Anda di halaman 1dari 6

Arti Revolusi Mental

Mental dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental1 diartikan sebagai “nama bagi genangan
segala sesuatu menyangkut cara hidup”. Mental tidak dipisahkan dari hal-hal material.
Mental pelaku dan struktur sosial dilihat berhubungan secara integral, tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Mental pelaku dan struktur sosial dijembatani dengan memahami
‘kebudayaan’ (culture).2 Corak praktik, sistem ekonomi dan sistem politik merupakan
ungkapan kebudayaan. Cara berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk oleh sistem
dan praktik habitual ekonomi politik. Dengan kata lain, ‘tidak ada ekonomi dan politik tanpa
kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik‘. Pemisahan
keduanya hanya digunakan untuk kepentingan analitik.3

Kebudayaan selain merupakan pola kebiasaan, juga merupakan pandangan tentang dunia atau
dalam kalimat yang digunakan oleh Karlina Supelli, “kebudayaan juga punya lapis makna
yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara
mengevaluasinya.” Di samping itu, kebudayaan juga punya lapis fisik/material yang berupa
karya cipta manusia. Dalam praktek sehari-hari antara budaya sebagai pola kebiasaan,
pandangan dunia dan lapis fisik, tidak terpisah secara tajam.4 Sebagai contoh, selera dan
hasrat seseorang terbentuk dari kebiasaan yang diperoleh dari struktur lingkungan.5
Kekeliruan dalam memandang hubungan integral antara struktur, kebudayaan dan pelaku
akan melahirkan pendekatan serta anggapan yang keliru juga dalam menyelesaikan masalah.
Misalnya, muncul pernyataan publik “pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal,
diperlukan jalan kebudayaan” atau “masalah kemiskinan dan korupsi ialah perkara moral
bangsa –kalau moral berubah, selesailah masalah!”6

Revolusi mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Hal yang dibidik oleh revolusi
mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas yang meliputi
cara berpikir, cara merasa, cara mempercayai yang semuanya ini menjelma dalam perilaku
dan tindakan sehari-hari.7

Pendidikan formal melalui sekolah dapat menjadi lokus untuk memulai revolusi mental ini.
pendidikan diarahkan pada pembentukan etos warga negara (citizenship). Proses pedagogis
membuat etos warga negara ini ‘menubuh’8 atau dapat menjadi tindakan sehari-hari. Cara
mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif (discursive knowlegde)9 ke pengetahuan
praktis (practical knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori
etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan
sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan. Pendidikan
mengajarkan keutaamaan (virtue) yang merupakan pengetahuan praktis. Revolusi mental
membuat kejujuran dan keutaamaan yang lain menjadi suatu disposisi batin ketika siswa
berhadapan dengan situasi konkret.10

Pendidikan di sekolah hanya salah satu kantung perubahan saja. Revolusi mental yang
menjadi gerakan berskala nasional perlu dilakukan di setiap kelompok-kelompok di
kehidupan sehari-hari. “transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan
menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.”11

Sejenak Mengingat dan Mengevaluasi


Berdasar pada pengertian revolusi mental yang diberikan oleh Karlina Supelli tersebut,
penulis mencatat beberapa hal dalam pendidikan yang perlu diperbaiki berkenaan dengan
revolusi mental ini, yaitu:

1. ‘menghafal’ adalah Kunci Kesuksesan

Bagi peserta didik ‘menghafal’ adalah ritual yang harus dilakukan menjelang ujian. Dengan
menghafal, maka pertanyaan dalam ujian akan dapat terjawab dengan baik sehingga akhirnya
mendapat nilai yang memuaskan. Memang tidak ada yang salah dengan menghafal. Bahkan,
ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan mencatat suatu peristiwa alam
atau sosial. ‘Menghafal’ menjadi masalah apabila dilakukan tanpa mengetahui konsep yang
sesungguhnya. Peserta didik hanya menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna
yang sesungguhnya. Seorang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah filsafat manusia,
misalnya, dapat saja menghafal definisi dimensi-dimensi dalam filsafat manusia tanpa
memahami maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari ia tetap memandang manusia secara
parsial saja, sebagai penghasil uang, dengan melupakan dimensi sosial manusia.

Bagaimana merevolusi mental ‘ritual menghafal’ ini? Perlu ada perbaikan dalam metode
mendidik. Pendidikan dalam usaha revolusi mental berusaha ‘menubuhkan’ ajaran-ajaran
yang diperoleh di sekolah agar sungguh dapat diterapkan dalam praktek hidup. Pendidik
perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta percobaan-percobaan di
kelas. Contoh yang relevan, analisis kasus dan percobaan membantu peserta didik untuk
mendapatkan kunci-kunci penting pemahaman tanpa kehilangan basis pada realitas. Pendidik
seringkali melupakan metode-metode memberikan praktek yang mengajak peserta didik
berpikir, sebab pendidik harus memenuhi tuntutan target materi yang harus tersampaikan
dalam pertemuan itu.

2. Nilai Ujian dan Ijazah adalah Inti dari Seluruh Proses Pendidikan

Masyarakat yang memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan
kehilangan makna dari pendidikan itu sendiri. Bersekolah, bagi masyarakat yang demikian,
adalah usaha untuk mendapatkan ijazah. Agar mendapatkan ijazah dengan keterangan yang
memuaskan, nilai-nilai ujian perlu digenjot. Ijazah menjadi golden ticket untuk meneruskan
perjuangan hidup berikutnya. Ijazah digunakan untuk melamar pekerjaan dan mendapatkan
jabatan sehingga kesejahteraan hidup pun terjamin. Apa bahaya dari pandangan yang terlalu
‘gila ijazah’ ini?

Pendidikan, dalam masyarakat yang demikian, tidak lagi merupakan usaha untuk membuat
manusia yang sungguh menjadi manusia. Nilai ujian dan ijazah dikejar demi nilai ujian itu
sendiri. Nilai ujian dan ijazah bukan lagi menandakan kualitas dari peserta didik. Pendidik
dan peserta didik sama-sama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas
untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Dosen yang
membutuhkan waktu lama untuk membimbing satu skripsi, misalnya, tidak jarang dianggap
terlalu kolot dan didesak segera meluluskan mahasiswa tersebut dengan kemampuan yang
seadanya.
Revolusi terhadap mental ‘gila ijazah’ ini memang tidak mudah sebab perbaikan tidak hanya
melibatkan sistem pendidikan melainkan juga sistem ekonomi dan politik. Sistem penilaian
dalam pendidikan perlu dibuat agar tidak terlalu mementingkan kuantitas. Lapangan
pekerjaan juga perlu diperluas agar orang tidak khawatir akan kesempatan yang ia dapatkan
untuk mengembangkan diri di suatu lapangan pekerjaan tertentu. Dengan demikian,
pendidikan yang ia jalani juga sungguh berkualitas.

3. Standarisasi nilai melalui Ujian Akhir Nasional

Ujian Akhir Nasional (UAN) yang selama ini dilakukan menuai banyak kritik. UAN
dilakukan dengan alasan standarisasi kemampuan pelajar di seluruh Indonesia. Pelaksanaan
UAN memiliki asumsi dasar bahwa peserta didik berangkat dari modal yang sama sehingga
dapat mencapai standar kemampuan akademis tertentu yang sama. Kenyataannya, peserta
didik tidak memiliki modal yang sama. Mereka memiliki modal pengetahuan, budaya,
kualitas sekolah dan lingkungan masyarakat yang berbeda. UAN sebagai standarisasi
kemampuan akademis tidak lagi relevan mengingat modal yang berbeda ini. Peserta didik di
Jakarta tidak memiliki latar belakang budaya, kualitas sekolah dan lingkungan serta
kebutuhan yang sama dengan peserta didik di makassar, sehingga standarisasi pun tak dapat
dilakukan. Syarat suatu perbandingan dapat dilakukan ialah hal-hal yang diperbandingkan
memiliki prinsip yang sama. Apabila tidak memiliki prinsip yang sama maka terjadilah
incommensurability.

4. Pendidik menjadi Sekadar Memenuhi Formalitas Mengajar karena Tekanan Sistem

Pendidik dalam menjalankan aktivitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik
dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan borang-borang rencana
pembelajaran dan target materi yang harus tersampaikan. Target ini tentu berkaitan juga
dengan UAN. Apabila target materi tidak terpenuhi maka peserta didik terancam tidak lulus
UAN. Apabila ada siswa yang tidak lulus UAN, maka nama baik sekolah pun akan tercemar.

‘Sekadar memenuhi formalitas’ tidak hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para
dosen di perguruan tinggi. Berulang kali jenis borang rencana pembelajaran berubah.
Perubahan yang terjadi dalam kurun waktu satu setengah tahun ini ialah dari Silabus dan SAP
(Satuan Acara Perkuliahan) ke RPKPS (Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran
Semester) lalu kini ke RPS (Rencana Pembelajaran Semester). Dosen harus selalu
menyesuaikan diri dengan perubahan borang ini. Belum lagi ditambah sistem yang harus
dipenuhi sebagai dosen yang memiliki NIDN (Nomer Induk Dosen Nasional) begitu banyak
dan rumit. Akhirnya dosen lebih lancar sebagai pengelola administrasi ‘ke-dosen-an’
daripada sebagai seorang pendidik.

 
5. Orang Miskin Dilarang Sekolah

Bayangkan berapa uang yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak dari pendidikan
usia dini hingga perguruan tinggi. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah biaya yang dibutuhkan
untuk mendukung pendidikan seorang anak. Biaya ini tidak masuk akal bagi orang tua yang
memiliki pendapatan tidak lebih dari satu setengah juta rupiah per bulan, bahkan untuk yang
berpenghasilan tiga juta rupiah sekalipun. Tidak masuk akalnya biaya untuk pendidikan,
membuat banyak anak harus putus sekolah. Revolusi Mental dalam pendidikan perlu
didukung kebijakan politik dan ekonomi serta mekanisme agar pendidikan akhirnya dapat
diakses siapa saja di seluruh pelosok negeri ini. Apabila kartu indonesia pintar jadi
diterapkan,maka mekanisme pembagian serta penggunaanya perlu dikawal agar dapat
berfungsi dan tepat sasaran.

6. Perbanyak Pelajaran Agama agar Perilaku Menjadi Baik

Pemberlakuan kurikulum 2013 mengundang kritik dari para pemerhati pendidikan.


Kurikulum 2013 memiliki tujuan besar untuk mengubah moral peserta didik menjadi lebih
baik. Kekeliruan dimulai ketika penerapan kurikulum 2013 dilakukan dengan memperbanyak
ajaran agama. Anggapan bahwa ‘memperbanyak pelajaran agama dapat mengubah perilaku
menjadi baik’ berakar dari asumsi pembedaan yang tajam antara budaya dalam bentuk yang
immaterial (cara pikir, merasa) dan material (tindakan, hasil karya cipta manusia). Tidak
hanya pembedaan bahkan stratifikasi. Unsur immaterial dianggap lebih tinggi daripada unsur
material. Penguasaan pelajaran agama dianggap pasti dapat mengubah perilaku peserta didik.

Padahal dalam kenyataan, penguasaan teoritik saja tidak menjamin nilai-nilai yang dipelajari
di sekolah menjadi cara berpikir dalam praktek hidup. Dalam revolusi mental, perlu
diupayakan perubahan asumsi dasar dalam memandang budaya. Sebagaimana disarankan
dalam tulisan Mengartikan Revolusi Mental, unsur budaya sebagai pola kebiasaan,
pandangan hidup dan lapisan fisik perlu dilihat secara integral. Mengubah moral yang
merupakan praktek hidup, perlu pembaruan penafsiran kurikulum dan metode mendidik.
Perubahan moral tidak selalu datang dari pelajaran agama tetapi bisa juga dari pelajaran etika.
Tentu saja pelajaran etika yang dimaksud ialah pelajaran etika dengan pembaruan dalam
metode pengajaran, sehingga tidak terjebak lagi dalam menghafal teori-teori etika.

7. Semarak Khotbah dan Seminar yang Bertujuan Mengubah Moral

Melanjutkan poin ke enam, perubahan moral juga tidak dapat terjadi dengan khotbah atau
seminar-seminar motivasi saja. Metode menyampaikan pelajaran etika dapat dilakukan
dengan cara bermain peran (role play). Gaya mengajar bermain peran ini mendorong peserta
didik untuk mendayagunakan pikiran, perasaan dan serta tubuhnya dalam memahami suatu
peristiwa yang melibatkan penilaian etis. Tentu ini saja tidak cukup, untuk membuat nilai etis
benar-benar menjadi praktek hidup, kita perlu menjabarkan nilai dalam poin-poin terapan.
Nilai Persatuan Indonesia, misalnya, perlu dijabarkan menjadi beberapa poin terapan
misalnya sikap mengharagai keberagaman agama di sekolah dan lingkungan sekitar rumah
dan sikap menghormati logat masing-masing teman yang berbeda daerah. Menjabarkan nilai
dalam poin terapan saja tidak cukup yang lebih berarti lagi ialah kesetiaan dalam melakukan
nilai tersebut setiap hari.

8. Pendidikan yang Tidak Sadar Keberagaman

Sekolah-sekolah berbasis pendidikan inklusif perlu terus diupayakan. Diskriminasi dalam


pendidikan formal tidak jarang dimulai dari institusi pendidikan itu sendiri. Bentuk
bangunan, cara mengajar dan atmosfer pergaulan perlu disesuaikan dengan prinsip-prinsip
pendidikan yang inklusif. Pendidikan inklusif terbuka bagi semua peserta didik dari berbagai
budaya dan termasuk bagi para difabel. Tersedianya sarana dan atmosfer pembelajaran yang
inklusif membuat peserta didik belajar untuk menghargai perbedaan dan tidak bersikap rasis
serta fundamentalis ekstrem.

9. Pendidikan yang Apolitis

Teori-teori di sekolah yang terpisah dari praktek, membuat peserta didik tidak menyadari
bahwa ada masalah dalam kehidupan sehari-hari yang perlu diselesaikan. Ilustrasi-ilustrasi
dalam pelajaran di pendidikan formal tidak pernah memantik keberanian sikap politis peserta
didik. Peserta didik dibuat lupa bahwa segala yang ia nikmati termasuk dapat mengenyam
pendidikan di sekolah merupakan hasil dari tindakan politis. Bahkan, harga nasi dan telur
sarapan mereka pun hasil dari tindakan politis. Pendidikan yang tidak pernah menyentuh sisi
politis melupakan bahwa “budaya tanpa sistem ekonomi dan politis tidak mungkin, demikian
juga sebaliknya”. Pendidikan juga demikian. Pendidikan yang apolitis menjadi tidak relevan
sebab pendidikan dan politik saling mengandaikan satu sama lain, satu sama lain saling
mempengaruhi.

10. Kurangnya Kantung-Kantung Pendidikan di Lingkungan


Setiap kelompok masyrakat perlu mengupayakan agar pendidikan tidak menjadi elitis.
Bagaimana caranya? Perlu diusahakan kelompok-kelompok pendidikan informal di
lingkungan tempat tinggal. Kelompok-kelompok belajar dan sanggar-sanggar kesenian bagi
anak-anak, yang bersifat tidak berbayar perlu diselenggarakan agar pendidikan dapat
dirasakan bagi siapa saja. Selama ini, sebenarnya banyak pendidikan informal yang kreatif
dengan metode pengajaran yang mengembangkan potensi peserta didik, tetapi biaya untuk
masuk ke tempat pendidikan seperti itu juga tidak murah.

Akhirnya, kesepuluh usaha revolusi mental dalam pendidikan ini memerlukan usaha yang
tahan dalam “kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin.”***

Anda mungkin juga menyukai