Anda di halaman 1dari 194

PUTRI

ULAR
PUTIH
Dituturkan kembali oleh Zhang Hen-shui
Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Myra Ellis
Illustrasi oleh Kwan Shan Mei

Penerjemah: Resyanti Bayusono dan Tati Bambang


Rancangan Kulit Muka: Kwan Shan Mei
Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti
Kelapa Gading Boulevard TN-2 No. 14-15
Jakarta 14240
Anggota IKAPI
Cetakan Pertama, 1991

Versi PDF: http://ebooklink.co.cc


Scan: k80
Convert & Edit: clickers

BELILAH BUKU ASLINYA


PENGANTAR PENERBIT

B ahwa dua niat baik tidak selalu bisa sejalan,


bahkan bisa menimbulkan konflik, terlihat jelas
di dalam kisah ini. Bai Su-zhen, peri ular yang
menikah dengan manusia biasa, ingin selalu
membahagiakan suaminya. Ia rela melakukan apa
saja, termasuk mempertaruhkan nyawa, demi sang
suami, Xu Xian. Di pihak lain, pendeta Fa Hai yang
merasa mengemban tugas melindungi manusia dari
pengaruh buruk setan, berusaha memisahkan Xu
Xian dari istrinya yang dianggapnya sebagai ular
iblis. Pertarungan dua kemauan baik ini tersulut
karena adanya prasangka dan sikap menutup mata
salah satu pihak.
Jalinan kisah yang indah, juga gaya yang halus
dan mengharukan dalam menyampaikan ajaran
kearifan, menjadikan buku ini sebuah karya yang
asyik dibaca.
KATA PENGANTAR DARI PENERJEMAH
VERSI BAHASA INGGRIS

P utri Ular Putih adalah sebuah kisah legenda Cina


kuno yang telah beredar di seluruh Cina selama
ribuan tahun. Kisah ini diceritakan secara turun-
temurun oleh para pendongeng yang mencari nafkah
dengan mempesona para pendengarnya. Melalui
mereka, kisah ini menjelma ke dalam berbagai versi
yang berbeda. Buku berbahasa Cina yang
diterjemahkan di sini adalah salah satu versi yang
paling terkenal yang ditulis oleh Zhang Hen-shui.
Legenda ini menceritakan nasib Bai Su-zhen dan
Xiao Qing, yang datang ke bumi untuk hidup di
tengah-tengah manusia. Bai Su-zhen bertemu dengan
Xu Xian yang kemudian menikahinya. Mereka hidup
berbahagia, hingga akhirnya seorang pendeta
bernama Fa Hai merusakkan kebahagiaan mereka,
karena menyangka Bai Su-zhen adalah seorang peri
jahat. Bai dan Xu mengalami serangkaian kejadian
dan pengalaman supernatural. Akhirnya mereka
berdua dipisahkan secara tragis.
Di dalam buku ini dapat diamati berbagai sifat
manusia. Xiao Qing misalnya memiliki semangat
tinggi, pendendam, dan sangat setia; sedangkan Bai
Su-zhen bersifat tenang, penuh kasih sayang dan
pengorbanan. Sementara itu Fa Hai adalah manusia
yang menjengkelkan, keras kepala dan tak mau
mendengarkan pendapat orang lain. Sifat-sifat ini
bertentangan dengan sifat lemah yang dimiliki Xu
Xian dan keluarganya. Mereka jujur, rendah hati,
pekerja keras, dan selalu siap membantu orang yang
ditimpa kesusahan.
Saya berharap kisah ini bukan sekedar terjemahan
kata-kata karena sesungguhnya lewat bahasa yang
lazim digunakan dewasa ini, saya berkeinginan
menyampaikan semangat yang terkandung di
dalamnya. Saya sangat berterima kasih atas segala
bantuan dan dorongan yang diberikan kepada saya
oleh Mrs. Teh Kheng Geok dari United World College
of Southeast Asia. Penghargaan dan terima kasih juga
saya tujukan kepada Dr. Koh Tai Ann yang telah
mengedit dan memberi komentar atas terjemahan
saya ini. Segala kesalahan dan penghapusan yang
terdapat pada terjemahan ini, seluruhnya menjadi
tanggung jawab saya.

Myra Ellis
BAB 1

P ada Perayaan Qing Ming, hujan sering turun di


bagian selatan daerah terendah sungai Chang
Jiang. Cuaca pada saat itu sering tidak menentu.
Kadang-kadang hari begitu cerah, tak segumpal awan
mengotori langit. Tetapi kemudian awan hitam datang
bergulung-gulung dari segala penjuru dan hujan pun
segera turun dengan derasnya. Jadi, siapa pun yang
bepergian, lama atau sebentar, tak akan lupa
membawa payung.
Pada suatu pagi di hari Qing Ming, langit cerah tak
berawan; bumi bermandikan cahaya keemasan.
Matahari menyinari sebuah halaman dengan sederet
bangunan di depannya. Seorang pria muda
berpakaian biru dan bertopi hitam muncul. Ia
membawa keranjang bambu di tangan kanannya,
berisi kertas mantra berwarna kuning emas dan
seikat petasan kecil, serta lilin-lilin yang biasa dibawa
bila berkunjung ke makam keluarga. Di tangan
kirinya ia memegang payung yang disandangnya di
atas bahu.
Ketika berjalan melintasi halaman, ia berteriak
lewat jendela, “Aku harus pergi sekarang. Kemarin
aku telah mendapatkan izin cuti dari kepala bagian
keuangan karena hari ini ada perayaan Qing Ming.
Aku akan pergi ke Gunung Selatan untuk
mengunjungi makam orang tuaku. Perjalananku
jauh, jadi aku tidak akan kembali sampai malam.
Bantulah aku menjaga toko.”
Seseorang di dalam rumah menjawab, “Xu Xian,
Saudaraku. Karena engkau telah mendapat izin cuti
hari ini, pergilah dengan tenang. Kami akan
membantumu menjaga toko. Engkau tidak perlu
khawatir. Tetapi mengapa engkau membawa payung
di hari yang cerah ini?”
Xu Xian menjawab, “Kendati matahari cerah
bersinar; tanpa terduga cuaca mungkin saja berubah
sore ini. Jadi lebih baik aku membawa payung.
Bukankah cuaca akhir-akhir ini tak tertahankan
panasnya dan matahari serasa membakar kulit!
Karena itu payung ini kupakai untuk berlindung dari
sengatannya!”
“Engkau benar. Pergilah dan jangan resah,” jawab
orang yang berada di dalam rumah.
Xu Xian melanjutkan perjalanannya sementara
dua pegawai muda membantu menjaga barang-
barang di tokonya. Setelah berjalan beberapa waktu,
ia tiba di Gerbang Qing Bo, sebuah pelabuhan dengan
pemandangan Danau Barat. Di sana tertambat
beberapa perahu kecil dengan tali yang panjangnya
tidak lebih dari sepuluh meter. Di antara perahu-
perahu itu, terdapat sebuah perahu beratap yang
ditumpangi banyak orang. Perahu ini adalah feri yang
digunakan untuk menyeberangi danau.
Xu Xian turun ke bawah, ikut dalam antrian dan
melangkah ke dalam perahu. Setelah menyelusup di
antara para penumpang, ia berhasil mendapatkan
tempat duduk di atas sebuah papan. Biasanya pada
waktu yang sama, ia sedang duduk memeriksa
setumpuk rekening di toko obat. Sungguh sukar
dibayangkan bahwa kini ia sedang duduk di sebuah
perahu memandang keindahan alam luar kota, tanpa
sejumlah hitungan di kepalanya. Ketika ia melihat
sekilas ke sekelilingnya, gunung-gunung yang
melingkungi Danau Barat pada tiga sisinya seakan
menghalangi hiruk pikuknya suasana Hangzhou. Su
Ti dan Bai Ti, dua jalur jalan dengan pohon-pohon di
kiri kanan, menjorok ke tengah danau. Barisan
pohon ini membentang bertingkat-tingkat ke arah
kaki gunung yang menjulang tinggi seperti kursi
bertangan, sejauh empat kilometer melingkari
Hangzhou. Air danau yang berwarna hijau seperti
batu giok, berpadu dengan bayangan puncak-puncak
gunung di atas permukaan air, menciptakan
pemandangan yang indah tiada tara.
“Pemandangan di sini sungguh memukau!” seru
Xu Xian. “Tetapi orang-orang di kota terlalu
disibukkan oleh tugas mereka sehari-hari sehingga
tidak sempat menikmati pemandangan alam seindah
ini. Sungguh sayang!”
Seseorang yang duduk di sebelahnya menjawab,
“Oh, tetapi Anda dapat mencuri waktu barang
beberapa menit setiap tiga atau lima hari untuk
menikmatinya, bukan?”
Xu Xian mengangguk membenarkan. Perahu kecil
itu mulai bergerak, begitu pula mata Xu Xian.
Perlahan ia mengalihkan pandangan dari pepohonan
ke beberapa rumah yang mengapung di tepian danau.
Betapa indahnya, pikir Xu Xian.
Apabila kunjungannya ke pemakaman selesai lebih
cepat dan hari masih siang, ia akan kembali untuk
menikmati pemandangan Danau Barat ini barang
sebentar, sebelum kembali ke kota. Niat semacam ini
masih memenuhi benaknya pada saat ia kembali dari
makam siang harinya sekitar pukul tiga atau empat.
Dan karena tidak ada yang dapat dikerjakan, Xu
Xian mencari kedai minum, dan memesan seteko teh
sambil menghilangkan penat di kakinya. Kemudian
sambil membawa payungnya, ia keluar dari kedai dan
berjalan menyusuri sebuah lorong yang sempit.
Pada musim bunga dan musim gugur Danau Barat
selalu ramai dikunjungi orang, begitu pula pada hari
libur Qing Ming. Sebagian dari para pengunjung
datang dengan menunggang kuda, sebagian naik
tandu, dan sebagian lagi berjalan kaki menyelusup di
antara orang-orang yang mengalir datang tak habis-
habisnya.
Xu Xian berjalan sepanjang jalan kecil yang
menuju ke arah Gunung Go dan tiba di bawah
sekumpulan pohon. Di sampingnya terdapat sebuah
jembatan batu yang terentang di atas kelokan danau.
Ketika ia baru saja akan menyeberang, angin datang
dari timur dan berhembus ke arah pepohonan. Di
bawah salah satu pohon, ia melihat dua wanita muda
berdiri bersebelahan. Yang seorang berusia sekitar
sembilan belas tahun, mengenakan baju biru dan rok
sutera panjang berwarna putih. Yang seorang lagi
berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun,
mengenakan baju dan rok panjang berwarna hijau.
Kedua wanita itu menunjuk ke arah orang-orang
yang berlalu lalang. Sebagai seorang pria muda yang
mengenal sopan santun, Xu Xian menundukkan
mata dan kepalanya ketika berjalan melewati kedua
wanita itu.
Tiba-tiba wanita yang berpakaian putih menunjuk
ke langit dua kali. Xu Xian, yang saat itu sedang
berada di atas jembatan, melihat awan hitam muncul
dengan tiba-tiba. Semakin lama semakin banyak,
menggantung di atas kepala. Langit pun menjadi
gelap. Xu Xian memandang berkeliling. Awan telah
bergumpal di atas puncak-puncak gunung dari utara
ke selatan. Daun-daun saling bergesekan dan baju
Xu Xian berkibar-kibar oleh tiupan angin. Dalam
sekejap mata, hujan turun dengan lebat sehingga Xu
Xian terpaksa berlari mencari tempat berteduh.
Xu Xian membuka payungnya dengan cepat dan
bergegas kembali ke arah pepohonan. Badai saat itu
benar-benar aneh. Hujan yang datang dari arah
belakang, bagaikan anjing penjaga mengejar mangsa.
Karena bingung, orang-orang pun berlarian tak
menentu. Begitu pula yang sedang berjalan-jalan di
lereng gunung dan bermain air. Semuanya kalang-
kabut.
Karena lebatnya hujan, pepohonan bergoyang-
goyang dan air Danau Barat menjadi bergelora.
Selapis kabut hijau timbul di atas permukaan danau.
Hujan yang bertambah lebat bagaikan lapisan mi
yang berlapis-lapis, membuat pemandangan menjadi
kabur. Para pengunjung berlarian mencari tempat
berteduh di bawah pepohonan atau berdesak-
desakan mencari perahu yang kosong. Xu Xian
memandang dengan takjub ke sekitarnya. Namun ia
tak dapat terus berdiri di situ di bawah siraman
hujan. Ia mulai berpikir untuk mencari perahu yang
akan mengangkutnya pulang, karena hujan
tampaknya tak akan segera reda. Pada saat itu
seorang pria berjas hujan muncul dengan tiba-tiba,
mengayuh sebuah perahu kecil.
Xu Xian sangat bergembira melihatnya. Ia
menaikkan payungnya dan berseru, “Hai Tukang
Perahu, Apakah perahumu disewakan?”
Sambil mendayung perlahan-lahan, tukang perahu
itu menjawab dari balik topinya, “Ya, tetapi bayaran
yang saya minta agak lebih mahal dari biasanya.”
“Aku mengerti. Pada cuaca seperti ini, setiap orang
pasti lebih senang tinggal di rumah daripada
berbasah-basah disiram hujan dan badai. Kalau aku
menyewamu sampai ke Gerbang Qing Bo, berapa
ongkosnya?”
“Ongkosnya seratus tail saja.”
“Tidakkah itu terlalu mahal?” kata Xu Xian.
“Bagaimana kalau kurang sedikit, misalnya 70 tail?”
“Baiklah. Anda tampaknya orang jujur. Mari saya
antar hingga ke tujuan!”
Tukang perahu itu kemudian mendayung
perahunya hingga haluannya menyentuh tepian
sungai. Xu Xian segera melompat ke dalam perahu.
Setelah berada di atas haluan, Xu Xian menutup
payung dan mengibaskan bajunya. Kemudian ia
masuk ke bagian perahu yang beratap dan
meninggalkan payungnya di atas dek.
Bagian perahu yang beratap ini luasnya sekitar
dua tempat tidur. Dua papan diletakkan berjajar
sebagai tempat duduk. Sambil duduk di salah satu
papan, Xu Xian berkata, “Mari kita berangkat. Aku
sudah menyewa perahu ini, jadi kita tidak perlu
menunggu penumpang lain.”
“Tentu saja,” jawab tukang perahu. Ia merangkuh
dayung dan mulai mengayuh.
Tiba-tiba seseorang memanggil dari arah
pepohonan, “Perahu!”
Tukang perahu itu berpaling dan melihat dua
orang wanita, seorang berbaju putih dan lainnya
berbaju hijau basah kuyup disiram hujan. Keduanya
berteduh di bawah pohon yang tidak cukup luas
untuk berdua.
Tukang perahu berteriak, “Maaf Nona-nona.
Perahu ini tidak disewakan!”
“Dalam cuaca seburuk ini, tidak ada sebuah
perahu pun yang kosong,” keluh wanita yang
memanggil perahu. “Dan sekarang setelah yang
ditunggu tiba, kami tak dapat menyewanya! Padahal
ketika tadi melihat perahumu datang, kami mengira
Tuhan mengirimkannya untuk kami. Lihatlah! Kami
telah basah kuyup. Apakah engkau benar-benar tidak
dapat menolong kami?”
“Tetapi bagaimana bila kalian tidak searah?” tanya
tukang perahu. “Kami akan ke Gerbang Qing Bo. Ke
mana tujuan kalian berdua?”
“Kami juga ke Qing Bo.”
Dari bawah atap perahu yang tidak berdinding, Xu
Xian dapat melihat dengan jelas kedua wanita itu,
yang sebelumnya ia jumpai di jembatan Xi Leng. Ia
lalu berkata kepada tukang perahu, “Pak, menepilah.
Biarkan mereka menumpang. Aku kasihan melihat
mereka.”
Si tukang perahu segera berteriak untuk
memberitahukan bahwa mereka dapat menumpang.
Kemudian ia mendayung perahunya ke tepi.
Xu Xian berkata, “Pinjamkan payungku ini agar
baju mereka tidak basah, bila mereka harus berjalan
dari pohon ke perahu.”
Wanita yang berbaju hijau mendengarnya dan
mengerling ke arah yang berbaju putih. Kemudian
yang berbaju putih menjawab, “Terima kasih banyak.
Tetapi biar sajalah.”
Keduanya segera masuk ke dalam perahu. Air
hujan mengucur membasahi tubuh mereka. Di depan
ruangan perahu yang beratap rendah, keduanya
terpaksa duduk meringkuk. Namun bila mereka tetap
berdiri di atas dek, tubuh mereka pasti basah kuyup.
Karena kebingungan, mereka tak dapat segera
menentukan pilihan!
Melihat kesulitan dua gadis itu, Xu Xian berkata
dengan ramah. “Nona-nona, mendekatlah kemari Ada
dua bangku di sini. Silakan duduk. Dan karena aku
membawa payung, lebih baik akulah yang berdiri di
luar. Marilah masuk!”
Salah seorang dari kedua nona itu menjawab, “Oh,
jangan!” Yang seorang lagi menyambung, “Biarlah
kami berdua duduk di papan ini, agar Tuan dapat
duduk di papan lainnya.” Kemudian mereka masuk
ke ruangan beratap itu.
Xu Xian segera bangkit. Dengan sopan ia berkata,
“Tempat duduk ini terlalu sempit bagi kalian berdua.
Saya khawatir badan kalian akan pegal-pegal dan
tidak dapat duduk dengan santai.”
“Saya sudah pernah mengalami sesuatu yang lebih
buruk. Biar sajalah! Jangan pedulikan kami.”
“Ya, begitu pula bagi saya. Berteduh di bawah
pohon sungguh tidak menyenangkan! Dan kami
tentunya masih tetap akan berada di sana, kalau saja
perahu ini tidak lewat. Maka bila Tuan berkeras
berdiri di atas dek, berarti kami berdua telah
menyusahkan Tuan!”
“Baik, terserah kalian,” kata Xu Xian sambil
membungkuk dengan hormat. Kedua wanita itu balas
mengangguk, melangkah ke bangku lalu duduk
berdampingan, menghadap ke arah Xu Xian. Dengan
mata memandang ke lantai perahu, Xu Xian berpikir
apakah kedua wanita ini bermaksud menghormati
dirinya. Sebab, keduanya duduk menghadap ke
arahnya, bukan memunggunginya. Ia duduk dengan
tenang, tak berani berkata-kata.
Tak lama kemudian, hujan mulai mereda dan
tukang perahu tetap mendayung perlahan. Kedua
wanita itu melihat bahwa Xu Xian selalu
menundukkan kepalanya. Wanita yang berbaju putih
berbisik, “Xiao Qing, pria ini benar-benar sopan. Kita
beruntung dapat menumpang di kapal ini, tetapi
rasanya tidak sopan bila kita tidak mengetahui
namanya.”
Xiao Qing mengangguk, dan berkata. “Aku akan
menanyakannya.” Ia lalu berpaling ke arah Xu Xian.
“Maaf, kami belum mengetahui nama Tuan. Sungguh
tidak pantas bila kami tidak mengetahuinya, padahal
Tuan telah menyelamatkan kami di saat badai.”
Barulah kemudian Xu Xian berani mengangkat
kepalanya dan menjawab sambil tersenyum, “Oh,
jangan hendaknya saya dikenang sebagai ‘Penyelamat
di Saat Badai’. Nama saya Xu Xian.”
“Ah, Xu Xian. Apakah Tuan berasal dari daerah
ini?”
“Ya, saya berasal dari Qian Tang.”
“Apakah orangtua Tuan masih hidup?”
“Tidak, saya yatim piatu. Sesungguhnya saya baru
pulang dari mengunjungi makam mereka.”
“Apakah Tuan memiliki saudara laki-laki?”
“Tidak, saya hanya memiliki seorang kakak
wanita.”
Ketika mereka berbicara, Xu Xian melihat ke arah
wanita yang satunya, yang berbaju putih. Ia memiliki
bentuk tubuh yang sangat indah dan sepasang mata
elok yang bersinar tajam. Rambutnya yang berhias
bulu burung digelung berbentuk sanggul, tidak
dibiarkan tergerai, sehingga terlindung dari air hujan.
Adapun Xiao Qing, walaupun berpenampilan seperti
petani, ia tampak terpelajar. Berbeda dengan teman
seperjalanannya, gadis itu memiliki wajah bulat telur
dan murah senyum. Ia juga lebih banyak berbicara
dan tidak henti-hentinya mengajukan pertanyaan
kepada Xu Xian.
“Apa pekerjaan Tuan?”
“Saya bekerja di bagian keuangan di sebuah toko
obat.”
“Berapa usia Tuan?”
“Dua puluh tahun,” jawab Xu Xian tanpa merasa
terganggu dengan pertanyaan Xiao Qing yang bertubi-
tubi.
Mendengar jawaban ini, Xiao Qing menjawab,
“Kalau begitu usia Tuan kira-kira sama dengan usia
kakak1 saya ini. Usia Tuan dua puluh tahun. Pasti
Tuan sudah menikah. Berapa usia istri Tuan?”
“Sekalipun usia saya sudah dua puluh tahun,
hidup saya masih tergantung pada kakak dan
suaminya, bahkan tinggal serumah dengan mereka.
Jadi bagaimana mungkin saya menikah!” jawab Xu
Xian dengan mata bersinar.
Xiao Qing berpaling ke arah saudaranya yang
menunduk malu, memandang pakaiannya yang
basah. “Kakak saya tidak tahu apa yang harus ia
katakan. Apakah Tuan ingin menanyakan sesuatu
kepadanya?”
“Ya,” jawab Xu Xian. “Siapa namanya?” tanyanya
tanpa berpikir panjang, tak tahu apa yang harus ia
tanyakan. Yang ditanya melirik dan tersenyum.
Namun Xiao Qing tidak memberi kesempatan
kepada saudaranya untuk menjawab.
“Namanya Bai Shu-zhen. Kami berasal dari Sizhou
dan majikan kami adalah pemimpin Chuzhou.

1 Penggunaan kata 'kakak' atau 'adik' antara Bai Su-zhen dan Xiao Qing
menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat akrab, walaupun
mereka tidak benar-benar bersaudara kandung. Di Cina orang sering
saling mengangkat saudara dan menyayangi kawan seperti layaknya
orang bersaudara.
Sayangnya, majikan dan istrinya sudah meninggal,
jadi tidak ada lagi yang menjaga kami. Semasa
hidupnya, majikan kami tinggal di sebuah rumah di
Hangzhou, dan mengajak kami tinggal bersamanya.
Di sana kami membantu mengurus rumah tangga
majikan. Kami tidak mempunyai saudara lain di
sana. Nah! Kami telah menceritakan semuanya
kepada Tuan. Apakah Tuan masih ingin bertanya?”
Dengan rendah hati Xu Xian menjawab, “Kalian
adalah keluarga bangsawan. Maafkan kebodohan
saya.” Ia berdiri dan membungkukkan badannya. Bai
Shu-zhen membalas penghormatan itu. “Jika kalian
berdua tidak mempunyai saudara dan kenalan,
tentunya kalian merasa kesepian di Hangzhou,”
lanjut Xu Xian sungguh-sungguh.
Bai Su-zhen menarik napas panjang.
Xiao Qing berkata sambil menggoda, “Tuan Xu,
Anda dan kakak saya sama-sama bernasib malang.”
“Ya,” kata Xu Xian sambil mengangguk, “Saya
memang kurang beruntung.”
Hujan semakin reda dan berganti dengan gerimis.
Kumpulan pepohonan di tepi pematang Su Bo mulai
terlihat, karena uap kabut mulai menghilang dari
Danau Barat. San Tan Yin Yue dan Ruan Gong Dun
pun tampak di cakrawala. Rintik gerimis masih
menetes di atas perahu. Selapis kabut yang indah
menebar di atas air danau.
Xiao Qing berseru, “Danau Barat memang luar
biasa! Pemandangan sebelum dan sesudah hujan
sangat berbeda. Tuan Xu, maukah Anda duduk di
sini sebentar bersama kami untuk menikmati
pemandangan yang indah ini?”
“Kabut masih tebal. Sebaiknya kita pulang saja.
Hari ini saya mendapat cuti sehari penuh. Saya
berpikir sebaiknya saya segera pulang untuk
menghindari teguran majikan.”
Bai Su-zhen mengangguk tanda setuju. Sementara
mereka berbicara, perahu telah tiba di Gerbang Qing
Bo. Ketika kemudian tukang perahu menepikan
perahunya, Bai Su-zhen mengambil uang dari
sakunya dan memberikannya kepada Xiao Qing.
Sambil mengulurkannya kepada tukang perahu, Xiao
Qing berkata, “Karena Tuan Xu menyewa perahu
sebanyak 70 tail, kami berdua ingin menambahnya
30 tail. Jadi jumlah seluruhnya 100 tail untuk kami
bertiga. Hitung, Pak!”
Mendengar kata-kata Xiao Qing, Xu Xian
berpaling. “Hai!” serunya. “Jangan terima uangnya,
Pak! Aku tidak ingin mereka membayar ongkos
sewanya.”
Bai Su-zhen berusaha meyakinkan Xu Xian, “Tidak
apa-apa Tuan, jangan khawatir.”
Tukang perahu memeriksa uangnya dan berkata,
“Saya tidak perduli siapa yang akan membayar. Yang
penting uangnya cukup.”
“Kalau begitu baiklah. Terima kasih banyak!” kata
Xu Xian.
Tukang perahu menambatkan perahunya pada
sebatang pohon di tepian danau. “Kita telah sampai.
Silakan turun.”
Xu Xian melirik ke arah Bai Su-zhen yang sedang
menunjuk kembali ke arah langit sebanyak dua kali.
Sekalipun Xu Xian tidak memahami maknanya, ia
diam saja.
“Kakak, hari masih hujan. Apa yang akan kita
lakukan sekarang?” tanya Xiao Qing kepada Bai Su-
zhen.
“Ambillah payung saya ini. Pasti cukup besar
untuk kalian berdua,” kata Xu Xian.
“Tapi bagaimana dengan Anda?” tanya Bai Su-
zhen.
“Jangan khawatir. Tempat tinggal saya sudah
dekat.”
Setelah mengucapkan terima kasih, Xiao Qing
mengambil payung itu dari tangan Xu Xian, lalu
berjalan ke luar dari ruang perahu yang beratap itu
diikuti oleh Bai Su-zhen. Tiba-tiba Bai Su-zhen
menoleh kepada Xu Xian dan berkata, “Di mana toko
Anda, Tuan Xu, agar kami dapat mengantarkan
payung Anda besok pagi?”
“Jangan khawatir. Kalau tidak berhalangan, biar
saya yang mengambilnya. Di mana Anda tinggal?”
“Di luar Gerbang Qing Bo, di samping Qian Wang
Ci. Di sana ada sebuah pintu merah dengan secarik
kertas putih di atasnya. Itu rumah kami. Kami akan
menanti Anda, Tuan.”
Xu Xian berkata penuh semangat, “Baik!
Walaupun hari hujan, saya akan ke sana.”
Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya, kemudian
berjalan ke atas dek sementara Xiao Qing
memayunginya. Sejenak mereka berdiri tak bergerak
di atas dek perahu. Tetesan hujan belum juga
berhenti, airnya bergulir di atas payung dan turun ke
tanah.
“Pukul berapa Anda akan datang, Tuan Xu?” kata
Xiao Qing.
“Besok sore”
“Jadi, besok sore, hujan ataupun panas Anda akan
datang. Kami akan menanti Anda.” Bai Su-zhen
tersenyum sambil memandang ke dalam perahu.
“Saya pasti datang,“ kata Xu Xian seraya bangkit
dari tempat duduknya.
Kedua wanita itu melompat ke darat. Sambil
berjalan berdekatan, mereka segera pergi di bawah
rintik air hujan dan hembusan angin.
Xu Xian juga segera meninggalkan tempat itu. Di
bawah siraman hujan gerimis, ia tiba di bawah
Gerbang Qing Bo dan berlari pulang. Badannya basah
kuyup. Walaupun baju barunya basah dan kusut,
hati Xu Xian sangat gembira karena akan bertemu
kembali dengan kedua wanita itu esok harinya.
Sebenarnya ia ingin menceritakan pengalamannya
kepada kakak dan iparnya, namun karena takut
mereka akan menghujaninya dengan pertanyaan,
akhirnya Xu Xian memutuskan untuk
menyimpannya. Semalaman ia tidak dapat
memicingkan mata, memikirkan kedua wanita itu.
BAB 2

K eesokan harinya, matahari bersinar cerah. Bai


Su-zhen duduk seorang diri. Ia sedang memasang
sebatang bambu pada serumpun bunga mawar di
dalam pot di halaman rumahnya. Karena asyiknya, ia
tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Xiao
Qing diam-diam datang membawa secangkir teh.
Minuman itu kemudian diletakkannya di atas meja di
hadapan Bai Su-zhen.
“Kau pasti sedang berpikir, apakah ia benar-benar
akan menepati janjinya, bukan?” tanya Xiao Qing
lembut.
Sambil menatap Xiao Qing, Bai Su-zhen menjawab.
“Tuan Xu pasti datang. Ia tidak seperti yang lain. Aku
yakin ia dapat memegang janji.”
“Hujan yang kauciptakan kemarin benar-benar
membantumu untuk meminjam payungnya.”
“Ya! Itu harus kulakukan. Anggur minuman sudah
kausiapkan?”
“Tidak perlu engkau risaukan. Apakah engkau
takut ia tak datang hari ini?”
“Ia pasti datang.”
“Kakak, ingatlah. Walaupun kaukatakan Xu Xian
orang baik-baik, kau harus sanggup menguasai
perasaanmu.”
“Xiao Qing, Aku tahu! Bukankah telah kukatakan
bahwa ia adalah orang baik-baik. Ia tidak berani
memandang wajah kita dan selalu menundukkan
kepalanya. Ia selalu menjawab segala pertanyaan kita
dengan jujur. Ketika kutanyakan berapa saudaranya,
ia menjawab bahwa ia hanya mempunyai seorang
kakak perempuan. Ia juga tidak berdusta, ketika
kautanyakan apakah ia sudah menikah. Dengan
terus terang ia berkata bahwa ia belum sanggup
berdiri sendiri apalagi menghidupi keluarga.
Tidakkah itu jawaban yang jujur? Dan ketika ia
meminjamkan payungnya kepada kita ia tidak
mengatakan akan mengambilnya kembali; apalagi
menanyakan alamat kita. Setelah kukatakan bahwa
kita akan mengembalikan payung itu ke rumahnya,
baru ia berani menanyakan alamat kita agar dapat
mengambil kembali payungnya. Xu Xian berkata
jujur. Ia bukan pula seorang yang pandai menjual
kata-kata. Jadi aku benar-benar mempunyai alasan
cukup untuk mempercayainya.”
Setelah mendengar kata-kata Bai Su-zhen, Xiao
Qing menyadari bahwa kakaknya tidak lagi ragu-
ragu. “Bila sebesar itu keyakinanmu, tak ada
gunanya aku berbicara lebih banyak lagi.”
“Jalan masuk sudah disapu bersih?”
“Sudah, sudah kubersihkan tadi,” jawab Xiao Qing
meyakinkan saudaranya.
“Sayur-sayuran segar sudah kaubeli?”
“Semua perintahmu telah kukerjakan! Masihkah
ada yang harus kukerjakan? Katakan segera.”
Bai Su-zhen meneguk teh yang disiapkan oleh Xiao
Qing untuknya, sambil memandang daun teh yang
mengambang di dalam cangkir. Xiao Qing tahu
bahwa saudaranya sedang berpikir. Ia berdiri diam di
samping tanpa berbicara.
“Apa lagi yang kautunggu?” tanya Bai Su-zhen
sambil mengangkat kepalanya.
“Tidakkah baru saja kukatakan bahwa aku
menunggu perintahmu?” jawab Xiao Qing dengan
sabar.
“Kau telah mempersiapkan segalanya dengan
sempurna. Aku tak menemukan kekurangan sekecil
apa pun,” kata Bai Su-zhen dengan lembut. Matanya
berpendar-pendar. “Buatlah agar kehadirannya di
rumah ini benar-benar menyenangkan hatinya.”
Xiao Qing menghela napas lalu meninggalkan
halaman. Sambil melirik dari balik bahunya, ia
meringis dan bergumam, “Siapa sebenarnya laki-laki
itu, Kakak?”
Bai Su-zhen kembali menundukkan kepalanya. Ia
tersenyum kecil.
“Aku akan melihat ke luar,” kata Xiao Qing. “Kalau
Xu Xian tiba, akan kubawa ia ke sini.”
Setelah Xiao Qing ke luar, Bai Su-zhen meletakkan
cangkirnya. Ia berjalan mengelilingi ruangan sambil
terus berpikir. “Aneh! Mengapa aku tak henti
memikirkan Xu Xian sejak melihatnya untuk pertama
kali? Ia benar-benar cocok bagiku. Umurnya dua
puluh, dan di atas segala-galanya, kejujurannya
sungguh mengesankan. Jika nanti aku dapat
menyambutnya dengan baik, ia pasti bersedia
menikahiku.”
Ketika Bai Su-zhen sedang berkhayal bagaimana
memikat hati pria idamannya, matanya terpaku pada
sebuah jambangan bunga yang berisi bunga mawar
berwarna merah tua. Harumnya semerbak
memabukkan. “Seandainya saja ia mau memetik
sekuntum bunga ini, dan menyematkannya di
rambutku, bunga ini pasti akan menjadi lebih indah!”
lamunnya.
Tiba-tiba ia merasa khawatir, seseorang akan
menganggapnya aneh karena melihatnya berputar-
putar dalam ruangan. Bai Su-zhen pun
menghentikan langkahnya. Ia lalu memandang ke
luar jendela. Matahari yang saat itu hampir terbenam
bersinar ke arah timur. Debu-debu beterbangan.
“Seharusnya ia sudah datang sekarang,” pikirnya
dengan tak sabar.
Di tokonya, sementara bekerja pun Xu Xian tidak
dapat melupakan Bai Su-zhen. Ia tak sabar
menunggu datangnya petang. Setelah toko tutup, ia
bergegas pulang dan berganti baju. Kepada
kakaknya, Xu Xian berkata bahwa ia akan
berkunjung ke rumah sahabatnya.
Xu Xian tiba di Gerbang Qing Bo. Tepat seperti
yang telah dikatakan oleh Bai Su-zhen, ia melihat
sebuah pintu merah yang masih baru dan di atasnya
melekat secarik kertas putih. Sejenak Xu Xian berdiri
dengan ragu-ragu di luar bangunan itu. Belum
pernah ia berkunjung ke rumah sebesar ini.
“Jadi di sinilah mereka tinggal! Penghuninya pasti
kaya raya. Aku tak akan berani masuk.” Ia pun
menjadi ragu untuk mengetuk pintu. Namun, tiba-
tiba pintu itu terbuka. Xu Xian berdiri terpaku
karena merasa takut. Hampir saja ia melangkah
pergi.
“Xu Xian, apakah Anda baru saja tiba?” kata Xiao
Qing menyambut dengan gembira. Xu Xian berhenti
melangkah dan mengatur sikapnya.
“Kakak saya khawatir Anda tidak dapat
menemukan rumah ini,” kata Xiao Qing sambil tetap
berdiri di pintu. “Itu sebabnya ia memintaku untuk
melihat ke luar, jangan-jangan Anda sudah tiba. Mari
silakan masuk! Ia sudah lama menunggu kedatangan
Anda!”
Xiao Qing menarik Xu Xian ke dalam sebuah
lorong. Di ujung lorong itu, ia melihat sebuah
jambangan besar penuh bunga. Di belakangnya,
terhampar halaman yang luas, sarat dengan
pepohonan dan tanaman bunga. Dua buah pohon
yang rindang berdiri tegar mengapit pintu masuk.
Di sebelah kiri terdapat serumpun bambu yang
berbentuk seperti jendela. Tempat itu sangat bersih.
Tidak ada sehelai daun pun tergeletak di lantai. “Xu
Xian telah datang,” kata Xiao Qing sambil menyibak
kain pintu.
Xu Xian berdiri di sebuah ruang tamu yang luas.
Ruangan itu berisi sebuah tempat tidur kayu berukir.
Di atasnya terdapat sebuah kasur bersulam. Di
samping tempat tidur, terdapat sebuah meja yang
juga berukir. Di dekat meja, terdapat enam kursi
besar yang mengelilingi empat meja teh. Semuanya
berukir indah. Di sebelah kanan, terdapat sebuah
meja kecil dari kayu cendana. Meja ini dikelilingi oleh
empat buah kursi dengan tempat duduk bersulam
yang empuk. Di sebelah kiri, terdapat sebuah harpa
yang besar dan sebuah meja kecil.
Di atas meja kecil itu, ada jambangan yang berisi
bunga-bunga yang sangat indah. Di tengah ruangan
terdapat sebuah meja kecil panjang. Meja itu
dipenuhi dengan pot-pot dan jambangan-jambangan
bunga dari batu koral dan akik. Sebuah lukisan
kaligrafi tergantung di dinding. Xu Xian berdiri
terpaku. “Melihat pajangan rumahnya, aku yakin
Keluarga Bai ini benar-benar hartawan,“ katanya
pada dirinya sendiri.
Bai Su-zhen masuk ke dalam ruangan dengan
anggun. Lamunan Xu Xian pun terputus. “Selamat
datang! Sudah lama saya menanti kedatangan Anda.”
“Maafkan saya. Hari ini banyak langganan yang
datang ke toko. Saya tidak dapat pulang lebih awal.
Saya harap Anda mau mengerti, karena toko itu
bukanlah milik saya.”
“Anda pasti lelah. Silakan duduk,” kata Bai Su-
zhen dengan ramah.
Xu Xian duduk di salah satu kursi yang besar, Bai
Su-zhen di hadapannya. Xiao Qing masuk membawa
dua cangkir teh di atas sebuah baki dan
meletakkannya di atas meja.
“Karena tidak mempunyai keluarga di sini,” kata
Bai Su-zhen menjelaskan, “Kami harus cepat-cepat
mencari tempat tinggal. Itu sebabnya rumah ini
belum benar-benar rapi dan hiasannya pun sangat
bersahaja.”
“Oh, tetapi ini pun sudah sangat indah,” kata Xu
Xian. “Seumur hidup, belum pernah saya melihat
rumah seindah ini.”
“Anda pasti belum makan. Saya harap Anda tidak
berkeberatan untuk mencicipi masakan yang telah
saya siapkan.”
“Oh, jangan terlalu merepotkan diri.”
“Tuan Xu,” kata Bai Su-zhen dengan rendah hati,
“Karena tidak ada seorang pria pun di sini, maka
saya sendirilah yang harus mengatur segalanya.
Tetapi kadangkala hasilnya kurang memuaskan,
seperti masakan yang saya siapkan khusus bagi
Anda. Bila nanti hidangannya kurang memenuhi
selera, jangan hendaknya ditertawakan.”
“Saya tidak akan melakukannya.”
Kemudian Xu Xian diajak ke bagian timur rumah
itu. Di ruangan ini, lilin sudah dinyalakan dalam dua
buah tempat lilin yang besar. Meja makan diatur
untuk tiga orang. Ada sebuah kursi besar
bersandaran di ujung meja.
“Tuan Xu, silakan duduk di ujung meja,” kata Bai
Su-zhen. “Adik saya akan duduk di sebelah
kananmu, dan saya di sebelah kirimu.”
Setelah mereka duduk, seorang pelayan wanita
datang. Xu Xian sekilas memperhatikan peralatan
makan, seluruhnya terbuat dari bahan porselin
pilihan. Namun, ia tidak dapat melihat piring makan.
Xiao Qing menuangkan anggur dari sebuah tempat
anggur yang sangat indah.
“Cangkir ini terlalu besar. Saya hanya minum
sedikit,” kata Xu Xian cepat-cepat.
Sambil memandang Bai Su-zhen penuh arti, Xiao
Qing menjawab, “Anda harus minum lebih banyak.
Kami sengaja membuatnya kemarin untuk
menyambut kedatangan Anda, yang sepantasnya
kami rayakan.”
“Tetapi, saya harus bangun pagi-pagi sekali. Kalau
saya mabuk, saya akan terlambat datang di tempat
kerja. Apa yang harus saya katakan kepada
majikan?” sanggah Xu Xian.
“Tuan Xu benar,” kata Bai Su-zhen. “Minumlah
sebanyak Anda suka.” Kemudian ia mengangkat
gelasnya ke arah Xu Xian. “Untuk kesehatan Anda,
Tuan Xu. Dan terima kasih untuk segala kebaikan
dan bantuan Anda kemarin. Tanpa payung, mudah-
mudahan Anda tidak demam.”
Xu Xian meneguk anggurnya dan tersenyum,
“Sama sekali tidak.”
“Apakah toko Anda masih sibuk sekarang ini?”
“Ya, Kami tidak mempunyai cukup banyak waktu
untuk beristirahat.”
“Pasti gaji Anda besar,” kata Bai Su-zhen ingin
tahu.
“Sebaliknya. Gaji saya sedang-sedang saja.”
“Kalau begitu, sebaiknya Anda membuka toko
sendiri.”
“Tampaknya Anda kurang dapat memahami betapa
sulitnya mencari uang saat ini!” keluh Xu Xian. “Saya
telah bekerja dengan baik, dan tidak pernah
membuat gusar majikan. Namun, dari mana saya
dapat memperoleh uang cukup sebagai modal?”
“Yah! Siapa tahu ada seseorang yang bersedia
membantu.”
Xiao Qing menoleh kepada Bai Su-zhen, dan
berkata, “Tuan Xu, silakan ambil sendiri makanan
dan minumannya. Masih banyak waktu untuk
berpikir, dari mana Anda dapat memperoleh uang
itu.”
“Mudah-mudahan,” jawab Xu Xian.
“Pertolongan Anda kemarin sungguh sangat...”
kata Bai Su-zhen dengan bimbang.
“...sangat kebetulan” sambung Xiao Qing.
Xu Xian tak berani menafsirkan kata-kata mereka.
Ia memusatkan perhatiannya kepada minumannya.
Sekilas dipandangnya wajah kedua wanita itu,
namun ia belum juga menemukan jawaban yang
dicarinya.
Bai Su-zhen berkata, “Tuan Xu, apa yang paling
membahagiakan Anda?”
“Menurut pendapat saya, tidak ada yang paling
menyenangkan selain bercakap-cakap dengan kawan-
kawan. Bagaimana dengan Anda?”
Bai Su-zhen ragu-ragu sebentar. Sambil
memainkan sumpitnya, ia tersenyum sedikit. “Teh
sudah menjadi dingin,” katanya. “Biar saya buatkan
seteko lagi yang hangat. Xiao Qing akan menemani
Anda berbincang-bincang.”
Kemudian ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke
pintu keluar sambil tersenyum penuh arti kepada
Xiao Qing. Melihat isyarat Bai Su-zhen, Xiao Qing lalu
berkata, “Anggurnya hampir habis. Saya akan
mengambilnya lagi.”
“Sudahlah. Di sini pun masih banyak,” kata Xu
Xian.
Xiao Qing mengambil guci anggur, tertawa dan
berjalan ke luar. “Jangan khawatir, Anda tidak akan
mabuk,” katanya.
Di luar ruangan, Xiao Qing bertemu dengan Bai
Su-zhen yang memang sedang menunggunya. Ia
menyapa Bai Su-zhen dengan wajah menggoda,
“Apakah Tuan Xu harus segera diusir?” Bai Su-zhen
merapatkan bibirnya. Ia merasa malu.
Xiao Qing terus menggoda, “Apakah kau tidak
ingin ia tinggal di sini?”
Pipi Bai Su-zhen me.nerah, “Adik, jangan goda
aku. Kau tahu benar bagaimana perasaanku. Aku
mengharapkan bantuanmu.”
Xiao Qing mencibir dan berkata, “O, jadi aku harus
menjadi Mak Comblang bagi kalian berdua? Baiklah,
berapa bayaranku?”
Sambil menarik Xiao Qing ke dekatnya, Bai Su-
zhen membisikkan rencananya di telinga Xiao Qing.
Xu Xian mulai merasa bosan ketika Xiao Qing
kembali ke ruangan. Ia bergegas mengisi gelas Xu
Xian yang hampir kosong. Tetapi Xu Xian bangkit.
“Terima kasih, tetapi saya harus segera pergi. Rumah
saya jauh. Hari sudah larut malam.”
Tanpa mendengar jawaban Xu Xian, Xiao Qing
tetap mengisi gelas Xu Xian dan menyuruhnya duduk
kembali. “Jangan terburu-buru. Kami dapat
meminjamkan lentera kepada Anda. Ada yang ingin
saya bicarakan dengan Anda.”
“Baiklah,” kata Xu Xian dengan sopan.
“Tuan Xu, usia Anda sudah 20 tahun, tetapi
mengapa Anda belum menikah?” tanya Xiao Qing
sambil meneguk anggur dan memperhatikan wajah
Xu Xian.
“Saya orang miskin. Wanita manakah yang mau
menikah dengan orang seperti saya!” jawab Xu Xian.
“Saya dapat mencarikan seorang calon istri untuk
Anda,” kata Xiao Qing.
“Jangan bergurau. Bagaimana mungkin, orang
semiskin saya dapat memperoleh seorang istri?”
“Ikuti saja saran saya. Masalah uang tidak perlu
Anda risaukan.”
“Mana mungkin?,” kata Xu Xian tidak percaya.
“Mengapa tidak? Kakak saya Bai Su-zhen juga
berumur 20 tahun, dan ia masih seorang diri. Ia
mendambakan pria jujur yang taat kepada hukum. Ia
juga menyukai pria yang tidak gemar berbicara.
Kemarin, ketika kita bertemu, ia langsung jatuh cinta
kepada Anda.”
Xu Xian menjadi bingung, “Bagaimana mungkin
kami menikah?”
“Tuan Xu, duduklah dan dengarkan saya. Apakah
Anda bersedia menikahinya?”
“Tentu saja saya ingin menikahinya. Tapi saya
sangat miskin. Untuk menikah, paling tidak saya
butuh uang sebanyak dua ratus tail. Dari mana dapat
saya peroleh uang sebanyak itu?” Kata Xu Xian
dengan sedih.
“Bukankah sudah saya katakan bahwa hal itu
tidak perlu Anda risaukan? Jika Anda setuju, saya
akan menyediakan uang itu dan mengatur
perkawinan Anda. Tenang-tenang sajalah.”
Xu Xian menggelengkan kepalanya dengan rasa
tidak percaya. “Saya pasti sedang bermimpi,”
gumamnya.
“Anda tidak bermimpi. Semua yang saya katakan
benar adanya,” kata Xiao Qing, tidak sabar.
Xu Xian berdiri dan mengangguk hormat. “Terima
kasih. Tetapi aku sedang berpikir, apa yang dapat
kuberikan kepada calon istri saya nanti?”
Xiao Qing menjawab, “Itu pun sudah saya
pikirkan.”
“Anda sungguh baik hati. Saya hanya mampu
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Anda. Tetapi terlebih dahulu saya harus
memberi tahu kakak dan suaminya mengenai berita
gembira ini. Baru setelah itu kita dapat menetapkan
hari perkawinan.”
“Oh, itu tidak perlu,” tukas Xiao Qing. “Saya akan
mengatur ruangan ini dan Anda dapat menikah di
sini. Bagaimana?”
Xu Xian memandang ke sekitarnya. “Kalau benar
demikian, saya setuju,” katanya.
“Karena kita tidak perlu lagi meminta izin kepada
siapa pun, Bai Su-zhen akan segera saya panggil agar
pernikahan kalian dapat segera dilangsungkan.”
Xiao Qing memanggil kakaknya yang kemudian
datang dengan kepala tertunduk, lalu duduk di depan
mereka.
Xu Xian berdiri, sambil mengetuk-ngetuk meja ia
berkata dengan terbata-bata, “Begini adik, Anda
mengatakan...ia mengusulkan...dan saya
berpendapat, gagasannya benar-benar cemerlang!”
“Kakak,” kata Xiao Qing dengan suara tegas, “Kami
telah mengatur pernikahanmu. Tuan Xu menyangka
ia sedang bermimpi. Kau masih ingin menyatakan
sesuatu?”
Bai Su-zhen berdiri dan berkata dengan lembut,
“Tuan Xu, saya sangat berterima kasih Anda bersedia
menjadi suami saya. Anda pasti bertanya-tanya
mengapa saya memilih Anda dan bukan pria lain
yang lebih kaya dan berpangkat. Karena mempunyai
cukup uang, saya tidak membutuhkan pria kaya
yang berkedudukan. Saya hanya menginginkan pria
yang memiliki kejujuran. Namun karena semuanya
hanya pandai bermanis-manis di muka dan
berkhianat di belakang punggung, saya tidak
berminat menerima lamaran mereka. Yang saya
inginkan adalah pria yang jujur dan berkata apa
adanya seperti Anda.”
“Tetapi dengan keadaan saya yang seperti ini, saya
takut Anda nanti akan malu karenanya,” kata Xu
Xian sambil menundukkan kepala.
“Asal Anda berlaku baik. Itulah yang terpenting
bagi saya. Menurut Xiao Qing...” Bai Su-zhen
menoleh ke arah saudaranya sambil menunduk
malu.
“Malam ini indah sekali. Mari kita segera
laksanakan upacara perkawinan kalian,” kata Xiao
Qing dengan tegas.
Xiao Qing mengajak keduanya untuk berdoa
kepada dewa-dewa dan memulai upacara
perkawinan. Ditanggalkannya sebuah selendang
merah dari pinggangnya, lalu diberikannya kepada
Bai Su-zhen dan Xu Xian. Dimintanya mereka
memegang selendang itu, masing-masing di salah
satu ujungnya. Dengan dipimpin oleh Xiao Qing,
mereka membaca mantra-mantra perkawinan, dan
berjalan ke kamar pengantin.
Xiao Qing segera meninggalkan ruangan setelah
sejenak menggoda kakaknya. Bai Su-zhen
mengejarnya ke luar, lalu berbisik. “Terima kasih
banyak, engkau telah menikahkan kami. Tetapi
masih ada sesuatu yang kubutuhkan. Bersediakah
engkau membantuku?”
“Ya, katakan segera.”
Karena takut terdengar oleh Xu Xian, Bai Su-zhen
mengajak Xiao Qing menjauh.
“Sekarang aku sudah menikah. Kita tidak akan
kembali lagi ke E Mei. Namun, kami berdua
memerlukan uang untuk membiayai rumah tangga
dan membuka usaha. Padahal Xu Xian tidak
mempunyai tabungan. Bagaimana caranya
mendapatkan uang?”
“Kau pasti sudah gila!” jawab Xiao Qing sambil
tertawa. “Aku juga orang baru di sini dan tidak punya
kenalan seorang pun. Bagaimana aku dapat mencari
uang. Jika kau membutuhkan uang, aku terpaksa
mempergunakan ilmu sihir.”
Setelah berpikir sejenak, Bai Su-zhen menjawab.
“Aku tahu. Tapi kalau kita menciptakan uang palsu
dan akhirnya ketahuan, kita sendirilah yang celaka.
Lebih baik kita pinjam saja dari Bendahara Kota. Di
sana tak seorang pegawai pun bekerja jujur. Mereka
senang memeras rakyat. Lebih baik kita mengambil
uang mereka.”
Kemudian Xiao Qing pergi, dan Bai Su-zhen
kembali ke kamar pengantin.
Xiao Qing lalu terbang ke kantor Bendahara Kota
dan masuk menembus dinding gedung tempat
penyimpanan uang. Ia memandang ke sekitarnya.
Keadaan sangat sunyi, tidak ada seorang pun di
sana. Xiao Qing melihat sebuah ruangan yang kokoh
dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat.
Dengan perlahan ia mengetuk dinding ruangan itu.
Tiba-tiba tampak sebuah lubang. Xiao Qing segera
memasukkan tangannya ke dalam ruangan lewat
lubang itu, dan diambilnya segenggam penuh emas
batangan. Kemudian, Xiao Qing mengarahkan
telunjuknya kembali kepada lubang itu. Lubang itu
menghilang, dan dindingnya kembali seperti sedia
kala.
Esok harinya Xiao Qing menyerahkan emas-emas
itu kepada Bai Su-zhen. Semuanya ada 60 batang
emas. Bai Su-zhen tertawa gembira. “Untuk
mengangkat emas sebanyak ini, paling tidak
dibutuhkan dua orang kuli.”
Pada saat yang sama, di kantor kas kota,
Bendahara, dikejutkan oleh hilangnya uang sebanyak
tiga ribu tail emas. Ia lalu sibuk mencari dalih
hilangnya uang itu.
BAB 3

P ada hari setelah pernikahan, matahari bersinar


cerah. Xu Xian terbangun. Dari tempat tidur ia
melihat Bai Su-zhen sedang duduk di depan meja
hias menyisir rambut. Pada saat itu, matahari
menyinari dinding putih bagian barat. Di sebelah
dinding terdapat bunga-bunga indah dan dedaunan
yang hijau segar. Betapa indah pemandangan yang
dilihatnya. “Pemandangan sangat indah, bukan?”
kata Bai Su-zhen sambil memandang ke luar jendela.
“Aku tidak melihatnya. Aku sedang asyik
memperhatikanmu menyisir rambut. Dan itu jauh
lebih indah dari pemandangan di luar.”
“Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya
pujangga menulis puisi tentang wanita yang menyisir
rambutnya.”
“Aku tidak bicara soal puisi dan pujangga. Aku
hanya senang melihatmu menyisir rambut.”
“Benarkah? Jika kau mau, aku akan mengubah
tata rambutku. Bagaimana pendapatmu?”
“Aku suka semua tata rambut yang kaupilih.”
“Ini adalah kata-kata suami yang mencintai
istrinya. Mudah-mudahan kau selalu demikian
kepadaku.”
“Aku bersumpah akan selalu menyayangimu,” kata
Xu Xian bersungguh-sungguh.
“Tak perlu bersumpah. Aku percaya. Bagaimana
kalau rambutku disanggul saja?”
“Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kau
mengatur rambut,” kata Xu Xian sambil bangkit dari
tempat tidur.
“Nah, lihatlah kemari...begini caranya.” Bai Su-
zhen lalu mengangkat dan menekuk rambutnya ke
atas dengan rapi.
Xu Xian yang berdiri di sebelahnya berkata. “Indah
sekali.” Keduanya lalu tertawa gembira.
“Ya, memang indah. Tetapi pada musim panas
seperti ini, biasanya orang tidak memakai tusuk
konde dari tulang. Aku akan mencari bunga-bunga
berwarna merah untuk hiasan rambutku,” kata Bai
Su-zhen.
“Bagaimana kalau aku yang memetiknya
untukmu?” usul Xu Xian.
“Baiklah. Aku akan menemanimu memetik bunga.”
Xu Xian berjalan ke luar, lalu memetik tiga
kuntum bunga dan memberikannya kepada Bai Su-
zhen. “Apakah bunga-bunga ini cocok untuk
rambutmu?”
“Ya. Tetapi masih ada tugas lain untukmu. Tolong
atur bunga ini di sanggulku.”
Xu Xian memandang rambut istrinya dan
tersenyum. “Inilah tugas yang sangat kusukai.
Tunggu Aku harus tahu di mana sebaiknya bunga-
bunga ini kutancapkan. Aku tidak ingin merusak
rambutmu.”
Bai Su-zhen tersenyum lembut dan membiarkan
Xu Xian berjalan mengitarinya. Setelah berpikir
sejenak, Xu Xian lalu memasang sekuntum pada sisi
kiri sanggul Bai Su-zhen, sekuntum lagi pada sisi
kanannya, sedangkan kuntum bunga ketiga tepat di
tengah-tengah sanggul. Lalu ia berdiri di belakang
istrinya untuk menilai hasilnya.
Pada waktu yang sama Xiao Qing datang membawa
teh. Ia tersenyum gembira melihat pemandangan
yang mengasyikkan itu. Setelah meletakkan teh di
atas meja, ia berjalan ke luar.
“Adik Xiao Qing,” kata Xu Xian. “Jangan pergi.
Bagaimana pendapatmu tentang bunga-bunga ini?”
“Maksudmu bunga di rambut Bai Su-zhen?” tanya
Xiao Qing. “Tentu saja sangat indah.”
Lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua
kembali, duduk berdampingan sambil menikmati teh.
Bai Su-zhen tiba-tiba tersenyum.
“Mengapa engkau tersenyum?” tanya Xu Xian.
“Aku geli melihat caramu memandangku!”
“Karena engkau sangat cantik. Hari pertama
cutiku telah kita lewatkan dalam kesibukan. Hanya
tinggal hari ini dan esok sajalah aku dapat menikmati
kehadiranmu di sampingku.”
“Jadi, setelah tiga hari, engkau harus kembali
bekerja?”
“Tentu saja.”
Bai Su-zhen berpikir sebentar dan berkata. “Dalam
setahun paling banyak engkau mendapatkan dua
ribu tail. Dengan gaji sekecil itu, tidak seharusnya
kau merasa terikat pada pekerjaanmu. Ayahku
banyak menabung selama hidupnya. Peninggalannya
cukup banyak untuk kita berdua selama delapan
hingga sepuluh tahun. Engkau sebaiknya berhenti
bekerja dari toko itu.”
“Engkau sangat baik hati, Sayangku,” kata Xu
Xian. “Tetapi seorang pria tidak bisa duduk bermalas-
malasan sepanjang tahun tanpa bekerja.”
“Ya, aku tahu. Tetapi, tidaklah bijaksana bila
engkau terus bekerja di toko dengan gaji sekecil itu.
Kita masih mempunyai dua hari untuk
memikirkannya. Jadi kau tidak perlu khawatir.”
Pada saat itu dari luar terdengar suara genderang
dan gong yang dibunyikan dengan keras.
“Saat ini ibu kota dipindahkan ke Hangzhou. Para
pegawai kotapraja sedang bergembira. Mereka
merayakannya di danau pada pagi ini,” Xu Xian
menjelaskan.
“Nanti malam bulan purnama. Danau Barat pasti
sangat indah. Kita harus menyewa perahu dan
bermain-main di sana. Kita beruntung tinggal di tepi
danau. Jadi kita dapat bersenang-senang hingga
larut malam. Bagaimana pendapatmu?” tanya Bai Su-
zhen dengan bersemangat.
“Betul! Semakin larut, semakin sedikit orang di
sana. Itu lebih baik bagi kita berdua.”
“Apa maksudmu dengan semakin sedikit orang di
sana?”
“Artinya, kita bisa berdua saja di sana.”
“Kakak, jadi aku tidak boleh ikut bersama kalian
malam ini?” kata Xiao Qing yang muncul dengan tiba-
tiba dari ruang sebelah.
“Tentu saja engkau boleh ikut. Aku tidak
bersungguh-sungguh tadi,” kata Xu Xian
menenangkannya.
Dengan menahan tawa, Bai Su-zhen berkata
kepada Xiao Qing, “Setelah makan siang, pergilah
menyewa sebuah perahu kecil dan bersih untuk nanti
malam. Sesudah makan malam kita berangkat dan
bersenang-senang di danau.”
“Jadi, aku boleh ikut juga, bukan?” tanya Xiao
Qing.
Xu Xian bangkit dan membungkukkan badannya.
“Maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bersungguh-
sungguh.”
Mereka bertiga tertawa berderai-derai.
Malam itu bulan bersinar penuh di timur langit.
Indahnya bayangan bulan, puncak gunung dan
pepohonan di atas air sungguh tak terlukiskan.
Demikian pula pantulan Gunung Gu dan Ge yang
berpadu dengan cahaya dari kota Hangzhou. Perahu-
perahu yang berlayar menyebabkan air bergoyang-
goyang. Gerakan airnya membuat lukisan yang
terpantul di permukaan air berpendar-pendar
memukau mata.
Perahu yang disewa Xiao Qing, mempunyai sebuah
ruangan, bertirai hijau. Atapnya berwarna biru. Di
dalamnya terdapat sebuah meja dengan 2 buah kursi.
Pada atap ruangan itu tergantung dua buah lentera.
Di atas meja terdapat teh satu teko dan empat buah
mangkok berisi buah delima, kacang, biji buah
melon, dan gula-gula.
Xu Xian berseru. “Xiao Qing, pandai sekali engkau
memilih perahu. Kalian berdua duduk di kursi ini,
dan aku di atas papan.”
Xiao Qing menjawab, “Jangan berbasa-basi. Kursi-
kursi itu khusus untuk pengantin baru. Aku dapat
duduk di tempat lain.”
“Oh,...tetapi itu tidak...” kata Xu Xian.
Dengan berbisik Bai Su-zhen berkata, “Ayo
duduklah. Orang-orang di perahu lain akan
mendengar suara kita.” Xu Xian menurut.
Perahu mulai bergerak. Xu Xian melihat sebarisan
perahu berlayar ke tengah danau. Perahu berukuran
besar berlayar di barisan depan, masing-masing
memasang lampu yang terang benderang seperti mata
naga. Penumpangnya membunyikan genderang dan
gong. Perahu-perahu yang lebih kecil mengikuti dari
belakang.
“Lebih baik menjauh saja,” usul Bai Su-zhen. “Kita
cari tempat yang lebih tenang.”
“Usul yang bagus. Bukankah sudah kukatakan
kemarin...” suara Xu Xian tertahan ketika dilihatnya
Xiao Qing memandang ke arahnya, “Semakin sepi
semakin asyik.”
Xiao Qing tersenyum, “Ya, lebih sunyi lebih baik.”
Perahu mereka menjauh dari perahu-perahu yang
lain.
“Sungguh menyenangkan. Semua bergerak-gerak
menurut aliran air,” seru Xu Xian.
“Lihat puncak-puncak gunung itu,” kata Bai Su-
zhen. “Seperti dua buah tangan yang menaungi
danau ini seisinya, termasuk kita bertiga.”
Mereka berlayar di antara bunga-bunga lili yang
menari-nari membentur dinding perahu.
“Mereka tidak mengerti betapa indahnya
ketenangan,” kata Bai Su-zhen. “Mereka pasti
berpikir kita ini gila!”
Sebuah ranting jatuh ke dalam air, berdesir di
antara celah-celah sinar purnama, “Seandainya saja
kita bisa menghilangkan seluruh kebisingan ini,” kata
Xu Xian.
“Kita beruntung dapat menemukan tempat yang
agak tenang,” goda Xiao Qing.
Perlahan mereka mendekati jalan kecil Su Ti.
Bulan mengintip dari balik pepohonan. Pemandangan
sangat memukau. Selapis kabut mengambang di atas
air danau, dilatarbelakangi puncak-puncak gunung
yang kehijauan bagai batu zamrud. Tukang perahu
membiarkan perahu terombang-ambing sebentar di
pinggir sungai.
“Ah! Tempat ini sungguh sangat indah. Air,
gunung, sinar bulan, perahu, dan kita bertiga!
Semoga kebahagiaan dan keindahan selalu bersama
kita,” kata Bai Su-zhen. Suaranya mengisyaratkan
kekhawatiran.
“Tetapi, bila aku hanya menggantungkan seluruh
kehidupanku kepadamu dan tidak bekerja, hidup kita
tidak akan berkecukupan,” ujar Xu Xian sambil
mengernyitkan dahinya.
“Mengapa engkau masih saja khawatir? Bukankah
sudah kukatakan, besok akan kuputuskan pekerjaan
manakah yang sesuai untukmu?”
“Ya, tentu saja. Dan aku akan mengikutimu hingga
akhir dunia.”
Xiao Qing menggoda, “Tuan Xu! Jangan berdusta.”
“Aku tidak berdusta,” sanggah Xu Xian.
“Xiao Qing, ia tidak berdusta. Tidak ada sesuatu
pun yang pantas dicurigai,” kata Bai Su-zhen
membela suaminya.
“Ya. Tetapi ia berkata bahwa ia akan mengikutimu
ke ujung dunia!” sergah Xiao Qing.
“Aku mengatakan yang sebenarnya,” tandas Xu
Xian sekali lagi.
“Sudahlah. Kita harus pulang sekarang. Hari
semakin gelap,” ujar Bai Su-zhen menenangkan
mereka.
Danau mulai sepi. Hanya tinggal beberapa lampu
yang masih menyala. Ketika melewati jalan Bai Ti,
bayangan pohon-pohon di tepian terlihat seperti
lukisan. Di kejauhan terlihat jembatan batu dengan
sebuah rumah di atasnya.
“Itulah jembatan pertama di atas Bai Ti. Apa nama
jembatan itu?” tanya Xiao Qing.
“Jembatan Patah,” jelas Xu Xian.
“Aku tidak menyukai nama itu,” kata Bai Su-zhen.
“Jembatan itu kokoh dan meyakinkan. Nama
‘Jembatan Patah’ sungguh tidak sesuai.”
“Ya, tetapi nama itu sudah sedemikian akrab, dan
aku pun selalu menyebutnya tanpa memikirkan
artinya.”
“Kurasa, orang menyeberangi jembatan itu
menggapai masa depan yang cerah, sesuatu yang
baik dan membahagiakan. Menurut pendapatku,
sebaiknya nama itu diubah. Misalnya menjadi
‘Jembatan Penolong’, ‘Jembatan Keberuntungan’ atau
‘Jembatan Harapan’.”
“Kalau begitu, mari kita ganti saja namanya,” kata
Xu Xian.
“Jangan berbuat bodoh,” kata Bai Su-zhen tertawa.
“Nama jembatan itu ‘Jembatan Patah’. Kita tidak
boleh seenaknya menggantinya. Selama kita tidak
memulai masa depan kita di atas jembatan itu, apa
yang harus dikhawatirkan.”
“Tentu saja tidak ada,” kata Xu Xian dengan
gugup. “Bukankah kita hanya bergurau.”
BAB 4

M alam itu, mereka bercakap-cakap hingga pagi.


Karena sangat lelah, mereka jatuh tertidur.
Xiao Qing berdiri di samping tempat tidur Xu Xian.
Ia berbisik di telinga Xu Xian, “Tuan Xu, ada tamu di
luar. Mereka sudah lama menunggumu. Bangunlah.”
Xu Xian melompat bangun. “Cepat sekali engkau
bangun! Pukul berapa sekarang?”
“Pukul 12 siang. Istrimu telah bangun semenjak
fajar. Kini ia duduk menemani para tamu. Ia
menyuruhku memanggilmu.”
“Apakah tamu-tamu itu ingin menemuiku?” tanya
Xu Xian.
“Mereka adalah bekas pegawai-pegawai kami,”
jawab Xiao Qing. “Yang seorang bernama Ma Zi-hou
dan yang seorang lagi bernama Li Ben-liang. Mereka
ingin berbicara kepadamu.”
Xu Xian pun mandi dan bergegas mengenakan
pakaiannya, kemudian pergi menemui tamunya.
Mereka mengangguk tiga kali kepada Xu Xian. Ma Zi-
hou memakai topi persegi. Jubahnya yang panjang
berwarna abu-abu terbuat dari bahan sutera dan
satin, jenggotnya panjang dan usianya sekitar lima
puluh tahun. Li Ben-liang memakai topi cekung dan
berbaju ungu. Usianya kira-kira empat puluh tahun.
Xu Xian membuka percakapan dengan meminta
maaf. “Maaf, aku baru saja bangun. Kami berperahu
semalaman.”
Bai Su-zhen memberi isyarat kepada Xu Xian agar
ia segera duduk. Kemudian ia berkata, “Tuan-tuan ini
adalah pegawai ayahku. Tuan Ma adalah kepala
pegawai di toko obat kami. Ia sangat ahli di
bidangnya. Sedangkan Tuan Li, walaupun bukan
ahli, ia sangat mengenal seluk-beluk perdagangan.
Aku meminta kedua Tuan ini untuk datang dan
membicarakan kemungkinan membuka toko obat
kita. Tuan Li menyatakan bahwa ia akan
mengalihkan toko obatnya kepada kita, karena ia
tidak mempunyai keluarga lagi di sini. Agar rencana
ini terlaksana, terlebih dahulu kita harus
membereskan beberapa hal. Tuan Li akan membantu
mengatur segalanya. Dan aku merencanakan pindah
ke Suzhou. Tuan Ma telah menyetujui rencanaku.
Jadi tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.
Bagaimana menurutmu, Suamiku?”
Bai Su-zhen mempunyai tiga alasan mengapa ia
ingin pindah dari Hangzhou. Sebab, Xu Xian cukup
dikenal di kota itu. Jika ia tiba-tiba menjadi kaya,
orang akan mempergunjingkannya. Kedua, semua
teman Xu Xian bekerja di toko obat itu. Apabila ia
membuka sebuah toko obat baru, maka teman-
temannya akan menjadi iri. Ketiga, Suzhou tidak
begitu jauh dari Sungai Chang Jiang. Jika Xu Xian
pindah ke Suzhou, ia masih dapat mengunjungi
keluarganya di Hangzhou.
Xu Xian tidak mengetahui alasan-alasan ini. Jadi
ia menyetujui saja kata-kata istrinya. Katanya,
“Istriku benar. Tetapi aku....”
Namun Bai Su-zhen memotong, “Mengenai modal
awal, Tuan Li sudah mengumpulkan sisa-sisa
peninggalan almarhum ayahku. Jumlahnya sudah
lebih dari cukup untuk membuka sebuah toko obat
baru.”
Xu Xian berpikir dalam-dalam. “Aku orang bebas
dan dapat pergi ke mana saja. Yang menjadi
pikiranku hanyalah masalah uang. Jadi apa lagi yang
harus kukhawatirkan? Istriku telah mengurus
segalanya. Kami telah siap untuk membuka toko obat
yang cukup pantas.”
Xu Xian memandang istrinya yang segera
memahami maksud suaminya. “Semua telah
dibereskan dan dipersiapkan untukmu. Aku hanya
minta persetujuanmu. Apakah engkau bersedia
pindah ke Suzhou?”
“Aku bersedia, bila modal sudah ada.”
Ma Zi-hou meyakinkannya, “Asalkan Anda
bersedia pindah ke Suzhou, tidak ada hal lain yang
perlu dikhawatirkan.”
“Ya,” Li Ben-liang menambahkan. “Serahkan segala
urusan persiapan kepada kami. Anda tidak perlu
cemas.”
Bai Su-zhen tertawa. “Nah! Apa lagi yang kita
khawatirkan? Kau boleh bergembira sekarang!”
Xu Xian tidak pernah menyangka betapa
mudahnya membuka sebuah toko obat. Modal telah
tersedia, begitu pula pegawai yang akan mengurus
pengelolaannya. Benar-benar di luar dugaannya!
Tuan Ma dan Tuan Li adalah bekas pegawai. Namun
karena mereka sudah lama tidak bekerja, Xu Xian
merasa perlu membicarakan masalah keuangan
dengan mereka.
“Tuan-tuan, karena kalian bersedia membantuku,
kita harus bicara.”
Bai Su-zhen kemudian meminta diri untuk
menyiapkan makan siang. “Aku akan menyiapkan
makanan. Tanyakan segala sesuatunya kepada
mereka mengenai toko obat. Buktikan sendiri apakah
mereka benar-benar ahli.”
Mula-mula Xu Xian tidak tahu apa yang harus ia
tanyakan. Namun Ma Zi-hou segera mengajukan
pertanyaan tentang pengalaman kerja Xu Xian di toko
obat. Ternyata masih banyak hal yang belum ia
ketahui. Dari percakapannya dengan Tuan Li, Xu
Xian segera menyadari bahwa ia pun tak memiliki
pengalaman dalam bidang keuangan. Mereka terus
saja bercakap-cakap selama makan siang, lalu kedua
tamu itu pulang.
“Suamiku, bagaimana pendapatmu tentang dua
pegawai almarhum ayahku ini?” tanya Bai Su-zhen
kemudian.
“Mereka sepuluh kali lipat lebih pandai
dibandingkan diriku.”
Bai Su-zhen menjawab, “Mungkin saja. Tetapi
engkau adalah suamiku dan engkau tidak bisa
dibandingkan dengan siapa pun. Kita harus
membicarakan beberapa hal lagi dengan mereka.
Setelah itu mereka harus segera berangkat ke
Suzhou.”
“Aku menyetujui semua rencanamu.”
“Sekalipun aku yang memanggil kedua orang itu
ke sini, tetapi engkaulah kelak yang akan menjadi
majikan. Besok pagi mintalah izin berhenti bekerja
kepada majikanmu.”
“Secepat itu?” kata Xu Xian. “Tidakkah lebih baik
memberinya waktu barang tiga hari?”
“Berapa jumlah gaji yang belum ia berikan
kepadamu?” tanya Bai Su-zhen.
“Dua bulan gaji,” kata Xu Xian.
“Bagi seorang pemilik toko, uang adalah segalanya.
Besok pagi bila kau meminta izin kepada majikanmu,
katakan kepadanya bahwa ia tidak perlu membayar
lagi sisa gajimu.”
Xu Xian menyadari bahwa semakin cepat ia dapat
membereskan urusannya di kota itu semakin baik
pula hasilnya. Keesokan hari sesudah makan siang,
ia pergi ke toko obat tempat ia biasa bekerja. Keempat
pegawai keuangan di sana terkejut melihat
kedatangan Xu Xian yang saat itu mengenakan topi
persegi abu-abu dan baju baru dari kain satin. Salah
seorang dari mereka berteriak, “Hei! Lihat Xu Xian
datang, kelihatannya, ia tidak datang untuk bekerja.”
Xu Xian menyalami teman-temannya sambil
tersenyum. “Ya, memang demikian,” katanya.
Semua orang menjabat tangannya. Seorang
temannya yang bernama Wu berkata, “Kudengar
istrimu kaya. Engkau beruntung. Majikan baru saja
mengetahui bahwa engkau belum masuk kerja dan ia
agak marah. Kukatakan kepadanya bahwa engkau
baru saja menikah, sehingga terlambat masuk.
Bukankah istri lebih penting daripada pekerjaan? Ha,
ha, ha!”
“Terima kasih. Engkau sudah membelaku,” kata
Xu Xian. “Tetapi sejak pernikahanku aku
menemukan tempat kerja baru. Jadi, aku datang
kemari untuk memberitahukan bahwa aku tidak
akan bekerja lagi di sini.”
“Berhenti?” tanya Wu dengan terkejut.
“Ya, itulah sebabnya aku datang sekarang,” jawab
Xu Xian dengan tenang. “Majikan ada?”
“Ya, ia berada di ruang bendahara,” jelas Wu. Xu
Xian mengangguk lalu pergi menemui majikannya,
yang saat itu sedang memeriksa buku laporan
keuangan bersama salah seorang pegawainya. Xu
Xian masuk dan mengangguk.
“Ini dia pengantin baru dengan baju barunya!”
hardiknya sambil meletakkan buku laporan. Ia
menatap Xu Xian dengan tajam. “Dalih apa lagi yang
akan kau sampaikan, Anak muda? Kau sudah kuberi
cuti selama tiga hari. Namun hari ini kau masih saja
datang terlambat? Begitukah sikapmu terhadap
rekan-rekanmu?”
Xu Xian menjawab dengan ragu-ragu. “Bukan
begitu, Tuan.”
Sang bendahara mencoba menenangkan suasana.
“Xu Xian memang lalai. Tetapi ia pegawai yang baik,
dan baru saja menikah. Maafkanlah
keterlambatannya. Dengan syarat ia tak
mengulanginya sekali lagi.”
Majikannya berkata, “Lihatlah, ia membelamu, Xu
Xian. Engkau harus berterima kasih kepadanya.”
“Tidak,” kata Xu Xian dengan sopan. “Saya tidak
datang untuk bekerja, melainkan untuk berpamitan.
Saya akan keluar dan tidak lagi bekerja di sini.”
Majikannya berdiri sambil berpegangan pada meja.
Ia terkejut.
“Apa? Kau mau berhenti?”
“Ya. Itulah sebabnya saya datang,” kata Xu Xian
sekali lagi. “Maafkan saya karena tidak menunggu
hingga akhir tahun.”
“Temanku, Xu Xian,” kata temannya. “Kau masih
muda. Jangan bertindak semata-mata karena
dorongan hati saja. Mengapa engkau ingin berhenti?
Majikan sudah memaafkanmu.”
“Aku ingin berhenti bukan karena majikan
memarahiku. Aku akan meninggalkan kota
Hangzhou. Itu sebabnya aku ingin mohon diri.”
Bendaharawan itu berdiri dan memandang Xu
Xian. Baju Xu Xian memang bukan baju untuk
bekerja. “Kau akan ke mana?”
“Ke Suzhou. Tetapi aku belum tahu di mana
tempatnya,” jawab Xu Xian.
“Kau sudah memutuskan untuk pergi ke sana,
tetapi belum juga tahu di mana tempat tinggal
barumu?” kata temannya dengan heran. “Sebaiknya
kau pertimbangkan lagi keputusanmu. Jangan
terburu nafsu.”
“Terima kasih atas perhatianmu. Aku belum
menerima dua bulan gaji. Namun karena aku tiba-
tiba berhenti, kau tidak perlu membayarku lagi.
Menurut pendapatku tidak pantas aku
menerimanya.”
Majikan Xu Xian belum juga dapat mempercayai
kata-kata Xu Xian. Ia terheran-heran mendengar niat
Xu Xian dan berpikir Xu Xian pasti mempunyai
alasan yang kuat mengapa secara mendadak
mengajukan permohonan berhenti. Lalu ia berkata,
“Kudengar istrimu keturunan orang terpandang.
Barangkali ia mempunyai banyak uang. Jadi...” Ia tak
melanjutkan kata-katanya, dipandangnya Xu Xian
untuk melihat reaksinya.
Dengan berpura-pura tidak mendengar
sindirannya, Xu Xian berkata, “Tuan, saya
bersungguh-sungguh. Saya tidak ingin dibayar.”
“Kalau kau benar-benar mau pergi, aku tidak
dapat menahanmu,” kata majikannya. “Mengenai
gajimu, akan kusimpan saja. Siapa tahu akan
berguna nantinya. Apakah kau akan berangkat hari
ini?”
“Begitulah,” kata Xu Xian sambil mengangguk
penuh hormat kepada majikannya dan sang
bendahara, “Saya benar-benar ingin mengundurkan
diri.”
Sesungguhnya majikan merasa sangat berat hati
melepaskan Xu Xian. Karena Xu Xian seorang
pegawai yang amat patuh dan tidak pernah
bertingkah. Ia meminta Xu Xian untuk mampir,
seandainya ia kebetulan berkunjung ke Hangzhou.
Xu Xian lalu berpamitan kepada seluruh teman
sekerjanya. “Majikan sudah menyetujui kepergianku.
Aku harus pergi sekarang.”
Lin membawa seteko teh dan menawarkannya
kepada Xu Xian. Ia berkata, “Sekarang kau menjadi
tamu kami. Mari kita minum teh bersama untuk
mengantar kepergianmu.”
Xu Xian sangat terharu melihat keramahtamahan
teman-temannya. “Karena sekarang aku telah
menikah, kalian boleh datang ke rumah, bila ada
waktu senggang.”
Seseorang bertanya, “Bagaimana dengan barang-
barangmu? Semuanya akan kaubawa? Atau kau
akan mengirim seseorang untuk mengambilnya besok
pagi?”
“Akan kubawa hari ini juga. Jumlahnya tidak
seberapa. Kalau tidak terbawa, biar saja di sini.”
Xu Xian meminum tehnya, lalu masuk ke dalam
untuk membereskan barang-barangnya. Ia menyewa
seorang kuli untuk mengambil bungkusannya dan
membawanya pulang. Xu Xian mendatangi kakaknya,
Fu Yun, dan kakak iparnya, Li Ren. Ketika melihat
penampilan dan baju Xu Xian, Fu Yun ternganga
Hampir-hampir ia tidak mengenali adiknya!
Kemudian Xu Xian menceritakan seluruh kejadian
dari awal pertemuan hingga perkawinannya dengan
Bai Su-zhen. Fu Yun mengangguk berkali-kali. Ia
kagum akan keberuntungan adiknya. Betapa
mudahnya perkawinan Xu Xian, pikirnya.
“Istriku keturunan bangsawan,” kata Xu Xian.
“Tabungannya cukup banyak. Hari ini aku telah
mengundurkan diri dari toko obat tempatku bekerja,
karena bermaksud membuka toko obat milik kami
sendiri.”
Wajah Fu Yun berseri. “Tetaplah berhati-hati,”
katanya memperingatkan Xu Xian. “Karena kau baru
akan melakukannya untuk yang pertama kali.
Pertimbangkan langkahmu masak-masak.”
Karena Xu Xian yatim piatu sejak masa kanak-
kanak, kakaknyalah yarig merawatnya dengan penuh
kasih sayang. Xu Xian lalu mengeluarkan uang 20
tail dari saku bajunya dan memberikannya kepada
kakaknya. Fu Yun hampir tidak dapat berkata-kata.
Kemudian Xu Xian kembali ke rumah Bai Su-zhen.
Ia dibanjiri pertanyaan tentang pengalamannya hari
itu. Dengan terkikik Bai Su-zhen berkata, “Jadi
majikanmu tidak percaya engkau benar-benar akan
berhenti bekerja. Syukurlah engkau tidak meminta
gajimu. Dengan demikian mereka tidak akan
memburuk-burukkan namamu. Sekarang
beristirahatlah selama beberapa hari. Kita pasti akan
sibuk bila nanti toko kita benar-benar telah dibuka.
Kakakmu pasti akan merasa kehilangan engkau.
Sebaiknya kau sering mengirimkan hadiah
kepadanya.”
Tuan Ma dan Tuan Li berkali-kali datang untuk
melaporkan semua perkembangan kepada Bai Su-
zhen. Persiapan sudah hampir selesai. Perjanjian
kerja akan segera ditandatangani. Karena ingin
mengetahui semua permasalahannya, Xu Xian pun
tak henti mengajukan berbagai pertanyaan kepada
Tuan Ma dan Tuan Li. Akhirnya ia merasa puas dan
yakin bahwa keduanya benar-benar ahli yang dapat
diandalkan.
Beberapa hari kemudian, pada awal bulan April,
Bai Su-zhen dan Xu Xian mengirim Tuan Ma dan
Tuan Li ke Suzhou.
Suatu sore Xiao Qing berkata kepada Xu Xian,
“Akhir-akhir ini, pemandangan di danau sangat
indah. Sekarang, karena telah bebas dari majikan
dan tokomu, kau harus menikmati keindahannya.”
“Engkau benar. Tetapi, karena aku biasa bekerja,
aku takut bila terlalu lama bersantai-santai, aku
akan menjadi malas. Sekalipun belum ada yang
harus kukerjakan, aku tidak ingin membuang-buang
waktu. Kuharap kau mau mengerti, Xiao Qing.”
“Memang benar. Tetapi jangan khawatir. Dalam
waktu setengah bulan, kita akan mendengar kabar
dari Suzhou. Kakakku sedang sibuk mempelajari
buku obat-obatan di ruang belakang sebagai pengisi
waktu. Kau harus menirunya.”
“Jadi, ia juga mengerti tentang obat-obatan?”
“Kurasa ia lebih pandai daripada tabib.”
“Tentunya buku obat-obatan itu berasal dari
keluarganya. Aku harus belajar dari istriku.”
Ketika mereka sedang berbicara, Bai Su-zhen
datang dan mendengar percakapan mereka.
“Suamiku! Kau ingin belajar obat-obatan?”
“Aku baru tahu hari ini bahwa engkau adalah
seorang ahli obat. Aku siap menjadi muridmu.”
“Kelak kita akan mempunyai banyak waktu untuk
bersama-sama. Dan engkau pun akan sempat
mempelajari banyak hal.”
“Sekarang adalah waktu yang tepat untuk belajar,
karena aku tidak mempunyai kesibukan.”
“Kalau demikian, baiklah. Xiao Qing akan
menyapu ruang belakang. Kita dapat belajar di
ruangan itu. Namun, seni menyembuhkan orang
tidak semata-mata dipelajari dari buku saja.
Pengalaman juga penting. Setelah membuka toko
obat nanti, aku akan memberikan pelayanan gratis
kepada siapa saja yang hendak menanyakan
penyakitnya. Bagaimana pendapatmu?”
“Aku setuju sepenuhnya,” jawab Xu Xian.
Pada saat mereka berbicara, matahari mulai
bergulir ke barat.
“Sekarang, mari kita berjalan-jalan,” kata Bai Su-
zhen kepada Xu Xian.
Xiao Qing berdiri di samping meja berbunga. Ia
mengernyitkan keningnya. “Saat ini mereka sangat
berbahagia. Apakah kebahagiaan ini akan berlanjut
di hari-hari mendatang?”
BAB 5

X iao Qing menyapu ruangan belakang seperti yang


diperintahkan Bai Su-zhen. Di sana berjejer dua
rak buku. Di sampingnya terdapat sebuah meja
panjang dengan alat tulis-menulis, buku, dan dua
jambangan bunga di atasnya. Di luar ruangan,
tampak sebidang halaman kecil yang ditumbuhi
bunga-bunga mawar Cina dan serumpun bambu. Bai
Su-zhen menginginkan supaya ruangan itu selalu
diatur rapi, agar ia dapat memusatkan pikiran dan
perhatiannya. Bai Su-zhen dan Xu Xian duduk
berjam-jam di ruangan ini. Mereka mempelajari
berbagai buku tentang obat-obatan. Bai Su-zhen
menjelaskan beberapa prinsip dasar obat-obatan
kepada suaminya. Suatu pagi ketika mereka sedang
asyik belajar, Xiao Qing datang. “Ada tamu di luar.”
Bai Su-zhen segera keluar menemuinya. Tak lama
kemudian, ia kembali dengan wajah sukacita. “Kabar
baik, Suamiku! Tuan Ma dan Tuan Li telah mengirim
surat. Mereka memberitahukan bahwa toko kita
terletak di tepi jalan besar dan siap dibuka. Semua
telah lengkap. Mereka ingin tahu kapan kita datang.”
“Baik betul mereka! Aku tidak perlu bersusah-
susah dan semuanya telah siap. Aku siap berangkat
sewaktu-waktu.”
“Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat
pertengahan bulan depan,” kata Bai Su-zhen
memutuskan.
Xu Xian lalu mengunjungi keluarga dan
kerabatnya. Pada suatu hari yang cerah, ia berlari-
lari masuk ke rumah, “Istriku, kakakku datang!
Untuk menjengukmu!”
Kakak Xu Xian berjalan mengikutinya dari
belakang. Itu adalah kunjungannya yang kedua, dan
ia mulai mengenal baik adik iparnya. Menurut Fu
Yun, Bai Su-zhen adalah wanita dan istri yang cocok
bagi adiknya.
Bai Su-zhen menyambut Fu Yun dan berkata,
“Hari ini, karena libur, kau punya waktu untuk
berbincang-bincang bersama kami?”
“Aku tidak pernah libur! Tetapi karena adikku
bercerita bahwa kalian segera pindah ke Suzhou
untuk meresmikan toko obat kalian, jadi aku
menyempatkan diri untuk datang kemari.”
Bai Su-zhen mengajak Fu Yun ke ruang tamu
untuk minum teh. Tak lama kemudian Xu Xian
datang, dan ikut berbincang-bincang.
Bai Su-zhen membuka percakapan. “Di toko
obatnya dahulu, gaji Xu Xian hanya dua ribu tail
setahun. Ini jauh dari memadai. Itu sebabnya ia
berhenti bekerja beberapa hari setelah kami menikah.
Karena cukup mengenal seluk-beluk bidang obat-
obatan, kami pun berminat membuka toko obat. Dan
karena kabarnya di Suzhou banyak penyakit, maka
kukirimkan dua orang bekas pegawai ayahku ke
sana. Mereka kusuruh mencari tempat dan mengatur
segala persiapannya. Kemarin, kami menerima surat.
Semua telah siap. Sesungguhnya kami bermaksud
mengunjungimu dalam waktu dekat untuk
berpamitan. Tetapi ternyata engkau sudah
mendahului datang.”
“Jadi, kalian benar-benar akan pergi dalam
beberapa hari ini,” kata Fu Yun. Raut mukanya
menyiratkan keharuan. Suaranya terdengar sedih.
“Begitulah.”
Fu Yun memandang Xu Xian dan tersenyum
lembut, “Engkau akan membuka tokomu sendiri, dan
istrimu telah menyiapkan segalanya untukmu.”
Kemudian ia berpaling kepada Bai Su-zhen, “Adikku
tidak berpengalaman, jadi kuharap kau bersedia
membantunya. Ia terlalu jujur dan lugu.”
“Engkau benar,” kata Xu Xian membenarkan
ucapan kakaknya. “Istrikulah yang mengusulkan
untuk membuka usaha ini. Aku setuju, asal ia mau
membantuku. Karena tidak berpengalaman, aku
takut gagal.”
Xiao Qing yang berdiri di pintu berkata kepada Fu
Yun, “Kedua pegawai yang disewa kakakku adalah
ahli-ahli yang berpengalaman. Kakakku sendiri ahli
obat-obatan. Usaha ini memerlukan kerja sama.”
“Oh,” kata Fu Yun setengah berteriak. “Engkau
pun ahli obat rupanya. Hebat sekali.”
“Istriku pandai sekali di bidang ini. Separuh rumah
ini berisi buku obat-obatan,” kata Xu Xian bangga.
“Jadi, engkau akan membantunya,” kata Fu Yun.
“Tidak, suamikulah yang akan menjadi majikan
usaha ini. Dan karena saudaraku juga akan
membantu, pekerjaan sehari-hari di toko tidak akan
mendatangkan masalah.”
“Engkau benar-benar rendah hati,” kata Fu Yun.
“Setelah kalian berangkat, aku siap membantu bila
sewaktu-waktu diperlukan.”
“Kuharap hal itu tidak akan pernah terjadi,” kata
Xu Xian. “Kalau pun ada, aku akan menulis surat.”
Fu Yun menjawab dengan mata berbinar-binar,
“Nanti bila kalian kembali ke sini, kuharap kalian
sudah mempunyai anak. Mereka pasti memerlukan
perawat.”
Xiao Qing menukas, “Sebaiknya kita makan
sekarang. Entah kapan kita akan dapat bertemu
lagi.”
Bai Su-zhen mengulangi undangan itu dan
memaksa Fu Yun untuk tidak cepat-cepat pergi.
Selesai makan, mereka masih bercakap-cakap. Baru
sesudahnya, Fu Yun mohon diri, diantar Xu Xian
sampai ke rumahnya.
“Adikku, istrimu sangat baik. Karenanya kau
harus memperlakukannya dengan baik pula. Dan
ingatlah! Bila nanti uangmu sudah menumpuk,
berhati-hatilah terhadap kawan-kawanmu. Karena
mereka akan dapat mendatangkan kesulitan.
Sungguh tidak adil bagi Bai Su-zhen.”
“Ya, aku harus berlaku baik kepada istriku.”
Setiba di rumah Fu Yun, Xu Xian segera
berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal.
Malam harinya Bai Su-zhen bertanya, “Bagaimana
keadaan kota Hangzhou dalam beberapa waktu
terakhir?”
Xu Xian menjawab, “Kudengar kantor Bendahara
Kota kecurian uang sebanyak tiga ribu tail emas.”
Bai Su-zhen menanggapi dengan hati-hati,
“Bukankah kantornya selalu dikunci rapat. Siapa
yang berani mendobrak dan mencuri isi lemari?”
“Itulah anehnya, “jawab Xu Xian. “Kabarnya
kuncinya tetap dalam keadaan baik dan dindingnya
tidak dirusak. Uang menghilang begitu saja, seperti
menguap di udara.”
Bai Su-zhen menjawab, “Wah! Para pegawai yang
tak jujur itu pasti akan memeras rakyat untuk
mengganti uang yang hilang. Mudah-mudahan
mereka tidak menangkap rakyat yang tidak bersalah.”
Beberapa hari kemudian, Xu Xian menyewa
sebuah perahu dan tiga pegawai untuk mengangkut
barang-barangnya. Ia juga mengajak serta tiga orang
pembantu. Mereka lalu berangkat ke Sizhou.
Biasanya dengan perahu sebesar itu, perjalanan akan
memakan waktu sekurangnya sepuluh hari. Namun,
begitu Bai Su-zhen naik ke atas perahu, angin
berhembus kencang. Perahu berlayar kira-kira 15
kilometer dalam sehari. Setiap kali mereka berhenti,
angin pun berhenti berhembus.
Para penumpang lainnya di perahu menduga
bahwa mereka beruntung. Mereka tidak mencurigai
hal-hal lain. Tetapi keesokan harinya, Bai Su-zhen
sudah terjaga semenjak fajar. Sesaat setelah ia
mengacungkan telunjuknya beberapa kali ke langit,
angin datang, dan perahu pun mulai berlayar lagi. Ia
tidak menyadari bahwa Xu Xian memperhatikan
dirinya dan terheran-heran istrinya dapat mengatur
hujan dan angin. Namun ia diam saja dan baru
ketika makan siang ia memberanikan diri untuk
bertanya.
“Istriku, pagi ini kulihat engkau menunjuk ke
langit, dan sesudahnya angin mulai berhembus.
Apakah engkau dapat mengatur angin dan hujan?”
Bai Su-zhen memandang lagi ke langit dan
tersenyum. “Bagaimana mungkin aku dapat
melakukan hal itu? Aku hanya menunjuk bintang!”
Karena mengira bahwa dirinya bermimpi, Xu Xian
tidak lagi bertanya. Hingga mereka tiba di Suzhou,
angin selalu berhembus kencang dan perahu berlayar
tanpa gangguan.
Akhirnya mereka pun tiba di Gerbang Surga, kota
Suzhou. Xu Xian melihat tokonya berdiri dengan
megah di tepi jalan utama di kota itu. Dipimpin oleh
Tuan Ma dan Tuan Li, para pegawai datang
menyambut dan menyalaminya.
Xu Xian benar-benar kagum melihat toko barunya.
“Setidaknya kuperlukan waktu enam bulan untuk
membangun toko sebesar ini,” pikirnya. “Semua botol
dan guci tersusun rapi. Tiga bangunan yang terdiri
dari tempat tinggal, toko, dan apotik, semuanya
dalam keadaan sempurna. Bai Su-zhen mengatakan
bahwa dengan bantuan Tuan Li dan Tuan Ma, aku
tidak perlu khawatir. Kupikir ia hanya ingin
menenangkan hatiku. Ternyata ia tidak berbohong.
Betapa beruntungnya kau ini, Xu Xian.”
Setelah menyalami Tuan Ma dan Tuan Li, Xu Xian
segera menurunkan barang-barang dari perahu dan
membawanya masuk ke dalam toko.
Ia mengusulkan agar bangunan yang terletak di
tengah, dijadikan tempat tinggal, agar ia dapat
mengawasi bangunan toko di kiri kanannya.
Bangunan itu sangat luas, terang dan mempunyai
banyak jendela. Ruang keluarga pun lebar. Xu Xian
meletakkan meja kursi yang ia bawa dari rumah
mereka di Hangzhou. Kamar itu berada di depan. Di
dalamnya terdapat meja hias dari kayu cendana. Di
sampingnya ada lemari pajangan yang berisi barang-
barang antik. Di sebelah kirinya terlihat dua lemari
pakaian, dua kursi yang terbuat dari kayu pohon pir,
dan sebuah tempat tidur berukir. Sebuah kaca besar
terletak di sebelah meja hias.
Dari pintu Xiao Qing memanggil, “Semua peti
pakaian dan lemari di ruang belakang. Tetapi di sana
ada tempat tidur anak-anak. Aku tidak tahu di mana
sebaiknya tempat tidur itu diletakkan.”
“Bukankah kami belum mempunyai anak,” kata
Xu Xian.
“Cepat atau lambat, kalian akan memilikinya!”
“Xiao Qing sedang menggoda kita,” kata Bai Su-
zhen.
“Aku tidak menggoda. Apakah kalian benar-benar
tidak ingin mempunyai anak?” tanya Xiao Qing.
Xu Xian berusaha menyembunyikan senyumnya
dan berpura-pura melanjutkan mengatur ruangan.
Kemudian ia bertanya kepada istrinya, “Di mana
engkau akan memeriksa pasien-pasienmu?”
“Bangunan paling depan mempunyai tiga ruangan.
Cocok untuk dijadikan tempat menerima pasien.
Kalau nantinya terlalu kecil, kita cari ruangan lain.”
“Dengan pemeriksaan gratis, aku yakin orang akan
berduyun-duyun ke sini. Dengan adanya tiga ruang
berderetan, kurasa kaudapat memeriksa banyak
orang, dan tidak akan memerlukan tambahan
ruangan.”
“Kita lihat saja nanti.”
Karena pengetahuan istrinya tentang obat-obatan
cukup mendalam, Xu Xian tidak berani membantah,
sekalipun di dalam hati ia merasa ragu.
Atas usul Bai Su-zhen, toko itu dinamakan
‘Rumah Kasih’. Ia ingin tokonya terkenal sebagai
tempat menolong orang dan bukan sekedar tempat
mencari untung. Dari pagi hingga waktu makan
siang, Bai Su-zhen memeriksa pasien. Setiap pasien
menerima nomor. Siapa datang lebih cepat akan
dipanggil lebih awal. Tetapi bila suatu kali datang
seorang pasien yang sakit parah, ia akan mendapat
pelayanan tanpa harus menunggu giliran. Resep obat
pun segera diberikan. Orang miskin boleh tidak
membayar.
Mula-mula hanya sedikit orang yang datang,
karena mereka menyangsikan kemampuan ‘tabib
wanita’. Tetapi kemudian tempat itu segera ramai
dipadati pasien yang hendak berobat.
Suatu hari setelah makan malam, Xu Xian berkata
kepada Bai Su-zhen, “Setiap hari kau memeriksa tiga
puluh orang tanpa istirahat. Sebaiknya mulai hari ini
kaubatasi jumlah pasienmu.”
Bai Su-zhen tersenyum. “Benar katamu. Tetapi
ingat! Mereka yang datang adalah orang-orang
miskin. Aku tidak sampai hati menolak mereka.”
“Engkau benar-benar wanita yang baik. Namun,
bila terus berlanjut, engkau pasti kelelahan. Apalagi
kau bekerja tanpa makan dan minum,” ungkap Xu
Xian pula.
Sebelum Bai Su-zhen menjawab, Xiao Qing
menyela, “Xu Xian benar. Aku yang hanya bertugas
menulis resep bergantian dengan Xu Xian, tak
sempat beristirahat. Kurasa lebih baik bila jumlah
pasien kita batasi.”
Bai Su-zhen akhirnya setuju. Ia berjanji untuk
menerima paling banyak tujuh belas pasien sehari.
Bila yang datang lebih dari jumlah yang ditentukan,
mereka akan dilayani keesokan harinya. Xu Xian
menempel pengumuman mengenai hal ini di pintu
luar.
Semakin hari pasien Bai Su-zhen semakin
bertambah banyak. Ia berhasil menyembuhkan
wanita lumpuh yang hampir buta, wanita lanjut usia
yang terkena disentri, seorang pria muda yang
terserang demam dan hampir saja meninggal, seorang
wanita yang menderita sakit dada sehingga tidak
dapat menelan.
Orang-orang mulai memuji keberhasilannya.
Seseorang mengusulkan untuk mengirim upeti
kepada Bai Su-zhen. “Ia benar-benar orang suci. Kita
tidak perlu membayar ongkos pemeriksaan dan obat.
Kita harus mengumpulkan uang dan
menandatangani surat ucapan terima kasih, yang
akan kita gantungkan di pintu rumahnya. Dengan
demikian, kebaikannya tak akan terlupakan.”
Semuanya setuju. Surat pernyataan terima kasih
itu segera dibuat.
“Ibu Tabib Bai Su-zhen, pemilik Rumah Kasih.
Anda kami anggap Dewi Bai. Dengan ini kami
beritahukan bahwa kami telah sembuh berkat
perawatan yang Anda berikan. Tuan Xu dan Nona
Xiao Qing juga telah membantu kami dengan tulus
ikhlas. Kebaikan Anda bertiga tidak akan pernah
kami lupakan.”
Di bawah tulisan ini, lima puluh orang
membubuhkan tanda tangannya. Dengan genderang
dan gong, mereka membawa surat pernyataan ini
dengan khidmat ke toko Xu Xian. Bai Su-zhen
merasa terharu atas perbuatan mereka ini. Begitu
pula Xu Xian dan Xiao Qing.
BAB 6

S ejak Surat Pernyataan itu digantungkan di pintu


toko, rumah pengobatan mereka semakin ramai
dikunjungi orang. Bai Su-zhen pun lebih giat bekerja
tanpa mengenal lelah. Namanya semakin dikenal di
segala penjuru.
Pada suatu saat, Suzhou terjangkit wabah suatu
penyakit. Toko obat Bai Su-zhen menjual pil
penyembuh dan pencegah penyakit itu.
Pada tanggal 14 April, Lu Dong Bin berulang
tahun. Ia merayakannya secara besar-besaran di kuil
keluarga Lu, yang dikenal sebagai tabib terkemuka.
Xu Xian berdiri di luar memandang beratus-ratus
orang yang lalu-lalang di muka tokonya. Sebagian
akan pergi ke kuil Lu, sebagian yang lain kembali dari
sana. Xu Xian kemudian pergi menemui istrinya.
“Hari ini keluarga Lu sedang merayakan ulang
tahun,” katanya. “Karena kita juga punya toko obat,
aku bermaksud pergi ke kuil untuk membakar
kemenyan. Apakah engkau mau ikut?”
“Aku sangat lelah. Pergilah seorang diri, karena
aku tidak dapat pergi bersamamu. Tetapi cepat-
cepatlah kembali. Masih banyak pekerjaan menunggu
di toko.”
“Baiklah. Aku tidak akan lama.”
Xu Xian lalu berangkat ke kuil Lu, dengan
membawa beberapa batang hio. Saat itu kuil keluarga
Lu telah dipenuhi pengunjung. Mereka berdoa sambil
membakar kemenyan. Di luar, para pedagang ramai
berjualan. Para pendeta pun memanfaatkan
kesempatan dengan menjual mantra-mantra sakti
yang ditulis pada kertas-kertas khusus.
Xu Xian memandang ke sekelilingnya. Ia
membakar kemenyan dan berdoa. Pada saat ia
bermaksud pulang ke rumahnya, dilihatnya orang-
orang bergerak ke sudut kanan kuil. Seseorang
berkata, “Mari kita ke sana.” Karena ingin tahu Xu
Xian ikut berjalan mengikuti pengunjung yang lain.
Di luar ruang utama, ia melihat sebuah
pengumuman yang digantungkan di dinding:
“Aku diperintahkan guru-guruku untuk berdoa dan
memelihara hubungan baik dengan para dewa. Apa
pun penyakitmu, datanglah kepadaku. Sekarang aku
di sini. Jika Anda menempelkan tulisan keramat2 ini di
rumah Anda, kujamin semua setan dan penyakit akan
hilang. Namaku Guo Wei dan aku mempunyai
kemampuan menguasai elemen3 kehidupan dan
mengusir roh jahat. Siapa pun yang datang
menyembah Yang Abadi, ia tidak akan salah jalan.”
Xu Xian mengenalinya sebagai pendeta penjual
obat-obatan. Ia datang mendekat. Pendeta itu
memakai topi berwarna keemasan, dengan lambang
swastika, lambang keberuntungan di atasnya, dan
mengenakan baju penganut agama Tao dari bahan
linen dan sepasang sandal. Alis matanya tebal dan
mulutnya lebar. Di hadapannya, terdapat sebuah
meja berisi kertas, tinta dan alat tulis, bendera

2 Tulisan keramat adalah huruf-huruf Cina yang ditulis dengan tinta


hitam pada sehelai kertas merah, dan dipakai sebagai jimat. Orang
percaya bahwa ini adalah mantra dari para dewa yang mempunyai
kekuatan untuk mengusir roh jahat, dan melindungi kebaikan.
3 Lima Elemen kehidupan yang diyakini orang Cina adalah lima kekuatan
alam, yaitu: Emas atau Metal, Kayu, Air, Api, dan Bumi atau Tanah.
berbintang tujuh, pedang bermata ganda, dan alat-
alat lain untuk keperluan upacara.
Karena tidak tertarik, Xu Xian bersiap-siap untuk
pergi. Tiba-tiba pendeta itu berseru. “Wo! Wo! Ada roh
jahat di sini.”
Xu Xian berhenti. Ia melihat pendeta itu sedang
menunjuk dirinya, sambil berseru, “Roh jahat
mendekam dalam tubuh orang ini.”
Beberapa orang yang mengenal Xu Xian tertawa.
“Ia keliru. Bukankah kita semua tahu bahwa Xu Xian
adalah suami Nona Bai, penyelamat kita. Tidak ada
roh jahat di dalam dirinya.”
Xu Xian pun ikut tersenyum. Namun tampaknya
pendeta itu tak tergoyahkan. “Namaku Guo Wei. Aku
sangat berpengalaman dalam mengusir roh jahat.
Orang ini dikuasai dua roh jahat. Istrinya adalah roh
jahat itu.”
Xu Xian berpikir, “Bagaimana mungkin istriku
yang tidak bersalah dikatakan roh jahat. Memang
benar ia mendapat uang dengan mudah. Tetapi ia
baik hati.”
Dengan suara keras Xu Xian berkata, “Ada tiga
orang di dalam rumah saya. Semuanya orang baik-
baik. Bukan roh jahat.”
Guo Wei menjawab, “Aku yakin ada roh jahat di
sana. Di mana keluarga istrimu tinggal?”
“Ia tidak punya keluarga. Mereka semua telah
meninggal.”
“Dari mana istrimu berasal?”
“Dari Sizhou. Ia membawa dua pembantu dari
sana. Karena saya belum pernah ke Sizhou, saya
tidak dapat berbicara banyak mengenai kota itu.”
Guo Wei lalu memejamkan matanya, dan
membukanya kembali. “Kekuatan gaibku mengatakan
bahwa istrimu adalah seorang peri yang jahat.”
“Apa maksud Tuan?”
“Aku tidak tahu. Yang jelas, bila roh jahat ini tidak
segera dibinasakan, akibatnya akan sangat buruk
untukmu!” kata pendeta itu mengingatkan.
Xu Xian menggelengkan kepala tak percaya, “Saya
yakin Tuan hanya membual.”
“Ambil saja jimatku ini tanpa harus membayar,”
kata Guo Wei. “Karena bila aku meminta ongkosnya,
kaupikir aku ingin menipumu. Dengan ketiga jimat
ajaib ini, engkau dapat menangkap roh jahat itu dan
berterima kasih kepadaku. Bila tidak terjadi sesuatu,
aku takkan mengganggumu lagi.”
“Baiklah! Berikan ketiga jimat itu kepada saya,”
kata Xu Xian.
Guo Wei memandang pengunjung yang
berkerumun di sekelilingnya. “Tuan Xu setuju untuk
memusnahkan roh jahat itu. Aku sekarang akan
memberinya tiga jimat ajaib.” Ia menoleh ke arah Xu
Xian dan mengajarkan cara menggunakan ketiga
jimat itu. “Jimat yang pertama akan melindungimu.
Engkau harus menyembunyikannya di balik kursimu.
Yang kedua harus kautempelkan di pintu agar roh
jahat itu tidak dapat melarikan diri. Yang ketiga
adalah jimat untuk menangkap roh itu. Jika engkau
melihatnya bersembunyi, peganglah jimat ini. Roh
jahat itu akan kembali ke bentuk aslinya, dan setelah
itu engkau akan dapat menangkapnya.”
“Kata-katamu benar-benar keterlaluan,” kata Xu
Xian. Ia ragu-ragu untuk menerima ketiga jimat itu.
“Ia tidak minta bayaran,” teriak seseorang. “Jadi,
tidak ada ruginya mencoba.”
Xu Xian mengangguk, “Baiklah, akan kucoba.”
Pendeta itu lalu menulis tiga tulisan keramat.
Jimat yang pertama disembunyikannya pada topi Xu
Xian. Jimat yang kedua dan ketiga ia letakkan pada
tangan kiri dan kanan Xu Xian.
“Tulisan yang ketiga ini adalah yang paling
penting,” katanya mengingatkan. “Jagalah agar
mereka tidak melihatnya. Lakukan seperti yang
kukatakan, maka roh jahat itu akan kalah.”
“Masih ada hal lain yang saya perlukan?”
“Tidak. Aku tahu kau tinggal di Rumah Kasih. Aku
akan datang ke rumahmu nanti dan melihat apa yang
terjadi.”
“Kalau kukatakan hal ini kepada Bai Su-zhen,
pasti ia tertawa,” kata Xu Xian kepada dirinya sendiri.
Ia bergegas pulang. Setibanya di rumah ia berteriak
memanggil istrinya sambil melambai-lambaikan jimat
itu. “Istriku, aku bertemu seorang pendeta aneh di
kuil Lu. Ia mengatakan bahwa ada roh jahat di
rumah kita. Lalu ia memberiku tiga tulisan keramat
untuk menangkap roh jahat itu. Lucu sekali!”
Bai Su-zhen menahan napasnya. Karena tidak juga
menjawab, Xu Xian tiba-tiba merasa takut dan
menahan langkahnya.
“Aku mendengar apa yang kaukatakan,” teriak Bai
Su-zhen dari dalam. “Mengapa engkau tidak segera
masuk?”
Bai Su-zhen tertawa, “Kalau aku benar-benar roh
jahat, apakah engkau akan menangkapku? Kalau
bukan, orang-orang akan tahu bahwa pendeta itu
penipu, ‘kan?”
Xu Xian masuk ke dalam dan menceritakan di
mana ia menyimpan ketiga jimatnya.
“Lakukanlah apa yang diajarkannya kepadamu,”
kata Bai Su-zhen dengan tenang. “Kalau tidak terjadi
sesuatu, engkau akan merasa lega.”
Xu Xian membenarkan kata-kata istrinya. Setelah
menempelkan jimat yang kedua di pintu, Xu Xian
memandang istrinya. Namun dilihatnya istrinya
tenang-tenang saja.
“Bagaimana dengan jimat yang ketiga?” tanyanya.
Xu Xian bersandar di ambang pintu. “Aku takut
menggunakannya.”
“Apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanya
Bai Su-zhen menantang.
“Bukan demikian. Akan kulakukan sekarang juga.”
Ia segera menghadapkan jimat itu ke arah Bai Su-
zhen. Namun ternyata tidak sesuatu pun terjadi. Xu
Xian membiarkan jimat itu jatuh ke lantai. Bai Su-
zhen tetap tidak bergerak.
“Engkau tahu, dari tadi sudah kukatakan bahwa
pendeta itu berbohong,” kata Xu Xian. “Tetapi
mengapa ia menuduh orang yang tidak bersalah?”
“Tidakkah engkau mengerti, Semua orang di sini
mengenalku. Ia telah mempengaruhimu dengan
bualannya, dan memberimu jimat ini untuk
menangkap roh jahat. Engkau telah membuktikan
sendiri, tidak sesuatu pun terjadi. Maka engkau pun
berpikir bahwa pendeta itu menipumu. Namun
ingatlah, ia tidak minta dibayar dan engkau tidak
memberinya uang. Tetapi engkau telah memberinya
sesuatu yang lebih besar kepercayaanmu. Setelah
engkau pergi, ia akan mengatakan kepada semua
orang bahwa Xu Xian, suami Nona Bai, percaya
kepadanya, dan dalam waktu dekat engkau akan
kembali dan memberinya uang. Dengan demikian
mereka akan membeli dagangannya. Dan karena ia
mengatakan bahwa ia akan segera pergi dari kota ini,
maka orang-orang akan bergegas membeli
dagangannya. Bukankah begitu?”
“Benar juga. Akan kudatangi ia sekarang,” kata Xu
Xian dengan marah.
Bai Su-zhen memberinya secangkir teh, dan
tersenyum lembut. “Apa maksudmu? Jika engkau
datangi ia kembali untuk mengatakan bahwa
jimatnya palsu, ia pasti akan menjawab, ‘Tuan Xu,
ternyata aku keliru. Syukurlah engkau belum
memberiku uang. Dengan demikian, tidak ada
masalah, bukan?’ Kali ini engkau telah tertipu.
Kuharap lain kali engkau lebih berhati-hati. Apa
gunanya berpayah-payah mendatanginya kembali?”
Xu Xian menangkap maksud Bai Su-zhen dan
dengan geram melempar ketiga jimat itu ke tempat
sampah. “Pendeta tua itu penipu. Mengapa semudah
itu aku dipengaruhi?”
Bai Su-zhen memanggil Xiao Qing dan
menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Diperintahkannya agar Xiao Qing pun berhati-hati.
“Apakah engkau membiarkan pendeta tua itu pergi
begitu saja?” tanya Xiao Qing.
“Oh, ia hanya pendeta biasa. Biarkan saja.”
“Aku tidak setuju,” bantah Xiao Qing. “Dengarkan
aku. Engkau sangat terkenal sekarang. Aku yakin ia
akan mencoba lagi. Tentunya hal itu akan
menimbulkan masalah. Ia harus tahu bahwa engkau
tidak takut pada jimat apa pun. Engkau juga harus
membuktikan kepada orang banyak bahwa ia penipu.
Aku akan menciptakan angin untuk
menerbangkannya ke Yunnan. Ia tidak boleh berada
di kota ini. Sungguh tidak aman bagi kita.”
Bai Su-zhen berpikir sebentar. “Aku rasa engkau
benar,” keluhnya. “Baiklah, tetapi jangan lukai dia.”
“Tentu saja tidak,” kata Xiao Qing tak sabar.
Bai Su-zhen menceritakan kepada Xu Xian apa
yang akan mereka lakukan. Namun ia tidak
menyebut rencana Xiao Qing menerbangkan pendeta
itu ke Yunnan.
Xu Xian menyetujui sepenuhnya rencana mereka.
“Pendeta Guo benar-benar penipu. Jangan biarkan
ia tinggal di kota ini.”
Kemudian Xu Xian menyewa dua tandu untuk
membawa dirinya bersama Bai Su-zhen ke tempat
pendeta Guo. Saat itu si pendeta tua sedang duduk
menanti Xu Xian. Ia melihat Xu Xian datang bersama
dua orang lainnya. Dari tempat duduknya ia dapat
melihat sinar putih memancar dari rambut Bai Su-
zhen dan sinar hijau dari rambut Xiao Qing. Ia
berteriak ketakutan.
“Roh jahat berani datang ke kuil. Gawat!”
“Lihat,” kata Xu Xian, “Itu dia di sana.”
Bai Su-zhen mendekati Guo Wei. Ia melihat
pendeta itu sedang memejamkan mata sambil
membaca mantra-mantra.
“Iblis, berani benar engkau datang ke mari!” kata
Guo Wei.
Tanpa merasa bersalah, Bai Su-zhen menatap
lurus ke matanya. “Mengapa engkau menyumpah-
nyumpah? Kaubilang aku roh jahat. Suamiku telah
melakukan apa yang kauajarkan kepadanya, dan
ternyata tidak sesuatu pun terjadi. Itu sebabnya aku
sengaja datang ke sini, agar engkau dapat
mencobanya dan buktikan sendiri apakah aku benar-
benar roh jahat. Dan apa yang akan kaulakukan bila
dugaanmu keliru?”
Orang-orang pun mulai berdatangan, “Ya, apa
yang akan kaulakukan, Pendeta?”
Guo Wei menjawab, “Ia adalah roh jahat.
Seandainya kata-kataku keliru, aku akan berhenti
menjadi pendeta, dan meninggalkan negeri ini.”
“Kalau aku roh jahat,” kata Bai Su-zhen, “Aku
akan mati. Kalau tidak, engkau harus segera pergi.
Adil, bukan?”
Bai Su-zhen melihat ke sekitarnya. Orang-orang
berteriak, “Tidak, itu tidak adil!”
“Kaudengar sendiri,” lanjutnya. “Itu tidak adil.
Tetapi karena aku tidak ingin menyulitkan dirimu,
jadi aku menyetujui persyaratan yang kauajukan.”
“Aku akan menuliskan sebuah jimat yang harus
kautelan. Aku yakin engkau akan kembali ke
bentukmu sesungguhnya,” kata Guo Wei.
“Baik. Silakan,” kata Bai Su-zhen tenang.
Lalu ia mengambil jimat itu dan berkata, “Aku
akan menelan kertas ini. Tapi katakan dulu roh
macam apa aku ini.”
Pendeta itu tidak terlalu pandai. Ia tidak tahu
bahwa Bai Su-zhen secara diam-diam telah
mengubah bentuk aslinya menjadi seekor rubah.
Karena yang dilihatnya adalah bentuk seekor rubah,
maka ia berkata, “Engkau adalah seekor rubah,
bukan?”
“Baiklah. Aku adalah seekor rubah. Tuan-tuan,
lihatlah. Aku akan segera memakan jimat ini.” Bai
Su-zhen lalu menelan kertas itu, dan meneguk
secangkir air, dan meletakkan kembali cangkir itu.
Kemudian dengan tenang ia berjalan ke halaman.
Guo Wei menyadari kecerdikan Bai Su-zhen. Ia
mampu menyembunyikan bentuk aslinya. Tetapi
siapa yang akan mempercayai kata-katanya? Pendeta
itu menjadi kebingungan dan menyadari bahwa ia
tidak dapat melarikan diri.
“Nah! Aku telah menelan kertas jimatmu, dan
ternyata tidak sesuatu pun terjadi”
“Ini sungguh-sungguh aneh,” kata si pendeta
tergagap-gagap.
Sementara itu Xiao Qing yang telah menciptakan
lima roh berbentuk manusia, berdiri di antara orang-
orang yang mengerumuni mereka. Kelima roh itu
berteriak, “Usir penipu tua ini!”
Guo Wei merasa keadaannya tidak aman. Ia segera
kabur, menyeruak di antara kerumunan orang, dan
berlari dari pintu kuil.
Xiao Qing berdiri di halaman berkecak pinggang.
Matanya membelalak. Bai Su-zhen memanggilnya,
“Xiao Qing, engkau tidak melakukan apa yang
kuperintahkan. Tetapi orang-orang telah melihat
pendeta itu pergi. Mari kita segera pulang. Aku yakin
pendeta itu tidak akan mengganggu kita lagi.”
Xiao Qing memahami maksud kakaknya. Ia segera
pergi meninggalkan kuil itu, lalu memanggil angin
hitam yang kemudian menerbangkannya ke tempat
Guo Wei yang saat itu sedang berlari menyusuri
lorong Xiao Qing mencegatnya.
“Hei pendeta! Mau ke mana engkau?” panggilnya.
Melihat Xiao Qing, Guo Wei berhenti berlari. Ia
tahu bahwa Xiao Qing telah menggunakan ilmu
sihirnya “Dari mana engkau tahu aku ada di sini?”
Xiao Qing tertawa. “Kepandaian sihirmu harus
kumusnahkan,” katanya.
“Aku tidak ingin membicarakan hal itu sekarang.
Aku hanya ingin melarikan diri dari Suzhou. Aku
tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang
saudaramu,” kata Guo Wei gugup.
“Aku tahu engkau sudah meninggalkan Suzhou.
Tetapi suatu saat engkau akan kembali lagi bersama
orang-orang yang jauh lebih pandai. Sekarang engkau
harus mengikuti perintahku,” bentak Xiao Qing.
“Mengikuti perintahmu? Maksudmu, engkau akan
menyakiti diriku? Oh, betapa sengsaranya aku!”
tangis Guo Wei.
“Menyakitimu? Tidak. Bila aku ingin
membunuhmu, aku dapat melakukannya kapan saja.
Untuk membuktikannya, akan kutunjukkan
sesuatu.”
Xiao Qing melihat ke sekelilingnya. Ia melihat
serpihan-serpihan batu besar yang tersebar di kaki
dinding. Xiao Qing menunjuk benda itu, dan berkata,
“Terbang dan bersatulah!”
Serpihan-serpihan itu menyatu menjadi sebuah
batu yang besar dan berat, dan terbang ke awang-
awang.
Guo Wei gelagapan. Xiao Qing berseru lagi,
“Kembalilah ke tempatmu semula!” Batu itu turun
kembali, dan menjadi serpihan-serpihan yang
menyebar di kaki dinding.
“Mari!” ajak Xiao Qing. “Sekalipun di sini sepi,
sewaktu-waktu akan ada orang lewat. Naiklah!”
Guo Wei mendapatkan dirinya terbang di langit. Ia
memejamkan matanya ketakutan. Xiao Qing
memegangnya erat-erat. Mereka melaju dengan cepat
berkat angin ciptaan Xiao Qing. Guo Wei tidak
berdaya dan terpaksa menaati perintah Xiao Qing. Ia
tidak tahu berapa lama mereka terbang, namun
bulan telah bersinar ketika mereka mendarat di
suatu jalan besar.
“Engkau berada di Yunnan sekarang,” kata Xiao
Qing. “Kota terdekat kira-kira 16 km jauhnya dari sini
Pergilah ke sana. Aku telah meminta kepada dewa-
dewa di bumi ini untuk mencegahmu pergi dari
Yunnan. Bertindaklah lebih hati-hati!”
Guo Wei tak dapat membantah. Xiao Qing
kemudian memasukkan tangan ke sakunya untuk
mengambil sejumlah uang dan memberikannya
kepada Guo Wei. “Ini untukmu, pakailah. Setiap kali
engkau membayar dengan uang ini, engkau akan
teringat pada kemurahan hatiku.”
Guo Wei tidak menyangka bahwa Xiao Qing akan
memberinya uang. Ia membungkuk dalam-dalam dan
berkata, “Aku sangat berterima kasih kepadamu.”
Xiao Qing menjawab, “Setidaknya, engkau telah
berhutang budi kepadaku. Pergilah sekarang juga!”
Kemudian dengan mengendarai angin Xiao Qing
terbang kembali ke rumahnya.
BAB 7

B ai Su-zhen menggunakan kekuatannya untuk


menyibakkan jalan dari kerumunan orang. Ia
memberi isyarat kepada Xu Xian untuk
mengikutinya.
Dalam perjalanan pulang, Xu Xian berkata,
“Sayangku, begitu marahnya aku tadi sehingga
hampir tidak sanggup berkata-kata. Aku bersyukur
kau berhasil menguasai keadaan. Aku yakin
orangtuamu telah mewariskan sifat-sifat yang baik
kepadamu.”
“Sekarang semuanya telah berlalu. Sebaiknya kita
lupakan saja kejadian hari ini,” kata Bai Su-zhen.
“Ya! Bila tidak ada lagi yang harus kaukerjakan,
sebaiknya kita segera menyewa tandu untuk pulang.”
“Jangan. Jalanan sudah sepi, lebih baik kita
berjalan kaki saja.”
Lalu keduanya berjalan pulang. Tak seorang pun
di toko mengetahui kejadian di kuil Lu. Semua
bekerja seperti biasa. Dan Xu Xian pun tidak
mengatakan sesuatu.
Meskipun Xiao Qing adalah orang pertama yang
keluar dari kuil, ia belum juga tiba di rumah, ketika
keduanya sampai.
“Ke mana Xiao Qing?” tanya Xu Xian khawatir.
“Sedang mengunjungi seorang kawan. Ia tidak
akan salah jalan,” jawab Bai Su-zhen. Xu Xian
merasa lega.
Suatu malam, ketika Xu Xian sedang duduk
seorang diri di kantornya memeriksa keuangan, Bai
Su-zhen melihat bulan bersinar di langit yang tak
berawan. Pemandangan sangat indah. Setelah
memanggil Xiao Qing, keduanya lalu naik ke loteng
dan memandang ke kota Suzhou. Bayang-bayang
hitam rumah penduduk terlihat bagai orang yang
sedang tidur nyenyak.
Angin dingin berhembus. Karena melihat Bai Su-
zhen mengenakan baju yang sangat tipis, Xiao Qing
pun berkata, “Kakak, hari semakin dingin. Mari kita
turun sekarang. Aku takut kau akan jatuh sakit”
“Jangan khawatir. Kita duduk sebentar di sini,”
jawab Bai Su-zhen. “Memandang bulan sungguh
membahagiakan hati.”
“Xu Xian agak aneh beberapa waktu terakhir ini,”
kata Xiao Qing.
“Ya! Tetapi ia jujur, tak pernah merahasiakan
sesuatu. Seperti kejadian Guo Wei, ia
menceritakannya secara terus terang kepadaku.”
“Ia memang orang yang sangat baik.”
Bai Su-zhen tertawa. “Sebagai seorang suami, ia
sangat terpuji. Ia tidak pernah berbohong kepadaku.”
Ketika Xiao Qing akan mengatakan sesuatu, Xu
Xian berteriak memanggil.
Xiao Qing menjawab, “Kami di sini, memandang
bulan. Naiklah ke loteng!”
Xu Xian pergi ke halaman belakang. Sambil
menaiki tangga ia berkata, “Rupanya kalian sedang
bercengkerama. Sungguh menyenangkan.”
Sambil memegang tangan Xu Xian, Bai Su-zhen
berkata, “Lihat! Walaupun bulan tidak penuh,
sinarnya cukup terang. Indah, bukan?”
Tiba-tiba Xu Xian berteriak, “Tanganmu dingin
sekali, sayang. Sebaiknya kita segera masuk.”
“Jangan khawatir. Tinggallah di sini barang
sebentar. Semua orang yang tidur tak akan tahu
betapa indahnya bulan malam ini. Kesejukan seperti
ini sungguh menyenangkan!”
“Tapi angin bertiup kencang,” bantah Xu Xian,
“Dan bajumu terlalu tipis. Masuklah!”
Bai Su-zhen menggigil kedinginan. Sambil
menggandeng Xu Xian, ia pun turun. Tiba-tiba ia
merasa kurang enak badan, tanpa tahu sebabnya.
Sekitar hari kelima bulan kelima, mereka benar-
benar sibuk. Xu Xian berjalan hilir-mudik di tokonya,
Bai Su-zhen dan Xiao Qing sibuk membuat nasi dan
kue apel.
Tiba-tiba seorang pegawai masuk ke dalam
memanggil Xu Xian. Di luar ada seorang pendeta
Budha yang ingin menemuinya.
“Mengapa menggangguku? Beri saja ia uang dan
suruh ia pergi,” kata Xu Xian tak sabar.
“Tidak! Ia ingin menemui Anda,” kata pegawai itu.
“Aneh.” Xu Xian terpaksa menghentikan
pekerjaannya.
“Mula-mula saya mengira ia ingin minta sedekah.
Tetapi ia menggelengkan kepalanya ketika saya
memberinya uang. Ia berkata bahwa ia ingin
menemui Anda. Ia tidak minta uang atau obat.”
“Apakah ia mengetahui namaku?”
“Ya. Mungkin ia teman Anda?”
Xu Xian menggelengkan kepalanya, terkejut.
“Temanku? Siapa? Perayaan Naga baru akan
berlangsung esok hari. Mengapa ia ingin menemuiku
hari ini.”
Sambil menyiapkan makanan Bai Su-zhen berkata,
“Sebaiknya kautemui saja dia, Suamiku, barangkali
ia memerlukan bantuanmu.”
Xu Xian keluar untuk menemui tamunya. Pendeta
itu sedang bersandar di pintu. Usianya sekitar enam
puluh tahun. Ia memakai topi jerami, baju kuning
dari bahan kasar dan sepasang sandal. Alis matanya
lebat, matanya memanjang, dan kepalanya botak
berkilat-kilat.
Xu Xian mengangguk, “Tuan! Anda ingin menemui
saya?”
Pendeta itu berkata, “Jadi engkaulah pemilik
Rumah Kasih ini?”
“Ya, sayalah pemiliknya. Saya yakin kita belum
pernah berjumpa. Saya masih muda dan teman saya
tidak banyak.”
“Engkau tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu
Xu Xian.”
“Benarkah? Berita apakah yang akan Anda
sampaikan kepadaku?”
Pendeta itu memandang ke seluruh ruangan dan
berkata sambil tersenyum kecil. “Aku ingin bicara
kepadamu. Apakah engkau mempunyai waktu?”
“Tentu saja. Anda dapat segera menyampaikannya
kepada saya.”
“Aku lebih suka bicara berdua saja. Ada tempat
yang agak sepi di halaman belakang. Kita dapat
berbicara di sana.”
Dalam hati Xu Xian berkata bahwa usul si pendeta
cukup aneh. Bila ia ingin berbicara, mengapa harus
mencari tempat sepi? “Tidak ada orang lain di toko,”
katanya. “Anda dapat berbicara bebas di sini.”
“Aku ingin menceritakan suatu rahasia,” kata
pendeta itu. Xu Xian memandang wajah si pendeta.
Karena toko sedang banyak pengunjung, pendeta itu
diajaknya pergi ke halaman belakang.
“Nah, ceritakanlah!” kata Xu Xian.
Pendeta itu mengibaskan tongkatnya dan berkata,
“Untuk sementara tidak akan ada yang dapat masuk
ke sini.” Katanya setelah memerintahkan lima peri
menjaga pintu masuk. “Apakah engkau belum juga
mengenal diriku?”
“Saya tidak tahu dari mana Tuan datang, dan
bagaimana saya harus memanggil Anda?” jawab Xu
Xian.
“Aku seorang pendeta dari Gunung Emas. Namaku
Fa Hai.”
Xu Xian mengangguk, “Jadi Tuanlah pendeta yang
terkenal itu.”
Fa Hai berkata, “Engkau terkena penyakit, Tuan
Xu. Aku datang untuk menyembuhkanmu.”
Xu Xian terkejut, “Tetapi, saya merasa sehat, dan
istri saya dapat mengobati bila saya jatuh sakit.”
“Justru istrimulah penyebabnya,” kata Fa Hai
hampir berbisik.
“Jangan berkata yang bukan-bukan,” kata Xu
Xian.
“Kaukira ia adalah wanita yang paling cantik di
dunia. Engkau keliru. Karena sesungguhnya ia
adalah seekor ular putih.”
Xu Xian semakin terkejut, “Ular putih?” Ia
menggelengkan kepalanya. “Mana mungkin! Lagi
pula, ia tidak sendirian ketika kami berjumpa untuk
pertama kalinya. Ia bersama adiknya, Xiao Qing.”
“Xiao Qing juga seekor ular; ular hijau,” lanjut
pendeta itu.
Xu Xian benar-benar dibuatnya kikuk, “Ah!... ‘Bai’
dan ‘Qing’4 memang warna-warna ular. Tetapi saya
tidak percaya. Saya orang miskin. Mengapa mereka

4 Dalam bahasa Cina, 'Bai' berarti putih, dan 'Qing' berarti hijau.
ingin mendekati saya? Setelah kami menikah, justru
merekalah yang memberi saya uang dan Bai juga
telah berbuat baik kepada banyak orang. Rakyat di
sini memanggilnya ‘Dewi Bai’.”
“Ia menipumu. Hal seperti ini mudah saja
dilakukan roh jahat seperti dirinya. Ia dapat
mengubah bentuknya seperti manusia. Jika Engkau
tetap bersamanya, sesuatu yang mengerikan akan
terjadi padamu!” kata Fa Hai yang rupanya sudah
sangat mengenal Bai Su-zhen.
Xu Xian ketakutan. Dengan cemas ia mengetukkan
kakinya berkali-kali ke lantai.
Fa Hai meneruskan keterangannya, “Kira-kira
sebulan yang lalu, di kuil keluarga Lu, seorang
pendeta memberimu tiga jimat, bukan?”
“Ya,” kata Xu Xian membenarkan. Ia gemetar
memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kekuatan pendeta ini kurang kuat. Ia tidak
mampu mengetahui bentuk asli istrimu. Jadi, jimat
yang diberikannya kepadamu tidak berpengaruh.
Kemudian istrimu menghinanya di kuil itu dan Xiao
Qing mengusirnya ke Yunnan.”
“Benarkah itu?” tanya Xu Xian. Ia mulai
mempercayai pendeta itu.
“Kejadian itu terjadi kurang dari sebulan yang lalu.
Semua orang mengetahuinya. Sekarang coba jawab
pertanyaanku. Dari mana istrimu mendapat uang
untuk pindah ke Suzhou dan membuka toko?”
“Itu uang keluarganya.”
“Siapa yang membawa uang itu?”
“Dua pegawai almarhum ayahnya. Tetapi saya
sendiri belum pernah melihat uang itu. Mereka
langsung membawanya ke Suzhou untuk membuka
toko,” kata Xu Xian membela diri.
Fa hai tertawa, “Kedua pegawai itu sebenarnya
adalah seekor kura-kura dan seekor kepiting. Aku
tidak tertarik kepada mereka, karena mereka tidak
mengganggu orang.”
“Tetapi toko obat ini berdiri berkat jasa mereka
berdua,” kata Xu Xian. “Mereka berdua benar-benar
orang baik-baik.”
“Anda belum juga percaya kepadaku. “Xu Xian
menggeleng. “Sekalipun saya mempertimbangkannya,
tetapi saya tidak dapat mempercayai kata-kata Tuan.
Karena semenjak kami menikah, usaha saya maju
pesat. Istri saya berasal dari keluarga baik-baik.
Sejak kecil ia belajar ilmu silat dan sangat
berpendidikan dan saya mempercayainya. Bila saya
berbuat salah, ia segera memperbaikinya. Dan
bukankah ular adalah binatang yang menakutkan
manusia dan anak-anak? Padahal banyak orang
menyukai istri saya. Saya yakin Anda telah menuduh
orang yang tidak bersalah. Lebih baik kita tidak
membicarakan hal ini lebih lanjut.”
Fa Hai melihat ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa
di sana. Ia mengangguk dan berkata, “Aku tidak
mempunyai cukup bukti untuk membuatmu percaya.
Tetapi besok ada perayaan Perahu Naga. Pada pukul
tiga sore, istrimu akan berubah ke bentuk aslinya.
Kalau engkau sudah melihatnya, baru engkau
percaya kepadaku. Sebut nama dewa-dewa tiga kali,
dan aku akan datang menyelamatkanmu. Apakah
engkau dapat melakukannya, Xu Xian?”
“Jika ia seekor ular, Aku pasti akan... ah... tetapi,
ia bukan ular, bukan!!” kata Xu Xian mencoba
meyakinkan dirinya.
Fa Hai mengeluh, “Rupanya engkau benar-benar
tidak mau mempercayai kata-kataku. Apakah istrimu
dan adiknya akan ikut bersembahyang pada
perayaan Perahu Naga, besok?”
“Tentu saja.”
“Bagus! Siapkan anggur kuning, dan berikan
minuman itu kepada istrimu. Usahakan agar ia mau
meminumnya. Lihatlah apa yang akan terjadi.”
“Kata-katamu membuat saya takut,” kata Xu Xian.
“Tetapi saya yakin istri saya bukanlah ular yang
menyamar.”
“Aku hanya mengatakan yang kuketahui. Apa yang
kemudian akan terjadi akan membukakan matamu,”
jawab Fa Hai samar-samar.
Selesai berbicara, pendeta itu memanggil anak
buahnya, lalu meminta diri.
Perlahan-lahan Xu Xian kembali ke rumahnya,
sambil memikirkan kata-kata pendeta itu. Jika
istrinya benar-benar seekor ular, ia pasti sudah
menjadi korban. Mengapa pula ia bersusah payah
mendirikan toko? Ketika ia sedang memikirkan kata-
kata si pendeta, Bai Su-zhen datang mendekat.
Dipandangnya Bai Su-zhen lekat-lekat. Ia tetap saja
cantik, tidak membuatnya takut. Maka Xu Xian pun
memutuskan untuk tidak berterus terang kepada
istrinya.
“Suamiku, apa yang diminta pendeta itu?”
Karena tidak tahu apa yang harus ia katakan, Xu
Xian menjawab sambil tertawa, “Sedekah! Untuk
perayaan Perahu Naga besok pagi.”
“Sudah kuduga. Sebagian pendeta harus hidup
hanya dari hasil sedekah. Tetapi sebaiknya kau
pertimbangkan baik-baik sebelum memberi uang
kepada mereka.”
Xiao Qing datang membawa seteko teh dan
meletakkannya di depan Bai Su-zhen yang saat itu
duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu.
Xu Xian memperhatikan tingkah laku Bai Su-zhen
dan Xiao Qing. Semua tampak wajar, tak ada yang
aneh. Ketika Bai Su-zhen minum, teh panas itu
menumpahi tangannya. Ia cepat-cepat meletakkan
cangkir dan mengambil sapu tangan untuk
mengeringkan kulitnya yang basah. Perbuatannya
wajar. Xu Xian semakin yakin, bahwa pendeta tadi
mengada-ada. Ia berniat menceritakan semuanya
kepada istrinya.
“Apa yang sedang kauperhatikan?” tanya Bai Su-
zhen.
“Aku sedang melihatmu menyeka teh yang
tertumpah di tanganmu. Betapa rapi dan telitinya
engkau.”
Jawaban yang ia sampaikan benar-benar
menghilangkan kecurigaan Bai Su-zhen.
“Kebiasaan sejak aku masih kecil,” jawabnya
sambil tersenyum.
“Akan kuceritakan terus terang besok pagi,” pikir
Xu Xian. “Bila ia mendengar ceritaku setelah minum
anggur, ia pasti tertawa.”
Xu Xian tersenyum dan berkata, “Kebiasaanmu
benar-benar mengagumkan.”
BAB 8

H ari Perahu Naga selalu dirayakan dengan meriah.


Di kota-kota besar, orang-orang makan bakpau
di siang hari dan minum anggur di sore hari.
Pertandingan Perahu Naga yang disukai anak-anak
muda dilangsungkan di sungai-sungai. Pada hari
tersebut, semua orang bersenang-senang. Para
remaja biasanya mengenakan baju baru. Pegawai dan
anak sekolah diliburkan.
Hari itu, Bai Su-zhen bangun pagi-pagi. Setelah
mencuci muka, ia meminum tehnya sambil
memandang uap panas yang keluar dari cangkirnya.
Xiao Qing datang dan berbisik kepadanya.
“Kakak, aku akan bersembunyi di gunung, agar
tidak berada di sini pada pukul tiga nanti. Kau
bagaimana?”
Dengan tenang Bai Su-zhen meletakkan tehnya,
“Aku telah berpengalaman ribuan tahun. Kupikir
sebaiknya aku tinggal di sini saja. Pergilah
bersembunyi.”
“Walaupun telah berpengalaman, kau harus tetap
waspada. Sesuatu yang tidak terduga mungkin saja
terjadi. Sebaiknya kau ikut bersamaku.”
“Tidak! Aku dapat menjaga diri,” kata Bai Su-zhen
dengan penuh keyakinan. “Pergilah.”
“Baiklah, aku pergi dulu.”
Bai Su-zhen tinggal sendiri di dalam rumah. Xu
Xian datang dan berkata, “Karena hari libur, aku
ingin menonton lomba perahu. Tampaknya kau
kurang sehat. Benarkah demikian?”
Bai Su-zhen tersenyum, “Apakah wajahku pucat?”
“Kau sakit?” tanya Xu Xian sambil menarik
kursinya ke dekat Bai Su-zhen dan memandangnya
dari dekat.
“Bagaimana wajahku? Pucatkah?” tanya Bai Su-
zhen.
“Gurauanmu menunjukkan bahwa sesungguhnya
kau sehat-sehat saja,” sahut Xu Xian.
“Aku memang merasa kurang enak badan,” Bai
Su-zhen mengaku.
“Kenapa?” tanya Xu Xian bersemangat.
Bai Su-zhen tertawa malu. “Tidak apa-apa. Hanya
aku sudah hamil beberapa bulan.”
Xu Xian menggenggam tangan istrinya dan tertawa
gembira.
“Benarkah? Mengapa baru sekarang kauceritakan
kepadaku?”
“Kalau kukatakan dari dulu, aku takut kau akan
khawatir. Karena hari ini kau akan pergi berjalan-
jalan, aku memutuskan untuk berterus terang
kepadamu.”
“Engkau wanita yang tak ada duanya,” kata Xu
Xian dengan hangat, “Selalu memikirkan orang lain,
bukan dirimu sendiri! Kau ingin makan sesuatu?”
katanya sambil berdiri. “Di mana Xiao Qing?”
“Nah, betul bukan, kataku?” goda Bai Su-zhen.
“Kau langsung panik. Aku tidak ingin makan.
Sebaiknya undanglah segera pegawai-pegawai kita
untuk makan bakpau. Setelah itu liburkan mereka,
agar mereka dapat menonton perlombaan perahu.
Dan kau pun harus berdoa di kuil. Toko tidak perlu
dijaga.”
“Aku sudah pergi bersembahyang. Di mana Xiao
Qing?”
“Xiao Qing sudah melayaniku bertahun-tahun. Ia
sangat jarang bersenang-senang. Jadi hari ini
kusuruh ia menonton perlombaan perahu,” kata Bai
Su-zhen dengan cepat.
“Kau benar. Kalau begitu akan kusuruh pelayan
menghidangkan bakpau untukmu.”
Pelayan segera datang menghidangkan bakpau di
atas meja makan, lengkap dengan mangkok, cangkir,
dan sumpitnya. Seguci anggur terdapat di sudut
meja.
“Kemari dan duduklah,” kata Xu Xian.
Bai Su-zhen duduk dengan susah payah. Xu Xian
menuangkan anggur untuknya, lalu mengisi gelasnya
sendiri. Kemudian ia mengangkat guci anggur sambil
tersenyum, “Kita harus minum untuk merayakan hari
ini.”
“Aku tidak boleh minum anggur lagi, karena
sedang hamil,” kata Bai Su-zhen sambil meraih
bakpau dan melepaskan pembungkusnya. Xu Xian
meminum anggurnya.
“Apakah engkau benar-benar tidak mau minum?”
tanyanya. “Ya! Untuk sementara waktu. Minumlah!
Dan cepatlah berangkat ke danau. Aku tidak dapat
pergi bersamamu,” kata Bai Su-zhen.
Xu Xian berpikir, “Benar juga kata Fa Hai. Tetapi
karena hamil, ia mempunyai dalih untuk tidak
minum anggur. Fa Hai berkata bahwa aku harus
memaksanya. Aku akan mencoba membujuknya.
Lagipula minum anggur segelas, pada perayaan hari
ini konon dapat mengusir roh jahat.”
Maka Xu Xian berdiri dan berkata, “Kalau kau
tidak mau makan lagi, sudahlah. Tetapi sekarang aku
mengajakmu minum anggur untuk merayakan hari
ini.”
Bai Su-zhen sama sekali tidak menaruh curiga
ketika Xu Xian mengambil sebuah botol, lalu
menuangkan isi gelas Bai Su-zhen ke dalam botol,
dan mengisi gelas Bai Su-zhen yang sudah kosong,
dengan anggur berwarna kuning.
“Apa ini?” kata Bai Su-zhen.
“Anggur kuning. Aku baru saja menelitinya. Kalau
engkau meminumnya sementara sedang
berfermentasi, perasaanmu akan menjadi lebih
segar.”
Bai Su-zhen mengernyitkan dahinya.
“Aku tidak dapat meminumnya.”
“Mengapa tidak? Anggur ini akan menghilangkan
demam dan cacing dari tubuhmu.”
“Apakah engkau lupa bahwa aku hamil? Kalau kau
memaksaku minum anggur ini, perutku akan mual,”
kata Bai Su-zhen berkeras menolak.
Namun Xu Xian mengambil gelas itu dan berkata,
“Anggur ini akan membuat tubuhmu lebih sehat.
Cacing dan demam juga akan musnah dari tubuh
janin yang kaukandung.”
“Tidak,” ulang Bai Su-zhen sambil berdiri.
“Biasanya kau tidak begini,” bantah Xu Xian.
“Tetapi mengapa tiba-tiba kau jadi keras hati?
Minumlah! Betapa harum baunya.”
Xu Xian terus memaksa. Dari kekuatan gaibnya,
Bai Su-zhen dapat merasakan bahwa anggur kuning
itu tidak akan berbahaya baginya.
“Baiklah,” katanya. “Aku akan minum satu gelas
saja.”
Ia lalu mengambil gelas itu dan minum isinya
sampai habis. Mendadak sekujur tubuhnya terasa
sakit. Bai Su-zhen berdiri sambil berpegang pada
meja. Mukanya merah padam.
“Apakah engkau baik-baik saja?” tanya Xu Xian
khawatir.
“Aku ingin merebahkan diri sebentar,” kata Bai Su-
zhen.
Xu Xian bergegas memapahnya. Tapi Bai Su-zhen
menepis tangannya.
“Tenanglah. Aku hanya ingin beristirahat
sebentar.”
Bai Su-zhen beranjak dari meja dan bergegas
menuju ke kamarnya. Di pintu ia berkata perlahan,
“Aku ingin beristirahat. Tinggalkan aku sendirian di
kamar! Jangan ganggu aku. Dalam beberapa jam,
aku akan sehat kembali,” ujarnya sambil menutup
pintu, ia bergegas masuk kamar.
“Aku tidak dapat berdiri saja di sini, tanpa
melakukan sesuatu,” cetus Xu Xian dalam hati.
“Tampaknya ia benar-benar sakit. Aku akan mencari
obat untuk menolongnya.”
Ia menemukan sebotol kecil obat yang dikiranya
akan dapat menyembuhkan istrinya. Kemudian ia
mengisi cangkir dengan air hangat hingga setengah
penuh, lalu segera berlari ke kamar.
“Jangan khawatir, istriku. Minumlah ini, dan
engkau akan sehat kembali,” kata Xu Xian. Karena
Bai Su-zhen tidak menjawab, Xu Xian berjalan
menghampiri tempat tidur yang seluruhnya tertutup
kelambu.
“Mungkin anggur itu telah membuatnya sakit,”
pikir Xu Xian pula. “Sebaiknya kutanyakan mengapa
wanita hamil tidak boleh minum anggur.”
Sambil memegang gelas berisi obat di tangan
kanan, Xu Xian menyibakkan kelambu dengan
tangan kirinya. Begitu melihat yang terbaring di atas
tempat tidur, ia menjerit, dan berlari ke luar kamar
seperti orang gila. Karena panik, gelas obatnya jatuh
ke lantai, pecah berkeping-keping. Xu Xian
terjerembab pingsan!
Saat itu di dalam rumah, tidak ada siapa pun
kecuali Xu Xian dan Bai Su-zhen. Yang satu
tergeletak pingsan di lantai karena ketakutan.
Sedangkan yang lainnya, baru saja kembali ke
bentuk asalnya, terbaring tak sadarkan diri di atas
tempat tidur.
Xiao Qing baru kembali dari tempat
persembunyian sore harinya.
“Xu Xian pasti sedang menonton lomba perahu
dan Bai Su-zhen pasti sendirian di rumah,” pikirnya
sambil memasuki rumahnya. Di ruang makan, ia
melihat sisa-sisa makanan dan anggur yang belum
habis. Dengan cemas, ia memanggil Bai Su-zhen.
Namun karena tak ada jawaban, ia mengira Bai Su-
zhen sedang ke luar rumah.
Xiao Qing lalu berjalan ke ruang tengah. Di sana ia
menemukan Xu Xian yang menggeletak di lantai. Ia
segera memeriksa denyut nadinya, dan ternyata Xu
Xian tidak bernafas lagi.
Dengan ketakutan diangkatnya Xu Xian ke atas
kasur dan bergegas masuk ke kamar tidur sambil
menjerit-jerit membangunkan Bai Su-zhen, “Kakak,
cepat bangun!”
Kelambu tersibak, Bai Su-zhen keluar dari balik
kelambu dalam bentuk manusia. “Jadi engkau sudah
pulang,” katanya.
“Mengapa kakak bertindak ceroboh? Kau telah
membuat Xu Xian mati ketakutan!” ,
Bai Su-zhen segera turun dari tempat tidur dan
menghampiri Xu Xian. Tetapi Xu Xian sudah tak
bernafas lagi dan tubuhnya pun telah dingin.
Melihat keadaan Xu Xian, Bai Su-zhen pun
menangis.
“Aku telah membunuh suamiku. Aku rela
memberikan jiwaku untuk menghidupkannya
kembali!”
Kemudian ia berdiri dan menyeka air matanya
dengan lengan baju, sambil berpikir ke mana ia harus
mencari obat.
“Bagaimana mungkin kaudapat menghidupkan
orang yang telah mati?” tanya Xiao Qing.
“Menurutmu, dapatkah engkau menyelamatkannya?”
“Maksudmu, engkau pun tak sanggup
melakukannya?” tanya Bai Su-zhen dengan cemas.
“Kalau saja aku dapat memperoleh ‘Rumput Abadi’
dalam tiga hari ini, Xu Xian mungkin masih dapat
tertolong.”
“Bukankah rumput yang kaumaksudkan tumbuh
di Gunung Kun Lun? Dan engkau tahu sendiri
tempat itu dijaga ketat. Bagaimana caramu
mendapatkannya?”
“Akan kukatakan bahwa aku akan mati kalau
tidak makan rumput itu,” jawab Bai Su-zhen.
“Setelah aku pergi, baringkan Xu Xian di tempat
tidurnya, tutuplah tirai dan katakan kepada yang lain
bahwa Xu Xian sedang sakit, agar tak seorang pun
mengganggunya. Bila dalam waktu tiga hari aku tidak
kembali, umumkanlah bahwa Xu Xian telah
meninggal dunia. Baru setelah itu kita pikirkan lagi
rencana kita selanjutnya.”
“Tetapi bila dalam waktu tiga hari engkau tidak
kembali, di manakah aku harus mencarimu?” tanya
Xiao Qing sambil menangis.
“Ke mana lagi, Adik? Kalau dalam tiga hari aku
tidak kembali berarti aku telah tertangkap atau
terbunuh oleh para penjaga rumput itu. Dengan kata
lain, aku telah mati.”
Air mata meleleh di pipi Xiao Qing. Ia berdiri kaku
tak bergerak.
“Jangan menangis, Adik,” kata Bai Su-zhen.
“Sekarang ambilkan aku dua bilah pedang.”
“Ya! Kau harus membawanya untuk melindungi
dirimu,” kata Xiao Qing. “Berhati-hatilah, jumlah
mereka sangat banyak. Aku khawatir kau kehabisan
tenaga. Jadi sebaiknya hindari perkelahian dan
simpan tenagamu.”
“Aku tahu,” kata Bai Su-zhen dengan tenang.
Setelah menyeka air matanya, Xiao Qing pergi
mengambil sepasang pedang mustika untuk
kakaknya.
Bai Su-zhen menyisir rambutnya dengan cepat,
lalu mengikatnya dengan kain sutera putih. Untuk
melindungi dadanya, ia memakai kain putih
berkancing-kancing. Di pinggangnya ia melilitkan
sehelai selendang putih dan mengikat kedua pedang
itu di punggungnya. Setelah memeriksa segala
perlengkapan di depan cermin, ia berkata kepada
Xiao Qing.
“Beres! Aku berangkat sekarang. Jaga rumah kita
dengan baik.”
“Hati-hati,” kata Xiao Qing.
Bai Su-zhen memandang Xu Xian, dan berdoa
sejenak untuk kesembuhannya.
“Aku akan mengambil rumput itu untuk
menyembuhkanmu, Suamiku. Mungkin engkau
menyesal telah mengambil diriku sebagai istrimu
Tetapi, lihat apa yang masih dapat kita lakukan nanti
setelah rumput itu kuperoleh. Kau tak akan
menduganya.”
Ketika melangkah ke luar rumah, air mata Bai Su-
zhen menetes lagi.
“Cepatlah pergi,” kata Xiao Qing. “Semakin cepat
pergi, akan semakin cepat pula kau kembali.”
“Doakan aku,” pesan Bai Su-zhen pula.
Dalam sekejap ia telah menghilang dari
pandangan.
BAB 9

T ersebutlah sebuah pegunungan yang sangat


terkenal, E Mei namanya. Pegunungan itu terletak
di bagian barat daya propinsi Sizhou. Puncak-
puncaknya saling berhimpitan, sementara di
lerengnya terdapat gua-gua besar yang dalam. Untuk
mendaki hingga ke puncaknya, dibutuhkan waktu
sekurang-kurangnya dua hari dua malam.
Suhu di puncak gunung sangat dingin. Di musim
panas pun, orang harus memakai baju tebal yang
hangat. Dan karena cuacanya itu, hanya pohon
pinus, cemara, dan beberapa jenis bunga saja yang
dapat tumbuh di sana. Di hutan hanya beberapa
jenis burung yang sanggup bertahan hidup. Tak
mengherankan bila tak seorang manusia pun sudi
menjejakkan kakinya di tempat itu. Pada hari-hari
paling dingin di musim salju, air hujan langsung
menjadi bongkahan-bongkahan es.
Dari pegunungan inilah Bai Su-zhen berasal. Di
suatu tempat yang terpencil di daerah itu, terdapat
sebuah gua besar, yang dikenal dengan nama Gua
Awan Putih. Bai Su-zhen lahir dalam bentuk seekor
ular putih. Namun selama ribuan tahun, binatang ini
tak pernah mengganggu siapa pun. Di tempat ini pula
Bai Su-zhen mempelajari ilmu sihir. Setelah belajar
dengan tekun dalam waktu yang cukup lama,
akhirnya ia menjelma menjadi seorang wanita muda
yang sangat cantik.
Pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan, Bai
Su-zhen bertemu dengan Rui Zhi, peri yang memiliki
ilmu sihir yang sangat tinggi. Bai Su-zhen tahu
bahwa peri itu memiliki kesaktian yang tak
tertandingi. Karena itu ia bermaksud mendatanginya.
Setelah berkenalan, Rui Zhi menanyakan asal-
usulnya. Cerita Bai Su-zhen membuat peri itu merasa
terkesan, sehingga Bai Su-zhen pun diterima menjadi
muridnya.
Sejak saat itu Bai Su-zhen mempelajari berbagai
macam ilmu sihir, seperti cara menguasai hujan dan
angin; cara mengubah diri menjadi bermacam-macam
bentuk. Dari Rui Zhi, Bai Su-zhen juga mendengar
berbagai cerita tentang kehidupan manusia di dunia.
Ia merasa tertarik dan mulai berangan-angan untuk
meninggalkan gunung sepi yang telah menjadi tempat
tinggalnya selama ribuan tahun. Ia ingin pergi
melihat dunia ramai.
Pada suatu malam, saat langit cerah diterangi
sinar bulan, hati Ular Putih sedih karena kesepian.
Karenanya ia memutuskan untuk berjalan ke luar
dari guanya. Di langit, tampak sebuah bola raksasa
yang memancarkan sinar kehijauan. Ia tahu bahwa
itu adalah adiknya, Ular Hijau, yang sedang asyik
berlatih Tari Pedang. Ketika dilihatnya Ular Putih
datang, Ular Hijau segera berhenti menari.
“Sudah larut malam!” kata Ular Putih kepada
adiknya. “Kau terlalu rajin berlatih. Tidakkah engkau
merasa lelah?”
“Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya merasa
bosan tinggal di tempat ini. Terlampau sepi bagiku!
Dan karena tidak ada kesibukan apa pun, maka aku
berlatih menari,” jawab Ular Hijau. “Kebetulan
sekali,” kata sang kakak pula. “Tak tahu mengapa,
aku juga merasa bosan.”
“Bagaimana kalau kita turun gunung dan
bersenang-senang di sana?” usul Ular Hijau.
Dengan hati gembira Ular Putih menerima usul
adiknya. Lalu keduanya pergi ke Jiangnan, tempat Xu
Xian tinggal. Di sanalah awal mula cerita tentang Bai
Su-zhen dan Xiao Qing.
Saat itu, ketika Bai Su-zhen sang jelmaan Ular
Putih tiba di puncak Gunung Kun Lun untuk mencari
obat untuk Xu Xian, ia teringat akan rumah lamanya.
Ingin rasanya ia menangkap awan lalu pergi
berkunjung ke tempat itu.
Namun hal itu tak mungkin dapat ia lakukan,
karena waktunya sangat terbatas. Ia melihat
gumpalan awan di kejauhan yang menutupi ceruk
bukit. Ia segera tahu bahwa di tempat itu tinggal Peri
Tua dari Kutub Selatan. Karena itu ia harus lebih
berhati-hati. Tetapi dari bunyi gesekan pohon dan
angin yang berhembus, ia segera tahu bahwa tidak
ada seorang pun di sana.
Jejeran pohon pinus berdiri berhadap-hadapan,
menuju puncak dua buah gunung yang letaknya
berdampingan. Di puncaknya terdapat pohon-pohon
cemara dan bambu. Di sanalah tempat para peri
berdiam.
Bai Su-zhen berjalan mendekati puncak gunung
lalu bersembunyi di bawah sebuah pohon pinus yang
tinggi. “Jadi di sinilah istana Peri Tua dari Kutub
Selatan,” kata Bai Su-zhen di dalam hati. “Akan
segera kutemui dia, lalu kuceritakan semua
kesulitanku kepadanya. Aku akan memohon agar ia
berkenan memberi Rumput Abadi kepadaku. Kalau ia
merasa kasihan, ia pasti akan memberikan rumput
yang kuminta. Namun, bila ia sedang sibuk, atau
seandainya ia juga tak berani memberikan rumput
itu kepadaku tanpa izin dari para dewa yang lebih
tinggi, maka semua usahaku akan sia-sia,” pikir Bai
Su-zhen.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencuri rumput
itu. “Bila di kemudian hari mereka menanyaiku, aku
akan mengaku bersalah. Tetapi setidaknya, pada saat
itu, Xu Xian sudah hidup kembali.”
Bai Su-zhen mulai merayap ke arah gua. Ia harus
menemukan tempat rumput itu tumbuh. Pada saat ia
merayap ke arah depan istana, ia melihat tiga penjaga
sedang asyik bercakap-cakap.
Ia menduga rumput yang dicarinya tidak mungkin
tumbuh di sana. Ia tahu tak jauh dari air terjun
terdapat sebuah lubang yang sangat besar. Ia akan
masuk lewat lubang itu, dengan demikian penjaga
tidak akan melihatnya.
Cucuran air dari air terjun jatuh ke dasar lubang
dan membentuk sebuah kolam kecil. Dinding
kolamnya yang tinggi ditumbuhi lumut yang tebal.
Bai Su-zhen bergerak perlahan-lahan, agar
kehadirannya tidak terdengar oleh peri penjaga awan.
Ia lalu memanjat ke tempat yang lebih tinggi dan
memandang ke sekitarnya. Dari tempat itu, ia melihat
sebuah istana bertingkat dua yang terletak di sebuah
dataran luas. Di sekelilingnya berdiri dua bukit dan
pohon-pohon pinus.
Bai Su-zhen perlahan-lahan memanjat sebatang
pohon pinus yang besar agar dapat memandang lebih
jelas ke sekitarnya. Gedung istana terbagi dua,
berdiri berhadap-hadapan, dipisahkan oleh pelataran.
Di pelataran tumbuh berbagai bunga dan rumput
yang aneh. Di suatu bagian khusus, tumbuh sejenis
rumput berbentuk jamur. Rumput itu panjangnya
sekitar sepuluh hingga dua belas senti meter. Itulah
Rumput Abadi yang dicari Bai Su-zhen.
Bila dilihat dari tempat tumbuhnya, tampaknya
rumput itu tidak berbeda dengan rumput-rumput
lainnya. Namun, rumput ajaib itu memiliki bau tajam
yang khas. Jadi, siapa pun yang membawa atau
mencuri rumput itu, pasti akan segera tertangkap
basah.
Ketika Bai Su-zhen sedang mengatur rencana
selanjutnya, ia mendengar seseorang berteriak.
“Hari sudah mulai gelap. Karena hari ini ada
perayaan Perahu Naga, para makhluk halus pasti
sedang bersembunyi dan tak mungkin datang kemari.
Aku ingin berjalan-jalan sebentar. Jadi, jagalah
tempat ini. Berhati-hatilah.”
“Baiklah, jangan khawatir,” yang lain menjawab.
Kemudian Bai Su-zhen melihat seorang peri muda
pergi mengendarai awan, sementara yang seorang lagi
datang menggantikan tugasnya menjaga istana.
Agaknya karena melihat situasi aman, sang penjaga
segera kembali ke belakang.
Bai Su-zhen mengenali mereka. Mereka adalah
Bangau Putih yang baru saja pergi dan Rusa Kuning.
Karena takut terlihat, Bai Su-zhen pun langsung
merapatkan tubuhnya ke batang pohon.
Ketika hari mulai gelap sebuah kristal tampak
melayang ke luar dari gua ke arah pelataran. Tepat di
atas Rumput Abadi bola kristal itu berhenti.
Bai Su-zhen memutuskan untuk secepat mungkin
mengambil Rumput Abadi, memanfaatkan longgarnya
penjagaan.
“Seandainya Rusa Kuning muncul dengan tiba-
tiba, ia akan segera kubereskan agar tidak membuat
keributan,” katanya dalam hati.
Bai Su-zhen melompat turun dari pohon. Ia
mencabut beberapa helai yang kemudian ia
sembunyikan di balik bajunya. Selama beberapa
detik, ia menenangkan diri untuk mengawasi situasi
di sekitarnya. Setelah yakin keadaan cukup aman, ia
pun segera berlari sekencang-kencangnya
menyeberangi pelataran. Tetapi begitu ia akan
meloncat terbang ke awan, terdengar bentakan di
belakangnya.
“Ular tak tahu malu. Berani benar engkau datang
ke mari dan mencuri harta pusaka kami!”
Bai Su-zhen menghunus pedangnya. Ia melihat
Rusa Kuning datang mengejar dan serta merta
menusukkan pedangnya begitu mereka saling
berhadapan muka.
Sambil menangkis tusukannya Bai Su-zhen
berseru, “Oh, Yang Abadi, tolonglah aku. Aku ingin
mengajukan suatu permintaan.”
“Apa yang kauinginkan, pencuri?” sahut Rusa
Kuning dengan nada geram.
“Aku menikahi seorang manusia bernama Xu Xian
di Hangzhou dan sangat mencintainya. Kami
kemudian pindah ke Suzhou berjualan obat-obatan
dan hidup berbahagia. Tetapi hari ini, saya telah
minum anggur yang sangat keras. Akibatnya, saya
kehilangan kesadaran dan kembali ke bentuk semula.
Begitu melihat saya, Xu Xian sangat ketakutan
hingga tak bernafas lagi dan mati. Dalam keadaan
panik saya teringat akan Rumput Abadi. Saya tahu,
kalau saya berhasil mengambilnya dan
memberikannya kepada suami saya, ia akan hidup
kembali. Tolong, kasihanilah saya.”
“Apakah engkau sudah mendapat izin?” kata Rusa
Kuning tetap bersikeras.
“Saya...,” Bai Su-zhen tergagap-gagap.
“Jadi, jelas sekarang. Engkau adalah pencuri!”
hardik Rusa Kuning. “Kesalahanmu sungguh tak
dapat dimaafkan. Oleh karenanya terimalah ini!” Ia
mengangkat pedangnya untuk menebas tubuh Bai
Su-zhen. Namun, Bai Su-zhen berhasil mengelak.
“Saya akan menanyakannya kepada Dewa
Tertinggi. Mudah-mudahan ia mau mengerti.”
“Engkau telah mencuri rumput ajaib itu,” jawab
Rusa Kuning. “Mengapa masih ingin menemui Dewa
Tertinggi? Kalau kau tidak ingin kulukai dengan
pedangku ini, segeralah lari dari tempat ini!” ancam
Rusa Kuning pula.
Untuk yang ketiga kalinya, Rusa Kuning berusaha
menebas tubuh Bai Su-zhen. Tetapi Bai Su-zhen
berhasil melompat dan menghindar.”Ini adalah
pukulanmu yang ketiga,” ejek Bai Su-zhen dengan
nada marah. “Tetapi ternyata aku masih hidup, dan
tak akan membiarkan dirimu melakukan tebasan
yang selanjutnya.”
Rusa Kuning tidak menjawab. Ia segera
mengangkat pedangnya lagi. Dalam hati Bai Su-zhen
berkata, “Penjaga ini sebenarnya tidak bersalah.
Tetapi, aku terburu-buru dan tak dapat lagi
membuang-buang waktu. Aku terpaksa harus
membunuhnya.”
Lalu secepat kilat ia menusuk Rusa Kuning dengan
pedangnya, tepat menembus leher kanannya. Dengan
mengerang panjang, Rusa Kuning jatuh terpuruk.
Bai Su-zhen memandang ke atas. Ia melihat
seorang peri berpakaian putih turun dari langit
sambil menghunus pedang. Ia adalah Bangau Putih.
Bai Su-zhen segera menyambutnya dan berkata, “Oh,
Yang Abadi, bukan saya yang memulai perkelahian
ini.”
Bangau Putih tertawa dingin.
“Sejak tadi saya melihatmu, bahkan ketika engkau
tengah mengambil rumput. Perbuatanmu tidak dapat
dimaafkan. Bersiaplah untuk menghadapi ajalmu.”
Bangau Putih mengangkat pedangnya, sementara
Bai Su-zhen bersiap-siap menghindar. Ia tahu bahwa
ilmu silat Bangau Putih yang telah dipelajari selama
lebih dari dua ribu tahun akan mendatangkan
kesulitan baginya. Apalagi menghadapi sapuan
pedangnya yang cepat laksana kilat.
Belum lama mereka bertempur, tiba-tiba Bangau
Putih terbang ke langit dan menjelma menjadi seekor
bangau raksasa, semakin lama semakin besar.
Kepala dan paruhnya yang besar dan panjang
berusaha mati-matian mematuk Bai Su-zhen.
Menyadari bahaya yang tengah ia hadapi, Bai Su-
zhen segera bersiap-siap untuk berlindung.
Pada saat itu sebuah suara terdengar menggema
dari balik pepohonan.
“Jangan bunuh ia. Biar aku mempertimbangkan
kesalahannya.”
Bangau itu segera menghentikan serangannya.
Kemudian tampak seorang tua melompat turun dari
sebuah pohon pinus. Rambutnya yang putih diikat ke
atas dengan pita biru. Bajunya berwarna kuning dari
bulu-bulu burung. Alis matanya sangat panjang
hingga hampir menutup kedua matanya. Jenggotnya
yang putih menjuntai panjang hingga ke dada. Ia
adalah Peri Tua dari Kutub Selatan. Setelah
mengambil pedang Bai Su-zhen dan
menyembunyikannya di belakang punggungnya ia
pun berkata, “Berlututlah!”
Bai Su-zhen berlutut memberi hormat, lalu
bergerak mendekati Peri Tua. Dengan telunjuk
terarah kepada Bai Su-zhen, Peri Tua berkata dengan
suara penuh wibawa, “Karena telah terbukti mencuri
Rumput Abadi, kau harus dihukum.”
Dengan sedih Bai Su-zhen menundukkan
kepalanya.
“Saya tak dapat lagi menahan diri begitu
melihatnya. Suami saya meninggal karena ia
ketakutan melihat bentuk saya yang sebenarnya,
sehingga mendorong saya untuk mencurinya. Dan
karena tidak dapat lagi membuang-buang waktu,
saya tidak lagi peduli bahwa rumput ini dijaga
sedemikian ketat. Itulah sebabnya saya tertangkap
oleh Bangau Putih dan Rusa Kuning. Kini hidup saya
sepenuhnya berada di tangan Yang Tertinggi, dan
saya menunggu keputusannya.”
Begitu menyelesaikan kata-katanya, Bai Su-zhen
menangis tersedu-sedu. Badannya berguncang keras,
sehingga beberapa helai rumput terjatuh dari balik
bajunya.
Peri Tua memandangnya iba.
“Mengapa engkau menangis?”
Pertanyaan ini membuat Bai Su-zhen semakin tak
mampu menahan tangisnya.
“Tanpa sengaja saya telah membunuh Xu Xian.
Kalau saya berhasil memberikan rumput ini
kepadanya, ia akan hidup kembali. Itulah yang
mendorong saya untuk datang kemari. Saya
pertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya. Asalkan
Xu Xian dapat hidup kembali, saya bersedia
mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Tetapi
kini, karena saya pun tertangkap, berarti Xu Xian
tidak dapat pula diselamatkan. Semua usaha
ternyata sia-sia.”
Peri Tua mengibaskan tongkatnya dan berkata
dengan lembut.
“Kau telah berkata jujur. Aku terharu dan bersedia
memaafkan semua kesalahanmu. Kau boleh memiliki
rumput yang telah kauambil.”
Bai Su-zhen menyeka air matanya dan
mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Peri
Tua. Ia segera meninggalkan tempat itu dan pulang
mengendarai awan.
Setiba di rumah, ia bergegas masuk ke dalam
kamar. Dilihatnya Xiao Qing duduk dan memandangi
tubuh Xu Xian. Bai Su-zhen segera meletakkan
rumput itu di atas meja. Ketika baunya tercium, Xiao
Qing segera tahu bahwa kakaknya telah tiba. Ia
langsung berdiri menyambutnya dengan gembira.
“Kakak telah kembali!” teriaknya. “Jadi kakak
berhasil mendapat rumput itu?”
“Lihat ini,” jawab Bai Su-zhen sambil
memperlihatkan Rumput Abadi kepada Xiao Qing.
“Apakah para pegawai tidak mengatakan sesuatu
tentang Xu Xian?”
“Kukatakan kepada mereka bahwa Xu Xian sedang
sakit. Semua percaya. Bagaimana Kakak berhasil
mendapat rumput itu?”
Bai Su-zhen tidak menjawab. Ia memandang tubuh
Xu Xian yang telah terbujur kaku dan kedua matanya
tertutup rapat.
Kemudian sambil menarik napas dalam-dalam Bai
Su-zhen berkata, “Aku hampir saja tidak dapat
kembali. Nanti akan kuceritakan semuanya.
Sekarang tolong jaga dia. Aku harus lebih dulu
meramu obat ini.”
Bai Su-zhen menyerahkan pedangnya kepada Xiao
Qing, lalu bergegas membawa rumput ke dapur.
Sekitar setengah jam kemudian, ia kembali membawa
sebuah cangkir porselin dan sebuah sendok. Xiao
Qing menerangi wajah Xu Xian dengan lilin, agar Bai
Su-zhen dapat memasukkan obat itu ke dalam mulut
Xu Xian.
Beberapa saat kemudian, Xu Xian mulai bernapas
lagi. Karena kegirangan Bai Su-zhen tak dapat
berkata-kata. Ia hanya berdiri di samping tempat
tidur sambil memandang Xu Xian yang perlahan-
lahan tersadar kembali.
“Kau benar-benar membuatku mati ketakutan,”
kata Xu Xian.
“Suamiku, engkau pingsan. Apa yang terjadi?”
tanya Bai Su-zhen.
Xu Xian memperhatikan Bai Su-zhen. Karena
ternyata istrinya tidak berubah sedikit pun, Xu Xian
pun berpikir, dari mana datangnya ular putih besar
itu.
“Ketika aku membawakan obat untukmu, aku
melihat seekor ular besar berwarna putih melingkar
di atas tempat tidur. Sungguh menyeramkan.”
“Ketika kau masuk membawa obat, aku sedang
pergi ke belakang. Ketika kudengar teriakanmu, aku
segera berlari ke luar dan melihat kau tergeletak di
lantai. Dan ketika tempat tidurnya kuperiksa,
ternyata di sana ada seekor ular yang amat besar.
Lalu kuambil pedang dan kubunuh ular itu.
Bangkainya dibuang oleh Xiao Qing. Kalau kau tak
percaya, sekarang benda itu tergantung di pohon
halaman belakang. Kaudapat melihatnya sekarang
juga,” kata Bai Su-zhen.
Sambil berbicara kepada Xu Xian, secara diam-
diam Bai Su-zhen memberikan isyarat kepada Xiao
Qing.
“Jadi, binatang itu telah kaubunuh?” sahut Xu
Xian dengan wajah penuh kelegaan. “Boleh aku
melihatnya? Di mana bangkai binatang keparat itu?”
“Engkau ingin melihatnya sekarang?” tanya Xiao
Qing agak terkejut.
“Ya! Karena sudah sehat kembali, aku ingin
melihatnya agar pikiranku tenang. Kau tak perlu
memapahku. Aku sanggup berjalan sendiri.” Xu Xian
berdiri dan memakai sepatunya. Sementara itu, Xiao
Qing mengambil sebuah lilin. Lalu diajaknya Xu Xian
menuju halaman belakang.
Bai Su-zhen segera membuka jendela ruang
belakang. Kemudian ia menggantungkan sehelai
selendang putih di sebuah pohon. Setelah
mengucapkan beberapa mantra, ia menutup lagi
jendela itu.
Tak lama kemudian, Xu Xian dengan wajah
terkejut kembali ke kamar bersama Xiao Qing.
“Ya, benar! Itulah ularnya,” katanya. “Bagaimana
kaudapat membunuhnya sekali pukul?”
“Ketika ayahku masih hidup, ia mengajar kami
ilmu silat. Tentu saja kubunuh ular itu dengan ilmu
silat yang kumiliki,” katanya menerangkan.
“Aku tak mau tinggal di rumah ini lagi,” kata Xu
Xian dengan rasa jijik.
“Mengapa?” tanya Bai Su-zhen.
Sambil mundur beberapa langkah, Xu Xian
menunjuk tempat tidur. “Aku takut. Tidakkah kau
merasa khawatir bila ada ular masuk ke tempat tidur
ini?”
“Apa lagi yang ditakutkan?” tanya Xiao Qing.
“Bukankah ular itu sudah mati sekarang?”
“Ya. Tetapi, ular lain dapat saja datang ke sini,”
bantah Xu Xian.
“Benar juga,” kata Bai Su-zhen. “Sebaiknya kita
pindah saja ke lantai atas di gedung sebelah.”
Sekalipun telah melihat sendiri bangkai ularnya,
Xu Xian masih saja memikirkan kata-kata Fa Hai.
Memang di atas tempat tidurnya benar-benar ada
seekor ular. Tetapi ular itu sudah mati. Berarti Bai
Su-zhen bukanlah ular itu. Tanpa disadarinya,
badannya bergetar.
“Mengapa Engkau gemetar?” tanya Bai Su-zhen
khawatir.
“Aku masih ngeri memikirkan kejadian sore tadi.”
“Jangan takut. Bukankah kita selalu
menemanimu. Jika kau takut tidur di sini. Tidurlah
di tempat lain,” kata Bai Su-zhen.
Xu Xian membiarkan Bai Su-zhen membantunya
berbaring Tetapi selama itu, ia tak berhenti
mengawasi semua perbuatan Bai Su-zhen dan Xiao
Qing. Sekalipun dari luar mereka seperti manusia
biasa, namun Xu Xian masih saja merasa takut.
Kata-kata pendeta itu senantiasa terngiang-ngiang di
telinganya. Ular itu ternyata benar-benar ada, tetapi
istrinya telah membunuh binatang itu! Fa Hai tidak
bohong. Di rumah itu benar-benar ada roh ular. Xu
Xian menjadi ngeri.
“Agaknya ia belum pulih benar,” kata Bai Su-zhen
kepada adiknya. “Xiao Qing, kita berdua harus
menjaganya. Apakah sebaiknya kuceritakan apa yang
terjadi ketika aku mengambil rumput ajaib?”
Bai Su-zhen duduk di samping Xiao Qing dan
menceritakan pengalamannya. Tentu saja ia tidak
menyinggung tentang teriakan peri-peri yang
memanggilnya ‘Roh Ular’.
Karena ikut mendengarkan tiba-tiba Xu Xian
bangkit lalu duduk di tempat tidurnya, “Istriku, kau
benar-benar hebat. Kalau saja kau tidak menolongku,
aku pasti sudah tidak bernyawa lagi. Betapa
besarnya hutang budiku kepadamu. Terima kasih!”
Dan ketika kemudian ia akan berlutut memberikan
hormat, Bai Su-zhen segera menariknya kembali.
Melihat adegan itu, Xiao Qing tak dapat menahan
tawa.
BAB 10

S etelah mendengar cerita Bai Su-zhen, Xu Xian


merasa lega dan langsung tertidur. Keesokan
harinya, ia terbangun pagi sekali. Kegiatan di tokonya
berlangsung seperti biasa. Bai Su-zhen memindahkan
barang-barang mereka ke lantai atas. Walaupun toko
sibuk, Bai Su-zhen tetap sanggup mengatasinya.
Ketika Xu Xian sedang bekerja di kantornya tiba-
tiba ia mendengar seseorang berteriak di luar.
“Demi dewa-dewa, apakah majikanmu ada di
rumah?”
Melihat Fa Hai yang datang, Xu Xian segera keluar
menyambutnya. Fa Hai memutar-mutar tongkatnya
dan berkata, “Kita tidak dapat berbicara di sini.
Sebaiknya kita berbicara di balik dinding itu.”
Karena tak mau menyinggung perasaan Fa Hai, Xu
Xian menuruti saja usul Fa Hai.
“Apa yang akan Tuan bicarakan kepadaku?”
Fa Hai tersenyum, “Istrimu benar-benar telah
minum anggur itu?”
“Ia mulanya menolak minum, namun akhirnya ia
minum juga segelas.”
“Lalu?” tanya Fa Hai.
“Ia mengeluh kurang enak badan, dan menyuruh
saya meninggalkannya sendirian, karena ia ingin
berbaring-baring. Ketika saya lihat ia sakit, saya pergi
mengambil obat. Dan karena saya berpikir ia masih
berada di tempat tidur, jadi saya sibakkan kelambu.
Ternyata di atas tempat tidur melingkar seekor ular
putih yang sangat besar. Saya menjerit dan jatuh
pingsan.”
Fa Hai berkata, “Aku tidak membohongimu,
bukan?”
“Ya! Tetapi istri saya mengatakan bahwa ia telah
membunuh ular itu. Karena melihat saya terbujur tak
bernapas lagi, ia lalu pergi ke sebuah gunung yang
terpencil untuk mengambil sejenis rumput yang
dapat menghidupkan orang meninggal. Berkat
pertolongannya, saya dapat hidup kembali.”
Fa Hai tertawa terbahak-bahak. “Cerita itu tidak
seluruhnya benar, karena ular yang kaulihat itu
sesungguhnya adalah bentuk asli istrimu. Tetapi
cerita bahwa ia membunuh ular itu hanyalah bohong
belaka.”
“Tak mungkin!” teriak Xu Xian. “Saya sudah
melihat sendiri bangkainya itu. Kepalanya terbelah.”
“Itu adalah hasil ilmu sihir roh jahat itu. Benda
yang kaulihat sesungguhnya bukan ular, tetapi
hanya sehelai selendang. Bai Su-zhen-lah ular itu.
Suatu hari seseorang pasti akan membunuhnya,”
ramal Fa Hai.
“Selendang?” kata Xu Xian tak percaya. “Jadi cerita
bahwa ia pergi ke gunung dan mencuri rumput itu
juga tidak benar?”
“Mengenai hal itu ia tidak berdusta. Sebenarnya
maksudku datang ke mari untuk mengajakmu
menjadi pendeta. Karena istrimu adalah roh ular,
sebaiknya tinggalkan saja dia!”
“Tuan berbicara seakan-akan ia berbahaya bagi
orang banyak,” protes Xu Xian. “Padahal ia tidak
pernah menyakiti siapa pun. Jadi, mengapa saya
harus meninggalkannya?”
Fa Hai tertawa mengejek, “Ternyata engkau
sungguh-sungguh bodoh. Manusia adalah manusia,
tetapi iblis berbeda. Tampaknya ia tidak
membahayakan sekarang, tetapi lain kali, ia akan
menyakitimu. Dengan demikian kalian tidak akan
saling menyakiti.”
Namun karena Xu Xian tidak pernah bercita-cita
menjadi pendeta, ia pun segera menjawab, “Biar saya
mempertimbangkannya terlebih dahulu.”
“Aku tahu, kau pasti akan menolak,” kata Fa Hai.
“Tetapi, setelah nanti kaulihat keahlian para pendeta
Budha...”
Fa Hai melempar tongkatnya ke tanah. Tiba-tiba
tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar
berwarna keemasan. Kemudian ia mengibaskan
jubahnya, dan segera meloncat ke atas punggung
naga itu sambil berkata, “Aku akan kembali dalam
sepuluh hari lagi untuk mendengar jawabanmu.”
Dalam sekejap, pendeta dan naga itu terbang ke
langit dan hilang dari pandangan. Xu Xian berdiri
terpaku tak mampu berkata-kata. Kemudian ia
kembali ke tokonya tanpa mengatakan sesuatu.
Tiga hari kemudian, Xiao Qing mendatangi Xu Xian
dan berkata bahwa Bai Su-zhen memanggilnya.
“Katakan aku sedang sibuk,” kata Xu Xian. “Aku
harus menyelesaikan hitungan ini dahulu. Aku akan
segera datang, setelah pekerjaan ini selesai.”
“Mari kubantu menyelesaikannya,” kata Ma Zi-
hou. “Jika Bai Su-zhen ingin membicarakan sesuatu
sebaiknya kau datang secepatnya.”
Ketika Bai melihat Xu Xian datang, Bai Su-zhen
berseru, “Tampaknya kau sangat sibuk semenjak dua
hari terakhir ini!”
Xu Xian menjawab, “Sejak perayaan kemarin,
neraca keuangan belum juga seimbang. Adakah
sesuatu yang ingin kaubicarakan?”
“Sejak perayaan hari itu, kita belum pernah makan
bersama. Bagaimana kalau malam ini kita makan
bersama? Aku sudah menyiapkan makanan.”
“Saranmu baik sekali!” kata Xu Xian.
Xiao Qing tersenyum penuh arti. Bai Su-zhen lalu
mengajak Xu Xian ke ruang makan. Segala macam
makanan telah terhidang di atas meja.
“Mari kita makan! Mumpung makanannya masih
panas,” kata Xu Xian.
Xiao Qing berkata, “Xu Xian, lihatlah betapa
baiknya istrimu. Ia mengajak dan menungguimu
makan. Jika kau tidak datang, ia pun tidak ingin
makan. Bukankah itu sia-sia?”
“Ya, betul,” jawab Xu Xian. “Dan kau Xiao Qing,
kau tidak ingin makan bersama kami?”
Xiao Qing segera duduk berhadap-hadapan dengan
Bai Su-zhen, sedangkan Xu Xian duduk di ujung
meja. Ketika Bai Su-zhen menuangkan anggurnya ke
dalam gelas Xu Xian, dilihatnya Xu Xian hanya
meneguknya sedikit. Ia pun tak makan dengan lahap.
“Apakah engkau sakit, Suamiku?”
“Tidak,” jawab Xu Xian.
“Biar kuterka. Kau masih mencurigaiku, bukan?”
tuduhnya
“Tidak juga,” kata Xu Xian.
“Kau bohong,” sembur Xiao Qing. “Coba jawab
pertanyaanku. Apa yang dikatakan pendeta itu
kepadamu?”
“Hm... Ia...” jawab Xu Xian terbata-bata.
“Apa katanya?” kata Bai Su-zhen tak sabar.
Xu Xian meletakkan sumpitnya dan menunduk
memandang meja. Xiao Qing meneruskan kata-
katanya. “Ia pendeta dari Biara Gunung Emas,
namanya Fa Hai, bukan?”
Mendengar perkataan Xiao Qing, Xu Xian berhenti
menyuap. Dipandangnya Xiao Qing.
“Ya...” jawabnya perlahan.
“Aku yakin ada hal penting yang ingin
dibicarakannya kepadamu,” lanjut Bai Su-zhen.
“Kalau tidak, tentunya ia tidak akan datang dua kali
ke sini.”
“Ia menyuruhku menjadi pendeta, sahut Xu Xian.
Tetapi kukatakan kepadanya bahwa aku tidak ingin
meninggalkanmu,” aku Xu Xian. Mendengar kata Xu
Xian, Bai Su-zhen menangis.
Dan ketika dilihatnya kakaknya menangis, Xiao
Qing pun berdiri. Sambil menunjuk Bai Su-zhen ia
berkata, “Lihatlah kakakku! Cobalah berpikir
sebentar. Ketika kalian menikah, karena kau tak
punya uang sepeser pun, kakakku memberimu uang
agar kau dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.
Karena engkau tak punya modal, kakakku
memberimu banyak uang sehingga kalian dapat
pindah ke Suzhou dan mendirikan sebuah toko yang
cukup megah. Tetapi semua kebaikannya itu
sungguh tidak sebanding dengan pengorbanannya
untuk menyembuhkanmu. Hanya untuk mencari
obat bagimu, ia rela mendaki gunung dan
mempertaruhkan nyawanya. Dan akhirnya ia
berhasil. Kau pasti juga tahu, tidak banyak istri yang
bersedia berkorban bagi suami seperti yang telah ia
lakukan. Aku yakin seluruh dunia, bahkan hantu
dan dewa-dewa pun akan menangis mendengar
kisahnya.”
Kata-kata Xiao Qing sungguh-sungguh mengena di
hati Xu Xian. Tetapi ketika ia ingin minta maaf, Bai
Su-zhen segera menarik tangannya dan berkata.
Kalau ada sesuatu yang harus kauceritakan
kepadaku, duduklah dan ceritakan semuanya. Tetapi
jangan merendahkan dirimu seperti ini.
Xu Xian membalikkan tubuhnya dan
membungkuk tiga kali kepada Xiao Qing.
“Kata-katamu membuat hatiku benar-benar
terharu. Aku malu! Aku berjanji tak akan pernah lagi
mendengarkan kata-kata pendeta itu.”
Xiao Qing tertawa, “Sekarang ceritakan kepada
kami apa yang telah dikatakannya kepadamu!”
“Ia berkata bahwa kakakmu adalah seekor ular
putih yang menyamar. Dan kau...” kata Xu Xian
terbata-bata.
“Ya...?” desak Xiao Qing
“Bahwa engkau sesungguhnya adalah seekor ular
hijau yang juga sedang menyamar.”
Xiao Qing tak dapat menahan tawanya. Ia
memandang Bai Su-zhen dan berkata, “Kalau benar
demikian, berarti kami berdua adalah roh jahat. Jadi
apa pengaruhnya bagimu, Xu Xian?”
“Suamiku,” lanjut Bai Su-zhen bersungguh-
sungguh. “Akan kuceritakan hal yang sebenarnya
kepadamu. Kami adalah dua wanita yang
mempelajari ilmu gaib selama hampir lebih dari
seribu tahun. Dengan pernikahan kita, sesungguhnya
aku telah melanggar Hukum Kayangan. Itu sebabnya
Fa Hai ingin merusak kebahagiaan kita. Padahal aku
tidak berkeinginan lagi mematuhi aturan untuk para
peri, dan aku sangat menikmati kehangatan hidup
berkeluarga.”
“Aku mengerti sekarang,” kata Xu Xian. “Tak
mengherankan Fa Hai marah karena melihat aku
menikahimu.”
Kemudian ia berpaling kepada Xiao Qing, “Karena
kau telah mendalami ilmu gaib selama ratusan
tahun, mudah saja bagimu untuk mengikuti
kakakmu. Tetapi, bagaimana dengan aku? Karena
aku manusia biasa, dan aku tidak ingin kalian
tinggalkan.”
“Tetapi berjanjilah untuk tidak bercerita kepada
siapa pun tentang apa yang telah kami katakan
kepadamu,” kata Xiao Qirig.
“Tentu saja,” Xu Xian berjanji.
“Kekuatan Fa Hai sebanding dengan kekuatan
kita,” kata Bai Su-zhen. “Tetapi kau tak perlu
khawatir. Bersembunyilah di dalam rumah, kami
berdua akan melindungimu. Nanti setelah bayi kita
lahir, kita akan mencari tempat tinggal baru agar Fa
Hai tidak mengganggu kita lagi.”
Xu Xian merasa yakin akan kebenaran kata-kata
Bai Su-zhen. Ia lalu berjanji tidak akan mempercayai
kata-kata pendeta Fa Hai. “Aku percaya,” kata Bai
Su-zhen. “Sekarang mari kita makan sementara
makanan masih hangat.”
Rasa curiga dan keragu-raguannya sudah hilang
sama sekali. Ketiganya makan dengan gembira.
Malam itu Xu Xian tidur di samping istrinya. Mereka
berdua tampak sibuk bercakap-cakap dan tak
berhenti tertawa-tawa.
“Xu Xian telah berubah,” kata Xiao Qing kepada
kakaknya.
“Ya. Ia sekarang benar-benar mempercayaiku.
Mudah-mudahan kita tidak terlalu keras kepadanya!”
“Karena sikapnya kepada kakak semakin baik, aku
juga akan berlaku baik kepadanya. Tetapi, kalau
nanti pikirannya berubah lagi, aku pun tak sudi....”
Ketika berbicara, Xiao Qing tak dapat
menyembunyikan rasa marahnya. Dahinya berkerut
dan alis matanya menyatu.
“Jangan terlalu keras hati,” kata Bai Su-zhen. Ia
mencoba menenangkan Xiao Qing. “Xu Xian sangat
baik bila ia sedang bersamaku.”
“Oh, kau memang terlalu mudah terpengaruh!
Bagaimana kalau ia membuatmu celaka untuk kedua
kalinya?” tanya Xiao Qing. Tetapi kemudian, ia segera
tersenyum lagi.
Xu Xian sudah melupakan keragu-raguannya
terhadap Bai Su-zhen. Beberapa minggu telah
berlalu. Tetapi Xu Xian masih saja khawatir Fa Hai
akan datang kembali. Ia tak berani menerima tamu.
Suatu sore, ketika sedang duduk di lantai atas,
seorang pegawai tokonya menghampiri Xu Xian.
“Tuan Xu, ada seorang pendeta di bawah. Ia ingin
bertemu dengan anda.”
“Ia kembali lagi,” kata Xu Xian. “Aku tak berani ke
luar.”
Bai Su-zhen pun pergi ke luar dan bertanya
kepada pegawai itu, apa sesungguhnya yang
diinginkan sang pendeta.
“Ia tidak mengatakan apa-apa,” kata pegawai itu.
“Saya hanya melaksanakan perintah Tuan Xu untuk
melapor setiap kali ada pendeta yang datang.”
“Lebih baik aku yang keluar menemuinya,” kata
Bai Su-zhen kepada suaminya. “Kautunggu saja di
sini. Aku akan mengusirnya.”
“Aku ikut,” kata Xiao Qing dengan marah.
“Ilmu sihir Fa Hai sangat tinggi,” kata Bai Su-zhen.
“Bila engkau keluar dan mengejeknya dengan kata-
kata tajammu itu, kita sendirilah yang akan susah.
Lebih baik engkau di sini saja menjaga Xu Xian, biar
aku yang keluar menyambutnya.”
Ternyata yang datang hanyalah seorang pendeta
biasa. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Ia sedang
minum teh yang diberikan oleh si penjaga toko.
Karena telah mendalami ilmu gaib selama ribuan
tahun, Bai Su-zhen segera dapat mengetahui apakah
pendeta yang ia hadapi bukan pendeta yang
menyamar. Ternyata ia hanya seorang pendeta
pengembara yang tak sepantasnya dicurigai.
“Apakah Tuan memerlukan sesuatu?” tanya Bai
Su-zhen dengan ramah.
Pendeta itu menoleh ke arah Bai Su-zhen. Karena
menyangka Bai Su-zhen adalah pemilik toko. Ia
segera meletakkan cangkirnya untuk memberi
hormat kepada Bai Su-zhen.
“Aku pendeta miskin dari Hebei,” katanya.
“Tujuanku kemari ialah untuk meminta bantuan
memperbaiki biara kami. Aku bermaksud meminta
sedekah.”
“Tidak ada keperluan lain?” tanya Bai Su-zhen.
“Tidak! Hanya itu saja,” jawab pendeta itu.
Bai Su-zhen lalu meminta Ma zi-hou untuk
memberi uang kepada pendeta itu. Setelah pendeta
itu pergi, Bai Su-zhen masuk kembali ke dalam
rumah.
“Apa lagi yang diinginkan Fa Hai?” tanya Xu Xian
dengan cemas.
“Kau tak perlu takut. Hanya seorang pendeta yang
ingin minta sedekah. Jadi kusuruh pegawai toko
melayaninya,” kata Bai Su-zhen sambil tertawa.
“Jadi, ia bukan Fa Hai,” kata Xiao Qing dengan
lega. “Sekalipun demikian, kita harus selalu
waspada.”
Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya.
BAB 11

P ada bulan Juni, kota Jiangnan sangat panas.


Karena panasnya, banyak orang lebih suka tidur
di lantai. Demikian pula Xu Xian. Hari itu ia
mengambil sebuah kasur yang lebar lalu duduk-
duduk di halaman belakang.
“Panas sekali,” keluhnya. “Seandainya saja hujan
turun.”
“Kau kepanasan?” tanya Bai Su-zhen, “Mudah-
mudahan sebentar lagi akan turun hujan lebat. Dan
setelah hujan berhenti, kita dapat berjalan-jalan.”
“Tetapi lihatlah ke langit! Bersih. Tak ada
segumpal awan pun. Hujan tak mungkin turun,” kata
Xu Xian.
“Mana engkau tahu?” jawab Bai Su-zhen perlahan-
lahan, lalu berjalan ke dalam.
Tak lama kemudian, ia muncul lagi sambil
tersenyum.
Di langit awan gelap mulai tampak. Hari menjadi
lebih sejuk oleh angin yang bertiup kencang. Sesaat
kemudian badai pun tiba dan hujan turun dengan
lebatnya. Xu Xian berdiri di dekat Xiao Qing dan Bai
Su-zhen, asyik memandang hujan. Tak lama
kemudian, hujan berangsur-angsur mereda.
Xu Xian tertawa gembira. “Semuanya terasa sejuk
sekarang. Bukankah kau tadi ingin berjalan-jalan,
Istriku?”
“Aku ingin menyewa sebuah perahu agar kita
dapat pergi ke daerah Huqiu,” usul Bai Su-zhen. “Dan
pulangnya sebaiknya kita naik tandu, agar kaki tidak
basah.”
Mereka mengenakan pakaian yang rapi dan baru.
Pegawai toko disuruh memanggil tiga buah tandu
untuk mengantar mereka ke tempat penyewaan
perahu di Gerbang Chang. Dari sana, mereka bertiga
menyewa perahu dan pergi ke Huqiu, sebuah gunung
yang sepi dan terpencil, lewat sungai. Di sekeliling
gunung itu terdapat ribuan rumah penduduk.
Sedangkan di dataran yang landai, barisan pohon-
pohon pinus dan bambu berdiri berjajar mengelilingi
sebuah pemakaman.
Matahari mulai terbenam ketika Bai Su-zhen dan
Xiao Qing berjalan-jalan di halaman tanah
pekuburan. Karena enggan, Xu Xian berjalan-jalan
seorang diri tanpa setahu istri dan adik iparnya.
Rupanya Bai Su-zhen tidak menciptakan mahluk
halusnya untuk menjaga Xu Xian.
Tiba-tiba dua orang berpakaian kuning muncul di
samping Xu Xian dan memberi salam kepadanya.
“Tuan Xu, Fu Wei mengundangmu untuk
menemuinya.”
“Saya tidak kenal seseorang yang bernama Fu
Wei,” kata Xu Xian heran.
“Kalau kau nanti melihatnya, pasti kau akan
mengenalnya,” kata kedua orang itu.
“Tunggu dulu! Biar kupanggil dulu istriku. Nanti ia
akan kebingungan mencariku.”
“Tak usah khawatir. Mereka juga diundang dan
keduanya sudah berada di sana.”
“Di mana Fu Wei sekarang? Ia berada jauh dari
sini?” tanya Xu Xian.
“Sama sekali tidak,” kata orang itu. “Itu dia di
sana.”
Mereka menunjuk ke arah barat.
Tiba-tiba Xu Xian telah berada di atas awan.
Barulah ia sadar bahwa ia ditipu. Ia berteriak, namun
tidak seorang pun mendengarnya. Dan ketika ia
mencoba lari, tangan-tangan memeganginya. Karena
takut terjatuh, Xu Xian tak berani membuka mulut
hingga mereka tiba di tempat tujuan.
Salah seorang penculiknya berkata, “Kita sudah
tiba. Bukalah matamu!”
Ia menurut dan membuka matanya. Pada saat itu
ia telah berada di halaman sebuah biara yang luas. Di
depannya berdiri Fa Hai. Xu Xian sangat terkejut
hingga tidak mampu berkata-kata.
“Kami telah berhasil membawanya ke mari,” kata
salah seorang penculiknya, “Apa lagi yang harus kami
kerjakan?”
“Cukup sekarang. Pergilah!” jawab Fa Hai.
Kedua orang itu tiba-tiba menghilang.
“Xu Xian,” kata Fa Hai. “Apa pendapatmu tentang
kekuatan gaibku?”
“Tuan,” Kata Xu Xian merendah, “Karena saya
hanya manusia biasa, saya tak akan mampu
memahaminya. Saya tidak menyadari bahwa kedua
orang yang menangkap saya adalah anak buah Tuan.
Mereka baru berbicara tentang Fu Wei, dan tiba-tiba
saja saya telah berada di sini.”
“Ular Putih dan Xiao Qing tidak akan mengira
bahwa kau telah pergi. Aku terpaksa menipumu
karena takut kau akan berteriak dan menggagalkan
rencanaku. Sebenarnya orang-orangku dapat saja
meringkusmu, tapi aku ingin memperlihatkan betapa
besarnya kekuatan sihirku. Kalau Xiao Qing
menemanimu ke mana-mana, aku tak dapat berbuat
apa-apa. Sekarang kau sudah di sini bersamaku,
Xiao Qing tak akan dapat lagi mengawasimu,” Kata
Fa Hai dengan gembira.
“Kemampuan Tuan sungguh hebat,” kata Xu Xian.
“Izinkan saya pergi untuk menceritakannya kepada
mereka.”
“Apa?” tanya Fa Hai dengan mata membelalak.
“Kau ingin kembali? Sadarkah kau bahwa anak
buahku telah menerbangkanmu ke sini. Dan tahukah
kau berapa jarak dari Zhenjiang ke Suzhou?”
“Kira-kira seratus kilometer,” jawab Xu Xian.
Fa Hai benar-benar tak menduga Xu Xian masih
berkeinginan kembali ke rumah istrinya.
“Maksudku, kau tidak takut kepada Ular Putih dan
Ular Hijau?”
“Tak seorang pun mengira bahwa mereka adalah
ular yang menyamar. Istri saya sangat baik. Saya
tidak takut kepadanya.”
“Kau tidak takut kepadanya. Tetapi baru-baru ini
kau hampir saja mati ketakutan. Dan kedatanganku
ke sini sesungguhnya dengan maksud
menyelamatkanmu.”
Xu Xian tertawa dingin.
“Mengapa, mengapa waktu itu Tuan tidak datang
menolong saya? Sebaliknya, istri sayalah yang pergi
menyabung nyawa demi mencari obat untuk
menyembuhkan saya.”
Fa Hai tak dapat segera menjawab kata-kata Xu
Xian. Namun, dengan tenang ia berkata, “Sekarang
kau sudah selamat, dan akan menjadi pendeta di
biara kami. Mereka tidak akan berani datang ke sini
dan tidak akan pernah menemukan dirimu.”
Xu Xian segera berlutut di hadapan pendeta Fa Hai
sambil mengiba-iba, “Pendeta saya mohon... Biarkan
saya pergi! Karena saya tidak pernah berminat ingin
menjadi pendeta Budha. Tak ada gunanya menahan
saya di sini!”
Fa Hai menolak tubuh Xu Xian dengan kasar, “Ah!
Aku tak ingin berbantah lagi. Fa Shan?”
Seorang pendeta setengah tua datang dan memberi
hormat kepadanya. Fa Hai berkata, “Ini Xu Xian. Aku
telah menyuruh anak buahku untuk menyelamatkan
dan membawanya ke sini. Sekarang kuserahkan
penjagaannya kepadamu. Jangan biarkan ia jauh
darimu. Waspadalah terhadap Ular Putih.”
“Oh, saya mohon... Biarkan saya pergi,” pinta Xu
Xian. “Saya tak ingin menjadi pendeta.”
“Kau tak perlu menjadi pendeta,” kata Fa Shan.
“Tetapi beristirahatlah di sini selama beberapa hari.
Ada kamar kepala biara di sini. Jangan takut, ikuti
aku.”
Xu Xian menyadari bahwa Fa Hai tidak akan
menyerah. Ia terpaksa mengikuti Fa Shan dengan
hati sedih.
Sementara itu, Bai Su-zhen dan Xiao Qing bingung
mencari Xu Xian ke segala penjuru.
“Semenit yang lalu ia masih berada di sini,” kata
Bai Su-zhen. “Ke mana ia pergi? Kukira ia telah
masuk perangkap.”
“Benar-benar tak masuk akal,” kata Xiao Qing
bersungut-sungut.
Bai Su-zhen menunduk dan memusatkan
pikirannya. Tiba-tiba ia berseru, “Gawat! Dua anak
buah Fa Hai bersorban kuning telah membawanya ke
Gunung Emas. Kita harus mengejar mereka.”
Dengan mengendarai awan Bai Su-zhen dan Xiao
Qing terbang ke arah Barat, langsung menuju
Gunung Emas. Tetapi karena tak ada tanda-tanda
yang menunjukkan Xu Xian berada di sana, mereka
segera tahu bahwa mereka harus pergi ke biara Fa
Hai, yang terlindung oleh awan ajaib.
“Kalau Xu Xian ditangkap Fa Hai, apa yang harus
kita lakukan?” tanya Xiao Qing, sambil memandang
dengan bingung ke sekitarnya.
“Malam semakin larut,” kata Bai Su-zhen sambil
menunjuk ke langit. “Fa Hai benar-benar pandai, Kita
tak dapat masuk ke biaranya. Besok saja kita
kembali.”
“Para pendeta sering kali tidak menggunakan
akalnya. Apa sesungguhnya salah kita sehingga ia
menculik Xu Xian?” tanya Xiao Qing.
“Hari sudah malam. Kita bicarakan lagi besok pagi.
Akan kutanyakan kepada Fa Hai apa yang ia
inginkan,” kata Bai Su-zhen.
Keesokan harinya, mereka menceritakan kejadian
yang mereka alami kepada Ma Zi-hou yang
diperintahkan untuk menjaga toko sementara mereka
pergi ke Zhenjiang. Mereka tiba di Biara Gunung
Emas pada tengah hari. Namun pintu gerbang biara
dibiarkan terbuka lebar, sehingga tak ada sesuatu
pun yang menghalangi mereka.
Bai Su-zhen pun masuk ke dalam biara. Ketika
bertemu dengan seorang pendeta, ia cepat-cepat
membungkuk memberi hormat. Rupanya pendeta ini
telah diperintahkan oleh Fa Hai untuk waspada.
Sehingga ketika ia melihat Bai Su-zhen
kecurigaannya timbul.
Sambil mundur beberapa langkah, ia membalas
salam hormat Bai Su-zhen, “Nona-nona, adakah yang
dapat kubantu?”
“Kemarin Xu Xian suamiku diundang ke sini oleh
Fa Hai. Hingga hari ini ia belum juga pulang. Itu
sebabnya aku datang ke sini untuk menjemputnya,
agar kami dapat pulang bersama,” jelas Bai Su-zhen.
Mendengar kata-kata Bai Su-zhen, pendeta itu
terkejut. Ia menjawab sambil tergagap-gagap. “Kalian
adalah... kalian kemari untuk menjemput Xu Xian,
dan ingin... pp... pulang bersamanya? Aku khawatir
permintaan kalian tak dapat kupenuhi.”
“Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan Fa Hai,”
lanjut Bai Su-zhen.
“Ya, ya,” kata pendeta itu dengan lega. “Silakan
menunggu di sini.”
Tak lama kemudian Fa Hai tiba.
“Sungguh baik Tuan bersedia menemui saya,” kata
Bai Su-zhen dengan hormat.
“Roh jahat,” teriak Fa Hai. “Xu Xian memang
berada di sini. Berani benar kau menjemput ke sini.
Apakah kau tidak takut melanggar hukum Surga?”
“Kami saling mencintai sebagaimana pasangan
suami-istri. Bukankah hal itu tidak melanggar
hukum Surga?” sanggah Bai Su-zhen.
“Engkau Ular Putih!” kata Fa Hai, “Dan engkau
adalah Ular Hijau,” teriaknya sambil menunjuk
marah kepada Xiao Qing dengan tongkatnya. “Aku
tak akan membiarkan kalian bergaul dengan manusia
biasa dan merusak peradaban mereka. Aku tahu
bahwa sampai saat ini kalian belum merugikan
manusia. Tetapi, aku bertekad menyelamatkan Xu
Xian agar tidak bergaul lagi dengan kalian. Perbuatan
kalian kuanggap telah melewati batas, berani
memasuki biara ini. Aku yakin kalian tahu
bagaimana kemampuanku.”
Mendengar kata-kata Fa Hai, Xiao Qing menjadi
geram. Hampir saja ia menghunus pedangnya untuk
menantang pendeta itu berkelahi kalau saja Bai Su-
zhen tidak menghalanginya. Dengan tenang Bai Su-
zhen mendekapkan kedua tangannya di dada dan
berkata dengan nada sedih, “Tuan Yang Terhormat,
saya tahu betapa tangguhnya ilmu yang Tuan miliki.
Namun saya benar-benar mencintai Xu Xian. Oleh
karena itu saya memohon belas kasihan Tuan.”
Fa Hai mengangkat kepalanya dengan angkuh,
“Kauharap aku mengasihani dirimu? Cepat pergi dari
sini. Carilah tempat yang sepi, dan berlatihlah lebih
giat lagi!”
“Bagaimana dengan Xu Xian?” tanya Bai Su-zhen.
“Akan kupaksa ia menjadi pendeta.”
Dengan berapi-api Bai Su-zhen menjawab, “Tuan
tidak mempunyai hak untuk memaksanya menjadi
pendeta. Bebaskan ia.”
“Kalau kau ingin mencari gara-gara, aku pun
dapat berlaku kasar,” ancam Fa Hai.
Dengan berurai air mata, Bai Su-zhen memohon.
“Oh Tuan yang terhormat dan baik hati, sekali lagi
saya mohon kepada Tuan. Kasihanilah saya,” ujarnya
sambil berlutut di kaki Fa Hai.
Sementara Bai Su-zhen berbicara dengan Fa Hai,
Xiao Qing diam tak berkata-kata. Namun, ketika ia
melihat kakaknya berlutut dan menangis, ia tak
tahan lagi dan ikut menangis.
Fa Hai menepuk dadanya dan berteriak, “Aku tak
akan membiarkan Xu Xian celaka.”
Xiao Qing tak kuasa lagi menahan marahnya.
Dengan telunjuknya ia menuding Fa Hai.
“Lihatlah, betapa kakakku telah merendahkan diri
meminta belas kasihanmu. Namun sebagai pendeta
ternyata kau tak punya belas kasihan sedikit pun.
Cepat bebaskan Xu Xian. Kupikir, sebaiknya
engkaulah yang harus belajar lagi, agar dapat
memahami hati seorang wanita.”
Fa Hai hanya tertawa, “Ternyata kau jauh lebih
berbahaya dibandingkan dengan kakakmu. Ia tidak
berani kurang ajar kepadaku, apalagi menuding dan
memakiku! Kau harus diberi pelajaran, agar dapat
memahami arti sopan santun.”
Bai Su-zhen segera bangkit dan memarahi Xiao
Qing.
“Jaga sikapmu, Xiao Qing. Mintalah maaf
kepadanya!”
Tetapi Xiao Qing bersikeras tidak bersedia
mengindahkan kata-kata kakaknya. Ia malahan
memalingkan muka seolah tak sudi menatap Fa Hai.
Fa Hai lalu berkata, “Ular Putih, tak ada gunanya
kau berlutut dan memohon kepadaku. Engkau tahu,
aku mempunyai alasan untuk menahan Xu Xian di
sini. Sekarang cepatlah pergi dari sini!”
Mendengar kata-kata Fa Hai, sadarlah Bai Su-zhen
bahwa hati Fa Hai tak lagi dapat dilunakkan. Ia
berdiri dan berkata, “Jadi, kau tetap tak mau
membebaskannya? Bagaimana saya dapat hidup
tanpa Xu Xian di sampingku? Sebaiknya jangan
terlalu membanggakan ilmumu. Jangan pula
membuatku marah, kau takkan mungkin selamat.
Engkau tak akan selamat.”
Fa Hai menggerakkan tongkatnya, sehingga
gelang-gelang yang melekat di tongkat itu
mengeluarkan bunyi gemerincing. Makhluk-makhluk
halus ciptaannya bermunculan memenuhi ruangan
dan mengambil sikap siap menyerang.
“Aku datang menemuimu dengan maksud baik.
Mengapa kini kau memanggil mereka dan
mengancamku seperti ini?” seru Bai Su-zhen.
Namun Fa Hai tetap tidak mengacuhkan kata-kata
Bai Su-zhen.
“Jika kau masih menyayangi nyawamu, dengarlah
nasihatku. Pergilah cepat dari sini. Kalau tidak
mereka akan segera mematahkan semangatmu,
dengan demikian kau tak akan seenaknya
memamerkan kekuatan sihirmu.”
Bai Su-zhen melihat Xiao Qing tak mau berbicara.
Akhirnya ia pun berkata, “Baiklah, kini kami akan
segera pergi. Tetapi, bila Xu Xian tidak juga
kaubebaskan, biara ini akan kugenangi air. Bahkan
bebek dan anjing pun akan mati.”
“Cepat tunjukkan kebolehanmu,” ejek Fa Hai.
Xiao Qing memandang sekitarnya, terutama ke
arah bala tentara Fa Hai. Ia lalu berkata, “Kami ke
sini untuk menjemput Xu Xian, bukan untuk
berkelahi. Tetapi kalau harus bertempur, kami tidak
gentar.” Sambil berbicara ia menggulung lengan
bajunya dan bersiap-siap menyerang.
Dengan bingung Bai Su-zhen berteriak, “Xiao Qing!
Fa Hai telah mengatakan bahwa para makhluk halus
ini didatangkan untuk menjaga Xu Xian dan kita
dapat pergi dari sini. Sebaiknya kita segera
meninggalkan tempat ini. Dan kau Fa Hai, dengarkan
baik-baik kataku.”
“Bicaralah,” jawab Fa Hai.
“Kami akan pergi sekarang. Kau kuberi waktu
hingga esok siang untuk membebaskan Xu Xian.
Tetapi bila setelah tengah hari kau tetap menahannya
di sini, kau pasti akan menyesal.”
Selesai berbicara, Bai Su-zhen dan Xiao Qing
berjalan ke luar menuju pintu gerbang, dan
meninggalkan biara Gunung Emas.
BAB 12

D i bawah langit berbintang, Bai Su-zhen dan Xiao


Qing tampak sibuk membicarakan kejadian yang
mereka alami dan menyusun rencana selanjutnya.
“Kejadian sore tadi sungguh memalukan.
Sebaiknya besok kita memanggil Manusia Air5 untuk
menghabisi nyawa semua pendeta di biara itu. Kita
baru akan berhenti kalau Xu Xian telah berhasil
ditemukan,” kata Xiao Qing.
Bai Su-zhen tidak segera memberikan jawaban.
Beberapa saat kemudian barulah ia berkata, “Panggil
Ma Zi-hou dan Li Ben-liang ke sini. Aku ingin bicara
dengan mereka.”
Xiao Qing segera keluar melaksanakan perintah
kakaknya. Begitu berhadapan dengan Bai Su-zhen,
keduanya membungkuk hormat dan menanyakan
apa yang harus mereka lakukan.
Bai Su-zhen berdiri, dan dengan nada bersungguh-
sungguh ia berkata, “Besok, pagi-pagi sekali,
tutuplah toko untuk sementara waktu. Cepatlah pergi
ke mulut sungai Chang Jiang dan kumpulkan
seluruh kekuatan yang telah berlatih selama enam
ratus tahun terakhir. Lalu kembalilah ke sini untuk
menerima perintahku. Xiao Qing tentu sudah
bercerita tentang perlakuan Fa Hai kepadaku.
Jelaskan kejadian ini kepada Manusia Air.”

5 Manusia Air adalah makhluk halus yang tinggal di dalam air dan
bertugas menjaga bumi.
“Kami telah mendengar tentang keangkuhan Fa
Hai,” kata Ma Zi-hou. “Satu-satunya cara untuk
menghadapi orang seperti dia ialah dengan
menghancurkan biaranya, dan membuatnya
memohon ampun kepada kita.”
Li Ben-liang menambahkan, “Bila seluruh tentara
telah dikerahkan, saya yakin kita dapat mengalahkan
musuh-musuh kita agar mereka dapat merasakan
pembalasan kita.”
“Engkau sangat berani, dan terima kasih atas
bantuanmu,” kata Bai Su-zhen hangat. “Namun,
sebaiknya kalian jangan bertindak kejam, dan jangan
lupa untuk senantiasa menaati perintahku. Tetapi
kalian juga harus segera beristirahat. Karena pada
waktu matahari terbit esok pagi, kalian sudah harus
berada di sungai Chang Jiang. Temui aku tengah
hari.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing kemudian berganti baju
dengan warna putih dan hijau. Dengan menyandang
dua bilah pedang, mereka mulai menyelidiki sungai
Chang Jiang.
Di bagian timur, mereka melihat secercah cahaya
putih yang berkilauan. Bai Su-zhen mengucapkan
mantra-mantra untuk mencari tempat Roh Bumi.
Tiba-tiba muncul sekitar tiga puluh orang tua. Bai
Su-zhen segera menyambutnya.
“Besok sore, sungai Chang Jiang akan membanjiri
biara Gunung Emas. Namun, rakyat di sini tidak
bersalah. Karena itu, kumpulkan makhluk-makhluk
halus untuk membuat dua jalan agar penduduk yang
tinggal di dekat sungai dapat menyelamatkan diri.”
Para makhluk halus itu mengetahui besarnya
kekuatan sihir Bai Su-zhen. Mereka tidak berani
membantah ataupun bertanya. Semuanya menyetujui
siasat yang diambil oleh Bai Su-zhen.
“Sebelum banjir datang, aku akan berteriak
‘Bangun’ dari bawah biara. Begitu mendengar aba-
abaku, Kalian harus bekerja. Jangan ceritakan
rencana ini kepada siapa pun. Sekarang kalian boleh
pergi.”
Esoknya, tepat pada tengah hari Bai Su-zhen dan
Xiao Qing tiba di gerbang Biara Gunung Emas, untuk
mendengar jawaban Fa Hai. Mereka melihat pintu
biara sudah rusak. Tidak ada seorang pun di sana.
Halaman biara benar-benar kosong. Patung tanah liat
yang terletak di pintu gerbang seakan-akan meringis
mengejek mereka, sementara empat serdadu Budha
di sekitar gerbang memandang mereka dengan
bengis.
“Di mana Fa Hai?” tanya Bai Su-zhen.
Seorang pendeta berlari menghampiri mereka dan
berkata, “Telah kami katakan bahwa Xu Xian tak
akan pernah kami serahkan kembali kepadamu. Tak
ada gunanya kalian datang dan menanyakannya
lagi.”
“Siapa pun boleh masuk ke dalam biara. Jadi
mengapa kau melarangku?” tanya Bai Su-zhen
sambil melangkah ke dalam biara.
Saat itu Fa Hai berada di dalam biara bersama
empat pendeta pengawalnya, masing-masing dua
orang di sisi kiri dan kanannya. Tangannya
menunjuk kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing, ketika
dilihatnya kedua wanita itu terus saja berjalan.
Maksudnya ialah agar keduanya tidak dapat maju
lebih jauh.
“Tuan,” kata Bai Su-zhen sambil mengangguk
memberi hormat kepada Fa Hai. “Waktunya telah
tiba. Apakah engkau akan membebaskan Xu Xian
atau tidak?”
“Seperti kukatakan kemarin, Xu Xian akan
menjadi pendeta. Jadi ia tidak boleh meninggalkan
tempat ini. Pergilah,” jawab Fa Hai dengan tegas.
“Ini akan berakibat buruk bagimu,” kata Bai Su-
zhen memperingatkan.
Fa Hai menyeringai. “Kau sudah selesai berbicara?
Tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak sabar lagi.”
Bai Su-zhen tertawa menghina sambil menghunus
pedangnya. Xiao Qing berdiri memandang Fa Hai
yang sedang bersiap-siap melemparkan tongkatnya
ke tanah. Dalam sekejap, tongkat itu menggeliat dan
berubah menjadi seekor naga emas.
Melihat Bai Su-zhen dan Xiao Qing menghunus
pedang, naga itu segera menyerang. Cakar, sisik,
rambut, dan giginya yang berwarna keperakan
bersinar menyilaukan. Dengan lincahnya, naga itu
menggeliat mengurung Bai Su-zhen.
Tetapi dengan tegar Bai Su-zhen menghadangnya
dengan acungan pedang sambil berteriak, “Kembali
ke bentuk aslimu!”
Seketika itu juga, lenyaplah sang naga emas dan
menjelma kembali menjadi sebatang tongkat, yang
menggeletak di tanah.
“Apa lagi yang akan kaupamerkan?” tantang Bai
Su-zhen dengan nada angkuh.
“Ini! Mana angin dan api?” teriak Fa Hai.
Kemudian, tampak sebuah kasur terbang dari
bawah kakinya. Dalam sekejap, angin kencang
berhembus dan dari dalamnya ke luar lidah-lidah api
yang panjangnya lima atau enam sentimeter.
Angin dan api segera menyerang Xiao Qing. Namun
Xiao Qing secepat kilat mengacungkan pedangnya
untuk menangkis serangan. Gabungan serangan
angin dan api membuat Xiao Qing kalang-kabut.
Bai Su-zhen segera melompat ke depan dengan
pedang teracung sambil mengucapkan mantranya.
Tiba-tiba angin dan api buatan menghilang dan kasur
yang semula terbang melayang-layang jatuh kembali
ke kaki Fa Hai.
Bai Su-zhen menyilangkan pedang di dadanya.
“Kutunggu yang lain, Fa Hai!” tantangnya.
“Ini!” raung Fa Hai sambil menggumamkan sebuah
mantra. “Mana Jia Lian? Kerahkan Serdadu Surga
dan kalahkan kedua ular ini.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing menyadari bahwa
serangan yang berikut akan mendatangkan kesulitan
bagi mereka. Dengan segera keduanya terbang ke
Sungai Changjiang.
“Bila Fa Hai tetap bersikeras, sebaiknya kita segera
mengirimkan Manusia Air untuk membanjiri Gunung
Emas,” kata Xiao Qing.
“Mana Manusia Air?” teriak Bai Su-zhen seketika
itu juga. Maka terdengarlah bunyi gelembung-
gelembung air, dan langit pun menjadi gelap. Angin
yang bertiup kencang menyebabkan timbulnya
ombak besar di sungai-sungai. Permukaan air
semakin lama semakin tinggi.
Bai Su-zhen dan Xiao Qing melompat ke sebuah
perahu. Dengan suatu teriakan dari Xiao Qing,
perahu melesat ke tengah sungai. Di sana Bai Su-
zhen melihat ribuan manusia berbentuk gelembung
muncul dari balik ombak.
“Kami menunggu perintahmu, Putri!”
Bai Su-zhen berkata, “Kuharap kalian segera
membanjiri Gunung Emas sekarang dengan ombak
dan gelombang. Berhentilah setelah kuberi tanda.”
Manusia Air serempak menyambut kata-kata Bai
Su-zhen. Mereka melompat kembali ke dalam air.
Sesaat kemudian terdengar teriakan.
“Peri-peri Sungai, mulailah bekerja.”
Maka langit pun bertambah kelam dan angin
tenggara mulai menyapu sungai Chang Jiang.
Sedemikian kuatnya tiupan angin sehingga tak
seorang pun bisa bertahan. Tetesan air hujan sebesar
biji kacang pun berjatuhan menghantam tanah dan
menggenangi daratan.
Tebalnya kabut yang menyelimuti tepi sungai,
menghalangi pemandangan. Tetapi dengan tiba-tiba
muncullah sebentuk jalan di dekat sungai.
Sementara itu, dari biara Gunung Emas, Fa Hai
melihat langit semakin gelap. Tiupan angin dan hujan
pun semakin menggila.
“Angin dan hujan ini pastilah hasil perbuatan
kedua ular itu. Pergi dan selidikilah keadaan badai di
atas sungai!”
Dua pendeta bergegas turun ke tepi sungai.
Sebentar kemudian mereka kembali ke kuil.
“Permukaan air semakin tinggi dan tampaknya
akan segera menggenangi biara.”
Fa Hai menggelengkan kepalanya.
“Jangan takut. Ambilkan jubahku yang bertambal
seribu, dan letakkan separuhnya di tepi sungai dan
separuh lagi di atas air. Berapa pun tingginya air, ia
tidak akan dapat mencapai biara ini.”
Kedua pendeta itu segera menjalankan perintah Fa
Hai. Air pun mulai mereda, walaupun hujan belum
juga berhenti. Dengan hati gembira kedua pendeta itu
bergegas menghadap Fa Hai.
“Aku yakin Ular Putih pasti akan putus asa.
Duduklah kalian semua di sini, dan tunggulah apa
yang akan terjadi selanjutnya,” kata Fa Hai.
Para pendeta menaati perintahnya. Beberapa di
antara mereka segera duduk, sementara yang lain
berdiri atau berjalan ke sana-kemari. Jia Lian
menunggu perintah dari Fa Hai untuk menyerang
musuhnya bersama lima ratus prajuritnya. Mereka
menunggu di balik awan.
Rupanya Bai Su-zhen tidak menyadari keadaan
ini. Ketika waktu menunjukkan pukul tiga, air masih
bertahan di lereng gunung. Bersama Xiao Qing, ia
menaiki sebuah perahu untuk melihat apa yang
sedang terjadi.
Karena putus asa, ia segera mendayung perahunya
ke samping gunung. Di sana ia berteriak, “Bebaskan
Xu Xian, dan semua ini akan kuhentikan. Kalau
kalian menolak, akan kuperintahkan Manusia Air
untuk membunuh semua penghuni biara.”
Tetapi berapa pun kerasnya ia berteriak, Fa Hai
tak juga menjawab.
“Rupanya mereka belum juga menyadari akibat
banjir ini bagi mereka?” kata Xiao Qing. “Kita dibantu
oleh ribuan Manusia Air. Tidakkah lebih baik
sekarang kita suruh mereka membanjiri biara itu?
Lihat saja apakah Fa Hai masih akan sanggup
bertahan.”
Bai Su-zhen segera berdiri di atas perahu.
“Baiklah,” katanya. “Kalau aku tidak
membunuhnya sekarang juga, aku yang akan
menjadi korban tongkat ajaibnya.”
“Tidak!” teriak Xiao Qing dengan berapi-api. “Nenek
moyang kita berkata bahwa kemenangan selalu
berada di pihak yang benar. Dan kita berada di pihak
yang benar.”
“Aku akan segera memberi aba-aba. Bersiap-
siaplah!” seru Bai Su-zhen.
Kemudian mereka meneriakkan aba-aba dan
ribuan Manusia Air keluar dari luapan air sungai
menunggu perintah Bai Su-zhen.
“Manusia Fa Hai adalah orang yang menjijikkan.
Betapa pun alasan yang kita ajukan, ia tidak akan
mau mendengarkan. Apakah kalian siap menyerang?
Selamatkan Xu Xian bila di antara kalian ada yang
melihatnya. Tetapi ingat, kalian hanya boleh
menyerang Fa Hai. Karena pendeta yang tidak
bersalah tidak boleh disakiti, kecuali jika mereka
mendahului menyerang.”
Pada saat itulah semua Manusia Air berubah
bentuk menjadi manusia, masing-masing membawa
pedang. Dengan jeritan yang memekakkan telinga,
mereka mulai menyerang biara. Bai Su-zhen dan Xiao
Qing berjalan di depan, memimpin pasukan.
Rupanya Fa Hai telah menunggu kedatangan
mereka. Ketika mendengar Bai Su-zhen memberi aba-
aba, ia pun segera berteriak. “Jia Lian, siapkan
prajuritmu dan bersiagalah!”
Pasukan Fa Hai segera berdiri di tepi jalan yang
menuju ke gunung, dipimpin oleh Jia Lian yang
berbaju besi berwarna emas. Di antara para prajurit,
Bangau Putih melangkah dengan gagahnya.
Kehadirannya di dalam barisan, pasti akan
mendatangkan kesulitan bagi Bai Su-zhen.
Saat itu Bai Su-zhen mengangkat tombaknya dua
kali. Ia memberi tanda kepada pasukannya untuk
berhenti. Begitu berhadapan dengan musuh, Bai Su-
zhen memberi salam.
“Kalau ada yang hendak kaukatakan, cepat
ucapkan sekarang juga,” kata Jia Lian.
“Aku hanya menginginkan pembebasan Xu Xian.
Tak ada gunanya memanggil semua pasukan,” kata
Bai Su-zhen.
“Lalu apa artinya awan hitam serta ombak yang
setinggi langit itu? Bukankah itu pasukanmu?” jawab
Jia Lian. “Sebaiknya kau mundur saja. kalau tidak,
kau sendirilah yang akan menderita.”
Dewa-dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir
menyaksikan semua kejadian ini dari langit. Ketika
Jia Lian berbicara, petir berkelebat.
Bai Su-zhen tidak merasa gentar. “Jika Xu Xian
tidak segera dibebaskan, aku terpaksa mengambil
alih biara ini.”
Jia Lian segera memberi aba-aba kepada
pasukannya untuk menyerang. Hujan pun berhenti
dan mereka bertempur di bawah sinar bulan yang
tertutup kabut. Angin berubah arah dan bertiup
dengan kencang menyerang Manusia Air, sehingga
mereka tidak dapat bergerak maju. Namun
tampaknya mereka juga pantang mundur. Sambil
bertahan di tempat, mereka berteriak, “Bunuh!
Serang!”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing yang berada di barisan
terdepan, serempak mengacungkan pedang.
“Pasukan, jangan gentar.”
Terpesona oleh semangat Bai Su-zhen, pasukan
Manusia Air menyambut dengan teriakan perang
mereka. Mereka terus mencoba maju melawan tiupan
angin.
Jia Lian mengacungkan tombaknya, untuk
menghalangi jalan musuh. Pada saat itu, keempat
Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir bergabung
dengan pasukan Jia Lian. Semuanya melengkapi diri
dengan senjata sakti yang melekat di pinggang.
Bai Su-zhen dan Xiao Qing tetap bertempur
dengan penuh semangat. Dengan dibantu oleh
Manusia Air, mereka tak berhenti menghentak
mengibaskan pedang. Dewa Angin, Hujan, Awan, dan
Petir pun mundur, diikuti oleh Jia Lian. Ketika
dilihatnya mereka bersiap-siap menggunakan senjata
sakti, Bai Su-zhen berteriak, “Biarkan saja. Berikan
kesempatan kepada Bangau Putih untuk menyerang!”
Bangau Putih menjawab, “Aku di sini.
Menyingkirlah!”
Sesungguhnya dari semua peri yang ada, yang
paling membuat gentar Bai Su-zhen dan Xiao Qing
adalah Bangau Putih. Dengan mengenakan busana
berbulu burung, Bangau Putih sekarang memimpin
pasukan. Bai Su-zhen sadar bahwa Fa Hai telah
mempersiapkan segalanya. Tetapi semangat
pasukannya pun sangat tinggi. Namun begitu melihat
Bangau Putih, keberanian yang semula menyala-
nyala seketika lenyap. Mereka tidak berani maju
tanpa perintah dari Bai Su-zhen.
Bai Su-zhen segera berteriak lantang. “Bangau
Putih, aku telah mengampunimu ketika kita terakhir
kali bertemu di gunung tempat tinggal Peri Tua di
Kutub Selatan. Ia memberikan kebebasan dan
Rumput Abadi kepadaku. Tidakkah kausadari betapa
jahatnya Fa Hai? Ia telah menculik Xu Xian dan
merusak kebahagiaan rumah tangga kami.
Seharusnya kau tidak bertempur di pihaknya.
Cepatlah menyingkir.”
Bangau Putih menunjuk ke sungai dan berkata.
“Banjir ini akan menggenangi biara. Apakah itu
bukan kejahatan? Dengarkan aku! Tarik mundur
pasukanmu sebelum aku terbang ke angkasa dan
membunuhmu.”
Bai Su-zhen menjawab dengan marah.
“Banjir ini hanya akan menggenangi biara. Kami
telah membuat jalan khusus untuk menyelamatkan
rakyat dari banjir. Tak akan ada yang menderita!”
“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Bersiap-
siaplah!” Bangau Putih segera terbang ke udara dan
menjelma menjadi bangau raksasa. Paruhnya
memanjang hingga satu setengah depa. Dengan
membabi buta ia menyerang Bai Su-zhen dan Xiao
Qing.
Kedua wanita itu langsung menghunus pedang
dan bersiap-siap untuk menyerang kembali. Pada
saat itu tiba-tiba terdengar seorang berteriak,
“Jangan bunuh mereka, Peri Tua datang.”
Mereka memandang ke atas dan melihat Peri Tua
dari Kutub Selatan berdiri di awan. Rambutnya yang
putih panjang diikat dengan dua pita kuning. Ia
mengenakan jubah kuning dan menggenggam sebuah
tongkat berbentuk kepala naga pada pegangannya.
Bangau Putih menghentikan serangannya.
“Bai Su-zhen mencari suaminya. Salahkah itu?
Seharusnya kau tidak melibatkan diri dalam
pertempuran ini,” kata Peri Tua.
Bangau Putih yang saat itu telah kembali pada
ukurannya semula, berlutut di hadapan Peri Tua.
“Dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir, tuntutan Bai
Su-zhen sama sekali bukan urusan kalian. Mengapa
kalian melibatkan diri?”
Karena malu, mereka pun mundur setelah
membungkuk memberikan hormat. Bai Su-zhen dan
Xiao Qing berlutut di hadapan Peri Tua. Mereka
memohon kepada Peri Tua untuk menyelamatkan Xu
Xian. Bila permohonan itu dikabulkan, mereka
berjanji untuk segera menarik mundur seluruh
pasukan.
Melihat yang sedang terjadi, hati Fa Hai khawatir,
takut biaranya digenangi banjir. Ia segera berlari ke
pintu gerbang sambil membungkuk dengan takzim.
Peri Tua berkata, “Aku datang untuk menengahi
pertempuran, bukan untuk berkelahi. Bai Su-zhen,
jangan menyerang lagi. Panggil pasukanmu. Dan kau
Fa Hai, jangan khawatir, biaramu tak akan tergenang
banjir.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing pun segera naik ke
pintu masuk biara yang dijaga ketat oleh tiga lapis
pasukan. Fa Hai berdiri di balik pintu. Bai Su-zhen
berteriak.
“Jia Lian, lihatlah! Anak buahku sudah mundur.
Apakah engkau masih berkeras kepala menolak
pembebasan Xu Xian? Pintu masuk akan segera kami
hancurkan.”
Manusia Air tertawa terkekeh-kekeh mendengar
kata-kata Bai Su-zhen. Suaranya menggema,
menggetarkan hati. Jia Lian melihat Manusia Air
mulai bergerak turun dari gunung dan membentuk
barisan lima lapis di depan pintu masuk. Sejauh
mata memandang yang terlihat hanyalah air yang
menghampar. Semua manusia air menyandang
senjata. Setiap gerakan yang mereka lakukan
mendatangkan tiupan angin dingin. Ombak sungai
yang semakin tinggi tampak mendekati Gunung
Emas.
Kemudian langit menjadi gelap lagi dan petir pun
menyambar. Bunyinya benar-benar memekakkan
telinga.
Dengan lantang Bai Su-zhen berteriak kepada
pasukannya. “Yang Abadi sendiri telah menyatakan
bahwa kami berada di pihak yang benar. Sekarang
pergi dan usirlah Fa Hai!”
Perintahnya disambut dengan gegap gempita.
Pasukan Manusia Air pun segera mendesak maju,
walaupun lima ratus Pasukan Surga menghadang.
Tiba-tiba Bai Su-zhen mengeluh kesakitan. Ia tak
mampu mengangkat pedang dan terpaksa mundur
beberapa langkah.
Xiao Qing terkejut dan menghampiri kakaknya.
“Kakak sakit?” tanyanya dengan khawatir.
Bai Su-zhen membungkuk menahan sakit.
“Rasanya saat melahirkan telah dekat. Pasukan
kita tak akan mampu mendesak maju terus tanpa
komandan. Perintahkan mereka agar segera
mundur.”
Karena melihat pasukan sudah tiba di pintu
masuk dan hampir meraih kemenangan, Xiao Qing
tidak segera melaksanakan perintah kakaknya. Maka
Bai Su-zhen yang saat itu hampir tak mampu lagi
berdiri, segera mengangkat pedangnya dan berseru,
“Saudara-saudara, jangan menyerang. Mundur! Aku
tak sanggup lagi memimpin kalian.”
Pasukan Surga menduga bahwa mundurnya lawan
hanya siasat Bai Su-zhen. Mereka tidak berusaha
mengejar, hanya memandang dari kejauhan pasukan
musuh yang mundur dan kembali ke dalam air.
“Mari kita pergi,” erang Bai Su-zhen. “Sakitnya
semakin tak tertahankan. Aku tak ingin melahirkan
di sini.”
Lalu keduanya naik ke angkasa dan menunggang
awan menuju ke suatu tempat yang lebih tenang. Bai
Su-zhen bersandar pada Xiao Qing. “Di mana kita
sekarang?” tanyanya berbisik.
Xiao Qing menunjuk ke bawah dan menjawab, “Itu
jalan menuju Hangzhou. Mari kita beristirahat
sebentar.”
BAB 13

S elama pertempuran berlangsung, Xu Xian ditahan


di tempat perlindungan dan dijaga oleh seorang
pendeta. Ia tidak mengerti mengapa hujan turun
deras sekali. Namun ia mendengar bahwa Ular Putih
dan Ular Hijau membawa sepasukan Manusia Air
untuk membanjiri biara. Ia pun mendengar bahwa
untuk mencegah banjir pendeta Fa Hai meletakkan
jubahnya di tepi sungai. Ia juga tahu bahwa
sekalipun biara tergenang air, ia akan tetap selamat.
Ia yakin akan kemampuan istrinya.
Seorang pendeta tiba-tiba masuk tergopoh-gopoh,
mengatakan bahwa Ular Putih dan Ular Hijau telah
datang menyerang biara. Xu Xian sangat senang
mendengarnya. Pendeta yang lain menambahkan, ia
tidak perlu merasa khawatir karena Pasukan Surga
pasti akan mampu mempertahankan biara. Dengan
kesaktian dan jumlah pasukan yang besar yang
tersebar di seluruh kota, mereka pasti tidak
terkalahkan. Kegembiraan hati Xu Xian pun musnah.
Fa Shan, pendeta penjaga, berkata kepadanya.
“Pertempuran sudah mencapai pintu masuk biara. Ini
benar-benar peristiwa luar biasa. Aku ingin melihat
ke luar. Dan kau?”
“Kalau Tuan mau melihat ke luar, silakan,” jawab
Xu Xian.
“Kuharap kau tidak akan melarikan diri,” sahut
pendeta khawatir.
“Melarikan diri?” seru Xu Xian. “Ke mana? Kalau
tidak bertemu Fa Hai, aku pun pasti akan mati.”
Jawaban Xu Xian melegakan hati Fa Shan. Ia lalu
berkata, “Tetaplah duduk di sini. Aku akan segera
kembali.”
“Pergilah. Aku tidak akan melarikan diri,” ulang Xu
Xian.
Tetapi begitu pendeta meninggalkan ruangan,
hujan berhenti. Bintang dan bulan muncul di langit.
Xu Xian berjalan ke luar untuk melihat keadaan di
luar. Tak seorang pun terlihat di sana.
“Sekarang tiba saatnya aku melarikan diri,”
ujarnya. “Karena semua orang berada di depan, aku
akan melarikan diri dari pintu belakang. Dengan
demikian tidak seorang pun akan melihatku.”
Perlahan-lahan Xu Xian mengendap-endap
menyeberangi halaman biara dan akhirnya ia berada
di pintu gerbang. Dengan gembira ia membukanya,
menyelinap ke luar, dan menutupnya kembali dengan
hati-hati. Karena tidak tahu arah dan tujuan, Xu
Xian berjalan saja mengikuti kehendak kakinya.
Jalan itu berakhir di sebuah desa. Sambil
melangkahkan kaki ia membayangkan bagaimana
akhir pertempuran itu. Bila istrinya menang, ia pasti
akan mencari Xu Xian. Tetapi bila istrinya kalah,
paling tidak ia telah berada di luar biara. Itu jauh
lebih baik, karena ia tidak ingin menjadi pendeta.
Kemudian Xu Xian tiba di sebuah bangunan
bersegi delapan. Ia mendongakkan kepalanya ke atas.
Bulan dilihatnya mulai tenggelam di barat. Xu Xian
berniat untuk sejenak beristirahat hingga datang
fajar. Baru kemudian ia akan memikirkan rencana
selanjutnya. Ia lalu membaringkan tubuhnya di
sebuah bangku batu, dan jatuh tertidur.
“Xu Xian, bangunlah!” terdengar teriakan
seseorang. Xu Xian terkejut dan terbangun. Ia tidak
dapat melihat siapa yang memanggilnya, karena
matanya masih kabur oleh kantuk.
“Dari mana Tuan tahu nama saya?” tanya Xu Xian
heran.
“Bukan saja namamu yang kuketahui, aku juga
tahu mengapa engkau melarikan diri.”
Xu Xian duduk dan menyeka matanya. Orang itu
tidak bertopi, tetapi berpakaian seperti pendeta
Budha.
Kemudian lelaki tua itu berkata, “Gunung Emas
berada di dekatmu. Aku yakin kau tak akan dapat
memicingkan mata.”
Xu Xian terkejut. Orang ini benar-benar
mengetahui kesulitan yang ia alami. Dengan penuh
hormat ia membungkukkan badannya, “Kakek,
tolonglah hamba. Pendeta Fa Hai adalah manusia
yang berbahaya. Tetapi siapa sesungguhnya nama
Tuan?”
Orang tua itu melihat ke sekeliling untuk
meyakinkan diri bahwa tak seorang pun berada di
dekatnya kecuali mereka berdua. “Aku adalah Peri
Tua dari Kutub Selatan.”
“Oh!” seru Xu Xian dengan gembira. “Jadi Tuankah
yang telah memberikan Rumput Abadi kepada istri
saya. Dan berkat badi itulah saya hidup kembali.
Saya benar-benar bersyukur dapat berjumpa dengan
Tuan. Dengan demikian saya bisa mengucapkan
terima kasih.”
Sambil berbicara, Xu Xian berlutut memberi
hormat. “Mohon katakan kepada saya, apa yang
harus saya lakukan?” tanyanya sambil bangkit
berdiri.
“Aku sengaja datang ke mari untuk menyuruhmu
pulang ke Hangzhou,” kata orang tua itu.
“Hangzhou? Saya memang berasal dari sana.
Tetapi, di kota itu saya tidak mempunyai kerabat,
kecuali seorang kakak perempuan yang telah
berkeluarga.”
“Pada saat ini, Bai Su-zhen dan Xiao Qing berada
di Danau Barat. Temui mereka di sana,” perintah Peri
Tua.
Hati Xu Xian sangat gembira.
“Tetapi, bukankah saya sekarang berada di
Zhenjiang, ratusan kilometer jauhnya dari
Hangzhou,” katanya.
“Aku akan membawamu ke sana. Ikuti saja kata-
kataku. Engkau segera akan bertemu dengan
mereka,” kata Peri Tua.
“Terima kasih! Apakah mereka kalah sehingga
harus melarikan diri ke Hangzhou?”
“Mereka hampir saja menang. Tetapi istrimu tiba-
tiba sakit dan harus segera pergi. Tenangkan hatimu.
Istrimu akan menjelaskan segala-galanya.”
“Bagaimana caranya agar saya dapat segera
menemuinya?” tanya Xu Xian penuh semangat.
“Bergantunglah pada tongkatku. Kalau
kuperintahkan tutup matamu, artinya kita akan
segera terbang. Kalau kuperintahkan buka matamu,
berarti engkau sudah berada di Hangzhou.”
Xu Xian pernah terbang mengendarai awan ketika
ia diculik oleh pendeta Sorban Kuning. Jadi ia
mengetahui apa yang harus ia lakukan. Dipegangnya
tongkat Peri Tua erat-erat.
“Pegang tongkatku ini. Apa pun yang terjadi,
jangan dilepaskan. Dan jangan pula bertanya, di
mana kau sedang berada,” kata orang tua itu.
Kemudian Peri Tua memberi tanda bahwa mereka
akan segera terbang. Angin dingin berhembus di
telinganya. Ketika membuka matanya, Xu Xian
melihat atap rumah-rumah penduduk, di sekitarnya
terlihat langit luas penuh awan dan bintang-bintang
yang bersinar. Karena ngeri, ia segera menutup
kembali matanya.
“Berhenti!” demikian teriak Peri Tua, dan Xu Xian
mendapatkan dirinya berdiri di sebuah jalan. Di
ujungnya ia melihat dua buah gunung yang mengapit
sebuah danau.
Sekali matanya memandang berkeliling. Benar! Ia
telah berada di Danau Barat dengan pohon-pohonnya
yang khas.
“Aku berada di jalan Su Ti!” serunya.
“Ah, rupanya engkau mengenalinya,” kata orang
tua itu. “Sekarang kau telah berada di daratan.
Teruslah berjalan, dan engkau akan segera tiba di
rumah.”
Xu Xian menatap wajah Peri Tua yang selalu
tersenyum. Dengan ragu-ragu, Xu Xian bertanya,
“Orang yang akan saya temui di rumah adalah Bai
Su-zhen dan Xiao Qing, bukan?”
“Tentu saja.”
Sambil mencekal baju Peri Tua, Xu Xian berkata,
“Dan saya tak perlu khawatir, bukan?”
“Sama sekali tidak!” jawab Peri Tua. “Tetapi tentu
saja mereka akan merasa kesal, karena gara-gara
perbuatanmu semuanya jadi kacau.”
Xu Xian mendesah, “Fa Hai-lah penyebabnya. Jika
nanti saya meminta maaf, istri saya pasti bersedia
melupakan semuanya. Tetapi Xiao Qing belum tentu
mau mengerti.”
“Jangan khawatir,” ulang Peri Tua. “Berjanjilah
untuk tidak mengulangi kesalahanmu itu. Lihat,
mereka memanggilmu.”
Xu Xian melihat mereka di kejauhan, namun ia
tidak mendengar apa pun. Dan ketika ia
membalikkan tubuhnya, orang tua itu tak terlihat
lagi. Dalam hati ia bersyukur dan mengucapkan
terima kasih. Namun ia masih saja merasa khawatir;
ia yakin Xiao Qing marah kepadanya.
Matahari di. atas gunung menyinari danau, bagai
kaca tembaga raksasa yang memantulkan bayangan
bangunan-bangunan di sekitarnya.
Xu Xian belum juga meyakini kebenaran kata-kata
Peri Tua bahwa Bai Su-zhen dan Xiao Qing akan
datang ke tempat itu. Namun, karena ia masih
mempunyai kenalan baik di kota itu, ia
merencanakan untuk tinggal menumpang di rumah
temannya. Ketika tiba di Jembatan Patah, Xu Xian
sejenak melamun. Di kejauhan ia melihat dua orang
wanita duduk di bawah pohon di tepi sungai. Mereka
adalah Bai Su-zhen dan Xiao Qing. Karena kelelahan
bertempur, mereka-tak bertenaga lagi untuk
meneruskan perjalanan.
“Kakak,” kata Xiao Qing sambil duduk di sebuah
batu besar. “Bagaimana keadaanmu?”
“Baik-baik saja. Namun, rasa sakit belum juga
hilang,” jawab Bai Su-zhen.
“Kita sudah tiba di Hangzhou. Sebaiknya kita
segera mencari tempat yang sepi.”
“Karena Xu Xian masih ditahan Fa Hai, kita belum
dapat beristirahat. Sebaiknya kita tidak ke luar kota,”
kata Bai Su-zhen.
Xiao Qing menggelengkan kepalanya, “Bah! Xu
Xian bukan lagi kawan kita. Lupakan saja dia.”
Bai Su-zhen hanya tersenyum, “Xu Xian jujur dan
baik hati! Kejadian di Gunung Emas benar-benar
bukan kesalahannya. Waktu kita bertempur tadi,
perutku mendadak sakit. Kurasa waktu melahirkan
hampir tiba.”
“Kita akan beristirahat di Hangzhou,” Xiao Qing
memutuskan.
Tiba-tiba Bai Su-zhen mengerang, “Oh! Sakitnya
datang lagi.” Xu Xian tak dapat lagi menahan
hatinya. Ia segera berlari menghampiri Bai Su-zhen,
“Istriku, kau sakit?”
Bai Su-zhen sangat gembira melihat Xu Xian.
Sejenak ia melupakan rasa sakitnya. “Xu Xian!”
teriaknya dengan sukacita.
Xu Xian kembali bertanya, “Istriku, bagaimana
keadaanmu?”
Xiao Qing tetap diam dan berdiri membelakangi
mereka berdua, seakan-akan tidak pernah mengenal
Xu Xian.
Bai Su-zhen berkata, “Perbuatanmu telah
mendatangkan kesulitan kepada kami. Gara-gara
ulahmu, aku terpaksa mengerahkan Manusia Air
untuk menyerang biara, dan Fa Hai telah
menghimpun bala bantuannya untuk memerangi
kami. Ketika kami hampir memasuki biara,
mendadak perutku sakit, sehingga kami terpaksa
mundur, lalu terbang ke sini. Tetapi, mengapa
engkau tidak datang ketika kami sedang bertempur?”
“Aku ditahan di ruangan belakang,” kata Xu Xian.
“Perang memang berkecamuk di luar. Tetapi di
dalam, aku tidak melihat sesuatu pun. Lagi pula, aku
dijaga ketat oleh para pendeta, sehingga tidak dapat
bergerak.”
“Tetapi bagaimana engkau dapat melarikan diri ke
sini?” tanya Bai Su-zhen.
Xu Xian menceritakan seluruh kejadian yang
dialaminya, “Jarak Zhenjiang-Hangzhou jauh sekali.
Kalau tidak ada yang menolongku, bagaimana
mungkin aku dapat melarikan diri dan tiba di sini?”
Dengan gembira, Bai Su-zhen berkata, “Rasa-
rasanya aku harus berterima kasih kepada Peri Tua
sekali lagi!”
Tiba-tiba Xiao Qing menghentikan kalimatnya,
“Jangan percaya kepadanya. Siapa tahu ia dikirim ke
mari oleh Fa Hai untuk menipu kita,” katanya sambil
memandang Xu Xian dengan marah.
Xu Xian membungkuk dan berkata tanpa merasa
bersalah, “Xiao Qing, kau marah kepada Fa Hai,
bukan?”
“Tidak, aku marah kepadamu,” jawabnya.
Xu Xian tidak tahu apa yang harus dikatakannya.
Xiao Qing berkata lagi, “Aku benar-benar
membencimu. Kami telah menyabung nyawa gara-
gara ulahmu!”
Xu Xian menoleh kepada Bai Su-zhen. Tampaknya
ia pun membela adiknya. Dalam hati Xu Xian
berpikir, “Kedua wanita itu sanggup mengerahkan
Manusia Air untuk menyerang biara. Jadi, kalau
mau, mereka dapat saja membunuhku sekarang.”
Badan Xu Xian gemetar ketakutan.
“Ayo, mengakulah! Kalau tidak...” kata Xiao Qing
mengancam.
Dengan gigi gemeletuk ketakutan, Xu Xian
berkata, “Memang benar! Akulah penyebab semua
kekacauan ini. Apa lagi yang dapat kukatakan?”
“Apa yang diperintahkan Fa Hai kepadamu?” tanya
Xiao Qing.
“Ia hanya menginginkan agar aku bersedia menjadi
pendeta.”
“Huh! Pasti ia mengirimmu kemari untuk
mengkhianati kami, bukan?” tuduh Xiao Qing sambil
mendekati Xu Xian.
Melihat betapa marahnya Xiao Qing, Xu Xian
menoleh kepada istrinya. “Istriku, aku tidak
berdusta.”
“Dulu, kami memang mempercayaimu. Tetapi
sekarang tidak lagi,” lanjut Xiao Qing dengan geram.
“Katamu, kau tidak berdusta, tetapi mengapa kau tak
berteriak ketika mereka menculikmu? Cepatlah
mengaku! Ayo!”
Xiao Qing mengangkat tangannya. Xu Xian hanya
dapat bersembunyi di balik istrinya.
Bai Su-zhen yang saat itu sedang menahan sakit
berbisik kepada Xiao Qing. “Aku tahu engkau sangat
marah. Tetapi, berilah kesempatan kepadanya untuk
berbicara!”
Adiknya menjawab, “Baik. Bicaralah cepat!”
“Ketika kita sedang berada di Gunung Hu Qiu, dua
pendeta bersorban kuning mengatakan bahwa kalian
berdua diundang Fa Hai dan sudah berada di
tempatnya. Itu sebabnya ketika mereka membawaku,
aku tidak berteriak. Baru kemudian aku sadar bahwa
mereka telah menipuku. Namun segalanya sudah
terlambat.”
Xiao Qing menukas, “Itu tidak...” Namun Xu Xian
segera berlutut dan memotong kalimatnya.
“Aku bersumpah kepada dewa-dewa. Kalau aku
berdusta, biarlah aku mati tertusuk pedang sekarang
juga.”
Bai Su-zhen menariknya, “Xu Xian, bangkitlah!”
Kata Xu Xian, “Xiao Qing. Mungkin sebaiknya aku
pergi saja.”
“Kalau saja Bai Su-zhen tidak sakit,” sahut Xiao
Qing, “Aku tidak akan pernah memaafkan dirimu.
Tetapi, karena ia menderita dan karena kau mengenal
kota ini dengan baik, cepat katakan ke mana kita
bisa mencari tempat untuk beristirahat?”
“Ke rumah kakakku,” tegas Xu Xian. “Kakak
iparku, Li Ren pasti mau membantu kita. Tetapi ini
hanya sekadar usul. Apakah kau menyetujuinya,
Istriku? Dan kau Xiao Qing?”
Xiao Qing tak dapat menahan senyumnya melihat
sikap Xu Xian.
“Aku setuju. Aku dapat tidur di mana saja. Bai Su-
zhen akan segera melahirkan. Saranmu cukup baik.
Kami juga membawa uang, sehingga tidak akan
menyulitkan kakakkmu.”
Xu Xian menoleh kepada Bai Su-zhen. “Kalau
kakakmu dan suaminya mau menerima kita,
alangkah baiknya,” kata Bai Su-zhen.
Rasa sakit kembali datang. Bai Su-zhen
menyandarkan tubuhnya kepada Xiao Qing.
Kemudian, mereka berjalan perlahan-lahan menuju
rumah Fu Yun, kakak Xu Xian.
“Istriku, tentunya sulit bagimu untuk berjalan
jauh,” kata Xu Xian. “Duduk sajalah di sini bersama
Xiao Qing. Aku akan memanggil dua tandu untuk
membawa kalian ke rumah kakakku.”
“Usulmu hebat,” kata Xiao Qing. “Tetapi, kurasa
cukup satu tandu saja. Jangan pikirkan diriku.”
“Aku pergi sebentar,” kata Xu Xian sambil berlari
menyeberangi Jembatan Patah. Di sana ia
menemukan tempat pemberhentian tandu, dan
berhasil memperoleh tiga buah tandu.
Ketika mereka akan masuk ke dalam tandu, Bai
Su-zhen berkata, “Xu Xian, ada satu hal yang harus
kauingat. Bila kita sudah tiba di rumah kakakmu,
jangan ceritakan apa pun tentang kejadian di Biara
Gunung Emas. Katakan saja kita datang kemari
karena aku akan melahirkan.”
“Baiklah,” Xu Xian berjanji.
BAB 14

F u yun sangat gembira melihat kedatangan Xu


Xian, Bai Su-zhen, dan Xiao Qing. Ia berlari
menyambut mereka dengan gembira. “Oh, kejutan
yang menyenangkan! Kami mendengar kalian
berhasil. Tidak pernah kuduga akan bertemu kalian
secepat ini.”
“Sebentar lagi aku akan melahirkan,” kata Bai Su-
zhen. “Karena hanya kalianlah keluarga kami di sini,
maka aku sengaja datang kemari untuk meminta
bantuan.” Bai Su-zhen sambil berjalan ke dalam
rumah.
Fu Yun berkata, “Tampaknya saat kelahiran sudah
dekat.”
“Benarkah?” kata Xu Xian khawatir. “Apakah
kalian punya kamar kosong?”
“Tentu saja! Uang pemberian kalian, kami jadikan
modal untuk berdagang. Dari keuntungan yang kami
dapat kami mendirikan bangunan tambahan di
belakang rumah ini, dan baru selesai dua hari yang
lalu. Tempatilah rumah itu. Perabotannya memang
belum ada, tetapi kalian dapat mengaturnya
kemudian. Dalam satu-dua hari, kalian akan seperti
di rumah sendiri.”
Bai Su-zhen duduk dengan hati-hati dan
mengucapkan terima kasihnya kepada Fu Yun.
Dengan susah payah ia berkata, “Kakak ipar,
maafkan kami bila tidak dapat membalas segala
kebaikanmu.”
“Jangan pikirkan hal itu!” seru Fu Yun. “Kau akan
segera melahirkan. Akan kupanggilkan dua wanita
untuk membantu persalinanmu.”
“Tak perlu buru-buru,” jawab Bai Su-zhen.
“Saatnya belum tiba. Izinkan kami melihat rumah
itu.”
“Ya. kau harus mempersiapkan diri, sebelum tiba
saat melahirkan,” kata Fu Yun.
Fu Yun memanggil nyonya Jiang yang kemudian ia
perkenalkan kepada Bai Su-zhen. Ia juga
memberikan kunci rumah kepada Bai Su-zhen, dan
menyuruh ketiganya masuk. Bai Su-zhen tampak
lega, Xu Xian dan Xiao Qing disuruhnya melihat-lihat
ke dalam.
Dinding rumah itu terbuat dari batu kapur. Kayu-
kayu dan atapnya dicat rapi. Seluruh bangunan
terbagi atas lima ruangan yang sama besar.
“Bagus sekali,” kata Xu Xian. “Tetapi tempat tidur
dan perabotan lainnya belum tersedia. Karena Bai
Su-zhen akan segera melahirkan, sebaiknya untuk
sementara kita tinggal saja dulu di rumah Fu Yun.”
Xiao Qing bertanya kepada nyonya Jiang, “Apakah
rumah ini mempunyai pintu belakang?”
“Oh ada, di belakang ruangan ini,” jawab nyonya
Jiang.
“Bagus,” kata Xiao Qing. “Ketika datang ke sini,
kulihat ada beberapa toko yang menjual barang-
barang keperluan rumah tangga. Aku akan pergi
membeli barang-barang yang diperlukan Bai Su-zhen.
Aku akan kembali sekitar satu jam lagi.”
Xu Xian tahu benar siapa Xiao Qing. Itu sebabnya
ia mengangguk saja tanda setuju. “Pergilah. Karena
istriku akan segera melahirkan, tampaknya tidak ada
pilihan lain yang lebih baik. Tetapi tentunya kau
membutuhkan uang cukup banyak untuk membeli
perabotan.”
“Jangan khawatir. Tolong kunci pintu gerbang”
Nyonya Jiang dan Xu Xian pergi mengunci pintu
dan menunggu di luar. Dengan menggunakan
kekuatan sihirnya, Xiao Qing kemudian menciptakan
perabotan-perabotan rumah tangga. Agar tidak
menimbulkan kecurigaan, ruangan itu dikuncinya
dari dalam. Setelah satu jam, Xiao Qing membuka
pintu dan memanggil. “Semuanya beres. Masuk dan
lihatlah.”
Ketika pintu dibuka, Nyonya Jiang terkejut.
Halaman rumah telah dipenuhi pot-pot bunga yang
indah, dan guci-guci emas yang sangat besar dan
berat yang berisi batu-batu karang kecil. Di kamar
tidur ia melihat sebuah dipan kayu berukir, ditutup
dengan kain bersulam. Di dekat tempat mencuci
tangan, terdapat mangkok-mangkok porselin. Nyonya
Jiang ternganga, tak dapat berkata-kata.
“Masuklah Nyonya Jiang,” kata Xiao Qing.
Nyonya Jiang melihat berkeliling. “Xiao Qing,
apakah engkau seorang peri? Seisi rumah penuh
dengan barang-barang besar dan berat yang
memerlukan waktu berjam-jam untuk
mengangkatnya kemari. Bagaimana kau dapat
membereskannya seorang diri?”
Xu Xian tidak terkejut lagi melihat keajaiban-
keajaiban seperti itu. “Xiao Qing memang wanita yang
sangat pandai. Ia juga mempunyai banyak uang
untuk membeli semua barang ini,” jelasnya.
Fu Yun dan Bai Su-zhen datang. Fu Yun terkejut
melihat keadaan di dalam rumah. Bai Su-zhen hanya
berdiri sambil mendesis menahan sakit.
“Adik,” kata Fu Yun kepada Bai Su-zhen.
“Beristirahatlah dulu. Semua sudah diatur rapi. Kau
dapat melahirkan dengan tenang.”
Xu Xian menyambung, “Ya, lebih baik kau
beristirahat. Bila memerlukan sesuatu, biar
kuambilkan.”
“Yang kuperlukan sekarang adalah
mempersiapkan kelahiran bayiku,” kata Bai Su-zhen.
“Aku sudah membeli barang-barang yang
diperlukan,” kata Xiao Qing. “Tetapi masih ada
beberapa benda yang tidak kudapatkan di toko.
Tentunya kakak bersedia meminjamkannya kepada
kami.”
“Jangan khawatir,” jawab Fu Yun. “Apa pun yang
kauperlukan, akan kusediakan. Tetapi tentunya
banyak yang sudah agak usang!” kata Fu Yun dengan
mata berbinar-binar.
“Kami benar-benar merasa beruntung kakak
berada di sini bersama kami,” kata Bai Su-zhen
hangat.
Setelah Fu Yun pergi dengan Nyonya Jiang untuk
mencari pakaian-pakaian bayi, Bai Su-zhen
menyuruh Xu Xian pergi membeli baskom dan
handuk. Ketika ia tinggal berdua saja bersama Xiao
Qing, Bai Su-zhen berkata kepada Xiao Qing, “Kau
telah mengisi rumah ini dengan baik. Tetapi karena
terlalu cepat, kurasa mereka agak curiga.”
“Biar saja. Asalkan mereka tidak menyangka
bahwa aku adalah seorang peri,” jawab Xiao Qing.
“Ya, tetapi lain kali kita harus lebih hati-hati,” kata
Bai Su-zhen. “Pendeta Fa Hai benar-benar jahat. Ia
telah merusak ketenangan hidup dan menyebabkan
kita terpaksa bersembunyi. Menurut pendapatmu,
apa lagi yang kita perlukan untuk seorang bayi?
Cepat kausiapkan sementara orang-orang lain belum
kembali ke sini.”
“Ayunan, baju bayi, baju hangat, dua bantal kecil,
semuanya telah tersedia. Hei, mengapa pula kau ini?”
Bai Su-zhen mencekal pinggiran tempat tidurnya
sambil menggigit kedua bibirnya.
“Oh, sakit rasanya!” katanya terengah-engah. “Xiao
Qing, cepat lakukan sesuatu.”
“Aku akan memanggil Fu Yun,” jawab Xiao Qing.
“Jangan pergi sekarang. Siapkan terlebih dahulu
barang-barang yang kuperlukan. Waktumu sempit!”
Sekali lagi Xiao Qing menggunakan kekuatan
sihirnya. Beberapa saat kemudian, Fu Yun datang
membawa setumpuk pakaian bayi. Dilihatnya Bai Su-
zhen hanya sendirian di kamarnya. Fu Yun bertanya,
“Bagaimana sakitnya?”
“Kalau serangan datang, sakitnya tak tertahankan.
Tetapi sekarang tidak lagi,” sahut Bai Su-zhen.
Sambil meletakkan baju-baju yang dibawanya, Fu
Yun bertanya, “Sudah ada tanda-tanda kelahiran?”
“Ya! Darah! Tetapi hanya sedikit.”
“Ya ampun! Itu tandanya bayi akan segera keluar.
Ia dapat lahir sewaktu-waktu. Mana Xiao Qing?”
“Aku di sini, sedang mempersiapkan barang-
barang untuk bayi,” teriak Xiao Qing dari ruangan
lain.
“Cepat kemari. Aku akan menjemput Nyonya
Jiang. Ia sudah berpengalaman membantu
kelahiran.”
Tak lama setelah ia pergi, Xu Xian datang
membawa baskom dan barang-barang lain. Melihat
Bai Su-zhen sendirian di kamarnya, ia bertanya
dengan khawatir, “Bagaimana? Aku benar-benar
malu. Xiao Qing sibuk mempersiapkan segala-
galanya. Semua diperolehnya dengan mudah.
Sedangkan aku, hanya ini yang dapat kuperoleh.”
“Ia dapat lahir sewaktu-waktu,” jawab istrinya.
“Aku senang engkau berhasil membeli barang-barang
yang kuminta. Sekarang, keluarlah! Biar para wanita
yang mengurusnya.”
Fu Yun dan Nyonya Jiang berlari menghampiri Bai
Su-zhen. Nyonya Jiang bertanya kepada Bai Su-zhen
tentang beberapa hal. Melihat Xu Xian masih saja
berada di ruangan, ia berkata, “Suamiku, keluarlah.
Bila telah selesai, kau akan kami panggil.”
Xu Xian melihat wajah istrinya yang menahan
sakit. Ketika dilihatnya Nyonya Jiang mulai
menanggalkan baju Bai Su-zhen, perasaannya
semakin tak menentu.
“Adik, cepatlah keluar!” perintah Fu Yun.
“Tenagamu tidak diperlukan di sini.”
Dengan berat hati, Xu Xian beranjak ke luar. Dan
pintu pun segera dikunci dari dalam. Xu Xian
berjalan mengitari ruangan, sambil menunggu
dengan was-was.
Dari luar ia mendengar suara-suara, “Semoga
Budha membantumu. Dorong! Ayo! Dorong sekali
lagi.”
Dari apa yang terdengar, Xu Xian dapat
membayangkan betapa susahnya melahirkan! Ingin
rasanya ia membantu, namun Bai Su-zhen
melarangnya masuk. Karena itu ia hanya berjalan
mondar-mandir di luar kamar, sambil memasang
telinga mendengarkan dengan hati pedih jerit
kesakitan istrinya. Ia lalu berdoa dalam hati, “Wahai
para nenek moyang. Bantulah istriku. Aku akan
memujamu sepenuh hatiku.”
Tiba-tiba didengarnya Fu Yun berseru dengan
gembira.
“Bagus, kepalanya sudah tampak. Dorong sekali
lagi. Bagus, bagus! Bayinya besar sekali. Aku akan
segera membersihkannya... Selamat, Dik!”
Jantung Xu Xian serasa berhenti berdenyut. Ia
berjalan ke pintu dan menguping. Didengarnya suara
tangisan bayi.
“Aku akan menggendongnya,” terdengar suara Fu
Yun. “Nah, sekarang peganglah ia dengan hati-hati.”
Xu Xian mendengar suara Bai Su-zhen dan suara-
suara lain di dalam ruangan, “Selamat! Selamat!”
Semuanya penuh sukacita.
Xu Xian berterima kasih kepada Yang Di Atas,
kepada para dewa di langit, di bumi, dan kepada para
nenek moyang!
Xiao Qing keluar dari kamar untuk mengucapkan
selamat kepada Xu Xian, “Selamat! Engkau mendapat
bayi laki-laki yang sehat.”
Xu Xian tidak menyangka Xiao Qing akan bersikap
ramah kepadanya. Semenjak kejadian di Gunung
Emas, baru saat itulah Xiao Qing berbaik hati
kepadanya. Ia pun menjawab, “Ya, Adik, kau telah
mempersiapkan segalanya dengan baik.”
“Jangan tergesa-gesa masuk. Kami sedang beres-
beres,” kata Xiao Qing, sambil melangkah masuk ke
dalam kamar.
Kebahagiaan Xu Xian tak dapat dilukiskan. Ingin
rasanya ia melompat-lompat untuk melampiaskan
kebahagiaan hatinya.
Ia merasa seakan harus menunggu berabad-abad
sebelum akhirnya Fu Yun mempersilakannya masuk
untuk melihat bayinya. Dilihatnya Bai Su-zhen
duduk di atas tempat tidurnya. Sebuah selimut
bersulam berwarna merah menutup kedua kakinya.
Namun, tempat tidur kecil di sampingnya tetap
kosong.
“Kau mencari anakmu?” tanya Bai Su-zhen
lembut, “Ia berada di sini,” katanya sambil
mengangkat bayi yang terbaring di sampingnya dan
menyerahkannya kepada Xu Xian. Xu Xian
memandang bayinya yang dibungkus kain tebal
berwarna merah. Wajahnya bulat dan rambutnya
hitam lebat.
“Ia mirip ayahnya,” kata Fu Yun.
“Tetapi, matanya seperti mata ibunya,” kata Xu
Xian.
“Engkau harus memberinya nama,” kata Bai Su-
zhen.
“Anakku! Kau kuberi nama Shi Lin6. Dan kau
harus mempunyai banyak adik, lelaki dan
perempuan.”
Fu Yun bertepuk tangan. “Nama yang bagus,”
katanya menyetujui. “Bagaimana menurut
pendapatmu, Adik?”
“Nama yang sangat indah,” jawab Bai Su-zhen
dengan halus. Kemudian terdengar Nyonya Jiang
berkata, “Kau sudah cukup lama menggendong
anakmu. Sekarang biarkan ia tidur.” Lalu ia
mengambil bayi itu dari gendongan Xu Xian dan
dibaringkannya di tempat tidur bayi.
Dari luar terdengar teriakan, “Hai! Saudara Xu
telah kembali. Ia pasti kaya raya! Lihatlah bunga-
bunga di tamannya!”
“Kakak iparmu pulang,” kata Fu Yun, “Adik, cepat
temui ia. Nanti ia mencari-cari kita.”

6 Kata 'Lin' berarti hutan. Hutan terdiri dari banyak pohon. Jadi nama Shi
Lin dimaksudkan agar ia kelak mempunyai banyak adik, laki-laki dan
perempuan.
Xu Xian berlari ke luar menemui Li Ren. Melihat
Xu Xian, Li Ren terkejut dan segera tertawa gembira.
“Sudah lama kita tak bertemu, Li Ren,” kata Xu
Xian
sambil membungkuk memberi hormat.
“Lebih dari setahun,” kata Li Ren. “Tetapi, lihatlah
rumah ini! Kau telah mengubahnya dalam waktu
singkat.” Dengan terheran-heran Li Ren memandang
meja, kursi dan perabotan lainnya serta barang-
barang porselin di ruang tengah. Bahkan pada
dinding-dindingnya pun tergantung lukisan-lukisan.
Jambangan-jambangan bunga yang indah terletak di
atas meja.
“Kami datang dari jauh,” kata Xu Xian. “Semuanya
masih berantakan.”
“Apa maksudmu? Berantakan?” kata Li Ren
tertawa. “Oh ya! Di mana istrimu?”
“Masih ada berita baik untukmu,” kata Xu Xian
dengan bangga. “Istriku baru saja melahirkan.
Bayinya laki-laki. Namanya Shi Lin.”
Li Ren menjabat tangan Xu Xian. Dengan gembira
ia berteriak, “Selamat! Ini benar-benar berita baik!
Kita harus merayakannya.”
Sebelum Xu Xian menjawab, Bai Su-zhen berteriak
dari dalam, “Kakak ipar! Aku tak dapat
menyambutmu ke luar. Tetapi, aku setuju bila
kelahirannya kita rayakan.”
Sambil menepuk dadanya, Li Ren berkata dengan
ceria kepada Xu Xian, “Kaudengar itu, Dik? Kita
harus merayakannya!”
BAB 15

S emua tetangga berebut membantu persiapan


pesta. Padahal saat itu Xu Xian sedang
kebingungan karena hanya membawa beberapa
keping uang logam di sakunya. Namun ia enggan
meminta uang kepada istrinya. Sebagai pengusaha
yang berhasil di Suzhou, orang tidak akan
menyangka bahwa sesungguhnya ia tak mempunyai
banyak uang. Hal itu akan memaksanya untuk
bercerita tentang kejadian di Gunung Emas. Padahal
ia telah berjanji kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing
untuk tidak bercerita kepada siapa pun. Semalam
sebelum pesta dimulai, ketika Bai Su-zhen sedang
menidurkan bayinya, Xu Xian bertanya kepada
istrinya.
“Bagaimana keadaanmu, Istriku?” tanya Xu Xian
lembut.
“Cukup sehat, sekalipun masih terlalu lemah
untuk berdiri. Tetapi jangan terlalu mencemaskan
diriku.”
“Jeritanmu saat melahirkan benar-benar
membuatku takut. Namun sekarang kau tampak
jauh lebih sehat,” kata Xu Xian dengan wajah
bahagia.
Bai Su-zhen tersenyum. “Anak ini benar-benar
mirip ayahnya. Apakah kau ingin menggendongnya?”
tanyanya.
Ketika Bai Su-zhen akan meraih bayinya, Xu Xian
melarang. “Ia sedang tidur. Jangan diganggu. Aku
ingin bertanya sesuatu kepadamu. Tidak ada orang
lain di sini, ‘kan?” tanya Xu Xian kepada istrinya.
Bai Su-zhen duduk. “Tentang kejadian di biara
itu?” tanyanya.
“Bukan. Aku sudah mengetahuinya,” jawab Xu
Xian. “Yang hendak kutanyakan ialah tentang toko
kita di Suzhou. Apakah toko itu masih ada?”
“Duduklah, akan kujelaskan,” jawab istrinya. “Kita
sekarang tidak dapat kembali ke Suzhou. Kalau kita
tetap membuka toko itu, berarti kita hanya mencari
keuntungan. Bukan itu tujuan kita. Itu sebabnya, Ma
Zi-hou dan Li Ben-liang telah kusuruh menutup toko.
Tentu saja hal ini membutuhkan waktu.”
“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?”
tanya Xu Xian dengan khawatir.
“Apa yang membuatmu khawatir? Masih ada uang
di dalam lemari. Dengarkan aku. Walaupun mulanya
uang kita berasal dari kekuatan sihirku, uang yang
kita punyai sekarang benar-benar hasil keringat kita.”
“Menurut pendapatmu, kita dapat mengundang
semua tetangga?” tanya Xu Xian.
“Tentu saja. Walaupun mereka tidak minta
diundang, aku bermaksud mengundang mereka
semua. Suamiku, keluarga Xu kini sudah mempunyai
keturunan. Aku sangat bahagia. Beberapa orang
masih berkata bahwa aku adalah makhluk halus.
Mereka mengatakan bahwa bayi ini bukanlah
milikku.”
Xu Xian menjawab dengan bersemangat, “Ya!
Benar-benar tidak masuk akal. Sekarang, aku akan
menghitung jumlah tamu yang akan kita undang.”
“Tenanglah! Kau dapat mengundang siapa saja.
Aku akan bisa mengatasinya. Tetapi jangan
kaukatakan kepada kakakmu asal-usul uang itu.”
“Tentu saja tidak!”
Bai Su-zhen memasukkan tangannya ke bawah
bantal, lalu mengambil sebuah kunci besar dan
memberikannya kepada Xu Xian. “Ini adalah kunci
peti kita. Semua isi peti itu berasal dari Suzhou.
Bagaimana barang-barang itu sampai kemari...” Bai
Su-zhen tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menoleh
kepada Xu Xian.
“Aku tahu. Makhluk halus telah mengangkutnya
kemari,” kata Xu Xian menyambung kata-kata
istrinya.
“Jangan pernah mengatakan sesuatu tentang
kunci ini, kepada siapa pun dan dengan alasan apa
pun juga,” kata Bai Su-zhen. “Kunci ketiga adalah
kunci untuk peti kedua. Bukalah peti itu.”
Xu Xian pergi ke ruang belakang dan membuka
peti. Ia menemukan semua uangnya di bawah lapisan
kain. “Banyak sekali!” serunya.
“Jangan bicara terlalu keras,” kata Bai Su-zhen.
Xu Xian mengunci peti, dan kembali ke kamar Bai
Su-zhen.
“Menurut pendapatmu uang itu cukup untuk
membiayai pesta kita?” tanya Bai Su-zhen.
“Lebih dari cukup,” jawab Xu Xian dengan wajah
tak percaya.
“Aku tahu. Aku ingin kau melihat sendiri uang itu.
Sekarang tak ada lagi yang perlu engkau
khawatirkan!. Aturlah segalanya.”
Xu Xian memberikan kembali kunci itu kepada
istrinya, “Engkau harus menjaga uang itu. Aku takut
kuncinya hilang.”
Dengan penuh pengertian Bai Su-zhen berkata,
“Aku juga akan membantumu mencari nafkah.”
Mendengar perkataan istrinya, hati Xu Xian sangat
bahagia. Perlahan-lahan ia datang mendekat, lalu
duduk di ujung tempat tidur. “Engkau telah
melakukan terlalu banyak untukku. Terima kasih,”
katanya tulus. Matanya menyiratkan cinta kasih.
“Engkau telah memberikan kekayaan kepadaku
selama ini, dan aku sangat berbahagia bila kau akan
tetap bersedia membimbingku. Di mana kita akan
bekerja nantinya?”
“Untuk menuju biara Gunung Emas, siapa pun
akan melewati daerah sekitar Sungai Changjiang,”
jawab Bai Su-zhen. “Dan kalau kita mampu
melewatinya, demikian pula Fa Hai. Kalau kita ingin
hidup tenang, sebaiknya kita tidak tinggal terlalu
lama di Hangzhou.”
“Jadi, di mana kita akan tinggal?”
“Di mana saja,” kata Bai Su-zhen dengan penuh
keyakinan. “Namun, untuk saat ini yang harus kita
pikirkan adalah anak kita.”
Kata-kata Bai Su-zhen melegakan Xu Xian. Tinggal
masalah pesta yang harus ia pikirkan.
Dua hari kemudian, tubuh Bai Su-zhen mulai
pulih. Ia bangkit dari tempat tidur lalu duduk di tepi
jendela. Kemudian ia menyusui Shi Lin. Xu Xian
memandang sambil tertawa.
Bai Su-zhen mengerlingkan matanya, “Tidakkah
lebih baik bila kau cari tempat yang sejuk dan
menyegarkan, daripada memandangiku saja tanpa
henti. Panasnya sungguh tak tertahankan!”
“Aku sedang berpikir untuk menyewa seorang ibu
susuan bagi anak kita untuk menggantikanmu. Pada
cuaca sepanas ini, engkau perlu juga beristirahat.”
Bai Su-zhen menggeleng. “Bukankah semua ibu
susuan juga mempunyai anak? Dan aku pun dapat
melakukannya sendiri.” Dengan hati terharu Xu Xian
berkata, “Kau benar-benar istri yang berbakti. Karena
biasanya orang kaya akan menyewa ibu susuan bagi
putranya, apalagi dalam cuaca sepanas ini.”
“Mungkin,” kata Bai Su-zhen sungguh-sungguh.
“Lebih baik mulai merencanakan pesta. Bagaimana
persiapannya?”
“Aku telah membuat daftar undangan. Jumlahnya
kira-kira dua puluh orang. Makanan pun sudah
dipesan. Tetapi, masih ada satu hal lagi yang
mengganggu pikiranku,” kata Xu Xian.
“Uang kita cukup banyak. Apa lagi yang engkau
khawatirkan?”
“Ruangan manakah yang dapat kita gunakan
untuk meletakkan meja makan?”
“Aku tahu,” jawab Bai Su-zhen dengan tenang.
“Tanyakan kepada pemilik rumah makan di depan
rumah ini, apakah kita boleh menyewa rumah
makannya untuk berpesta. Aku yakin ia pasti
bersedia meminjamkannya kepada kita.”
Xu Xian bertepuk tangan, “Ya! Ya! Kau benar!”
teriaknya bersemangat. “Kami telah lama bertetangga.
Aku yakin bila kita undang, pasti ia datang.”
“Bicarakan baik-baik masalah ini bersamanya,”
kata Bai Su-zhen. “Bila ia setuju, kau dapat menulis
undangannya. Dan buatlah undangan yang menarik
agar semua tamu ingin datang. Sebutkan pula bahwa
para tamu diharapkan untuk tidak membawa
bingkisan. Kalau mereka berkeras membawanya,
bingkisan itu akan kita kirimkan kembali.”
“Baiklah,” kata Xu Xian agak ragu-ragu. “Tetapi,
apakah hal itu tidak akan terlalu merepotkan?”
Bai Su-zhen tertawa mendengar kata-kata Xu
Xian. “Tentu saja itu semua hanya basa-basi. Harga
barang-barang sangat mahal akhir-akhir ini. Mereka
pasti akan merasa senang bila tidak harus membawa
bingkisan. Tetapi kalau kakak iparmu ingin
memberikan sesuatu, kita akan menerimanya dengan
tangan terbuka. Betul, ‘kan?”
Ketika Shi Lin berumur satu bulan, matahari
bersinar cerah. Bai Su-zhen mendandaninya dengan
baju tunik merah dan celana panjang hijau. Pipinya
pun kemerah-merahan.
Di ruang utama terdapat sebuah meja altar dan
teko-teko baru. Lilin-lilin besar dinyalakan dalam
tempat lilin yang terbuat dari kuningan. Wangi kayu
cendana tercium di seluruh ruangan, seakan
mengucapkan selamat datang kepada para tamu.
Bai Su-zhen menggendong bayinya dan menerima
ucapan dari para tamu. Di hadapan para tamu, ia
berkata, “Paman dan bibi anak ini telah berbaik hati
meminjamkan rumahnya kepada saya, sehingga saya
dapat melahirkan dengan selamat di sini. Kebaikan
dan kemurahan hati mereka tak akan dapat saya
lupakan. Kini di hadapan hadirin sekalian, saya akan
memberi penghormatan kepada mereka sebagai
ucapan terima kasih kami.”
Bai Su-zhen membungkuk memberi hormat. Mula-
mula kepada Xu Xian, Fu Yun, dan kemudian kepada
Li Ren. Setelah Bai Su-zhen selesai memberikan
penghormatan, Xiao Qing maju ke depan. Ia juga
ingin mengucapkan terima kasih. Ditariknya Nyonya
Jiang ke dekatnya, lalu katanya, “Nyonya Jiang juga
pantas mendapat penghormatan. Ia telah membantu
kakak saya melahirkan dan mengurus segalanya.”
Bai Su-zhen membungkuk di depan Nyonya Jiang
untuk memberikan penghormatan. Nyonya Jiang
menarik seikat uang dari sakunya, dan berkata, “Aku
telah menabung. Kuberikan uang ini kepada Shi Lin.
Kalau ia menyimpannya, mudah-mudahan ia hidup
lebih dari seratus tahun.”
Bai Su-zhen menerimanya dengan penuh sukacita.
Ia mengangguk sekali lagi tanda terima kasih. Xiao
Qing berseru, “Semoga bayi ini mewarisi sifat jujur
ayahnya. Tetapi mudah-mudahan ia tidak pemalu
dan pencemas seperti ayahnya.”
Semua tamu di ruangan itu tertawa keras dan
acara dilanjutkan. Bai Su-zhen membawa bayinya
berkeliling. Dihampirinya para tamu satu demi satu,
sehingga mereka dapat melihatnya dari dekat dan
mengucapkan selamat kepadanya. Para tamu
berseru, “Ia benar-benar mirip ayahnya. Setelah
menikah Xu Xian berhasil. Kalau anak ini mau
bekerja keras, ia akan mendapat kedudukan yang
terhormat.”
Walaupun banyak tamu yang sekadar berbasa-
basi, Bai Su-zhen dapat merasakan adanya ketulusan
dan kejujuran. Bai Su-zhen tersenyum kepada tamu-
tamunya dan berkata, “Terima kasih akan doa restu
kalian pada kesempatan ini. Saya juga berdoa agar
kesehatan dan keberhasilan selalu menyertai kalian
semua.”
Kemudian Xu Xian dan Li Ren mengajak para
tamu pergi ke rumah makan di depan rumah. Setelah
semuanya berkumpul, Li Ren mengumumkan
kedatangan Bai Su-zhen dan bayinya yang digendong
oleh Xiao Qing. Bai Su-zhen kemudian berpidato
untuk mengucapkan terima kasih kepada para tamu.
Ia lalu menghampiri para tamu untuk bercakap-
cakap, didampingi Xiao Qing yang menggendong Shi
Lin. Hadirin yang baru melihat Bai Su-zhen untuk
pertama kali, sangat mengagumi kecantikan dan
keanggunannya. Semua berkata bahwa Xu Xian
sangat beruntung mempunyai istri secantik Bai Su-
zhen.
Bai Su-zhen mempersilakan tamu-tamunya duduk.
Sambil tersenyum sekilas, ia berkata, “Mudah-
mudahan Anda menyukai makanan yang
dihidangkan. Kami juga menghidangkan anggur.
Silakan minum sepuasnya.”
Para tamu menyambut gembira. “Mari kira minum
anggur.”
Bai Su-zhen tertawa dan berkata, “Bila hadirin
tidak berkeberatan, saya ingin mengumumkan
sesuatu. Sejak kami menikah, saya mendengar
bahwa banyak orang merasa curiga dari mana kami
mendapat uang. Usaha kami di Suzhou sangat
berhasil. Namun masih saja ada orang yang merasa
curiga: Mana mungkin kami mendapat banyak uang
dari toko sekecil itu dan menduga bahwa kekayaan
kami berasal dari sumber lain. Bahkan yang terakhir,
saya mendengar ada yang mengatakan bahwa saya
adalah makhluk halus. Dalam kesempatan ini,
izinkan saya memberikan penjelasan. Pertama, ketika
kami baru menikah, uang yang saya gunakan sebagai
modal adalah uang peninggalan almarhum ayah saya.
Kedua, uang dan segala harta benda yang kami
peroleh di Suzhou adalah hasil dari kerja Xu Xian
dan tabungan kami. Karena saya mempunyai sedikit
pengetahuan tentang obat-obatan, saya pun bekerja
sebagai tabib untuk membantu Xu Xian. Terakhir,
mengenai ilmu silat. Sejak kecil almarhum ayah telah
mengajari kami ilmu silat. Semua ini tidak ada
hubungannya dengan makhluk halus. Namun, saya
tak dapat memaksa Anda sekalian untuk
mempercayai semua yang saya katakan. Lagi pula,
tidak ada makhluk halus yang dapat memberikan
keturunan bagi suaminya. Saya hanya berharap,
mudah-mudahan segala keraguan terhadap diri saya
dan Xiao Qing, adik saya, tidak ada lagi mulai hari
ini.”
Rupanya di antara para tamu, memang pernah ada
yang mendengar desas-desus tersebut. Setelah para
tamu diberi keterangan oleh Bai Su-zhen, mereka
semua percaya kepadanya. Mereka menganggap
kelahiran Shi Lin sebagai bukti bahwa Bai Su-zhen
tidak berdusta.
Bai Su-zhen kemudian menyerahkan Shi Lin
kepada Xiao Qing. Ia mengisi gelasnya dengan anggur
dan mengajak para tamu untuk minum bersama.
Pesta berlanjut hingga larut malam.
BAB 16

B eberapa hari setelah pesta, Li Ren melihat Xu


Xian menggendong anaknya.
“Xu Xian, hari masih pagi. Kalau tak ada pekerjaan
di rumah, mari kita berjalan-jalan sebentar ke
danau.”
Dengan senang hati Xu Xian menuruti ajakan
kakak iparnya. Sesampai di jalan Bai Ti, dalam
perjalanan pulang dari danau, seseorang memanggil
Xu Xian.
“Xu Xian. Sudah lama kita tidak bertemu.”
Jantung Xu Xian serasa hendak berhenti berdetak.
Fa Hai! Sekalipun merasa terperangkap, ia tetap
menghampiri sang pendeta dan membungkuk
memberi hormat kepadanya. “Memang. Sudah lama
sekali kita tidak bertemu,” jawabnya.
“Kau berhasil melarikan diri dari Zhenjiang. Tetapi
aku selalu berhasil menemukanmu kembali,” kata Fa
Hai.
“Sudah kukatakan berkali-kali, aku tidak ingin
menjadi pendeta,” kata Xu Xian cepat-cepat.
Fa Hai memandangnya dan berkata.
“Aku tak mau berbicara di sini. Terlalu banyak
telinga yang ikut mendengarkan. Tetapi terlebih
dahulu kau harus menyadari keadaanmu.”
Xu Xian merasa senang pendeta itu tidak
mendesaknya. Lalu ia cepat-cepat pergi, setelah
mengangguk kepada Fa Hai.
“Apa yang diinginkan pendeta itu?” tanya Li Ren.
Rupanya ia tidak mendengar percakapan mereka.
“Oh, ia dulu pernah menolongku,” kata Xu Xian. Ia
berusaha berbicara wajar. “Ia ingin minta sedekah.”
Li Ren tidak bertanya lagi. Tetapi hati Xu Xian
diliputi kebimbangan, bagaimana ia harus bercerita
kepada Bai Su-zhen mengenai pertemuannya dengan
Fa Hai. Akhirnya ia memutuskan untuk berdiam diri,
takut membuat Bai Su-zhen khawatir, karena ia baru
saja melahirkan.
Beberapa hari berlalu tanpa kejadian yang berarti.
Hingga suatu hari, ketika Bai Su-zhen sedang
menyisir rambut di depan meja rias, Xu Xian
memandanginya tak berkedip.
“Ada sesuatu yang aneh pada diriku? Mengapa kau
tak berhenti memandangku? Bukankah aku hanya
menyisir rambut?” tanya Bai Su-zhen.
Xu Xian menepuk bahu istrinya sambil berkata.
“Sementara engkau menyisir rambut aku mencium
bau yang sangat harum. Ini membuatku terkenang
kembali pada hari-hari pertama pernikahan kita, saat
kausuruh aku menyematkan bunga-bunga di
rambutmu. Sekalipun kejadian itu sudah setahun
berlalu, tetapi aku tidak pernah bosan mengingatnya
dan memandangimu.”
Sambil memandang ke cermin, Bai Su-zhen
mengalihkan pembicaraan.
“Karena sekarang cuaca mulai dingin, aku
merencanakan untuk segera menyewa perahu. Kita
pindah ke San Xiang.”
“Suatu tempat yang tenang,” kata Xu Xian,
“Maksudmu kita pindah ke sana, agar para pendeta
tidak dapat menemukan kita?”
Tiba-tiba Nyonya Jiang memanggilnya, “Tuan Xu,
ada seorang pendeta yang ingin bertemu denganmu.”
Xu Xian tersedak.
“Ia ingin menemuiku?” tanyanya lemas. Apa lagi
ketika dilihatnya Fa Hai berjalan ke arahnya sambil
berteriak.
“Xu Xian! Hari ini aku datang sendiri.”
Xu Xian berlari ke ruang utama dan mengangguk
di depan pintu. Ia berkata, “Ah, Pendeta Fa Hai.
Silakan masuk.”
Fa Hai tetap berjalan dan mengangguk-anggukkan
kepalanya dengan angkuh.
“Aku membawa senjata,” teriaknya. “Bawa Ular
Putih ke hadapanku. Cepat!”
Xu Xian melihat Fa Hai mengeluarkan sebuah
mangkok besar tempat menaruh uang sedekah dari
dadanya, lalu diulurkannya kepada Xu Xian. Xu Xian
tak berani memegang benda itu. Ia mundur beberapa
langkah ke arah dinding.
“Jangan berbuat yang bukan-bukan,” perintah Fa
Hai.
“Istriku, cepat lari,” teriak Xu Xian.
Bai Su-zhen tak sempat lagi melarikan diri, karena
sibuk mencari senjatanya. Tetapi ruangan itu sudah
dikepung oleh Pasukan Surga. Jendela pun sudah
ditutup rapat. Tak ada pilihan lain bagi Bai Su-zhen,
selain mendatangi Fa Hai.
“Ular Putih,” desis Fa Hai. “Telah kuperintahkan
kepadamu untuk meninggalkan Xu Xian dan kembali
ke gunung guna menyempurnakan ilmumu. Tetapi
engkau tak juga mengindahkan nasihatku. Hari ini
aku akan membalas dendam atas nama penghuni
Biara Gunung Emas.” Sambil berbicara Fa Hai
mengangkat mangkok sedekah dan
mengguncangkannya ke arah kepala Bai Su-zhen.
Dengan mata bersinar, Bai Su-zhen menjawab,
“Ketika kami membanjiri Gunung Emas, kami telah
membangun dua jalan kecil untuk mengungsi, agar
penduduk yang tak berdosa tidak tenggelam.”
“Aku tidak ingin mendengar ceritamu,” kata Fa
Hai. “Kini aku hanya ingin memperlihatkan bentuk
aslimu kepada Xu Xian dan setelah itu
mengurungmu di Pagoda Puncak Kilat untuk
selamanya.”
Badan Xu Xian gemetar. Ia merasa takut, putus
asa, dan dirundung rasa bersalah. Ketika dilihatnya
Fa Hai menyodorkan mangkok sedekah itu kepada
Bai Su-zhen, ia berseru dengan sedih, “Istriku,
mengapa kau tidak lari ketika kuperingatkan?”
“Tak sempat lagi,” jawab Bai Su-zhen. “Pasukan
Surga telah mengepung. Lagi pula, mangkok itu.
Pedangku pun diambilnya, sehingga aku terpaksa
keluar.”
“Apa yang akan kaulakukan?” tanya Xu Xian.
“Apakah kita akan memohon kemurahan hatinya?”
Xu Xian segera menjatuhkan diri dan berlutut di
hadapan Fa Hai.
“Kuizinkan kau melihat anakmu untuk terakhir
kalinya,” teriak Fa Hai dengan geram.
Dengan berurai air mata, Xu Xian berkata kepada
istrinya, “Pak Pendeta mengizinkanmu melihat anak
kita untuk yang terakhir kalinya!”
“Ya, tolong bawa ia ke sini,” jawab Bai Su-zhen
sambil memandang ke sekelilingnya, mencari peluang
untuk melarikan diri. Namun hal itu tak dapat ia
lakukan, karena mangkok sedekah kembali
diarahkan ke kepalanya.
Xu Xian menggendong Shi Lin dan memberikannya
kepada Bai Su-zhen. Bai Su-zhen segera mencium
Shi Lin dan berkata sambil menangis, “Anakku, Fa
Hai akan membawaku. Aku terpaksa
meninggalkanmu. Bayiku yang malang, kau tak akan
beribu lagi meski dalam tahun pertama usiamu.”
Seakan-akan memahami perkataan ibunya, bayi
itu mulai menangis.
“Tuan,” pinta Bai Su-zhen, “Lihatlah betapa
sedihnya bayiku ini. Maukah Anda memaafkan
saya?”
“Engkau adalah roh ular,” jawab Fa Hai, tanpa
menunjukkan belas kasihan. “Engkau dapat
berbicara manis seperti ini karena nyawamu
terancam. Tetapi jika kau kulepaskan, kau akan
menimbulkan bencana. Letakkan anakmu sekarang,
kalau trdak, anak itu akan mati bersamamu.”
Bai Su-zhen menyerahkan anaknya kepada Xu
Xian dan berkata dengan berani, “Kau sudah
menolak permohonanku. Kini aku hanya menunggu
apa yang akan kaulakukan kepadaku.”
Perlahan-lahan Fa Hai melemparkan mangkoknya
ke udara, dalam keadaan terbalik. Berjuta-juta sinar
keemasan berpendar dari mangkok itu dan menutupi
kepala Bai Su-zhen. Namun, Bai Su-zhen belum juga
mau menyerah. Mangkok di atas kepala Bai Su-zhen
itu laksana besi puluhan kilogram beratnya, sehingga
membuat dirinya terdorong ke lantai. Tetapi Bai Su-
zhen tetap berusaha mengerahkan seluruh tenaganya
untuk melawan tekanan dari mangkok Fa Hai.
“Kau masih belum juga menyerah?” ejek Fa Hai.
“Aku hanya tinggal mengucapkan satu mantra
khusus, dan kau akan segera mati. Tetapi, aku tidak
berniat membunuhmu.”
Mangkok itu semakin menekan tubuh Bai Su-
zhen, dan Bai Su-zhen masih mampu bertahan.
“Selama lebih dari seribu tahun aku
menyempurnakan ilmuku. Aku datang ke dunia
kehidupan manusia dan menikah dengan Xu Xian.
Belum pernah aku mencelakakan siapa pun.
Sebaliknya, aku telah menyelamatkan banyak orang
ketika kami membuka toko obat di Sizhou. Kau tak
takut, bukan, Suamiku?”
Xu Xian berdiri menggendong anaknya dan
menangis.
“Tidak! Aku hanya menginginkan istriku,” katanya.
Tiba-tiba seseorang berteriak dari ruangan lain.
“Aku akan bertempur melawanmu Fa Hai!
Kakakku telah memohon belas kasihanmu, tetapi kau
tak punya belas kasihan.” Xiao Qing datang
menyerang Fa Hai sambil menghunus pedangnya.
Fa Hai berteriak, “Wei Tuo!”
Dalam sekejap seorang ksatria yang mengenakan
baju besi turun dari langit-langit dan menangkis
serangan Xiao Qing.
“Xiao Qing,” panggil Bai Su-zhen dengan khawatir.
“Kekuatanmu masih belum sebanding dengan
kekuatanku. Jangan mempertaruhkan nyawamu. Wei
Tuo telah datang, lari dan selamatkanlah dirimu.”
Kemudian Xiao Qing melihat mangkok sedekah
yang menekan Bai Su-zhen. Ia segera menyadari
bahwa keadaan sudah gawat. Maka ia berkata,
“Kakak, jagalah dirimu. Aku akan membalas dendam
untukmu.”
Xiao Qing menyerang Wei Tuo, untuk kemudian
menghilang dari pandangan. Namun Wei Tuo tidak
begitu saja menyerah. Ia mengejar Xiao Qing dengan
bersemangat.
Fa Hai berteriak, “Ular Putih, apakah engkau akan
mengatakan sesuatu?”
Pada saat itu Fu Yun dan dua orang pelayan
berada di luar kamar. Mereka tidak dapat masuk ke
dalam ruangan, tertahan oleh sebentuk sinar ajaib.
Mereka tak dapat bergerak. Tubuh Xu Xian bergetar
keras dari kepala hingga ke kaki.
“Aku takkan mengatakan apa-apa lagi,” jawab Bai
Su-zhen dengan tenang. “Aku hanya memohon belas
kasihanmu.”
“Tiga kali sudah aku menyuruhmu agar kau
kembali ke bentuk asalmu. Tetapi engkau selalu
melawan. Sekarang, terimalah ini!” Fa Hai
mengarahkan tongkat ajaibnya pada mangkok di atas
kepala Bai Su-zhen dan berteriak, “Jadilah!”
Pada saat itulah mangkok itu semakin menekan
Bai Su-zhen hingga kepalanya tertutup sama sekali.
Kemudian mangkok itu berubah bentuk, dan
semakin panjang. Bai Su-zhen tak mampu menahan
serangan Fa Hai. Tubuhnya terdesak dan terlipat. Ia
menjerit, “Suamiku! Anakku!”
“Kurung dia,” perintah Fa Hai. Sekali lagi ia
mengarahkan tongkat ajaibnya kepada mangkok itu
yang telah menjadi semakin besar dan menutup
seluruh tubuh Bai Su-zhen. Xu Xian menjerit sedih.
“Kejahatan apa yang telah diperbuat istriku?”
ratapnya. “Ia tak pantas menerima hukuman sekejam
ini.”
Fa Hai tersenyum mencemooh.
“Xu Xian,” katanya. “Kau sungguh bodoh!
Tidakkah engkau tahu bahwa aku telah
menyelamatkan dirimu. Sekarang angkat mangkok
itu, dan lihatlah sendiri, apa yang telah terjadi.”
Xu Xian menjerit.
“Istriku sayang. Sekalipun kau telah kembali ke
bentuk aslimu, aku tidak takut lagi. Apalagi kau telah
melahirkan Shi Lin. Aku tak berhenti memohon
kepada pendeta ini agar ia segera mengangkat
mangkok ini dan membebaskanmu.”
“Bodoh!” hina Fa Hai. “Rupanya kau belum sadar
juga. Aku tahu Bai Su-zhen telah mendalami ilmu
gaib selama ribuan tahun. Oleh karena itu, aku tak
akan membunuhnya. Ada sebuah pagoda bernama
Puncak Guntur. Ia akan kukurung di sana. Tempat
itu dijaga oleh para makhluk halus dan tidak
mempunyai jalan keluar. Dengan demikian, kau tak
akan dapat melihatnya lagi.”
Xu Xian berlari ke ruangan sebelah untuk
meletakkan Shi Lin, dan kembali menghampiri Fa Hai
sambil berteriak.
“Pendeta, aku tantang kau berkelahi!”
Ia berlari menerjang Fa Hai. Fa Hai tertawa
terkekeh-kekeh dan menunjuk Xu Xian dengan
tongkatnya. Tubuh Xu Xian menjadi kaku, tak
mampu bergerak lagi. Ia terpaku di pintu, matanya
membelalak hampa.
“Xu Xian, jangan terlalu memaksakan dirimu,”
kata Fa Hai menenangkan. “Dalam beberapa saat
lagi, kaudapat bergerak seperti sedia kala. Ayo para
peri! Bawa mangkok ini ke Pagoda Puncak Guntur.”
Pasukan Surga berkumpul. Mangkok itu pun
terangkat ke atas dan melayang di udara. Walaupun
tak dapat bergerak, indera pendengarannya masih
dapat bekerja. Ketika mendengar perintah Fa Hai, Xu
Xian menangis tersedu-sedu.
Fa Hai mencoba menghiburnya.
“Jangan khawatir. Kau boleh datang ke Pagoda
Puncak Guntur, tetapi kau tak akan dapat melihat
istrimu lagi. Selamat tinggal.”
Fa Hai kemudian terbang mengendarai awan
menuju ke Pagoda Puncak Guntur. Pagoda ini
dibangun oleh seorang raja pada periode Lima
Dinasti. Semula bangunan itu direncanakan
bertingkat tiga belas, tetapi karena persediaan kayu
tidak mencukupi, hanya tujuh tingkat yang dapat
diselesaikan. Fa Hai mendarat sambil mengacungkan
tongkatnya ke arah pagoda yang kokoh itu. Dengan
suara mendesir, pintu di lantai dasar membuka.
Pasukan Surga membawa turun mangkok yang berisi
Bai Su-zhen.
Fa Hai mengejek.
“Kini engkau telah berada di Pagoda Puncak
Guntur dan dikepung oleh Pasukan Surga. Kami
akan mengurungmu di dalamnya, sehingga kau tak
akan dapat melarikan diri.”
Fa Hai merentangkan tangannya. Mangkok itu
melayang dan kembali dalam ukurannya semula. Bai
Su-zhen sudah menjelma kembali menjadi manusia
dan berdiri di atas mangkok itu. Seberkas sinar
menyilaukan memancar dari matanya.
“Ular Putih. Pagoda ini adalah tempat
pengasinganmu. Masuklah!” perintah Fa Hai.
Bai Su-zhen menegakkan kepala dan merapikan
bajunya. Dengan perlahan-lahan ia melangkah ke
dalam pagoda.
Fa Hai memberi perintah kepada anak buahnya.
“Kalian harus membangun beberapa tingkat lebih
tinggi. Setelah pekerjaan itu selesai, Raja Danau
Barat akan mengawasinya. Jika Bai Su-zhen ingin
melarikan diri, terlebih dahulu ia harus
menghancurkan pagoda ini.”
Setelah berkata, Fa Hai pun menghilang. Awan
kelabu menyelimuti langit. Kabut tebal menghalangi
pemandangan. Kilat sabung-menyabung.
Namun keesokan harinya, cuaca sekali lagi
menjadi cerah. Pagoda itu telah bertambah tinggi,
kini sembilan lantainya.
BAB 17

S etelah Fa Hai pergi, Xu Xian tepekur di depan


meja rias.
Fu Yun menghampirinya dan berkata lembut, “Aku
tidak melihat yang baru saja terjadi. Ceritakanlah
kepadaku semua kejadian dari awal mula. Baru
kemudian kita putuskan apa yang masih dapat kita
lakukan.”
Xu Xian menyapu air matanya. Ia melihat Fu Yun
bersama beberapa orang lainnya.
“Seperti halnya kalian, aku pun mengira Bai Su-
zhen adalah seorang wanita biasa yang lemah lembut.
Setelah kalah bertempur melawan Fa Hai, pendeta itu
mengubahnya ke bentuk semula, yaitu seekor ular
besar berwarna putih. Ternyata ia telah mendalami
ilmu gaib selama lebih dari seribu tahun. Seandainya
ia tidak menikah denganku, ia akan hidup selama-
lamanya.”
Semua orang terkejut, “Benarkah ceritamu itu?
Bagaimana Xiao Qing?”
“Ia adalah Ular Hijau,” jawab Xu Xian. “Tetapi Xiao
Qing tidak sepandai kakaknya, karena ia baru
berlatih selama enam ratus tahun.”
Fu Yun berkata, “Bai Su-zhen adalah orang baik.
Tetapi kami tidak mengerti mengapa ia dianggap
melanggar Hukum Surga setelah menikah
denganmu.”
“Bai Su-zhen sendiri pun tidak menduga hal itu,”
keluh Xu Xian. “Baru setelah kita menikah...
Duduklah. Biar kulanjutkan ceritaku.”
Semua yang hadir merasa tertarik mendengar
cerita Xu Xian. Mereka mencari kursi dan duduk
berkeliling.
Xu Xian menceritakan seluruh peristiwa, dari awal
mula, sejak terjadinya badai di Danau Barat hingga
peristiwa yang baru saja terjadi ketika Fa Hai
membawa Bai Su-zhen pergi. Seusai bercerita, Xu
Xian berkata, “Aku sebenarnya tidak merasa takut,
walaupun ia seekor ular. Ia tidak pernah
mencelakakan aku, dan aku bahagia hidup
bersamanya. Namun kini semua impianku telah
berakhir. Kini aku harus menjalani kehidupan ini
hanya bersama Shi Lin, anakku.” Lalu ia mulai
meratap lagi.
“Walaupun ia telah pergi,” kata Fu Yun, “Aku yakin
ia masih hidup. Mudah-mudahan pendeta itu merasa
kasihan kepadanya dan berkenan membebaskannya.
Ya! Siapa tahu? Kini tugasmu adalah membesarkan
Shi Lin. Bila suatu kali istrimu kembali ia pasti akan
memujimu.”
“Apakah ia masih akan kembali?” tanya Xu Xian
tak percaya. “Bila hari ini cuaca baik, aku bermaksud
pergi ke Pagoda Puncak Guntur untuk
menjenguknya. Aku akan sangat berterima kasih
apabila kau bersedia menjaga Shi Lin.”
“Berangkatlah,” sahut Fu Yun penuh kasih sayang.
“Tetapi berhati-hatilah! Anak buah Fa Hai pasti
menjaga ketat tempat itu.”
“Jangan khawatir,” kata Xu Xian. “Kita hanya
manusia biasa. Mereka tidak akan mengganggu kita.
Kita berdoa saja kepada dewa-dewa di surga agar
melindungi kita.”
Xu Xian berjalan ke rumahnya seorang diri. Ia
pergi ke ruang utama, namun Bai Su-zhen dan Xiao
Qing tak ada di sana. Begitu pula di ruangan yang
lain. Perasaannya mengatakan bahwa Bai Su-zhen
dan Xiao Qing tidak hadir lagi di sana.
Tak seorang pun dapat meredakan kesedihannya.
Xu Xian hanya duduk tepekur sambil menangis.
Suasana semakin mengharukan karena Shi Lin pun
ikut menangis, sehingga Xu Xian harus menggendong
dan menenangkannya.
Fu Yun mendekati Xu Xian dan berkata, “Tak tahu
aku bagaimana dapat meringankan kesedihanmu.
Tetapi, di rumah sebelah ada seorang bayi yang
kurang lebih seumur dengan Shi Lin.”
“Usulmu sangat baik. Sedemikian sedihnya hatiku
sehingga Shi Lin hampir terlupakan,” jawab Xu Xian.
Fu Yun segera menggendong Shi Lin dan menutup
tubuh anak itu dengan sehelai selimut tipis.
“Jangan hanya duduk dan menangis,” kata Fu Yun
menasihati adiknya. “Lakukanlah sesuatu.”
Namun sepeninggal Fu Yun, Xu Xian masih saja
duduk melamun. Terbayang kembali semua
percakapan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan
bersama Bai Su-zhen. Begitu pula gurauan bersama
Xiao Qing. Tangis Xu Xian semakin menjadi-jadi,
ketika menyadari bahwa kebahagiaannya benar-
benar telah berakhir.
Keesokan harinya, cuaca hangat dan cerah. Xu
Xian terbangun dengan mata pedih karena
semalaman ia tak dapat tidur. Pikirannya hanya
tertuju kepada istrinya dan bau rambutnya yang
harum. Xu Xian memutuskan untuk pergi ke pagoda.
Namun ia tak tahu bagaimana caranya.
Li Ren masih berada di rumah. Dari halaman
belakang ia berteriak.
“Adik, kalau kau hanya duduk, kau akan jatuh
sakit. Kudengar kau ingin pergi ke pagoda. Aku
bersedia mengantarmu ke sana.”
“Terima kasih,” jawab Xu Xian. “Tetapi, aku tak
ingin menyusahkan hatimu.”
“Apa pula ini,” kata Li Ren dengan kesal. “Bagiku,
membantu adik dalam kesulitan adalah suatu
kewajiban. Aku tidak merasa terganggu.”
Xu Xian segera menyetujui saran Li Ren. setelah
mengambil uang secukupnya, keduanya lalu
berangkat melalui jalan Su Ti dan Bai Ti menuju ke
pagoda. Walaupun hari masih pagi, terik matahari
terasa membakar kulit.
Pagoda itu terlihat menjulang tinggi di kejauhan, di
atas sebuah bukit. Pohon-pohon pinus berdiri tegak
mengelilinginya. Pada saat mereka mulai mendaki,
pepohonan itu seakan mendesah oleh hembusan
angin tenggara yang datang dari arah danau.
Pagoda bulat itu, tampak sangat megah dengan
bangunannya yang berlantai sembilan. Atap dan
dindingnya berwarna putih.
“Bagaimana caranya agar kita dapat masuk ke
dalam pagoda?” tanya Xu Xian.
Namun pagoda itu dikelilingi oleh dinding putih
yang tinggi dan tidak berpintu. Sedangkan pintu di
lantai dasar pagoda terkunci rapat, di atasnya
terdapat tulisan yang tak dapat dibaca dari kejauhan.
Di lantai dua, tampak sebuah lempengan tembaga
bertuliskan kata-kata peringatan dalam warna
merah. Bunyinya: ‘Bila pagoda ini hancur, Ular Putih
akan meninggalkan dunia yang fana ini.’
“Lihat,” ujar Li Ren sambil menunjuk ke atas
pagoda. “Dua lantai teratas pagoda itu baru saja
dibuat, begitu pula dinding tinggi yang
mengelilinginya.”
Xu Xian dan Li Ren merasa putus asa. Mereka
berdiri tanpa berkata-kata. Xu Xian mulai menangis.
“Istriku,” tangisnya. “Apakah kau benar-benar
dikurung di tempat ini? Aku datang untuk
menjengukmu. Katakanlah sesuatu.”
Angin yang bertiup di puncak pagoda seakan
menjawab desiran pepohonan. Namun jawaban yang
ditunggu dari pagoda tak juga terdengar.
“Sampai kapan pun kita berdiri di sini, aku yakin
keadaannya tidak pernah akan berubah,” kata Xu
Xian. “Sebaiknya kita turun saja. Mudah-mudahan
kita dapat menemukan sesuatu.”
Xu Xian dan Li Ren berjalan mengelilingi pagoda
dengan perasaan sedih. Xu Xian mengangkat
kepalanya dan kembali meratap. Air matanya jatuh
berderai-derai.
“Istriku, masih ingatkah kau pada pertemuan kita
di perayaan Qing Ming tahun lalu? Juga ketika kita
naik perahu bersama? Kuharap kau tak akan pernah
melupakan saat kita bersenang-senang di danau.
Kemudian kita dipertemukan lagi di Jembatan Patah
setelah kita kembali dari Gunung Emas. Aku sangat
mencintaimu! Kebaikanmu tak terhitung lagi. Aku
memikirkan kepergianmu.”
Tak ada jawaban maupun gerakan dari pagoda
pada saat Xu Xian berhenti berbicara. Di sela-sela
tangisnya Xu Xian melihat ke atas pagoda.
“Atau kau tidak berada di sini, Istriku?” tangisnya.
“Jika kau benar-benar berada di tempat ini, mengapa
pertanyaanku tak juga kaujawab?”
Tangis Xu Xian terdengar semakin keras. Karena
tak dapat lagi menahan rasa sedihnya, Xu Xian jatuh
terduduk di tanah.
Li Ren berlutut di sampingnya, berusaha
meredakan perasaan Xu Xian.
“Adik. Berhentilah menangis. Ingatlah bahwa kita
hanyalah manusia biasa. Kita tidak tahu apakah
Budha memang menghendaki istrimu dikurung Fa
Hai di tempat ini.”
“Aku tahu,” keluh Xu Xian. “Tetapi kau pun tahu
bahwa Budha sangat murah hati dan penuh belas
kasih. Pada saat istriku menyabung nyawanya untuk
mencari obat untukku, Peri Tua dari Kutub Selatan
jatuh kasihan kepadanya dan memberinya Rumput
Abadi. Dan kini anakku tak beribu lagi. Aku benar-
benar tak akan pernah dapat melupakan segala
kebaikan yang diberikan istriku kepadaku.”
Tiba-tiba angin bertiup kencang dan langit menjadi
gelap. Awan bergumpal di puncak menara.
“Mari kita pulang,” kata Li Ren dengan khawatir.
“Sebentar lagi hujan akan turun.”
Pada saat Xu Xian dan Li Ren akan beranjak pergi,
angin bertambah kencang, membuat mereka terdiam
kaku tak dapat lagi bergerak. Tiba-tiba terdengar
suara menggelegar; jendela di lantai dua pagoda yang
semula tertutup rapat, kini terbuka. Xu Xian dan Li
Ren tertegun. Sebentuk tubuh muncul di jendela, dan
Xu Xian segera mengenalinya.
“Istriku, oh istriku tersayang!” teriaknya.
“Suamiku tercinta, kakak Li Ren. Aku telah
mendengar semua yang kaukatakan, Xu Xian.
Namun aku tak dapat menjawab karena Tentara
Surga menjaga ketat. Namun ketika melihat Xu Xian
menangis, Jia Lian berbelas hati lalu membuka
jendela ini bagiku, agar kalian dapat melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa aku memang berada di
sini.”
“Istriku, Shi Lin dan aku selalu merindukan
kedatanganmu,” ujar Xu Xian sambil mengulurkan
tangannya.
Bai Su-zhen memotong kalimat Xu Xian.
“Suamiku, jangan! Penjaga tak akan pernah
membiarkan aku pergi dari sini.”
“Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku
membutuhkan kehadiranmu,” keluh Xu Xian.
“Kita harus berterima kasih kepada Dewa Danau
Barat yang telah mempertemukan kita untuk yang
terakhir kalinya. Karena sesudahnya tak seorang pun
yang akan dapat melihatku. Semoga kau bertemu
dengan seorang wanita yang baik yang dapat
kauambil sebagai istri, agar kaudapat membesarkan
Shi Lin, anak kita, bersamanya.”
“Aku tak akan melakukannya,” jerit Xu Xian
dengan getir. “Aku akan membesarkan Shi Lin
seorang diri dan selalu setia menunggu
kedatanganmu. Mudah-mudahan Dewa-dewa akan
mengasihani kita dan membebaskanmu dua atau tiga
tahun lagi.”
“Aku diperintahkan untuk menutup jendela,”
teriak Bai Su-zhen mengingatkan dengan sedih. “Tak
ada gunanya memohon lagi. Xu Xian! Li Ren! Selamat
tinggal.”
Teriakan Bai Su-zhen semakin lama semakin
sayup. Pada saat itu terdengar bunyi gemuruh dan di
sekitar pagoda kilat sambar-menyambar menyilaukan
mata. Xu Xian mengejapkan matanya. Jendela
pagoda kini telah menutup dan tampaknya tak akan
pernah dibuka kembali. Bai Su-zhen pun telah hilang
dari pandangan. “Adik,” kata Li Ren dengan gemetar.
“Kau harus menerima nasibmu. Setidaknya kau
harus bersyukur masih diperkenankan memandang
istrimu untuk terakhir kali. Sekarang mari kita
pulang.”
Xu Xian berdiri tak bergerak. Ia masih saja
memandang ke jendela. Tatapan matanya kosong.
Begitu pula hatinya. “Tak ada gunanya kauturutkan
perasaanmu. Mari kita pulang, Adik,” kata Li Ren
lembut.
Ia menarik tangan Xu Xian dan membimbingnya
pulang. Sepanjang perjalanan Xu Xian tak henti-
hentinya menangis. Hatinya benar-benar hancur.
BAB 18

S ementara itu, Xiao Qing memutuskan untuk


mengungsi dan bersembunyi di suatu pulau yang
sepi, di suatu tempat yang tak berpenghuni. Di sana
tak ada makhluk halus maupun kaki tangan Fa Hai.
Ia lalu pergi menyusuri pantai Laut Cina Timur.
Sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat
hanyalah ombak yang bergulung-gulung di tepi
pantai. Di atas permukaan laut burung-burung
camar putih terlihat beterbangan. Xiao Qing
menyempatkan diri melihat berkeliling saat ia
mengendarai awan. Beberapa pulau yang dilihatnya
tampak terlalu besar sebagai tempat persembunyian,
sementara yang lain terlalu kecil sehingga mudah
ditelan ombak dan badai. Syukurlah bahwa pada
akhirnya ia menemukan sebuah pulau yang agak
terpencil. Tempat itu ditumbuhi hutan hijau yang
lebat dan diselimuti bunga-bunga yang indah. Di
sana juga terdapat tiga buah gunung. Satu di antara
ketiga gunung itu tingginya sekitar seratus meter.
Xiao Qing menyebutnya Pagoda Puncak Guntur.
Setelah melatih diri dan mencoba ilmu sihirnya
terhadap ketiga gunung ini, ia berniat menuntut
balas dan membebaskan Bai Su-zhen.
Satu atau dua tahun kemudian, Xiao Qing berdiri
di tepi pantai memegang dua bilah pedang.
“Tebas gunung itu!” teriaknya seraya melempar
kedua pedangnya ke udara. Matanya memandang ke
gunung kecil di depannya. Hatinya kecewa, sebab
pedangnya kembali ke sarungnya, gunung itu tetap
diam tak bergeming, utuh tak terbelah.
Delapan tahun kemudian, Xiao Qing berdiri di
tempat yang sama. Ia kembali berteriak.
“Tebas gunung itu!”
Maka dilihatnya gunung itu terpotong oleh
pedangnya sehingga tingginya berkurang.
Bertahun-tahun kemudian, Xiao Qing berhasil
memotong puncak gunung itu. Pecahannya menyebar
menjadi serpihan-serpihan kecil. Pada saat itulah ia
merasa yakin dapat menghancurkan Pagoda Puncak
Guntur. Agar lebih aman, ia memutuskan untuk
berlatih lagi.
Beberapa puluh tahun kemudian, ia bahkan
berhasil menghilangkan gunung itu. Xiao Qing
semakin yakin bahwa ia dapat menghancurkan
pagoda tempat Bai Su-zhen dikurung dan
mengalahkan para makhluk halus yang menjaganya,
sekaligus melenyapkan Fa Hai.
Maka terbanglah Xiao Qing mengendarai angin ke
mulut Sungai Chang Jiang. Ia harus bertindak sangat
hati-hati, karena tahu jalan menuju pagoda dijaga
ketat oleh para peri yang kekuatannya tak dapat
diabaikan. Ia berharap, setelah melihat kehebatan
ilmunya, mereka akan merasa gentar dan
mengundurkan diri, tanpa bertempur.
Ketika ia sedang sibuk berpikir, dua tubuh muncul
dari dalam danau. Mereka adalah Ma Zi-hou dan Li
Ben-liang.
“Lama sekali kita tak bertemu,” ucap mereka
sambil memberi hormat kepada Xiao Qing.
“Tiba saatnya kita harus menghancurkan Pagoda
Puncak Guntur. Aku datang untuk memanggil kalian
agar kalian segera membentuk pasukan,” kata Xiao
Qing.
“Akan segera kami lakukan,” jawab Ma Zi-hou.
“Karena sesungguhnya kami pun memiliki keinginan
serupa. Namun kami tak berani mencoba, karena
menyadari kekuatan kami yang tidak seberapa. Jika
Anda bersedia memimpin kami, kami yakin semua
akan dengan senang hati membantu Anda.”
Xiao Qing tersenyum puas.
“Sekarang aku tidak lagi seperti Xiao Qing di masa
lalu. Lihat ke depanmu. Aku akan segera membuat
gunung di atas danau!” Dengan satu gerakan, tiba-
tiba sebuah gunung kecil muncul dari bawah air
danau. Ma Zi-hou dan Li Ben-liang terkesima.
“Dengan kekuatan seperti ini,” seru Li Ben-liang,
“Kita tak perlu takut lagi kepada Fa Hai maupun kaki
tangannya. Izinkan saya memanggil Manusia Air.”
Beberapa saat kemudian, ribuan Manusia Air
sudah berhasil dikumpulkan.
Setelah memberi salam, Xiao Qing berkata, “Fa Hai
telah menahan kakakku di Pagoda Puncak Guntur
dan menugasi para makhluk halus untuk
menjaganya. Kakakku tak pantas mendapat
perlakuan seburuk itu. Jadi aku merencanakan
untuk menyerbu pagoda itu dan menyelamatkannya.
Siapa yang bersedia membantu?”
Mendengar ajakan Xiao Qing, mereka serempak
berseru.
“Kami ikut! Kami akan membantu! Kami tak akan
berhenti sebelum membebaskan Putri Bai Su-zhen.”
Xiao Qing mengangkat pedangnya dan
menyilangkannya di udara.
“Terima kasih! Mari kita berangkat ke Hangzhou
sekarang juga.”
Kemudian semuanya naik ke atas awan dan
bergerak menuju Hangzhou.
Saat itu perayaan Qing Ming telah dekat.
Penduduk Hangzhou dan para pengunjung sedang
melakukan berbagai persiapan di Danau Barat.
Pemandangan danau terlihat sangat indah oleh
perpaduan warna hijau dan biru dari pepohonan dan
air danau.
Sore harinya, awan hitam mulai bergulung-gulung.
Angin dan hujan lebat turun dengan bunyi yang
memekakkan telinga. Hujan pun turun semakin
deras, seperti pada saat Xu Xian bertemu untuk
pertama kalinya dengan Bai Su-zhen dan Xiao Qing.
Badai yang terjadi saat itu sesungguhnya hasil
ciptaan Xiao Qing yang sedang terbang menuju
Pagoda Puncak Guntur. Kemudian ia berteriak
dengan keras, “Semua makhluk yang menjaga tempat
ini, buka pagoda dan bebaskan Bai Su-zhen.”
Kilat bersambaran di langit dan seseorang berbaju
besi warna keemasan turun menantang Xiao Qing,
sambil mengacungkan tongkat ajaibnya.
“Aku Wei Tuo,” teriaknya. “Aku bertugas menjaga
Bai Su-zhen hari ini. Siapa berani membuat
keributan di tempat ini?”
Xiao Qing tertawa mengejek.
“Kau tak ingat lagi kepadaku? Aku tahu siapa
dirimu. Waktu itu kau mengejarku dari rumah Xu
Xian. Setelah berlatih bertahun-tahun aku tidak lagi
seperti Xiao Qing yang kaukenal. Aku tidak akan
mempergunakan ilmuku terhadapmu, karena aku
tahu engkau hanya menjalankan perintah Fa Hai.
Kini, sebaiknya kau cepat memilih. Cepat bebaskan
Bai Su-zhen atau kau ingin Manusia Air
menyerangmu?”
Wei Tuo melihat ke sekitarnya. Sejauh mata
memandang, yang tampak hanyalah jutaan Manusia
Air.
“Aku tahu engkau membawa banyak pasukan.
Tentu kau pula yang menciptakan hujan dan badai
ini,” kata Wei Tuo membusungkan dadanya dengan
angkuh. “Tetapi aku bertugas menjaga tempat ini.
Tak. seorang pun diizinkan membuka pintu pagoda.”
“Perintah siapa?” tanya Xiao Qing dengan tajam.
“Engkau telah menahan seorang wanita yang tidak
bersalah. Ayo cepat lakukan perintahku. Buka segera
pintu pagoda!”
Wei Tuo dengan cepat menghitung jumlah
pasukannya. Jia Lian membawa sekitar seratus orang
yang semuanya tak terlihat oleh mata manusia.
Dengan sengaja ia mengulur-ulur waktu dengan
menyuruh Xiao Qing menunggu sementara ia
memanggil bala bantuan.
Namun Xiao Qing segera menghunus pedangnya
dan tertawa dingin.
“Kau ingin memanggil bala bantuan, bukan?
Mereka tidak akan pernah datang karena aku tak
akan memberi mereka kesempatan untuk datang
bergabung.”
Kemudian Xiao Qing bersiul nyaring. Dari segala
arah, awan datang bergumpal-gumpal membawa
pasukannya. Pasukan yang pertama mendarat adalah
mereka yang memiliki ilmu tertinggi. Yang kedua
adalah mereka yang berkesaktian menengah,
sedangkan yang ketiga membawa hujan dan angin
tenggara.
Wei Tuo menyadari bahwa walaupun ia memiliki
pasukan yang kuat, jumlah mereka tak sebanding
dengan pasukan Xiao Qing. Ia ketakutan.
Melihat kekhawatiran Wei Tuo, Xiao Qing
tersenyum puas. “Nah! Bagaimana sekarang?”
Wei Tuo menggerakkan tongkatnya dan menyuruh
pasukannya berkumpul berkeliling. Xiao Qing segera
menyerang Wei Tuo dengan dua berkas sinar hijau
yang memancar dari kedua sisi tubuhnya, bagai dua
buah gunung yang menghimpit Wei Tuo. Pasukan
terdepan Manusia Air pun ikut menyerang.
Begitu menjejakkan kaki di tanah, Wei Tuo segera
berpikir untuk melepaskan Bai Su-zhen. Ia
menyadari bahaya yang sedang dihadapinya.
“Xiao Qing,” teriaknya. “Kesaktianmu sangat hebat.
Aku menyerah.”
Wei Tuo berkata sambil menyibakkan pasukan
Xiao Qing yang berada di sudut dan menghadap ke
utara. Setelah menangkis beberapa pedang dengan
tongkatnya, ia terbang meninggalkan pagoda.
Melihat kepala penjaga melarikan diri, Pasukan
Surga pun menyerah.
“Kami akan pergi. Pasukanmu terlalu kuat.”
Jia Lian memerintahkan pasukannya untuk
mundur, yang didesak oleh Manusia Air yang
tampaknya sangat kesal karena urung bertempur.
Atas perintah Wei Tuo, Pasukan Surga pun pergi dari
sana dan menghilang dari pandangan.
Xiao Qing terbang ke langit dan melihat ke
sekitarnya. Ia memberi isyarat kepada pasukannya.
“Kurasa mereka tak akan kembali. Kalian tak perlu
mengejar.”
Xiao Qing tersenyum di tengah-tengah pekik
kemenangan anak buahnya. Semua pasukan Xiao
Qing kemudian turun dari langit dan berdiri
mengelilingi pagoda. Saat itu matahari hampir
terbenam.
Ia berkata kepada pasukannya dengan suara yang
menyiratkan kekhawatiran.
“Pagoda ini ditutup dan dikunci dengan guntur
dan kilat. Jika aku mengucapkan mantra, pintunya
akan terbuka. Namun karena Bai Su-zhen telah
dikurung di dalamnya selama bertahun-tahun, aku
khawatir ia tak akan kuat menahan ledakan yang
akan kuciptakan.”
Manusia Air menjawab dengan penuh keyakinan.
“Jadi bagaimana? Mungkin kami yang dipercaya
untuk meruntuhkannya?”
Setelah berpikir sejenak, Xiao Qing mengangguk.
Manusia Air segera berkerumun dan membanjiri
pagoda hingga ke puncaknya, dan berusaha
melubangi dinding pagoda. Namun belum lama
mereka bekerja, wajah mereka tampak memerah
kelelahan. Mereka sadar bahwa kekuatan yang
mereka miliki, tak mempan menembus dinding.
Xiao Qing berseru.
“Berhentilah! Biaraku yang melakukannya.”
Tetapi ia terdiam dan merasa ragu. Tiba-tiba
sebuah suara terdengar berteriak dari balik tembok
pagoda.
“Xiao Qing, aku tahu engkau telah datang
membawa pasukan untuk membalas dendam.
Apakah musuh sudah ditaklukkan?”
Xiao Qing berteriak dengan gembira.
“Oh, Kakak, engkaukah itu? Dugaanmu benar.
Mereka telah kami kalahkan.”
“Kita dapat membuka tempat ini” kata Bai Su-
zhen. “Engkau berusaha dari luar sementara aku
membantumu dari dalam. Perintahkan kepada
Manusia Air untuk sementara menyingkir.”
Manusia Air segera terbang menjauh. Xiao Qing
berdiri tiga meter dari pagoda sambil mengacungkan
pedangnya. Ia lalu berteriak, “Tebas!” Pedang itu
melayang dan dalam sekejap tembok dan atap pagoda
meledak. Pecahannya terlempar ke segala penjuru.
Tak lama kemudian tempat itu telah menjadi puing.
Di tengah reruntuhan pagoda, Bai Su-zhen berdiri
mengenakan pakaian serba putih. Rambutnya
digelung. Ia memakai sepatu putih bersulam.
Xiao Qing berlari menghampirinya sambil berteriak
gembira, “Kakak! Oh, senang sekali aku dapat
melihatmu lagi.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing berpelukan erat. Air
mata Bai Su-zhen jatuh berderai-derai. Untuk
beberapa saat ia tak mampu berkata-kata.
“Aku sungguh berterima kasih atas segala jerih
payahmu,” katanya sambil terisak.
Manusia Air berkumpul di sekitar mereka dan
bersorak-sorai, “Putri kita telah bebas! Hidup Putri
kita!”
Bai Su-zhen berlutut dan memberi hormat kepada
pasukannya. Kemudian ia berkata, “Karena para
penjaga telah melarikan diri, kalian boleh pulang.
Besok aku akan mengunjungi kalian untuk
menyatakan terima kasihku.”
Manusia Air segera meninggalkan tempat itu.
Hujan segera mereda dan angin pun berhenti bertiup.
Bulan sabit muncul di langit yang tak berawan,
bersinar di atas danau. Suasana terasa sangat
tenang, menyejukkan hati.
“Sudah lama sekali kita tidak bersenang-senang di
danau,” ucap Bai Su-zhen. “Mari ikut bersamaku.
Banyak yang ingin kuceritakan kepadamu.”
Bai Su-zhen dan Xiao Qing berjalan perlahan-
lahan di sepanjang jalan Su Ti sambil bercakap-
cakap.
“Hari ini ada perayaan Qing Ming, bukan?” kata
Bai Su-zhen sedih. “Masih segar dalam ingatanku
saat kita meminjam payung milik Xu Xian.”
“Jangan pikirkan lagi hal itu,” kata Xiao Qing.
“Aku hendak bertanya,” Bai Su-zhen terus berkata.
“Bagaimana keadaan rumah tangga Xu Xian?”
Xiao Qing terkejut, “Rupanya kau tidak ingat lagi
berapa lama kau dikurung di pagoda itu?”
“Tidak, aku tidak lupa,” jawab Bai Su-zhen. “Tetapi
Xu Xian orang baik dan ia telah membesarkan Shi
Lin dengan baik pula,” katanya sambil terisak.
“Jangan menyesali masa lalu,” kata Xiao Qing
lembut. “Mereka berdua orang-orang yang terhormat,
seperti yang selalu kaukatakan. Tidak seorang pun di
Hangzhou yang tidak mengenal mereka. Semua orang
menghormati mereka berdua.”
Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya dan terus
melangkah. Akhirnya mereka tiba di jalan Bai Ti.
“Oh, lihat! Bukankah itu Jembatan Patah?” seru
Bai Su-zhen sambil menunjuk ke depan.
“Masa lalu rupanya terlalu sulit untuk dilupakan”
bisik Xiao Qing.
Bai Su-zhen berhenti dan memegang tangan Xiao
Qing. “Kehidupan manusia tak ubahnya seperti
bulan. Lihat, malam ini bulan tidak penuh. Dan
seperti bulan, kehidupan kita pun kadang kala
terang, dan kadang kala gelap. Karena itu, kita harus
selalu bersiap-siap agar tidak kehilangan kesempatan
ketika bulan bersinar terang. Jembatan Patah
membuatku berpikir. Barangkali di masa lalu aku
tidak terlalu memusingkan masa depan. Kalau saja
dulu kita berpindah tempat lebih awal, Fa Hai tak
mungkin menemukan kita. Dan kita tidak akan
menyeberangi Jembatan Patah ini.”
Xiao Qing tidak menjawab. Ia hanya berdiri
memandang bulan yang tertutup pepohonan.
Cahayanya menyembul dari celah-celah dedaunan. Ia
tengah menghayati kata-kata Bai Su-zhen.
Kehidupan tidak selalu menjanjikan kebahagiaan.
Dan di balik setiap kebahagiaan ada kekecewaan,
yang sebaiknya segera diatasi. Seperti bulan di langit,
suatu saat purnama, di saat lain hanya terlihat
seulas, untuk kemudian muncul kembali dengan
cahayanya yang benderang. Bukankah lebih baik
memandang jauh ke depan dan mempersiapkan diri
menghadapi masa yang akan datang, daripada
tenggelam dan dihanyutkan masa lalu?

--”D”--

Anda mungkin juga menyukai