Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PENNDIDIKAN INDONESIA

A. Pendidikan Masa Sebelum Kolonialisme

1. Pendidikan Hindu-Budha
Pendidikan pada zaman keemasan Hindu-Budha yang berlangsung antara abad ke-14 hingga
abad ke-16 masehi. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di nusantara, sistem
pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di biara-biara atau pedepokan. Pada
perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan
ilmu pengetahuan yang meliputi sastra, bahasa, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, dan hukum.
Kerajaan-kerajaan hindu di tanah jawa banyak melahirkan empu dan pujangga besar yang melahirkan
karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa, itu pendidikan mulai tingkat dasar hingga tingkat
tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama. Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar
dengan jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke 16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam
kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.

2. Pendidikan Islam
Pendidikan berlandaskan ajarna Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat
India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui kontak teratur
dengan para pedagang asal Sumatra dan Jawa. Ajaran islam mula-mula berkembang di kawasan
pesisir, sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat. Didapati pendidikan agama Islam di masa
prakolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan di pesantren, dan pendidikan di
madrasah.

3. Pendidikan Katolik dan Kristen-Protestan


Pendidikan Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang
menguasai malaka. Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa, mereka menyusuri
pulau-pulau Ternate, Tidore, Ambon, dan Bacan. Dalam pelayarannya itu, mereka selau disertai
misionaris Katolik-Roma yang berperan ganda sebagai penasihat spiritual dalam perjalanan yang jauh
dan penyebar agama di tanah yang didatanginya. Kemudian Belanda menyebarkan agama Kristen-
Protestan dan mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.

B. Pendidikan pada Masa Kolonialisme (Penjajahan)

1. Masa Penjajahan Belanda

Secara umum sejarah pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya baru dimulai pada awal abad
ke-20 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan Technische Hogeschool (THS) di Bandung pada
tahun 1920. Namun demikian cikal bakal pendidikan tinggi di Indonesia sudah disemai oleh
pemerintah kolonial pada pertengahan abad ke-19 dengan didirikannya School tot Opleiding voor
Indische Arsten(STOVIA), sebuah lembaga pendidikan dokter Jawa di Batavia. Lembaga pendidikan
tersebut untuk sementara mengambil alih peran yang mestinya dimainkan oleh lembaga pendidikan
tinggi, mengingat STOVIA ketika pertama kali didirikan tidak lebih dari sekolah menengah untuk
mendidik menjadi medisch vaccinateur (juru cacar) dengan masa pendidikan hanya dua tahun.
STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan pendidikan tinggi baru pada
tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun dan lulusannya diberi gelar Inlandsche Arts (Dokter
Bumiputera). Pada periode berikutnya didirikan pula Sekolah Hukum untuk golongan
Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtkundigen) pada tahun 1909 di kota yang sama, dan
sekolah dokter di Surabaya pada tahun 1913 yang diberi nama Nederlandsch Indische Arsten
School (NIAS) dengan masa studi tujuh tahun.

Dengan berdirinya STOVIA dan NIAS maka di Indonesia telah ada dua lembaga pendidikan
tinggi bidang kedokteran yang dikelola oleh pemerintah kolonial. Adalah menarik mengapa cikal-
bakal perguruan tinggi di Indonesia adalah lembaga pendidikan kedokteran bukan lembaga pendidikan
teknik atau pendidikan hukum. Hal ini terkait erat dengan persepsi orang-orang Barat yang tinggal di
Indonesia pada waktu itu yang memandang bahwa alam Indonesia dan perilaku keseharian masyarakat
merupakan sumber penyakit. Indonesia yang berada di wilayah tropis merupakan lahan yang subur
untuk berkembangbiak penyakit. Di samping itu perilaku sehari-hari masyarakat juga amat tidak sehat.
Rumah-rumah dibuat dari bahan seadanya seperti dari anyaman bambu dan atap dari ilalang yang
merupakan tempat yang amat disenangi oleh tikus. Buang air besar juga dilakukan di sembarang
tempat yang tentu saja menjadi media yang efektif untuk penyebaran penyakit. Perilaku masyarakat
yang amat tidak sehat dan kondisi alam tropis yang amat lembab dengan curah hujan yang tinggi
menjadi media yang efektif untuk terjangkitnya wabah penyakit. Kondisi semacam ini amat
menakutkan penduduk Eropa di yang tinggal Indonesia.[1]

Berbagai usaha dilakukan agar mereka tidak tertular berbagai penyakit tropis. Maka
didirikanlah perguruan kedokteran sehingga lulusannya diharapkan dapat berperan aktif dalam
mencegah timbulnya berbagai penyakit. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pendirian
lembaga pendidikan kedokteran pada awalnya adalah semata-mata untuk kepentingan masyarakat
Eropa. Pengobatan dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat pribumi pada waktu itu pada
hakekatnya adalah untuk menangkal agar penyakit tidak menjalar dan menjangkiti masyarakat Eropa.

Ketika kebutuhan akan tenaga medis semakin tinggi, maka pemerintah kolonial bermaksud
untuk memperluas pendidikan dokter tidak hanya di Batavia tetapi juga di Surabaya. Gagasan ini
muncul pada tahun 1911 yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menambah jumlah dokter  serta
mempertimbangkan laporan-laporan bahwa sistem pendidikan dokter yang selama ini berjalan perlu
mendapat perbaikan.[2] Namun upaya pengembangan tersebut sempat ditentang oleh dokter-dokter
Eropa lulusan negeri Belanda. Menurut mereka pendirian lembaga pendidikan kedokteran bagi
pribumi dan golongan Indo tidak akan menghasilkan dokter yang cakap. Ketika NIAS akan didirikan
di kota Surabaya para dokter Eropa di Indonesia yang tergabung dalam Bond van
Geneesheers mencela maksud pemerintah itu melalui buletin yang dikeluarkan oleh perkumpulan itu
pada bulan September 1912. Mereka mengatakan bahwa golongan Bumiputra tidak cakap dalam
bekerja dan cenderung malas. Golongan Bumiputra dianggap enggan jika pekerjaannya hendak
diperiksa karena hasil pekerjaannya itu memang tak tahan uji dan kritik. Jarang sekali didapati sifat
kemauan yang teguh pada mereka kecuali kemauan di dalam perkara melakukan segala kejahatan. Tak
ada suatu kebaikan yang boleh diharapkan dari pihak mereka.[3]
Sebuah sindiran yang amat kasar dari dokter-dokter Eropa terhadap kelompok masyarakat
Indo di Indonesia. Kutipan di atas juga menyiratkan bahwa pada masa kolonial pembentukan berbagai
lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi didasarkan atas sentimen
rasial dan berdasarkan status sosial.[4] Walaupun muncul kritik yang sangat tajam dari perkumpulan
dokter Eropa namun pada tahun 1913 pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan sekolah
tinggi kedokteran di kota Surabaya yang diberi nama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS).
Pada awal berdirinya lembaga pendidikan dokter ini dipimpin oleh Dr. A.E. Sitsen yang berasal dari
STOVIA Batavia.[5]

            Sebagai bagian dari sistem kolonial, pendidikan pada periode ini bersifat elitis dan hanya
menyentuh kalangan terbatas. Golongan Bumiputra yang tersentuh sistem pendidikan hanya terbatas
pada kelompok aristokrat, yaitu kelompok yang secara aktif dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial
untuk melanggengkan kekuasaannya dan sebagai alat untuk mengesploitasi kekayaan bumi Indonesia.
Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa bersentuhan dengan sistem pendidikan modern hanya pada
level tertentu saja yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melakukan mobilitas vertikal
secara maksimal. Eskploitasi kolonial yang berbasis pada kekuasaan tradisional telah memaksa
pemerintah kolonial untuk memberdayakan keluarga-keluarga penguasa tradisional melalui saluran
pendidikan modern. Mereka sadar bahwa anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan
tradisional suatu saat akan menjadi bagian dari kelompok yang akan memperlancar usaha-usaha
pemerintah kolonial untuk mengelola negara jajahan yang sedang mereka usahakan.

            Gagasan awal berbagai sekolah khususnya pembukaan lembaga pendidikan tinggi oleh
pemerintah kolonial adalah sebuah kebijakan pendidikan yang “melayani kepentingannya sendiri.”
Dengan kebijakan ini maka tercipta pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara minoritas kecil
pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga papan atas atau keluarga aristokrat dan sebagian
besar pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga biasa. Secara kasat mata pembukaan THS
pada tahun 1920 di kota Bandung adalah implementasi dari kebijakan untuk melayani kepentingannya
sendiri tersebut. Persis dengan kebijakan pembukaan lembaga pendidikan dokter di Indonesia,
sebelum THS berdiri kebutuhan akan tenaga teknik terdidik yang diperlukan untuk membangun
berbagai infrastruktur fisik yang mendukung kekuasaan kolonial di Indonesia disuplai dari lulusan
pendidikan teknik di Eropa khususnya dari negeri Belanda. Namun dengan meletusnya Perang Dunia
Pertama hubungan antara negeri belanda dengan Indonesia menjadi tersendat-sendat. Hal tersebut
menyulitkan pengiriman tenaga teknik terdidik ke Indonesia serta sebaliknya, sulitnya mengirim
lulusan sekolah menengah di Indonesia ke negeri Belanda untuk dididik di perguruan teknik di negeri
induk tersebut. Akibatnya pemerintah dan industri mengalami kesulitan yang berat dan tidak dapat
berfungsi dengan lancar. Kondisi tersebut telah menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa
Indonesia harus memiliki lembaga pendidikan sendiri dan dengan demikian pula akan meningkatkan
kehidupan intelektual di negeri ini.

            Upaya untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia bukan hal yang mudah,
walaupun hal tersebut bertujuan untuk melengkapi sistem kolonial yang sedang berjalan. Pada awal
abad ke-20 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia “belum matang” untuk berdirinya
suatu perguruan tinggi karena belum memiliki sekolah menengah yang memadai yang merupakan
sumber murid yang potensial yang akan didik di perguruan tinggi. Ada pula keragu-raguan apakah
orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat, sekalipun
orang Indonesia telah menujukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai gelar akademis berkaitan
dengan prestasi yang diraih oleh para lulusan STOVIA.

            Di balik keraguan tersebut pemerintah tetap berusaha untuk mewujudkan dibentuknya
perguruan tinggi teknik karena didesak keadaan bahwa kebutuhan akan tenaga teknik terdidik harus
segera dipenuhi. Pada tahun 1918 dibentuk Technisch Onderwijs Commissie, suatu panitia pendidikan
teknik yang bertugas memberikan saran-saran kepada pemerintah tentang cara mengatasi kebutuhan
pendidikan teknik lanjutan. Panitia ini diketuai oleh J.CH. de Vooght, seorang pensiunan mayor
jenderal dan anggotanya antara lain kepala-kepala dinas pemerintahan, seperti kepala irigasi,
pertambangan, tenaga air, listrik, kereta api, kepala-kepala pabrik, wakil departemen pengajaran,
kepala sekolah teknik menengah, dan inspektur sekolah menengah. Dalam peremian panitia ini
gubernur jenderal menegaskan bahwa panitia ini dapat mulai bekerja dengan anggapan bahwa
perlunya pendidikan teknik tinggi, dan tugas panitia ini adalah mencari jalan terbaik untuk
mewujudkannya. Pada tahun 1920 sebuah perguruan teknik tinggi pun berhasil didirikan di Bandung
dengan nama Technische Hogeschool (THS). Lembaga pendidikan teknik ini menjadi lembaga
pendidikan tinggi pertama yang berdiri di Indonesia dengan kurikulum perguruan tinggi dan
menghasilkan lulusan seorang engineer. Perguruan tinggi yang hanya memiliki satu jurusan yaitu de
afdeeling der Weg en Waterbouw tersebut pada tahun 1924 secara resmi diambilalih pengelolaannya
oleh pemerintah dengan status sebagai perguruan tinggi negeri. Pada tahun yang sama Sekolah Hukum
untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtskundigen) juga dinaikan statusnya
menjadi Sekolah Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool). Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16
Agustus 1927 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige
Hogeschool) yang merupakan kelanjutan dari STOVIA.

            Berdirinya lembaga pendidkan tinggi di Indonesia pada awal abad ke-20 tidak bisa dipisahkan
dengan lahirnya kebijakan Politik Etis yang awalnya disuarakan oleh para pendukung Van Deventer di
negeri Belanda. Ia yang dengan lantang menggemakan ide tentang “Hutang Kehormatan” kemudian
disauti oleh pidato Ratu Belanda bahwa Nederland mempunyai kewajiban moral untuk memenuhi
terhadap penduduk di Indonesia. Kemerosotan kesejahteraan harus diatasi dengan sebuah perhatian
khusus. Politik Etis menentang politik eksploitasi materialistis pada masa silam dan harus
menggantinya dengan sikap laissez faire yang lebih manusiawi. Politik ini menonjolkan kewajiban
moral bangsa yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Dengan
mengatasnamakan Politik Etis sekolah-sekolah dibuka untuk mengimplementasikan ide-ide yang
dilahirkan oleh Van Deventer. Pendidikan dan emansipasi menjadi inti dari Politik Etis. Pendidikan di
Indonesia harus juga diarahkan kepada tujuan untuk membebaskan rakyat secara berangsur-angsur
dari ketidakmatangan yang dipaksakan agar mandiri di atas kaki sendiri.

            Namun sejatinya gagasan Politik Etis tidak pernah bisa berjalan sebagaimana dibayangkan oleh
para pengagasnya. Lembaga pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai implementasi dari gagasan besar
Politik Etis tidak pernah menemukan momentumnya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara
luas. Para alumni perguruan tinggi yang dihasilkan pada periode ini alih-alih akan menjadi penuntun
rakyat Indonesia menuju kesejahteraan yang diidam-idamkan oleh para pengagas ide besar tersebut,
justru pada kenyataannya sebagian besar menjadi bagian dari sistem yang berjalan atas kehendak para
pemodal asing. Pendidikan tinggi pada kenyataannya berfungsi untuk menopang kekuasaan kolonial
yang disangga oleh para pemodal swasta. Namun demikian masih terdapat celah dari sistem
pendidikan yang sepenuhnya dimodali dan dipupuk oleh semangat kolonialisme. Celah tersebut
tumbuh dan membesar dari para mahasiswa yang sadar bahwa di pundak mereka cita-cita
kemerdekaan Indonesia disandarkan. Pada periode ini gagasan kesadaran berbangsa tumbuh dari
persemaian pendidikan tinggi yang disirami oleh semangat kebebasan yang mulai tumbuh. Dari
STOVIA lahirlah Budi Utomo yang dipelopori oleh salah seorang siswanya, Soetomo (Dr.), dari THS
lahirlah Soekarno (Ir.) yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia yang menuntun bangsa ini
menuju kemerdekaan.

             Celah sempit yang terbuka di pendidikan tinggi yang lahir dari rahim Politik Etis pada
gilirannya menjadi pintu besar yang membuka kesadaran baru rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan
harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dengan kelompok intelektual dari perguruan
tinggi sebagai intinya. Konsepsi ini kemudian menjadi pembenar bahwa perjuangan melawan penjajah
pada periode awal yang menekankan pada perlawanan fisik tidak cukup efektif tanpa keterlibatan
kelompok intelektual yang dibina di lembaga pendidikan tinggi, karena dari kelompok inilah
kesadaran untuk membangun bangsa yang modern lahir.

            Gagasan pergerakan nasional yang lahir di lembaga pendidikan tinggi jika dilihat dari
perspektif kolonial merupakan sebuah anomali karena gagasan awal didirikannya pendidikan tinggi di
Indonesia adalah dalam rangka menopang kekuasaan kolonial itu sendiri. Namun dengan semakin
banyaknya mahasiswa yang dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi awal tersebut telah melahirkan
kesadaran bahwa kesejahteraan rakyat, yang pada awalnya menjadi landasan berdirinya berbagai
lembaga pendidikan di Indonesia, tidak kunjung tiba. Hal ini terjadi karena Politik Etis menyajikan
slogan yang indah untuk menutupi metode-metode ekpsloitasi modal raksasa. Secara perorangan
mungkin bersikap etis terhadap bangsa Indonesia, akan tetapi perusahaan tidak didasarkan atas motif
etis melainkan motif ekonomis.

            Pendirian berbagai perguruan tinggi pada masa kolonial pada gilirannya justru membuka kotak
pandora. Hal tu disebabkan karena pendidikan tinggi yang berorientasi Barat, walaupun terbatas pada
golongan kecil terutama dari golongan aristokrat tradisional dan dimaksud untuk menghasilkan
pegawai, pada gilirannya telah menimbulkan elit intelektual baru. Elit inilah yang kemudian menjadi
juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Pendidikan tinggi yang pada awalnya dipenuhi
gagasan asimilasi untuk mendekatkan bangsa Belanda dan Indonesia pada kenyataannya justru
menjauhkan mereka.

2. Masa Kependudukan Jepang

           Meskipun singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang


memberikan corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa, Jepang
segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas penggolongan menurut
bangsa dan status sosialnya. Tingkat sekolah terendah adalah Sekolah Rakyat (SR), yang terbuka
untuk semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial dan asal-usulnya.
Kelanjutannya adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama tiga tahun, kemudian Sekolah
Menengah Tinggi (SMT) selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan, yaitu Sekolah
Pertukangan, Sekolah Menengah Teknik Menengah, Sekolah Pelayaran, dan Sekolah Pelayaran
Tinggi.
Pemerintah pendudukan Jepang yang dihinggapi sikap paranoid kepada bangsa Barat
melakukan proses de-eropanisasi secara cepat. Bahasa Belanda dilarang sebagai bahasa sehari-hari
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ribuan buku referensi berbahasa Belanda dilarang
digunakan di sekolah-sekolah, dan ada kemungkinan dihancurkan, yang kemudian diganti dengan
buku-buku berbahasa Indonesia. Dilihat dari aspek pengembangan bahasa Indonesia, kebijakan
tersebut menguntungkan, namun dilihat dari aspek pengembangan ilmu pengetahuan kebijakan
tersebut sangat merugikan karena buku-buku yang dimusnahkan tidak mendapatkan gantinya yang
setara. Pada tahun 1942 semua perguruan tinggi yang ada di Indonesia ditutup untuk beberapa saat,
sampai kemudian dibuka kembali dengan corak yang amat berbeda. Jaman pendudukan Jepang di
Indonesia memperlihatkan gambaran buruk mengenai bidang pendidikan dan pengajaran jika
dibandingkan dengan periode sebelumnya.

            Pembukaan kembali beberapa perguruan tinggi di Indonesia dilakukan pada tahun 1943
setelah kurang lebih satu tahun pemerintah pendudukan Jepang berkuasa. Seperti halnya
pemerintah kolonial Belanda, tujuan pembukaan kembali perguruan tinggi oleh Jepang juga dalam
rangka mobilisasi kaum terdidik untuk mendukung perang yang dibayangkan akan berakhir dengan
bersatunya kawasan Asia dibawah pimpinan Jepang. Beberapa perguruan tinggi yang dibuka pada
periode ini antara lain Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta yang merupakan
kelanjutan dari Geneeskundige Hogeschool dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di
Bandung yang merupakan kelanjutan dari Technische Hogeschool. Di samping itu Jepang juga
membuka pula Akademi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta, yang mirip dengan lembaga
serupa pada masa kolonial Belanda yang disebut OSVIA, serta membuka Perguruan Tinggi
Kedokteran Hewan di Bogor.

            Pembukaan kembali lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memiliki aspek strategis bagi
pemerintah pendudukan Jepang. Menurut Jepang melalui lembaga pendidikan akan dibentuk kader-
kader untuk mempelopori dan melaksanakan konsepsi “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”.
Adapun keberhasilan konsepsi tersebut sangat tergantung kepada kemenangan dalam “Perang Asia
Timur Raya”. Oleh karena itu segala usaha harus ditujukan kepada memenangkan perang itu. Dari
beberapa perguruan tinggi yang dibuka tersebut yang nampak menonjol peranannya pada periode
ini adalah Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku). Tradisi “memberontak” yang sudah
berlangsung di lembaga pendidikan ini pada masa kolonial Belanda nampaknya diteruskan oleh
para mahasiswa Ika Daigaku walaupun dengan corak, strategi, dan bentuk yang berbeda.

            Pemerintahan pendudukan Jepang yang sangat militeristik yang merupakan ciri dari
pemerintahan fasis merembet pula ke dalam lembaga pendidikan tinggi. Hampir tidak ada celah
sedikitpun bagi para mahasiswa untuk mengobarkan semangat nasionalisme karena para pemangku
perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dengan disiplin militer yang amat ketat. Walaupun
nampak tidak ada celah, para mahasiswa yang pernah dididik di lembaga pendidikan pada masa
kolonial Belanda tetap memiliki tak-tik dan strategi yang jitu untuk melawan pemerintah
pendudukan Jepang walaupun tidak secara terang-terangan, alias perlawanan dari bawah tanah.
Dinamika perlawanan bawah tanah oleh kelompok intelektual dari perguruan tinggi pada masa
pendudukan Jepang telah menciptakan mitos tentang Kelompok Mahasiswa Prapatan 10 yang
legendaris. Kelompok tersebut menjadi pelopor perlawanan mahasiswa terhadap aturan
penggundulan rambut bagi mahasiswa Ika Daigaku yang dirasakan sangat menghina martabat
bangsa Indonesia. Walaupun perlawanan tersebut kurang bergema secara nasional, namun gerakan
dalam celah yang amat sempit itu telah menjadi sebuah simbol tentang perlunya membela martabat
bangsa di tengah sistem pemerintahan militer yang amat represif.

Perlawanan mahasiswa pada masa pendudukan Jepang tidak pernah terlembaga dengan baik serta  
mampu mengobarkan semangat nasionalisme yang terlembaga pula. Namun demikian sistem
pendidikan yang dikembangkan pada periode ini pada gilirannya akan berperan penting bagi
periode sesudahnya, yaitu periode  kemerdekaan, terutama menyangkut sumber daya manusia yang
berhasil digodok di perguruan tinggi pada waktu itu walaupun hanya dalam waktu yang relatif
singkat. Alumni perguruan tinggi periode Jepang menjadi generasi yang siap mengendalikan roda
pemerintahan yang masih sangat baru. Hal tersebut tidak saja karena mereka dibekali dengan
dengan ilmu kemiliteran yang sangat penting pada periode awal kemerdekaan, namun yang paling
penting adalah karena mereka merupakan generasi yang paling dekat dengan kemerdekaan
Indonesia. Beberapa tokoh penting yang lahir dari rahim perguruan tinggi periode Jepang,
utamanya dari Ika Daigaku antara lain adalah Soedjatmoko, Mahar Mardjono, Hasan Sadikin,
Soedarpo Sastrosatomo, dan lain-lain yang masing-masing memiliki peranan yang amat besar pada
masa awal kemerdekaan.

            Di tengah-tengah pusaran pemerintahan Jepang yang militeristik dan amat menekan
sekelompok orang dari golongan Islam mencoba memanfaatkan situasi yang sedikit longgar untuk
memikirkan pendidikan tinggi yang lebih bercorak Indonesia dan mengajarkan nilai-nilai Islam.
Hubungan antara ummat Islam dengan pemerintah pendudukan Jepang pada waktu itu dapat
dikatakan cukup baik, karena pemerintah pendudukan Jepang nampaknya ingin mengambil hati
kelompok ini untuk membela kepentingan mereka. Jepang membiarkan, atau bahkan mendukung,
ketika gabungan organisasi-organisasi Islam di Indonesia mendirikan Madjelis Sjoero Moeslimin
Indonesia yang disingkat Masjoemi, yang merupakan kelanjutan dari Majlis Islam A’la Indonesia
(MIAI) yang dibubarkan pada tahun 1943.

            Pada tanggal 1 April 1945, beberapa bulan menjelang Jepang bertekuk lutut, tokoh-
tokoh Masjoemi berhasil merealisasikan pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang berkedudukan
di Jakarta. STI merupakan perguruan tinggi swasta pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia.
Pada masa-masa awal mahasiswa STI bukan hanya dari kalangan Islam saja, karena beberapa
orang mahasiswa ternyata beragama Protestan. Perubahan lain yang sangat berarti bagi Indonesia di
kemudian hari ialah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan
kantor-kantor pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sejak saat itu,
bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi ilmiah.
Tujuan pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk mendukung pendudukan Jepang dengan
menyediakan tenaga kerja kasar secara cuma-Cuma yang dikenal dengan romusha.

3. Masa Agresi Militer Belanda l

  Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut setelah dua kota penting, Hiroshima
dan Nagasaki, dijatuhi bom atom oleh Sekutu. Menyusul menyerahnya Jepang, Indonesia
menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai bagian dari proses
Indonesianisasi dari semua sistem yang ada di Indonesia, pemerintah Indonesia kemudian
membubarkan Ika Daigaku dan mendirikan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia yang
berkedudukan di Jakarta. Proses pendidikan yang berlangsung di lembaga pendidikan ini
berlangsung dengan amat memprihatinkan dengan berbagai kekurangan di sana-sini. Ketika proses
pembenahan perguruan tinggi kedokteran tengah berlangsung gelombang perang muncul yang
didahului dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia. Dengan dalih ingin mengamankan
tawanan Jepang, antara bulan September dan Oktober 1945 pasukan Sekutu memasuki kota-kota
besar di Indonesia.[6] Di Jakarta pendaratan masukan Sekutu disambut dengan kontak senjata oleh
rakyat. Di mana-mana pasukan Sekutu membuat kegaduhan. Rakyat Indonesia yang mencurigai
adanya maksud tersembunyi dari pasukan Sekutu dengan menyelundupkan tentara Belanda
menjadi marah. Di mana-mana kedatangan pasukan Sekutu memunculkan peperangan. Akibatnya
kota Jakarta menjadi tidak aman.

Pada bulan Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia dipindah dari Jakarta menuju ke
Yogyakarta. Kondisi ini berpengaruh juga terhadap jalannya proses pendidikan di Perguruan
Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Agar proses pendidikan tetap berjalan, bersamaan dengan
pindahnya Ibukota Republik Indonesia maka diungsikan pula Perguruan Tinggi Kedokteran
Republik Indonesia dengan cara menyebar tempat perkuliahan di tiga kota yaitu di Solo, Klaten,
dan Malang.[7] STI yang baru beberapa bulan menyelenggarakan perkuliahan di Jakarta juga
mengikuti jejak Ibukota Republik Indonesia, memindahkan tempat perkuliahannya di Yogyakarta.
STI membuka kembali perkuliahannya pada tanggal 10 April 1946 di Dalem Pengulon Yogyakarta.

Dengan pindahnya Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta maka Jakarta berada dalam
kekuasaan pasukan Sekutu, tetapi secara de facto kota itu sebenarnya dibawah kekuasaan pasukan
Belanda. Seperti kita ketahui bersamaan dengan masuknya pasukan Sekutu ke Indonesia, masuk
pula tentara Belanda. Mereka kemudian melakukan pengoperan pemerintahan di tempat-tempat
yang telah dikuasainya. Dengan dalih untuk menghindari bentrokan-bentrokan dengan rakyat
Indonesia, maka panglima pasukan Inggris untuk Indonesia, Letnan Jenderal Sir Philip Christison
menarik pasukan Belanda lama yang baru saja mendarat di Indonesia Timur ke Jawa.[8] Akibatnya
kota-kota penting di Jawa segera diduduki kembali oleh pasukan Belanda. Namun kedatangan
tentara Belanda di Jawa, khususnya di Jakarta justru malah memancing perlawanan yang lebih
besar dari rakyat setempat. Di tengah berkecamuknya perang, Belanda menduduki  kantor-kantor
pemerintahan yang penting.

Di sektor pendidikan, Belanda juga mencoba menghidupkan lagi perguruan tinggi yang
ditinggal mengungsi oleh otoritas yang sah yaitu Pemerintah Republik Indonesia. Pada bulan
Januari 1946, beberapa saat setelah Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, Belanda
mendirikan De Nood-universiteit, atau universitas darurat. Disebut sebagai universitas darurat
karena didirikan pada saat kondisi chaos yang disebabkan oleh peperangan.[9] Universitas darurat
ini memiliki lima fakultas dengan tempat kedudukan yang terpisah, yaitu fakultas kedokteran,
fakultas hukum, fakultas sastra dan filsafat berkedudukan di Jakarta, fakultas pertanian
berkedudukan di Bogor, dan fakultas teknik berkedudukan di Bandung menempati
bekas Technische Hogeschool.

Pada saat yang bersamaan Pemerintah Republik Indonesia Indonesia yang berkedudukan di
Yogyakarta juga menghidupkan kembali perguruan tinggi dengan mendirikan  Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1946 yang pada awalnya dikelola oleh sebuah yayasan yang diselenggarakan oleh
beberapa tokoh pendidikan.[10] Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyediakan
bagian depan istananya (pagelaran) sebagai tempat perkuliahan. Dalam waktu yang tidak terlalu
lama, ketika kuasaan Belanda di wilayah-wilayah pendudukan di Jawa semakin mantap, mereka
juga mencoba memantapkan posisi mereka di bidang pendidikan tinggi. Pada bulan Maret 1947 De
Nood-universiteit diubah namanya menjadi Universiteit van Indonesia. Pada tahun yang bersamaan
kekuasaan Belanda di Indonesia juga semakin kuat dengan dukungan militer yang kuat pula.
Dengan sangat percaya diri pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam pihak Belanda melancarkan
Agresi Militer Pertama. Dengan gerak cepat pasukan-pasukan bergerak dari Jakarta dan Bandung
menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Peristiwa
ini kemudian memaksa Indonesia dan Belanda untuk menuju ke meja perundingan yang
menghasilkan Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948. Perjanjian ini mengakui suatu gencatan
senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai “garis van Mook”, suatu garis buatan yang
menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda. Garis imajiner tersebut secara politis telah
membelah-belah Indonesia khususnya Jawa menjadi dua bagian antara wilayah yang dikuasai oleh
Republik Indonesia dengan wilayah yang dikuasai oleh Belanda.

Secara kebetulan hampir semua lokasi perguruan tinggi yang pernah didirikan oleh
Belanda pada masa kolonial terletak di dalam garis van Mook. Perletakan secara politis inilah yang
kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengembangkan Universiteit van Indonesia dengan
membuka fakultas baru di wilayah pendudukan, yaitu di Surabaya dan di Makassar. Pada tanggal 1
Agustus 1948 di Surabaya dibuka Faculteit der Geneeskunde (Fakultas Kedokteran) dengan
memanfaatkan peralatan dan gedung yang pada masa kolonial ditempati oleh NIAS. Di tempat
yang sama Belanda juga membuka Tandheelkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Gigi). Fakultas
Kedokteran yang berkedudukan di Surabaya pada awalnya dipimpin oleh Prof. Dr. A.B.
Droogleever Fortuyn. Pada tanggal 8 Oktober 1948 di Makassar dibuka Faculteit der Economische
Wetenschap (Fakultas Ekonomi).[11] Pendirian beberapa fakultas di kota yang berbeda, secara
politis menjadi simbol bahwa pada waktu itu kekuasaan Belanda di daerah-daerah pendudukan
cukup kuat.

Pada saat yang hampir bersamaan perguruan tinggi yang berada di wilayah Republik
Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta juga melakukan bebagai konsolidasi agar
perguruan tinggi pertama di wilayah Republik Indonesia tersebut berkembang dengan baik.
Beberapa fakultas yang tersebar di beberapa daerah republik seperti Yogyakarta, Klaten, dan Solo
dilebur menjadi satu. Pada tanggal 19 Desember 1949 secara resmi berdirilah Universitas Gadjah
Mada yang berada dalam naungan Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Yogyakarta.
Universitas ini menjadi universitas negeri pertama yang berada di wilayah Republik Indonesia pada
saat wilayah Indonesia terpecah-belah secara politis dan tergabung dalam Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Pendirian Universitas Gadjah Mada sebagai sebuah institusi yang utuh tidak bisa
dilepaskan dengan Konferensi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan di kota Yogyakarta yang
berlangsung pada 25 April sampai 1 mei 1947. Konferensi tersebut menghasilkan sebuah
kesimpulan bahwa salah satu masalah yang menghalangi kemajuan perguruan tinggi ialah karena
perguruan tinggi yang telah ada pada waktu itu tidak bernaung di bawah satu kementrian. Ada yang
masuk Kementrian kesehatan, Kementrian Pengajaran, Kementrian Kemakmuran, dan ada yang
berada di bawah pengelolaan swasta. Konferensi menyarankan kepada pemerintah agar perguruan
tinggi yang terpisah-pisah tersebut disatukan. Hasilnya adalah Universitas Gadjah Mada yang
dikelola oleh Kementrian Pengajaran.

Sejarah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan


dengan berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dengan disepakatinya Konferensi Meja
Bundar (KMB) pada bulan Nopember 1949. Tanggal 19 Desember 1949 Universitas Gadjah Mada
lahir. Pada tanggal 27 Desember 1949 negeri Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan atas
Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan penyerahan kedaulatan itu
maka Universiteit van Indonesia yang semula dibawah penguasaan pemerintah pendudukan
Belanda kemudian menjadi universitas milik Republik Indonesia Serikat dengan fakultas-
fakultasnya yang tersebar di negara-negara federal, antara lain di ibukota RIS Jakarta, di Negara
Indonesia Timur/Makassar (Fakultas Ekonomi), dan di Negara Jawa Timur/Surabaya (Fakultas
Kedokteran dan Lembaga Kedokteran Gigi).

Republik Indonesia Serikat hanya bertahan kurang dari satu tahun karena menguatnya
sentimen pro-Republik di negara-negara federal yang didirikan oleh Belanda. Federalisme pada
umumnya dicurigai karena asalnya jelas sebagai muslihat Belanda untuk memecah-belah bangsa
Indonesia. Pemecah-belahan wilayah Indonesia secara administratif dan politis memiliki dampak
yang amat besar bagi pendidikan tinggi di Indonesia karena eksistensi perguruan tinggi di wilayah
Indonesia menjadi terpisah-pisah di wilayah Republik dan di wilayah federal. Perguruan tinggi di
wilayah Republik dikelola oleh bangsa Indonesia yang hampir semua staf pengajarnya adalah
orang-orang Indonesia (Bumiputera) serta dengan fasilitas yang sangat terbatas, sedangkan
perguruan tinggi yang berada di wilayah federal dikelola oleh Belanda dengan staf pengajar yang
hampir semuanya orang-orang Belanda yang cakap. Mereka juga sudah menempati gedung-gedung
yang megah peninggalan masa kolonial. Keterpisahan pengelolaan perguruan tinggi tentu saja
sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa yang belajar di dua wilayah yang berbeda secara
politis tersebut. Mahasiswa yang belajar di Universitas Gadjah Mada yang terletak di wilayah
republik di Yogyakarta pada umumnya amat bangga. Kebanggaan itu lahir karena mereka belajar
diwilayah “sendiri” Republik Indonesia dan di wilayah perjuangan. Mereka mengidentifikasi
dirinya sebagai republiken, orang/mahasiswa republik.

Kuatnya sentimen pro-Republik telah mendorong bubarnya negara-negara federal.


Sebagian besar rakyat di negara-negara federal buatan Belanda menghendaki agar kembali ke
negara kesatuan Republik Indonesia. Keinginan itu akhirnya terwujud pada tanggal 17 Agustus
1950. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di dalamnya, serta
negara-negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik
Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan.

Penyerahan kedaulatan dan terbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia


telah mendorong terjadinya perubahan formasi dan konstelasi perguruan tinggi di Indonesia.
Universitas Gadjah Mada yang merupakan universitas milik Republik Indonesia semakin
memantapkan posisinya menjadi universitas nasional. Sementara itu Universiteit van
Indonesia yang dilahirkan dan dikelola oleh Belanda berubah nama menjadi Universitet Indonesia.
Perubahan nama itu merupakan bagian dari proses Indonesianisasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Periode awal kemerdekaan ditandai dengan bangkitnya rasa nasionalisme yang sangat tinggi yang
diikuti dengan sentiman anti Belanda yang kuat. Timbulnya perasaan semacam itu diikuti dengan
penjungkirbalikan simbol-simbol kolonialisme yang bisa membangkitkan romantisme masa
kolonial yang menyengsarakan. Akibatnya simbol-simbol yang berbau kolonial dihancurkan dan
diganti dengan simbol-simbol ke-Indonesiaan. Istilah-istilah Belanda diganti dengan istilah-istilah
Indonesia, maka wajar jika nama Universiteit van Indonesia diganti menjadi Universitet Indonesia
dan kemudian diubah menjadi Universitas Indonesia. Pengelolaan universitas tersebut juga
berpindah tangan ke Pemerintah Republik Indonesia. Sampai lahirnya Universitas Airlangga pada
tahun 1954, Indonesia pada waktu itu hanya memiliki dua perguruan tinggi negeri yaitu Universitas
Gadjah Mada dan Universitet Indonesia.

C. Pendidikan pada Masa Kemerdakaan

Pendidikan dan pengajaran sampai dengan tahun 1945 diselenggarakan oleh Kantor
Pengajaran yang terkenal dengan nama Jepang Bunkyo Kyoku dan merupakan bagian dari kantor yang
menyelenggarakan urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Segere setelah
diproklamasikannya kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang baru dibentuk menunjuk Ki Hajar
Dewantara, sebagai Menteri Pendidikan dan Pengajaran mulai 19 Agustus sampai dengan 14
November 1945, kemudian digantikan oleh Mr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945
sampai dengan 12 Maret 1946. Tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia digantikan oleh
Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946. Karena masa jabatan yang
umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak banyak yang dapat diperbuat oleh para menteri tersebut,
apalagi Indonesia masih disibukkan dengan berbagai persoalan bangsa setelah diproklamasikannya
kemerdekaan.

1. Masa Awal Kemerdekaan

            Secara garis besar pendidikan di awal kemerdekaan diupayakan untuk dapat menyamai dan
mendekati sistem pendidikan di negara-negara  maju. Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950
bangsa Indonesia merasakan berbagai kesulitan baik di bidang sosial ekonomi, politik maupun
kebudayaan, termasuk pendidikan. Dari sejumlah anak-anak usia sekolah hanya beberapa persen
saja yang dapat menikmati sekolah, sehingga sisanya 90% penduduk Indonesia masih buta huruf.
Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati. Dengan
kata lain, tujuan pendidikan pada masa itu ditekankan pada penanaman semangat patriotisme,
karena pada saat itu negara dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik dan sewaktu-
waktu pemerintah kolonial Belanda masih mencoba untuk menjajah kembali negara Indonesia.
            Kurikulum pasca kemerdekaan kemerdekaan saat itu diberi nama Leer Plan dalam bahasa
Belanda artinya Rencana Pelajaran, lebih terkenal ketimbang kurikulum1947. Pada saat itu,
kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sitem pendidikan kolonial Belanda dan
Jepang. Sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rencana Pelajaran 1947
dikatakan sebagai pengganti sitem pendidikan kolonial Belanda. Karena saat itu bangsa Indonesia
masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan dan bertujuan untuk pembentukan karakter
manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi. Yang
diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran
dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
            Tata susunan persekolahan sesudah Indonesia merdeka yang berdasarkan satu jenis sekolah
untuk tiga tingkat pendidikan seperti pada zaman Jepang tetap diteruskan sedangkan rencana
pembelajaran pada umumnya sama dan bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar
untuk sekolah. Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku hasil terjemahan dari
bahasa Belanda ke dalam bahsa Indonesia yang sudah dirintis sejak jaman Jepang.
Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah sebagai
berikut:

A.   Pendidikan Rendah
            Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut dengan
Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun. Maksud pendirian SR ini adalah selain
meningkatkan taraf pendidikan pada masa sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat
yang besar dari mereka yang hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan
putusan Menteri PKK tanggal 19 nopember 1946 NO 1153/Bhg A yang menetapkan daftar
pelajaran SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahawa
dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk bahasa daerah
dan 17 jam berhitung untuk kelas IV< V dan VI. Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir
tahun 1949 pada akhir tahun 1949 di seluruh Indonesia.

            Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah
menengah Tinggi (SMT).

·         Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP
mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya surat keputusan
menteri PPK thun 1946 maka diadakannya pembagian A dan B mulai kelas II sehingga
terdapat kelas II A,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu
pasti. Tetapi lebih banayak diberikan pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B
sebaliknya diberikan Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.
·         Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hnaya mengurus langsung SMAT
yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota sperti: Jakarta,bandung, semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon. SMT di Luar Jawa berada di bawah
pengawasan pemerintah daerah berhubung sulitnya perhubungan dengn pusat. SMT
merupakan pendidikan tiga tahun setelah SMP dan setelah lulus dapat melanjutkan ke
perguruan tinggi. Mengenai rencana pelajaran belum jelas, dan yang diberikan adalah rencana
pelajaran dalam garis besar saja. Karena pada waktu itu msaih harus menyesuaikan dengan
keadaan zaman yang masih belum stabil. Demikian rencana pembelajaran yang berlaku yaitu:
(1) isinya memenuhi kebutuhan nasional, (2) bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia,
(3) mutunya setingkat dengan SMT menjelang kemerdekaan. Ujian akhir dapat
diselenggarakan oleh masing-masing sekolah selama belum ada ujian negara, tetapi setelah
tahun 1947 barulah berlaku ujian negara tersebut.
B. Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan guru yaitu:
·         Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru untuk
sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus dalam ujian masuk
sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum untuk di kelas I,II,III sedangkan
pendidikan keuruan baru diberikan di kelas IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima
tamatan sekolah SMP,SPG dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya
sejumlah guru dan diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat
kekuarangan guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu,
perta ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
·         Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka terasa
perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat menghasilkan. Untuk
kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun setelah SR dan di kenal dengan
sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang bermanfaat kemudian ditutup kembali dan
diantaranya dijadikan SGB.
·         Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4 tahun belum
menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka dibukalah SGA yang
memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP. Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-
pelajar dari lulusan kelas III SGB. Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya
dengan mata pelajaran yang diberikan di SGb hanya penyelenggaraannya lebih luas dan
mendalam.

C. Pedidikan Kejuruan
Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah Pendidikan ekonomi dan pendidikan
kewanitaan:

·         Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat membuka sekolah
dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan
penyelenggaraan sekolah dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
·         Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah
Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri (SGKP)
yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.

D.  Pendidikan Teknik
            Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping
pelajarnya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-kadang juga
dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya, dikerahkan untuk membuat
senjata yang sangat diperlukan kendali apaadanya. Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada
pada masa itu ialah:

1.      Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun lamanya dan
merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri atas
jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
2.      Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang terampil
tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun sesudah SR dan
terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah, anyaman, besi ,listrik,
mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
3.      Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan. Lama
pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-jurusan:
bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan kapal, percetakan
dan pertambangan.
4.      Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan pejabat-
pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP bagian B atau ST
dan terdiri atas jurusn-jurusan: bangunnan gedung, bangunan sipil, bangunan kapal,
bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik, bangunan mesin kapal, kimia, dan
pesawat terbang.
5.      Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-guru
sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang menghasilkan:
o    Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP dalam
jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
o    Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada ST/STM kelas I
dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-geung dan mesin.
 Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam jurusan
bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.

E.  Pendidikan Tinggi
            Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan tinggi
semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan ini berkembang
pesat tetapikarena adanya pelaksanaannya di lakukan perjuangan fisik maka perkuliahan kerap
kali di sela dengan perjuangan garis depan.

            Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa sekolah tinggi
dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan Yogyakarta. Perkembangan
pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami berbagai tantangan, tetapi tidak juga
dapa dipisahkan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu
kekuatan dari seluruh kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada
waktu merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai
kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang. Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi
Hukum serta filsafat dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi
terakhir in di tutup oleh belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan demikian
pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi republik dan
Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda.

2. Masa Orde Lama        


                        
            Pada masa revolusi, pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Saat itu sangat
terasa sangat terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang
diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto
no. Kita dapat membangun system pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
            Dari keterbatasan itu, dapat memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi
masa pancaroba seperti rongrongan terhadap NKRI. Sayangnya pada era ini, pendidikan kemudian
dimasuki oleh politik praktis untuk mulai dijadikan kendaraan politik. Pada masa itu, dimulai
pendidikan Indoktrinasi, yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan
orde lama. Pada orde lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan system
kolonial yang serba ketat, tetapi jujur dan mempertahankan kualitas.
            Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah
kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang
berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan
demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep
sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok
masyarakat tanpa memandang kelas sosial.
            Tujuan dan upaya pendidikan sudah mulai ditujukan kepada pembentukan manusia yang
diinginkan oleh konsep Manipol Usdek. Tujuan pendidikan adalah menanamkan jiwa yang memiliki
kepeloporan dalam membela dan mengembangkan Manipol Usdek. Untuk itu perubahan kurikulum di
lakukan. Mata pelajaran Civics menjadi mata pelajaran utama disetiap jenjang pendidikan. Dalam
pelajaran itu dimasukkan ideologi yang sedang dikembangkan presiden Soekarno.

            Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami  penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini
diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem
pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa
setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran
Terurai1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,”
kataDjauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Pada masa itu juga
dibentuk kelas Masyarakat. Yaitu sekolah khusus bagi lulusan SekolahRendah 6 tahun yang tidak
melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan,
dan perikanan tujuannya agar anak tak mampu sekolah kejenjang SMP, bisa langsung bekerja.

2.1 Perubahan Sekolah-sekolah


Setelah RIS kembali kenegara kesatuan RI, jawatanm inspeksi pengajaran kementerian
PP dan K di Yogyakarta pada tanggal 25 Agustur 1950 mengeluarkan keputusan mengenai
perubahan sekoah-sekolah yang dilaksanakan di daerah-daerah RI. sejak tahun ajaran 1949/1950.
Sekolah-sekolah dibagi-bagi atas enam kelompok: model-model sekoah yang berasal dari masa
sebelum kembali kenegara keatuan di bekas-bekas daerah-daerah ferdeal atau pendudukan
Belanda yang pada dasarnya menurut model kolonial diubah dan disesuaikan dengan sistem
pendidikan dan pengajaran nasional.
3   Masa Orde Baru

            Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era
pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi
suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar.
Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas
tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan
lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.

            Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena
pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam
bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik.
Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan
untuk melanggengkan status quopenguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan
pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
            Pada pendidikan orde baru kesetaran dalam pendidikan tidak dapat diciptakan karena unsur
dominatif dan submisif masih sangat kental dalam pola pendidikan orde baru. Pada masa ini, peserta
didik diberikan beban materi pelajaran yang banyak dan berat tanpa memperhatikan keterbatasan
alokasi kepentingan dengan faktor-faktor kurikulum yang lain untuk menjadi peka terhadap
lingkungan. Beberapa hal negatif lain yang tercipta pada masa ini adalah:
1.     Produk-produk pendidikan diarahkan untuk menjadi pekerja. Sehingga, berimplikasi pada
hilangnya eksistensi manusia yang hidup dengan akal pikirannya (tidak memanusiakan manusia).
2.     Lahirnya kaum terdidik yang tumpul akan kepekaan sosial, dan banyaknya anak muda yang
berpikiran positivistik
3.     Hilangnya kebebasan berpendapat.
            Pada masa ini seluruh bentuk pendidikan ditujukkan untuk memenuhi hasrat penguasa,
terutama untuk pembangunan nasional. Siswa sebagai peserta didik, dididik untuk menjadi manusia
“pekerja” yang  kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara.
Pendidikan bukan ditujukan untuk mempertahankan eksistensi manusia, namun untuk mengeksploitasi
intelektualitas mereka demi hasrat kepentingan penguasa.

            Pada masa ini, ada banyak pergantian kurikulu. Yang pertama, kurikulum 1968. Kurikulum
1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama.
Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum
1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan
dengan permasalahan faktual di lapangan. Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang
masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut.
Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya
menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.

            Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar
MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang  dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu
rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional
umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-
mengajar, dan evaluasi. Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib
untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung.
            Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam
pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga
bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa
diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diberi kesempatan untuk
bertanya dan mengemukakan pendapatnya.
            Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya,
terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi
dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan  lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan
daerah, dan lain-lain. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa
dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki
pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.

4.  Masa Reformasi

            Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan
pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis
kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi
desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.

            “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%)
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”

            Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU
No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan.
Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi
kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi”.

            Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:

            “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
            Pada masa reformasi ini terjadi perubahan. Yang pertama yaitu Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam
proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai