Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

Disusun Oleh:
Nama : Annisa Nur Aini
NIM : 19304241023
Kelas : Pendidikan Biologi A
Kelompo : 7
k

LABORATORIUM ZOOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
SISTEM KARDIOVASKULER
KEGIATAN 1
MENGAMATI STRUKTUR ANATOMI JANTUNG MAMMALIA, MENGHITUNG
DENYUT NADI DAN CARDIAC OUTPUT (CO)

I. TUJUAN PRAKTIKUM
A.1. Tujuan Kegiatan
1. Mengamati struktur anatomi makroskopis jantung Mammalia (kambing).
2. Mengukur denyut nadi (pulsus) pada arteri radialis.
3. Menghitung Cardiac output (CO).
A.2. Kompetensi Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan pengamatan struktur anatomi makroskopis jantung
Mammalia (kambing).
2. Mahasiswa dapat menerangkan bagian-bagian jantung Mammalia (kambing).
3. Mahasiswa dapat melakukan pengukuran denyut nadi (pulsus).
4. Mahasiswa dapat menerangkan bagaimana mekanisme terjadi denyut nadi
(pulsus).
5. Mahasiswa dapat menghitung Cardiac output (CO).
6. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi Cardiac output
(CO).

II. ALAT DAN BAHAN


B.1. Alat dan Bahan:
1. Skalpel
2. Pinset
3. Klem
4. Penusuk
5. Gunting
6. Bak parafin
7. Jantung kambing segar atau yang telah diawetkan di dalam lemari es. Selain
jantung kambing untuk pengamatan struktur anatomi jantung Mammalia dapat
digunakan sampel jantung domba, sapi, ayam, kelinci atau yang lain dengan
pertimbangan yang relatif mudah didapat di rumah potong hewan (RPH).
B.2. Alat dan Bahan:
1. Jam (stopwatch)
2. Tally counter

III. CARA KERJA


C.1. Mengamati Struktur Anatomi Jantung Mammalia
1. Disiapkan jantung kambing yang akan diamati pada bak parafin.
2. Sebelum dilakukan pengirisan, diamati bagian-bagian jantung tersebut secara
seksama dari bagian luar terlebih dahulu kemudian lanjutkan ke bagian-bagian
dalam:
a. Perikardium
b. Apeks jantung
c. Atrium kanan (dekster)
d. Atrium kiri (sinister)
e. Ventrikel kanan
f. Ventrikel kiri
g. Truncus aorta
h. Arteri pulmonalis
i. Vena cava anterior
j. Vena cava posterior
k. Arteri coronaria
3. Dilakukan pengirisan melalui bagian median jantung kemudian diamati bagian-
bagian dalamnya:
a. Septum interventrikularis
b. Valvula bikuspidalis (mitralis)
c. Valvula trikuspidalis
d. Valvula semilunaris
e. Muskulus papillaris
f. Chorda tendinea
4. Diamati perbedaan struktur otot atrium dan ventrikel, otot ventrikel kiri dan
ventrikel kanan, dinding arteri dan vena, valvula bikuspidalis dan trikuspidalis.
5. Digambar struktur anatomi jantung tersebut. Untuk lebih memudahkan
pengamatan dan kerja, bisa digunakan buku Atlas Anatomi Manusia sebagai
pedomannya.
C.2. Menghitung Denyut Nadi dan Cardiac output (CO)
1. Langkah Pertama
a. Ketiga jari praktikan ditempelkan pada pergelangan tangan di atas arteri
radialis dengan sedikit menekan kemudian tekanan tersebut sedikit
dikurangi sampai terasakan denyut nadi.
b. Banyaknya denyutan dihitung dalam setiap menit, untuk mempermudah
biasanya cukup dihitung banyaknya denyutan dalam 15 detik.
c. Kemudian hasilnya dikalikan untuk mendapatkan banyaknya denyutan per
menit yang merupakan manifestasi frekuensi denyut jantung per menit
(heart rate = HR).
2. Langkah Kedua
a. Kegiatan olahraga (lari, naik turun tangga) dilakukan kurang lebih selama
10 menit.
b. Pengukuran denyut nadi dilakukan seperti langkah pertama.
c. Data hasil pengukuran pertama dengan data hasil pengukuran kedua
dibandingkan dengan menggunakan uji t (student t test) lebih baik
memakai program SPSS.
3. Langkah Ketiga
a. Cardiac output (CO) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Cardiac output (CO) = HR x SV
b. Jumlah CO dapat dihitung setelah melakukan kegiatan.

IV. HASIL
a. Tabel data denyut nadi dan cardiac output (CO)
No. Nama Sebelum Sesudah
HR SV CO HR SV CO
1. Defi 92 70 6440 148 70 10360
2. Zahwa 88 70 6160 156 70 10920
3. Eillen 88 70 6160 140 70 9800
4. Annisa 92 70 6440 144 70 10080
b. Gambar anatomi jantung mammalia
Gambar Keterangan
1. Vena cava superior
2. Aorta
3. Arteri pulmonalis
4. Vena pulmonalis
5. Atrium kiri
6. Ventrikel kiri
7. Ventrikel kanan
8. Atrium kanan
9. Vena cava inferior
10. Katup pulmonal
11. Katup aorta

V. PEMBAHASAN
I. Struktur dan Anatomi Jantung
Praktikum mengenai pengamatan struktur anatomi jantung mammalia ini
dilaksanakan di Laboratorium Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 10 Maret 2020.
Dari hasil praktikum ini, dapat ditemukan bahwa ada beberapa bagian yang bisa
diamati dan dapat dilihat pula perbedaan antara hasil pengamatan dengan yang tertera
di cara kerja. Untuk bagian lainnya hampir sama dengan yang ada di cara kerja,
namun untuk bagian vena cava superior praktikan belum bisa menemukannya. Hal ini
disebabkan karena pembedahannya yang kurang sempurna atau karena terlalu tipis,
sehingga tidak dapat dilihat oleh mata. Pada gambar diatas terdapat beberapa bagian
dalam maupun luar jantung mammalia (kambing). Setiap bagian tersebut mempunyai
peranan masing-masing dalam mendukung kinerja jantung sebagai sistem
kardiovaskuler. Berikut ini beberapa fungsi dan peranan setiap bagian tersebut.
Bagian luar dari jantung, antara lain sebagai berikut:
1. Perikardium merupakan selaput pembungkus jantung yang tersusun atas jaringan
ikat padat (fibrosa). Bagian dari perikardium terdiri dari dua komponen yaitu
perikardium visceral (sebelah dalam) dan perikardium parietalis (sebelah luar).
Diantara jantung dan perikardium terdapat rongga (kantung) perikardium yang
berisi cairan perikardial sehingga jantung dapat bergerak leluasa dan untuk
melindungi jantung dari kerusakan dan gesekan.
2. Apeks jantung, berbentuk bulat dan susah ditentukan secara radiografi, sehingga
apabila dapat ditentukan biasanya berada setinggi rawan iga keenam, di bawah
dan medial tempat terabanya detak apeks. Detak apeks yang berasal dari jantung
umumnya dapat diraba di dada sebelah kiri, selain itu derak apeks juga dihasilkan
oleh gerak jantung kiri yang cukup rumit ketika kontraksi.
3. Atrium jantung, dibagi menjadi dua yaitu atrium kanan dan atrium kiri yang
merupakan dua ruangan kecil pada jantung mammalia dengan otot tipis. Bagian
ini berfungsi sebagai penerima darah secara pasif. Berdasarkan fungsinya sebagai
penerima darah secara pasif, maka otot atrium lebih tipis. Atrium kanan berada
satu sisi dengan bronkus lobus atas bagian suprahepatik vena kava inferior dan
hati, sedangkan atrium kiri berada di belakang ventrikel kanan yang merupakan
bagian kanan jantung.
4. Ventrikel jantung dibagi menjadi dua, yaitu ventrikel kanan dan ventrikel kiri
yang merupakan dua ruangan besar pada jantung dengan otot yang lebih tebal
daripada atrium. Bagian ini berfungsi sebagai pemompa darah, ventrikel kiri
memompa darah ke seluruh tubuh sedangkan ventrikel kanan hanya memompa
darah ke paru-paru. Oleh karena fungsi inilah maka otot ventrikel lebih tebal dan
lebih kuat daripada otot atrium. Selain itu karena peranan ventrikel kiri yang lebih
besar dari ventrikel kanan maka otot ventrikel kiri lebih tebal daripada ventrikel
kanan.
5. Truncus aorta, melengkung balik mengelilingi arteri pulmonalis. Tiga pembuluh
darah muncul keluar dari arcus aorta ini, yaitu arteri brachiocephalica, arteri
carotis communis sinistra, dan arteri subclavia sinistra. Pembuluh-pembuluh ini
memasok darah ke kepala dan bagian lengan. Selain itu, truncus aorta bersumber
dari bilik kiri jantung dan membawa darah beroksigen kepada semua bagian tubuh
dalam peredaran sistemik.
6. Arteri pulmonalis berasal dari dasar ventrikel kanan. Setelah meninggalkan
jantung, pembuluh darah ini akan terbagi dua yaitu arteri pulmonalis dekster
(kanan) dan arteri pulmonalis sinister (kiri). Arteri pulmonalis dekster
memberikan suplai darah untuk paru-paru kanan sedangkan arteri pulmonalis
sinister akan menyuplai darah untuk paru-paru sebelah kiri. Oleh karena itu, arteri
pulmonalis kanan lebih panjang dan lebar daripada yang kiri.
7. Arteri coronaria dibagi menjadi dua bagian, yaitu arteri coronaria kanan dan arteri
coronaria kiri. Arteri coronaria kanan merupakan pembuluh yang berasal dari
sinusaortikus anterior (kanan) dan fungsi arteri coronaria kanan adalah
memberikan darah pada ventrikel kanan (kecuali bagian kiri dinding arteriornya),
bagian kanan dinding belakang ventrikel kiri dan sebagian sekat antarventrikel.
Sedangkan arteri coronaria kiri merupakan pembuluh yang berasal dari sinus
aortikus kiri, di belakang batang pulmonalis. Arteri ini memberikan darah pada
hampir seluruh ventrikel kiri.
8. Vena cava anterior dan vena cava posterior. Vena cava anterior terletak turun di
sebelah kanan aorta ascendens dan menerima darah dari vena azigos kemudian
bermuara di atrium kanan. Sedangkan vena kava inferior berada dalam rongga
dada sepanjang 2-3 cm, kemudian bermuara di atrium kanan setelah menembus
lubang ditendo sentral diafragma (Wulangi, 1993).
Bagian dalam dari jantung, antara lain sebagai berikut:
1. Septum interventrikularis
Sekat yang membatasi antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan.
2. Valvula bikuspidalis, valvula trikuspidalis dan valvula seminularisa.
a. Valvula bikuspidalis yakni katup yang ada diantara atrium kiri dengan
ventrikel kiri (katup berdaun dua). Katup ini berfungsi mencegah agar darah
dalam ventrikel kiri tidak kembali ke atrium kiri ketika jantung memompa
darah.
b. Valvula trikuspidialis yakni katup yang ada diantara atrium kanan dan
ventrikel kanan (katup berdaun tiga). Katup ini berfungsi mencegah agar darah
dalam ventrikel kanan tidak kembali ke atrium kanan ketika jantung
memompa darah.
c. Valvula semilunaris yakni katup yang terdapat pada tempat keluarnya nadi
dari jantung. Katup ini berbentuk bulat sabit dan berfungsi menjaga agar darah
dalam pembuluh nadi (aorta) tidak kembali ke ventrikel.
3. Muskulus papillaris
Berkas otot-otot tebal yang ada di sebelah dalam dinding ventrikel dan
berbentuk seperti puting.
4. Chorda tendinea
Benang-benang tendon tipis yanga ada di tepi bawah muskulus papiliaris.
Benang-benang ini mempunyai kaitan kedua yaitu pada katup atrioventrikuler,
kaitan ini menghindarkan kelopak katup terdorong masuk dalam atrium bila
ventrikel berkontraksi.
Cara Kerja Jantung
Pada saat berdenyut, setiap ruang jantung mengendur dan terisi darah
(diastole). Selanjutnya jantung berkontraksi dan memompa darah keluar dari ruang
jantung (sistole). Kedua serambi mengendur dan berkontraksi secara bersamaan.
Darah yang kehabisan oksigen dan mengandung banyak karbondioksida (darah kotor)
akan mengalir ke seluruh tubuh mengalir melalui dua vena terbesar (vena cava)
menuju kedalam serambi kanan. Setelah atrium kanan terisi darah, dia akan
mendorong darah kedalam bilik kanan. Selanjutnya, darah dari bilik kanan akan
dipompa melalui katup pulmoner ke dalam arteri pulmonalis menuju ke paru-paru.
Darah akan mengalir melalui pembuluh yang sangat kecil (kapiler) yang mengelilingi
kantong udara di paru-paru, menyerap oksigen dan melepaskan karbon dioksida yang
selanjutnya dihembuskan. Darah yang kaya akan oksigen (darah bersih) mengalir ke
dalam vena pulmonalis menuju ke serambi kiri. Peredaran darah di antara bagian
kanan jantung, paru-paru dan atrium kiri disebut sirkulasi pulmoner. Darah dalam
serambi kiri akan didorong menuju bilik kiri, yang selanjutnya akan memompa darah
bersih ini melewati katup aorta masuk ke dalam aorta (arteri terbesar dalam tubuh).
Darah yang kaya akan oksigen ini disediakan untuk seluruh tubuh, kecuali paru-paru
(Soewolo, dkk. 1999)

II. Menghitung Denyut Nadi dan Cardiac Output (CO)


Praktikum pengamatan struktur anatomi jantung mammalia ini dilaksanakan di
Laboratorium Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 10 Maret 2020. Praktikum ini
betujuan untuk mengukur denyut nadi dan menghitung Cardiac Output (CO)
(Nurcahyo dan Harjana, 2013). Hasil data praktikan yang didapatkan adalah sebagai
berikut:
No Nama Sebelum Sesudah
.
HR SV CO HR SV CO
1. Defi 92 70 6440 148 70 10360
2. Zahwa 88 70 6160 156 70 10920
3. Eillen 88 70 6160 140 70 9800
4. Annisa 92 70 6440 144 70 10080
Dari praktikum yang telah dilakukan, frekuensi denyut jantung (HR atau heart
rate) yaitu banyaknya denyut jantung per menit. Didapati bahwa nilai rata-rata HR
(heart rate) dari probandus praktikan sebelum melakukan kegiatan ialah 90
denyut/menit. Sedangkan nilai rata-rata HR (heart rate) dari probandus praktikan
sesudah melakukan kegiatan ialah 147 denyut/menit. Stroke volume (SV) yaitu
volume satu kali pompa yang merupakan volume akhir diastole dikurangi volume
akhir sistole. Volume akhir diastole tergantung regangan (komplains) dan tekanan
mendorong (filling pressure) vena cava. SV (stroke volume) memiliki nilai rata-rata
untuk orang dewasa sebesar 70 ml. Kemudian Cardiac output (CO) adalah banyaknya
darah yang dipompa selama satu menit. Cardiac output merupakan hasil kali antara
stroke volume (volume kuncup) dengan frekuensi denyut jantung per menit. Nilai
rata-rata Cardiac output (CO) sebelum melakukan kegiatan sebesar 6300 ml/menit,
sedangkan nilai rata-rata Cardiac output (CO) sesudah melakukan kegiatan sebesar
10290 ml/menit.
Frekuensi denyut nadi diperlambat oleh kerja vagus dan dipercepat oleh kerja
simpatis. Frekuensi denyut nadi dapat kurang dari 40 pada 25% remaja sehat yang
sedang tidur (Muhardi, 2001). Denyut nadi dapat dirasakan melalui pembuluh darah
superfisial seperti arteri radialis. Pulsus merupakan manifestasi dari kontraksi jantung.
Efek Windkessel yaitu aorta akan mengembang jika ventrikel berkontraksi sehingga
darah dari ventrikel dapat tertampung dalam aorta dan diteruskan ke arteri. Aorta
mempunyai daya kompliarus (peregangan) yang sangat tinggi. Ada dua faktor yang
bertanggung jawab bagi kelangsungan denyutan nadi yang dapat dirasakan. Pertama,
yaitu pemberian darah secara berkala dalam selang waktu pendek dari jantung ke
aorta, yang tekanannya berganti-ganti, naik dan turun dalam pembuluh darah. Kedua,
yakni elastisitas dinding arteri yang memungkinkannya meneruskan darah dalam
aliran balik. Bila dinding tidak elastis seperti dinding sebuah gelas, masih ada
pergantian tekanan tinggi rendah dalam sistole dan diastole ventrikel, namun dinding
tersebut tidak dapat melanjutkan aliran dan mengembangkan aliran hingga denyutan
pun tidak dapat dirasakan.
Dari data yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa meningkatnya
aktivitas dapat mengakibatkan naiknya Cardiac output. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam hukum straling, bahwa dalam batas-batas normal, otot jantung akan
berkontraksi lebih kuat apabila serabutnya direnggangkan. Sewaktu berolahraga,
sejumlah darah vena akan kembali ke dalam atrium kanan menuju ke ventrikel kanan
dengan cepat dan banyak. Hal ini akan meregangkan serabut-serabut otot ventrikel
kanan. Dengan demikian, kekuatan kontraksi dan Cardiac output ventrikel kanan
akan bertambah dan kemudian pada gilirannya ventrikel kiri juga akan berkontraksi
lebih kuat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Cardiac output adalah
frekuensi denyut jantung dan volume stroke (volume denyutan), yaitu volume darah
yang dipompakan oleh ventrikel kiri setiap sistole (Ganong, W.F. 2002).

VI. KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Secara umum, anatomi jantung dapat dijelaskan sebagai berikut. Jantung memiliki 4
ruang yaitu atrium kiri dan atrium kanan serta ventrikel kiri dan ventrikel kanan.
Adapun katup jantung terdiri atas katup trikuspidalis, bikuspidalis, pulmonalis, dan
aorta. Jantung juga terdiri atas beberapa lapis yaitu epikardium, miokardium, dan
endokardium. Bagian-bagian jantung mammalia yang lain ialah corda tendenae,
apecordis, musculus papilaris, dan serat antarventrikel.
b. Cardiac output (CO) dapat dihitung menggunakan rumus:

CO = HR x SV
Keterangan:
HR = heart rate/denyut jantung
CO = cardiac output/volume darah per menit
SV = stroke volume/ volume per kuncup
c. Meningkatnya aktivitas dapat mengakibatkan naiknya Cardiac output. Hal ini sesuai
dengan hukum starling, yaitu dalam batas-batas normal, otot jantung akan
berkontraksi lebih kuat apabila serabutnya direnggangkan. Sewaktu berolahraga,
sejumlah darah vena akan kembali ke dalam atrium kanan menuju ke ventrikel kanan
dengan cepat dan banyak. Hal ini nantinya akan meregangkan serabut-serabut otot
ventrikel kanan. Dengan demikian, kekuatan kontraksi dan Cardiac output ventrikel
kanan akan bertambah dan kemudian pada gilirannya ventrikel kiri juga akan
berkontraksi lebih kuat.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi cardiac output adalah frekuensi denyut jantung
dan volume stroke (volume denyutan), yaitu volume darah yang dipompakan oleh
ventrikel kiri setiap sistole.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Gardner Gray O’Rahilly. 1995. Anatomi Kajian Ranah Tubuh Manusia (Terjemahan).
Jakarta : UI Press
Kartolo, Wulangi. 1993. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta: Depdikbud
Muhardi. 2001. Fisiologi Kardiovaskular. Jakarta: Bagian Anestesiology dan Terapi
Intensif FK UI
Nurcahyo, Heru., & Harjana, Tri. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan Dasar.
Yogyakarta: FMIPA UNY
Pearce, Enelin. 1995. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Soewolo, dkk. 1999. Fisiologi manusia. Malang: FMIPA UM

VIII. LAMPIRAN

Jantung kambing bagian luar


Jantung kambing bagian dalam
Laporan praktikum sementara

SISTEM KARDIOVASKULER
KEGIATAN 7
UJI GOLONGAN DARAH DENGAN SISTEM “ABO”

I. TUJUAN PRAKTIKUM
A.1. Tujuan Kegiatan
Menentukan golongan darah dengan sistem “ABO”.
A.2. Kompetensi Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan uji penentuan golongan darah dengan “ABO”.
2. Mahasiswa dapat menerangkan dasar-dasar dan alasan uji penentuan golongan
darah sistem “ABO”.

II. ALAT DAN BAHAN


1. Blood lancet steril (disposable)
2. Kapas alkohol
3. Obyek gelas 2 buah
4. Tusuk gigi beberapa batang
5. Serum anti-A dan serum anti-B

III. CARA KERJA


C.1. Uji Golongan Darah
a. Kaca obyek disiapkan dan dibersihkan kemudian diberi tanda lingkaran sebanyak
2 buah dengan spidol (Gambar 1).

Anti-A Anti-B
Gambar 1: Posisi bulatan pada kaca obyek
b. Kulit ujung jari tengah atau jari manis disterilkan dengan kapas alkohol, kemudian
dibiarkan sampai mengering.
c. Ujung jari tengah atau jari manis naracoba ditusuk dengan menggunakan blood
lancet steril (disposable) sehingga darah keluar dan diteteskan pada masing-
masing bulatan satu tetes darah pada kaca obyek yang telah dipersiapkan di atas.
d. Tetes darah pertama diuji dengan serum Anti-A dan tetes darah kedua diuji
dengan serum Anti-B.
e. Kemudian golongan darah naracoba diinterpretasikan.
C.2. Menentukan Waktu Pembekuan Darah
a. Kaca obyek disiapkan dan dibersihkan kemudian diberi tanda lingkaran.

b. Kulit ujung jari tengah atau jari manis disterilkan dengan kapas alkohol dan
dibiarkan sampai mengering.
c. Ujung jari tengah atau jari manis naracoba ditusuk dengan menggunakan blood
lancet steril (disposable) sehingga darah keluar lalu diletakkan pada kaca obyek.
d. Setiap 30 detik, darah diaduk menggunakan tusuk gigi.
e. Apabila terdapat fibrin yang melekat pada tusuk gigi, maka sudah terjadi
koagulasi.
f. Waktu dicatat sebelum terbentuk benang-benang fibrin sebagai waktu koagulasi.

IV. HASIL
Tabel data uji golongan darah dan waktu koagulasi darah
No Nama Umur (th) Anti-A Anti-B Golongan Darah Waktu Koagulasi
1. Eillen 19 - - 0 30 detik ke 5
2. Defi 19 + - A 30 detik ke 1
3. Zahwa 19 - + B 30 detik ke 5
4. Annisa 19 - + B 30 detik ke 6

V. PEMBAHASAN
Praktikum mengenai uji golongan darah dengan sistem “ABO” ini
dilaksanakan di Laboratorium Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 4 Februari 2020.
Pada praktikum ini, penggolongan darah dilaksanakan dengan sistem “ABO”
(Nurcahyo dan Harjana, 2013). Menurut sistem “ABO”, golongan darah manusia
dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut.
No Golongan Darah Keterangan
.
1. A Apabila di dalam sel darah seseorang terdapat aglutinogen
A dan serumnya mengandung aglutinin β dapat
dirumuskan (A, β)
2. B
Apabila di dalam sel darah seseorag terdapat aglutinogen
B, sedangkan di dalam serumnya terdapat aglutinin α
dapat dirumuskan (B, α)
3. AB Apabila di dalam sel darah seseorang terdapat aglutinogen
A dan B, sedangkan di dalam serumnya tidak mengandung
aglutinin, dapat dirumuskan (AB, -)
4. O Apabila di dalam sel darah seseorang tidak terdapat
aglutinogen sedangkan dalam serumnya mengandung
aglutinin α dan β sehingga dapat dirumuskan (-, α, β).
Berdasarkan praktikum uji golongan darah dengan sistem “ABO” diperoleh
hasil sampel darah milik Eillen yang diketahui bergolongan darah O, ketika diuji
kembali dengan serum anti-A dan serum anti-B hasil yang diperoleh baik darah yang
ditetesi anti-A dan anti-B tidak terjadi penggumpalan. Hal ini disebabkan karena
golongan darah O memiliki zat anti-A dan zat anti-B sehingga jika diberi serum anti-
A dan serum anti-B tidak akan terjadi penggumpalan karena golongan darah O
memiliki zat anti keduanya. Sehingga akan terjadi penolakan (tidak menggumpal)
ketika serum anti-A bertemu dengan zat anti-A dalam darah begitupula pada serum
anti-B akan tolak menolak dengan zat anti-B yang dimiliki golongan darah O.
Secara umum, golongan darah O adalah golongan darah yang paling umum
dijumpai di seluruh dunia, meskipun di beberapa negara seperti Swedia dan
Norwegia, golongan darah A lebih dominan. Antigen A lebih umum dijumpai
dibandingkan dengan antigen B. Karena golongan darah AB memerlukan keberadaan
dua antigen A dan B, sehingga golongan darah ini adalah jenis golongan darah yang
paling jarang dijumpai di seluruh dunia (Sudjadi, 2007:85-86).
Ilmuwan Austria, Karl Landsteiner, memperoleh penghargaan Nobel dalam
bidang Fisiologi dan Kedokteran pada tahun 1930 untuk jasanya menemukan cara
penggolongan darah sistem ABO. Golongan darah pada manusia bersifat herediter
yang ditentukan oleh alela ganda. Golongan darah seseorang dapat mempunyai arti
penting dalam kehidupan. Sistem penggolongan yang umum dikenal dalam istilah A,
B, O, tetapi pada tahun 1990 dan 1901, Dr Landsteiner menemukan antigen
(aglutinogen) yang terdapat di dalam sel darah merah dan juga menemukan antibodi
(aglutinin) yang terdapat di dalam plasma darah (Prawirohartono, 1995).
Kemudian, sampel darah milik Defi diketahui bergolongan darah A sehingga
ketika diuji menggunakan serum anti-A, darah tersebut menggumpal karena golongan
darah A tidak memiliki zat anti-A sehingga darah akan menggumpal. Namun, ketika
darah ditetesi oleh serum anti-B darah tersebut tidak menggumpal karena golongan
darah A memiliki zat anti-B sehingga terjadi penolakan (tidak menggumpal).
Sedangkan sampel darah Annisa dan Zahwa diketahui memiliki golongan darah B,
yang ketika diuji dengan serum anti-A darah tersebut tidak menggumpal karena
golongan darah B memiliki zat anti-A. Sedangkan sampel darah yang ditetesi serum
anti-B akan menggumpal karena golongan darah B tidak memiliki zat anti-B.
Penggolongan darah tidak hanya A, B dan O namun ada juga AB. Sampel darah AB,
jika ditetesi serum anti-A dan anti-B akan menggumpal karena golongan darah AB
tidak memiliki zat anti-A dan zat anti-B.
Selanjutnya, sistem “ABO” merupakan dasar penggolongan darah dengan
adanya aglutinogen (antigen) di dalam sel darah merah dan aglutinin (antibodi) di
dalam plasma (serum). Aglutinogen adalah zat yang digumpalkan, sedangkan
aglutinin adalah zat yang menggumpalkan. Dalam sistem “ABO”, ada tidaknya
antigen tipe A dan B di dalam sel darah merah menentukan apa golongan darah yang
dimiliki oleh seseorang. Sistem tersebut mengelompokkan darah manusia menjadi
empat golongan yaitu A, B, AB, dan O (Priadi, 2009: 138-140). Berdasarkan
penjelasan mengenai penggumpalan darah di atas dapat diketahui bahwa
penggolongan darah berdasarkan sistem “ABO” dikelompokkan menjadi 4 yakni
golongan darah A, B, AB dan O. Golongan darah A memiliki antigen atau
aglutinogen A pada sel darahnya dan memiliki aglutinin anti-B atau zat anti-B pada
plasmanya. Golongan darah B memiliki aglutinogen B pada sel darahnya dan
memiliki aglutinin anti-A pada plasmanya. Golongan darah AB memiliki aglutinogen
A dan B namun tidak memiliki aglutinin pada plasmanya. Sedangkan golongan darah
O tidak memiliki aglutinogen pada sel darahnya namun memiliki aglutinin anti-A
maupun anti-B pada plasmanya (Harris,1994:402).
Koagulasi darah adalah suatu fungsi dari darah untuk mencegah banyaknya
darah yang hilang dari pembuluh darah yang rusak (terluka). Bagian dari darah yang
sangat berperan dalam proses koagulasi adalah trombosit atau keping darah.
Trombosit berasal dari sistem sel di sumsum tulang yaitu mengakarosit yang
berkembang menjadi trombosit (Nurcahyo,1998:51). Dalam hal ini, pembekuan darah
disebut juga dengan koagulasi darah. Faktor yang diperlukan dalam penggumpalan
darah adalah garam kalsium sel yang luka dan membebaskan trompokinase, trombin
dari protombin dan fibrin yang terbentuk dari fibrinogen. Mekanisme pembekuan
darah adalah sebagai berikut.

Setelah trombosit meninggalkan pembuluh darah dan pecah, maka trombosit


akan mengeluarkan tromboplastin. Bersama-sama dengan ion Ca tromboplastin
mengaktifkan protombin menjadi trombin. Trombin adalah enzim yang mengubah
fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin inilah yang berfungsi menjaring sel-sel darah merah
menjadi gel atau menggumpal. Kisaran waktu terjadinya koagulasi darah 15 detik
sampai 2 menit dan umumnya akan berakhir dalam waktu 5 menit. Gumpalan darah
normal akan mengkerlit menjadi sekitar 40% dari volume semula dalam waktu 24
jam. Waktu koagulasi adalah waktu darah mulai keluar sampai keluarnya benang
fibrin.
Banyak sekali zat-zat yang memengaruhi proses pembekuan darah, salah
satunya disebut dengan zat prokoagulan yang mempermudah terjadinya pembekuan
dan sebaliknya zat yang menghambat proses pembekuan disebut dengan zat
antikoagulan. Dalam keadaan normal, zat antikoagulan lebih dominan sehingga darah
tidak membeku. Tetapi apabila pembuluh darah rusak, maka aktivitas prokoagulan di
daerah yang rusak akan meningkat dan bekuan akan terbentuk.
Dalam hal ini waktu koagulasi darah Eillen 30 detik ke 5, Defi sebesar 30
detik ke 1, Zahwa 30 detik ke 5, dan Annisa 30 detik ke 6. Berdasarkan hasil
pengamatan waktu beku darah yang terjadi pada Eillen, Defi, Zahwa, dan Annisa,
rata-rata waktu beku darah yang diperoleh yakni 2,125 menit dengan waktu tercepat
30 detik dan waktu terlama 180 detik. Selain itu, kisaran waktu pendarahan yang
normal adalah 15 hingga 180 detik sehingga semua praktikan yang diuji masih
termasuk memiliki waktu koagulasi yang normal.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan oleh praktikan, dapat
disimpulkan bahwa penggolongan darah manusia dapat dilakukan dengan beberapa
sistem, salah satunya adalah sistem “ABO”. Menurut sistem ini, golongan darah dapat
dilihat berdasarkan aglutinogen dan aglutininnya. Berdasarkan sistem ABO, golongan
darah dibedakan menjadi:
1. Golongan darah A, yaitu jika sel darah merah mengandung aglutinogen A dan
aglutinin b dalam plasma darah.
2. Golongan darah B, yaitu jika sel darah merah mengandung aglutinogen B dan
aglutinin a dalam plasma darah.
3. Golongan darah AB, yaitu jika sel darah merah mengandung glutinogen A dan B,
dan plasma darah tidak memiliki aglutinin.
4. Golongan darah O, yaitu jika sel darah merah tidak memiliki aglutinogen A dan
B, dan plasma darah memiliki aglutinin a dan b.
Dengan mengetahui jenis golongan darah dapat memudahkan dalam
proses transfusi darah apa saja yang cocok antara donor (yang memberikan darah)
dan resipien (yang menerima darah). Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa:
a. Golongan darah A dapat mendonorkan darahnya pada golongan darah A dan
B, serta dapat menerima darah dari golongan darah A dan O.
b. Golongan darah B dapat mendonorkan darahnya pada golongan darah B dan
AB, serta dapat menerima darah dari golongan darah B dan O.
c. Golongan darah AB dapat mendonorkan darahnya pada golongan darah AB
saja, tetapi dapat menerima dari semua golongan darah sehingga disebut
resipien universal.
d. Golongan darah O dapat mendonorkan darahnya pada semua golongan darah
(disebut donor universal), tetapi hanya dapat menerima donor darah dari
golongan O saja.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Harris, H. 1994. Dasar-dasar Genetika Biokemis Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Nurcahyo, Heru. 1998. Anatomi dan Fisiologi Hewan. Yogyakarta: FMIPA UNY
Nurcahyo, Heru., & Harjana, Tri. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan Dasar.
Yogyakarta: FMIPA UNY
Prawirohartono, Slamet. 1995. Sains Biologi. Jakarta: Bumi Aksara
Priadi, Arif. 2009. Biologi. Jakarta: Tirta
Sudjadi, Bagod. 2007. Biologi 1. Jakarta: Erlangga

VIII. LAMPIRAN
Laporan praktikum sementara

Uji golongan darah menggunakan serum dan waktu koagulasi darah


SISTEM EKSKRESI
KEGIATAN 8
PEMERIKSAAN WARNA, KEJERNIHAN DAN pH URIN

I. TUJUAN PRAKTIKUM
A.1. Tujuan Kegiatan
Mengamati warna, kejernihan, derajat keasaman (pH) urin.
A.2. Kompetensi Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan dan menerangkan pemeriksaan warna urin.
2. Mahasiswa dapat melakukan dan menerangkan kejernihan urin.
3. Mahasiswa dapat melakukan dan menerangkan derajat keasaman (pH) urin.

II. ALAT DAN BAHAN


1. Tabung reaksi
2. Urin probandus

III. CARA KERJA


C.1. Pemeriksaan Warna Urin
1. Dimasukkan kira-kira 10 ml urin naracoba ke dalam tabung reaksi, kemudian
diamati dengan cara menerawang tabung yang berisi urin tersebut dari arah
datangnya sumber cahaya dan posisi tabung agak dimiringkan.
2. Warna urin tersebut dinyatakan dalam kategori: tidak berwarna, kuning muda,
kuning tua, kuning kemerahan, merah, coklat, putih seperti susu.
C.2. Pemeriksaan Kejernihan Urin
Dilakukan langkah yang sama seperti pemeriksaan warna urin. Untuk
pemeriksaan kejernihan urin dinyatakan dengan kategori: jernih, agak keruh,
keruh, dan sangat keruh.
C.3. Pemeriksaan pH Urin
Urin ditaruh pada tabung reaksi kemudian pH stick diambil dan dicelupkan
ke dalam urin tersebut, diamati perubahan warnanya dan dicatat pHnya.

IV. HASIL
a. Data hasil pengamatan kejernihan, warna dan pH urin
No Nama pH Warna Kejernihan
1. Annisa 6 kuning tua Jernih (++)
2. Eillen 6 kuning muda Jernih (+)
3. Defi 7 kuning muda Jernih (+)
4. Zahwa 6 kuning muda Jernih (+)

b. Data hasil pengamatan bagian-bagian ginjal


Keterangan :

1.Kapsula Renalis
2. Ureter
3. Pelvis Renalis
4. Hilus

Keterangan :

1. Ureter
2. Korteks
3. Pyramid
4. Pelvis Renalis
5. Calyx Mayor
6. Calyx Minor
7. Medula Renalis

V. PEMBAHASAN
Praktikum mengenai pemeriksaan warna, kejernihan dan pH urin ini
dilaksanakan di Laboratorium Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 11 Februari 2020.
Praktikum ini menyebutkan bahwa urin merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh
ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Urin
merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar (±96%) air dan sebagian
kecil zat terlarut (±4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan sementara dalam kandung
kemih dan dibuang melalui proses miknutrisi (Evelyn C. Pearce, 2002).
Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam darah yang
disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh. Urin disaring di dalam
ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, dan akhirnya dibuang keluar tubuh
melalui uretra. Urin berasal dari darah yang dibawa arteri renalis masuk ke dalam ginjal,
terdiri dari bagian padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah. Terbentuknya urin
melalui tiga proses yaitu filtrasi, reabsorpsi dan sekresi (Alwi, 2004). Tes urin terdiri dari
pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan kimia urin (Hardjono dan
Fitriani, 2007). Pemeriksaan makroskopis adalah pemeriksaan yang dilakukan langsung
dengan mata tanpa penambahan atau reagen atau zat kimia tertentu. Pemeriksaan
makroskopis meliputi pemeriksaan volume, warna, kejernihan, dan bau. Berikut ini
adalah proses pembentukan urin:
a. Penyaringan (filtrasi) : capsula bowman dari badan malpighi menyaring darah dalam
glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea, dan zat bermolekul besar
(protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin primer). Di dalam
filtrat ini terlarut zat seperti glukosa, asam amino, dan garam-garam.
b. Penyerapan kembali (reabsorpsi) : dalam tubulus kontortus proksimal, zat dalam urin
primer yang masih berguna akan direabsorpsi yang akan dihasilkan filtrat tubulus
(urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
c. Pengeluaran (sekresi) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah menambahkan
zat lain yang tidak digunakan sehingga terjadi reabsorpsi aktif ion Na + dan ion Cl-
serta sekresi ion H+ dan ion K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus kolektivus ke
pelvis urenalis (Watson, 2002).
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan oleh praktikan, diperoleh hasil yaitu
urin milik Annisa memiliki warna kuning yang lebih tua dibandingkan urin milik Eillen,
Defi dan Zahwa. Warna urin yang dikeluarkan tergantung dari konsentrasi dan sifat bahan
yang larut dalam urin. Warna urin dapat berubah karena obat-obatan, makanan, serta
penyakit yang diderita. Warna urin normal putih jernih, kuning muda atau kuning. Warna
urin berhubungan dengan derasnya diuresis (banyak kencing), lebih besar diueresis lebih
condong putih jernih. Pada keadaan dehidrasi atau demam, warna urin lebih kuning dan
pekat dari biasa ginjal normal (Gandasoebrata, 2006). Warna kuning coklat (seperti teh)
penyebabnya adalah bilirubin, warna merah coklat penyebabnya hemoglobinuria dan
porpyrin, warna merah dengan kabut coklat penyebabnya darah dengan pigmen-pigmen
darah, warna coklat hitam penyebabnya melanin dan warna hitam disebabkan oleh
pengaruh obat-obatan (Kee, Joyce LeFever, 1997). Berikut ini merupakan macam-
macam warna urin beserta indikasinya.
Sedangkan untuk kejernihan urin, urin milik Annisa paling jernih dibandingkan
dengan urin milik Eillen, Defi dan Zahwa. Kekeruhan urin yang baru dikemihkan
biasanya jernih. Kekeruhan yang timbul apabila urin didiamkan beberapa jam disebabkan
oleh berkembangnya kuman. Kekeruhan ringan bisa disebabkan oleh nubecula.
Kekeruhan biasanya terjadi karena kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urin asam)
atau fosfat (dalam urin basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan oleh bahan seluler
berlebihan atau protein dalam urin (Riswanto dan Rizki, 2015). Konsentrasi atau
kepekatan urin mengacu pada jumlah zat terlarut yang ada dalam volume urin yang di
ekskresikan. Urin biasanya terdiri dari 94% air dan 6% zat terlarut. Jumlah dan jenis zat
terlarut yang diekskresikan bervariasi sesuai dengan diet, aktivitas fisik, dan kesehatan
pasien. Urin yang encer memiliki partikel terlarut lebih sedikit per volume air.
Saat diukur menggunakan pH stick urin Defi memiliki pH netral yaitu 7,
sedangkan Annisa, Eillen dan Zahwa memliki pH urin 6. Derajat keasaman urine harus
diukur pada urine baru, pH urin orang dewasa normalnya adalah 4,6-7,5 pH urin 24 jam
biasanya asam, hal ini disebabkan karena zat-zat sisa metabolise badan yang biasanya
bersifat asam. Penelitian pH urin berguna pada gangguan cairan badan elektrolit serta
pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh kuman yang menguraikan ureum.
Adanya bakteriurea urin akan bersifat alkalis. (Gandasoebrata, 2006)

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa :
a. Warna urin yang dikeluarkan tergantung dari konsentrasi dan sifat bahan yang larut
dalam urin.
b. Kekeruhan biasanya terjadi karena kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urin
asam) atau fosfat (dalam urin).
c. Pada pH urin orang dewasa normalnya adalah 4,6-7,5 pH. Ketika sudah didiamkan
selama 24 jam, biasanya urin bersifat asam. Hal ini disebabkan karena zat-zat sisa
metabolisme badan yang biasanya bersifat asam.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Alwi, M. 2004. Buku Ajar Biomedik I. Makassar : Universitas Muslim Indonesia
Hardjono & Fitriani. 2007. Substansi dan Cairan Tubuh. Makassar: Universitas
Hasanuddin
Watson, R. 2002. Anatomi Dan Fisiologi. Jakarta : EGC
Gandasoebrata. 2006. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat
Kee,Joyce LeFever, 1997. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik. Jakarta:
EGC
Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama
Riswanto dan Rizki, M. 2015. Urinalisis: Menerjemahkan Pesan Klinis Urine.
Yogyakarta:
Pustaka Rasmedia

IX. LAMPIRAN

Mengukur pH urine dengan pH stick


Laporan praktikum sementara

Urine Naracoba Bagian-bagian ginjal


SISTEM EKSKRESI
KEGIATAN 9
PEMERIKSAAN PROTEIN DAN GLUKOSA DALAM URIN

I. TUJUAN PRAKTIKUM
A1. Tujuan Kegiatan
1. Melakukan pemeriksaan adanya kandungan protein dalam urin.
2. Melakukan pemeriksaan adanya kandungan glukosa dalam urin.
A2. Kompetensi Khusus
1. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan kandungan protein dalam urin dan
dapat menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proteinuria.
2. Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan kandungan glukosa dalam urin dan
dapat menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya glukosuria.

II. ALAT DAN BAHAN


1. Urin naracoba
2. Tabung reaksi
3. Reagen robert
4. Pipet pasteur
5. HNO3 pekat
6. MgSO4 pekat
7. Lampu spiritus
8. Penjepit tabung reaksi
9. Rak tabung reaksi
10. Reagen fehling

III. CARA KERJA


C.1. Pemeriksaan Protein dalam Urin
1. Dimasukkan 2 ml urin naracoba ke tabung raksi kemudian tambahkan 2ml reagen
robert dengan menggunakan pipet ke dalam tabung secara perlahan-lahan.
2. Digunakan latar belakang hitam/gelap kemudian amati apa yang terjadi pada urin
tersebut.
3. Diamati dan bandingkan urin antar probandus.
4. Jika terdapat cincin putih pada batas antara urin dan reagen robert maka reaksi
positif, artinya dalam urine tersebut terdapat protein.
C.2. Pemeriksaan Glukosa dalam Urin
1. Dipersiapkan reagen fehling.
2. Dimasukkan ke dalam tabung reaksi 2,5 ml urin, kemudian ditambahkan pula 2,5
ml reagen fehling.
3. Digunakan penjepit tabung reaksi dan dipanaskan tabung reaksi tersebut di atas
api lampu spiritus sampai mendidih.
4. Diamati perubahan yang terjadi.
5. Jika terdapat endapan berwarna merah bata atau warna larutan berubah menjadi
kuning kemerahan, maka reaksi positif, berarti di dalam urine terdapat glukosa.

IV. HASIL
Tabel data pemeriksaan protein dan glukosa dalam urin
No Nama Uji Glukosa Uji Protein
1. Defi - -
2. Zahwa - -
3. Eillen - -
4. Annisa - -

V. PEMBAHASAN
Praktikum mengenai pemeriksaan protein dan glukosa dalam urin ini dilaksanakan
di Laboratorium Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 18 Februari 2020. Percobaan ini
memiliki tujuan yaitu mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan kandungan protein dan
glukosa dalam urin serta dapat menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
proteinuria dan glukosuria. Sebelum memulai percoban ini, terlebih dahulu praktikan
menyiapkan alat dan bahan terutama urin naracoba. Diusahakan urin yang diambil cukup
banyak karena akan dilakukan dua uji yaitu uji protein dan glukosa, selain itu diharapkan
naracoba tidak ada yang mengonsumsi obat-obatan sebelum uji ini dilakukan. Karena
obat-obatan dapat menimbulkan reaksi positif palsu apabila obat-obatan yang diminum
mengandung protease, tolbutamid, sulfonamid, dan lain-lain sehingga hasil metabolisme
akan terkumpul di urin (Ma’rufah.2011).
Percobaan yang pertama dilakukan yaitu pemeriksaan protein di dalam urin.
Pemeriksaan ini akan menggunakan uji Robert. Prinsip pemeriksaan protein dengan uji
Robert yaitu kemampuan asam kuat untuk mempresipitasikan protein. Sehingga jika di
dalam urin terdapat protein, asam kuat yang terdapat dalam reagen Robert akan
mempresipitasikan protein tersebut. Akibat dari reaksi ini akan timbul cincin putih pada
batas antara urin dan reagen Robert (Gandasoebrata, R. 2013). Percobaan ini diawali
dengan memasukkan urin naracoba ke dalam tabung reaksi sebanyak 2 ml kemudian
ditambahkan dengan 2 ml reagen Robert. Setelah itu didiamkan sejenak dan diamati
perubahan yang terjadi.
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, urin para naracoba yang telah
ditetesi reagen dan didiamkan, tidak terjadi perubahan warna ataupun endapan. Warna
urin tetap seperti pada warna awal. Apabila mengacu pada dasar teori yang telah
disebutkan diatas, jika urin mengandung protein akan timbul cincin putih pada batas
antara urin dan reagen Robert. Jika tidak terdapat gejala tersebut, bisa dikatakan bahwa di
dalam urin tidak mengandung protein sehingga tidak ada yang dipresipitasikan oleh asam
kuat. Akibatnya tidak terbentuk cincin putih pada batas reagen dan urin. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa urin para naracoba tidak mengandung protein.
Lalu percobaan yang kedua adalah pemeriksaan glukosa dalam urin dengan
menggunakan uji Fehling. Prinsip pemeriksaan glukosa dengan uji Fehling yaitu sifat
mereduksi glukosa terhadap cuprioksida (CuSO4) sehingga terbentuk endapan berwarna
merah bata (merah kekuningan). Untuk mendapat hasil yang baik sebelum digunakan
sebaiknya urin dan reagen disaring terlebih dahulu (Arbi,R.dkk.2015). Langkah pertama
dari percobaan ini yaitu memasukkan 2,5 ml urin para naracoba ke dalam tabung reaksi
dan ditambahkan dengan 2,5 ml reagen Fehling. Setelah itu dipanaskan hingga mendidih
menggunakan lampu spiritus. Kemudian didiamkan sejenak dan diamati perubahan yang
terjadi. Berdasarkan hasil percobaan, terjadi perubahan warna pada urin naracoba. Urin
milik Annisa berubah warna menjadi biru jernih, urin Zahwa berubah warna menjadi biru
tua, lalu urin milik Eillen berwarna biru kehijauan, dan yang terakhir yaitu urin Defi
berwama biru pekat. Perbedaan warna biru yang dihasilkan bisa disebabkan karena
beberapa faktor, salah satunya yaitu jenis makanan dan banyaknya air yang dikonsumsi
(Ma’rufah.2011). Semua urin naracoba hanya terjadi perubahan warna tetapi tidak ada
yang terbentuk endapan merah. Hal ini disebabkan karena di dalam urin tidak terdapat
glukosa yang direduksi oleh cuprioksida, Dengan demikian dari hasil percobaan tersebut,
di dalam urin naracoba tidak ditemukan glukosa.
Urin adalah hasil sisa metabolisme yang diekskresikan oleh ginjal kemudian
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui sistem perkemihan (urinaria). Urin mengandung
zat-zat yang sudah tidak diperlukan lagi oleh tubuh, sehingga harus dikeluarkan karena
bisa meracuni tubuh (Gandasoebrata, R. 2013). Urin yang normal hanya mengandung air,
urea, amoniak, NaCl, pigmen empedu dan zat-zat yang berlebih dalam darah seperti
vitamin, obat-obatan dan hormon. Urin diproduksi melalui tiga tahap yaitu filtrasi
(penyaringan), reabsorpsi, dan sekresi atau augmentasi. Filtrasi terjadi di glomelurus,
proses ini menyaring air, garam, glukosa, asam amino, urea dan limbah lainnya untuk
melewati kapsul Bowman. Hasil filtrasi ini menghasilkan urin primer. Selanjutnya yaitu
reabsorpsi yang terjadi di tubulus proksimal, pada tahap ini seharusnya semua glukosa
diserap kembali oleh tubuh dan hasil dari proses ini adalah urin sekunder. Tahap terakhir
yaitu augmentasi. Terjadi di tubulus distal dan menghasilkan urin yang sesungguhnya
(Gandasoebrata, R. 2013).
Pada beberapa kondisi, urin manusia bisa saja mengandung zat-zat yang masih
dibutuhkan oleh tubuh seperti protein dan glukosa. Hal tersebut bisa menjadi sebuah
indikasi jika ada bagian dari ginjal yang mengalami kerusakan. Jika di dalam urin
mengandung protein maka kelainan ini disebut dengan proteinuria atau albuminuria.
Albumin merupakan protein utama dalam darah sehingga seharusnya diserap oleh tubuh
saat proses filtrasi. Apabila terdapat protein di dalam urin artinya pada bagian glomelurus
ginjal mengalami suatu kerusakan karena tidak dapat menyaring darah dengan baik
(Prosedural,T.2012). Proteinuria dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
sebagai berikut:
1. Penderita diabetes
2. Tekanan darah tinggi/hipertensi
3. Trauma
4. Aktivitas fisik terlalu intens
5. Konsumsi obat tertentu yang menyebabkan protein masuk ke urin
6. Racun
7. Infeksi sistemik
8. Infeksi saluran kemih
9. Gangguan kekebalan tubuh
10. Obesitas
11. Usia di atas 65 tahun
12. Faktor genetik gangguan ginjal
13. Preeklamsia (tekanan darah tinggi saat hamil)
Kelainan selanjutnya yaitu glukosuria. Glukosuria merupakan keadaan dimana
urin mengandung glukosa. Seharusnya glukosa sudah terserap kembali saat proses
reabsorpsi di tubulus proksimal. Artinya jika seseorang mengalami glukosuria maka bisa
saja bagian tubulus distal orang tersebut mengalami suatu gangguan. Faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya glukosuria yaitu (Aziz, H. A. 2016):
1. Diabetes mellitus, yakni kurangnya hormon insulin dalam darah sehingga dapat
meningkatkan kadar glukosa. Bila ada terlalu banyak glukosa dalam darah, ginjal
tidak dapat menyerap kembali gula tersebut ke dalam aliran darah, sehingga
sebagian akan dikeluarkan melalui urin.
2. Diabetes gestasional, yaitu kondisi gula darah tinggi di atas normal pada masa
kehamilan.
3. Diet tinggi gula, misalnya kalau terlalu sering mengonsumsi makanan dan
minuman manis.
4. Sirosis hati yang memengaruhi metabolisme karbohidrat, sehingga mengakibatkan
kadar glukosa yang tinggi di dalam darah. Kadar glukosa darah yang tinggi akan
membuat glukosa keluar melalui urin.

VI. KESIMPULAN
1. Dari hasil percobaan yang dilakukan dari semua sempel urin naracoba tidak ada yang
mengandung protein maupun glukosa.
2. Pemeriksaan protein dilakukan dengan Uji Robert dimana hasil positif ditandai
dengan munculnya cincin putih pada batas reagen Robert dengan urin. Sedangkan
pemeriksaan glukosa dilakukan dengan Uji Fehling dimana hasil positif ditunjukkan
dengan terbentuknya endapan merah bata/merah kekuningan.
3. a. Faktor penyebab proteinuria antara lain sebagai berikut:
1. Penderita diabetes
2. Tekanan darah tinggi/hipertensi
3. Trauma
4. Aktivitas fisik terlalu intens
5. Konsumsi obat tertentu yang menyebabkan protein masuk ke urine
6. Racun
7. Infeksi sistemik
8. Infeksi saluran kemih
9. Gangguan kekebalan tubuh
10. Obesitas
11. Usia di atas 65 tahun
12. Faktor genetik gangguan ginjal
13. Preeklamsia (tekanan darah tinggi saat hamil)
b. Faktor penyebab glukosuria antara lain sebagai berikut:
1. Diabetes militus
2. Diabetes gestasional
3. Diet tinggi gula
4. Sirosis hati

VII. DAFTAR PUSTAKA


Arbi, R. dkk. 2015. Hubungan Kadar Gula Darah dengan Glukosuria pada Pasien
Diabetes Melitus. Bandung: Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran
Universitas Islam
Aziz, H. A. 2016. Gambaran Reduksi Urin dengan Metode Benedict pada Pasien
Diabetes
Melitus. Ciamis: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah
Gandasoebrata, R. 2013. Penuntun laboratorium klinik. Cetakan Kelimabelas. Jakarta:
Dian Rakyat
Ma’rufah, 2011. Hubungan Glukosa Urin dengan Berat Jenis Urin. Malang: Akademi
Analis Kesehatan
Nurcahyo, Heru., & Harjana, Tri. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan Dasar.
Yogyakarta: FMIPA UNY
Prosedural, T. 2012. Penuntun skills lab blok 3.4 gangguan urogenital. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.

VIII. LAMPIRAN

Laporan Sementara Pemeriksaan Protein dan Glukosa dalam Urin

Urin Naracoba
Urine yang telah diuji coba

KEGIATAN 10
PENGARUH SUHU LINGKUNGAN TERHADAP SUHU TUBUH

I. TUJUAN PRAKTIKUM
A.1. Tujuan Kegiatan
Mahasiswa dapat melakukan pengukuran suhu tubuh homeoterm dan
mengamati pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia.
A.2. Kompetensi Khusus
Mahasiswa dapat melakukan pengukuran suhu tubuh homeoterm dan
mengamati pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia.

II. ALAT DAN BAHAN


1. Termometer batang
2. Air dingin
3. Air hangat
4. Pengukur waktu
5. Plastik

III. CARA KERJA


C.1 Pemeriksaan Suhu pada Manusia
1. Diukur suhu awal tubuh menggunakan termometer dan catat hasilnya.
2. Disiapkan air hangat, air dingin, dan plastik.
3. Dimasukkan air hangat dan air dingin tersebut ke dalam plastik yang berbeda
secukupnya saja.
4. Diletakkan plastik yang berisi air dingin di bagian tengkuk selama 5 menit,
kemudian ukur suhu tubuh kembali.
5. Lalu, giliran plastik yang berisi air hangat untuk diletakkan di bagian tengkuk
selama 5 menit, setelah itu ukur kembali suhu tubuh.
6. Dicatat suhu awal dan suhu akhir tubuh setelah diberi perlakuan air dingin dan air
hangat tersebut.
C.2 Pemeriksaan Suhu pada Poikiloterm
1. Diletakkan termometer ke dalam mulut katak selama kurang lebih 5 menit,
kemudian amati skalanya dan catat suhunya.
2. Setelah itu katak dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer 1 liter yang telah diisi
air dingin ¾ volumenya, juga amati perubahan suhu setelah lima menit direndam.
3. Diulangi dengan cara yang sama, tetapi air dingin diganti dengan air hangat, amati
dan catat suhunya.
4. Apakah ada perbedaan suhu katak antara sebelum dan sesudah perlakuan.

IV. HASIL
a. Tabel data hasil pengukuran suhu tubuh pada manusia
No Nama Suhu Normal Suhu Dingin Suhu Panas
o
1. Zahwa 37,3 C 37,0oC 37,2oC
o
2. Eillen 37,1 C 37,5oC 37,2oC
3. Defi 37,3oC 37,8oC 37,1oC
o
4. Annisa 37,8 C 37,2oC 36,6oC

b. Tabel data hasil pengukuran suhu tubuh pada poikiloterm


Nama Hewan Suhu Normal Suhu Dingin Suhu Panas
Katak 29 oC 29 oC 30 oC

V. PEMBAHASAN
Praktikum mengenai pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh ini
dilaksanakan di Laboratorium Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 25 Februari 2020.
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui ukuran suhu tubuh homeoterm dan
mengamati pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh manusia. Percobaan ini
melibatkan 4 orang praktikan dan 1 ekor katak. Adanya katak dalam pecobaan ini,
digunakan sebagai pembanding suhu tubuh antara homeoterm dan poikiloterm.
Dimana manusia sebagai homeoterm (berdarah panas) sedangkan katak sebagai
poikiloterm (berdarah dingin). Empat orang praktikan dan seekor katak akan
mengalami dua perlakuan, yaitu perlakuan air hangat dan perlakuan air dingin. Hal ini
bertujuan untuk melihat pengaruh suhu lingkungan terhadap suhu tubuh. Namun,
sebelum itu harus diukur suhu awal tubuh terlebih dahulu.
Untuk suhu awal Zahwa yaitu 37,3oC, suhu tubuh Eillen yaitu 37,1oC, suhu
tubuh Defi yaitu 37,3oC, dan yang terakhir suhu tubuh Annisa sebesar 37,8 oC. Hasil
pengukuran tersebut terbilang normal sebab dari hasil pengamatan yang dilakukan
oleh praktikan, suhu dari ke-4 praktikan yang diamati menunjukkan bahwa suhu yang
diperoleh berkisar dalam rentang 37,1-37,8. Hal ini sesuai dengan literatur dari
Campbell dkk. tahun 2000, yang menyatakan bahwa hewan homeoterm dapat
mempertahankan suhu tubuhnya dari 35oC sampai 40oC. Tetapi menurut referensi dari
Guyton dan Hall tahun 2007 menyatakan suhu inti tubuh, sekitar 37,1ºC atau 36,5ºC
sampai 37,5ºC. Hal ini berarti hasil pengamatan dari ke-4 praktikan yang suhunya
diatas 37,50C sedang mengalami gangguan atau sakit. Sedangkan suhu awal tubuh
katak sebesar 29 oC.
Kemudian dilakukan perlakuan yang pertama yaitu pemberian air dingin pada
tengkuk selama 5 menit. Setelah itu, suhu tubuh diukur kembali dengan termometer.
Zahwa memiliki suhu 37,0oC, lalu Eillen bersuhu 37,5oC, sedangkan Defi bersuhu
37,8oC, dan terakhir Annisa yaitu 37,2oC. Katak pun juga mendapat perlakuan
demikian, dengan cara memasukan katak ke dalam gelas ukur yang ukurannya sesuai
dengam besar katak. Tetapi sebelumnya gelas ukur telah diisi dengan air dingin.
Letakkan katak dengan posisi kepala katak menghadap ke atas, hal ini agar
memudahkan pada saat memasukan termometer ke dalam mulut katak. Kemudian
memasukkan termometer ke dalam mulut katak selama 5 menit. Dan diperoleh suhu
sebesar 29oC. Begitupula dengan perlakuan yang kedua, yaitu pemberian air hangat.
Diperoleh hasil pengukuran yaitu suhu tubuh Zahwa sebesar37,2 oC, Eillen sebesar
37,2oC, Defi sebesar 37,1oC, dan Annisa sebesar 36,6oC, serta suhu katak pada kondisi
hangat yaitu 30oC.
Dari percobaan yang telah dilakukan suhu tidak berubah drastis sebab manusia
termasuk ke dalam anggota kelompok berdarah panas (homeoterm) yang akan tetap
mempertahankan suhu tubuhnya dalam keadaan normal. Lalu apabila dilihat dari hasil
praktikum pada pengaruh suhu lingkungan dingin, hasil pengukuran suhu tubuh Eillen
dan Defi mengalami peningkatan suhu tubuh naik justru menjadi panas pada
lingkungan dingin. Lalu pada perlakuan suhu lingkungan panas, terjadi penurunan
suhu tubuh menjadi lebih dingin pada Eillen, Defi, dan Annisa. Berdasarkan temuan
ini, terlihat bagaimana suhu tubuh terpengaruh lingkungannya yang berupa air es
maupun air panas pada awal perlakuan. Hal inilah yang dinamakan respon
berkebalikan (feedback negative). Berdasarkan kajian pustaka yang dilakukan,
fenomena ini bisa dijelaskan menurut teori regulasi suhu pada manusia sebagai hewan
homeoterm. Organisme berdarah panas (homeoterm) memiliki organ pengatur suhu
tubuh yaitu hipothalamus agar suhu tubuh tetap pada kondisi optimal.
Pusat pengatur panas dalam tubuh adalah hipothalamus. Hipothalamus ini
dikenal sebagai thermostat yang berada dibawah otak. Terdapat dua hipothalamus,
yaitu: hipothalamus anterior yang berfungsi mengatur pembuangan panas dan
hipothalamus posterior yang berfungsi mengatur upaya penyimpanan panas.
Pengaturan suhu badan (thermoregulasi) bertujuan agar panas yang dihasilkan dari
berbagai proses metabolisme dan yang diperoleh dari lingkungan sekitar harus
seimbang dengan banyaknya panas yang dikeluarkan dari tubuh. Regulasi panas
badan menggunakan sistem feedback (umpan balik negatif) artinya apabila panas
badan melebihi suhu optimal, maka hipothalamus akan berusaha menurunkan ke
optimal dan sebaliknya (Djukri dan Heru Nurcahyo, 2017: 17).
Berdasarkan prinsip tersebut, dapat dijelaskan mengapa perubahan yang
terjadi pada suhu tubuh probandus hanya menunjukkan sedikit perbedaan nilai yang
kemudian direspon berkebalikan. Pada saat tubuh dikenai air es maupun air panas,
terjadi respon dari sel-sel saraf hipothalamus yang selanjutnya akan menginstruksikan
feedback negative untuk mempertimbangkan kondisi keseimbangan. Mekanisme ini
hanya dimiliki organisme homeoterm dan telah memberikan banyak manfaat. Salah
satunya ialah dengan penjagaan kondisi tubuh untuk metabolisme yang optimal tanpa
sepenuhnya tergantung pada lingkungan di sekitarnya.
Lalu pada katak nampak perbedaan dimana suhu tubuh katak akan mengikuti
suhu lingkungan. Jika suhu lingkungan panas, suhu katak akan meningkat, apabila
suhu lingkungan dingin maka suhu katak juga akan menurun. Hal ini disebabkan
karena katak merupakan kelompok poikiloterm. Hewan poikiloterm suhunya
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu organ tubuh bagian dalam lebih tinggi
dibandingkan suhu organ tubuh bagian luar yang dipengaruhi oleh suhu sekitarnya.
Perbedaan suhu di bagian ini diakibatkan oleh adanya panas yang diproduksi, panas
yang diperoleh dan panas yang dilepaskan bagian tersebut. Hewan seperti ini disebut
juga hewan berdarah dingin (Duke’s, 1995).
Makhluk hidup yang termasuk poikiloterm adalah katak. Katak sebagai
poikiloterm merupakan hewan yang suhu tubuhnya tergantung kepada perubahan
temperatur lingkungan hewan tersebut berada karena panas yang dihasilkan dari
keseluruhan sistem metabolismenya hanya sedikit. Suhu tubuh hewan ini berubah
sesuai dengan lingkungannya. Hewan ini akan aktif bila suhu lingkungan panas dan
akan pasif (berdiam di suatu tempat) bila suhu lingkungan rendah. Hal yang
menyebabkan hewan tersebut tidak dapat menghasilkan panas yang cukup untuk
tubuhnya karena darah dari hewan poikiloterm ini biasanya bercampur antara darah
bersih dan darah kotor. Ini disebabkan karena belum sempurnanya katup pada jantung
hewan tersebut (Duke’s, 1995).
Hewan poikiloterm tidak mempunyai sistem pengaturan panas yang sempurna,
sehingga jika suhu sekeliling naik, maka suhu tubuh akan naik (tergantung pada
pengaruh lingkungan). Suhu organ dalam berbeda dengan suhu organ luar tubuh.
Berdasarkan penjelasan di atas, homeoterm dapat beradaptasi dengan lingkungannya
karena memiliki sistem regulasi yang baik melalui respon feedback negative,
sedangkan poikiloterm cenderung mengikuti suhu lingkungan karena sistem
regulasinya kurang sempurna. Suhu lingkungan memiliki derajat yang tidak jauh
berbeda dari suhu tubuh. Hal ini dapat mengisyaratkan bahwa suhu tubuh dan suhu
lingkungan akan saling menyesuaikan. Penyesuaian ini dilakukan untuk mencegah
kerusakan dan gangguan sistem dalam tubuh yang dapat mengganggu kestabilan sel,
sehingga sel-sel menjadi rusak dan tidak mampu bermetabolisme secara sempurna
(Guyton,1993).
Lalu untuk beberapa ketidaksesuaian dengan dasar teori, seperti suhu tubuh
Annisa dan Zahwa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya yaitu, seperti
disebutkan diatas suhu tubuh awal Annisa di atas 37,5 oC berarti sedang terjadi
gangguan atau sedang sakit. Kemudian karena keterbatasan alat dan waktu, dan ada
beberapa termometer yang digunakan secara bergantian dan belum sempat untuk
dikalibrasi. Lalu kesalahan pengukuran bisa juga disebabkan karena termometer
kurang didiamkan secara lama, sehingga hasil pengukuran kurang akurat.

VI. KESIMPULAN
Suhu lingkungan berpengaruh terhadap suhu tubuh. Berdasarkan pengaruh
lingkungan terhadap suhu tubuh dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikiloterm dan
homeoterm. Homeoterm (berdarah panas) menjaga homeostasisnya dengan memberikan
respon feedback negative, sedangkan poikiloterm (berdarah dingin) belum memiliki
sistem regulasi yang sempurna sehingga belum mampu menjaga suhu tubuh supaya tetap
optimal, melainkan suhunya mengikuti suhu lingkungan di sekitarnya.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Campbell, Neil A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2000. Biologi, edisi kelima jilid 2.
(Terjemahan Wasmen Manalu). Jakarta: Erlangga (Buku asli diterbitkan tahun1999)
Djukri & Heru Nurcahyo. 2009. Petunjuk praktikum biologi. Yogyakarta: Prodi PSn
PPsUNY
Duke, J.A..1995. Plant Used Against Cancer. Hand book of Energi Crops (online)
Guyton, D.C. 1993. Fisiologi Hewan, edisi 2. Jakarta: EGC
Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta: EGC
Nurcahyo, Heru., & Harjana, Tri. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan Dasar.
Yogyakarta: FMIPA UNY

VIII. LAMPIRAN
Pengukuran suhu awal katak Pengukuran suhu katak
ketika diberi perlakuan
Laporan praktikum sementara
KEGIATAN 11
MENGUKUR UDARA RESPIRASI

I. TUJUAN
A1. Tujuan Kegiatan
1. Mengetahui pengaruh ukuran tubuh terhadap laju respirasi hewan.
2. Mengetahui pengaruh luas permukaan tubuh terhadap laju respirasi hewan.
A2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat melaukan pengukuran laju respirasi hewan.
2. Mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi laju respirasi
hewan.

II. ALAT DAN BAHAN


1. Respirometer dengan selangnya
2. Pipet pasteur dan penggaris
3. Butiran OH
4. Vaselin
5. Larutan Eosin
6. Jangkrik

III. CARA KERJA


1. Hewan ditimbang terlebih dahulu sebelum percobaan dilakukan.
2. Ke dalam botol respirometer ditaruh 3 butir KOH dan pada lubang selangnya ditetesi
larutan eosin.
3. Batas antara sumbat botol dan selang dileletkan dengan vaselin sedemikian rupa
sehingga udara tidak dapat keluar (bocor).
4. Hewan dimasukkan ke dalam respirometer.
5. Skala pada penggaris awal dicatat sampai eosin tidak bergerak.
6. Panjang dan diameter selang dikonversikan menjadi volume udara.
7. Dapat diulangi untuk jenis hewan lainnya.

IV. HASIL
Tabel data laju respirasi
No Hewan Berat Laju Respirasi
1 Jangkrik I 1 gram 30 menit
2 Jangkrik II 1 gram 17 menit 22 detik

V. PEMBAHASAN
Praktikum mengenai mengukur udara respirasi ini dilaksanakan di Laboratorium
Zoologi FMIPA UNY pada tanggal 3 Maret 2020. Percobaan ini membuktikan bahwa
jangkrik melakukan respirasi. Respirasi merupakan proses menghirup udara bebas yang
mengandung oksigen dan mengeluarkan udara yang mengandung karbon dioksida (Satya,
2018). Respirasi bertujuan untuk menghasilkan energi. Terdapat 3 macam respirasi, yaitu
respirasi internal, eksternal, dan respirasi sel. Respirasi eksternal ialah pertukaran gas dari
udara bebas dengan darah, respirasi internal ialah pertukaran gas dari darah ke dalam atau
ke luar sel, respirasi sel merupakan proses penggunaan oksigen untuk metabolisme dalam
sel dan menghasilkan karbon dioksida sebagai hasil samping (Arif Rakhman,2014).
Fungsi lain dari respirasi adalah untuk menjaga keseimbangan pH dan keseimbangan
elekrik dalam cairan tubuh. Selanjutnya, eosin digunakan sebagai indikator oksigen yang
dihirup melalui respirometer dengan melihat skala pada pipa, sedangkan vaselin
digunakan agar tidak terjadi kebocoran melalui celah-celah. Selain itu, fungsi dari KOH
dalam percobaan ini adalah untuk mengikat karbon dioksida agar tekanan dalam
respirometer menurun.
Sebelumnya, terjadi kesalahan pada praktikum ini sehingga praktikan harus
mengulangi praktikum hingga dua kali. Berdasarkan hasil pengukuran laju respirasi,
diperoleh data bahwa kedua jangkrik tersebut memiliki berat yang sama teapi memiliki
laju respirasi yang berbeda. Dapat diketahui bahwa jangkrik I menghirup oksigen selama
30 menit, sedangkan jangkrik II menghirup oksigen selam 17 menit 22 detik. Dalam hal
ini, jangkrik II memiliki laju respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan jangkrik I
dimana jangkrik II menghirup oksigen dengan rentang waktu yang lebih cepat daripada
jangkrik I. Hal ini disebabkan karena semakin berat bobot jangkrik maka semakin banyak
pula konsumsi oksigen yang dibutuhkan sehingga dapat memengaruhi laju respirasi
begitu juga sebaliknya.
Dapat diketahui juga bahwa KOH dapat mengikat uap air sehingga kemampuan
mengikat karbon dioksida menurun, ketika hal tersebut terjadi maka tekanan pada tabung
respirometer tetap tinggi sehingga laju penyerapan oksigen oleh jangkrik melambat.
Kemudian menurunnya kebugaran pada jangkrik juga dapat memengaruhi laju respirasi
karena dapat terjadi keracunan KOH sehingga hewan menjadi lemah. Aktivitas jangkrik
juga berpengaruh karena ketika jangkrik aktif bergerak sehingga ia membutuhkan oksigen
dan melakukan respirasi untuk menghasilkan energi (Kanedi, 2017). Faktor-faktor yang
mempengaruhi laju respirasi antara lain sebagai berikut:
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin pada jangkrik betina dan jangkrik jantan memiliki kecepatan
respirasi yang berbeda.
b. Ketinggian
Ketinggian mempengaruhi pernapasan. Semakin tinggi dataran, makin rendah
O2. Sehingga semakin sedikit pula O2 yang dapat dihirup belalang. Sebagai akibatnya
belalang pada daerah ketinggian memiliki laju pernapasan yang tinggi daripada
belalang yang ada di daerah dataran rendah.
c. Ketersediaan Oksigen.
Ketersediaan oksigen akan mempengaruhi laju respirasi, namun besarnya
pengaruh tersebut berbeda bagi masing-masing spesies dan bahkan berbeda antara
organ pada tumbuhan yang sama. Fluktuasi normal kandungan oksigen di udara tidak
banyak mempengaruhi laju respirasi karena jumlah oksigen yang dibutuhkan
tumbuhan untuk berespirasi jauh lebih rendah dari oksigen yang tersedia di udara.
d. Suhu
Serangga mempunyai alat pernapasan khusus berupa trakea yang berfungsi
untuk mengangkut dan mengedarkan O2 ke seluruh tubuh serta mengangkut dan
mengeluarkan CO2 dari tubuh. Trakea memanjang dan bercabang-cabang menjadi
saluran hawa halus yang masuk ke seluruh jaringan tubuh. Oleh karena itu,
pengangkutan O2 dan CO2 dalam sistem ini tidak membutuhkan bantuan sistem
transportasi atau darah. Udara masuk dan keluar melalui stigma, yaitu lubang kecil
yang terdapat di kanan-kiri tubuhnya. Selanjutnya dari stigma, udara masuk ke
pembuluh trakea yang memanjang dan sebagian ke kantung hawa. Pada serangga
bertubuh besar terjadinya pengeluaran gas sisa pernapasan terjadi karena adanya
pengaruh kontraksi otot-otot tubuh yang bergerak secara teratur.
e. Berat Tubuh dan Aktivitas
Hubungan antara berat dengan penggunaan oksigen berbanding terbalik.
Karena setiap makhluk hidup membutuhkan O2 (oksigen) dalam jumlah yang besar,
melebihi berat tubuhnya. Pada hasil di atas jelas sekali bahwa ukuran tubuh
mempegaruhi laju pernapasan, semakin kecil ukuran dan berat tubuh maka semakin
cepat pernapasannya. Pada jangkrik yang berukuran besar melakukan aktivitas yang
berkemungkinan banyak melakukan pergerakan, sehingga membutuhkan banyak
pernapasan dan oksigen. Ternyata aktivitas yang banyak bergerak dari jangkrik juga
memengaruhi laju pernapasan. Pada serangga alat pernapasannya berupa sistem trakea
yang berfungsi untuk mengangkut dan mengedarkan O2 ke seluruh tubuh serta
mengeluarkan CO2. Trakea memanjang dan bercabang-cabang menjadi saluran kecil
yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Udara masuk dan keluar melalui stigma,
yaitu lubang kecil yang terdapat di kanan-kiri tubuh serangga (spirakel). Selanjutnya
udara masuk ke pembuluh trakea yang memanjang dan sebagian ke kantung hawa.
Terjadinya pertukaran gas sisa terjadi karena kontraksi otot-otot tubuh yang bergerak
secara teratur.

VI. KESIMPULAN
a. Ukuran tubuh dapat mempengaruhi laju respirasi karena semakin besar ukuran tubuh,
maka semakin cepat laju respirasi. Hal ini disebabkan karena semakin berat bobot
jangkrik maka semakin banyak pula konsumsi oksigen yang dibutuhkan sehingga
dapat memengaruhi laju respirasi begitu juga sebaliknya.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju respirasi antara lain jenis kelamin, ketinggian,
ketersediaan oksigen, suhu, berat tubuh, dan aktivitas lainnya.

VII. DAFTAR PUSTAKA


Kanedi, M. (2017). Alternatif Bahan Pembungkus Kalium Hidroksida (KOH) dalam
Penyerapan O2 dalam Percobaan Respirasi. Jurnal Penelitian Sains, 19(1), 19104-17
Nurcahyo, Heru., & Harjana, Tri. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan Dasar.
Yogyakarta: FMIPA UNY
Rakhman, Arif dan Khodijah. 2014. Buku Panduan Praktek Laboratorium.Sleman:
Depublish
Utama, Satya Yudha. 2018. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi.
Sleman: Depublish

VIII. LAMPIRAN

Pemberian vaseline agar Pemberian eosin


tidak terjadi kebocoran
Menimbang berat jangkrik

Laporan praktikum sementara

Anda mungkin juga menyukai