktor

tunggal yakni pemerintah menjadi dikelola bersama dengan aktor-aktor lain

seperti sektor swasta dan masyarakat. dengan adanya governance menjadikan

pemerintah tidak lagi dominan dan menciptakan demokrasi dalam

penyelenggaraan pemerintahaan dan urusan-urusan publik.

2.1 Aktor Governance

Pemerintah

Swasta Masyarakat
Sumber : Abidin, 2013

Menurut Abidin (2013:10) memetakan bahwa terdapat 3 aktor yang

berpengaruh dalam proses governance. Tiga aktor tersebut yakni pemerintah,

swasta, dan masyarakat. ketiga aktor tersebut saling berkolaborasi dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal yang

memonopoli penyelenggaraan pemerintah. melainkan memerlukan aktor lain

karena karena keterbatasan kemampuan pemerintah. Swasta dengan dukungan

finansialnya harus mampu membantu pemerintah dalam penyelenggaraan

pemerintahan. Swasta dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk mengurusi

kepentingannya sendiri yakni hanya semata-mata mencari keuntungan pribadi.


14

Sehubungan dengan keterlibatan multi aktor dalam governance, Stoker

dalam (Ulum dan Ngindana, 2017;6) merumuskan parameter penerapan konsep

governance yang dirangkumnya ke dalam 5 aspek sebagai berikut:

1. Governance mengacu pada seperangkat institusi dan aktor yang diambil dari

pemerintah maupun pihak di luar pemerintah;

2. Governance mengidentifikasi kaburnya batas-batas dan tanggung jawab untuk

mengatsi masalah sosial dan ekonomi;

3. Governance mengidentifikasi keterkaitan kekuatan dalam hubungan antara

lembaga-lembaga yang terlibat dalam aksi kolektif;

4. Governance adalah mengenai jaringan aktor pemerintahan yang otonom;

5. Governance mengakui kapasitas untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak

hanya bertumpu pada kekuatan atau menggunakan otoritas pemerintah.

Governance mengharuskan adanya kinerja secara kolektif antar aktor.

Sehingga jejaring anatar aktor tersebut diupayakan untuk mengatasi berbagai

permasalahan yang terdapat di masyarakat, seperti permasalahan sosial,

lingkungan dan ekonomi.

2.1.2 Collaborative Governance

Secara epistimologi, kata kolaborasi berasal dari bahasa inggris yaitu

“colabour” yang artinya bekerja bersama. Pada abad ke-19 kata kolaborasi mulai

digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. Organisasi pada masa itu

menjadi semakin kompleks. Divisi-divisi dalam pembuatan struktur organisasi

mulai dibuat untuk pembagian tugas bagi tenaga kerja dalam organisasi tersebut.
15

Collaborative governance mencakup proses kerja sama dan bekerja secara

bersama-sama secara lintas batas antara organisasi dalam pemerintah dan dengan

komunitas luas non-pemerintah melalui kesepakatan bersama-sama secara

horizontal dalam menyelesaikan masalah, menentukan tujuan, dan atau metode

implementasi dengan tidak ada pihak-pihak yang secara sengaja mendominasinya

atau memonopolinya, tak terkecuali pada pemerintah (Sudarmo, 2015 : 196). Dari

pengertian itu dapat diketahui bahwa collaborative governace merupakan konsep

yang luas tentang proses pelibatan warga negara dalam proses pembuatan

keputusan secara lebih inklusif. Epel (dalam Sudarmo 2015:196) menyebutkan

bahwa:

“Collaborative governance merupakan kombinasi dua konsep yakni


collaboration dan governance; collaboration berarti bersama-sama
bekerja, menjalankan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama yang
melampaui batas-batas hubungan multi sektor, dan dalam menjalankan
kerja sama tersebut didasarkan pada nilai timbal balik (gotong royong);
sedangkan governance berarti proses steering yang mempengaruhi
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan dalam sektor private (swasta),
publik (public), dan sipil; dan walaupun pemerintah memainkan peran
dalam governance, ia tidak satu- satunya pemain.”

Lebih lanjut, Epel dalam Sudarmo (2015:196) menjelaskan secara singkat

bahwa collaborative governance tidak hanya merupakan proses top-down tetapi

juga proses buttom up, outside-in dan juga inside-out. Pendapat tersebut mengacu

pada proses pembuatan keputusan yang dilakukan secara kolektif dan secara

inklusif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah maupun non-

pemerintah dan atau pihak- pihak yang seharusnya dilibatkan (Sudarmo,

2015:196).
16

Menurut Ansell dan Gash dalam (Sudarmo, 2015 : 198) kriteria untuk bisa

disebut sebagai collaborative governance yaitu sebagai berikut:

1. Forum atau pertemuan yang terselenggara diprakarsai oleh lembaga-lembaga

publik

2. Para partisipan dalam forum mencakup para aktor dari pihak non- state

3. Para partisipan terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan dan tidak

semata-mata,”sebagai tempat untuk berkonsultasi” oleh lembaga-lembaga

publik

4. Forum secara formal diorganisasi dan bertemu secara kolektif

5. Forum diajukan untuk membuat keputusan secara konsensus (meskipun

konsensus tersebut tak dapat dicapai dalam kenyataannya)

6. Fokus kolaborasi adalah kebijakan publik atau manajemen publik

Collaborative governance berbasis pada tujuan untuk memecahkan bersama

permasalahan atau isu tertentu dari para pihak yang terkait. Pihak tersebut

tidak hanya berbatas pada instansi pemerintah dan non pemerintah, karena

dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, melibatkan masyarakat sipil

dalam perumusan dan pengembilan keputusan. Kerjasama diinisasi atas

keterbatasan kapasitas, sumber daya maupun jaringan yang dimiliki masing-

masing pihak, sehingga kerjasama dapat menyatukan dan melengkapi

berbagai komponen yang mendorong keberhasilan pencapaian tujuan

bersama. Dalam perumusan tujaun, visi-misi, norma dan nilai bersama dalam

kerjasama, kedudukan masing-masing pihak bersifat setara yakni


17

memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan secara independen

walaupun terikat pada kesepakatan bersama.

Collaborative Governance dapat dikatakan sebagai salah satu dari tipe

governance. Konsep ini menyatakan akan pentingnya suatu kondisi dimana aktor

publik dan aktor privat (bisnis) bekerja sama dengan cara dan proses terentu yang

nantinya akan menghasilkan produk hukum, aturan, dan kebijakan yang tepat

untuk publik atau, masyarakat. Konsep ini menunujukkan bahwa dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Aktor publik yaitu pemerintah dan aktor privat

yaitu organisasi bisnis atau perusahaan bukanlah suatau yang terpisah dan bekerja

secara sendiri-sendiri melainkan bekerja bersama demi kepentingan masyarakat.

Ansell & Gash 2007 (dalam Subarsono, 2016 : 175) mendefinisikan

collaborative governance sebagai berikut ini:

“Collaborative governance adalah serangkain pengaturan dimana satu atau lebih


lembaga publik yang melibatkan secara langsung stakeholder non-state di dalam
proses pembuatan kebijakan yang bersifat formal, berorientasi consensus dan
deliberative yang bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan
publik atau mengatur program atau aset.”

Penjelasan dari pendapat Ansell dan Gash dapat dlihat bahwa aspek

kolaborasi penyelenggaraan pemerintah lebih pada aspek perumusan dan

impletasi kebijakan publik atau program dari lembaga publik, dalam hal ini yakni

pemerintah. Selain itu, dalam praktiknya kolaboasi penyelenggaraan pemerintah

haruslah menjunjung tinggi nilai deliberatif atau musyawarah dan konsensus antar

tiap aktor atau stakeholder yang terlibat dalam kolaborasi tersebut.


18

Kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu hal yang

dibutuhkan dalam praktik pemerintahan sekarang ini. Ada berbagai alasan yang

melatar belakangi adanya kolaborasi tiap lembaga atau institusi. Collaborative

governance tidak muncul secara tiba-tiba karena hal tersebut ada disebabkan oleh

inisiatif dari berbagai pihak yang mendorong untuk dilakukannya kerjasama dan

koordinasi dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh publik.

Dalam hal ini limbah minyak merupakan masalah yang memerlukan tindakan

kolaborasi oleh semua pihak yang terkait untuk menanggulangi dampak limbah

minyak yang mencemari perairan Bintan. Masalah yang terjadi secara terus

menerus setiap tahunnya mengharuskan terjadinya kolaborasi ini.

Secara umum Collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan

sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi

2. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat intern dan sulit diredam

3. Upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik.

Di samping alasan-alasan tersebut, kemunculan dan dikembangkannya

collaborative governance adalah sebagai sebuah alternatif bagi: 1.) Pemikiran-

pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok kepentingan, dan 2.)

Adanya kegagalan-kegagalan akuntabilitas manajerialisme (tertama manajemen

ilmiah yang semakin di politisasi) dan kegagalan implementasinya. Ada juga yang

berargumen bahwa kecenderungan dilakukannya collaborative governance adalah

tumbuhnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi.


19

Untuk melaksanakan kolaborasi diperlukan beberapa tahapan. Ada tiga

tahap penting dalam kolaborasi, yaitu:

1. Identifikasi masalah (problem setting), yaitu : Menentukan permasalahan,

mengidentifikasikan sumber-sumber, dan membangun kesepakatan untuk

kolaborasi.

2. Penentuan rencana (direction setting), yaitu : menentukan aturan dasar,

menyusun agenda kerja, dan mengorganisasikan sub-sub kelompok,

menyatukan informasi yang ada, meneliti pilihan, dan memperbanyak

persetujuan yang diinginkan.

3. Pelaksanaan (implementation), yaitu : ketentuan yang telah disepakati dan

didorong oleh pihak luar diimplementasikan, pelaksanaan persetujuan harus

selalu dimonitor berkala.

Guna memperoleh hasil yang maksimal dalam melakukan kolaborasi, maka

diperlukan beberapa tahapan penting yaitu: Dialog tatap muka, membangun

kepercayaan, komitmen terhadap proses, pemahaman bersama, dan hasil

sementara. Dari beberapa tahapan di atas yang akan dilakukan oleh stakeholder

tak mudah meyatukan tujuan dari setiap stakeholder yang akan terlibat dalam

penanggulangan masalah limbah minyak ini. Karena setiap stakeholder yang

terlibat mempunyai tujuan masing-masing, ini yang akan jadi penghambat

tercapainya tujuan utama dari melakukan collaborative governance. Pentingnya

meberikan pemahaman kepada aktor yang terlibat apa yang menjadi manfaat atau

pentingnya melakukan kolaborasi.

Manfaat atau pentingnya melakukan kolaborasi, yaitu :


20

1. Bisa menyelesaikan masalah dengan cepat. Karena jika mengerjakan sebuah

pekerjaan seorang diri, terkadang ada waktu di mana kita sangat buntu

sehingga tak ada ide yang muncul. Berkolaborasi dengan orang yang

profesional di bidangnya masing-masing, akan memudahkan kita

memperoleh ide-ide baru.

2. Melatih kerjasama sebagai sebuah tim, kolaborasi juga jadi sarana tepat untuk

melatih diri agar tidak egois. Bekerja dengan banyak orang, membuatmu

sebisa mungkin menahan ego agar tidak terkesan mendominasi.

3. Belajar menghargai komitmen yang telah disepakati, jikalau sudah

menyepakati suatu hal, maka menjadi kewajiban bersama untuk menaati.

Apabila komitmen diterapkan, niscaya keberhasilan dalam menyelesaikan

sebuah tugas dapat diperoleh dengan mudah.

4. Beban kerja bisa dibagi sesuai kemampuan, kerja individu berat pada beban

yang harus ditanggung dalam menyelesaikan sebuah tugas. Jika dikerjakan

sendiri, akan terasa sulit menuntaskannya. Namun bila dikerjakan bersama,

maka beban akan terbagi dan tugas akan segera selesai.

5. Kolaborasi sebagai wadah memperkaya pengalaman bekerja dalam sebuah

kelompok. Pengalaman selama berkerja bersama orang lain adalah bekal yang

bernilai. Semua yang pernah dijalani, merupakan persiapan bila nantinya

berada pada situasi serupa. Seseorang tidak akan kaget ketika menemukan

beberapa masalah saat bekerja dengan orang baru.

6. Menambah jejaring pertemanan. Berkolaborasi dengan orang baru, memang

terasa canggung di awal. Seiring waktu, semuanya akan berbaur seperti biasa.
21

Bahkan bukan tidak mungkin, akan menambah daftar pertemanan dalam

hidupmu.

Kolaborasi dapat dibatasi jika pemimpin kelompok yang terlibat dalam

kolaborasi tidak cukup inovatif untuk mencapai peningkatan tujuan politik

kompleks yang berpotensi memicu konflik internal.

Dalam penelitian ini peneliti lebih berkepentingan untuk meneliti pada

kolaborasi antara stakeholder maka sifat kolaborasi ini lebih menekankan pada

proses, peneliti lebih menekankan pada sejauh mana kolaborasi yang akan

dilakukan para stakeholder untuk menyelesaikan permasalahan dalam

penanggulangan dampak limbah minyak.

2.1.3 Hambatan dalam Collaborative Governance

Kolaborasi yang dilakukan tidak selamanya berjalan dengan lancar tanpa

hambatan, karena melibatkan banyak stakeholder seringkali menyebabkan

keberlangsungan proses kolaborasi menjadi terhambat. Mengingat diperlukannya

penyesuaian antar pemangku kepentingan agar bisa menyatukan visi, misi, tujuan

yang dimiliki untuk diwujudkan bersama. Karena berasal dari sektor yang

berbeda, masing-masing stakeholder seringkali memprioritaskan kepentingan dan

tujuannya sendiri dibandingkan tujuan yang telah ditetapkan bersama stakeholder

lain. Hal ini adalah salah satu yang menghambat suksesnya kolaborasi, meskipun

tidak sepenuhnya pihak yang mengutamakan tujuannya tersebut melakukannya

dengan tanpa alasan.


22

(Sudarmo, 2015:220) menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat

menyebabkan terhambatnya proses kolaborasi, antara lain sebagai berikut :

1. Sifat masalah dan ketidakjelasan batas masalah

2. Munculnya jurang perbedaan

3. Hambatan karena faktor struktural

4. Hambatan karena faktor budaya

5. Faktor dominasi kepentingan pemerintah

6. Kurangnya strategi-strategi inovatif

7. Terjadinya perubahan kesepakatan

8. Tidak adanya transparan

Ketidakjelasan batasan masalah ini biasanya disebabkan karena masing-

masing pemangku kepentingan tidak mampu melakukan sharing informasi dengan

baik sehingga batasan masalah sulit dipahami bersama. Untuk itu diperlukan

autentic dialogue agar stakeholders mampu berperan aktif dalam proses

pembagian informasi dan mendefinisikan masalah yang sedang dihadapi.

Adanya jurang perbedaan ini disebabkan karena pihak yang melakukan

kolaborasi berasal dari bidang yang berbeda-beda yang kemudian mereka

berkumpul menjadi satu untuk menyelesaikan suatu masalah yang hanya dapat

diselesaikan secara bersama-sama. Namun terkadang perbedaan tersebut justru

menjadi jurang pemisah antar pemangku kepentingan karena masing masing pihak

sudah kukuh untuk mempertahankan tujuannya masing-masing. Oleh karena itu

hal ini perlu diselesaikan dengan pendekatan khusus agar masing-masing


23

stakeholder mau dan mampu untuk diajak bekerja bersama-sama terkait masalah

dan pemecahan masalah tersebut.

Hambatan oleh faktor struktural ini disebabkan karena adanya kebiasaan

dalam masyarakat yang hanya menyerahkan semua persoalan kepada pemerintah

dengan tidak berpartisipasi di dalamnya. Selain itu, kolaborasi dapat terhambat

ketika terjadi kooptasi oleh pemerintah dengan mengakomodasi kepentingan

kelompok yang pro terhadap kebijakan. Kendala lain yang tergolong faktor

struktural yakni adanya kecenderungan institusi-institusi yang terlibat dalam

kolaborasi menerapkan struktur hierarkis ketika menjalankan bersama dengan

institusi lain. Hal tersebut menyebabkan hubungan yang terjadi bukan lagi bersifat

horizontal melainkan bersifat vertikal dengan pemerintah sebagai pihak yang

memiliki kedudukan paling tinggi di dalamnya.

Hambatan karena faktor budaya adalah ketika adanya kecenderungan

budaya ketergantungan terhadap prosedur yang telah ada dan tidak ada usaha

untuk berinovasi. Untuk itu diperlukan keterampilan yang memadai dan juga

kemauan untuk berkolaborasi dalam mencapai suatu tujuan bersama. Selain itu,

inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik kurang dihargai. Apabila mereka

berhasil dalam inovasinya jarang sekali memperoleh penghargaan, bahkan ketika

gagal dalam inovasi mereka menanggung sendiri akibatnya. Hal tersebut yang

membuat kolaborasi menjadi pilihan yang sulit dalam menyelesaikan suatu

masalah karena mereka lebih menggantungkan diri pada pihak lain.

Faktor dominasi kepentingan pemerintah menjadi salah satu penghambat

dalam kolaborasi. Pemerintah dalam hal ini memiliki wewenang yang lebih dari
24

stakeholder lain yang membuat mereka mau tidak mau harus menerima definisi

masalah yang berasal dari pihak yang mendominasi tersebut.

Kurangnya strategi inovatif juga menjadi salah satu faktor penghambat

terselenggaranya kolaborasi. Hal ini dapat terjadi apabila para pemimpin dari

kelompok yang berkolaborasi kurang inovatif dalam menyelesaikan permasalahan

yang begitu kompleks.

Faktor selanjutnya yang dapat menyebabkan kolaborasi menjadi terhambat

adalah adanya perubahan kesepakatan. Kesepakatan yang telah disetujui bersama

pada awal proses kolaborasi bisa saja berubah seiring dengan bertambahnya

kepentingan masing-masing pihak yang berkolaborasi.

Transparansi sangat diperlukan dalam proses apapun termasuk kolaborasi.

Apabila tidak ada hal tersebut justru akan menyebabkan saling tidak percaya antar

stakeholder. Padahal kepercayaan adalah hal yang sangat diperlukan dalam proses

kolaborasi, karena dengan kepercayaan itulah yang dapat menentukan apakah

collaborative governance dapat berlangsung dengan baik ataukah tidak.

Dari beberapa faktor tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya

hambatan yang ada dalam collaborative governance umumnya berasal dari

interaksi berbagai aktor yang terlibat dalam mengelola dan menyelesaikan suatu

permasalahan bersama. Karena, adanya pemikiran bahwa sulit mempertemukan

tujuan masing-masing stakeholder yang berasal dari bidang yang berbeda.


25

2.3 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian teoritis yang telah diuraikan di atas, sehingga peneliti

dapat membuat kerangka konseptual penelitian sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Collaborative Governance Penanggulangan Dampak Limbah Minyak di laut


Bintan

Menurut Ansell & Gash 2007 : 558- 561

5 tahapan dalam proses Collaborative Governance

1. Face to face dialog (dialog tatap muka)


2. Trust building (membangun kepercayaan)
3. Comitment to process (komitmen terhadap proses)
4. Share understanding (saling memahami)
5. Intermediate outcome (hasil sementara)

Aktor : Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau,


kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS), dan masyarakat.

Faktor penghambat

Menanggulangi Dampak Limbah Minyak di Bintan

Olahan data, 2020


26

2.4 Definisi Konsep

Definisi konsep adalah abstraksi yang diungkapkan dalam kata-kata untuk

mempermudah memberikan pemahaman dalam penelitian, maka peneliti terlebih

dahulu menjelaskan konsep yang akan di gunakan agar penelitian lebih terarah.

Definisi konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini menurut

(Ansell & Gash, 2007) sebagai berikut :

1. Face to face dialoge (Dialog tatap muka)

Dialog tatap muka merupakan pertemuan langsung dari Dinas

Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau, kelompok masyarakat pengawas

(POKMASWAS), dan masyarakat yang terkena dampak limbah minyak,

sehingga terjadi dialog langsung antar para pihak untuk membahas

penanggulangan limbah minyak di kecamatan telok sebong. Di bentuknya

forum komunikasi stakeholder guna menghindari tumpang tindih pengambilan

kebijakan dan penanganan tumpahan minyak.

2. Trust building (membangun kepercayaan)

Pembentukan kepercayaan yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup

Provinsi Kepulauan Riau, kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS),

dan masyarakat yang terkena dampak limbah minyak ada, yaitu karena semua

pihak memiliki niat yang sama agar proses kerjasama dalam penanggulangan

limbah minyak berjalan dengan lancer. Oleh karena itu, membangun

kepercayaan penting antar pemangku kepentingan melalui kolaborasi, sehingga


27

kerjasama yang telah dilakukan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai. Dan kerjasama yang dilakukan pun telah sesuai

dengan SOP penanganan tumpahan minyak.

3. Comitment to process (komitmen terhadap proses)

Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepulauan Riau, kelompok

masyarakat pengawas (POKMASWAS), dan masyarakat yang terkena dampak

limbah minyak terus melakukan analisis dan peninjauan kondisi pencemaran

limbah minyak yang terjadi di Kecamatan telok sebong.

4. Share understanding (pemahaman bersama)

Pemahaman bersama antara Dinas Lingkungan Hidup Provinsi

Kepulauan Riau, kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS), dan

masyarakat tentang tanggung jawab bersama dalam kerjasama yang dilakukan.

Supaya bisa mencapai kesepakatan bersama untuk memahami masalah limbah

minyak.

5. Intermediate outcome (hasil sementara)

Hasil sementara dari proses yang sedang berlangsung saat ini ada

pengurangan dari jumlah limbah minyak yang di kumpulkan setiap tahunnya,

walupun hasil pengurangannya tidak signifikan tapi terlihat ada perubahan

setiap tahunnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dimana penulis berusaha

menggambarkan kondisi objek suatu fenomena sosial yang ditemui secara apa

adanya di lapangan. Jenis penelitian deskriptif kualitatif, dalam penelitian ini

peneliti akan memberikan gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta sesuai ruang lingkup penelitian.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui

nilai variabel mandiri, baik satu variabel ataupun lebih (independen) tanpa

membuat suatu perbandingan atau menghubungkan satu variabel dengan variabel

lain (Sugiyono, 2011).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran

secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, yang ada di lapangan

serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pada hakekatnya metode

penelitian deskriptif ini adalah untuk mencari pemahaman dan makna yang

terkandung dalam fokus penelitian. Sedangkan pemahaman akan makna tersebut

dapat diperoleh terutama setelah penelitian lapangan diteliti.

Dengan penelitian kualitatif, peneliti merupakan alat penelitian yang utama,

karena penelitian kualitatif menggunakan metode pengamatan, wawancara,

dan/atau penelaahan dokumen. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha

28
29

mendeskripsikan proses collaborative governance dan apa saja faktor pendukung

dan penghambat dalam menanggulangi limbah minyak di Bintan.

3.2 Objek dan Lokasi Penelitian

Objek penelitian merupakan suatu kondisi yang menggambarkan atau

menerangkan suatu situasi dari objek yang akan diteliti untuk mendapatkan

gambaran yang jelas dari suatu penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi

objek adalah Dinas Komunikasi dan, kelompok masyarakat pengawas

(POKMASWAS), dan masyarakat yang terke.

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian

terutama dalam menelaah fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari

objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat.

Peneliti mengambil lokasi penelitian di Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten

Bintan, Provinsi Kepulauan Riau.

Adapun alasan peneliti memilih penelitian di lokasi ini adalah permasalahan

limbah minyak yang terjadi setiap tahunnya tidak bisa di pandang sebelah mata,

karena setiap mulai memasuki musim angin utara limbah minyak akan mengotori

laut dan bibir pantai yang ada di Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan,

Provinsi Kepulauan Riau.

3.3 Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan suatu penentuan konsentrasi sebagai pedoman

arah suatu penelitian dalam upaya mengumpulkan data dan mencari informasi

sehingga penelitian ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Maka dari itu
30

fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses collaborative

governance dan apa saja faktor penghambat dalam menanggulangi limbah minyak

di laut Bintan.

3.4 Sumber Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan

selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2010).

Pada penelitian ini untuk mengumpulkan data peneliti menggunakan dua sumber

data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer dicari melalui narasumber, yaitu orang yang dijadikan

obyek penelitian atau orang yang dijadikan sebagai sarana mendapatkan informasi

atau data. Data yang di peroleh secara langsung dari responden dilapangan

melalui wawancara yang bertujuan untuk mendapatkan jawaban penelitian yang

berhubungan dengan proses collaborative governance dalam menanggulangi

limbah minyak di Bintan.

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh

peneliti dari sumber-sumber yang telah ada atau data yang diambil melalui

keterangan atau informasi yang diinginkan serta diperlukan untuk memperjelas

data atau permasalahan yang akan diteliti. Dalam penelitian ini data yang

dikumpulkan diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan web pemerintahan yang ada

hubungannya dengan collaborative governance dalam menanggulangi limbah

minyak di Bintan.
31

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data

(Sugiyono, 2011:62). Kesalahan dalam pemilihan teknik pengumpulan data

mengakibatkan peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data

yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data adalah langkah yang paling strategis

dalam penelitian karena tujuan utamanya untuk mendapatkan data. Dalam

melakukan penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan

beberapa cara atau teknik yaitu :

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data sekunder dari

berbagai buku-buku, jurnal, dan web pemerintahan untuk memperolah

informasi dan data yang terkait dengan penelitian.

Penelitian lapangan yaitu melakukan penelitian dengan secara langsun di

lapangan untuk memperoleh data atau melakukan informasi langsung dari

responden dengan menggunakan beberapa teknik antara lain sebagai berikut :

a. Observasi

Metode pengmpulan data dari mengamati atau meninjau secara cermat

dan langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan alat indra baik itu

berupa pendengaran hingga pengelihatan terhadap fenomena-fenomena sosial

dan gejala-gejala yang terjadi untuk membuktikan kebenaran dari sebuah

desain penelitian yang sedang dilakukan.


32

b. Wawancara

Metode pengumpulan data melalui wawancara dalam penelitian kualitatif

umumnya dimaksudkan untuk mendalami suatu kejadian atau kegiatan subjek

penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif di perlukan suatu

wawancara mendalam, baik dalam suatau situasi maupun dalam beberapa

tahapan pengumpulan data. Wawancara digunakan sebagai teknik

pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan setudi pendahuluan untuk

menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin

mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.

Peneliti menggunakan bentuk wawancara yang semi tersetruktur dimana

hanya pokok-pokok masalah yang dipersiapkan sementara pertanyaannya

diungkapkan pada saat terjadinya wawancara, sehingga bukan perangkat

pertanyaan ilmiah yang diucapkan sama persis untuk setiap wawancara. Alat

pengumpulan data yang penulis gunakan adalah daftar pertayaan sebagai

pedoman untuk tanya jawab secara langsung mengenai permasalahan yang

diteliti.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data kulaitatif

dengan melihat dokumen atau catatan dalam bentuk apapun yang ada kaitannya

degan penelitian alat yang digunakan adalah kamera dan handphone.

3.6 Informan

Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan memahami data,

informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Penetapan informan dalam
33

penelitian ini berdasarkan anggapan bahwa informan dapat memberikan informasi

yang diinginkan peneliti sesuai dengan permasalahan penelitian (Burhan, 2009).

Dalam pengambilan informasi disini peneliti menggunakan teknik

pemeilihan informasi diambil dengan menggunakan teknik purposive (sengaja),

karena dengan menggunakan teknik purposive, diharapkan kriteria sampel

diperoleh benar-benar sesuai dengan penelitian yang akan di lakukan. Informan

dalam penelitian ini adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu dan

menguasai masalah penelitin ini. Informan dalam penelitian ini, yaitu :

Tabel 3.1. Informan

No Informan Jumla Keterangan


h
.
1. Dinas Lingkungan Hidup Provinsi 3 Instansi yang bertanggung
Kepulauan Riau jawab
2. Kelompok Masyarakat Pengawas 1 Pihak yang bertanggung
(POKMAWAS) jawab di lapangan
3. Masyarakats 7 Pihak yang terkena dampak

3.7 Teknik Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data

kualitatif. Teknik Analisis data kualitatif adalah dengan cara menjelaskan hasil

tabulasi dari jawaban informan mengenai proses collaborative governance dan

apa saja faktor penghambat dalam menanggulangi limbah minyak di Bintan.


34

Analisis data menurut Miles dan Huberman (Dalam Sugiyono, 2014) ada

tiga tahap, yaitu : (1) Tahap Reduksi data, (2) Tahap penyajian data, (3) Tahap

penarikan kesimpulan dan verifikasi data.

a. Tahap reduksi data

Meringkas data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi di

lokasi penelitian. Pada langkah pertama ini termasuk pula memilih dan

meringkas dokumen yang relevan.

b. Tahap penyajian data/Analisis data

Penyajian data diarahkan agar data hasil redukasi terorganisirkan,

tersusun dalam pola hubungan, sehingga makin mudah dipahami dalam

merencanakan penelitian selanjutnya. Pada langkah ini peneliti berusaha

menyusun data yang relevan sehingga menjadi informasi yang dapat di

simpulkan dan memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan

cara menampilkan data, membuat hubungan antar fenomena untuk memaknai

apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu ditindaklanjuti untuk mencapai

tujuan penelitian. Penyajian data yang baik merupakan satu langkah penting

menuju tercapainya analisis kualitatif yang valid.

c. Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi data

Penarikan kesimpulan berdasarkan temuan dan melakukan verifikasi

data. Kesimpulan awal dari tahap analisis sebelumnya masih bersifat sementara

dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti buat yang mendukung tahap

pengumpulan data berikutnya. Proses untuk mendaptakan bukti-bukti inilah

yang disebuat sebagai verifikasi data. Apabila kesimpulan yang dikemukakan


35

pada tahap analisis awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dalam arti

konsisten dengan kondisi yang ditemukan saat peneliti kembali ke lapangan

maka kesimpulan yang diperoleh merupakan kesimpulan kredibel.

3.8 Jadwal Penelitian

Jadwal penelitian pada proposal ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2. Jadwal Penelitian

Tahun 2020
N Kegiata Bulan Septembe Oktobe Novembe Desember Januari Febuari
O n r r r
Mingg 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
u
1. Tahap Persiapan
a. Studi Literatur
b. Observasi
c. Mengurus
Perizinan
(Pra)
Penelitian
d. Penulisan
Proposal
Usulan
Penelitian
e. Pengajuan
Judul
Usulan Penelitian
f. Pengesahan
Judul
Usulan Penelitian
g. Bimbingan
2. Tahap Penelitian
a. Observasi
b. wawancara
c. Pengolahan
Data
d. Analisa Data
e. Penyusunan
Laporan
3. Tahap Pengujian
a. Seminar Usulan
Penelitian
b. Revisi usulan
Penelitian
36

c. Sidang Skripsi
d. Revisi Skripsi
37

DAFTAR REFERENSI
Buku :

Abidin, Y. (2013). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum.

Bandung: PT Refika Aditama.

Ansell, Chris & Gash, A. (2007). Collaborative Governance in Theory and

Practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18, 550–

561.

Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative governance in theory and practice.

Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.

https://doi.org/10.1093/jopart/mum032

Burhan, B. (2009). Analisis Penelitian Data Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo.

Dwiyanto, A. (2015). Reformasi Birokrasi Kontekstual. Gajah Mada University

Press : Anggota IKAPI.

Johansson, K.E.V, Ole Elgstro, Ngolia Kimanzu, JanErik Nylund, R. P. (2010).

Trends in Development Aid, Negotiation Processes and NGO Policy Change.

Voluntas, 21, 371–392.

Keban, Y. T. (2008). Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori, dan

Isu Edisi Kedua. Yogyakarta: Gaya Media.

Moleong, L. (2010). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Negara, G. S. (2020). Dampak Linkungan Terhadap Pencemaran Laut Di Pesisir

Utara Pulau Bintan Selama Musim Angin Utara. Jurnal Sains Dan Teknologi

Maritim, 20(2), 137. https://doi.org/10.33556/jstm.v20i2.226

Santosa, P. (2009). Administrasi Aplikasi, Publik- Teori dan Good Governance.


38

Bandung: PT Refika Aditama.

Subarsono, A. (2016). Kebijakan Publik dan Pemerintahan Kolaboratif isu-isu

Kontenporer. Yogyakarta: Gava Media.

Sudarmo. (2011). Menuju Model Resolusi Konflik Berbasis Governance.

Surakarta: UNS.

Sudarmo. (2015). Menuju Model Resolusi Konflik Berbasis Governance.

Surakarta: UNS.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Administrasi Negara di lengkapi dengan

metode R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suharsaputra, U. (2012). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan.

Bandung: PT Refika Aditama.

Ulum, M. C. dan R. N. (2017). Environmental Governance: Isu Press., Kebijakan

dan Tata Kelola Lingkungan Hidup. Malang: UB.

Yudiatmaja, W. E., Samnuzulsari, T., Suyito, & Yudithia. (2020). Transforming

institutional design in addressing sludge oil in Bintan seawater, Kepulauan

Riau, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science,

423(1). https://doi.org/10.1088/1755-1315/423/1/012059

Dokumen :
39

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

Anda mungkin juga menyukai