01 - Klasifikasi Zakat Secara Umum - Present
01 - Klasifikasi Zakat Secara Umum - Present
I. PENDAHULUAN
Definisi
Secara literal, zakat (al-zakat) bermakna al-namaa` (tumbuh), dan al-thahaarah (suci).
[Imam al-Syaukani, Nail al-Authar, juz 2/158].
Disebut al-namaa' (tumbuh), karena dengan dikeluarkannya zakat harta bisa tumbuh dan
berkembang; atau bisa juga disebabkan karena pahalanya akan dilipatgandakan;
Disebut al-thahaarah karena, zakat bisa mensucikan jiwa dari kekikiran dan dosa. [Ibid, juz
2/158]
Sedangkan menurut Sayyid Saabiq, zakat bermakna al-namaa' (tumbuh), al-thaharah (suci),
dan al-barakah (keberkahan). [Sayyid Saabiq, Fiqh Sunnah, juz 1/318]. Disebut zakat karena,
di dalamnya ada harapan untuk mendapatkan keberkahan, kesucian diri, dan pertumbuhan
harta dengan berbagai macam kebaikan. [Ibid, juz 1/318]. Allah swt berfirman;
ِ ص ِّل َع َل
يه ْم ِ صدَ َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّك
َ يه ْم ِب َها َو َ َُخ ْذ ِمنْ أ
َ مْول ِِه ْم
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka". (TQS At Taubah [9]: 103)
Ada beberapa kata yang memiliki makna berbeda dengan zakat, akan tetapi kadang-kadang
dipakai dengan makna zakat. Kata-kata itu adalah infaq, hak, dan shadaqah. Al-Quran
telah menyatakan hal ini di beberapa tempat. Allah swt berfirman;
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.1(TQS At Taubah [9]: 60)
Menurut pengertian syariat, zakat adalah menyerahkan sebagian harta yang sudah
sampai nishab kepada kaum fakir dan lain sebagainya, tanpa ada halangan syar'iy (maani'
syar'iyy) yang menghalangi harta itu untuk berpindah kepadanya. [Imam Syaukani, Nail al-
Authar, juz 2/158].
Dengan kata lain, zakat adalah istilah untuk menyebut harta yang menjadi hak Allah swt
yang diserahkan manusia kepada kaum fakir. [Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2/318]
Menurut 'Abdul Qadim Zallum, zakat menurut pengertian syar'iy adalah hak (nilai atau
jumlah) tertentu yang dikenakan pada harta-harta yang telah ditentukan pula.
Zakat dianggap sebagai ibadah, seperti halnya sholat, puasa dan haji; dan ia
merupakan salah satu rukun Islam. Zakat hanya dikenakan/DIWAJIBKAN (HUKUM Taklifi)
kepada orang Muslim saja, dan tidak dibebankan kepada orang kafir. ['Abdul Qadim Zallum, al-
Amwaal fi al-Daulah al-Khilafah, hal. 145]
MACAM ZAKAT
Dalam hal ini, Islam telah menetapkan dua bentuk kewajiban zakat;
1
Orang yang berhak menerima zakat ialah: 1. orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak
mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak
cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. 3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas
untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. memerdekakan budak: mencakup juga
untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang
berhutang Karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. adapun
orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat,
walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan
Islam dan kaum muslimin. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
3
Pertama, zakat Fitrah, atau bisa disebut zakat kepala, yaitu zakat yang ditetapkan
kepada tiap orang Muslim, baik merdeka, budak, anak-anak, dewasa, laki-laki
maupun perempuan.
Kedua, zakat harta, atau biasa disebut zakat Mal, yaitu zakat yang ditetapkan atas
harta tiap orang Muslim, dengan kadar dan ketentuan yang khas. (‘Ali Fikri,
Khulâshah al-Kalâm fî Arkân al-Islâm, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 176)
Zakat mal :
3) Zakat Ternak,
Pertama, berasal dari hasil usaha yang baik. Harta-harta yang diperoleh dari jalan yang haram
tidak sah dizakati atau ditarik zakatnya. Sebab, Allah tidak akan menerima infaq atau zakat
dari harta-harta semacam ini. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt;
ب َو َمط َْع ُمهُ َح َر ٌام َو َم ْش َربُهُ َح َر ٌام ِّ الس َم ِاء يَا َر
ِّ ب يَا َر َّ ث أَ ْغَب َر يَ ُم ُّد يَ َديْ ِه إِلَى
َ الس َف َر أَ ْش َع
َّ يل ِ
ُ الر ُج َل يُط
َّ ذَ َك َر
َ ِاب لِ َذل
ك ُ ْح َر ِام فَأَنَّى يُ ْستَ َج َ ي بِال
ِ
َ سهُ َح َر ٌام َوغُذ
ُ ََو َملْب
"Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik
(thayyib), dan sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukmin sebagaimana halnya Ia
memerintah para Rasul. Kemudian, Ia berfirman, "Wahai para Rasul, makanlah dari rejeki yang
baik-baik, dan berbuat baiklah kalian. Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang engkau
ketahui." Selanjutnya, beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang berada di dalam
perjalanan yang sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas
menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, "Ya Tuhanku, Ya Tuhanku..",
sementara itu makanan yang dimakannya adalah haram, minuman yang diminumnya adalah
haram, dan pakaian yang dikenakannya adalah haram; dan ia diberi makanan dengan
makanan-makanan yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya dikabulkan?.". [HR.
Muslim]
Al-Qadliy berkata, "Hadits ini merupakan salah satu pilar agama Islam dan tonggak dari
hukum-hukum Islam. Ada 40 hadits yang menjadi bagian tak terpisahkan dari hadits ini. Di
dalam hadits ini ada perintah kepada kaum Muslim untuk berinfak dengan yang rejeki halal,
serta larangan untuk berinfak dengan rejeki yang haram. Hadits ini juga menerangkan, bahwa
minuman, makanan, pakaian, dan lain-lain harus halal dan terjauh dari syubhat; dan siapa saja
yang berdoa hendaknya ia memenuhi syarat-syarat tersebut, dan menjauhi minuman,
makanan, dan pakaian yang haram." [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 1686]
Imam al-Hafidz Abu al-'Ala al-Mubarakfuriy, dalam Tuhfat al-Ahwadziy, menyatakan
bahwa makna hadits ini adalah, Allah swt suci dari noda, dan tidak akan menerima dan tidak
boleh mendekatkan diri kepadaNya, kecuali sejalan dengan makna hadits tersebut.[Tuhfat al-
Ahwadziy bi Syarh Jaami' al-Tirmidziy, hadits no. 2722]
Kedua, harta tersebut pada galibnya bisa berkembang atau bisa dikembangkan. Harta
yang pada galibnya tidak bisa berkembang atau dikembangkan, maka harta tersebut tidak
dizakati. Hanya saja, ketentuan semacam ini masih perlu dirinci lebih lanjut. Pengembangan
harta di sini, bisa saja dilakukan dengan cara diperdagangkan, dikembangbiakkan, ditanam
sebagai modak (syirkah mudlarabah), dan lain sebagainya. Di masa Rasulullah saw, kuda dan
budak. Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw
bersabda;
"Tidaklah wajib zakat (sedekah) bagi seorang Muslim yang memiliki budak dan kuda."
[HR. Imam Bukhari]
Ketiga, harta tersebut menjadi milik penuh. Maksudnya, harta tersebut berada di
bawah kekuasaan atau kontrolnya; atau harta tersebut berada di tangannya (tidak berada di
tangan orang lain), atau tidak tersangkut hak orang lain, dan ia bisa menikmati harta tersebut.
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt.
Keempat, telah mencapai senishab. Harta yang tidak sampai senishab tidak wajib
dikeluarkan zakatnya. Nishab adalah jumlah minimal harta yang menyebabkan terkena zakat.
5
Misalnya, nishab zakat emas adalah 85 gram emas (20 dinar); nishab zakat kambing adalah 40
ekor kambing dan sebagainya. Ketetapan semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat yang
dituturkan oleh Imam Bukhari dari Abu Said; bahwasanya Nabi saw bersabda;
Keenam, harta-harta tertentu yang wajib dizakati, misalnya emas, perak, perdagangan,
dan peternakan, harus berada di tangan pemiliknya, dan telah dimiliki atau diusahakan selama
satu tahun Hijriyah (haul). Persyaratan haul ini didasarkan pada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib;
"Jika kamu memiliki dua ratus (200) dirham atau telah berlalu waktunya selama satu
tahun (Hijriyah)), maka zakatnya wajib dikeluarkan sebanyak lima (5) dirham. Kamu tidak
memiliki kewajiban apapun hingga kamu memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu waktunya
selama satu tahun; dan kamu harus berzakat sebesar setengah dinar. Jika lebih, maka
zakatnya dihitung berdasakan kelebihannya. Dan tidak ada zakat pada harta hingga berlalu
waktunya satu tahun."[HR. Abu Dawud]
Ketentuan haul ini tidak berlaku bagi zakat pertanian. Zakat pertanian harus
dikeluarkan ketika panen, dan tidak harus menunggu terpenuhinya haul.
Inilah beberapa ketentuan yang berkaitan dengan harta-harta yang wajib dizakati.
mensyaratkan niat itu dilakukan ketika membayar zakat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat,
bahwa niat itu wajib ketika seseorang membayar zakat, atau membebaskan diri dari kewajiban.
Adapun menurut Imam Ahmad, niat itu boleh diajukan dari saat membayar zakat, asalkan jeda
waktunya pendek.
Ketentuan mengenai niat ini didasarkan pada firman Allah swt;
Harta-harta ini wajib dizakati jika telah sampai nishab, sisa dari pembayaran hutang, dan
sudah mencapai haul. Ketentuan haul tidak berlaku pada zakat tanaman dan buah-buahan.
Zakat pada tanaman dan buah-buahan diserahkan saat panennya. [Ibid, hal. 147]
Zakat perak dan emas, baik berupa mata uang ataupun bukan adalah wajib
berdasarkan Sunnah dan ijma shahabat.
Kadar Nishab Perak
Berdasarkan sabda Rasulullah saw, ukuran minimal perak yang harus dikeluarkan
zakatnya adalah lima uqiyah,: Tidak ada zakat kurang dari lima uqiyah. (HR. Mutafaq
Alaih) Dari Ali bin Abi Thalib, berkata: ‘Setiap 200 dirham, zakatnya 5 dirham.’
Dirham yang dianggap sebagai nishab adalah dirham yang syar'iy, yaitu yang
setiap 10 dirhamnya sebanding dengan 7 mitsqal emas.
1 dirham = 7/10 mitsqal.
1 dirham = 2,975 gram (diukur dengan gram yang berlaku saat ini).
Maka, nishab zakat perak adalah (200 dirham) = 595 gram. Hal ini berlaku baik
uang perak maupun perak batangan. Apabila perak dicampur dengan tembaga, timah
atau bahan tambang lainnya, maka jika perak yang murninya mencapai nishab, wajib
dikeluarkan zakatnya berdasarkan jumlah kandungan perak murninya.
Jadi, apabila perak telah mencapai nishab zakat serta haul, maka wajib
dikeluarkan zakatnya 1/40 atau 5 dirham untuk setiap 200 dirham atau sebesar
2,5%. 5 dirham = 14,875 gram, karena 1 dirham = 2,975 gram.
Contoh:
Kadar Nishab Emas
Ukuran minimal (nishab) dari emas yang harus dikeluarkan zakatnya
adalah 20 dinar. Yang termasuk emas disini adalah emas murni maupun
bukan (dihitung nilai emas murninya), baik cetakan ataupun bukan,
semuanya dihitung dengan hitungan yang sama. Jika kurang dari 20 dinar,
maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Dari Ali bin Abi Thalib ia berkata:
Setiap 20 dinar zakatnya ½ dinar, dan setiap 40 dinar zakatnya satu dinar.
Timbangan nishab emas yang nilainya 20 dinar = 85 gram emas murni (24
krt/100 %). Timbangan ½ dinar = 2,125 gram, karena timbangan 1 dinar
emas adalah 4,25 gram. Jika harga emas murni 24 karat tiap 1 gram = Rp
480.000,- (8 okt 2014) misalnya, maka nishab zakat emasnya adalah 85
gram x 480.000 = Rp 40.800.000,-
Emas dan perak yang telah mencapai nishab tidak dikeluarkan zakatnya
hingga mencapai haul. Selain itu, nishabnya harus sempurna dari awal
hingga akhir haul. Dari Aisyah berkata aku mendengar Rasulullah saw
bersabda : ‘Tidak ada zakat pada harta sehingga mencapai haulnya’.
Apabila seseorang memiliki harta kurang dari nishab emas atau perak,
kemudian tercapai nishabnya, maka haulnya dimulai dari waktu
tercapainya nishab. Jika telah berjalan sempurna haulnya (sudah 1 tahun
hijriyah), maka wajib dikeluarkan zakatnya.
Contoh:
I. A memiliki 75 gram emas pada tanggal 18 Muharram 1435H, kemudian pada
tanggal 14 Rabiul Awal 1435H hartanya bertambah jadi 90 gram emas.
Berarti perhitungan haulnya dimulai sejak tanggal 14 Rabiul Awal 1426H.
Maka pada tanggal 14 Rabiul Awal 1436H wajib mengeluarkan zakat 2,5%
8
Harta perdagangan adalah sesuatu (selain uang) yang diperdagangkan, baik dengan cara
pembelian maupun penjualan, yang bertujuan memperoleh keuntungan. Harta
perdagangan meliputi makanan, pakaian, kendaraan, barang-barang industri, hewan,
barang-barang tambang, tanah, bangunan dan lain-lain yang bisa diperjual belikan.
Harta yang digunakan untuk perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya. Dari Samurah bin
Jundab berkata:
ِ
ُص َد َقتُه
َ الب ِّز
َ َو في
Pada bahan pakaian wajib dikeluarkan zakatnya.
Zakat harta perdagangan diwajibkan apabila telah mencapai nilai nishab emas atau nishab perak
dan telah mencapai haul.
Contoh 1:
Pak Budi memulai perdagangannya pada tanggal 17 Ramadlan 1410 H dengan nilai
40 gram emas, kemudian pada akhir haul 17 Ramadlan 1411 H nilai perdagangannya
mencapai 120 gram emas (berupa keuntungan, modal dan barang yang belum terjual),
maka Pak Budi tidak diwajibkan zakat, karena nishab yang telah dicapai belum genap
satu tahun, sehingga zakat yang diwajibkan kepadanya pada nishab tersebut baru
berlaku setelah berjalan genap satu tahun.
Contoh 2:
Pak Iwan Jaya memulai perdagangannya pada tanggal 3 Sya`ban 1415 H dengan
modal 1000 dinar. Kemudian pada tanggal 3 Sya`ban 1416 H diketahui bahwa nilai
harta perdagangannya menjadi 3000 dinar (berupa keuntungan, modal dan barang
yang belum terjual), maka Pak Iwan wajib mengeluarkan zakat atas harta yang
jumlahnya 3000 dinar, bukan atas harta yang jumlahnya 1000 dinar -yang digunakan
pada permulaan perdagangannya-. Hal ini karena perkembangan hartanya itu
mengikuti (modalnya yang 1000 dinar-peny), dan haul atas keuntungannya telah
tercapai mengikuti haul atas modalnya. Perhitungannya adalah 2,5% X 3000 dinar =
75 dinar (75 X 4.25 gram emas = 318,75 gram emas).
Zakat harta perdagangan dapat dibayarkan dengan mata uang yang berlaku
atau mata uang yang beredar. Jadi, siapa saja yang berdagang kambing, sapi, atau
kain, maka ia wajib mengeluarkan zakat atas barang-barang tadi (yaitu ternak, sapi
atau kain), dalam bentuk uang atau bisa juga dalam bentuk ternak, sapi, atau kain,
yaitu barang yang didagangkannya.
ZAKAT TERNAK
Unta
Nishab zakat unta mulai dengan jumlah lima ekor. Hal ini berdasarkan hadits
Abu Sa'id al-Khudriy dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
Tidak terkena zakat untuk jumlah unta kurang dari lima ekor.
Dzuwadin adalah bilangan unta yang jumlahnya antara tiga sampai enam ekor.
Barangsiapa memiliki unta kurang dari lima ekor, maka tidak wajib zakat atasnya.
10
Barangsiapa memiliki unta lima ekor yang digembalakan dan telah berumur genap
setahun, maka wajib atasnya zakat seekor kambing.
Nishab zakat unta yang wajib dikeluarkan adalah sebagai berikut:
No. Nishab Zakat yang dikeluarkan
1. 5-9 ekor 1 ekor kambing
2. 10-14 ekor 2 ekor kambing
3. 15-19 ekor 3 ekor kambing
4. 20-24 ekor 4 ekor kambing
5. 25-35 ekor 1 ekor anak unta betina (bintu makhadl)
6. 36-45 ekor 1 ekor anak unta betina yang menyusui (bintu labun)
7. 46-60 ekor 1 ekor anak unta betina (hiqqah untsa)
8. 61-75 ekor 1 ekor unta betina muda (jadza'ah)
9. 76-90 ekor 2 ekor unta betina yang menyusui (bintaa labun).
10. 91-120 ekor 2 ekor unta betina yang bisa dikawini pejantan (hiqqatani)
Apabila telah mencapai 121 ekor, maka perhitungannya berbeda serta
ditentukan seluruhnya. Untuk setiap 40 ekor unta dikeluarkan seekor anak unta
betina yang menyusui (bintu labun, berusia dua tahun lebih-peny). Dan untuk setiap
50 ekor unta dikeluarkan seekor anak unta betina yang bisa dikawini pejantan
(hiqqah, berumur tiga tahun lebih-peny).
Zakat sapi dan kambing diwajibkan berdasarkan Sunnah dan ijma' sahabat.
Adapun dasar Sunnah adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Dzar dari Nabi saw
bahwa beliau bersabda:
Tidak ada balasan bagi pemilik unta, sapi atau kambing, kemudian tidak
mengeluarkan zakatnya, kecuali datang hewan-hewan itu pada hari kiamat dengan
ukuran yang lebih besar, lebih gemuk sambil menanduk dan menendang (HR.
Mutafaq Alaih)
Sedangkan ijma' sahabat, karena mereka seluruhnya sepakat terhadap
wajibnya zakat pada ternak sapi dan kambing.
Sapi
Zakat sapi diwajibkan khusus untuk ternak sapi yang digembalakan dengan
ketentuan telah mencapai haul. Yang diambil adalah untuk nasal dan namau (yaitu
sapi yang dikembangbiakkan-peny). Sedangkan sapi yang dipekerjakan tidak
dikeluarkan zakatnya. Dari Ali berkata: ‘Pada ternak sapi yang dipekerjakan, tidak
11
ada zakatnya’. Dari Amru bin Dinar yang menyampaikan bahwa Rasulullah saw
bersabda:
Tidak ada kewajiban zakat pada ternak sapi (yang digunakan untuk) membajak.
Dari Jabir bin Abdullah berkata: ‘Tidak ada zakat atas sapi (yang digunakan untuk)
membajak’. Matsirah adalah sapi yang digunakan untuk membajak tanah.
Batas nishab pertama yang diwajibkan atas sapi untuk dikeluarkan zakatnya
adalah 30 ekor, dengan ketentuan nishab sebagai berikut:
Jumlah Zakat yang dikeluarkan Keterangan
30-39 ekor 1 sapi tabi' atau tabi'ah
40-59 ekor 1 ekor musinnah Tabi' yaitu sapi berumur
60-69 ekor 2 ekor tabi' atau tabi'ah. setahun memasuki tahun
70-79 ekor 1 ekor tabi' dan 1 ekor musinnah
kedua.
80-89 ekor 2 ekor musinnah
Musinnah yaitu sapi yang
90-99 ekor 3 ekor tabi'ah
100-109 ekor 1 ekor musinnah dan 2 ekor tabi'. berumur dua tahun lebih
110-119 ekor 2 ekor musinnah dan 1 ekor tabi'. memasuki tahun ketiga.
120 ekor 3 ekor musinnah atau 4 ekor tabi'ah.
Kambing/Domba
Zakat kambing diwajibkan khusus untuk ternak kambing yang digembalakan,
yang telah dipelihara lebih dari setahun (jika mencapai batas nishab dan haul). Hal ini
berdasarkan penuturan Abu Bakar dari Nabi saw:
Pada ternak kambing yang digembalakan (diambil zakatnya) jika mencapai 40 ekor
ternak.
Juga sabda beliau:
Tidak ada zakat pada harta sampai mencapai haul (genap setahun).
Nishab terkecil pada ternak kambing adalah 40 ekor. Jika kurang dari 40 ekor
maka tidak ada zakatnya. Nishab zakat kambing adalah:
No Jumlah Kambing Zakatnya
1 40-120 1 ekor kambing
2 121-200 2 ekor kambing
3 201-300 3 ekor kambing
4 301-400 4 ekor kambing
Apabila jumlah ternak kambing mencapai lebih dari 400 ekor, maka setiap
pertambahan 100 ekor dikeluarkan seekor kambing. Tidak ada tambahan apapun
12
pada ketentuan zakat ternak kambing sampai genap mencapai jumlah 100 ekor
berikutnya.
Dalil mengenai ketentuan-ketentuan tersebut adalah hadits yang diriwayatkan
dari Muhammad bin Abdurrahman bahwa:
“…..selanjutnya jumlah (pertambahan) kambing (lebih dari) 300 ekor tidak ada yang
harus dikeluarkan (zakatnya) meski 99 ekor, hingga genap 100 ekor. Kemudian
pertambahan 100 ekor dikeluarkan seekor kambing. Tidak diambil kambing harimah
(kambing tua) dan kambing fahal (kambing jantan), kecuali jika dikehendaki oleh yang
mengeluarkan zakat.”
Kesimpulan
Zakat ternak, berlaku atas jenis ternak: unta, sapi (kerbau) dan kambing
(domba). Dengan demikian tidak ada zakat diluar tiga jenis ternak tersebut. Karena,
nash-nash hadits telah menetapkan jenis ternak yang diambil zakatnya dan terbatas
pada jenis ternak itu saja.
اد ِه
ِ وءاتُوا ح َّقهُ يوم حص
َ َ َ َْ َ َ َ
Dan tunaikanlah haknya (zakatnya) pada hari memetik hasilnya (panen). (TQS. al-
An’am [6]: 141)
Adapun dalil as-Sunnah adalah sabda Nabi saw:
Tidak ada zakat di dalam jumlah kurang dari 5 wasaq. (HR. Mutafaq Alaihi)
Dari Ibnu Umar dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
Apa-apa yang disirami oleh hujan dan mata air maka zakatnya sepersepuluh, dan
yang disirami dengan tenaga manusia maka zakatnya seperdua puluh. (HR. Bukhari)
Dari Ali berkata:
Apa yang disirami air hujan zakatnya sepersepuluh, dan yang disirami dengan kincir
atau alat penyiram zakatnya seperduapuluh.
Dari Bisir bin Sa’id berkata:
13
Rasulullah saw mewajibkan zakat sepersepuluh (pada tanaman) yang disirami dengan
air hujan, tadah hujan atau mata air. Dan seperduapuluh yang disirami menggunakan
binatang.
Dari Hakam bin Uyainah berkata:
Rasulullah saw mengirim surat kepada Mu'adz bin Jabal yang berada di Yaman,
‘Sesungguhnya (tanaman dan buah-buahan) yang disirami dengan air hujan atau
(tanahnya) bersemak zakatnya adalah sepersepuluh, dan yang disirami dengan timba
(pikulan) zakatnya seperduapuluh’.
Tidak ada zakat buah apel, pir, persik (peach), aprikot, delima, jeruk, pisang dan lain-
lain dari jenis buah-buahan.
Tidak ada satu nash shahih pun yang menjelaskan jenis-jenis tanaman dan
buah-buahan selain yang empat. Tidak ada ijma' sahabat dalam hal ini.
Perkara ini tidak bisa diqiyaskan, karena zakat merupakan ibadah. Dan dalam
hal ibadah tidak ada qiyas, sehingga hanya dibatasi dengan apa yang disebut oleh
nash. Tidak ada zakat sayur-sayuran seperti kangkung, mentimun, labu/calabash,
terong, lobak, wortel, dan lain-lain.
Dan janganlah diambil apapun (berupa zakat) sehingga mencapai lima wasaq.
Dari Jabir berkata:
Tidak diwajibkan zakat kecuali (sudah) mencapai lima wasaq. (HR. Muslim)
Abu Said dan Jabir meriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda:
Satu wasaq sama dengan 60 sha'.
1 sha' = 4 mud, dan 1 mud = 1/3 rithl Baghdad. 1 sha' = 2,176 kg, dan 1 wasaq =
130,56 kg jewawut. Oleh karena itu, takaran 5 wasaq untuk biji-bijian (nishab zakat
tanaman dan buah-buahan) = 652 kg.
اد ِه
ِ وءاتُوا ح َّقهُ يوم حص
َ َ َ َْ َ َ َ
Dan keluarkanlah zakatnya pada hari dipetik hasilnya. (TQS. al-An'am [6]: 141)
Pada zakat tanaman dan buah-buahan bisa diambil nilai (harganya) saja
-berupa uang atau yang lainnya- sebagai pengganti dari zakat tanaman dan buah-
buahan itu sendiri. Hal ini karena adanya hadits yang diriwayatkan oleh Amru bin
Dinar dari Thawus yang menyatakan: ‘Sesungguhnya Nabi saw mengutus Mu'adz bin
Jabal ke Yaman, maka dia (Mu'adz) mengambil baju/kain sebagai pengganti (zakat)
dari jewawut dan gandum.’
Karena dijumpai pula jenis kurma yang tidak bisa menjadi kurma kering juga
ada jenis anggur yang tidak bisa menjadi kismis. Maka dari keduanya diambil nilai
(harganya). Telah diriwayatkan dari Mu'adz dalam masalah zakat ini bahwasanya ia
sendiri telah mengambil pengganti pembayaran zakat, yang terungkap dalam
ucapannya sebagai berikut: ‘Berikanlah kepadaku (gamis) atau pakaian yang aku
ambil dari kalian sebagai zakat. Karena hal itu lebih ringan atas kalian dan lebih
bermanfaat bagi kaum Muhajirin di Madinah.’
Yakni tidak mempunyai pakaian dan sangat lapar. Orang miskin berhak
memperoleh zakat dan ia boleh mengambil bagiannya.
3. 'Amilin Zakat, disebut juga as-su’ah, atau al-mushaddiqun, yaitu orang-orang
yang ditunjuk untuk mengumpulkan dan mendistribusikan harta zakat kepada
mustahiq. Mereka berhak mendapatkan zakat walaupun mereka itu kaya, sebagai
kompensasi tugas mereka. Dari 'Atha bin Yasar ia berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda:
Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali 5 golongan, (yaitu) 'amil zakat, …
Dan dari Bisir bin Sa'id berkata: Sesungguhnya Ibnu as-Sa'di al-Maliki berkata:
‘Umar menjadikanku 'amil zakat. Setelah selesai melakukan tugas, aku serahkan
zakat itu kepada beliau. Lalu aku diberinya uang. Aku berkata: ‘Sesungguhnya
aku melakukan ini karena Allah.’ Umar berkata: ‘Ambillah apa yang kuberikan,
sesungguhnya aku melakukannya sebagaimana Rasulullah saw pernah lakukan’.
Beliau menjadikanku 'amil dan aku berkata seperti yang engkau ucapkan tadi.’
Kemudian Rasulullah saw bersabda kepadaku:
‘Jika aku memberikan sesuatu bukan karena engkau minta, maka makanlah dan
belanjakanlah.’ (HR. Muttafaq 'Alaih)
4. Muallaf, mereka orang-orang yang baru masuk islam, terdiri dari para panglima
perang, para pemimpin, tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh atau para
ksatria yang belum kuat imannya. Khalifah atau para wali bisa memberikan
kepada mereka zakat untuk menguatkan hati mereka, menghunjamkan iman
mereka, mempersiapkan mereka untuk (berkorban demi) kepentingan Islam dan
kaum Muslim atau untuk mempengaruhi pengikut (kelompok) mereka. Rasulullah
saw pernah memberikan zakat kepada Abu Sufyan, Uyainah bin Hishan, Aqra' bin
Habis, 'Abbas bin Murdas dan sebagainya. Dari 'Amru bin Taghlib bahwa
Rasulullah saw membawa harta atau sabiy (tawanan perang dari masyarakat sipil
yang turut peperangan), kemudian beliau membagi-bagikannya. Beliau berikan
kepada sejumlah orang dan tidak memberikannya kepada yang lain. Sampailah
kepada Beliau saw, bahwa orang-orang yang tidak diberi mencela pembagiannya.
Kemudian beliau memuji Allah dan mengagungkan-Nya, lalu bersabda:
Amma ba’du, demi Allah aku berikan ini kepada sejumlah orang, dan aku biarkan
yang lainnya (tidak memperoleh apa-apa). Orang-orang yang kubiarkan lebih
kucintai dari orang-orang yang aku beri. Aku memberikannya kepada sekelompok
kaum karena aku melihat di dalam hati mereka masih ada keluh-kesah, gelisah
dan kekhawatiran. Dan aku memberikannya makan sampai Allah menjadikan hati-
hati mereka itu penuh dan kaya.
Mereka tidak diberi bagian zakat kecuali ada ‘illat yang mendasarinya. Jika
‘illat-nya tidak ada (keluh-kesah, gelisah dan kekhawatiran atas keimanan
mereka), maka mereka tidak diberi zakat. Ini seperti yang dilakukan Abu Bakar
17
dan Umar yang tidak memberikan bagian dari zakat kepada mereka setelah Islam
kuat dan tersebar luas.
Muallaf tidak akan diberikan bagian dari zakat kecuali mereka itu muslim. Jika
mereka kafir, maka mereka tidak diberi harta dari zakat, berdasarkan sabda
Rasulullah saw kepada Mu'adz ketika diutus ke Yaman:
Beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka membayar zakat. Zakat itu
diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir
mereka.
5. Hamba sahaya, yaitu budak belian. Diberikan bagian dari zakat kepada mereka
yang tergolong budak mukatab untuk membebaskannya. Atau dengan membeli
mereka dan membebaskannya dengan menggunakan harta zakat jika mereka
tidak termasuk budak mukatab. Faktanya, sekarang ini tidak ada lagi budak
belian.
6. Gharimîn, yaitu orang-orang yang memikul beban hutang dalam rangka
memperbaiki taraf hidup, untuk membayar diyat atau menanggung hutang
karena memenuhi keperluan-keperluan khusus mereka. Mereka diberi bagian dari
zakat, baik miskin maupun kaya. Dan diberi zakat sebesar beban hutang yang
dipikulnya tanpa tambahan. Namun, jika mereka kaya dan mampu menutup
hutang-hutangnya, maka tidak diberi zakat, karena haram bagi mereka.
Dari Anas bahwa Nabi saw bersabda:
Sesungguhnya mengemis itu tidak halal kecuali bagi tiga golongan, (yaitu) orang
yang sangat fakir, orang yang dibelit hutang, dan orang yang berhutang darah
(membayar diyat).
Dari Qabishah bin Makhariq al-Hilali berkata: "Aku menanggung beban yang
sangat berat, kemudian aku datang kepada Rasulullah saw untuk meminta
kepada beliau. Maka beliau menjawab:
‘Tinggallah di sini sehingga ada sedekah (zakat) datang kepada kita, maka kami
akan perintahkan memberikan zakat itu kepadamu. Kemudian beliau bersabda lagi:
‘Hai Qabishah, mengemis itu tidak halal melainkan bagi salah satu dari tiga
golongan: (1). seseorang yang menanggung beban (hidup) yang berat, maka halal
baginya meminta-minta sehingga dia mampu dan berhenti meminta-minta, (2).
seseorang yang ditimpa musibah yang menghancurkan hartanya, maka halal
baginya mengemis sehingga dia mendapatkan keadaan yang layak atau mampu
menopang kehidupannya, (3). seseorang yang ditimpa kemiskinan sehingga ada
tiga orang dari orang-orang pandai kaumnya mengatakan, ‘Sungguh si Fulan itu
ditimpa suatu kemiskinan’, maka halal baginya mengemis sehingga dia
mendapatkan keadaan yang layak hidup atau mampu menopang kehidupannya.
Selain itu, wahai Qabishah mengemis adalah haram, dan pelakunya berarti makan
barang haram.’ (HR. Muslim dan Abu Dawud serta Nasa'i)
7. Fi sabilillah, yakni untuk jihad (perang) dan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk jihad, seperti pembentukan pasukan, pendirian pabrik-pabrik dan industri
senjata.
Dari Abi Sa'id, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
18
‘Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali orang kaya yang (berjihad) fi
sabilillah….’
Dalam riwayat lain disebutkan ‘ … atau bagi prajurit yang berperang fi sabilillah….’
8. Ibnu Sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal (uang) di perjalanan menuju
negerinya. Dia diberi zakat dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan perjalanan hingga tiba ke negerinya (kampung halamannya),
berapapun besarnya, meskipun di negerinya itu ia termasuk orang kaya, karena
sabda Rasulullah saw:
‘Zakat tidak dihalalkan untuk orang kaya, kecuali orang kaya yang (berjihad) fi
sabilillah, atau ibnu sabil, …’
Zakat hanya diberikan kepada delapan ashnaf yang telah disebutkan dalam
ayat di atas. Zakat tidak dikeluarkan untuk mendirikan masjid, rumah sakit, sarana
umum atau salah satu kepentingan negara maupun umat. Sebab, zakat itu milik
khusus delapan ashnaf, tidak ada yang bisa digabungkan dengan mereka.
Khalifah berwenang mempertimbangkan penyaluran zakat kepada delapan
golongan ini, berdasarkan prioritas. Rasulullah saw dan para Khalifah telah
melakukan hal ini. Khalifah boleh membagikan zakat kepada seluruh golongan
tersebut, atau membatasi pemberian zakat kepada sebagian golongan sesuai dengan
pertimbangannya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan golongan tersebut.
Apabila tidak ditemukan orang yang berhak menerima zakat (dari 8 golongan
itu), maka zakat disimpan di baitul mal pada pos zakat, yang akan digunakan ketika
dibutuhkan. Dari Ibnu Abbas ia berkata tentang zakat: ‘Jika engkau memberikan
zakat hanya kepada salah satu dari delapan golongan, maka Allah akan memberikan
pahala kepadamu’. Hal ini juga dikatakan oleh Atha', Hasan dan Malik, yang berkata:
‘Kami sependapat bahwa pembagian zakat tidak lain merupakan ijtihad dari wali.
Golongan mana saja yang memiliki kebutuhan dan sebesar apapun kebutuhan itu,
diprioritaskan kepada golongan tersebut sesuai kebutuhan menurut pendapat wali.
II. PEMBAHASAN
Sebelum menentukan apakah zakat profesi disyariatkan atau tidak oleh Islam,
terlebih dahulu harus dipahami bahwa zakat adalah ibadah yang telah ditetapkan tata
caranya oleh syariat (Tawqifiyah), baik yang berhubungan dengan syarat-syaratnya,
pihak yang wajib menunaikan (Muzakki) serta yang berhak menerima (Mustahiq), jenis
benda yang wajib dizakati, kadar, dan cara-cara pendistribusiannya. Syariat Islam
telah menetapkan jenis-jenis binatang yang wajib dizakati, misalnya sapi, kambing,
domba, dan onta; maupun yang tidak wajib dizakati semacam unggas (burung, dan
ayam), udang, jengkerik, belut dan sebagainya; meskipun dipelihara dalam jumlah
yang besar. Syariat juga telah menetapkan jenis-jenis tanaman yang wajib dizakati,
19
dan mana yang tidak wajib dizakati. Tidak ada zakat untuk fakihah (buah-buahan),
sayur mayur, terung, lobak dan lain sebagainya. [Lihat Dr. Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-
Islamiy Adillatuh)
Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat
kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah persik dan
delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah kurma. Umar
membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya, sebab, itu termasuk
pohon berduri.[Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, bab zakat]
Untuk itu, para ‘ulama terdahulu beristinbath, bahwa jika tidak ada nash sharih yang
menyatakan benda ini, hewan ini, atau tumbuhan ini wajib dizakati, mereka tidak menzakati
benda, tumbuhan, maupun hewan tersebut. Dengan kata lain, tidak ada zakat pada jenis
benda yang tidak ditetapkan oleh syariat. Jika seseorang menetapkan bahwa benda ini,
tumbuhan ini, atau hewan ini harus dizakati, sedangkan syara’ tidak menetapkannya, sungguh
ia telah mensejajarkan dirinya dengan Sang Pembuat Hukum (syaari’) itu sendiri.
mereka. Padahal, pada saat itu, profesi pegawai negara, misalnya qadliy (hakim), pencatat,
dokter, dan sebagainya sudah ada, baik sejak zaman shahabat hingga masa tabi’iin. Namun,
tidak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw menarik zakat berdasarkan
profesi mereka, misalnya profesi petani, nelayan, dokter, dan sebagainya. Bahkan, sikap
generasi awal-awal Islam menolak pemungutan zakat jika jenisnya tidak ditentukan oleh nash
syara’.
Mereka juga tidak pernah berdalil dengan alasan keadilan dan kesetaraan, apalagi
berdalil bahwa hasil dari hewan ini, atau tumbuhan ini, atau profesi ini lebih besar, sehingga
tidak adil jika tidak dikeluarkan zakatnya. Sebab, alasan-alasan semacam ini hanya lahir dari
hawa nafsu, bukan dari akal yang dibimbing oleh syariat Islam. Perhatikan riwayat-riwayat
ini:
Atsram meriwayatkan, bahwa seorang pejabat pada masa Umar mengirim surat
kepadanya tentang kurma, dimana dinyatakan oleh pejabat itu bahwa buah persik dan
delima lebih banyak dan berlipat ganda hasilnya daripada buah kurma. Umar
membalas surat itu, bahwa tidak dipungut zakat dari padanya, sebab, itu termasuk
pohon berduri.[Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah, bab zakat]
Dari riwayat-riwayat ini bisa diketahui, bahwa para shahabat tidak pernah memungut
zakat dari sesuatu yang tidak ditentukan nashnya secara jelas, meskipun hasilnya berlimpah
ruah, atau berlipat ganda. Ayam yang dipelihara dalam jumlah ribuan bahkan jutaan, tidak
boleh dipungut zakatnya. Sebaliknya, kambing yang jumlahnya 50 ekor harus ditarik
zakatnya.
Sayangnya, seiring dengan dominasi system ekonomi kapitalis di dunia Islam, ada
sebagian kaum Muslim yang berusaha melawan dominasi itu dengan cara-cara yang salah dan
tidak Islamiy. Misalnya, sebagian orang ngotot mewajibkan zakat profesi dengan alasan,
hasilnya bisa digunakan untuk mendanai dan menyokong perjuangan Islam. Ada pula yang
beralasan, jika pemerintah saja mewajibkan pajak penghasilan, mengapa kaum Muslim tidak
mewajibkan pula zakat profesi?
Atas dasar itu, persoalan ini (zakat profesi) harus dikaji kembali secara mendalam
berdasarkan al-Quran dan hadits, agar tersingkap dengan jelas, mana yang benar dan mana
yang salah.
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak yang mewajibkan zakat profesi, adalah :
1. Berhujjah dengan apa yang disebut dengan maal al-mustafaad (harta pendapatan yg
baru dimiliki). Mereka menyatakan bahwa terhadap maal al-mustafad harus dizakati
sebesar 1/40 (2,5%) begitu diterima. Mereka juga menyandarkan pada pendapat-
pendapat para shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah; sebagian
tabi’in misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-Bashriy.
2. Mereka juga mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat uang dan harta, bahkan ada
pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka beralasan, jika petani
saja harus mengeluarkan zakat ketika panen, sedangkan hasilnya tidak seberapa
dibanding profesi seorang dokter, insinyur, dan lain-lain, maka betapa tidak adilnya
jika zakat profesi tidak disyariatkan.
b. Seandainya status hadits tentang maal al-mustafaad tidak perlu dipersoalkan, maka
al-maal al-mustafaad yang tersebut di dalam hadits-hadits tersebut tidak seketika
diambil zakatnya ketika diterima, akan tetapi berbicara pada konteks yang lain; yakni
ketika telah sampai nishab dan haul. Adapun hadits yang digunakan hujjah dalam
masalah maal al-mustafad adalah sebagai berikut:
Pertama, Hubairah bin Yaryam berkata, “’Abdullah bin Mas’ud telah memberi
kami sebuah baju, kemudian ia mengambil zakat dari baju itu.” [Abu ‘Ubaid, al-
Amwal, hal.504]
Kedua, dari Yazid dari Hisyam bin Hisaan dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas,
dituturkan bahwasanya ‘Ikrimah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang seorang laki-laki
yang memperoleh harta (al-maal al-mustafaad). Ibnu ‘Abbas berkata, “Ia harus
mengeluarkan zakat saat ia menerimanya.”
Terhadap hadits yang pertama, Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal menyatakan,
“Menurut saya, berdasarkan hadits riwayat dari Abu Bakar dan ‘Utsman, maka
22
maksud dari riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud ini adalah keduanya memungut zakat
tatkala harta tersebut telah wajib dizakati sebelum pemberian, bukan tatkala
seseorang itu menerima pemberiannya.”
Pengertian semacam ini ditunjukkan oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Mas’ud sendiri: “Siapa saja yang menerima harta (maal –mustafad) maka
tidak ada zakat di dalamnya hingga mencapai haul.”[Imam Dzahabi mengomentari
hadits ini, bahwa di dalam isnadnya terdapat Khusaif bin ‘Abdurrahman al-Jazariy al-Haraniy
Abu ‘Aun salah seorang mawaliy Bani Umayyah; dan ia dilemahkan oleh Imam Ahmad. Namun,
Ibnu Mu’in berkata ia adalah laki-laki yang baik dan terpercaya]
Dari komentar Abu ‘Ubaid di atas bisa disimpulkan, bahwa maal al-mustafaad
yang termaktub dalam riwayat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lain-lainnya, tidak serta
merta ditarik zakatnya ketika diterima, akan tetapi ketika telah mencapai nishab dan
haul.
Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal menuturkan beberapa riwayat tentang al-maal
al-mustafad yang selalu dikaitkan dengan haul.
Ashim bin Dlamrah dari Ali ra, bahwanya ia berkata, “Tidak ada zakat bagi al-
maal al-mustafad hingga ia mencapai haul (tersimpan selama satu tahun).”[HR. Abu
Dawud, Imam Ahmad, dan al-Baihaqiy]
23
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Nafi’ dari Ibnu ‘Umar.[HR. Daruquthniy dan
Ibnu Abi Syaibah]. Riwayat senada juga dituturkan oleh Qatadah dari Jabir bin Zaid dari
Ibnu ‘Umar. [Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal.503-504]
Riwayat senada juga diketengahkan oleh Mohammad bin Abu Bakar. Dalam
riwayat lain dituturkan, bahwasanya Ibnu Abi Salamah meriwayatkan dari ‘Umar bin
Husain dari ‘Aisyah anak perempuan dari Qudamah bin Madzmuun, perempuan itu
berkata, “’Ustman bin ‘Affan jika mengeluarkan pemberian, ia mengirimnya kepada
bapakku. Kemudian ia berkata, “Jika kamu memiliki harta yang wajib dizakati, maka
kami akan membuat perhitungan dari pemberianmu.”
Benar, ada beberapa harta yang diperselisihkan para ulama mengenai syarat
haulnya. Ada harta-harta tertentu yang penarikan zakatnya dilakukan begitu diterima,
tanpa harus menunggu haul. Namun ada pula, yang harus menungguh hingga mencapai
nishab dan haul. Contoh harta yang tidak mensyaratkan adanya haul adalah, zakat
pertanian, rikaz, dan barang temuan. Namun, ini tidak berarti, bahwa kebolehan zakat
profesi –tanpa syarat haul— harus diakui karena ulama berselisih pendapat tentang
syarat haul. Tidak boleh dinyatakan demikian. Sebab, tidak ada satupun dalil yang
menunjukkan bahwa untuk maal al-mustafaad langsung bisa ditarik ketika diterima,
akan tetapi harus menunggu haul dan nishab –kami telah memaparkan seluruh dalil
tentang maal mustafad yang dikaitkan dengan nishab dan haul.
Adapun riwayat-riwayat lain yang menyanggah pendapat Qaradlawiy adalah sebagai berikut.
24
Dari Mukhaariq, dituturkan bahwa Thaariq telah berkata, “Pada masa ‘Umar
harta pemberian-pemberian kami tidak dikeluarkan zakatnya, hingga kami
mengeluarkan zakatnya.”
Abu ‘Ubaid berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa zakat tidak diambil dari
pemberian kecuali harta yang telah dimiliki oleh mereka. Seandainya pemberian itu
harus dizakati, tentunya Umar akan mengambil zakat darinya.” [Abu ‘Ubaid, al-
Amwaal, hal.505]
c. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan dengan sharih tentang wajibnya zakat profesi,
maka seorang muslim tidak boleh menetapkan adanya zakat profesi. Seorang muslim
tidak boleh berpandangan, bahwa tidak disyariatkannya zakat profesi adalah bentuk
ketidakadilan dan kedzaliman. Sebab, petani yang pendapatannya tidak seberapa tetap
dikenai zakat ketika panen, sedangkan dokter, insinyur dan profesi lain ‘yang tidak
terlalu berat” dibandingkan profesi petani justru tidak ditarik zakatnya. Mungkin kita
bisa memberikan ilustrasi yang serupa untuk menangkis syubhat ini. Rasulullah saw
telah menarik zakat dari unta, sapi, kerbau, kambing dan domba; namun beliau tidak
menarik zakat pada kuda, keledai, baghal, dan sebagainya. Rasulullah saw bersabda,
“Telah maafkan bagimu mengenai kuda dan hamba sahaya, dan tidak wajib zakat pada
keduanya.”[HR. Ahmad dan Abu Dawud]. Tentunya kita tidak mungkin berfikiran,
“mengapa peternak domba ditarik zakatnya sedangkan peternak kuda atau keledai tidak
ditarik, bukankah ini tidak adil? Jika kita berfikiran seperti ini, berarti kita telah
menyangsikan keadilan hukum yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya.
d. Adapun pengqiyasan antara zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, maupun zakat
maal, adalah tertolak. Sebab, tidak ada ‘illat dalam zakat hasil pertanian, sehingga
layak untuk diqiyaskan pada profesi selain petani. Adapun mengenai ‘illat (alasan
hukum) adanya keadilan dan kesetaraan, sesungguhnya ‘illat semacam ini tidak bernilai
sama sekali untuk membangun hujjah. Sebab, ‘illat yang absah digunakan untuk qiyas
adalah ‘illat syar’iyyah, bukan ‘illat ‘aqliyyah. Padahal, tidak ada satupun dalil yang
menunjukkan bahwa ‘illat zakat adalah untuk kesetaraan dan keadilan. Selain itu,
zakat hasil pertanian tidak boleh diqiyaskan dengan zakat profesi karena petani harus
mengeluarkan zakat tatkala ia memanennya. Pendukung zakat profesi menyatakan,
bahwa saat panen sama dengan saat gajian, jadi seorang dokter ketika gajian harus
ditarik zakatnya juga. Sesungguhnya qiyas semacam ini adalah qiyas serampangan yang
didasarkan pada hawa nafsu belaka. Sesungguhnya, nash yang berbicara tentang zakat
hasil pertanian tidak mengandung ‘illat sama sekali, sehingga layak digunakan dalil
untuk qiyas. Perhatikan firman Allah swt, “Keluarkanlah zakat biji makanan itu pada
hari panennya.”[al-An’aam:141]. Nash ini berbicara pada konteks khusus, yakni zakat
biji makanan, dan tidak berbicara pada aspek yang lain. Oleh karena itu, hukumnya
hanya berlaku pada konteks biji makanan, dan tidak boleh dianalogkan dengan yang
lain. Selain itu, nash ini tidak menunjukkan adanya ‘illat sama sekali. Padahal syarat
utama qiyas adalah adanya ‘illat. Lantas, apa bisa kita mengqiyaskan sesuatu yang tidak
ada ‘illatnya?
Dengan demikian, zakat profesi adalah bentuk baru yang tidak pernah dikenal
baik di zaman Rasulullah, shahabat, maupun ulama-ulama terkenal. Bahkan, mereka
tidak pernah menyinggung masalah ini dalam kitab-kitab fiqh mereka. Ini menunjukkan
bahwa zakat profesi tidak pernah disyariatkan di dalam Islam. Wallahu A’lam bi al-
shawab.
25