Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Definisi

Lewis et al (2011), mengungkapkan bahwa Chronic Kidney Disease adalah

kerusakan ginjal yang progressive dan irreversible dimana fungsi ginjal

sudah tidak dapat diperbaiki. Ketika fungsi GFR (glomerular filtration rate)

< 15 ml/min/1.73m2, maka pasien akan masuk pada Chronic Kidney Disease

stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang ditandai dengan

adanya azotemia, uremia dan uremic syndrome.

Ignatavicius (2006) chronic kidney disease merupakan kerusakan fungsi

ginjal yang progresive dan irreversible dimana fungsi ginjal sudah tidak

dapat diperbaiki. berdasarkan dari dua definisi diatas dapat disimpulkan

bahwa chronic kidney disease adalah kerusakan jaringan ginjal yang tidak

dapat diperbaiki, ketika fungsi GFR <15 ml/min/1.73m2.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa CKD adalah

kerusakan organ ginjal yang bersifat progresif dan irreversible yang ditandai

oleh adanya penurunan GFR <15 ml/min/1.73m2 serta timbulnya gejala

seperti azotemia, uremia dan lainnya.

2. Etiologi

Berdasarkan data yang dihimpun oleh USRDS (United Stated Renal Data

System) dalam Lemone & Burke (2011), memaparkan bahwa penyebab

9
10

terbesar gagal ginjal kronik yaitu diabetic nephropathy sebesar 44%,

hipertensi sebesar 27%, glomerulonefritis sebesar 7%, penyakit ginjal

polikistik sebesar 2% dan penyebab lainnya sebesar 20%.

Di Indonesia, penyebab penyakit ginjal kronik berdasarkan data Indonesian

Renal Registry tahun 2009 dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia

(PERNEFRI), menyatakan penyebab penyakit gagal ginjal kronik pada

pasien yang baru dilakukan hemodialisis ditahun 2009 adalah akibat

penyakit ginjal hipertensi sebesar 29%, diabetic nefropathy sebesar 23%,

glomerulopati primer sebesar 17%, pielonefritis kronik sebesar 9%, ginjal

polikistik sebesar 2%, nefropati asam urat dan nefropati obstruksi masing-

masing 1% dan 12%, ginjal polikistik sebesar 2%, serta 5% diperoleh dari

faktor lain (Irawati, 2011).

3. Tahapan Chronic Kidney Disease

Klasifikasi tahapan Chronic Kidney Disease dibuat atas dasar nilai GFR

(Glomerular Filtration Rate) yang dihitung dengan menggunakan rumus

Kockcroft-Gault sebagai berikut :

2 ( 140−umur ) x BB( Kg)


GFR (ml /min /1,73 )=
72 x kreatinin(mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Berdasarkan National Kidney Foundation’s - Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative (NKF-K/DOQI) dalam Himmelfarb & Sayegh (2010) serta

dalam Black & Hawks (2009), mengklasifikasikan stadium Chronic Kidney

Disease menjadi 5 (lima) stadium yaitu :


11

Tabel 2.1
Stadium Chronic Kidney Disease
GFR
Stadium Deskripsi
(ml/min/1,73m2)

Kerusakan ginjal dengan peningkatan GFR atau


1
normal ≥ 90
(Resiko)
Asimptomatik, kreatinin dan BUN normal

2 Penurunan GFR ringan


Chronic Renal Asimptomatik, hipertensi, perubahan pada 60 – 89
Insufisiensi (CRI) komponen darah

Penurunan GFR sedang


3
Hipertensi, anemia, badan lemah, anoreksia,
Chronic Renal Failure 30 – 59
malnutrisi, nyeri tulang, peningkatan BUN dan
(CRF)
kreatinin serum

Penurunan GFR berat


4 Hipertensi, anemia, malnutrisi, perubahan
Chronic Renal Failure metabolisme pada tulang, edema, asidosis 15 – 29
(CRF) metabolik, hiperkalsemia, uremia, azotemia
dengan peningkatan BUN dan kreatinin serum

5 End stage renal disease


End Stage Renal Gagal ginjal dengan azotemia dan uremia < 15
Disease (ESRD) berlebihan

4. Patofisiologi

Ginjal merupakan organ yang berfungsi untuk menyaring dan mengeluarkan

hasil metabolisme tubuh. Ketika fungsi ginjal mengalami penurunan akibat

suatu penyebab, maka akan terjadi akumulasi produk sisa metabolisme

dalam tubuh yang berakibat pada penurunan kesehatan tubuh secara umum.

Patofisiologi penyakit Chronic Kidney Disease diawali dengan kerusakan

dan penurunan fungsi nefron secara progresif akibat adanya pengurangan

massa ginjal. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural

dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi.

Perubahan ini menyebabkan hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan

tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Hingga pada akhirnya


12

terjadilah penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang disertai

dengan peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh.

Penurunan GFR (Glomerular Filtration Rate) dapat dilihat dengan adanya

peningkatan pada kadar ureum dan kreatinin. Apabila ginjal tidak mampu

mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini

akan menumpuk dalam serum dan bekerja sebagai toksin. Gejala yang

terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolekttif dikenal sebagai gejala

uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh (Nurchayati, 2010).

Suwitra dalam Sudoyo (2006), menyatakan bahwa pada stadium paling dini

penyakit Chronic Kidney Disease, penurunan fungsi yang progresif akan

ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Penurunan

fungsi yang progresif pada ginjal dijelaskan dalam tabel 2.2 berikut ini :

Tabel 2.2
Tanda Perubahan Progresif pada Ginjal

Fungsi GFR Tanda Perubahan progresif fungsi ginjal

60% Belum merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar


ureum dan kreatinin serum

30% Keluhan seperti nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan


berkurang dan penurunan berat badan mulai terjadi

< 30% Terlihat gejala dan tanda uremia seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual dan muntah

< 15% Terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius hingga harus di
lakukan dialisis.

Sumber : Suwitra dalam Sudoyo (2006).

Tanda penurunan fungsi ginjal lainnya yaitu terjadinya gangguan pada

proses filtrasi, reabsorbsi dan augmentasi sehingga perlahan akan


13

menimbulkan perubahan pada tubuh. Fungsi renal menurun, produk akhir

metabolisme protein yang normalnya di ekskresikan kedalam urine akan

tertimbun didalam darah. Terjadinya uremia dan akan mempengrauhi setiap

system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah seperti ureum dan

kreatinin maka gejala akan semakin berat (Smeltzer & Bare, 2008).

Sistem musculoskeletal termasuk salah satu system yang terpengaruh oleh

penyakit ginjal ini. Dampak negative kegagalan ginjal pada otot rangka

adalah kompleks sebagai akibat adanya penurunan perfusi otot, peredaran

substrat dan katabolisme yang dipengaruhi banyak factor seperti asidosis

metabolic, kortikosteroid, proinflamatory cytocines dan penurunan aktivitas

fisik (Adam et all, 2006). Kelemahan otot pada pasien penyakit ginjal tahap

akhir dimanifestasikan sebagai atrofi myofiber tepatnya semua tipe serat.

Diesel et all dalam Adam et all (2006), menunjukkan adanya siklus

degenerasi, robeknya serat, tipe kelompok serat, kekacauan miofilamen dan

adanya mitokondria abnormal pada otot pasien. Uremia myopathy dan

neuropathy merupakan penyebab kehilangan kekuatan otot yang absolut

pada pasien.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit gagal ginjal kronik dapat dilihat dari berbagai

perubahan sistem tubuh, yaitu :


14

Tabel 2.3
Manifestasi Klinis Chronic Kidney Disease

Sistem Manifestasi Klinis

Integumen Hiperpigmentasi, ekimosis, pruritus, lesi pada kulit

Kardiovaskuler Hipertensi, aterosklerosis, iskemia pada otot jantung, perikarditis uremia

Neurologi Stroke, ensefalopati, kejang, neuropati otonom dan perifer

Gastrointestinal Tidak nafsu makan, mual dan muntah, fetor uremik, perdarahan
saluran cerna

Hematologi Anemia, disfungsi platelet, disfungsi sistem imun dan leukosit

Muskuloskeletal Osteodistrofi renal, gangguan pertumbuhan pada anak, kelemahan otot

Endokrin Disfungsi seksual, infertilitas pada perempuan, hiperlipidemia,


intoleransi glukosa.

Sumber : Thomas dalam Irawati (2011)

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada pasien gagal ginjal kronik, diantaranya :

1) Foto polos abdomen : bisa tampak radio opak, menilai bentuk dan

besar ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.

2) Ultrasonografi ginjal : bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang

mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu

ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

3) Pielografi intavena : menilai sistem pelviokalises dan ureter,

beresiko terjadi penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes

melitus dan nefropati asam urat.

4) Renogram : menilai fungsi ginjal kiri dan kanan, lokasi gangguan

(vaskuler, parenkim) serta sisa fungsi ginjal.


15

5) Elektrokardiogram : melihat kemungkinan adanya hipertrofi

ventrikel kiri, tanda-anda perikarditis, aritmia gangguan elektrolit

(hiperkalemia).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada penyakit gagal ginjal kronik,

diantaranya :

1) Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum : penurunan fungsi

ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-

Gault

2) Pemeriksaan biokimia darah : seperti hemoglobin, uric acid,

elektrolit (hipo atau hiperkalemia, hipo atau hiperkalsemia, hipo

atau hiperfosfatemia, hipo atau hipernatremia dan lainnya), hipo

atau hiperalbumin dan lainnya

3) Pemeriksaan urinalisis : proteinuria, hematuria, leukosuria.

7. Komplikasi CKD

Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit CKD adalah :

a. Gangguan pada Jantung

Penyakit pada jantung merupakan penyebab utama kematian pada pasien

yang menjalani hemodialisis. Penyakit jantung disebabkan karena

gangguan fungsi dan struktur otot jantung dan atau gangguan perfusi.

Faktor resiko penyakit jantung yaitu faktor hemodinamik, meetabolik

seperti kelebihan cairan, garam dan retensi air, anemia, hipertensi,


16

hipoalbunemia, ketidakseimbangan kalsium-fosfat, dislipidemia,

kerusakan katabolisme asam amino, merokok dan diabetes melitus.

b. Anemia

Penurunan kadar Hb pada pasien gagal ginjal kronik terjadi akibat proses

penyakit akibat menurunnya produksi eritropoetin oleh ginjal, tubuh tidak

mampu menyerap zat besi dan kehilangan darah karena sebab lain. Pada

pasien hemodialisis, anemia bisa bertambah berat karena hampir tidak

mungkin semua darah pasien dapat kembali seluruhnya setelah menjalani

hemodialisis. Sebagian sel darah merah tertinggal pada dialiser atau blood

line meskipun jumlahnya tidak signifikan.

c. Mual dan Lelah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pasien merasa mual dan

kelelahan (letargi) setelah menjalani hemodialisis. Beberapa penyebab

timbulnya mual dan rasa lelah setelah hemodialisis yaitu hipotensi,

kelebihan asupan cairan diantara dua terapi hemodialisis, problem terkait

berat kering, obat hipertensi, anemia, penggunaan asetat pada

hemodialisis.

d. Malnutrisi

Malnutrisi terjadi khususnya kekurangan kalori dan protein. Hal ini

berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada pasien hemodialisis

kronik. Faktor penyebab terjadinya malnutrisi adalah karena

meningkatnya kebutuhan protein dan energi, menurunnya pemasukan

protein dan kalori, meningkatnya katabolisme dan menurunnya

anabolisme. Juga disebabkan oleh metabolisme yang abnormal akibat

hilangnya jaringan ginjal dan fungsi ginjal.


17

e. Gangguan Kulit

Sebagian besar pasien hemodialisis mengalami perubahan pada kulit yaitu

gatal-gatal (pruritus), kulit kering (xerosis) dan kulit belang (skin

discoloration). Penyebab gatal-gatal pada kulit bisa disebabkan oleh

karena kulit yang kering, tingginya kadar kalsium, fosfat, hormon

paratiroid dalam darah serta meningkatnya kadar histamin dalam kulit.

8. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada pasien gagal ginjal kronik adalah untuk

mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis. Penatalaksanaan dibagi

menjadi dua tahap, yaitu :

a. Tahap pertama : yaitu tindakan konservatif untuk memperlambat

gangguan fungsi ginjal progresif, pencegahan dan pengobatan kondisi

komorbid, penyakit kardiovaskuler dan komplikasi yang terjadi (Suwitra

dalam Farida, 2010). Tindakan konservatif diantaranya :

1) Pencegahan dan pengobatan terhadap kondisi komorbid yaitu

gangguan keseimbangan cairan seperti kelebihan cairan (edema)

sehingga perlu pembatasan asupan cairan yang benar, pengontrolan

hipertensi, mencegah dan mengurangi infeksi serta obstruksi traktus

urinarius.

2) Menghambat perburukan fungsi ginjal atau mengurangi hiperfiltrasi

glomerulus dengan diet seperti pembatasan asupan protein dan

fosfat.

3) Terapi farmakologis dan pencegahan serta pengobatan terhadap

komplikasi bertujuan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus


18

dan memperkecil resiko terhadap penyakit kardiovaskuler serta

pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,

hiperfosfatemia, asidosis, neuropati perifer, kelebihan cairan dan

keseimbangan elektrolit.

b. Tahap kedua : tahap kedua dilakukan ketika tindakan konservatif tidak

lagi efektif, yaitu dengan renal replacement therapy (Himmelfarb &

Sayegh, 2010). Renal replacement therapy dilakukan pada gagal ginjal

tahap akhir yang bertujuan untuk menghindari komplikasi dan

memperpanjang usia pasien (Shahgholian et al dalam Farida, 2010). Ada

dua macam terapi pengganti ginjal yaitu dialysis (hemodialisis dan

peritoneal dialisis), transplantasi ginjal.

Secara ringkas perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit Chronic


Kidney Disease sesuai dengan stadiumnya dapat dilihat pada tabel 2.4
berikut ini :

Tabel 2.4
Rencana Tatalaksana Penyakit Chronic Kidney Disease Sesuai Stadium

GFR
Stadium Rencana Tatalksana
(ml/min/1,73m2)

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler

2 60 – 89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Sumber : Suwitra dalam Sudoyo & Irawati (2011)


19

B. Hemodialisis

1. Definisi

Baradero (2009), memaparkan bahwa hemodialisis merupakan suatu proses

pengalihan darah pasien dari tubuh untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme berupa larutan (ureum, kreatinin) dan air yang berada dalam

pembuluh darah melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan

dialyzer yang dilakukan secara difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Sedangkan

menurut Kallenbach, et al (2012), hemodialisis adalah proses dimana terjadi

difusi partikel terlarut (solut) dan air secara pasif melalui satu kompartemen

cair yaitu darah menuju kompartemen cair lainnya yaitu cairan dialisat

melewati membran semipermeabel dalam dialiser. Salah satu terapi yang

diberikan pada pasien dengan gagal ginjal kronik adalah hemodialisis.

Kallenbach, et al (2012), menjelaskan bahwa tujuan hemodialisis adalah

untuk menghilangkan gejala yaitu mengendalikan uremia, kelebihan cairan

dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien penyakit ginjal

tahap akhir. Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa

metabolisme tubuh sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk

memperpanjang umur pasien.

2. Indikasi

Hemodialisis di indikasikan pada pasien dalam keadaan akut yang

memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa

minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir yang membutuhkan
20

terapi jangka panjang atau permanen (Himmelfarb & Sayegh, 2010). Secara

umum indikasi dilakukan hemodialisis pada gagal ginjal kronik adalah :

a. GFR < 15 ml/menit

b. Hiperkalemia

c. Asidosis

d. Kegagalan terapi konservatif

e. Kadar ureum > 200 mg/dL dan kreatinin > 6mEq/L

f. Kelebihan cairan (fluid overloaded)

g. Anuria berkepanjangan > 5 hari.

3. Prinsip Hemodialisis

Baradero (2009), menjelaskan bahwa terdapat 3 prinsip yang mendasari

kerja hemodialisis yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Difusi adalah

pergerakan butir-butir (partikel) dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke

tempat yang berkonsentrasi rendah (terjadi melalui membran

semipermeabel). Saat proses difusi sisa akhir metabolisme didalam darah

dikeluarkan dengan cara berpindah dari darah yang konsentrasinya tinggi ke

dialisat yang mempunyai konsentrasi rendah (Baradero, 2009). Ureum,

kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke

cairan dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat.

Walaupun konsentrasi eritrosit dan protein dalam darah tinggi, materi ini

tidak dapat menembus membran semipermeabel karena eritrosit dan protein

mempunyai molekul yang besar. Natrium asetat atau bicarbonat yang lebih

tinggi konsentrasinya dalam dialisat akan berdifusi kedalam darah.

Kecepatan difusi solut tergantung kepada koefisien difusi, luas permukaan


21

membran dialiser dan perbedaan konsentrasi serta perbedaan tekanan

hidrostatik diantara membran dialisis (Kallenbach et al, 2012).

Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.

Osmosis adalah pergerakan air melalui membran semipermeabel dari tempat

yang berkonsentrasi rendah ke tempat yang berkonsentrasi tinggi

(osmolalitas). Ultrafiltrasi adalah pergerakan cairan melalui membran

semipermeabel sebagai akibat tekanan gradien buatan. Pengeluaran air dapat

dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan (dengan kata lain, air

bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke

tekanan yang lebih rendah (dialisat). Pada saat dialisis, prinsip osmosis dan

difusi atau ultrafiltrasi digunakan secara simultan atau bersamaan

(Kallenbach et al, 2012).

4. Komplikasi

Berbagai komplikasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.

Komplikasi dapat dijabarkan menjadi 2 yaitu komplikasi yang berhubungan

dengan prosedur dialisis dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit

ginjal kronik.

a. Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis

(Mholley et al dalam Farida, 2010) adalah :

1) Restless Leg Syndrome

a. Definisi

Restless Legs Syndrome (RLS) adalah gangguan motorik

(pergerakan) yang ditandai oleh kondisi tidak nyaman pada kaki.


22

Pasien yang mengalami RLS akan mendeskripsikan kondisi tidak

nyaman tersebut dengan adanya gejala berupa rasa sakit dan nyeri,

sensasi seperti terbakar, sifatnya menjalar, kaki terasa berkedut,

rasa gatal dan geli serta adanya kram pada otot kaki. RLS biasanya

terjadi saat pasien beristirahat, saat proses hemodialysis (kondisi

tiduran/ duduk yang terlalu lama), atau pada saat pasien mencoba

tidur dimalam hari. RLS akan terjadi pada pasien CKD, in-

adequate dialysis, pasien dengan low blood iron level, pasien

dengan anemia (low red blood cell count), kehamilan, defisiensi

vitamin, konsumsi alkohol, kafein dan merokok.

b. Tanda dan gejala RLS

Menurut Boulus (2014) terdapat beberapa tanda dan gejala yaitu :

1. Adanya dorongan untuk menggerakan kaki tetapi tidak selalu disertai

dengan atau merasa adanya sensasi tidak nyaman di kaki.

2. Adanya dorongan untuk menggerakan kaki dan setiap sensasi disertai

dengan perburukan selama periode istirahat seperti berbaring atau

duduk.

3. Adanya dorongan untuk menggerakan kaki dan setiap sensasi terasa

selama istirahat seperti pada malam hari dibandingkan siang hari.

c. Etiologi RLS

Menurut Boulus (2014) telah dijabarkan beberapa factor resiko yang dapat

menyebabkan RLS antara lain:

1. Defisiensi zat besi (anemia defisiensi besi)


23

Anemia dan penurunan fungsi fisik merupakan salah satu keluhan

yang dialami pasien penyakit chronic kidney disease yang menjalani

hemodialisis. Kondisi ginjal yang sudah atropi mengakibatkan

produksi eritropoetin berkurang, selain itu proses hemodialisis yang

mengakibatkan umur dari eritrosit yang menjadi lebih pendek dari

sebagian orang normal pada umumnya. Selain itu otot pasien akan

menunjukkan adanya sirkulasi degenerasi, robeknya serat, uremia

myopati dan neuropati dengan inaktifitas merupakan respon penting

kehilangan kekuatan otot pasien.

2. CKD

Sistem musculoskeletal termasuk salah satu system yang terpengaruh

oleh penyakit ginjal. Dampak negatif kegagalan ginjal pada otot

rangka adalah kompleks sebagai akibat adanya penurunan perfusi

otot, peredaran substrat dan katabolisme yang dipengaruhi banyak

factor seperti asidosis metabolic, kortikosteroid, proinflamatory

cytocines dan penurunan aktivitas fisik (Adam et all, 2006).

Kelemahan otot pada pasien penyakit ginjal tahap akhir

dimanifestasikan sebagai atrofi myofiber tepatnya semua tipe serat.

Diesel et all dalam Adam et all (2006), menunjukkan adanya siklus

degenerasi, robeknya serat, tipe kelompok serat, kekacauan

miofilamen dan adanya mitokondria abnormal pada otot pasien.

Uremia myopathy dan neuropathy merupakan penyebab kehilangan

kekuatan otot yang absolut pada pasien.


24

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Christoforos, et all (2011)

dengan judul “Evidence of Increased Muscle Atrophy and Impaired

Quality of Life Parameters in Patients with Uremic Restless Legs

Syndrome” pada 70 pasien CKD yang menjalani terapi hemodialisis

diantaranya terdiri atas 30 pasien dengan RLS dan 40 pasien dengan

non-RLS. Penelitian dilakukan dengan metode cross sectional

analysis dengan severity scale antara 24±9 (Pasien dengan RLS dan

non-RLS), prevalensi kejadian antara perempuan dan laki-laki yakni

52% dan 39%.. Hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat

penurunan Quality of Life pada pasien hemodialisis dengan Restless

Leg Syndrome yang dapat mengakibatkan masalah pada mental

health dan sleep disorder. Kondisi muscle atrophy pada pasien RLS

memberikan kontribusi yang cukup tinggi pada gangguan tidur yang

dialami pasien.

2) Gangguan Sleep Quality

a. Definisi

Tidur merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia. Lima, Fransisco

& Barros (2012), mendefinisikan tidur sebagai suatu kondisi dimana

proses pemulihan harian terjadi. Tidur merupakan sebuah perubahan

status kesadaran yang terjadi selama periode tertentu yang ditandai

dengan penyediaan waktu untuk perbaikan dan kesembuhan sistem tubuh

dengan cara memperoleh tidur yang cukup (Potter & Perry, 2006). Dari

kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tidur adalah periode

istirahat untuk tubuh dan pikiran yang selama masa ini kemauan dan
25

kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi

tubuh sebagian dihentikan.

Kebutuhan tidur yang tidak tercukupi akan menyebabkan terjadinya

gangguan tidur. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan

masyarakat, termasuk pada pasien yang menjalani hemodialisis (De

Santo, dkk, 2008). Gangguan tidur apabila tidak diatasi dengan intervensi

yang tepat akan menimbulkan penurunan pada kualitas tidur (sleep

quality). Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap kedalaman

tidur sehingga seseorang tersebut tidak merasa lelah, gelisah, lesu, serta

tidak sering menguap dan mengantuk (Hidayat, 2006).

b. Etiologi

Kualitas tidur pada pasien hemodialisis dipengaruhi oleh berbagai faktor

seperti faktor biologis (De Santo, dkk, 2008), fakor psikologis (Unruh,

dkk, 2006) dan faktor dialisis (Merlino, dkk, 2006; Unruh, dkk, 2006).

Kualitas tidur yang buruk akan berdampak pada aktifitas keseharian

individu, seperti komponen fisik dan kehidupan mental (Turkmen, dkk,

2012), penurunan kinerja (Tsay, Rong dan Lin, 2003), disfungsi kognitif

dan memori (Kang dkk, 2012), menurunnya kemampuan untuk membuat

keputusan dan berkonsentrasi dalam aktivitas harian serta meningkatkan

iritabilitas (Potter & Perry, 2006).

Pernyataan tersebut telah dikuatkan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Masoumi, Maryam, et all (2012), dengan judul “Sleep Quality in


26

Patients on Maintenance Hemodialysis and Peritoneal Dialysis” pada 90

pasien yang menjalani terapi hemodialisis dan peritoneal dialisis dengan

usia rata-rata 54.2 ± 15.2 tahun (n = 53 pasien laki-laki dan n = 37 pasien

perempuan). Data dianalisis berdasarkan pada kualitas tidur pasien

dengan score PSQI sehingga didapatkan hasil bahwa dari 90 pasien yang

diteliti mengalami kualitas tidur yang buruk sebesar 86,6% dan terbagi

atas 2 dimensi yaitu sleep latency dan sleep efficiency (P < 0,05),

diantaranya pasien juga mengalami kecemasan (ß = 0,232, P = 0,027)

dan mengalami depresi (ß = 0,317, P = 0,004). Disimpulkan bahwa

kualitas tidur yang buruk merupakan dampak yang paling sering terjadi

pada pasien yang menjalani terapi HD maupun PD dengan berbagai

factor pendukung sehingga memerlukan treatment yang sesuai untuk

menurunkan kejadian gangguan tidur pada pasien.

Berdasarkan penelitian lain bahwa gangguan tidur yang dialami pasien

CKD yang menjalani hemodialisis setidaknya sekitar 50-80%. Gangguan

tidur yang umum dialami diantaranya : Restless Leg Syndrome (RLS),

Sleep Apnea (SA), Excessive Daytime Sleepiness (EDS), narkolepsi, tidur

berjalan, mimpi buruk dan insomnia. (Musci, et all, 2004; Merlino, et all,

2006; Perl, J, et all, 2006; Kosmadakis and Medcalf, 2008; Sabry, et all,

2010 dalam Ida Rosdiana, 2011).

3) Hipotensi

Hipotensi saat hemodialisis (intradialytic hypotension) merupakan masalah

yang sering terjadi. Hipotensi intradialisis terjadi pada pasien yang mengalami
27

gangguan sistem kardiovaskuler, yang disebabkan oleh kelainan struktural

jantung dan pembuluh darah. Pencegahan hipotensi intradialisis dengan cara

melakukan pengkajian berat badan kering secara teratur, menghitung UFR

secara tepat, mengatur suhu dialisat, menggunakan dialisat bikarbonat,

monitoring tekanan darah selama proses hemodialisis.

4) Sakit Kepala

Kecepatan UFR yang tinggi, penarikan cairan dan elektrolit yang besar,

lamanya dialisis, tidak efektifnya dialisis dan tingginya ultrafiltrasi juga dapat

menyebabkan terjadinya headache intradialysis.

5) Demam dan Menggigil

Selama prosedur dialisis perubahan suhu dialisat juga dapat meningkatkan atau

menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi >37,5 0C bisa menyebabkan

demam. Sedangkan suhu dialisat yang terlalu dingin <34 –35,50C dapat

menyebabkan gangguan kardiovaskuler, vasokonstriksi dan menggigil.

6) Emboli Udara

Udara dapat memasuki sirkulasi melalui selang darah yang rusak, kesalahan

menyambung sirkuit, adanya lubang pada kontainer cairan intravena, kantong

darah atau cairan normal salin yang kosong atau perubahan letak jarum arteri.

Gejala yang berhubungan dengan terjadinya emboli udara adalah adanya sesak

nafas, nafas pendek dan kemungkinan adanya nyeri dada.


28

7) Hemolisis

Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan

kalium intraseluler. Hemolisis dapat terjadi akibat sumbatan akses selang darah

dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan tekanan negatif yang berlebihan

karena pemakaian jarum yang kecil pada kondisi aliran darah yang tinggi atau

posisi jarum yang tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan

dialisat hipotonik. Hemolisis masiv akan meningkatkan resiko hiperkalemi,

aritmia dan henti jantung.

C. Konsep Intradialytic Stretching Exercise

1. Definisi

Stretching exercise atau latihan peregangan otot adalah bentuk latihan yang

dilakukan pada beberapa bagian kaki terutama peregangan pada rotasi

panggul ke samping, peregangan otot quadriceps, peregangan dari lutut

hingga dada, peregangan pada otot hamstrings, peregangan pada gluteal,

peregangan pada kaki, mengangkat kaki ke atas dan kebawah. Masing-

masing gerakan dilakukan minimal 3x hitungan. Durasi Stretching exercise

dilakukan mulai dari pemanasan (warm up) selama 5 menit, gerakan

stretching exercise selama 20 menit dan pendinginan (cooled down) selama

5 menit (Mansooreh et all, 2016).

Stretching exercise merupakan salah satu tehnik relaksasi otot dimana lebih

menekankan otot pada beberapa bagian tubuh sehingga nyeri atau kram

yang dirasakan dapat berkurang setelah pemberian stretching exercise (guo

et all, 2013). Dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

stretching exercise salah satu bentuk latihan peregangan atau relaksasi otot
29

dengan melibatkan beberapa otot pada bagian tubuh untuk mengatasi nyeri

atau kram otot dengan beberapa gerakan peregangan selama 30 menit.

2. Mekanisme Intradialytic Stretching Exercise dalam menurunkan nyeri

atau kram otot

Stretching exercise merupakan bentuk stretching yang bertujuan untuk

menjaga mobilitas normal dari otot dan untuk meningkatkan ROM pada otot.

Ketika otot diberikan stretching, maka stretch reflex bekerja secara otomatis

berkontraksi dengan cara mengurul otot untuk melindunginya dari stretching

yang berlebihan (Godgees, 1998 dalam Rosdiana 2014).

Reflex yang terjadi pada golgi tendon dan muscle spindle akan teraktivasi

dan menginhibisi ketegagan dengan relaksasi melalui pemanjangan otot

ketika terjadi peningkatan tension (ketegangan) otot (Garretet et all, 1988

dalam Rosdiana 2014).

Secara fisik, olahraga yang menghasilkan efek relaksasi akan menghasilkan

hormone endorphin. Hormon endorphin sendri merupakan neuropeptide

yang dihasilkan oleh tubuh ketika keadaan relaksasi. Endorphin sendiri

dihasilakn oleh otak dan susunan saraf pada vertebra. Hormone endorphin

bertindak langsung sebagai hormone yang menenangkan yang diproduksi

oleh otak dan menghasilkan rasa nyaman dan meningkatkan kadar

endorphin dalam tubuh untuk mengurangi rasa nyeri atau kram otot pada

saat kontraksi ketika melakukan stretching, terbukti kadar beta-endorphin

dapat meningkat hingga 4-5x didalam darah. Ketika seseorang melakukan


30

olahraga dalam bentuk stretching, maka beta-endorphin akan ditangkap oleh

reseptor didalam hipotalamus dan system limbic yang berfungsi untuk

mengatur emosi. Ketika neuron perifer mengirimkan sinyal ke sinap, yang

terjadi adalah sinapsis antara neuron nyeri perifer dan neuron yang menuju

otak tempat seharusnya substansi P akan menghantarkan impuls. Pada saat

yang bersamaan endorphin akan memblokir lepasnya substansi P dari neuron

sensorik, sehingga transmisi impuls nyeri di medula spinalis terhambat.

Mekanisme pelepasan hormone endorphin terhadap penurunan gejala nyeri

atau kram oto pada pasien yang menjalani hemodialisis dapat didukung

dengan penelitian yang dilakukan dilakukan oleh Mansooreh, et all (2016)

dengan judul “Stretching Exercise on Severity of Restless Legs Syndrome in

Patients on Hemodialysis” pada 33 pasien yang menjalani terapi

hemodialisis di Hasherminejad Hospital in Tehran diantaranya terdiri atas

kelompok intervensi (n=17) dan kelompok kontrol (n=16). Pemberian

stretching exercise pada kaki pasien di jam pertama dialisis sebanyak 3x/

semingggu selama 8 minggu pada kelompok intervensi didapatkan hasil

bahwa gejala RLS berkurang setelah diberikan intradialitic stretching

exercise sebanyak 3x/ seminggu selama 8 minggu dengan P value < 0,001

dibandingkan kejadian RLS pada kelompok kontrol.

Berdasarkan penelitian lain yang dilakukan oleh Zahra (2013), dengan judul

“The Effect in Intradialytic Stretching Exercise on Severity of Symptoms of

RLS and Quality of Sleep in Hemodialysis Patient” pada 37 pasien yang

menjalani hemodialisis di Hasheminejad Hospital in Tehran yakni


31

diantaranya terdapat kelompok kontrol (n=16) dan kelompok intervensi

(n=17). Hasil penelitian didapatkan data bahwa pada akhir minggu ke 8,

diperoleh data bahwa stretching exercise yang dilakukan pada kelompok

intervensi lebih signifikan dapat menurunkan gejala RLS dan meningkatkan

kualitas tidur dibandingkan pada kelompok kontrol dengan P value <0,001

dan P value 0,003.

3. Indikasi dan kontraindikasi Intradialytic Stretching Exercise

Stretching exercise yang disebutkan oleh (Ylinen, 2008) diinsikasikan jika

ditemukan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi (ROM), pasien yang

menjalani hemodialisis dengan gejala Restless Leg Syndrome (gejala nyeri

atau kram pada otot, rasa terbakar) yang dirasakan pada malam hari. Selain

itu Intradialytic Stretching Exercise juga terdapat beberapa kontraindikasi,

antara lain : pada pasien yang menjalani hemodialisis dengan tekanan darah

yang tidak stabil, pergerakan pada otot bagian tubuh dimana pada area

tersebut juga terpasang akses cimino pada saat dialysis berlangsung

D. Konsep Back Massage

1. Definisi

Massage yaitu tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak,

bisanya otot, tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran

atau perubahan posisi sendi, menghasilkan relaksasi, dan meningkatkan

sirkulasi (Henderson, 2006).


32

Back massage adalah tindakan massage yang dilakukan pada bagian

punggung dengan usapan yang perlahan selama 3-10 menit (Potter &

Perry, 2005). Massage punggung ini dapat menyebabkan timbulnya

mekanisme penutupan terhadap impuls nyeri saat melakukan gosokan

penggung yang dilakukan dengan lembut.

2. Mekanisme Kerja Back Massage

a. Sistem Nervous

Stimulasi kutan adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk

menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara mengaktifkan transmisi

serabut saraf sensori A-beta yang lebih cepat sebagai neurotransmiter,

sehingga menurunkan transmisi nyeri yang di hantarkan melalui

serabut C dan A-delta berdiameter kecil sekaligus menutup gerbang

sinap untuk transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2007).

b. Sistem Hormonal

Massage akan membantu memperlancar metabolisme dalam

tubuh. Treatment massage akan mempengaruhi proses kontraksi

dinding kapiler sehingga terjadi keadaan vasodilatasi atau melebarnya

pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Aliran oksigen

dalam darah meningkat, pembuangan sisa-sisa metabolic semakin

lancar sehingga memacu hormone endorphin yang berfungsi

memberikan rasa nyaman.

Endorphin merupakan sistem penekanan nyeri yang dapat diaktifkan

dengan merangsang daerah reseptor endhorphindi zat kelabu


33

periaqueduktus otak tengah. Pemberian stimulasi kutan back massage

pada daerah torakal 10 sampai 12 dan lumbal 1 yang merupakan

sumber persarafan pada uterus dan cervik dapat merangsang reseptor

syaraf asenden, dimana rangsangan tersebut akan dikirim ke

hipotalamus dengan perjalanan melalui spinal cord, diteruskan ke

bagian pons dilanjutkan ke bagian kelabu pada otak tengah

(periaqueduktus), rangsangan yang diterima oleh periaqueduktus ini

disampaikan kepada hipotalamus, dari hipotalamus inilah melalui alur

saraf desenden hormon endorphin dikeluarkan ke pembuluh darah

(Steven A, 1982).
34

4. Prosedur Intradialytic Stretching Exercise

Tabel 2.5
Prosedur Intradialytic Stretching Exercise

No. Latihan Contoh


TAHAP PERSIAPAN :
1. Mengkaji keadaan umum responden
Mengukur TTV responden
2. TAHAP PELAKSANAAN :
Lakukan pemanasan
Lakukan latihan peregangan
Peregangan leher :
a. Posisi duduk atau berbaring di tempat duduk
b. Tundukkan kepala sampai dagu menyentuh
dada
c. Tolehkan kepala kea rah telinga kiri dan
kanan bergantian
d. Ulangi peregangan pada leher

e. Dengan perlahan gerakan kepala kea rah bahu


kanan kembali tegak kemudian gerakkan
kepala kea rah bahu kiri
f. Setiap gerakan dilakukan 8 hitungan.

Peregangan tangan/lengan (tangan dan


pergelangan) :
a. Posisi duduk atau berbaring
b. Angkat tangan, luruskan sejajar dengan bahu

c. Regangkan semua jari-jari tangan kemudian


ikuti gerakan mengepal dan memutar
d. Tiap gerakan dilakukan sebanyak 8 hitungan

Peregangan bahu, punggung atas dada :


35

a. Gerakan mengangkat bahu dan memutar bahu


b. Posisi duduk atau berbaring di tempat tidur
c. Angkat bahu kea rah telinga dengan gerakan
turun naik
d. Putar bahu kanan kea rah belakang kemudian
kearah depan. Ganti bahu kiri dengan gerakan
yang sama
e. Putar secara bersamaan kedua bahu kea rah
belakang dan depan
f. Setiap gerakan dilakukan sebanyak 8 kali

Peregangan dada dan punggung bagian atas :


a. Posisi duduk atau berbaring diatas tempat
tidur
b. Letakkan tangan diatas bahu dengan siku
menekuk
c. Gerakkan memutar dengan gerakan memutar
siku, pertama kearah depan lalu ke belakang
d. Hentikan putaran dan sentuhkan kedua siku di
depan dada
e. Buka kedua siku kearah luar dan tarik bahu
bagian belakang bersama-sama. Rasakan
regangan di dada
f. Ulangi gerakan sebanyak 8 kali

Peregangan bagian leher dan bagian samping :


a. Posisi duduk atau berbaring diatas tempat
tidur
b. Angkat kedua tangan atau salah satu tagan
yang tidak diakses lurus keatas, kemudian
tangan diturunkan. Rasakan peregangan pada
dada bagian samping
c. Lakukan gerakan sebanyak 8 kali.

Peregangan kaki :
a. Angkat kaki sejajar dengan lutut, kemudian
putar dan bergantian antara yang kanan
dengan yang kiri

b. Angkat kaki sejajar lutut, kemudian julurkan


kedepan sambil mengatur nafas
36

c. Selingkan lutut kaki antara yang kanan


dengan yang kiri

d. Selingkan lutut kaki antara yang kanan


dengan yang kiri, dengan salah satu kaki
harus lurus. Lakukan dengan bantuan salah
satu tangan

e. Tekuk lutut kemudian angkat keatas sambil


mengatur nafas
f. Angkat kaki lurus keatas dan kebawah sambil
mengatur nafas

Latihan pendinginan :
a. Tarik nafas melalui hidung dan keluarkan
melalui mulut, sambil angkat kedua tangan
setinggi kepala
b. Lakukan 8 kali hitungan

3. TAHAP EVALUASI :
a. Observasi keadaan umum responden
b. Observasi TTV responden

5. Prosedur Back Massage


37

Tabel 2.6
Prosedur Back Massage

No. Prosedur Contoh


TAHAP PERSIAPAN :
1. Mengkaji keadaan umum responden
Mengukur TTV responden
2. TAHAP PELAKSANAAN :
a. Letakkan peralatan di samping tempat tidur
responden (lotion, handuk, selimut).
b. Tinggikan kepala tempat tidur dan
rendahkan side rail yang berada di dekat
perawat.
c. Dekatkan klien ke arah dimana perawat
berada.
d. Minta klien untuk membuka pakaian atas
sampai ke bokong, bantu bila perlu.
e. Atur klien ke posisi lateral/ semi prone
dengan punggung menghadap ke arah
perawat.
f. Tutup bagian tubuh yang lain dengan
memakai selimut.
g. Letakkan handuk di bawah punggung
responden.
h. Tuangkan lotion secukupnya di tangan.
i. Tuangkan lotion di punggung responden.

j. Mulai massage dengan gerakan stroking/


effleurage, bergerak dari bokong menuju
bahu dengan gerakan yang kuat.

k. Kemudian dari bahu menuju bokong dengan


gerakan yang lebih ringan.

l. Ubah gerakan dengan menggunakan


gerakan yang sirkuler, khususnya pada
38

daerah sakrum dan pinggang.

m. Ubah gerakan dengan gerakan


kneading/petrissage, dimulai dari bokong
menuju bahu dan kembali menuju bokong
dengan gerakan stroking.

n. Ubah gerakan dengan tehnik friction,


dimulai dari bokong menuju bahu. Ubah
gerakan menjadi stroking/effleurage saat
bergerak dari arah bahu menuju bokong dan
kemudian ulangi gerakan friction saat
menuju bahu.

o. Ubahlah gerakan menjadi gerakan


tapotement dimulai dari bokong menuju
bahu. Ubah gerakan menjadi gerakan
stroking saat bergerak menuju bokong.

p. Katakan pada responden bahwa anda akan


mengakhiri massagenya.
q. Bersihkan sisa lubrikasi dari punggung
dengan handuk.
r. Bantu responden memakai bajunya kembali
dan mencapai posisi yang nyaman.
s. Tinggikan side rail dan turunkan kepala
tempat tidur.

3. TAHAP EVALUASI :
c. Observasi keadaan umum responden
d. Observasi TTV responden

Kerangka Teori
39

Modifikasi dari teori Black & Hawk (2009), dan Himmelfarb, J., (2010)

Penurunan sirkulasi darah ke ginjal


(DM, Hipertensi, dan penyebab
lain)

GFR menurun < 15


(stadium ESRD)

Peningkatan sisa metabolisme :


BUN dan creatinin meningkat

Hemodialisis

Perubahan Psikologis Perubahan Fisik

1. Gangguan kulit (gatal)


1. Kecemasan
2. Kelelahan
2. Depresi
3. Disfungsi seksual
3. Berkontribusi menimbulkan
4. Nyeri Otot (Restless Leg
gangguan Sleep Quality
Syndrome)

Intradialytic Restless Leg Syndrome

Streaching paling banyak

Exercise dikeluhkan

1. Peningkatan Sleep Quality


2. Penurunan RLS

Anda mungkin juga menyukai