Anda di halaman 1dari 2

Ada mahasiswa yang menyelesaikan studi jenjang Strata 1 (sarjana) selama pas 4 tahun.

Ada yang lebih lama, misalnya


sampai menit terakhir yang diperbolehkan oleh aturan. Ada juga yang ngebut dan bisa selesai dalam tempo hanya 7
semester. Pada tingkat dunia ada beberapa bocah ajaib yang bisa menyelesaikankan pendidikan sarjana hanya dalam waktu
2 tahun, karena dianggap tidak perlu mengikuti mata kuliah regular lagi.

Para mahasiswa yang mampu lulus lebih cepat biasanya adalah mereka yang mampu mengatur waktu pengambilan mata
kuliah agar semua paket dan pilihan mata kuliah bisa dirampungkan lebih cepat dan menyiapkan skripsinya lebih awal.
Sedangkan mahasiswa yang molor waktu kuliahnya, ada yang karena harus mengulang mata kuliah yang belum lulus, tetapi
kebanyakan karena butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan penulisan skripsinya.

Walaupun judul tulisan ini hanya menyebutkan skripsi sebagai penunda kelulusan, namun saya yakin ini berlaku juga untuk
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mahasiswa pascasarjana Strata 2 (magister) dan Strata 3 (doktor) juga ada yang bisa
lulus tepat waktu dan mungkin juga lebih cepat, tapi ada juga yang lulus lebih lambat atau sampai menjelang detik terakhir
batas waktunya, karena terhambat oleh penyelesaian tesis atau disertasinya.

Mengapa karya tulis akhir yang menjadi salah satu syarat kelulusan ini sering menjadi biang keladi lambatnya mahasiswa
menyelesaikan studinya? Mari kita lihat apa gerangan yang terjadi di balik kelambatan menyiapkan skripsi ini.

Dugaan pertama, karena penulisan skripsi merupakan kegiatan akademik yang bermula dari inistiaf mahasiswa dan
relative membutuhkan kemandirian mahasiswa yang bersangkutan untuk menuntaskannya. Rangkaian kegiatan ini biasanya
tidak terjadwal secara rigid, seperti halnya perkuliahan reguler yang dilakukan secara terjadwal dan harus selesai pada
semester tertentu. Walaupun sesekali masih dilakukan pergeseran jadwal, tetapi semua mata kuliah wajib tuntas dalam
kurun waktu yang telah ditetapkan. Tetapi skirpsi, tesis, dan disertasi dibuat luwes rentang waktunya. Karya tulis ini boleh
dianggap selesai jika tulisanya sudah dianggap cukup ‘matang’ secara substansial dan tertib mengikuti sistematika dan
pedoman tata tulisnya.

Kedua, karyai lmiah yang disebut skripsi, tesis, atau disertasi itu merupakan hasil karya kolaborasi antara mahasiswa
dengan para pembimbingnya. Tentu dengan posisi yang berbeda dan tidak setara. Mahasiswa diharapkan untuk lebih
proaktif dan pembimbing diharapkan meluangkan waktu yang cukup untuk mahasiswa berkonsultasi. Sebagaimana
hubungan interaksi antara dua pihak, maka adakalanya ‘kompatibel’, tapi adakalanya juga tidak. Oleh sebab itu, kadang kita
juga melihat ada mahasiswa yang cerdas tapi lulusnya agak telat; sebaliknya juga ada yang disebabkan karena mahasiswa
takut menghadap dosen pembimbingnya. Ihwal takut ini bisa karena dosennya ‘seram’ (dulu popular dengan sebutan
‘killer’) atau bisa juga karena mahasiswanya tidak pede karena tidak siap.

Ketiga, mahasiswa melupakan tugas utamanya (dan harapan kebanyakan orangtuanya!) untuk menuntut ilmu, karena
terlalu terpesona oleh berbagai aktivitas ekstrakurikuler. Spesies mahasiswa yang seperti ini biasanya lebih menyukai
popularitas daripada menjadi cerdas. Jika prioritas bergeser dari urusan akademik ke urusan penunjang akademik, sudah
dapat diduga bahwa proses penulisan skripsi akan terbengkalai penuh atau setengah terbengkalai, atau paling tidak
seperempat terbengkalai. Kegiatan ekstrakurikuler sebetulnya tidaklah buruk, malah sebaliknya adalah bagus, jika saja
mahasiswa tetap tidak lupa akan prioritasnya, yakni untuk menimba ilmu.

Keempat, walaupun realitanya begitu banyak dan kompleksnya persoalan di semua bidang ilmu pengetahuan, tetapi
banyak sekali mahasiswa (dan kadang dosen juga) yang merasa sulit menemukan dan mengidentifikan persoalan yang
perlu diteliti untuk dijadikan bahan penulisan skripsi, tesis, maupun disertasi. Tumpulnya kemampuan mengidentifikasi
persoalan yang relevan dan ‘layak-teliti’ ini, kadang menjadi factor pemicu yang menggoda mahasiswa (dan kadang dosen
juga) untuk mengambil jalan pintas, yakni nyontek. Padahal plagiarism merupakan aib besar dalam dunia akademik, dan
dapat dihukum berat, yakni berupa pencabutan gelar akademik.

Kelima, posisi skripsi (juga tesis dan disertasi) di mata mahasiswa akan menentukan intensitas dan keseriusannya dalam
penulisan skripsi. Jika karya ilmiah ini hanya diposisikan sebagai ‘salah-satu-syarat’ untuk menyelesaikan studi pada jenjang
tertentu atau salah satu syarat untuk memperoleh gelar akademik tertentu, maka tingkat intensitas dan keseriusan
mahasiswa dalam menyiapkan karya tulis akhir ini akan relative rendah. Tingkat intensitas dan keseriusan yang rendah
memperbesar probabilitas karya ilmiah ini akan lebih lama untuk dapat diselesaikan. Akan semakin parah, jika posisi tugas
akhir ini tergelincir lebih rendah ke kategori hanya sebagai pelengkap untuk mendapatkan gelar.

Skripsi, tesis, dan disertasi harusnya diposisikan sebagai reflector dari citra-diri penulisnya. Berbeda dengan ungkapan lisan
yang menguap dengan cepat seperti embun di pagi hari, karya tulis akan eksis sepanjang masih tersedia di perpustakaan,
atau nyaris abadi jika ia sudah diunggah ke media elektronik yang dapat diakses setiap saat dari berbagai penjuru dunia.

Dalam konteks sekarang, skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah lainnya sudah tidak wajar lagi jika dianggap hanya
sebagai salah satu syarat (apalagi hanya sebagai pelengkap) untuk memperoleh gelar akademik. Suka atau tidak suka
(demen aku dengan frasa ini!), setiap karya tulis ilmiah telah menjadi bagian dari citra-diri setiap individu di dunia
akademik. Oleh sebab itu, wajib dipersiapkan dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya oleh setiap mahasiswa.

Selain itu, mahasiswa tidak boleh cuma berpacu untuk mengejar Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saja. IPK sudah dipahami
tidak selalu sama dan sebangun dengan kecerdasan. Tetapi tidak juga dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini IPK masih
merupakan indikasi universal yang tersedia untuk menaksir tingkat kecerdasan mahasiswa. Proses belajar mengajar tak
boleh hanya berbuah pada keterampilan menghafal. Proses belajar mengajar pada jenjang pendidikan tinggi harusnya
merupakan proses mengasah kemampuan analitikal untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan persoalan, dan
memformulasikan solusinya. Tentu, yang dimaksudkan adalah sebuah solusi yang harus juga mampu diimplementasikan.

Sesungguhnya untuk menghasilkan solusi yang dapat diimplementasikan dibutuhkan tidak hanya kemampuan analitikal,
tetapi juga kepekaan terhadap realita persoalan. Jika mahasiswa memiliki kemampuan analitikal yang tajam dan kepekaan
terhadap realita persoalan (paling tidak di bidang studinya masing-masing), maka urusan menulis skripsi, tesis, maupun
disertasi akan menjadi seperti segelas kopi yang siap diseruput sambil sarapan pagi dengan perasaan suka cita.

Jakarta, 23 Februari 2014

Penulis

*Benyamin Lakitan
*) Guru Besar FP Unsri dan Staf Ahli Kementerian Ristek dan Dikti

Sumber: www.cdc.unsri.ac.id

Anda mungkin juga menyukai