Anda di halaman 1dari 11

2.

6 Terapi Ameloblastoma (160110180035 – Aliyya Rifqunnisa)


Terapi yang digunakan untuk menangani ameloblastoma masih menjadi
topik yang didiskusikan dan cukup kontroversial. Dalam hal ini, ada dua pilihan
jenis terapi yang tersedia, yaitu terapi konservatif seperti enukleasi, kuretase, dan
marsupialisasi; dan terapi agresif berupa reseksi. Keduanya memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing. Sangat penting untuk mengidentifikasi perbedaan
tingkat rekurensi dari masing-masing metode perawatan ameloblastoma.
Penanganan terapi ameloblastoma cukup kompleks dikarenakan pelaksanaannya
harus memungkinkan dekstruksi yang minimal oleh karena sifat lesi yang jinak
dan agar tidak merusak jaringan sekitar terlalu banyak sehingga fungsi dapat
terganggu (seperti saraf, pembuluh darah, dan tulang), namun juga harus cukup
memadai untuk mencegah terjadinya rekurensi di kemudian hari. Pertimbangan
menyeluruh sangat diperlukan sebelum menentukan terapi yang akan digunakan
untuk tiap kasus ameloblastoma.

2.6.1 Terapi Konservatif (160110180035 – Aliyya Rifqunnisa)


Penentuan terapi untuk ameloblastoma harus mempertimbangkan struktur
histologi, ukuran, karakteristik klinis dan sifat lesi, serta usia dari pasien terkait.
Berdasarkan studi, ameloblastoma unikistik yang sering terjadi pada usia muda
cukup adekuat untuk ditangani menggunakan terapi konservatif. Pelaksanaannya
cukup efektif dalam mengurangi ukuran lesi, memungkinkan pengangkatan yang
mudah, dan menunjang pertumbuhan tulang. Selain itu kelebihan terapi
konservatif adalah minim trauma psikologis pada pasien setelah operasi.

Terapi konservatif yang ditemukan cukup bekerja pada ameloblastoma


tipe unikistik juga dapat dikarenakan karakteristik dan sifat dari tipe
ameloblastoma ini yang menyerupai kista odontogenik, dengan tingkat rekurensi
yang rendah dibandingkan tipe lainnya. Presentase rekurensi terapi enukleasi pada
kasus tersebut berkisar antara 10% hingga 25 %. Adapun menurut Lans Anderson
et. al, tingkat rekurensi pada ameloblastoma unisistik yaitu 3.6% untuk terapi
reseksi, 30.5% untuk enukleasi saja, 16% untuk enukleasi yang diikuti Carnoy’s
solution, dan 18% untuk marsupialisasi baik disertai maupun tidak disertai terapi
lain. Hanya enukleasi saja yang memiliki tingkat rekurensi paling tinggi,
sedangkan terapi konservatif lain sepadan dengan terapi reseksi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa terapi konservatif pada kasus ameloblastoma unikistik
dapat menjadi pilihan perawatan yang memadai untuk dipertimbangkan, dan
enukleasi sebaiknya dilakukan dengan terapi tambahan agar lebih adekuat.

Pada artikel ilmiah mengenai keberhasilan terapi konservatif (Isolan et al.,


2018), menyatakan bahwa presentase rekurensi terapi konservatif pada
ameloblastoma yaitu 60%-80% untuk tipe solid dan multisistik, sedangkan
unisistik sebesar 30%-60%.

Penentuan terapi harus berdasarkan pertimbangan histologis, ukuran,


lokasi, sifat dan karakteristik klinis dari lesi ameloblastoma terkait serta usia dan
kondisi sistemik pasien. Ketidaktepatan pemilihan terapi dapat berdampak pada
prognosis dan tingkat rekurensi penyakit.

1. Enukleasi

Enukleasi adalah menghilangkan lapisan kista secara total atau


keseluruhan, dari isi hingga lapisan terluar kista serta gigi yang terlibat. Enukleasi
secara umum digunakan jika lapisan kista mudah dipisahkan dari perlekatan
tulang dan kavitas berisi bekuan darah. Enukleasi dapat dilakukan pada semua
kista yang berukuran kecil sampai sedang. Tingkat rekurensi terapi enukleasi pada
ameloblastoma unikistik yaitu 30,5% (Andersson et al., n.d.). Pasien secara
normal menjalani kontrol 4-6 bulan setelah operasi.

Tahap Enukleasi:

1. Pemberian antibiotik profilakasis terlebih dahulu pada pasien jika


diperlukan.
2. Pertama dilakukan insisi pada mukoperiosteal flap.
3. Setelah insisi selesai, periosteal elevator digunakan untuk mengelevasi dan
memisahkan mukoperiosteal flap. Flap dipegang kembali dengan allis
forceps, sehingga terlihat tulang kortikal yang tipis.
4. Tulang kortikal yang tipis dihilangkan dengan menggunakan end cutting
rongeurs atau bisa juga dengan round bur untuk tulang.
5. Memotong lapisan jaringan ikat tumor dengan menggunaka a thin-bladed
curettage.
6. Seteleh tumor berhasil diangkat,periksa kembali kavitas tulang untuk
melihat apakah masih ada jaringan kista yang tertinggal atau tidak.
7. Apabila tumor telah dienukleasi dengan sempurna, tepi-tepi tulang
dihaluskan menggunakan bone file.
8. Sebelum flap dijahit kembali seperti posisi anatominya, kavitas bekas kista
terlebih dahulu di irigasi dengan larutan saline yang steril dan di keringkan
dengan gauze.
9. Membran tumor sebaiknya di kirim ke bagian histopatologis untuk
diperiksa.

Gambar 1 Ilustrasi Tahap Enukleasi

2. Enukleasi dan Kuretase

Teknik ini disebut juga dengan dredging method. Indikasinya adalah


mengangkat odontogenic keratocyst, dan tumor yang rekuren setelah
pengangkatan. Keuntungan teknik ini adalah bila enukleasi meninggalkan sisa-
sisa epitel, kuretase bisa mengangkat sisa-sisa tersebut, sehingga kemungkinan
terjadinya rekurensi menurun. Sedangkan kerugiannya, kuretase bersifat lebih
destruktif terhadap tulang sekitar dan jaringan lainnya (misalnya saraf dan
pembuluh darah) sehingga harus ekstra hati-hati dalam pelaksanaannya.

Setelah enukleasi, sebelum flap dijahit kembali ke posisi anatomisnya,


dilakukan pengerukan lesi dan tulang pada kavitas. Sisa-sia enukleasi diangkat.
Dapat menggunakan kuret atau bur untuk mengangkat 1-2 mm tulang di sekitar
rongga tumor. Evaluasi kembali kavitas untuk memastikan tidak ada jaringan
residual yang tertinggal, kemudian flap dijahit ke posisi anatomis. Kekurangan
dari teknik ini adalah, meskipun memungkinkan pengangkatan yang lebih adekuat
dari enukleasi saja, jika digunakan pada kista besar pengikisan tulang dapat
menyebabkan integritas tulang melemah, menempatkannya pada risiko fraktur
patologis. Hal ini dapat diatasi dengan 6 minggu fiksasi intermaksila dan atau
penempatan plat rekonstruksi.

Enukleasi dan kuretase direkomendasikan untuk perawatan kista kecil dan


unilocular, Adapun untuk tumor yang memiliki sifat keganasan perlu dimodifikasi
dengan terapi tambahan lain seperti penggunaan larutan Carnoy, cryosurgery, atau
prosedur ostektomi perifer.

Gambar 2 Enukleasi dan Kuretase


3. Enukleasi dengan Ostektomi Perifer

Ostektomi perifer merupakan perpanjangan dari teknik kuretase yang


dijelaskan di atas. Ini melibatkan penggunaan instrumen rotary untuk
menghilangkan tulang yang berdekatan dengan lapisan kistik, Secara teoritis
teknik ini memungkinkan pengangkatan semua sisa epitel dan/atau kista sisa.
Teknik ini dapat berdiri sendiri atau mencakup fiksasi kimia atau termal dari
bagian dalam rongga tulang. Keuntungan dari ostektomi perifer adalah
memberikan "margin" tambahan dari pengangkatan tulang selama eksisi lesi dan
berpotensi mengurangi kebutuhan akan tindakan tambahan. Kerugiannya adalah
menempatkan struktur anatomi lain pada risiko cedera, yaitu gigi dan saraf
alveolar inferior, dan selanjutnya dapat melemahkan struktur rahang.

Tingkat rekurensi dan keberhasilan terapi ini belum diketahui, tetapi


penggunaan ostektomi perifer untuk pengobatan sejumlah tumor odontogenik
memiliki kelebihan karena dapat memfasilitasi operasi yang lebih “radikal”
daripada kuretase tetapi kurang morbid dibandingkan reseksi.

Gambar 3 Ilustrasi Ostektomi Perifer


Gambar 4 Gambaran Klinis Enukleasi dan Ostektomi Perifer

4. Enukleasi dan Carnoy’s Solution

Untuk meningkatkan efektivitas dan mengurangi rekurensi dari terapi


enukleasi, modifikasi dengan penambahan cairan kimia seperti Carnoy’s Solution
dapat menjadi solusi. Aplikasi cairan ini dapat dilakukan sebelum maupun
sesudah tahap enukleasi. Larutan Carnoy adalah campuran dari alkohol,
kloroform, asam asetat glasial, dan ferric klorida yang menembus (penetrasi) ke
tulang dapat diprediksi, kedalaman penetrasi bergantung pada waktu, dan tidak
melukai struktur neurovaskular. Lima menit aplikasi menghasilkan penetrasi ke
tulang hingga kedalaman 1.54 mm; saraf hingga kedalaman 0.14 mm; dan mukosa
dengan kedalaman 0.51 mm. Tingkat rekurensi teknik ini pada ameloblastoma
unikistik sebesar 16%.

Tahapan:

1. Setelah enukleasi, defek diisi dengan ribbon gauze ¼” (6 mm) atau ½” (12
mm). Perawatan dilakukan untuk melindungi jaringan lunak di sekitarnya
dengan spons kasa atau handuk

2. Gunakan jarum suntik dan angiocath untuk memberikan larutan Carnoy,


rendam kain kasa secara menyeluruh.
3. Setelah 5 menit kasa dijepit dengan forsep dan dimanipulasi di dalam
rongga, pastikan aplikasi lengkap ke semua dinding.

4. Kasa kemudian diangkat dan rongga diirigasi dengan larutan saline dalam
jumlah banyak.

5. Pertimbangan lanjut untuk melakukan cangkok tulang primer pada tumor


sedang dan besar.

Gambar 5 Enukleasi, Kuretase, Ostektomi Perifer, dan Carnoy's Solution

5. Enukleasi dan Cryosurgery

Adalah pembedahan yang dilakukan dengan cara memaparkan temperatur


dingin yang ekstrim ke jaringan yang telah diseleksi menggunakan alat yang
mengandung nitrogen cair. Tujuan cryosurgery adalah untuk mengeliminasi sel-
sel yang abnormal. Efek pendinginan yang ekstrim adalah konsentrasi cairan
intraseluler meningkat, kadar air intraseluler berkurang, sel mengerut, membran
sel rusak, terbentuk kristal es di intrasel, dan terbentuk kristal es di ekstrasel.

Mirip dengan fiksasi kimia dengan larutan Carnoy, cryosurgery


memungkinkan pengangkatan kista atau tumor dengan enukleasi dan kuretase
diikuti dengan perawatan jaringan di sekitarnya. Pembekuan 1 menit tunggal
menghasilkan kedalaman nekrosis tulang 1-3 mm tergantung pada tekniknya.
Teknik yang dapat diterima untuk penggunaan bedah krio oral meliputi
pemeriksaan cryotherapy dengan jelly yang larut dalam air dan semprotan
nitrogen cair. Keuntungan cryoprobe dengan jeli adalah memungkinkan untuk
membekukan bagian rongga tulang yang tidak teratur (irreguler) dan bergantung
gravitasi. Kerugiannya adalah ada pembekuan yang tidak seragam. Keuntungan
dari semprotan nitrogen cair adalah pembekuan yang kuat dan seragam.
Kerugiannya adalah potensi kerusakan jaringan di sekitarnya. Pembekuan
dilakukan selama 2 menit lalu cairkan. Ulangi prosedur sebanyak tiga kali.
Cangkok tulang (bonegraf) segera setelah cryotherapy direkomendasikan jika
tumor lebih besar dari 4 cm.

6. Marsupialisasi

Dapat disebut sebagai teknik surgical window, marsupialisasi adalah terapi


yang dianjurkan untuk melakukan dekompresi awal dan mengecilkan kista atau
tumor sebelum pengangkatan definitif, umumnya dengan enukleasi dan kuretase
beberapa bulan kemudian. Keuntungan utama dari metode ini adalah
meminimalkan cacat bedah yang disebabkan oleh pengangkatan lesi kista. Teknik
ini telah diamati menyebabkan peradangan dan penebalan berikutnya dari lapisan
kista yang memfasilitasi pengangkatan utamanya. Berbagai mediator inflamasi
mungkin berperan dalam pengurangan volume kista. Marsupialisasi terbukti
menghambat ekspresi interleukin1alpha dalam lapisan KOT (kista odontogenik
terkeratinisasi), sehingga menghentikan proliferasi sel epitel dan mengurangi
ukuran tumor kista. Tingkak rekurensi Teknik ini, baik menggunakan terapi
tambahan lain atau secara tunggal, pada ameloblastoma unikistik sebesar 18%.
Teknik ini dilakukan dengan "menghilangkan atap" tumor dan berulang
kali membalut kavitas dengan kain kasa atau hanya dengan menempatkan tabung,
kateter atau saluran pembuangan (drainase) untuk memicu terjadinya dekompresi
bertahap dan penyusutan cacat. pack atau drain dibiarkan di area kista selama 2-3
bulan, tergantung pada ukuran lesi, dan diikuti dengan prosedur enukleasi.

Teknik pembedahan pada kista dengan cara membuat surgical window


pada dinding kista, mengeluarkan isi kista, dan memelihara kontinuitas diantara
kista dan rongga mulut, sinus maksilaris, atau rongga hidung. Bagian kista yang
diangkat hanyalah isi kista. Sisa dinding kista dibiarkan untuk penyusutan lesi dan
pembentukan tulang, memudahkan tahap bedah selanjutnya.

Tahap marsupialisasi:

1. Lakukan anastesi pada area kista, kemudian aspirasi kista. Apabila


aspirasi menghasilkan bahwa lesi tersebut adalah kista, maka
marsupialisasi bisa dilakukan.
2. Lalu lakukan insisi insisial pada kista. Insisi insisal biasanya berbentuk
circular atau elliptic kemudian dibentuk menjadi sebuah window yang
besar pada kista (1 cm atau lebih).
3. Apabila jaringan tulang pendukung tebal, osseus window diangkat
dengan bur dan rongeur.
4. Kista lalu diinsisi untuk membuang lapisan window, yang kemudian
dilakukan pemeriksaan patologis.
5. Isi kista dikeluarkan, dan jika memungkinkan, pemeriksaan visual
dilakukan pada lapisan kista yang tersisa.
6. Irigasi kista agar bersih dari debris.
7. Jika lapisan kista cukup tebal dan jika ada akses, perimeter dinding kista
disekitar window bisa dijahit ke mukosa rongga mulut. Jika tidak rongga
kista harus ditutup dengan kasa yang sudah dibasahi dengan benzoin atau
salep antibiotik. Biarkan kasa selama 10 sampai 14 hari untuk mencegah
penyembuhan mukosa mulut di atas window kista.
Gambar 6 Ilustrasi Marsupialisasi

Gambar 7 Gambaran klinis marsupialisasi pada tumor odontogenik terkeratinisasi (KOT)

Daftar Pustaka

Andersson, L., Kahnberg, K.-E., & Pogrel, M. A. (n.d.). Oral and Maxillofacial
Surgery (2010th ed., Vol. 148). Wiley-Blackwell.
Cawson, A. (2017). Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine. In
Oral Pathology and Oral Medicine (Ninth Edit). Elsevier.
https://doi.org/10.5005/jp/books/12580_11
Isolan, C. P., Moreira, A. G., Edges, A., Post, L. K., & Aitken-Saavedra, J. P.
(2018). Successful conservative treatment of a mandibular unicystic
ameloblastoma: 13-year follow-up. Journal of Clinical and Experimental
Dentistry, 10(11), e1123–e1126. https://doi.org/10.4317/jced.54897
Kawulusan, N., Tajrin, A., Rachmi, N., & Chasanah, M. (2014). Penatalaksanaan
Ameloblastoma dengan Menggunakan Metode Dredging. Makassar Dental
Jurnal, 3 No.6, 1–7.
Kim, S. W., Jee, Y. J., Lee, D. W., & Kim, H. K. (2018). Conservative surgical
treatment for Ameloblastoma: A report of three cases. Journal of the Korean
Association of Oral and Maxillofacial Surgeons, 44(5), 242–247.
https://doi.org/10.5125/jkaoms.2018.44.5.242
Laborde, A., Nicot, R., Wojcik, T., Ferri, J., & Raoul, G. (2017). Ameloblastoma
of the jaws: Management and recurrence rate. European Annals of
Otorhinolaryngology, Head and Neck Diseases, 134(1), 7–11.
https://doi.org/10.1016/j.anorl.2016.09.004
Lutfianto, M. B. (2019). Penatalaksanaan Kasus Ameloblastoma Unikistik dan
Multikistik. Insisiva Dental Journal : Majalah Kedokteran Gigi Insisiva,
8(1), 20–24. https://doi.org/10.18196/di.8102
Sapp, J. P., Eversole, L. R., & Wysocki, G. (1997). Contemporary Oral and
Maxillofacial Pathology. In Implant Dentistry (Vol. 6, Issue 3).
https://doi.org/10.1097/00008505-199700630-00027
Wolfe, S. A. (2004). Peterson’s Principles of Oral and Maxillofacial Surgery,
Second Ed. In Plastic and Reconstructive Surgery (Second, Vol. 116, Issue
1). BC Decker Inc. https://doi.org/10.1097/01.prs.0000173430.72465.c4

Anda mungkin juga menyukai