Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atrial fibrilasi (AF) merupakan suatu aritmia jantung paling umum yang
melibatkan peran dari bagian-bagian jantung, terutama atrium1. Pengertian kata
AF berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan
merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi
dengan peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung.
Sedangkan untuk indicator untuk mementukan ada tidaknya AF adalah tidak
adanya gelombang P pada elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada saat
kontraksi atrium yang terkoordinasi2.
Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling umum ditemukan dalam
praktek klinis3. Hal ini juga menyumbang 1/3 dari penerimaan pasien rumah sakit
untuk gangguan irama jantung4. Hal itu juga sesuai dengan pernyataan bahwa
tingkat penerimaan untuk AF telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir 5.
Sedangkan untuk presentase stroke yang berasal dari AF berkisar 6-24% dari
semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang secara struktural
terdiagnosis AF, memiliki jantung yang normal6. Dari sekitar 2,2 juta orang di
Amerika Serikat, ditemukan kurang lebih 160.000 kasus baru setiap tahun. Pada
prevalensi umum AF, terdapat peningkatan seiring dengan bertambahnya usia,
yaitu sekitar 1-2%. Pada usia kurang dari 50 tahun (<50 tahun), prevalensi AF
kurang lebih berkisar pada nilai presentase 1 % dan kemudian meningkat menjadi
9 % pada usia 80 tahun. AF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita, walaupun sebenarnya tidak ada kepustakaan yang mengatakan
adanya perbedaan yang relevan antara jenis kelamin pria dengan wanita yang
mempengaruhi prevalensi AF7.
Pada dasarnya, jantung bisa melakukan kontraksi karena adanya system
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada AF, nodus
SA tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak
teraturnya konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibat dari hal
tersebut, detak jantung menjadi tidak teratur dan terjadi peningkatan denyut
jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan berlangsung dari menit ke minggu atau
dapat terjadi sepanjang waktu selama bertahun-tahun. Kecenderungan alami dari
AF sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kondisi kronis dan menyebabkan
adanya komplikasi lain8.
AF seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang AF dapat
menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung
kongestif. Orang dengan AF biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko
stroke (hingga >7 kali populasi umum). Pada AF, risiko stroke meningkat tinggi,
hal ini dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga
menurunkan kemampuan kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri jantung9.
Disamping itu, tingkat peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah
faktor risiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan AF memang memiliki faktor
risiko tambahan dan AF juga merupakan penyebab utama dari stroke10.
AF dapat diobati dengan pengobatan yang baik dengan memperlambat
denyut jantung atau mengembalikan irama jantung kembali normal. Elektrik
kardioversi juga dapat digunakan untuk mengkonversi irama jantung AF kembali
ke irama jantung yang normal. Disamping hal tersebut, bedah dan terapi berbasis
kateter juga dapat digunakan untuk mencegah terulangnya AF dalam individu-
individu tertentu.
B. Tujuan
Untuk mengetahui definisi, tanda serta gejala, patofisiologi dan tata
laksana atrial fibrilasi.
C. Manfaat
Referat ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
khususnya tentang penyakit jantung atrial fibrilasi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Anatomi, Persarafan dan Pembuluh Darah Jantung


a. Anatomi Jantung
Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa
darah melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung
manusia dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang
dengan orang yang lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara
normal terletak didalam rongga toraks, yang berada diantara sternum di
sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior, sedangkan pada bagian
inferior berbatasan dengan diafragma11,12.
Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi
eksternal dan anatomi internal10,11,12.
1. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-
lapisan pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada
jantung, yaitu pericardium, miokardium dan endokardium.
Lapisan perikardium merupakan lapisan jantung bagian luar yang
terbuat oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu
perikardium parietal yang berada dibagian luar dan perikardium visceral
yang berada dibagian dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan
perikardium visceral dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan
perikardium encer. Fungsi rongga tersebut adalah sebagai ruang
kompsensasi pergerakan jantung.
Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan
lapisan paling tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan
ini terdiri dari 3 macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat
khusus. Otot atrium mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis
dibandingkan dengan otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh
fungsi kontraktilitas jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke
seluruh tubuh. Otot atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi
yang sama, sedangkan otot serat khusus lebih tergantung dari rangsang
konduksi jantung.
Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini
adalah suatu lapisan yang terdiri dari membran tipis di bagian luar yang
membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan
berhubungan langsung dengan jantung.
2. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri,
ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel
kanan) dan kiri (atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu
sekat yang dinamakan septum cordis. Disamping itu, jantung juga
mempunyai 4 buah katup jantung, yang terdiri dari katup trikuspidalis,
katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan katup semilunar
aorta.
a. Atrium Kanan
Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi
untuk menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava
inferior dan vena kava superior. Kedua vena kava bermuara pada
tempat yang berbeda, vena kava superior bermuara pada dinding
bagian supero-posterior atrium kanan, sedangkan vena kava inferior
bermuara pada dinding bagian infero-latero-posterior atrium kanan.
b. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan.
Darah vena akan dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang
sebelumnya melewati katup atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.
c. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih)
yang berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat
vena pulmonalis yang bermuara pada dinding postero-posterior atau
postero-lateral.
d. Ventrikel Kiri
Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang
berfungsi memompa darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel
kiri mempunyai tebal lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan
dengan ventrikel kanan. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi pompa darah
ventrikel kanan dan kiri.
e. Katup Semilunar
Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar
pulmonalis dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai
bentuk katup yang sama, tetapi secara antomis katup semilunar aorta
lebih tebal dibandingkan dengan katup semilunar pulmonalis. Katup
semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kanan
dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi sebagai
sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga
daun katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup
anterior, dekstra dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri
dari daun katup koroner dekstra, koroner sinistra dan non-koroner.
f. Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup
trikuspidalis dan katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis
terdiri dari tiga daun katup yang berbeda ukuran pada setiap daun
katup. Ketiga daun katup ini adalah katup anterior, septal dan katup
posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium kanan dengan
ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak sebagai
sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis
(mitral) mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup
mitral anterior dan posterior.
Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur
oleh kedua katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium,
annulus fibrosus, daun katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot
ventrikel. Keenam komponen ini merupakan rangkaian unit fungsional
dalam proses aliran darah, sehingga bila terjadi gangguan pada salah
satu komponen akan mengakibatkan gangguan hemodinamik yang
serius.

Gambar 1. Anatomi Jantung


b. Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf
simpatis dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi
daerah atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut
saraf parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-
otot atrium11,12.
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis
torakal III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan
parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan
diperantarai oleh asetilkolin. Secara fungsional, saraf simpatis mempengaruhi
kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis lebih berperan dalam
mengontrol irama dan menurunkan laju denyut jantung.
c. Pembuluh Darah Jantung
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh
koroner, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini,
baik arteri koroner kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava
aorta. Arteri koroner kiri akan bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan
arteri desendens anterior kiri yang memperdarahi sebagian besar bagian
proksimal RBB (right bundle branch), LBB (left bundle branch) dan fasikulus
anterior LBB. Sedangkan arteri koroner kanan akan bercabang menjadi arteri
atrium anterior kanan yang memperdarahi nodus sino-atrial dan arteri koroner
desendens posterior yang memperdarahi nodus atrio-ventrikuler dan fasikulus
posterior LBB. Pembuluh darah balik dari otot jantung adalah vena koroner.
Vana koroner ini berjalan berdampingan dengan arteri koroner yang akan
masuk atau bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius11,12,13.

Gambar 2. Pembuluh Darah Jantung


2. Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung
a. Fisologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat
adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot
jantung, yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik
(kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik
yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai
fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi11,12,13.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi
mekanik jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot
jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial
aksi dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi.
Ketiga proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada
untuk memicu kontraksi otot jantung11.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi
pembukaan saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan
perubahan potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30
mv. Setelah mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan
segera menutup yang kemudian diikuti pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan
saluran Ca2+ terjadi secara lambat, yang menyebabkan proses plateau dan
influks Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik.
Setelah beberapa saat, saluran Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan
saluran K+. Pembukaan saluran K+ menyebabkan terjadinya proses
repolarisasi, yang ditandai dengan keluarnya atau effluks K+ ke
ekstraseluler12,13,14.
Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung
Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses
potensial aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan saluran
Ca2+ secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks
Ca2+ atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat
dua mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+ ekstraseluler
berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+ selama fase
plateu pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari cadangan
intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang
berasal dari ekstraseluler13,14.
Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan
Ca2+ dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan
kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen
tebal (miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek
tiap sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan troponin akan
menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca 2+ yang
tidak berikatan dengan troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic
reticulum dan sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca2+ ke
ekstraseluler terjadi karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di
ekstraseluler. Kemudian ion Na+ yang telah masuk kedalam intraseluler akan
bertukaran secara aktif dengan ion K+ melalui proses Na+- K+-ATPase13,14.

Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung


b. Sistem Konduksi Jantung
Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga
menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau
rangsangan elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial,
nodus atrio-ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut
purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di nodus
sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan.
Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium,
baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan antara
atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan elektrik melalui
traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA
memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) tercepat
bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain, yaitu sebesar
60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini menyebabkan nodus SA sebagai
pengontrol utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker) dan
mengendalikan sistem konduksi jantung7,9.
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik
untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran
sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi
ventrikel dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus
atrio-ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui
traktus internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV
merupakan satu-satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan
ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan
mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-
60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus SA sebagai pengontrol
dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada rangsangan
elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya memiliki
keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12 detik.
Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan waktu
atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu dalam proses
mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu pengisian
ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi8,9,10.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his
sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal
dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke
ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang
kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan (RBB/right bundle
branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB bercabang sebagai
struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian
RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior
dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel
kanan dan menuju bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian
akan membentuk anyaman purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan
RBB, berkas cabang kiri (LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur
percabangan. Kedua struktur percabangan LBB ini berjalan di
subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masing-masing percabangan
akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada percabangan RBB,
yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati
berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut
purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi
kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri5,7,9,14.

Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung


3. Atrial Fibrilasi
a. Definisi
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang
ditandai dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan
frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial
fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial
yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan ini
menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung2,5,6.
b. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial
fibrilasi dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu2 :
a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama.
Tahap ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF
sebelumnya dan baru pertama kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF
jenis ini juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam
waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 7 hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu
penggunaan dari kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali
normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada
permanen AF, penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena
dinilai cukup sulit untuk mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Gambar 6. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association),
AF juga sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu
AF akut dan AF kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu
berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48 jam, sedangkan AF kronik
sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.
c. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-
faktor, diantaranya adalah5,6 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor
pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/miocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium
1. Infark miocardial
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik
d. Tanda dan Gejala
Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada
perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik.
Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh
penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan,
kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF
tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut7,8,9.
e. Faktor Resiko
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya
adalah :
a. Diabetes Melitus
b. Hipertensi
c. Penyakit Jantung Koroner
d. Penyakit Katup Mitral
e. Penyakit Tiroid
f. Penyakit Paru-Paru Kronik
g. Post. Operasi jantung
h. Usia ≥ 60 tahun
i. Life Style
f. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan
multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses
depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal,
fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior.
Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik
yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi
yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple
wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada
proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal
elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry,
sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa
dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan
pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga
faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan
peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF7,9,14.
Gambar 7. A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets
Reentry Atrial Fibrilasi
g. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol
ketidakteraturan irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi
merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF.
Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang
berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut
jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik
(Electrical Cardioversion)8,10.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk
mencegah adanya komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah
jenis antikoagulan atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini
berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya trombus dalam pembuluh
darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering dipakai
untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah :
1. Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam
proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau
mencegah koagulasi. Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat
diserap hingga mencapai puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1
jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di metabolisme dengan
cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian
diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.
2. Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari
trombosit (COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin
terminal. Efek dari COX2 ini adalah menghambat produksi
endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit. Hal inilah
yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi,
penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan
pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah,
terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan
peningkatan denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis
kalsium. Obat-obat tersebut bisa digunakan secara individual ataupun
kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung
dan menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung
menjadi lebih efisien. Disamping itu, digitalis juga memperlambat
sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke ventrikel. Hal ini
mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi atrium
yang abnormal.
2. β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem
saraf simpatis. Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk
meningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan
berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas
jantung akibat dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam
intraseluler melewati Ca2+ channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya,
kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk
mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada
dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)
a. Amiodarone
b. Dofetilide
c. Flecainide
d. Ibutilide
e. Propafenone
f. Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua
pelat logam (bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi
listrik ini adalah mengembalikan irama jantung kembali normal atau
sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).
3. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan
sayatan pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam
pembuluh darah utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian
ujung kateter terdapat elektroda yang berfungsi menghancurkan
fokus ektopik yang bertanggung jawab terhadap terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation,
tetapi pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin”
yang berfungsi untuk membantu menormalitaskan system
konduksi sinus SA.
c. Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan
denyut jantung.
h. Pembahasan
AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan
abnormalitas dari irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal
elektrik yang sangat cepat dan berulang. Keadan ini secara umum bisa
diakibatkan oleh gangguan potensial aksi, gangguan konduksi ataupun bisa
gangguan dari keduanya. Pada AF, gangguan terjadi pada ketidakteraturan
irama jantung dan peningkatan denyut jantung. Secara umum, gangguan AF
dapat dikatakan sebagai takikardi, karena denyut jantung pada AF mencapai
lebih dari 100x/menit. Takikardi sendiri dapat dikategorikan menjadi dua,
yaitu takikardi supraventrikuler dan takikardi ventrikuler. AF merupakan
takikardi supraventrikuler, dimana gangguan potensial aksi ataupun konduksi
berasal dari sistem konduksi diatas berkas HIS, yang meliputi nodus SA,
nodus AV dan berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler lebih
disebabkan tidak hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran
takikardi supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler.
Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol
atium, flutter atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme
terjadinya melalui 2 proses, yaitu aktivasi lokal atau multiple wavelets reentry.
Pada aktivasi lokal lebih didominasi karena adanya fokus ektopik pada vena
pulmonalis superior, sedangkan multiple wavelets reentry lebih cenderung
disebabkan oleh pembesaran atrium, pemendekan periode refractory dan
penurunan kecepatan konduksi. Selain itu, sebenarnya masih ada faktor lain
yang mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak jantung prematur, aktivitas
saraf otonom, iskemik atrium, konduksi anisotropik dan peningkatan usia.
Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung,
yaitu hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung. Ketiga hal ini akan
berpengaruh pada penurunan cardiac output, karena kontraksi jantung tidak
sempurna walaupun terjadi proses depolarisasi yang berulang. Hilangnya
koordinasi proses mekanik lebih disebabkan karena cepat dan seringnya
depolarisasi. Depolarisasi yang cepat dan berulang pada AF mempunyai sifat
yang tidak sempurna, sehingga proses kontraktilitas jantung juga tidak bisa
maksimal. Selain itu, peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada
atrium akan direspon secara fisiologis oleh ventrikel dengan penurunan
denyut jantung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peningkatan potensial
aksi pada atrium yang menyebabkan ketidakteraturan penerimaan denyut pada
ventrikel. Penurunan denyut pada ventrikel terjadi karena proses fisiologis
yang diperankan oleh sistem nodus AV. Nodus AV akan memperantarai
proses ini dengan meningkatkan kinerja sistem saraf parasimpatis dan
menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem konduksi AV. Sedangkan
untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang diakibatkan dari
peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik secara berulang-ulang.
Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung
dan peningkatan denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek yang
berbahaya pada jantung akibat dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat dari
3 faktor, yaitu statis, disfungi endotel dan hiperkoagulasi. Mekanisme ini
terjadi dari statis dan kerusakan endotel darah akibat kontraksi dan aliran
darah yang tidak sempurna. Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan
adanya proses bekuan darah yang merupakan bagian penyebab dari
tromboembolisme.
BAB III
KESIMPULAN

1. Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai
dengan ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi
denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit.
2. Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu AF deteksi pertama, paroksismal AF,
persisten AF dan kronik/permanen AF.
3. Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry.
a. Aktivasi lokal merupakan mekanisme AF yang berasal dari fokus ektopik
yang dominan (vena pulmonalis superior), dimana fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi aktivitas potensial aksi
nodus SA pada atrium.
b. Multiple wavelet reentry merupakan proses potensial aksi yang berulang-
ualng, melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi, tidak tergantung pada adanya
fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal dan dipengaruhi oleh
pembesaran atrium, pemendekan periode refractory serta penurunan
kecepatan konduksi.
4. Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu
hilangnya koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon
ventrikel dan ketidakteraturan denyut jantung.
5. Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan
irama jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan
menghindari/mencegah adanya komplikasi tromboembolisme.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wyndham CRC (2000). "Atrial Fibrillation: The Most Common arrhythmia".


Texas Heart Institute Journal 27 (3): 257-67.
2. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-
12-04. Archived from the original on 2009-03-28.
3. Fuster V, Rydén LE, Cannom DS, et al. (2006). "ACC/AHA/ESC 2006
Guidelines for the Management of Patients with Atrial Fibrillation: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for
Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation): developed in collaboration with
the European Heart Rhythm Association and the Heart Rhythm Society".
Circulation 114 (7): 257–354.
4. Friberg J, Buch P, Scharling H, Gadsbphioll N, Jensen GB. (2003). "Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patients with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter".Circulation Journal 67 (1):
68–72.
5. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship
between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67.
6. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–7.
7. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
8. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
9. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce
stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61
(2): 755–9.
10. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
11. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-305.
12. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC: 682-
712.
13. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.
14. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.

Anda mungkin juga menyukai