Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario 2
Seorang laki-laki, 49 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat RS
dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari yang lalu. Sesak napas hampir
dirasakan sepanjang hari. Pasien hanya dapat tidur dalam posisi duduk.
Riwayat sering nyeri dada sebelumnya, namun hanya berlangsung ± 5
menit. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 12 tahun dan merokok
1-2 bungkus perhari. Riwayat hipertensi dialami sejak 5 tahun lalu, tidak
berobat teratur. Riwayat dyslipidemia baru diketahui 2 tahun terakhir dan
mengonsumsi obat statin tetapi sering lupa. Riwayat DM tidak diketahui.
B. Kata Sulit atau Kata Kunci
1. Laki-laki 49 tahun
2. Sesak napas 2 hari yang lalu
3. Sesak napas sepanjang hari
4. Nyeri dada berlangsung ± 5 menit
5. Riwayat merokok sejak usia 12 tahun
6. Tidur dalam posisi duduk
7. Mengkonsumsi obat statin (jarang)
8. Hipertensi
9. Dyslipidemia
10. Diabetes tidak diketahui
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Anatomi, Histologi dan Fiologi jantung ?
2. Apa definisi sesak napas dan klasifikasinya ?
3. Bagaimana patomekanisme sesak ?
4. Bagaimana hubungan riwayat pada skenario dengan gejala sesak napas
?
5. Kenapa pasien hanya dapat tidur dalam keadaan duduk ?
6. Bagaimana cara membedakan sesak napas cardio dan non cardio ?
2

7. Bagaimana diagnosis umum pada skenario ?


8. Apa Differential Diagnosis skenarios ?
9. Jelaskan integrasi keislamannya ?
D. Learning Object
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan tentang CHF
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan tentang Cor
Pulmonal.
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan tentang Miral
Stenosis
4. Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan tentang PPOK
E. Problem Tree

Perbedaan sesak napas Mekanisme Dasar :


cardio dan non cardio
 Anatomi
Definisi dan SESAK NAPAS  Histologi
klasifikasi  Fisiologi

KLINIS

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan


penunjang

Riwayat penyakit, Symptoms Radiologi,


kebiasaan pasien. Patologi Klinik

DIAGNOSIS

Penatalaksanaan
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Jantung


1. Anatomi Jantung
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat buah ruang
yang terletak di rongga dada, di bawah perlindungan tulang iga, sedikit
ke sebelah kiri sternum. Ruang jantung terdiri atas dua ruang yang
berdinding tipis disebut atrium (serambi) dan dua ruang yang
berdinding tebal disebut ventrikel.
a. Atrium.
1) Atrium dextra, berfungsi sebagai tempat penampungan darah
yang rendah oksigen dari seluruh tubuh. Darah tersebut
mengalir melalui vena cava superior, vena cava inferior, serta
sinus koronarius yang berasal dari jantung sendiri. Kemudian
darah dipompakan ke ventrikel kanan dan selanjutnya ke paru.
2) Atrium sinistra, berfungsi sebagai penerima darah yang kaya
oksigen dari kedua paru melalui 4 buah vena pulmonalis.
Kemudian darah mengalir ke ventrikel kiri, dan selanjutnya ke
seluruh tubuh melalui aorta.
b. Ventrikel.
Permukaan dalam ventrikel memperlihatkan alur-alur otot
yang disebut trabekula. Beberapa alur tampak menonjol, yang
disebut muskulus papilaris. Ujung muskulus papilaris dihubungkan
dengan tepi daun katup atrioventrikuler oleh serat-serat yang
disebut korda tendinae.
1) Ventrikel kanan, menerima darah dari atrium kanan dan
dipompakan ke paru-paru melalui arteri pulmonalis.
2) Ventrikel kiri, menerima darah dari atrium kiri dan
dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta.
4

Kedua ventrikel ini dipisahkan oleh sekat yang disebut


septum ventrikel. Untuk menghubungkan antara ruang satu dengan
yang lain, jantung dilengkapi dengan katup-katup, diantaranya :

a.) Katup atrioventrikuler.


Oleh karena letaknya antara atrium dan ventrikel, maka
disebut katup atrio-ventrikuler, yaitu :
1.) Katup trikuspidalis.
Merupakan katup yang terletak di antara atrium
kanan dan ventrikel kanan, serta mempunyai 3 buah
daun katup.
2.) Katup mitral/ atau bikuspidalis.
Merupakan katup yang terletak di antara atrium kiri
dan ventrikel kiri, serta mempunyai 2 buah katup.
Selain itu katup atrioventrikuler berfungsi untuk
memungkinkan darah mengalir dari masing-masing
atrium ke ventrikel pada fase diastole ventrikel, dan
5

mencegah aliran balik pada saat sistole ventrikel


(kontraksi).
b.) Katup semilunar.
1.) Katup pulmonal.
Terletak pada arteri pulmonalis, memisahkan
pembuluh ini dari ventrikel kanan.
2.) Katup aorta.
Terletak antara ventrikel kiri dan aorta. Kedua katup
semilunar ini mempunyai bentuk yang sama, yakni
terdiri dari 3 daun katup yang simetris disertai
penonjolan menyerupai corong yang dikaitkan dengan
sebuah cincin serabut. Adapun katup semilunar
memungkinkan darah mengalir dari masingmasing
ventrikel ke arteri pulmonalis atau aorta selama sistole
ventrikel, dan mencegah aliran balik waktu diastole
ventrikel. (grey’s anatomy)
2. Persarafan Jantung
Jantung dipersyarafi oleh serabut simpatis, parasimpatis,
dan sistem syaraf autonom melalui pleksus kardiakus. Syaraf simpatis
berasal dari trunkus simpatikus bagian servical dan torakal bagian atas
dan syaraf parasimpatis berasal dari nervous vagus. Sistem persyarafan
jantung banyak dipersyarafi oleh serabut sistem syaraf otonom
(parasimpatis dan simpatis) dengan efek yang saling berlawanan dan
bekerja bertolak belakang untuk mempengaruhi perubahan pada
denyut jantung, yang dapat mempertinggi ketelitian pengaturan syaraf
oleh sistem syaraf otot.
Serabut parasimpatis mempersyarafi nodus SA, otot-otot
atrium, dan nodus AV melalui nervus vagus. serabut simpatis
menyebar keseluruh sistem konduksi dan miokardium. Stimulasi
simpatis (adregenic) juga menyebabkan melepasnya epinefrin dan
beberapa norepinefrin dari medulla adrenal. Respon jantung terhadap
6

stimulasi simpatis diperantai oleh pengikatan norepinefrin dan


epinefrin ke reseptor adregenic tertentu; reseptor α terletak pada sel-sel
otot polos pembuluh darah, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi,
dan reseptor β yang terletak pada nodus AV, nodus SA, dan
miokardium, menyebabkan peningkatan denyut jantung, peningkatan
kecepatan hantaran melewati nodus AV, dan peningkatan kontraksi
miokardium(stimulasi reseptor ini menyebabkan vasodilatasi).
Hubungan sistem syaraf simpatis dan parasimpatis bekerja untuk
menstabilkan tekanan darah arteri dan curah jantung untuk mengatur
aliran darah sesuai kebutuhan tubuh.
(grey’s anatomy)

a. Elektrofisiologi jantung
Di dalam otot jantung,
terdapat jaringan khusus yang
menghantarkan aliran listrik. Jaringan
tersebut mempunyai sifat-sifat yang
khusus, yaitu :
1) Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan impuls secara
spontan.
2) Irama : pembentukan impuls yang teratur.
3) Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls.
4) Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap rangsang.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut diatas, maka secara spontan
dan teratur jantung akan menghasilkan impuls-impuls yang
disalurkan melalui sistem hantar untuk merangsang otot jantung
dan dapat menimbulkan kontraksi otot. Perjalanan impuls dimulai
dari nodus SA, nodus AV, sampai ke serabut purkinye.
b. SA Node
Disebut pemacu alami karena secara teratur mengeluarkan
aliran listrik impuls yang kemudian menggerakkan jantung secara
7

otomatis. Pada keadaan normal, impuls yang dikeluarkan


frekuensinya 60-100 kali/ menit. Respons dari impuls SA
memberikan dampak pada aktivitas atrium. SA node dapat
menghasilkan impuls karena adanya sel-sel pacemaker yang
mengeluarkan impuls secara otomatis. Sel ini dipengarungi oleh
saraf simpatis dan parasimpatis. Stimulasi SA yang menjalar
melintasi permukaan atrium menuju nodus AV memberikan
respons terhadap adanya kontraksi dari dinding atrium untuk
melakukan kontraksi. Bachman bundle menghantarkan impuls dari
nodus SA ke atrium kiri. Waktu yang diperlukan pada penyebaran
impuls SA ke AV berkisar 0,05 atau 50 ml/ detik.
c. Traktus Internodal
Berfungsi sebagai penghantar impuls dari nodus SA ke
Nodus AV.
Traktus internodal terdiri dari :
1) Anterior Tract.
2) Middle Tract.
3) Posterior Tract.
d. Bachman Bundle
Berfungsi untuk menghantarkan impuls dari nodus SA ke
atrium kiri.
e. AV Node
AV node terletak di dalam dinding septum (sekat) atrium
sebelah kanan, tepat diatas katup trikuspid dekat muara sinus
koronarius. AV node mempunya dua fungsi penting, yaitu :
1) Impuls jantung ditahan selama 0,1 atau 100 ml/ detik,
untuk memungkinkan pengisisan ventrikel selama atrium
berkontraksi.
2) Mengatur jumlah impuls atrium yang mencapai ventrikel.
AV node dapat menghasilkan impuls dengan frekuensi
40-60 kali/ menit.
8

f. Bundle His
Berfungsi untuk menghantarkan impuls dari nodus AV ke
sistem bundle branch.
g. Bundle Branch
Merupakan lanjutan dari bundle of his yang bercabang
menjadi dua bagian.
1) Righ bundle branch (RBB/ cabang kanan), untuk mengirim
impuls ke otot jantung ventrikel kanan.
2) Left bundle branch (LBB/ cabang kiri) yang terbagi dua,
yaitu deviasi ke belakang (left posterior vesicle),
menghantarkan impuls ke endokardium ventrikel kiri
bagian posterior dan inferior, dan deviasi ke depan (left
anterior vesicle), menghantarkan impuls ke endokardium
ventrikel kiri bagian anterior dan superior.
h. Sistem Purkinye
Merupakan bagian ujung dari bundle branch. Berfungsi
untuk menghantarkan/ mengirimkan impuls menuju lapisan sub-
endokard pada kedua ventrikel, sehingga terjadi depolarisasi yang
diikuti oleh kontraksi ventrikel. Sel-sel pacemaker di subendokard
ventrikel dapat menghasilkan impuls dengan frekuensi 20-40 kali/
menit. Pemacu cadangan ini mempunyai fungsi sangat penting,
yaitu untuk mencegah berhentinya denyut jantung pada waktu
pemacu alami (SA node) tidak berfungsi. Depolarisasi yang
dimulai pada SA node disebarkan secara radial ke seluruh atrium,
kemudian semuanya bertemu di AV node. Seluruh depolarisasi
atrium berlangsung selama kira-kira 0,1 detik. Oleh karena
hantaran di AV node lambat, maka terjadi perlambatan kira-kira
0,1 detik (perlambatan AV node) sebelum eksitasi menyebar ke
ventrikel. Pelambatan ini diperpendek oleh perangsangan saraf
simpatis yang menuju jantung dan akan memanjang akibat
perangsangan vagus. Dari puncak septum, gelombang depolarisasi
9

menyebar secara cepat di dalam serat penghantar purkinye ke


semua bagian ventrikel dalam waktu 0,08-0,1 detik. (grey’s
anatomy)
3. Siklus Jantung
Siklus jantung adalah periode dimulainya satu denyutan
jantung dan awal dari denyutan selanjutnya. Siklus jantung terdiri dari
periode sistole, dan diastole. Sistole adalah periode kontraksi dari
ventrikel, dimana darah dikeluarkan dari jantung. Diastole adalah
periode relaksasi dari ventrikel dan kontraksi atrium, dimana terjadi
pengisian darah dari atrium ke ventrikel.
a. Periode sistole (periode kontriksi)
Periode sistole adalah suatu keadaan jantung dimana bagian
ventrikel dalam keadaan menguncup. Katup bikuspidalis dan
trikuspidalis dalam keadaan tertutup, dan valvula semilunaris aorta
dan valvula semilunaris arteri pulmonalis terbuka, sehingga darah
dari ventrikel kanan mengalir ke arteri pulmonalis, dan masuk
kedalam paru-paru kiri dan kanan. Darah dari ventrikel kiri
mengalir ke aorta dan selanjutnya beredar keseluruh tubuh.
b. Periode diastole (periode dilatasi)
Periode diastole adalah suatu keadaan dimana jantung
mengembang. Katup bikuspidalis dan trikuspidalis dalam keadaan
terbuka sehingga darah dari atrium kiri masuk ke ventrikel kiri, dan
darah dari atrium kanan masuk ke ventrikel kanan. Selanjutnya
darah yang datang dari paru-paru kiri kanan melalua vena
pulmonal kemudian masuk ke atrium kiri. Darah dari seluruh tubuh
melalui vena cava superior dan inferior masuk ke atrium kanan.
c. Periode istirahat
Periode dimana waktu antara periode diastole dengan
periode sistole dimana jantung berhenti kira-kira sepersepuluh
detik. (sherwood edisi 8)
4. Sistem Peredaran Darah
10

Dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dalam setiap organ ataupun


jaringan maupun sel tubuh melalui sistem peredaran darah. Sistem
aliran darah tubuh, secara garis besar terdiri dari tiga sistem, yaitu :
a. Sistem peredaran darah kecil.
Dimulai dari ventrikel kanan, darah mengalir ke paru-paru
melalui arteri pulmonal untuk mengambil oksigen dan melepaskan
karbon dioksida kemudian masuk ke atrium kiri. Sistem peredaran
darah kecil ini berfungsi untuk membersihkan darah yang setelah
beredar ke seluruh tubuh memasuki atrium kanan dengan kadar
oksigen yang rendah antara 60-70% serta kadar karbon dioksida
tinggi antara 40-45%. Setelah beredar melalui kedua paru-paru,
kadar zat oksigen meningkat menjadi sekitar 96% dan sebaliknya
kadar zat karbon dioksida menurun. Proses pembersihan gas dalam
jaringan paru-paru berlangsung di alveoli, dimana gas oksigen
disadap oleh komponen Hb. Sebaliknya gas karbon dioksida
dikeluarkan sebagian melalui udara pernafasan. (grey’s anatomy)

b. Sistem
peredaran
darah besar
Darah yang
kaya oksigen dari
atrium kiri memasuki ventrikel kiri melalui katup mitral/ atau
bikuspidal, untuk kemudian dipompakan ke seluruh tubuh melalui
katup aorta, dimana darah tersebut membawakan zat oksigen serta
11

nutrisi yang diperlukan oleh tubuh melewati pembuluh darah besar/


atau arteri, yang kemudian di supplai ke seluruh tubuh. (Sherwood,
edisi 8)
c. Sistem peredaran darah koroner.
Sistem peredaran darah koroner berbeda dengan sistem
peredaran darah kecil maupun besar. Artinya khusus untuk
menyuplai darah ke otot jantung, yaitu melalui pembuluh koroner
dan kembali melalui pembuluh balik yang kemudian menyatu serta
bermuara langsung ke dalam ventrikel kanan. Melalui sistem
peredaran darah koroner ini, jantung mendapatkan oksigen, nutrisi,
serta zat-zat lain agar dapat menggerakkan jantung sesuai dengan
fungsinya. (grey’s anatomy)
12

5. Histologi otot jantung


Hanya ditemukan di jantung dan membentuk miokardium.
Berbentuk sel tunggal dan bukan serat. Sel otot jantung bercabang-
cabang dan saling berhubungan pada diskus interkalaris. Diskus
interkalaris dibentuk oleh membran sel, tautan sel berupa desmosom
dan gap junction sehingga memungkinkan eksitasi satu sel menyebar
secara capat ke sel di sebelahnya. Diskus berfungsi sebagai tempat
perlekatan kuat antar sel, meneruskan tarikan antar sel dan komunikasi
listrik antar sel yang berdekatan. Nukleus berjumlah 1-2 terletak di
sentral. Barisan sel-el jantung yang saling berhubungan membentuk
seperti serat. Struktur dan fungsi protein kontraktil sama dengan otot
skelet. T-tubules pada jantung memiliki ukuran yang lebih besar
dengan jumlah yang lebih banyak. Jumlah mitokondria 40% dari
volume sitoplasma (lebih banyak dari otot skelet).

1. Regenerasi otot jantung.


a. Tidak memiliki kemampuan untuk beregenerasi.
b. Bila terjadi kerusakan akan terbentuk jaringan parut yang
mengandung banyak fibroblas.
13

2. Inervasi otot jantung


a. Cabang saraf simpatis dan parasimpatis
b. Serat purkinye merupakan satu set kompleks modifikasi otot
jantung yang membentuk sistem penyaluran rangsangan pada
otot jantung. (Junqueira dan diFiore’s)
B. Definisi dan Klasifikasi Sesak Napas
1. Definisi
American Thoracic Society mendefinisikan sesak sebagai
pengalaman subyektif ketidaknyamanan bernapas yang terdiri dari
sensasi yang berbeda secara kualitatif, berasal dari interaksi antara
berbagai faktor seperti fisiologi, psikologi, social, dan lingkungan.
(Berliner, 2016)
2. Klasifikasi
Menurut Instrumen British Medical Research Council yang
dimodifikasi adalah skala sesak berbasi aktivitas yang menggambarkan
sesak:
a. Grade 0 (Normal): sesak hanya dengan olahraga berat
b. Kelas 1: sesak saat tergesa-gesa ditanah yang datar atau sedikit
berbukit
c. Kelas 2: sesak ketika berjalan dengan kecepatan ditanah yang datar
d. Kelas 3: sesak ketika berjalan 100 meter atau selama beberapa
menit
e. Kelas 4: sesak saat istirahat. (Santos, 2016)
C. Patomekanisme Sesak Napas
Sesak dapat terjadi karena beberapa kondisi, salah satunya sesak
kardia atau karena adanya kelainan pada jantung seperti iskemia. Pada
keadaan iskemia, konsekuensinya ialah oksigenasi miokard yang tidak
adekuat sebagai contoh, selama iskemia miosit berubah dari jalur aerobic
menjadi anaerobic metabolik. Pengurangan ATP merusak interaksi protein
kontraktil dan menghasilkan pengurangan sementara kontraksi sistolik
ventricular dan relaksasi diastolik, karena masing-masing merupakan
14

proses yang bergantung pada energy. Jika iskemia mempengaruhi


miokardium dalam jumlah yang cukup besar, kontraksi ventrikel kiri (LV)
dapat dikurangi (disfungsi sistolik), sehingga menurunkan volume stroke
dan menyebabkan volume diastolic dan tekanan di dalam ventrikel kiri
meningkat. Peningkatan LV, diperparah oleh kekakuan yang diinduksi
iskemia, ditransmisikan ke atrium kiri dan vena pulmonal ke kapiler paru
dan dapat mempercepat kongesti pulmonal dan gejala sesak napas. (Lilly,
2016)
Jalur fisiologis menyebabkan sesak napas melalui saluran ion specific
acidsensing, mekanoreseptor dan reseptor paru yang terletak di zona yang
berbeda dari pernapasan. Tiga komponen utama yang berkonstribusi pada
dyspnea yaitu sinyal aferen, sinyal eferen dan pemrosesan informasi di
pusat. (Palkowski, 2016)
15

D. Hubungan Riwayat Pada Skenario dengan Sesak Napas


1. Displidemia
Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan
prasyarat terjadi PJK, kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima
dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung
maka akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang
mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak kemudian
mengalami aterosklerosis. Hiperlipidemia juga disebabkan karena
abnormal lipoprotein dalam darah, hal ini disebabkan karena
meningkatnya LDL dan menurunnya HDL. (Salmandri. 2015.
Penelitan arteriosklerosis yang dilakukan di Jepang pada tahun
2010 dengan mengunakan longitudinal cohort study melaporkan
bahwa non–highdensity lipoprotein (non- HDL) lebih dapat dipercaya
sebagai prediktor untuk peningkatan terjadinya MI akut dari pada TC,
singkatnya, hiperkolesterolemia umumnya merupakan faktor risiko
untuk penyakit aterosklerotik seperti stroke iskemik dan MI pada
orang Asia. Karena prevalensi hiperkolesterolemia telah meningkat di
Asia selama setengah abad terakhir, oleh karena itu pentingnya
manajemen kolesterol untuk mencegah penyakit aterosklerosis di masa
depan (Salmandri. 2015)
2. Hipertensi

Belum ada penelitian yang bisa menemukan mekanisme


hubungan hipertensi dengan PJK, tetapi dari hasil penelitian yang
dilakukan Hata dan Kiyohara (2013), menyebutkan bahwa hipertensi
merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK.
Untuk itu modifikasi gaya hidup seperti diet rendah garam, latihan
fisik dan berhenti merokok dianjurkan untuk mengurangi prevalensi
prehipertensi dan hipertensi dimasa yang akan datang(Salmandri.
2015).
16

3. Merokok

Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan


risiko PJK dan serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak
pada arteri, beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat
meningkatkan risiko PJK dengan cara menurunkan level kolesterol
HDL (Hight density lifid). Semakin banyak merokok semakin besar
risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti
merokok selama setahun maka akan menurunkan setengah dari risiko
serangan jantung (Salmandri. 2015)

4. Jarang Mengonsumsi Obat Statin

Pasien jarang mengonsumsi Obat Statin padahal obat ini


merupakan obat penurun kolesterol darah yang menjadi lini pertama
dalam terapi dislipidemia1 dan pencegahan primer serta sekunder
penyakit kardiovaskular aterosklerosis. Obat in bekerja dengan
menghambat konversi HMG-CoA menjadi prekursor kolesterol,
mevalonat, melalui penghambatan enzim HMG-CoA reduktase3.
Berbagai penelitian randomised trial statin secara signifikan dapat
menurunkan tingkat kejadian penyakit koroner mayor, revaskularisasi
koroner, dan stroke sekitar 20% per mmol/L penurunan kolesterol
LDL. (Nisa. 2016)

E. Kenapa Hanya Bisa Tidur Dalam Posisi Duduk ?


Karena ketika pasien berbaring akan meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan paru sehingga menyebabkan sesak napas dan otopnea,
inilah yang menyebabkan kenapa pasien lebih merasa nyaman ketika
dalam posisi duduk (Marulam M, 2014).
F. Diagnosis Umum

Pemeriksaan darah rutin, kadar glukosa, lipid dan EKG waktu


istirahat perlu dilakukan. Hasilnya meungkin saja normal walaupun ada
penyakit jantung koroner yang berat. EKG bisa didapatkan gambaran
17

iskemik dengan infark miokard lama atau depresi ST dan T yang terbalik
pada penyakit yang lanjut.
a. Test exercise selanjutnya perlu dipertimbangkan dengan indikasi
sebagai berikut:
b. Untuk menyokong diagnosa angina yang dirangsang akibat nyeri
dengan perubahan iskemik pada EKG
c. Untuk menilai penderita dengan resiko tinggi serta prognosa penyakit
d. Untuk menilai kapasitas fungsional dan menentukan kemampuan
exercise
e. Untuk evaluasi nyeri dada yang atipik.
Jenis test exercise bermacam-macam antara lain test treadmill,
protokol Bruce, test Master dan Sepeda ergometri. Test exercise tidak
perlu dilakukan untuk diagnostik pada wanita dengan nyeri dada non
anginal karena kemungkinan penyakit jantung koroner sangat rendah,
sedangkan pada laki-laki dengan angina tipikal perlu dilakukan untuk
menentukan penderita dengan resiko tinggi dimana sebaliknya perlu
dibuat arteriografi koroner. Penderita dengan angina atau perubahan
iskemik dalam EKG pada tingkat exercise yang rendah biasanya
penderita yang mencapai beban kamsimum yang rendah biasanya
menderita kelainan pembuluh darah yang multipel dan bermanfaat bila
dilakukan bedah koroner. Bila tekanan darah turun waktu exercise
perlu dicurigai adanya obstruksi pada pembuluh darah utama kiri yang
juga merupakan indikasi untuk pembedahan. Penderita dengan angina
atipikal terutama wanita sering memberi hasil false positif yang tinggi.
Sedangkan hasil test yang negatif pada angina atipikal dan non-angina
besar kemungkinannya tidak ada kelainan koroner. Bila hasil exercise
test meragukan perlu dilakukan pemeriksaan radionuklir karena jarang
sekali didapatkan hasil false positif. Thallium scintigrafi
menggambarkan perfusi miokard saat istirahat maupun exercise
ataupun gangguan fungsi ventrikel kiri yang timbul akibt exercise.
18

Pemeriksaan arteriografi koroner sangat akurat untuk


menentukan luas dan beratnya penyakit jantung koroner. Angiografi
koroner dilakukan dengan keteterisasi arterial di bawah anastesi lokal,
biasanya pada a. femoralis atau pad a. rakialis. Kateter dimaksudkan di
bawah kontrol radiologis ke ventrikel kiri dan a. koronaria kiri dan
kanan, kemudian dimasukkan kontras media. Lesi yang sering tampak
pada angiogram koroner adalah stenosis atau oklusi oleh ateroma yang
bervariasi derajat luas dan beratnya.
Tidak semua penderita angina harus dilakukan test exercise dan
angiografi koroner. Indikasi penderita angina yang harus dikirim ke
rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
a. Angina yang menyebabkan terbatasnya aktifitas walaupun dengan
pemakaian obat-obatan.
b. Angina progresif dan tak stabil
c. Angina baru yang timbul terutama bila tidak dapat diatasi dengan
obat-obatan
d. Angina dengan kapasitas exercise yang buruk dibandingan dengan
penderita pada umur dan jenis kelamin yang sama.
e. Angina dengan gagal jantung
f. Angina atipikal pada laki-laki dan wanita di atas 40 tahun.
g. Angina post-infark
h. Nyeri dada non-anginal yang menetapkan dan tidak dapat
didiagnosa pada penderita usia tua terutama bila ada risiko yang
multipel
i. Keadaan lainnya seperti keadaan non-kardial yang serius dan umur
tua.
G. Differential Diagnosis
1. Cor Pulmonal
a. Definisi
Cor pulmonal adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan
akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim
19

paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan


dengan kelainan jantung kiri (Harun, 2014).
Cor pulmonal akut adalah peregangan atau pembebanan
akibat hipertensi pulmonal aku, sering disebabkan oleh emboli
paru masif. Sedangkan Cor pulmonal kronis adalah hipertrofi dan
dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruktid atau restriktif.
(Harun, 2014)
b. Epidemiologi
Prevalensi pasti cor pulmonal sulit dipastikan karena dua
alasan. Pertama, tidak semua kasus penyakit paru kronis menjadi
cor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa
hipertensi pulmonal dan cor pulmonal dengan pemeriksaan fisik
dan hasil laboratorium tidaklah sensitif. Namun, kemajuan terbaru
dalam 2-D echo/Doppler memberikan kemudahan untuk
mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.
Secara global, insidensi kor pulmonal bervariasi antar tiap
negara, tergantung pada prevalensi merokok, polusi udara, dan
faktor resiko lain untuk penyakit paru-paru yang bervariasi (Fauci
AS, Dennis LK, dkk. 2008).
c. Etiologi
Etiologi kor pulmonal dapat digolongkan ke dalam 4 kelompok :
1) Penyakit Pembuluh Darah Paru.
2) Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum,
aneurisma, granuloma, atau fibrosis.
3) Penyakit neuromuskular dan dinding dada.
4) Penyakit yang mengenai aliran udara paru, termasuk PPOK.
Penyakit paru lain adalah penyakit paru interstisial dan
gangguan pernapasan saat tidur (Harun, 2014)
d. Patofisiologi
Penyakit paru kronis akan mengakibatkan :
20

1) Berkurangnya “vascular bed” paru, dapat disebabkan oleh


semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang atau kerusakan paru.
2) Asidosis dan hiperkapnia
3) Hipoksia alveolar, yang akan merangsang vasokontriksi
pembuluh paru
4) Polisitemia dan hiperviskositas darah
Keempat kelainan ini akan menyebabkan timbulnya
hipertensi pulmonal (perjalanan lambat). Dalam jangka panjang
akan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan
kemudian akan berlanjut menjadi gagal jantung kanan (Harun,
2014)
e. Gejala Klinis
Tingkat klinis kor pulmonal dimulai PPOK kemudian
PPOK dengan hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK
dengan hipertensi pulmonal disertai gagal jantung kanan (Harun,
2014)
f. Diagnosis
Pendekatan umum untuk mendiagnosis kor pulmonal dan
untuk menyelidiki etiologinya dimulai dengan tes laboratorium
rutin, radiografi dada, dan elektrokardiografi. Echocardiography
digunakan untuk mengetahui tentang penyakit dan fungsi ventrikel
kanan (RV), serta membantu dalam menentukan etiologi hipertensi
pulmonal dan kor pulomale. Kateterisasi jantung kanan merupakan
tes yang paling akurat tetapi invasif untuk mengonfirmasi
diagnosis kor pulmonal dan memberikan informasi penting
mengenai penyebab yang mendasari (Heart, 2003).
Setelah diagnosis kor pulmonale dibuat kemudian diikuti
dengan mencari tahu patologi paru yang mendasari. Penyakit paru-
paru umum seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) bukan
satu-satunya patologi paru yang menyebabkan kor pulmonale,
21

penyakit paru-paru lainnya juga bisa menjadi penyebab. Dengan


demikian, tes fungsi paru mungkin diperlukan untuk
mengkonfirmasi keberadaan patologi paru lainnya. Pemindaian
ventilasi / perfusi (V/Q) atau CT scan dada dapat dilakukan jika
riwayat dan pemeriksaan fisik pasien menunjukkan tromboemboli
paru sebagai penyebab atau jika tes diagnostik lain tidak
memberikan etiologi spesifik (Heart, 2003)
Studi pencitraan dapat menunjukkan bukti penyakit
kardiopulmoner yang mendasari, hipertensi pulmonal, atau
pembesaran RV. Pencitraan resonansi magnetik jantung (CMR)
adalah bentuk lain dari pencitraan non invasif yang tidak
menggunakan radiasi pengion. CMR dapat digunakan untuk
mengevaluasi kor pulmonal, dan ini berguna dalam menentukan
struktur RV, remodelling, dan fungsi; modalitas ini sangat berguna
dalam menilai dimensi arteri pulmonal bila dibandingkan dengan
ekokardiografi tradisional (Heart, 2003).
g. Penatalaksanaan
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan
untuk menurunksn hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung
kanan dan meningkatkan kelangsugan hidup . tatalaksana adalah
sebagai berikut : (Harun, 2014)
1) Terapi oksigen
Mekanisme terapi oksigen dapat meningkatkan kualitas
hidup ada 2 hipotesa :
a) Terapi oksigen mengurangi vasokonstriksi dan
menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian
meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan.
b) Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan
meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan
organ vital lain.
Indikasi terapi oksigen adalah :
22

a) paO2 ≤55 mmHg atau SaO2 ≤88%


b) paO2 55-59 mmHg disertai salah satu dari edema
karena gagal jantung kanan, atau P pulmonal pada
EKG atau ertrositosis hematokrit >56%.
2) Vasodilator
3) Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal
yang disertai gagal jantung kiri.
4) Diuretik
Diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan alkalosis dan
hiperkapnia. Selain itu dapat terjadi kekurangan cairan yang
mengakibatkan preload ventrikel kanan dan penurunan curah
jantung.
5) Flebotomi
6) Antikoagulan
2. Stenosis mitral
a. Definisi
Merupakan suatu keadaan dimmana terjadi gangguan
aliran darah dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena
obstruksi pada level katup mitral (indrajaya, 2017).
b. Epidemiologi
Kejadian stenosi mitral semakin meningkat di kawasan
asia seiring dengan peningkatan penyakit demam rematik.
Carapemtis memperkitakan 15, 6 juta penduduk
duniamenderita penyakit jantug rematik yang akhirnya
menjadi mitral stenosis (indrajaya, 2017).
c. Etiologi
Penyebab tersering adalah endocarditis reumatika,
akibat reaksi yang progresif dari demam reumatika oleh infeksi
streptococcus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga
23

stenosis mitral kongenitall, deformitas parasut mitral, vegetasi


systemic lupus erythematous (SLE), karsinosis sistemik,
deposit amyloid, akibat obat fenfluramin / phentermin,
rheumatoid,atritis rematoid, serta kalsifikasi annulus maupun
daun katup pada usia lanjut akibat proses degenerative
(indrajaya, 2017).
d. Patofisiologi
Mitral stenosis terjadi karena adanya fibrosis dan
komissura katup mitral pada waktu fase penyembuhan demam
reumatika. Pada kasus demam reumatika akut, terjadi infeksi
oleh streptococcus B hemoliticus grup A sehingga timbul
fharyngitis satu minggu setelah nasofharingitis, bakteri akan
menghasilkan antigen yang memicu reaksi antigen – antibody ,
dimana antigen ini mirip dengan sel yang berada pada katup
jantung, sehingga antibody yang akan memakan antigen juga
ikut memakan sel di katup jantung. Dan menyebabkan
kematian sel di katup jantung terjadi fibrosis dan penyempitan
(indrajaya, 2017).
Mitral stenosis merupakan penyempitan atau obstruksi
parsial aliran pada katup mitralis selama diastole, sehingga
menyebabkan aliran turbulen darah pada atrium kiri yang akan
menimbulkan bunyi mid diastolic murmur. Selain itu, akibat
penyempitan katup mitral juga menyebabkan cardiac output ke
seluruh tubuh menurun karena darah tertimbun di atrium kiri.
Kompensasi dari keadaan ini adalah dilatasi dan hipertrofi di
atrium kiri. Keadaan juga di pengaruhi oleh tekanan atrium
kiri yang meningkat, menyebabkan gangguan system konduksi
berupa fibrilasi atrium sehingga timbul palpitasi. Selain itu
akibat tekanan atrium kiri yang meningkat akan terjadi statis
darah yang akan menimbulkan . emboli sistemik yang akan
menimbulkan gejala – gejala neurologis. Akibat lain dari
24

peningkatan tekanan atrium kiri adalah timbulnya opening


snaps. Dilatasi dan hipertrofi atrium menyebabkan peningkatan
vena pulmonalis.karena tekanan vena pulmonalis meningkat
maka akan tekanan kapiler pulmo juga meningkat. Hal
menimbulkan dua keadaan , yaitu : edema pulmo akibat
transudasi cairan ke jaringan intertisial. Hal ini menimbulkan
penyempitan bronchus yang mengakibatkan timbulnya refleks
pernafasan cepat dan lemah. Dan keadaan lain yang dapat
timbul terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan
menimbulkan hipertensi pulmonal (kompensasi agar edema
pulmo tidak berlanjut, dimana terjadi perubahan vaskula
dengan penebalan dinding alveolus dan kapiler serta
vasokontruksi) akibatnya tekanan jantung kanan meningkat;
darah di ventrikel kanan mengalami resistensi yang lebih besar
untuk mengalir ke A. pulmo, sehingga darah mengumpul di
ventrikel kanan, maka terjadi dilatasi dan hipertrofi ventrikel
kanan sehingga terjadi gagal jantung kanan (indrajaya, 2017).
e. Manifestasi klinis
1) Dipsneu
2) Fatigue
3) Paroksismal nokkturnal dyspnea
4) Ortopnea
5) Hemoptysis
6) Tachicardy
f. Diagnoisi
1) Anamnesis (sesuai keluhan )
2) Pemeriksaan fisis
Temuan klasik pada stenosis mitral adalah opening
snap dan bising diastole kasar (diastolic rumble) pada
daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin sulit
bahkan tidak ditemukan rumble diastole dengan nada
25

rendah , apalagi bila tidak dilakukan dengan hati – hati.


Walaupun pada kasus – kasus ringan harus di curigai
stenosis mitral ini bila teraba dan terdengar S1 yang keras.
S1 mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat
tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup
sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumble
diastolik ini di raba sebagai thrill.
Dengan lain perkataan katup mitral ditutup dengan
tekanan yang keras secara mendadak ,pada keadaan di
mana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka
penutupan katup mitral tidak menimbulkan bunyi S1 yang
keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 yang
mengeras sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus
dicurigai adanya bising diastol pada mitral.
Beberapa usaha harus di lakukan untuk mendengar
bising diastole antara lain posisi lateral decubitus. Gerakan
– gerakan atau latihan ringan , menahan nafas dan
menggunakan bell dengan meletakkan pada dinding dada
tanpa tekanan keras
Derajat dar bising diastol tdak menggambarkan
beratnya stenosis tetapi waktu atau lamanya bisin dapat
menggambarkan derajat stenosis . pada stenosis ringan
bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat
holodiastol dan aksentuasi presistolik. Wktu dari A2 – OS
juga dapat menggambarkan berat ringannya stenosis, bila
pendek stenosis lebih berat (indrajaya, 2017).
g. Pemeriksaan penunjang
1) Foto thoraks
Gambaran klinik berupa pembesaran atrium sinistra
serta pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan
yang bermakna antara besarnya ukuran pembuluh darah
26

dan resistensi vaskuler pulmonal). Edema intertisial berupa


garis kerley terdapat pada 30% pasien dengan tekanan
atrium kiri < 20 mmHg. Pada 70% bila tekanan atrium kiri
>20mmHg. Temuan lain dapat berupa garis kerley A serta
kalsifikasi pada daerah katup mitral (indrajaya, 2017).
2) Ekokardiografi doopler
Dengan ekokardiorafi dapat dilakukan evaluasi
struktur dari katup , pliabilits dari daun katup , ukuran dari
daerah katup dengan planimetri, struktur dari aparatus
subvalvular, juga dapat ditentukan funsi ventrikel.
Sedangkan dengan dopler dapat ditentukan gradien
dari mitral , serta ukuran dari area mitral dengan cara
mengukur pressure half time terutama bila struktur katup
sedemikian jelek karena kalsifikasi , sehingga pengukuran
dengan planimetri tidak di mungkinkan . selain dari itu
dapat di ketahui juga adanya regurgitasi mitral yang sering
menyertai stenosis mitral.
Derajat berat ringanyya stenosis mitral berdasarkan
eko doopler ditentukan antara lain oleh gradien transmitral,
area katup mitral , serta besarnya tekanan pulmonal
Selain itu dapat juga ditentukan perubahan
hemodinamik pada latihan atau pemberian dengan
dobutamin. Sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada
kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya stenosis
pada saat istirahat (indrajaya, 2017).
3) Eokardiogrfai transesofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardigrafi dengan
menggunakan tranduser endoskop, sehingga jendela
ekokrdiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur
katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Ekokardiografi
transesofageal lebih sensitif dalam deteksi trombus pada
27

atrium kiri atau terutama sekali pada apendiks atrium kiri


(indrajaya, 2017).
4) Kateterisasi
Seperti di sebutkan diatas dulu kateterisasi
merupakan standar baku untuk diagnosis dan menentukan
berat rinan stenosis mitral. Walaupun demikian pada
keadaan tertentu masih erjkan setelah suatu prosedur eko
lengkap (indrajaya, 2017)
3. Gagal jantung kongestif
a. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung
memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient (kabo,2017).

b. Etiologi
a. Output rendah, disfungsi sistolik (dilatasi kardiomipati) dapat
disebabkan iskemik koroner, Infark miokard, regurgitasi,
konsumsi alkohol, kekurangan gizi, deplesi kalsium dan
kalium, induksi obat, idiopatik. Juga dapat disebabkan
hipertensi, stenosis aorta dan volume overload.
b. Disfungsi diastolik dapat disebabkan iskemik koroner, infark
miokard, hipertensi, stenosis aorta dan regurgitasi, perikarditis,
pembesaran septum ventrikel kiri.
c. High-output failure disebabkan oleh anemia dan hipertiroid.
(ewika,2007)
c. Faktor Resiko
Di Indonesia prevalensi penyakit jantung dari tahun ke
tahun terus meningkat. Merokok, obesitas, kadar kolesterol,
tekanan darah tinggi, kurang aktifitas, diabetes melitus dan stress
merupakan faktor resiko utama CHF. Hasil penelitian akhir-akhir
ini menyebutkan bahwa reaksi peradangan (inflamasi) dari
28

penyakit infeksi kronis mungkin juga menjadi faktor risiko


(Stevany, 2011)
d. Klasifikasi
American College of Cardiology Foundation/ American
Heart Association (ACCF/AHA) dan NewYork Association
(NYHA) memberikan informasi tentang klasifikasi atau tingkatan
dari gagal jantung. ACCF / AHA menekankan pada perkembangan
penyakit seorang pasien gagal jantung yang digunakan untuk
menggambarkan individu dan populasi, sedangkan NYHA
menekankan pada gejala fungsional penyakit gagal jantung.
(PERKI,2015)

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas


struktural jantung (AHA/ACCF) fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I

Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalammelakukan


berkembang menjadi gagal jantung. aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari
Tidak terdapat gangguan struktural atau tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi
fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau sesak nafas
atau gejala
Stadium B Kelas II

Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak


jantung yang berhubungan dengan terdapat keluhan saat istrahat, namun
perkembangan gagal jantung, tidak aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
terdapat tanda atau gejala kelelahan, palpitasi atau sesak nafas

Stadium C Kelas III

Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.


berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
struktural jantung yang mendasari tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan
29

kelelahan, palpitasi atau sesak

Stadium D Kelas IV

Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktifitasfisik


gejala gagal jantung yang sangat tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna saat istrahat walaupun sudah istrahat. Keluhan meningkat saat
mendapat terapi medis maksimal melakukan aktifitas
(refrakter)

e. Patofisiologi

CHF berawal dari disfungsi jantung kiri yang disebabkan


beban tekanan berlebihan sehingga kebutuhan metabolik
30

meningkat. Peningkatan kebutuhan metabolik menyebabkan


volume overload yang abnormal pada jantung, cardiac output
menurun sehingga menyebabkan beban pada atrium karena tekanan
meningkat. Hal ini menyebabkan hambatan vena pulmonari yang
kemudian membuat bendungan pada paru-paru dan mengakibatkan
edema paru. Beban ventrikel kanan (V.Ka) bertambah
menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan (V.Ka) sehingga
mengakibatkan gagal jantung kanan. Gagal jantung kanan dan kiri
ini disebut dengan CHF.

Ketika jantung mulai gagal, tubuh mengaktifkan beberapa


kompleks mekanisme kompensasi dalam upaya untuk
mempertahankan Cardiac output dan oksigenasi organ vital. Hal ini
termasuk peningkatan simpatik, aktivasi Renin Angiotensin
Aldosteron System (RAAS), natrium dan retensi air dan
neurohormonal adaptasi, yang menyebabkan jantung remodeling
(dilatasi ventrikular, hipertrofi jantung dan perubahan bentuk
lumen ventrikel kiri (Dipiro, 2015).

f. Manifestasi klinis
1) Sesak nafas saat beraktifitas muncul pada sebagian besar
pasien, awalnya sesak dengan aktifitas berat, tetapi kemudian
berkembang pada tingkat berjalan dan akhirnya saat istirahat.
2) Ortopnea, pasien menopang diri dengan sejumlah bantal untuk
tidur. Hal ini menunjukkan bahwa gejala lebih cenderung
disebabkan oleh CHF, tetapi terjadi pada tahap berikutnya.
3) Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND) juga menunjukkan
bahwa gejala lebih cenderung disebabkan oleh CHF, tetapi
sebagian besar pasien dengan CHF tidak memiliki PND.
4) Batuk kering dapat terjadi, terutama pada malam hari. Pasien
mendapatkan kesalahan terapi untuk asma, bronkitis atau batuk
yang diinduksi ACEi.
31

5) Kelelahan dan kelemahan mungkin jelas terlihat, tetapi umum


pada kondisi yang lain.
6) Pusing atau palpitasi dapat menginduksi aritmia. (AHA, 2016)
g. Kriteria framingham CHF
1) MAYOR :
a) Dispnea nokturnal paroksimal atau ortopnea.
b) Distensi vena leher.
c) Rales paru.
d) Kardiomegali pada hasil rontgen.
e) Edema paru akut.
f) S3 gallop.
g) Peningkatan tekanan vena pusat ( >16 mmH20 pada atrium
kanan).
h) Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam kurun waktu lima
hari sebagai respon dari pengobatan.
2) MINOR :
a) Edema pergelangan kaki bilateral.
b) Batuk pada malam hari.
c) Dispnea saat olahraga.
d) Hepatomegali.
e) Efusi pleura.
f) Takikardi (>120 kali/menit)
h. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan diagnostik primer :
a) Radiografi dada.
b) Elektrokardiografi.
c) Echocardiografi.
d) Pemeriksaan USG Doppler.
e) Pemeriksaan hematologi Pemeriksaan biokimia serum,
termasuk fungsi ginjal dan kadar glukosa.
f) Tes fungsi hai dan fungsi tiroid.
32

2) Pemeriksaan enzim jantung (pada kasus infark miokard baru)


Pemeriksaan diagnostik lain :
a) Uji latih jantung paru.
b) Radionuklir/nuklir kardiologi.
c) Kateterisasi jantung.
d) Biopsi miokard, misalnya pada pasien yang diduga
menderita miokarditis.
g. Penatalaksanaan :
1) Farmako :
a) Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II
dan mengerahkan efek biologis yang meningkatkan gejala,
mengurangi rawat inap, dan memperpanjang kelangsungan
hidup. ACE inhibitor direkomendasikan untuk semua
pasien dengan gagal jantung dengan penurunan fungsi
sistolik. Efek samping utama ACE inhibitor adalah batuk
(hingga 20%), gejala hipotensi dan disfungsi ginjal.
b) Diuretik
Diuretik diindikasikan pada pasien gagal jantung
dengan penyumbatan (paru dan edema perifer) atau dilatasi
jantung. Diuretik merupakan satu-satunya obat yang
digunakan pada terapi gagal jantung yang dapat mengatasi
retensi cairan gagal jantung. Penggunaan diuretik yang
tepat merupakan kunci keberhasilan obat lain yang
digunakan pada gagal jantung.
Penggunaan diuretik dosis rendah yang tidak tepat
mengakibatkan retensi cairan dan penggunaan diuretik
dosis tinggi menyebabkan kontraksi volume yang dapat
meningkatkan resiko hipotensi dan insufisiensi ginjal
(Yancy et al, 2013).
33

Diuretik bekerja dengan menghambat reabsorpsi


natrium klorida pada tempat tertentu di tubulus ginjal. Loop
diuretik (bumetanid, furosemid dan torsemid) bekerja di
lengkung henle, sedangkan tiazid, metolazon, dan diuretik
hemat kalium bekerja pada tubulus distal. Loop diuretik
paling banyak digunakan pada pasien gagal jantung (Yancy
et al, 2013).
c) Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) bekerja
dengan mengeblok reseptor angiotensin II subtipe I (AT1).
ARB tidak merangsang munculnya bradikinin dan tidak
terkait efek samping batuk kering yang muncul pada ACE
inhibitor. Pengeblokan reseptor AT1 secara langsung
memungkinkan stimulasi reseptor AT2, menyebabkan
vasodilatasi dan penghambatan remodeling ventrikel
(Dipiro, 2015).
Angiotensin II reseptor antagonis atau ARB dapat
memberikan morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal
jantung yang menerima ACE inhibitor, namun tidak dapat
digunakan pada gagal jantung setelah infark miokard akut.
Hiperkalemia pada penggunaan ARB perlu dimonitoring
seperti pada penggunaan ACE inhibitor.
d) Angiotensin Aldosteron
Antagonis aldosteron digolongkan sebagai diuretik
hemat kalium, namun antagonis aldosteron juga memiliki
efek baik tersendiri dalam menjaga keseimbangan Na+.
Spironolacton dan eplerenon mengeblok reseptor
mineralokortikoid, tempat target aldosteron. Antagonis
aldosteron mengahambat reabsorpsi natrium dan ekskresi
kalium di ginjal.
34

Antagonis aldosteron harus digunakan dengan hati-


hati, dilakukan pemantauan ketat fungsi ginjal dan
konsentasi potasium. Antagonis aldosteron harus dihindari
pada pasien dengan gangguan ginjal, memburuknya fungsi
ginjal, pada kalium tinggi hingga normal atau riwayat
hiperkalemia berat. Spironolakton juga berinteraksi dengan
androgen dan reseptor progesteron yang dapat
menyebabkan ginekomastia, impotensi dan ketidakteraturan
menstruasi pada beberapa pasien (Dipiro, 2015).
e) Beta Bloker
Beta bloker merupakan antagonis yang
mengaktifkan sistem simpatis, secara signifikan terbukti
bermanfaat dalam jangka panjang pada gagal jantung yang
berat. Penambahan beta-bloker pada terapi konvensional
dikaitkan dengan dampak yang signifikan pada morbiditas
dan mortalitas.
Beta-bloker mengurangi perkembangan CHF pada
pasien dengan gangguan fungsi ventrikel jika diberikan
awal periode pasca infark miokard. Beta-bloker dapat
memperlambat perkembangan penyakit, mengurangi rawat
inap dan mengurangi angka kematian pada pasien gagal
jantung sistolik (Dipiro, 2015).
f) Digoksin
Digoksin melemahkan aktivasi sistem saraf
simpatik yang berlebihan pada pasien gagal jantung,
mungkin dengan mengurangi aliran simpatis pusat dan
meningkatkan fungsi baroreseptor yang terganggu
Digoksin menginduksi diuresis pada pasien dengan
HF yang mengalami retensi cairan. Mekanisme multiple
digoksin : (1) vasodilatasi dan peningkatan CO dapat
meningkatkan hemodinamik ginjal; (2) menghambat
35

reabsorpsi tubular natrium, dari ginjal Na+ -K+ - ATPase


dan (3) meningkatkan sekresi atrial natriuretic peptide
g) Nitrate dan Hidralazin
Nitrat, misalnya isosorbid dinitrat (ISDN) dan
hidralazin melengkapi tindakan hemodinamik. Nitrat
terutama venodilator, menurunkan preload. Hidralazin
adalah vasodilator arteri langsung yang mengurangi
resistensi vaskuler sistemik (SVR) dan meningkatkan
stroke volume dan cardiac output.

2) Non-farmako : (Dipiro, 2015).


Perubahan gaya hidup seperti :

a) Pola makan seimbang.


b) Konsumsi alkohol harus sangat dibatasi.
c) Berhenti merokok.
d) Imunisasi dan profilaksis antibiotic.
e) Rehabilitasi berbasis olahraga.
f) Intervensi psikologi
4. PPOK eksaserbasi akut
a. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan
penyakit yang dapat dicegah dan dapat diobati, dengan
karakteristik hambatan aliran udara menetap dan progresif yang
disertai dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada saluran
napas dan paru terhadap partikel berbahaya ( Wardhani, 2014 ).
b. Etiologi
Penyebab paling sering PPOK eksaserbasi akut adalah
infeksi saluran napas (virus atau bakteri). ( Wardhani, 2014 ).
c. Epidemiologi
36

PPOK merupakan penyakit kematian nomor ke empat di


Amerika Serikat dan sekitar 500.000 orang pertahun memerlukan
perawatan Rumah Sakit karena ekseserbasi akut. Dari ekseserbasi
yang dilaporkan, 3-16% memerlukan perawatan di rumah sakit.
Kematian pada rawat inap berkisar 3-10% pada pasien PPOK berat
( Wardhani, 2014 ).
d. Patofisiologi
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi
utama pada PPOK yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang
khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang
kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal
radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang.Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan
terjadi kerusakan di paru. Pengaruh gas polutan dapat
menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid
selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses
inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel
tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik
neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor necrosis
factor (TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive
oxygen species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang
neutrofil melepaskan protease yang akanmerusak jaringan ikat
parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar
danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan
dilepaskannya limfosit CD8,selanjutnya terjadi kerusakan seperti
proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan
antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada
dipermukaan makrofagdan neutrofil akan mentransfer satu elektron
ke molekul oksigen menjadi anion superoksidadengan bantuan
37

enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang


toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion
feri menjadi ion fero, ion fero denganhalida akan diubah menjadi
anion hipohalida ( Wardhani, 2014 ).
e. Faktor risiko
1) Pajanan asap rokok.
2) Pekerjaan yang berkaitan dengan paparan bahan kimia dan
partikel yang lama terus-menerus.
3) Polusi udara diluar ruangan.
4) Genetik diketahui berperan dalam terjadinya PPOK, yaitu
defisiensi antitripsin alfa-1
f. Diagnosis
1) Anamnesis
Sesak napas pada pasien PPOK bersifat progresif,
menetap, dan memburuk dengan olahraga / aktivitas.
Sedangkan batuk kronis bersifat intermitten dan mungkin
unproductive.
2) Pemeriksaan fisis
Dapat ditemukan barrel chest, penggunaan otot bantu
napas, pelebaran sel iga, fremitus melemah, hipersononr,
vasikuler normal / melemah, ekspirasi memanjang, wheezing.
3) Foto thoraks
Terdapat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diafragama
mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat, dan jantung
pendulum.
4) Spirometri.
Pada pasien diatas >40 tahun dengan gejala yang
mengarah PPOK, sangat dianjurkan untuk dilakukan tes
spirometry ( Wardhani, 2014 ).

g. Penatalaksanaan
38

Tujuan dari penatalaksanaan PPOK ekseserbasi adalah


untuk meminimalkan pengaruh ekseserbasi yang sedang
berlangsung dan mencegah terjadinya ekseserbasi berikutnya.
Berdasarkan dari dari tingkat keparahan ekseserbasi dapat
ditatalksanakan pada rawat jalan maupun rawat inap. Lebih dari
80% ekseserbasi dapat ditatalaksana pada rawat jalan dengan terapi
farmakologis yang meliputi bronkodilator, kotikosteroid, dan
antibotik ( Wardhani, 2014 ).
H. Integrasi Keislaman
Menurut Zhafir al-Aththar, saat seseorang tidur telungkup,
beberapa saat kemudian ia akan merasa sesak napas, karena dadanya sulit
berkontraksi saat bernapas. Posisi tengkurap juga dapat menyebabkan
pembengkokan tulang belakang leher, selain itu posisi ini juga akan
meletihkan jantung dan otak (Thayyarah, 2013:174). Abu Hurairah
meriwayatkan bahwa Rasulallah Saw.melihat seorang laki-laki tidur
tengkurap, maka beliau bersabda:

“Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abdah bin Sulaiman, dan


Abdurrahim menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Amr,
Abu Salamah menceritakan kepada kami, dari Abu Hurairah, ia
berkata, ,Rasulallah SAW.melihat ada seseorang tidur dengan
tengkurap (bertumpu) pada perutnya. Beliau bersabda,'Tidur seperti
ini (tengkurap) tidak disukai oleh Allah '. (HR. al-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain Rasulullah juga bersabda;“Berbaringlah di atas


rusuk sebelah kananmu,” (Hr Al-Bukhari dan Muslim).

Pada umumnya umat muslim menggunakan organ tubuh bagian


kanan sebagai anggota tubuh yang dominan dalam beraktifitas seperti
makan, memegang, dan lainnya. Mengenai tidur Nabi Muhammad
Saw.juga menganjurkan untuk memulai dengan berbaring ke sebelah
39

kanan, kemudian beliau berbalik bertumpu sedikit pada sisi kiri.


Dengan posisi tersebut proses pencernaan lebih cepat karena
condongnya lambung di atas hati. Kemudian beliau kembali tidur
bertumpu pada sisi kanan lagi, agar makanan segeralarut dari lambung
(Hidayatullah, 2010: 26). Selain bermanfaat bagi pencernaan, ada
beberapa manfaat lain yang dapat diambil dari posisi tidur miring ke
kanan, sebagai berikut: Dengan tidur pada posisi sebelah kanan, maka
otak bagian kiri yang pusat jaringan saraf segala aktifitas organ tubuh
bagian kanan akan terhindar dari bahaya yang timbul akibat sirkulasi
yang melambat saat tidur atau diam, Jantung sebagai pusat pompa
darah ke seluruh tubuh, terkait efek tiga posisi tidur yakni posisi
terlentang, tubuh miring ke kiri, dan miring ke kanan terhadap jantung
dengan menggunakan alat pengukur sepektrum jantung didapatkan
hasil bahwa aktifitas jantung terbaik didapatkan pada saat subjek
penelitian tidur dengan posisi miring ke sebelah kanan (Amna dan
Hendri Okarisman, 2015:196).

DAFTAR PUSTAKA
40

American Heart Association (AHA). 2016. Ejection Fraction Heart Failure


Measurement

Amna, Faza Khilwan dan Hendri Okarisman, Tau Gak Sih Islam Itu Sehat? 60
Obrlan Inspiratif Perkara Kesehatan Bersama dr. Abu, PT Aqwam
Media Profetika, Solo, 2015

Anwar, Bahri. 2004. “Nyeri Dada”. Medan : Universitas Sumatra Utara

Berliner, Dominik, Schneder, Nils, dkk.2016.The Differential Diagnosis of


Dyspnea.Deutsches Arzteblatt International.Vol.113:834-45

Caroline, Stevany. 2011. Gambaran Faktor Demografi, Penyakit Gaya Hidup


Pada Congestive Heart Failure (CHF) di RSUP DR.Wahidin
Sudirohusodo dan RS. Stella Maris Makassar Tahun 2011.

Dipiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.

Eroschenko, V P, Atlas Histologi di Fiore,edisi 11. EGC, Jakarta, 2010

Ewika, DNA (2007). Perbedaan Etiologi Gagal Jantung Kongestif pada Usia
Lanjut dengan Usia Dewasa di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari –
Desember 2006. Artikel Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart Failure and Cor Pulmonale.2008. Dalam
Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Harun, Sjaharuddin dan Ika Prasetya Wijaya. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Internal Publishing: Jakarta.

Heart. 2003. General Cardiology: Chronic Cor Pulmonale. 89:225-2230.


41

Hidayatuallah, Nur, Rahasia Hidup Sehat Cara Rasulullah Saw, Jakarta, Katalog
Dalam Terbitan(KDT), 2002

Indrajaya, taufik. 2017. Stenosis mitral buka bahan ajar ilmu penyakit dalam jilid
1 edisi VI. Jakarta : interna publishing

Junqueira,et.all, Histologi Dasar, Teks dan Atlas edisi 10, EGC, Jakarta,2007
Kabo peter.2017. menggunakan obat-obat kardiovaskular secara
rasional. Jakarta. Fakultas kedokteran universitas Indonesia.
Lauralee sherwood,2014 fisiologi manusia dari sel ke sistem, jakarta: EGC

Lilly. S, Leonard. 2016. Pathophysiology of Heart Disease Edition Sixth. China.


Wolters Kluwer

Marulam M, Gagal jantung. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1 hal 1135. 2014

Nisa, dkk. 2016. EFEK NEUROPROTEKTIF DAN GANGGUAN KOGNITIF


STATIN. Bandung : Unpad

Palkowski, Schweitzer, Motsohi, dkk. 2016. Dyspnea: Pathophysiology and a


Clinical Approach. SAMJ. Vol 106 No. 1

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2015.


Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung (edisi pertama). Jakarta:PERKI

Richard Drake, PhD, FAAA, A. Wayne Vogl, PhD, FAAA and Adam W. M.
Mitchell, MB BS, FRCS, FRCR, 2013, “Gray dasar-dasar
anatomi,Elsevier

Salmandri. 2015. Faktor Risiko yang Memengaruhi terjadinya Penyakit Jantung


Koroner pada Pasien di Rumah Sakit Islam Malahayati Medan Tahun
2014. Medan : Universitas Sumatra Utara

Santos, Mario, Kitzman. W.dkk. 2016. Prognostic Importance of Dyspnea for


Cardiovascular Outcomes and Mortality in Persons without Prevalent
42

Cardiopulmonary Disease: The Atherosclerosis Risk in Communities


Study. Plos One. 1371

Thayyarah, Nadiah, Mausu’ah al-I’jaz Al-Qur’ani, Abu Dhabi, Dar al-Yaman,


t.th. Diterjemahkan Zaenal Arifin (at al),Buku Pintar Sains Dalam Al-
Qur’an, Jakarta, Zaman, 2013

Wardhani, Dyah Paramita dan Anna Uyaina. Kapita Selekta Kedokteran essential
of medicine. Edisi IV. Jakarta. Media Aesculapius. 2014

Yancy. CW. 2013. Guideline for The Management of Heart Failure. American
Heart Association.

Anda mungkin juga menyukai