Anda di halaman 1dari 23

Patogenesis

Patogenesis pertumbuhan atau perkembangan suatu kista secara umum dapat


dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:

1. Tahap awal, ditandai kista belum merusak tulang sehingga tulang di atasnya
masih utuh dan teraba keras.
2. Tahap sensasi bola pingpong, ditandai sudah mulai terjadi desakan kista yang
semakin besar pada tulang,
3. Tahap krepitasi, pada tahap ini sudah terjadi fragmentasi dari tulang di atasnya
akibat desakan kista, sehingga pada palpasi teraba adanya krepitasi.
4. Tahap fluktuasi, pada tahap ini hanya ada bila kista telah mengerosi tulang
secara sempurna.

Pembentukan kista dentigerous dibagi menjadi dua: inflamasi atau


developmental. Dapat bermula dari perkembangan sendiri atau diawali
pathogenesis inflamasi dari jaringan periapical yang berada di antara gigi decidui
dan benih gigi permanen.

Terbentuknya kista ini diawali dengan peradangan yang berasal dari pulpa,
gingiva atau periodontal yang dapat memicu proliferasi epitel untuk membentuk
rongga kista. Secara histologis semua dinding kista tersebut sama, terdiri dari
epitel skuamus bertingkat tidak berkeratin yang melapisi dinding kista yang
mengandung kolagen. Peradangan tersebut sering menyebabkan perubahan reaktif
epitel seperti ulserasi, degenerasi atau hiperplasia.

Tekanan yang dihasilkan oleh gigi erupsi


pada folikel

Obstruksi aliran pembuluh darah vena kecil

Transudasi masif, merembesnya cairan


serum melalui dinding-dinding kapiler

Tekanan hidrostatik meningkat


Kista dentigerous dianggap sebagai sesuatu yang dapat berkembang, tetapi
inflamasi yang berasal dari pericoronitis atau gigi non vital di sebelahnya juga
dapat menginisiasi terjadinya kista. Kista dentigerous multiple terlihat di dysplasia
kleidokranial yang dapat menunjukkan banyak gigi tidak erupsi. Pada fase awal
terjadi separasi/pemisahan epitel enamel yang tereduksi dari mahkota untuk
membentuk ruang kista. Epitel secara kuat melekat pada enamel saat
pembentukan tetapi lebih longgar saat waktu normal erupsi, penyebab pemisahan
masih belum jelas. Saat epitel enamel tereduksi berhenti di cementoenamel
junction, lapisan epitel menempel di CEJ dan dinding fibrosa berkesinambungan
dengan ligamen periodontal. (cawson)

Oleh karena pembentukannya yang berkaitan dengan jaringan pada gigi


erupsi, kista dentigerous disebut juga sebagai kista folikular (folikel).
Gambarannya mirip dengan jaringan ikat longgar berasal dari ektomesenkim yang
mengelilingi benih gigi, dan dapat bermula juga dari hal tersebut. Lapisan epitel
kista berasal dari epitelium yang dihasilkan ketika pembentukan gigi.
Gambar 2 Kista Dentigerous. Kista mengelilingi mahkota molar, dan dindingnya
menempel pada cementoenamel junction. Terdapat lapisan epitel tipis beraturan dengan
infiltrasi inflamasi minimal. Celah kolesterol berlimpah di lumen, sebagai hasil formasi
kristal-kristal kolesterol pada dinding.

Gambaran celah kolesterol yang sangat khas dapat ditemukan pada


histopatologi kista dentigerous. Celah kolesterol ialah ruang kecil terbuka yang
diisi oleh jenis lemak kolesterol. Celah ini hanya dapat dilihat melalui mikroskop.
Satu dari lemak-lemak tersebut disebul kolesterol. Ketika sel-sel rusak atau
meluruh, kolesterol pada dinding sel dilepaskan ke jaringan di sekitar sel. Saat di
dalam jaringan, kolesterol cenderung berkumpul untuk membentuk droplet-
droplet kecil yang disebut oleh patologis sebagai celah-celah kolesterol.
Gambar 3 Kista dentigerous. Bagian kiri adalah dentin (D). E adalah ruang enamel setelah dekalsifikasi dan
dipisahkan dari kavitas kista (C) oleh lapisan tipis dari epitel enamel dalam. Kista tersebut muncul dan
dapat terbentuk akibat akumulasi cairan antara epi tel enamel dalam dan luar dan dengan proliferasi
kontinu dari yang terakhir untuk membentuk lapisan kista yang akan mengikuti gigi pada perlekatan epitel.
Histopatologi

Gambaran histologis dari kista dentigerous dapat sangat bervariasi,


bergantung terutama pada apakah kista terinflamasi atau tidak (developmental).
Pada kista dentigerous non-inflamasi, lapisan tipis epitel dapat ditemukan dengan
dinding jaringan ikat fibrosa yang tersusun longgar. Adapun pada kista
dentigerous terinflamasi, epitel biasanya menunjukkan adanya rete ridges
hiperplastik, dan dinding kista fibrosa terdapat infiltrate inflamasi (peradangan).
Gambar 4 Hasil biopsy jaringan diagnosis kista dentigerous (pewarnaan
hematoksilin dan eosin; perbesaran 40x), menunjukkan epitel pipih berlapis yang
atrofik tanpa tanda inflamasi yang signifikan.

Kavitas kista dentigerous dilapisi oleh lapisan epitel beraturan yang non
keratinisasi, bertingkat, dan pipih dengan ketebalan berkisar dua hingga sepuluh
sel. Inflamasi biasanya akan mengubah lapisan epitel. Bergantung dari tipe
inflamasi (akut atau kronis) dan tingkat keparahan (sedang atau parah), lapisan
epitel dapat menjadi hiperplastik, atrofik, atau ulserasi. Pada banyak kasus
inflamasi biasanya terdiri dari campuran sel inflamasi kronis dan akut.

Beberapa fitur mikroskopik incidental yang tampak pada kista periapical


seperti deposit kristal kolesterol, deposit hemosiderin, badan hyaline (Rushton),
dan makrofag lipid-laden juga terlihat di kista dentigerous. Selain itu, sel-sel
mucus dalam jumlah yang variative dapat tampak pada lapisan epitel dari kista.
Penemuan ini menggambarkan apakah sel mucus metaplasia atau prosoplasia.
Kista dentigerous yang sudah bertahan lama terkadang akan menunjukkan area
keratinisasi atau perubahan menuju keganasan (displasia) dari lapisan epitelnya.
(contemporary)
Gambar 5 Kista dentigerous. Lapisan yang menunjukkan epitel berlapis pipih
tipis tanpa formasi rete peg dan kapsul padat jaringan ikat fibrosa.

Gambar 6 Bagian dari ketebalan dinding kista dentigerous. Tampak minimal inflamasi, dan tebal epitel
hanya 2 atau 3 sel. Jauh di bawah jaringan fibrosa lapisan paling terluar dari dinding tersusun oleh
anyaman tulang, gambaran khas pada kebanyakan kista intraosseous.
Di bawah jaringan ikat fibrosa pada lapisan paling luar dari dinding
tersusun oleh pola anyaman tulang, gambaran umum yang tampak pada kista
intraosseous.

Gambar 7 Kista dentigerous, pada kista yang tidak komplikasi tidak terjadi
inflamasi, dindingnya terdiri dari lapisan jaringan ikat yang dibatasi oleh epitel
berlapis pipih dengan ketebalan 2 sel.

Radiografi

Kista dentigerous umumnya dapat didiagnosis dari gambaran radiografis-


nya. Kavitas terbatas, melingkar, dan selalu unilocular dan melibatkan mahkota
gigi. Kista dentigerous tumbuh lambat dan mempunyai garis batas terkortikasi
(tegas, batas jelas opak biasanya bergaris melengkung). Gigi yang terkena dapat
berpindah dalam jarak tertentu, molar 3 bawah ke batas batas bawah mandibula
atau naik ke ramus. Pada kista yang bertahan lama, gigi dapat terjadi resorpsi.
(Cawson)
Gambar 8 Resorpsi gigi yang menyatu dengan kista dentigerous. Mahkota dari kaninus yang terlibat kista
menunjukkan adanya resorpsi. Hal ini hanya tampak pada kista yang bertahan lama.

Banyak kista dentigerous adalah lesi asimtomatik kecil yang ditemukan


secara kebetulan pada radiografi rutin, meskipun beberapa dapat tumbuh hingga
ukuran yang cukup besar menyebabkan ekspansi tulang yang biasanya tidak
menimbulkan rasa sakit sampai infeksi sekunder terjadi. Secara radiografis, kista
dentigerous tampak sebagai radiolusensi unilokular yang berbatas tegas, seringkali
dengan batas sklerotik (Gambar 30-3). Karena lapisan epitel berasal dari epitel
email yang tereduksi, radiolusen ini secara khas dan istimewa mengelilingi
mahkota gigi. Kista dentigerous yang besar dapat memberikan kesan prosesus
multilokular karena persistensi trabekula tulang di dalam radiolusensi. Namun,
kista dentigerous secara kasar dan histopatologis proses unilokular dan mungkin
tidak pernah benar-benar lesi multilokular.

Terdapat tiga jenis kista dentigerous secara radiografi, yaitu varietas


sentral, lateral, dan sirkumferensial. Varietas sentral ialah ketika lesi radiolusen
hanya mengelilingi mahkota gigi, dengan mahkota menonjol ke dalam lumen
kista. Pada varietas lateral, kista berkembang secara lateral di sepanjang akar gigi
dan sebagian mengelilingi mahkota. Varian sirkumferensial dari kista dentigerous
ada ketika kista mengelilingi mahkota tetapi juga meluas ke bawah sepanjang
permukaan akar, seolah-olah seluruh gigi terletak di dalam kista. (Peterson)

Gambar 9 Radiolusen unilocular pada ramus mandibula kiri berkaitan dengan gigi impaksi 17 ditemukan
ketika pasien dievaluasi untuk kontrol gigi rutin.

Secara radiografis, suatu lesi radioulsen yang berbentuk melingkar/lengkung dan


unilocular tampak dengan garis radiopak tipis lamina dura dari mahkota gigi yang
terlibat. Gigi tersebut dan struktur di sekitarnya dapat berubah posisi. Adapun
kista yang terletak di maksila dapat mengenai sinus maksilaris.

(Lars Anderson)

Gambar 10 Kista dentigerous berkembang dari gigi molar 3 kiri. Perhatikan


perubahan letak gigi dan kanalis akibat kista yang membesar.
Interpretasi Radiografi Panoramik pada Kasus

Gambar 11 Radiografi Panoramik Kasus

Area 1 Gigi Geligi :

 Missing teeth :-
 Persisten :-
 Impaksi :
- Gigi 28:
Klasifikasi Winter: Mesioangular
Klasifikasi Pell & Gregory: Position C
Sinus Approximation: >2mm dengan sinus maksilaris
- Gigi 38:
Klasifikasi Winter: Horizontal
Klasifikasi Pell & Gregory: 3C
Klasifikasi Rodd & Sebab: E Interruption of Canal
- Gigi 48:
Klasifikasi Winter: Horizontal
Klasifikasi Pell & Gregory: 3C
Klasifikasi Rodd & Shebab: F Diversion of Canal
- Kondisi mahkota : Terdapat gambaran radioopak pada gigi 47
 Kondisi akar : - (DBN)
 Kondisi alveolar crest : - (DBN)
 Kondisi Periapikal :
- Lamina dura terputus pada akar distal gigi 37 dan 47
- Penebalan lamina dura di akar distal dan terputus di mesial pada gigi
38
- Terdapat penebalan lamina dura pada gigi 48
Area 2 Maksila-Sinus-Nasal :

 Maksila : DBN
 Sinus : Sinus sinistra: Sinus approximation dengan impaksi gigi 282
 Nasal : DBN
Area 3 Mandibula :

 Mandibula : Terdapat lesi pada bilateral mandibula


- Site: sinistra: distal akar gigi 37; dekstra: distal akar gigi 47
meliputi area 5 (ramus)
- Size: ± 3 cm x 2,5 cm dekstra, ± 3 cm x 3 cm sinistra
- Shape: oval, unilocular
- Simetri: asimetri
- Border: sirkumsrib, jelas, terkortikasi (batas ditandai dengan
garis radiopak tipis)
- Content: radiolusen
- Adjacent: menekan distal akar gigi 37 & 47, perubahan posisi
gigi 38 & 48 (tertahan erupsi)
 Hubungan Kanalis : Klasifikasi Rodd & Shebab: Gigi 38 E
Interruption of Canal Gigi 48 F Diversion of Canal
Area 4 TMJ :

 TMJ : asimetris, posisi kondilus dekstra lebih inferior


dibanding kondilus sinistra
 Bentuk kondilus : kondilus sinistra oval, kondilus dekstra flattening,
kondilus sinistra dan kondilus dekstra berada pada fossa glenoid
Area 5 Ramus-Os Vertebrae : Ramus dekstra: terdapat lesi yang
menyebar dari area distal akar gigi 47

- Site: dekstra
- Size: ± 3 x 2,5 cm
- Shape: oval, unilocular
- Simetri: asimetri
- Border: sirkumsrib, jelas, terkortikasi (batas ditandai dengan
garis radiopak tipis)
- Content: radiolusen
- Adjacent: menekan distal akar gigi 47

Kesan : Kelainan pada area 1, 2, 3, 4, 5

Suspek Radiodiagnosis :

- Kista dentigerous
Terapi dan Prognosis

Perawatan kista adalah dengan pengangkatan gigi penyebab dan enukleasi


dari garis kista dan kavitas sebagaimana dideskripsikan untuk kista radicular. Pada
kasus kista dengan ukuran besar yang lemah, marsupialisasi dapat menjadi pilihan
perawatan. Jika gigi ingin dipertahankan karena alasan ortodontik, teknik
marsupialisasi kista akan menguntungkan.

Kebanyakan kista dentigerous dirawat dengan enukleasi kista dan


pencabutan gigi terkait, seringkali tanpa biopsi insisional sebelumnya (Gambar
30-5). Kista yang lebih besar yang dirawat di ruang operasi mungkin harus
menjalani diagnosis frozen-section dan pengobatan yang tepat yang mungkin
ditentukan oleh diagnosis lain. Kuretase kavitas kista biasanya disarankan pada
saat pengangkatan kista jika kista yang lebih agresif didiagnosis secara
histopatologis setelah pengangkatan. Diagnosis tersebut akan mencakup
keratocyst odontogenik dan ameloblastoma unikistik sebagai diagnosis banding.

Gambar 12 A, Kista dentigerous dirawat dengan enukleasi dan kuretase serta pengangkatan gigi terkait. B,
Radiograf 5 tahun setelah operasi menunjukkan pengisian tulang yang cukup.

Kista dentigerous besar dapat diobati dengan marsupialisasi (Gambar 30-


6) ketika enukleasi dan kuretase dapat mengakibatkan disfungsi neurosensori atau
predisposisi pasien terhadap kemungkinan peningkatan fraktur patologis.
Beberapa pasien yang bukan kandidat untuk anestesi umum juga dapat dirawat
dengan prosedur marsupialisasi dengan anestesi lokal. Hal ini memungkinkan
dekompresi kista dentigerous yang besar dengan hasil pengurangan ukuran kista
dan defek tulang. Di kemudian hari kista yang berkurang dapat diangkat dalam
operasi skala kecil.
Gambar 13 A, Tampak kista dentigerous besar pada pasien berumur lanjut yang memiliki penyakit arteri
coroner. Oleh karena ukuran kista yang bsar dan status jantung compromised, marsupialisasi non-invasif
dilakukan. Adapun B, Plat akrilik dengan gagang kawat diletakkan pada pembukaan bedah ke kavitas kista.
Kista sangat menyusut, setelah gigi impaksi yang terlibat diambil dengan sisa kecil kista dentigerous.

Gambar 14 Radiograf 5 tahun setelah marsupialisasi menunjukkan pengisian yang memuaskan pada tulang..

Perlunya pemeriksaan histopatologi dari semua radiolusen yang secara


empiris didiagnosis sebagai kista dentigerous, termasuk yang dienukleasi serta
yang menjalani marsupialisasi, penting untuk memeriksa lumen kista dan
menyerahkan bagian representatif untuk pemeriksaan histopatologis. Dukungan
dari pernyataan ini berasal dari pembentukan sesekali karsinoma sel skuamosa,
karsinoma mukoepidermoid, atau ameloblastoma dari atau berhubungan dengan
kista dentigerous. Prognosis untuk sebagian besar kista dentigerous yang
didiagnosis secara histopatologis sangat baik, dengan kekambuhan jarang
ditemukan.
1. Enukleasi
Enukleasi dan kuretase telah menjadi metode tradisional dan cukup lama
digunakan untuk mengelola kista odontogenik dan beberapa tumor rahang. Teknik
ini menawarkan prosedur invasif minimal, dengan sedikit morbiditas terkait dan
sedikit komplikasi. Kebanyakan kista odontogenik dapat dihilangkan secara
efektif dengan enukleasi sederhana dari lapisan kistik dan kuretase rongga tulang
yang teliti. Namun bila digunakan sendiri, teknik ini biasanya tidak memadai
untuk tumor dengan potensi neoplastik sejati dan penggunaannya pada entitas
seperti ameloblastoma atau tumor odontogenik keratinisasi harus disertai dengan
pengobatan adjuvant, seperti ostektomi perifer, krioterapi, atau fiksasi kimia
dengan larutan Carnoy.

Paparan luas diperlukan untuk memungkinkan akses lengkap ke rongga


tulang. Setiap upaya harus dilakukan untuk menghilangkan lapisan kista secara
menyeluruh serta sisa-sisa epitel yang mungkin ada di antara dinding kista dan
mukosa di atasnya. Salah satu kesulitan yang dihadapi ketika mencoba untuk
menghilangkan kista ini terletak pada sifat lapisan kistik tipis yang kadang-kadang
mudah dihilangkan secara keseluruhan, tetapi lebih sering keluar dalam beberapa
fragmen jaringan lunak. Nervus alveolaris inferior dapat secara rutin dihindari dan
terapi saluran akar hampir tidak pernah diindikasikan. Sebagian besar waktu,
mukosa dapat ditutup mula-mula tanpa memerlukan cangkok tulang atau packing
material. Pengangkatan kista besar kadang-kadang akan melemahkan integritas
tulang yang tersisa, dan memunculkan risiko fraktur patologis. Ini dapat dikelola
dengan fiksasi intermaxillary selama 6 minggu dan/atau penempatan plat
rekonstruksi. Enukleasi dan kuretase adalah metode yang masuk akal untuk
pengobatan utama kista unilokular kecil yang biasanya tidak dibiopsi sebelum
pengobatan definitif.
Gambar 15 Enukleasi dan kuretase. (a) Eksposur dari kista memungkinkan akses menyeluruh ke kavitas
tulang. (b) Pengangkatan tuntas kista secara utuh. (c) Pengangkatan fragmen-fragmen dari kista.
Gambar 16 Enukleasi kista pada gigi 38. (a) Radiograf lesi unikistik melibatkan gigi 38. (b) Kavitas setelah
enukleasi kista. (c) 38 dengan kista dentigerous.

Teknik

Enukleasi adalah menghilangkan lapisan kista secara keseluruhan.


Enukleasi secara umum digunakan jika lapisan kista mudah dipisahkan dari
perlekatan tulang dan kavitas berisi bekuan darah. Enukleasi dapat dilakukan pada
semua kista yang berukuran kecil sampai sedang.

Sebuah flap mukoperiosteal standar dilakukan pada daerah bukal dengan


insisi secara vertikal. Tulang yang telah menipis dihilangkan dengan bone
rongeurs atau bur untuk mendapatkan akses bedah ke saluran cairan. Tepi kista
kemudian dipisahkan dengan periosteal elevator atau kuret dari tulang bony. Tepi
kista ini sebaiknya dikirim ke bagian histopatologik. Setelah irigasi dengan saline
steril, flap dijahit kembali ke posisi anatomisnya. Jika pengisian saluran akar telah
dilakukan, prosedur apikoektomy sebaiknya dilakukan pada waktu yang
bersamaan dengan penutupan kembali saluran jika waktunya tepat.

Komplikasi pasca operasi jarang ditemukan, meskipun demikian


kerusakan luka dalam kista mandibular yang besar dapat terjadi. Pasien secara
normal menjalani kontrol 4-6 bulan setelah operasi.

Tahap Enukleasi:

1. Pemberian antibiotik profilakasis terlebih dahulu pada pasien jika diperlukan.

2. Pertama dilakukan insisi pada mukoperiosteal flap.

3. Setelah insisi selesai, periosteal elevator digunakan untuk mengelevasi dan


memisahkan mukoperiosteal flap. Flap dipegang kembali dengan allis forceps,
sehingga terlihat tulang kortikal yang tipis.

4. Tulang kortikal yang tipis dihilangkan dengan menggunakan end cutting


rongeurs atau bisa juga dengan round bur untuk tulang.

5. Memotong connective tissue layer kista dengan menggunaka a thin-bladed


curettage.

6. Seteleh kista berhasil diangkat,periksa kembali kavitas tulang untuk melihat


apakah masih ada jaringan kista yang tertinggal atau tidak.

7. Apabila kista telah dienukleasi dengan sempurna, tepi-tepi tulang dihaluskan


menggunakan bone file.

8. Sebelum flap dijahit kembali seperti posisi anatominya, kavitas bekas kista
terlebih dahulu di irigasi dengan larutan saline yang steril dan di keringkan
dengan gauze.

9. Membran kista sebaiknya di kirim ke bagian histopatologis untuk diperiksa.


Gambar 17 Ilustrasi Proses Enukleasi Kista

Marsupiliasi

Marsupialisasi adalah teknik yang dianjurkan untuk melakukan dekompresi awal


dan mengecilkan kista atau tumor sebelum pengangkatan definitif, umumnya
dengan enukleasi dan kuretase beberapa bulan kemudian. Keuntungan utama dari
metode ini adalah meminimalkan cacat bedah yang disebabkan oleh pengangkatan
lesi kista. Teknik ini telah diamati menyebabkan peradangan dan penebalan
berikutnya dari lapisan kista yang memfasilitasi pengangkatan utamanya.
Berbagai mediator inflamasi mungkin berperan dalam pengurangan volume kista.
Baru-baru ini, marsupialisasi terbukti menghambat ekspresi interleukin1alpha
dalam lapisan KOT, sehingga menghentikan proliferasi sel epitel dan mengurangi
ukuran tumor kista.

Teknik ini dilakukan dengan "menghilangkan atap" kista dan berulang kali
membalut kavitas dengan kain kasa atau hanya dengan menempatkan tabung,
kateter atau saluran pembuangan (drainase) untuk memicu terjadinya dekompresi
bertahap dan penyusutan cacat. Pack atau drain dibiarkan di area kista selama 2-3
bulan, tergantung pada ukuran lesi, dan diikuti dengan prosedur enukleasi.
Teknik

Pengangkatan tulang di atasnya dan atap kista, untuk menciptakan celah ke dalam
kista yang selebar mungkin. Drain Penrose berukuran 1” (2,5 cm) dipotong cukup
panjang untuk mencapai kedalaman lesi. Tepinya dijahit ke gingiva dan mukosa
alveolar di sekitar defek dengan sekitar delapan jahitan sutra 2-0. Pasien
diinstruksikan untuk irigasi luka dengan saline dan drainase dibiarkan terkelupas
secara spontan, yang biasanya terjadi dalam 1-2 bulan. Dalam kasus kerusakan
mandibula yang luas, coronoidektomi ipsilateral dapat membantu menghindari
fraktur patologis.

Gambar 18 Marsupialisasi pada tumor odontogenik keratinisasi (KOT)

Teknik pembedahan pada kista dengan cara membuat surgical window pada
dinding kista, mengeluarkan isi kista, dan memelihara kontinuitas diantara kista
dan rongga mulut, sinus maksilaris, atau rongga hidung. Bagian kista yang
diangkat hanyalah isi kista. Sisa dinding kista dibiarkan untuk penyusutan lesi dan
pembentukan tulang, memudahkan tahap bedah selanjutnya.

Tahap marsupialisasi:

1. Lakukan anastesi pada area kista, kemudian aspirasi kista. Apabila aspirasi
menghasilkan bahwa lesi tersebut adalah kista, maka marsupialisasi bisa
dilakukan.
2. Lalu lakukan insisi insisial pada kista. Insisi insisal biasanya berbentuk
circular atau elliptic kemudian dibentuk menjadi sebuah window yang
besar pada kista (1 cm atau lebih).
3. Apabila jaringan tulang pendukung tebal, osseus window diangkat dengan
bur dan rongeur.
4. Kista lalu diinsisi untuk membuang lapisan window, yang kemudian
dilakukan pemeriksaan patologis.
5. Isi kista dikeluarkan, dan jika memungkinkan, pemeriksaan visual
dilakukan pada lapisan kista yang tersisa.
6. Irigasi kista agar bersih dari debris
7. Jika lapisan kista cukup tebal dan jika ada akses, perimeter dinding kista
disekitar window bisa dijahit ke mukosa rongga mulut. Jika tidak rongga
kista harus ditutup dengan kasa yang sudah dibasahi dengan benzoin atau
salep antibiotik. Biarkan kasa selama 10 sampai 14 hari untuk mencegah
penyembuhan mukosa mulut di atas window kista.

Prosedur modifikasi meliputi kombinasi keduanya; enukleasi dan marsupialisasi;;


penggunaan larutan Carnoy diikuti dengan enukleasi; dan penggunaan cangkok
tulang untuk mengisi kavitas kista. Tingkat rekurensi kista dentigerous sangat
rendah dibandingkan kista pada rahang lainnya.

Daftar Pustaka

“ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI PREVALENSI POSISI MOLAR TIGA


RAHANG ATAS... ARIANY RATNANINGTYAS.”
Andersson, Lars, Karl-Erik Kahnberg, and M. Anthony Pogrel. 148 Oral and Maxillofacial
Surgery. 2010th ed. Wiley-Blackwell.
Azhar, Sayid, Maria Goereti, and Soetji P Soetji P. 2015. “Enukleasi Kista Dentigerous
Pada Coronoid Mandibula Sinistra Di Bawah Anastesi Umum.” Majalah Kedokteran
Gigi Klinik 1(2): 99.
Gowda, Suvarna, Borligegowda Viswanatha, and Pramod Junjanna. 2014. “Keratinizing
Dentigerous Cyst : A Case Report and Review of Literature.” 3(6): 85–88.
Ii, B A B, and Tinjauan Pustaka. “1, 2 7.” : 7–25.
Keshena, Jatu Rachel, Aga Satria Nurrachman, and Azhari Azhari. 2019. “Gambaran
Multilokular Ameloblastoma Dengan Pola Soap-Bubble Dan Kajian Pustaka
Mengenai Variasi Gambaran Radiografi Ameloblastoma.” Jurnal Radiologi
Dentomaksilofasial Indonesia (JRDI) 3(2): 41.
Kuhuwael, Freddy G, Nova Pieter, and Nasrul. 2009. “Kista Odontogenik Di Rumah Sakit
Dr . Wahidin Sudirohusodo Makassar.” Dentofasial 8(2): 80–87.
Lita, Yurika Ambar, and Indra Hadikrishna. 2020. “Klasifikasi Impaksi Gigi Molar Ketiga
Melalui Pemeriksaan Radiografi Sebagai Penunjang Odontektomi.” Jurnal Radiologi
Dentomaksilofasial Indonesia (JRDI) 4(1): 1.
M Shetty, Raghavendra, and Uma Dixit. 2010. “Dentigerous Cyst of Inflammatory
Origin.” International Journal of Clinical Pediatric Dentistry 3(3): 195–98.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4993826/.
Mappangara, Surijana, and Andi Tajrin. 2015. “Kista Radikuler Dan Kista Dentigerous.”
Bedah Mulut 1(2): 1–7.
http://pdgimakassar.org/journal/file_jurnal/1607010535233ftfatmawati-7.pdf.
Pramanik, Farina, Lusi Epsilawati, Yurika Ambar Lita, and Erna Herawati. 2019. “Analisis
Gambaran Radiologis Suspek Ameloblastoma Tipe Solid Pada Radiograf CBCT 3D.”
Jurnal Radiologi Dentomaksilofasial Indonesia (JRDI) 3(2): 15.
Sapp, J. Philip, Lewis R. Eversole, and George Wysocki. 1997. 6 Implant Dentistry
Contemporary Oral and Maxillofacial Pathology.
Scardina, Giuseppe Alessandro. 2015. Oral Pathology and Oral Medicine Oral Pathology
and Oral Medicine.
Supriyadi. 2012. “Pedoman Interpretasi Radiograf Lesi-Lesi Di Rongga Mulut.”
Stomatognatic (Jurnal Kedokteran Gigi Unej) 9(3): 134–39.
(ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI PREVALENSI POSISI MOLAR TIGA
RAHANG ATAS... ARIANY RATNANINGTYAS n.d.; Andersson, Kahnberg, and Pogrel n.d.;
Azhar, Goereti, and Soetji P 2015; Gowda, Viswanatha, and Junjanna 2014; Ii and
Pustaka n.d.; Keshena, Nurrachman, and Azhari 2019; Kuhuwael, Pieter, and Nasrul
2009; Lita and Hadikrishna 2020; M Shetty and Dixit 2010; Mappangara and Tajrin 2015;
Pramanik et al. 2019; Sapp, Eversole, and Wysocki 1997; Scardina 2015; Supriyadi 2012)

Anda mungkin juga menyukai