ZhangHenshui PutriUlarPutih
ZhangHenshui PutriUlarPutih
ULAR
PUTIH
Dituturkan kembali oleh Zhang Hen-shui
Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Myra Ellis
Illustrasi oleh Kwan Shan Mei
Myra Ellis
BAB 1
1 Penggunaan kata 'kakak' atau 'adik' antara Bai Su-zhen dan Xiao Qing
menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat akrab, walaupun
mereka tidak benar-benar bersaudara kandung. Di Cina orang sering
saling mengangkat saudara dan menyayangi kawan seperti layaknya
orang bersaudara.
Sayangnya, majikan dan istrinya sudah meninggal,
jadi tidak ada lagi yang menjaga kami. Semasa
hidupnya, majikan kami tinggal di sebuah rumah di
Hangzhou, dan mengajak kami tinggal bersamanya.
Di sana kami membantu mengurus rumah tangga
majikan. Kami tidak mempunyai saudara lain di
sana. Nah! Kami telah menceritakan semuanya
kepada Tuan. Apakah Tuan masih ingin bertanya?”
Dengan rendah hati Xu Xian menjawab, “Kalian
adalah keluarga bangsawan. Maafkan kebodohan
saya.” Ia berdiri dan membungkukkan badannya. Bai
Shu-zhen membalas penghormatan itu. “Jika kalian
berdua tidak mempunyai saudara dan kenalan,
tentunya kalian merasa kesepian di Hangzhou,”
lanjut Xu Xian sungguh-sungguh.
Bai Su-zhen menarik napas panjang.
Xiao Qing berkata sambil menggoda, “Tuan Xu,
Anda dan kakak saya sama-sama bernasib malang.”
“Ya,” kata Xu Xian sambil mengangguk, “Saya
memang kurang beruntung.”
Hujan semakin reda dan berganti dengan gerimis.
Kumpulan pepohonan di tepi pematang Su Bo mulai
terlihat, karena uap kabut mulai menghilang dari
Danau Barat. San Tan Yin Yue dan Ruan Gong Dun
pun tampak di cakrawala. Rintik gerimis masih
menetes di atas perahu. Selapis kabut yang indah
menebar di atas air danau.
Xiao Qing berseru, “Danau Barat memang luar
biasa! Pemandangan sebelum dan sesudah hujan
sangat berbeda. Tuan Xu, maukah Anda duduk di
sini sebentar bersama kami untuk menikmati
pemandangan yang indah ini?”
“Kabut masih tebal. Sebaiknya kita pulang saja.
Hari ini saya mendapat cuti sehari penuh. Saya
berpikir sebaiknya saya segera pulang untuk
menghindari teguran majikan.”
Bai Su-zhen mengangguk tanda setuju. Sementara
mereka berbicara, perahu telah tiba di Gerbang Qing
Bo. Ketika kemudian tukang perahu menepikan
perahunya, Bai Su-zhen mengambil uang dari
sakunya dan memberikannya kepada Xiao Qing.
Sambil mengulurkannya kepada tukang perahu, Xiao
Qing berkata, “Karena Tuan Xu menyewa perahu
sebanyak 70 tail, kami berdua ingin menambahnya
30 tail. Jadi jumlah seluruhnya 100 tail untuk kami
bertiga. Hitung, Pak!”
Mendengar kata-kata Xiao Qing, Xu Xian
berpaling. “Hai!” serunya. “Jangan terima uangnya,
Pak! Aku tidak ingin mereka membayar ongkos
sewanya.”
Bai Su-zhen berusaha meyakinkan Xu Xian, “Tidak
apa-apa Tuan, jangan khawatir.”
Tukang perahu memeriksa uangnya dan berkata,
“Saya tidak perduli siapa yang akan membayar. Yang
penting uangnya cukup.”
“Kalau begitu baiklah. Terima kasih banyak!” kata
Xu Xian.
Tukang perahu menambatkan perahunya pada
sebatang pohon di tepian danau. “Kita telah sampai.
Silakan turun.”
Xu Xian melirik ke arah Bai Su-zhen yang sedang
menunjuk kembali ke arah langit sebanyak dua kali.
Sekalipun Xu Xian tidak memahami maknanya, ia
diam saja.
“Kakak, hari masih hujan. Apa yang akan kita
lakukan sekarang?” tanya Xiao Qing kepada Bai Su-
zhen.
“Ambillah payung saya ini. Pasti cukup besar
untuk kalian berdua,” kata Xu Xian.
“Tapi bagaimana dengan Anda?” tanya Bai Su-
zhen.
“Jangan khawatir. Tempat tinggal saya sudah
dekat.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Xiao Qing
mengambil payung itu dari tangan Xu Xian, lalu
berjalan ke luar dari ruang perahu yang beratap itu
diikuti oleh Bai Su-zhen. Tiba-tiba Bai Su-zhen
menoleh kepada Xu Xian dan berkata, “Di mana toko
Anda, Tuan Xu, agar kami dapat mengantarkan
payung Anda besok pagi?”
“Jangan khawatir. Kalau tidak berhalangan, biar
saya yang mengambilnya. Di mana Anda tinggal?”
“Di luar Gerbang Qing Bo, di samping Qian Wang
Ci. Di sana ada sebuah pintu merah dengan secarik
kertas putih di atasnya. Itu rumah kami. Kami akan
menanti Anda, Tuan.”
Xu Xian berkata penuh semangat, “Baik!
Walaupun hari hujan, saya akan ke sana.”
Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya, kemudian
berjalan ke atas dek sementara Xiao Qing
memayunginya. Sejenak mereka berdiri tak bergerak
di atas dek perahu. Tetesan hujan belum juga
berhenti, airnya bergulir di atas payung dan turun ke
tanah.
“Pukul berapa Anda akan datang, Tuan Xu?” kata
Xiao Qing.
“Besok sore”
“Jadi, besok sore, hujan ataupun panas Anda akan
datang. Kami akan menanti Anda.” Bai Su-zhen
tersenyum sambil memandang ke dalam perahu.
“Saya pasti datang,“ kata Xu Xian seraya bangkit
dari tempat duduknya.
Kedua wanita itu melompat ke darat. Sambil
berjalan berdekatan, mereka segera pergi di bawah
rintik air hujan dan hembusan angin.
Xu Xian juga segera meninggalkan tempat itu. Di
bawah siraman hujan gerimis, ia tiba di bawah
Gerbang Qing Bo dan berlari pulang. Badannya basah
kuyup. Walaupun baju barunya basah dan kusut,
hati Xu Xian sangat gembira karena akan bertemu
kembali dengan kedua wanita itu esok harinya.
Sebenarnya ia ingin menceritakan pengalamannya
kepada kakak dan iparnya, namun karena takut
mereka akan menghujaninya dengan pertanyaan,
akhirnya Xu Xian memutuskan untuk
menyimpannya. Semalaman ia tidak dapat
memicingkan mata, memikirkan kedua wanita itu.
BAB 2
4 Dalam bahasa Cina, 'Bai' berarti putih, dan 'Qing' berarti hijau.
ingin mendekati saya? Setelah kami menikah, justru
merekalah yang memberi saya uang dan Bai juga
telah berbuat baik kepada banyak orang. Rakyat di
sini memanggilnya ‘Dewi Bai’.”
“Ia menipumu. Hal seperti ini mudah saja
dilakukan roh jahat seperti dirinya. Ia dapat
mengubah bentuknya seperti manusia. Jika Engkau
tetap bersamanya, sesuatu yang mengerikan akan
terjadi padamu!” kata Fa Hai yang rupanya sudah
sangat mengenal Bai Su-zhen.
Xu Xian ketakutan. Dengan cemas ia mengetukkan
kakinya berkali-kali ke lantai.
Fa Hai meneruskan keterangannya, “Kira-kira
sebulan yang lalu, di kuil keluarga Lu, seorang
pendeta memberimu tiga jimat, bukan?”
“Ya,” kata Xu Xian membenarkan. Ia gemetar
memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kekuatan pendeta ini kurang kuat. Ia tidak
mampu mengetahui bentuk asli istrimu. Jadi, jimat
yang diberikannya kepadamu tidak berpengaruh.
Kemudian istrimu menghinanya di kuil itu dan Xiao
Qing mengusirnya ke Yunnan.”
“Benarkah itu?” tanya Xu Xian. Ia mulai
mempercayai pendeta itu.
“Kejadian itu terjadi kurang dari sebulan yang lalu.
Semua orang mengetahuinya. Sekarang coba jawab
pertanyaanku. Dari mana istrimu mendapat uang
untuk pindah ke Suzhou dan membuka toko?”
“Itu uang keluarganya.”
“Siapa yang membawa uang itu?”
“Dua pegawai almarhum ayahnya. Tetapi saya
sendiri belum pernah melihat uang itu. Mereka
langsung membawanya ke Suzhou untuk membuka
toko,” kata Xu Xian membela diri.
Fa hai tertawa, “Kedua pegawai itu sebenarnya
adalah seekor kura-kura dan seekor kepiting. Aku
tidak tertarik kepada mereka, karena mereka tidak
mengganggu orang.”
“Tetapi toko obat ini berdiri berkat jasa mereka
berdua,” kata Xu Xian. “Mereka berdua benar-benar
orang baik-baik.”
“Anda belum juga percaya kepadaku. “Xu Xian
menggeleng. “Sekalipun saya mempertimbangkannya,
tetapi saya tidak dapat mempercayai kata-kata Tuan.
Karena semenjak kami menikah, usaha saya maju
pesat. Istri saya berasal dari keluarga baik-baik.
Sejak kecil ia belajar ilmu silat dan sangat
berpendidikan dan saya mempercayainya. Bila saya
berbuat salah, ia segera memperbaikinya. Dan
bukankah ular adalah binatang yang menakutkan
manusia dan anak-anak? Padahal banyak orang
menyukai istri saya. Saya yakin Anda telah menuduh
orang yang tidak bersalah. Lebih baik kita tidak
membicarakan hal ini lebih lanjut.”
Fa Hai melihat ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa
di sana. Ia mengangguk dan berkata, “Aku tidak
mempunyai cukup bukti untuk membuatmu percaya.
Tetapi besok ada perayaan Perahu Naga. Pada pukul
tiga sore, istrimu akan berubah ke bentuk aslinya.
Kalau engkau sudah melihatnya, baru engkau
percaya kepadaku. Sebut nama dewa-dewa tiga kali,
dan aku akan datang menyelamatkanmu. Apakah
engkau dapat melakukannya, Xu Xian?”
“Jika ia seekor ular, Aku pasti akan... ah... tetapi,
ia bukan ular, bukan!!” kata Xu Xian mencoba
meyakinkan dirinya.
Fa Hai mengeluh, “Rupanya engkau benar-benar
tidak mau mempercayai kata-kataku. Apakah istrimu
dan adiknya akan ikut bersembahyang pada
perayaan Perahu Naga, besok?”
“Tentu saja.”
“Bagus! Siapkan anggur kuning, dan berikan
minuman itu kepada istrimu. Usahakan agar ia mau
meminumnya. Lihatlah apa yang akan terjadi.”
“Kata-katamu membuat saya takut,” kata Xu Xian.
“Tetapi saya yakin istri saya bukanlah ular yang
menyamar.”
“Aku hanya mengatakan yang kuketahui. Apa yang
kemudian akan terjadi akan membukakan matamu,”
jawab Fa Hai samar-samar.
Selesai berbicara, pendeta itu memanggil anak
buahnya, lalu meminta diri.
Perlahan-lahan Xu Xian kembali ke rumahnya,
sambil memikirkan kata-kata pendeta itu. Jika
istrinya benar-benar seekor ular, ia pasti sudah
menjadi korban. Mengapa pula ia bersusah payah
mendirikan toko? Ketika ia sedang memikirkan kata-
kata si pendeta, Bai Su-zhen datang mendekat.
Dipandangnya Bai Su-zhen lekat-lekat. Ia tetap saja
cantik, tidak membuatnya takut. Maka Xu Xian pun
memutuskan untuk tidak berterus terang kepada
istrinya.
“Suamiku, apa yang diminta pendeta itu?”
Karena tidak tahu apa yang harus ia katakan, Xu
Xian menjawab sambil tertawa, “Sedekah! Untuk
perayaan Perahu Naga besok pagi.”
“Sudah kuduga. Sebagian pendeta harus hidup
hanya dari hasil sedekah. Tetapi sebaiknya kau
pertimbangkan baik-baik sebelum memberi uang
kepada mereka.”
Xiao Qing datang membawa seteko teh dan
meletakkannya di depan Bai Su-zhen yang saat itu
duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu.
Xu Xian memperhatikan tingkah laku Bai Su-zhen
dan Xiao Qing. Semua tampak wajar, tak ada yang
aneh. Ketika Bai Su-zhen minum, teh panas itu
menumpahi tangannya. Ia cepat-cepat meletakkan
cangkir dan mengambil sapu tangan untuk
mengeringkan kulitnya yang basah. Perbuatannya
wajar. Xu Xian semakin yakin, bahwa pendeta tadi
mengada-ada. Ia berniat menceritakan semuanya
kepada istrinya.
“Apa yang sedang kauperhatikan?” tanya Bai Su-
zhen.
“Aku sedang melihatmu menyeka teh yang
tertumpah di tanganmu. Betapa rapi dan telitinya
engkau.”
Jawaban yang ia sampaikan benar-benar
menghilangkan kecurigaan Bai Su-zhen.
“Kebiasaan sejak aku masih kecil,” jawabnya
sambil tersenyum.
“Akan kuceritakan terus terang besok pagi,” pikir
Xu Xian. “Bila ia mendengar ceritaku setelah minum
anggur, ia pasti tertawa.”
Xu Xian tersenyum dan berkata, “Kebiasaanmu
benar-benar mengagumkan.”
BAB 8
5 Manusia Air adalah makhluk halus yang tinggal di dalam air dan
bertugas menjaga bumi.
“Kami telah mendengar tentang keangkuhan Fa
Hai,” kata Ma Zi-hou. “Satu-satunya cara untuk
menghadapi orang seperti dia ialah dengan
menghancurkan biaranya, dan membuatnya
memohon ampun kepada kita.”
Li Ben-liang menambahkan, “Bila seluruh tentara
telah dikerahkan, saya yakin kita dapat mengalahkan
musuh-musuh kita agar mereka dapat merasakan
pembalasan kita.”
“Engkau sangat berani, dan terima kasih atas
bantuanmu,” kata Bai Su-zhen hangat. “Namun,
sebaiknya kalian jangan bertindak kejam, dan jangan
lupa untuk senantiasa menaati perintahku. Tetapi
kalian juga harus segera beristirahat. Karena pada
waktu matahari terbit esok pagi, kalian sudah harus
berada di sungai Chang Jiang. Temui aku tengah
hari.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing kemudian berganti baju
dengan warna putih dan hijau. Dengan menyandang
dua bilah pedang, mereka mulai menyelidiki sungai
Chang Jiang.
Di bagian timur, mereka melihat secercah cahaya
putih yang berkilauan. Bai Su-zhen mengucapkan
mantra-mantra untuk mencari tempat Roh Bumi.
Tiba-tiba muncul sekitar tiga puluh orang tua. Bai
Su-zhen segera menyambutnya.
“Besok sore, sungai Chang Jiang akan membanjiri
biara Gunung Emas. Namun, rakyat di sini tidak
bersalah. Karena itu, kumpulkan makhluk-makhluk
halus untuk membuat dua jalan agar penduduk yang
tinggal di dekat sungai dapat menyelamatkan diri.”
Para makhluk halus itu mengetahui besarnya
kekuatan sihir Bai Su-zhen. Mereka tidak berani
membantah ataupun bertanya. Semuanya menyetujui
siasat yang diambil oleh Bai Su-zhen.
“Sebelum banjir datang, aku akan berteriak
‘Bangun’ dari bawah biara. Begitu mendengar aba-
abaku, Kalian harus bekerja. Jangan ceritakan
rencana ini kepada siapa pun. Sekarang kalian boleh
pergi.”
Esoknya, tepat pada tengah hari Bai Su-zhen dan
Xiao Qing tiba di gerbang Biara Gunung Emas, untuk
mendengar jawaban Fa Hai. Mereka melihat pintu
biara sudah rusak. Tidak ada seorang pun di sana.
Halaman biara benar-benar kosong. Patung tanah liat
yang terletak di pintu gerbang seakan-akan meringis
mengejek mereka, sementara empat serdadu Budha
di sekitar gerbang memandang mereka dengan
bengis.
“Di mana Fa Hai?” tanya Bai Su-zhen.
Seorang pendeta berlari menghampiri mereka dan
berkata, “Telah kami katakan bahwa Xu Xian tak
akan pernah kami serahkan kembali kepadamu. Tak
ada gunanya kalian datang dan menanyakannya
lagi.”
“Siapa pun boleh masuk ke dalam biara. Jadi
mengapa kau melarangku?” tanya Bai Su-zhen
sambil melangkah ke dalam biara.
Saat itu Fa Hai berada di dalam biara bersama
empat pendeta pengawalnya, masing-masing dua
orang di sisi kiri dan kanannya. Tangannya
menunjuk kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing, ketika
dilihatnya kedua wanita itu terus saja berjalan.
Maksudnya ialah agar keduanya tidak dapat maju
lebih jauh.
“Tuan,” kata Bai Su-zhen sambil mengangguk
memberi hormat kepada Fa Hai. “Waktunya telah
tiba. Apakah engkau akan membebaskan Xu Xian
atau tidak?”
“Seperti kukatakan kemarin, Xu Xian akan
menjadi pendeta. Jadi ia tidak boleh meninggalkan
tempat ini. Pergilah,” jawab Fa Hai dengan tegas.
“Ini akan berakibat buruk bagimu,” kata Bai Su-
zhen memperingatkan.
Fa Hai menyeringai. “Kau sudah selesai berbicara?
Tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak sabar lagi.”
Bai Su-zhen tertawa menghina sambil menghunus
pedangnya. Xiao Qing berdiri memandang Fa Hai
yang sedang bersiap-siap melemparkan tongkatnya
ke tanah. Dalam sekejap, tongkat itu menggeliat dan
berubah menjadi seekor naga emas.
Melihat Bai Su-zhen dan Xiao Qing menghunus
pedang, naga itu segera menyerang. Cakar, sisik,
rambut, dan giginya yang berwarna keperakan
bersinar menyilaukan. Dengan lincahnya, naga itu
menggeliat mengurung Bai Su-zhen.
Tetapi dengan tegar Bai Su-zhen menghadangnya
dengan acungan pedang sambil berteriak, “Kembali
ke bentuk aslimu!”
Seketika itu juga, lenyaplah sang naga emas dan
menjelma kembali menjadi sebatang tongkat, yang
menggeletak di tanah.
“Apa lagi yang akan kaupamerkan?” tantang Bai
Su-zhen dengan nada angkuh.
“Ini! Mana angin dan api?” teriak Fa Hai.
Kemudian, tampak sebuah kasur terbang dari
bawah kakinya. Dalam sekejap, angin kencang
berhembus dan dari dalamnya ke luar lidah-lidah api
yang panjangnya lima atau enam sentimeter.
Angin dan api segera menyerang Xiao Qing. Namun
Xiao Qing secepat kilat mengacungkan pedangnya
untuk menangkis serangan. Gabungan serangan
angin dan api membuat Xiao Qing kalang-kabut.
Bai Su-zhen segera melompat ke depan dengan
pedang teracung sambil mengucapkan mantranya.
Tiba-tiba angin dan api buatan menghilang dan kasur
yang semula terbang melayang-layang jatuh kembali
ke kaki Fa Hai.
Bai Su-zhen menyilangkan pedang di dadanya.
“Kutunggu yang lain, Fa Hai!” tantangnya.
“Ini!” raung Fa Hai sambil menggumamkan sebuah
mantra. “Mana Jia Lian? Kerahkan Serdadu Surga
dan kalahkan kedua ular ini.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing menyadari bahwa
serangan yang berikut akan mendatangkan kesulitan
bagi mereka. Dengan segera keduanya terbang ke
Sungai Changjiang.
“Bila Fa Hai tetap bersikeras, sebaiknya kita segera
mengirimkan Manusia Air untuk membanjiri Gunung
Emas,” kata Xiao Qing.
“Mana Manusia Air?” teriak Bai Su-zhen seketika
itu juga. Maka terdengarlah bunyi gelembung-
gelembung air, dan langit pun menjadi gelap. Angin
yang bertiup kencang menyebabkan timbulnya
ombak besar di sungai-sungai. Permukaan air
semakin lama semakin tinggi.
Bai Su-zhen dan Xiao Qing melompat ke sebuah
perahu. Dengan suatu teriakan dari Xiao Qing,
perahu melesat ke tengah sungai. Di sana Bai Su-
zhen melihat ribuan manusia berbentuk gelembung
muncul dari balik ombak.
“Kami menunggu perintahmu, Putri!”
Bai Su-zhen berkata, “Kuharap kalian segera
membanjiri Gunung Emas sekarang dengan ombak
dan gelombang. Berhentilah setelah kuberi tanda.”
Manusia Air serempak menyambut kata-kata Bai
Su-zhen. Mereka melompat kembali ke dalam air.
Sesaat kemudian terdengar teriakan.
“Peri-peri Sungai, mulailah bekerja.”
Maka langit pun bertambah kelam dan angin
tenggara mulai menyapu sungai Chang Jiang.
Sedemikian kuatnya tiupan angin sehingga tak
seorang pun bisa bertahan. Tetesan air hujan sebesar
biji kacang pun berjatuhan menghantam tanah dan
menggenangi daratan.
Tebalnya kabut yang menyelimuti tepi sungai,
menghalangi pemandangan. Tetapi dengan tiba-tiba
muncullah sebentuk jalan di dekat sungai.
Sementara itu, dari biara Gunung Emas, Fa Hai
melihat langit semakin gelap. Tiupan angin dan hujan
pun semakin menggila.
“Angin dan hujan ini pastilah hasil perbuatan
kedua ular itu. Pergi dan selidikilah keadaan badai di
atas sungai!”
Dua pendeta bergegas turun ke tepi sungai.
Sebentar kemudian mereka kembali ke kuil.
“Permukaan air semakin tinggi dan tampaknya
akan segera menggenangi biara.”
Fa Hai menggelengkan kepalanya.
“Jangan takut. Ambilkan jubahku yang bertambal
seribu, dan letakkan separuhnya di tepi sungai dan
separuh lagi di atas air. Berapa pun tingginya air, ia
tidak akan dapat mencapai biara ini.”
Kedua pendeta itu segera menjalankan perintah Fa
Hai. Air pun mulai mereda, walaupun hujan belum
juga berhenti. Dengan hati gembira kedua pendeta itu
bergegas menghadap Fa Hai.
“Aku yakin Ular Putih pasti akan putus asa.
Duduklah kalian semua di sini, dan tunggulah apa
yang akan terjadi selanjutnya,” kata Fa Hai.
Para pendeta menaati perintahnya. Beberapa di
antara mereka segera duduk, sementara yang lain
berdiri atau berjalan ke sana-kemari. Jia Lian
menunggu perintah dari Fa Hai untuk menyerang
musuhnya bersama lima ratus prajuritnya. Mereka
menunggu di balik awan.
Rupanya Bai Su-zhen tidak menyadari keadaan
ini. Ketika waktu menunjukkan pukul tiga, air masih
bertahan di lereng gunung. Bersama Xiao Qing, ia
menaiki sebuah perahu untuk melihat apa yang
sedang terjadi.
Karena putus asa, ia segera mendayung perahunya
ke samping gunung. Di sana ia berteriak, “Bebaskan
Xu Xian, dan semua ini akan kuhentikan. Kalau
kalian menolak, akan kuperintahkan Manusia Air
untuk membunuh semua penghuni biara.”
Tetapi berapa pun kerasnya ia berteriak, Fa Hai
tak juga menjawab.
“Rupanya mereka belum juga menyadari akibat
banjir ini bagi mereka?” kata Xiao Qing. “Kita dibantu
oleh ribuan Manusia Air. Tidakkah lebih baik
sekarang kita suruh mereka membanjiri biara itu?
Lihat saja apakah Fa Hai masih akan sanggup
bertahan.”
Bai Su-zhen segera berdiri di atas perahu.
“Baiklah,” katanya. “Kalau aku tidak
membunuhnya sekarang juga, aku yang akan
menjadi korban tongkat ajaibnya.”
“Tidak!” teriak Xiao Qing dengan berapi-api. “Nenek
moyang kita berkata bahwa kemenangan selalu
berada di pihak yang benar. Dan kita berada di pihak
yang benar.”
“Aku akan segera memberi aba-aba. Bersiap-
siaplah!” seru Bai Su-zhen.
Kemudian mereka meneriakkan aba-aba dan
ribuan Manusia Air keluar dari luapan air sungai
menunggu perintah Bai Su-zhen.
“Manusia Fa Hai adalah orang yang menjijikkan.
Betapa pun alasan yang kita ajukan, ia tidak akan
mau mendengarkan. Apakah kalian siap menyerang?
Selamatkan Xu Xian bila di antara kalian ada yang
melihatnya. Tetapi ingat, kalian hanya boleh
menyerang Fa Hai. Karena pendeta yang tidak
bersalah tidak boleh disakiti, kecuali jika mereka
mendahului menyerang.”
Pada saat itulah semua Manusia Air berubah
bentuk menjadi manusia, masing-masing membawa
pedang. Dengan jeritan yang memekakkan telinga,
mereka mulai menyerang biara. Bai Su-zhen dan Xiao
Qing berjalan di depan, memimpin pasukan.
Rupanya Fa Hai telah menunggu kedatangan
mereka. Ketika mendengar Bai Su-zhen memberi aba-
aba, ia pun segera berteriak. “Jia Lian, siapkan
prajuritmu dan bersiagalah!”
Pasukan Fa Hai segera berdiri di tepi jalan yang
menuju ke gunung, dipimpin oleh Jia Lian yang
berbaju besi berwarna emas. Di antara para prajurit,
Bangau Putih melangkah dengan gagahnya.
Kehadirannya di dalam barisan, pasti akan
mendatangkan kesulitan bagi Bai Su-zhen.
Saat itu Bai Su-zhen mengangkat tombaknya dua
kali. Ia memberi tanda kepada pasukannya untuk
berhenti. Begitu berhadapan dengan musuh, Bai Su-
zhen memberi salam.
“Kalau ada yang hendak kaukatakan, cepat
ucapkan sekarang juga,” kata Jia Lian.
“Aku hanya menginginkan pembebasan Xu Xian.
Tak ada gunanya memanggil semua pasukan,” kata
Bai Su-zhen.
“Lalu apa artinya awan hitam serta ombak yang
setinggi langit itu? Bukankah itu pasukanmu?” jawab
Jia Lian. “Sebaiknya kau mundur saja. kalau tidak,
kau sendirilah yang akan menderita.”
Dewa-dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir
menyaksikan semua kejadian ini dari langit. Ketika
Jia Lian berbicara, petir berkelebat.
Bai Su-zhen tidak merasa gentar. “Jika Xu Xian
tidak segera dibebaskan, aku terpaksa mengambil
alih biara ini.”
Jia Lian segera memberi aba-aba kepada
pasukannya untuk menyerang. Hujan pun berhenti
dan mereka bertempur di bawah sinar bulan yang
tertutup kabut. Angin berubah arah dan bertiup
dengan kencang menyerang Manusia Air, sehingga
mereka tidak dapat bergerak maju. Namun
tampaknya mereka juga pantang mundur. Sambil
bertahan di tempat, mereka berteriak, “Bunuh!
Serang!”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing yang berada di barisan
terdepan, serempak mengacungkan pedang.
“Pasukan, jangan gentar.”
Terpesona oleh semangat Bai Su-zhen, pasukan
Manusia Air menyambut dengan teriakan perang
mereka. Mereka terus mencoba maju melawan tiupan
angin.
Jia Lian mengacungkan tombaknya, untuk
menghalangi jalan musuh. Pada saat itu, keempat
Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir bergabung
dengan pasukan Jia Lian. Semuanya melengkapi diri
dengan senjata sakti yang melekat di pinggang.
Bai Su-zhen dan Xiao Qing tetap bertempur
dengan penuh semangat. Dengan dibantu oleh
Manusia Air, mereka tak berhenti menghentak
mengibaskan pedang. Dewa Angin, Hujan, Awan, dan
Petir pun mundur, diikuti oleh Jia Lian. Ketika
dilihatnya mereka bersiap-siap menggunakan senjata
sakti, Bai Su-zhen berteriak, “Biarkan saja. Berikan
kesempatan kepada Bangau Putih untuk menyerang!”
Bangau Putih menjawab, “Aku di sini.
Menyingkirlah!”
Sesungguhnya dari semua peri yang ada, yang
paling membuat gentar Bai Su-zhen dan Xiao Qing
adalah Bangau Putih. Dengan mengenakan busana
berbulu burung, Bangau Putih sekarang memimpin
pasukan. Bai Su-zhen sadar bahwa Fa Hai telah
mempersiapkan segalanya. Tetapi semangat
pasukannya pun sangat tinggi. Namun begitu melihat
Bangau Putih, keberanian yang semula menyala-
nyala seketika lenyap. Mereka tidak berani maju
tanpa perintah dari Bai Su-zhen.
Bai Su-zhen segera berteriak lantang. “Bangau
Putih, aku telah mengampunimu ketika kita terakhir
kali bertemu di gunung tempat tinggal Peri Tua di
Kutub Selatan. Ia memberikan kebebasan dan
Rumput Abadi kepadaku. Tidakkah kausadari betapa
jahatnya Fa Hai? Ia telah menculik Xu Xian dan
merusak kebahagiaan rumah tangga kami.
Seharusnya kau tidak bertempur di pihaknya.
Cepatlah menyingkir.”
Bangau Putih menunjuk ke sungai dan berkata.
“Banjir ini akan menggenangi biara. Apakah itu
bukan kejahatan? Dengarkan aku! Tarik mundur
pasukanmu sebelum aku terbang ke angkasa dan
membunuhmu.”
Bai Su-zhen menjawab dengan marah.
“Banjir ini hanya akan menggenangi biara. Kami
telah membuat jalan khusus untuk menyelamatkan
rakyat dari banjir. Tak akan ada yang menderita!”
“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Bersiap-
siaplah!” Bangau Putih segera terbang ke udara dan
menjelma menjadi bangau raksasa. Paruhnya
memanjang hingga satu setengah depa. Dengan
membabi buta ia menyerang Bai Su-zhen dan Xiao
Qing.
Kedua wanita itu langsung menghunus pedang
dan bersiap-siap untuk menyerang kembali. Pada
saat itu tiba-tiba terdengar seorang berteriak,
“Jangan bunuh mereka, Peri Tua datang.”
Mereka memandang ke atas dan melihat Peri Tua
dari Kutub Selatan berdiri di awan. Rambutnya yang
putih panjang diikat dengan dua pita kuning. Ia
mengenakan jubah kuning dan menggenggam sebuah
tongkat berbentuk kepala naga pada pegangannya.
Bangau Putih menghentikan serangannya.
“Bai Su-zhen mencari suaminya. Salahkah itu?
Seharusnya kau tidak melibatkan diri dalam
pertempuran ini,” kata Peri Tua.
Bangau Putih yang saat itu telah kembali pada
ukurannya semula, berlutut di hadapan Peri Tua.
“Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir, tuntutan Bai
Su-zhen sama sekali bukan urusan kalian. Mengapa
kalian melibatkan diri?”
Karena malu, mereka pun mundur setelah
membungkuk memberikan hormat. Bai Su-zhen dan
Xiao Qing berlutut di hadapan Peri Tua. Mereka
memohon kepada Peri Tua untuk menyelamatkan Xu
Xian. Bila permohonan itu dikabulkan, mereka
berjanji untuk segera menarik mundur seluruh
pasukan.
Melihat yang sedang terjadi, hati Fa Hai khawatir,
takut biaranya digenangi banjir. Ia segera berlari ke
pintu gerbang sambil membungkuk dengan takzim.
Peri Tua berkata, “Aku datang untuk menengahi
pertempuran, bukan untuk berkelahi. Bai Su-zhen,
jangan menyerang lagi. Panggil pasukanmu. Dan kau
Fa Hai, jangan khawatir, biaramu tak akan tergenang
banjir.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing pun segera naik ke
pintu masuk biara yang dijaga ketat oleh tiga lapis
pasukan. Fa Hai berdiri di balik pintu. Bai Su-zhen
berteriak.
“Jia Lian, lihatlah! Anak buahku sudah mundur.
Apakah engkau masih berkeras kepala menolak
pembebasan Xu Xian? Pintu masuk akan segera kami
hancurkan.”
Manusia Air tertawa terkekeh-kekeh mendengar
kata-kata Bai Su-zhen. Suaranya menggema,
menggetarkan hati. Jia Lian melihat Manusia Air
mulai bergerak turun dari gunung dan membentuk
barisan lima lapis di depan pintu masuk. Sejauh
mata memandang yang terlihat hanyalah air yang
menghampar. Semua manusia air menyandang
senjata. Setiap gerakan yang mereka lakukan
mendatangkan tiupan angin dingin. Ombak sungai
yang semakin tinggi tampak mendekati Gunung
Emas.
Kemudian langit menjadi gelap lagi dan petir pun
menyambar. Bunyinya benar-benar memekakkan
telinga.
Dengan lantang Bai Su-zhen berteriak kepada
pasukannya. “Yang Abadi sendiri telah menyatakan
bahwa kami berada di pihak yang benar. Sekarang
pergi dan usirlah Fa Hai!”
Perintahnya disambut dengan gegap gempita.
Pasukan Manusia Air pun segera mendesak maju,
walaupun lima ratus Pasukan Surga menghadang.
Tiba-tiba Bai Su-zhen mengeluh kesakitan. Ia tak
mampu mengangkat pedang dan terpaksa mundur
beberapa langkah.
Xiao Qing terkejut dan menghampiri kakaknya.
“Kakak sakit?” tanyanya dengan khawatir.
Bai Su-zhen membungkuk menahan sakit.
“Rasanya saat melahirkan telah dekat. Pasukan
kita tak akan mampu mendesak maju terus tanpa
komandan. Perintahkan mereka agar segera
mundur.”
Karena melihat pasukan sudah tiba di pintu
masuk dan hampir meraih kemenangan, Xiao Qing
tidak segera melaksanakan perintah kakaknya. Maka
Bai Su-zhen yang saat itu hampir tak mampu lagi
berdiri, segera mengangkat pedangnya dan berseru,
“Saudara-saudara, jangan menyerang. Mundur! Aku
tak sanggup lagi memimpin kalian.”
Pasukan Surga menduga bahwa mundurnya lawan
hanya siasat Bai Su-zhen. Mereka tidak berusaha
mengejar, hanya memandang dari kejauhan pasukan
musuh yang mundur dan kembali ke dalam air.
“Mari kita pergi,” erang Bai Su-zhen. “Sakitnya
semakin tak tertahankan. Aku tak ingin melahirkan
di sini.”
Lalu keduanya naik ke angkasa dan menunggang
awan menuju ke suatu tempat yang lebih tenang. Bai
Su-zhen bersandar pada Xiao Qing. “Di mana kita
sekarang?” tanyanya berbisik.
Xiao Qing menunjuk ke bawah dan menjawab, “Itu
jalan menuju Hangzhou. Mari kita beristirahat
sebentar.”
BAB 13
6 Kata 'Lin' berarti hutan. Hutan terdiri dari banyak pohon. Jadi nama Shi
Lin dimaksudkan agar ia kelak mempunyai banyak adik, laki-laki dan
perempuan.
Xu Xian berlari ke luar menemui Li Ren. Melihat
Xu Xian, Li Ren terkejut dan segera tertawa gembira.
“Sudah lama kita tak bertemu, Li Ren,” kata Xu
Xian
sambil membungkuk memberi hormat.
“Lebih dari setahun,” kata Li Ren. “Tetapi, lihatlah
rumah ini! Kau telah mengubahnya dalam waktu
singkat.” Dengan terheran-heran Li Ren memandang
meja, kursi dan perabotan lainnya serta barang-
barang porselin di ruang tengah. Bahkan pada
dinding-dindingnya pun tergantung lukisan-lukisan.
Jambangan-jambangan bunga yang indah terletak di
atas meja.
“Kami datang dari jauh,” kata Xu Xian. “Semuanya
masih berantakan.”
“Apa maksudmu? Berantakan?” kata Li Ren
tertawa. “Oh ya! Di mana istrimu?”
“Masih ada berita baik untukmu,” kata Xu Xian
dengan bangga. “Istriku baru saja melahirkan.
Bayinya laki-laki. Namanya Shi Lin.”
Li Ren menjabat tangan Xu Xian. Dengan gembira
ia berteriak, “Selamat! Ini benar-benar berita baik!
Kita harus merayakannya.”
Sebelum Xu Xian menjawab, Bai Su-zhen berteriak
dari dalam, “Kakak ipar! Aku tak dapat
menyambutmu ke luar. Tetapi, aku setuju bila
kelahirannya kita rayakan.”
Sambil menepuk dadanya, Li Ren berkata dengan
ceria kepada Xu Xian, “Kaudengar itu, Dik? Kita
harus merayakannya!”
BAB 15
--D--