Latar Belakang
Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional terbagi dalam Sub-Direktorat Iklim
Usaha dan Sub-Direktorat Kerjasama Internasional. Tugas direktorat ini adalah
merumuskan dan menyusun strategi, kebijakan dan pedoman pengadaan barang/jasa
dalam rangka pengembangan iklim usaha dan kerjasama internasional.
Saat ini Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional tengah melakukan
harmonisasi peraturan bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, survey Compliance
Performance Indicator (CPI) yang akan menghasilkan laporan yang menunjukkan hasil
implementasi pengadaan barang/jasa yang telah dilaksanakan oleh K/L/D/I yang
selaras ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, serta kajian strategi
dan kebijakan pengadaan barang/jasa dalam rangka pengembangan iklim usaha
nasional
Gedung SME TOWER lantai 8 Jl. Jend. Gatot Subroto Kav 94,
Jakarta Selatan 12880
Telp. (021) 7991025; Fax: (021) 7996033
Website : www.lkpp.go.id
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya lah akhirnya kami dapat menyelesaikan Laporan Kajian Strategi
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Rangka Pengembangan Iklim Usaha
dan Nasional.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Ruang Lingkup 7
Bab II Kajian Pustaka
2.1 Perdagangan Bebas 8
2.2 Liberalisasi Perdagangan 8
2.3 Kepentingan Nasional 9
2.4 Kerjasama Internasional 10
2.5 Progress in Policy Reforms to Improve the Investment 11
Climate in South East Europe-Investment Reform Index
(IRI) 2006
Bab III Gambaran Umum 20
3.1 Perekonomian Ekonomi Dunia dan Indonesia 20
3.1.1 Masyarakat Ekonomi ASEAN 22
3.1.2 ASEAN-China Free Trade Agreement 26
3.2 Kinerja Perekonomian Domestik 31
3.3 Perkembangan Sektoral Ekonomi Nasional 34
Bab IV Pembahasan 37
4.1 Kebijakan Peningkatan Daya Saing Nasional 37
4.2 Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) 43
dan Kaitannya dengan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
4.3 Daya Saing 47
4.3.1 Diamond Framework 48
4.3.2 Tahapan Pembangunan Ekonomi 50
4.4 The Root of Competitiveness 52
4.5 Assessment Daya Saing 53
4.5.1 International Finance Corporation Ease of Doing 54
Business Index
4.5.2 The World Economic Forum Global 54
Competitiveness Index (GCI)
4.5.3 United Nations Conference on Trade and 54
Development (UNCTAD) - World Investment
Report
4.5.4 A Comparison of Competitiveness Assessment 55
Tools
4.6 Pengukuran Daya Saing 57
4.6.1 Real Effective Exchange Rate 57
4.6.2 Unit Labour Cost 57
4.6.3 Relative Unit Labour Cost 58
4.6.4 Terms-of-Trade 59
4.6.5 Composite Indices 60
ii
4.7 Daya Saing Nasional 61
4.8 Standar untuk Peningkatan Daya Saing 69
DAFTAR PUSTAKA 73
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Jeffrey Edmund Curry. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. Jakarta: Victory Jaya Abadi, hal
143
2
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2
WTO adalah badan internasional yang mempromosikan perdagangan yang
lebih terbuka dan berkompeten untuk menghasilkan aturan perdagangan
antarnegara saat ini. Inti dari berjalannya fungsi WTO adalah dilaksanakannya
kesepakatan-kesepakatan multilateral yang merupakan dasar hukum untuk
perdagangan internasional yang telah dinegosiasikan dan disepakati oleh negara-
negara anggotanya. Dokumen kesepakatan ini berupa perjanjian yang mengikat
setiap pemerintah penandatangan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan dagang
dalam batas-batas yang telah disetujui bersama. Sebagai konsekuensi dari hal
tersebut, para pelaku bisnis dan unsur-unsur pemerintahan suatu negara sebagai
fasilitator dituntut untuk memahami dan melaksanakan aturan main perdagangan
internasional tersebut secara penuh, dalam rangka mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari peluang akses pasar yang terbuka oleh adanya WTO ini.
Pembentukan WTO sendiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi
sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun
1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini.
Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai
3
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional
tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade
Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem
Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui
dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret
1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar.
Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun
sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara
efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan
instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada
tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan
“plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan
tarif. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan
multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round),
sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan
negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan
tahun 1960-an) dibahas mengenai tarif dan Persetujuan Anti Dumping (Anti
Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff
secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan
dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff
rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang
berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi
tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran
Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan
perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai
“safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian
persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan,
yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
4
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada
pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut
hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut
nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran
Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak
diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan
dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata.
Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan
atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang,
penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan
reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi
peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60
persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-
persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang
mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.3
Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
1. Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
2. Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
3. Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/
TRIPs)
4. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)
3
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan, Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas WTO.
5
oleh sejumlah negara anggota, antara lain trade in civil aircraft, government
procurement, daily product, dan bovine meat.
GPA didasarkan pada prinsip keterbukaan, transparansi dan non-diskriminasi
yang jelas akan memberikan keuntungan untuk para pihak yang menandatangani
termasuk penyedia mereka dalam hal barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa
oleh instansi pemerintah adalah elemen penting dalam hal berjalannya pemerintah.
Hal ini disebabkan oleh dengan adanya pengadaan tersebut maka tugas-tugas
pemerintah bisa berjalan, bahkan pengadaan juga berdampak besar bagi para
pemangku kepentingan di masyarakat. Selain itu, pengadaan pemerintah juga
merupakan aspek yang penting dalam perdagangan internasional.
Adanya kelangkaan dalam sumber-sumber publik, efisiensi proses pengadaan
adalah pertimbangan utama dalam setiap pengadaan itu sendiri. Prinsip
keterbukaan, transparan dan non diskriminasi adalah yang paling utama untuk
mencapai “value for money” yang dalam waktu yang bersamaan dapat
meningkatkan kompetisi di antara para penyedia. Namun sejumlah negara anggota
WTO masih menggunakan aturan mereka sendiri dalam pembeliannya untuk
mencapai tujuan kebijakan domestik, seperti penggunaan industri lokal.4
Pengadaan pemerintah adalah aspek penting dalam perdagangan internasional,
di mana pasar pengadaan itu sendiri sekitar 10-15 % dari GDP dan juga dilihat dari
keuntungan yang didapatkan baik para pemangku kepentingan domestik maupun
asing dalam meningkatkan kompetisi.
Terdapat tiga hal yang melingkupi pengadaan pemerintah, yaitu:5
1. Agreement on Government Procurement (GPA) yang ditandatangani oleh
sejumlah anggota WTO;
2. Transparency in government procurement, yang dilakukan oleh Working
Group, dan
3. Multilateral negotiations on services procurement, yang dilakukan oleh
Working Group on GATS Rules (WPGR).
Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi Government Procurement
Agreement (GPA) karena diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai
4
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm
5
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gproc_e.htm
6
kesiapan domestik dalam menghadapi perdagangan bebas, termasuk mengenai
tingkat daya saing (kompetisi) pelaku usaha Indonesia.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
6
Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations. Oxford: Oxford University Press, p. 618
7
Ibid, p. 285
8
Martin Griffiths and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. New York:
Routledge, p. 114-115
9
Michael P. Todaro. 1997. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga, hal 79
8
keunggulan komparatif; yaitu oleh relative factor prices (tanah, modal dan tenaga
kerja). Penerapan asas-asas keunggulan komparatif atau biaya komparatif akan
menjamin sebuah negara menerima kesejahteraan ekonomi yang lebih besar
melalui partisipasinya dalam perdagangan asing daripada melalui proteksi
perdagangan.10
Liberalisasi perdagangan, membantu negara untuk menyadari efisiensi
kegunaan dari sumber daya yang mereka miliki. Liberalisasi perdagangan memiliki
dua efek yang tidak dapat dikesampingkan. Pertama, menggiring pada penataan
kembali sumber daya pada aktivitas negara yang memiliki keunggulan komparatif.
Kedua, liberalisasi perdagangan memperluas kesempatan konsumsi banyak negara,
makin efisien kegiatan produksi memicu pendapatan yang lebih dan meningkatkan
kesempatan untuk membeli barang dan jasa dari negara lain. Walau suatu negara
semiskin apa pun, pasti negara tersebut tetap saja memiliki keunggulan komparatif.
Liberalisasi perdagangan seharusnya dapat meningkatkan penerimaan negara
melalui pengalihan sumber daya dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif.
10
Robert Gilpin. 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton
University Press
9
2. Secondary interests, meliputi segala macam keinginan yang hendak dicapai
masing-masing negara. Namun mereka tidak bersedia berperang di mana
masih terdapat kemungkinan lain untuk mencapainya melalui jalur
11
perundingan misalnya.
Untuk memperjelas pengertian kepentingan nasional Coulumbis dan Wolfe
memberikan beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian, yaitu: (1)
kepentingan nasional berbeda dengan kepentingan kelompok, kelas, elit atau
kepentingan lainnya; (2) kepentingan nasional suatu negara harus seimbang dengan
kapabilitas yang dimilikinya; (3) bagaimana menghubungkan kepentingan nasional
suatu negara dengan kepentingan negara lain, hal ini berdasaran asumsi bahwa
kepentingan nasional suatu negara yang bukan hanya menyadari kepentingan
sendiri, tetapi juga menyadari kepentingan negara-negara lain”; (4) yang terakhir
adalah bagaimana menghubungkan kepentingan nasional dengan persyaratan
keamanan global dan keamanan regional.12
11
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 52
12
Couloumbis, Theodore, James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional: Power and
Justice. Bandung: Putra Bardin, hal 115-116
10
charter, final act, protocol). Bisa juga secara bilateral, trilateral atau multilateral,
bergantung pada segi kebutuhan dan hal yang diperjanjikan.13
13
Dougherty, James E and Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of International
Relations. United States: Addison-Wesley Educational Publishers, p. 418-419
11
• Data yang disediakan secara langsung oleh pemerintah, seperti rencana
strategis, peraturan terbaru, rencana kerja, data monitoring
• Interview secara langsung kepada individu atau kelompok sektor swasta di
setiap negara.
- Kebijakan Investasi
14
- Promosi Investasi dan fasilitasi (Investment Promotion and Facilitation)
Dibagi menjadi 3 bagian antara lain:
a. Dukungan pemerintah terhadap perkembangan investasi yang ramah
lingkungan
15
c. Elemen kunci
- Kebijakan Perpajakan
16
- Anti-korupsi dan business integrity
17
- Kebijakan Perdagangan
18
Ditambahkan pula dalam bagian ini adalah Bagan Analisa Dampak Peraturan
yang diambil dari OECD:
19
BAB III
GAMBARAN UMUM
14
Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
22
Community) dari 2020 menjadi 2015, yang memiliki tujuan tercapainya suatu
kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan
ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi. Hal ini karena integrasi ekonomi menjanjikan peningkatan kesejahteraan
bagi negara-negara di dalamnya melalui pembukaan akses pasar yang lebih besar,
dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta
terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih luas.
Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang dilaksanakan pada bulan Agustus
2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat untuk mengembangkan ASEAN Economic
Community Blueprint yang merupakan panduan untuk terwujudnya AEC. Declaration
on ASEAN Economic Community Blueprint, ditandatangani pada 20 November
2007, memuat jadwal strategis untuk masing-masing pilar yang disepakati dengan
target waktu yang terbagi dalam empat fase yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011,
2012-2013, dan 2014-2015. Penandatanganan AEC Blueprint dilakukan bersamaan
dengan penandatanganan Piagam ASEAN.
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN
untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk
melaksanakan komitmen dalam bluepirnt tersebut. AEC Blueprint memuat empat
kerangka utama, yaitu:
a. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen
aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang
lebih bebas;
b. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan
elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce.
c. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan
elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi
ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam).
d. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian
global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan di luar
kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dari
keempat pilar tersebut, saat ini pilar pertama masih menjadi perhatian utama
ASEAN.
23
Perkembangan Pilar Utama ASEAN Economic Community (AEC):
1. Arus Barang yang Bebas
ASEAN telah melakukan penurunan hambatan tarif secara signifikan. Sejak 1
Januari 2010, seluruh tarif produk ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) yang masuk dalam Inclusion List (IL)
dari Common Effective Preferential Tariff (CEPT), telah dihapuskan untuk
perdagangan antar negara ASEAN. Daftar produk yang mengalami penghapusan
tersebut merepresentasikan 99 % dari seluruh daftar tarif. Rata-rata tarif telah
berkurang dari 4.4 % pada tahun 2000 menjadi 0.9% pada tahun 2009.
Peraturan asal barang (ROO) menetapkan kondisi produk manufaktur atau
diproduksi di negara anggota ASEAN yang dapat menikmati konsesi tarif
preferensi tersebut apabila produk tersebut diproses atau dihasilkan untuk di
ekspor ke negara anggota ASEAN lainnya. Upaya signifikan telah dilakukan
dengan merevisi dan menyederhanakan ASEAN ROO untuk memfasilitasi
perdagangan dan meningkatkan pengembangan usaha di kawasan. Dengan
penurunan hambatan tarif yang sangat signifikan dan ROO yang lebih sederhana,
saat ini ASEAN mengarahkan perhatiannya kepada langkah-langkah fasilitasi
perdagangan dan penyelesaian beberapa hambatan non-tarif. Hambatan non -
tarif ini dapat menghambat arus bebas barang di ASEAN melalui penerapan
persyaratan yang rumit dan tidak transparan. Untuk mengatasi hal tersebut,
negara anggota ASEAN telah melakukan identifikasi terhadap hambatan
perdagangan non - tarif dan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menghapuskannya.
25
diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembiayaan
infrastruktur di ASEAN.
Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi yang cukup tinggi
sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini dikhawatirkan akan
memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan ditutupnya perusahaan
dalam negeri akibat kalah bersaing. Masalah yang paling dikhawatirkan adalah
pengaruh ACFTA terhadap keberlangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang
28
berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Tentu UKM tersebutlah yang paling parah
terkena imbas dengan membanjirnya produk-produk China.
Dari sisi konsumen atau masyarakat, kesepakatan ini memberikan angin segar
karena membuat pasar dibanjiri oleh produk-produk dengan harga lebih murah dan
banyak pilihan. Dengan demikian akan berdampak pada meningkatnya daya beli
masyarakat sehingga diharapkan kesejahteraan pun dapat ditingkatkan.
Namun, kesepakatan tersebut justru membuat industri lokal gelisah. Hal ini
dikarenakan industri lokal belum siap terhadap serbuan produk China.
Tujuan pembentukkan ACFTA adalah pertama, meningkatkan dan
memperkuat kerjasama perdagangan antara ASEAN dan China. Kedua,
meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui penurunan tarif. Ketiga,
mengembangkan berbagai area kerjasama ekonomi lain yang saling
menguntungkan dan yang terakhir, memfasilitasi integrasi ekonomi kawasan dengan
menjembatani berbagai kesenjangan ekonomi yang ada antara ASEAN dan China.
Pada awal penandatanganan, kesepakatan ini disambut hangat oleh banyak
kalangan di dalam negeri untuk beberapa alasan. Pertama, penurunan tarif dan
penghilangan hambatan non-tarif perdagangan dengan China memungkinkan
Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara tersebut,
yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Kedua, terkait dengan hal ini,
peningkatan perdagangan diprediksikan akan meningkatkan kesejahteraan dan
mengurangi ketimpangan pendapatan di dalam negeri. Hal ini mengingat ia
cenderung menghasilkan pola pertumbuhan yang broadbased, yang dinikmati oleh
banyak masyarakat. Ketiga, penetapan perdagangan bebas dengan China
memungkin ditariknya lebih banyak investasi asing di dalam negeri, baik dari China
maupun dari negara lain yang ingin memanfaatkan kedekatan ekonomi Indonesia
dengan negara ini. Keempat, perdagangan bebas dengan China juga
memungkinkan terserapnya lebih banyak teknologi dan pengetahuan serta skill,
yang memungkinkan pengembangan industri di dalam negeri.17
Namun di sisi yang lain, kebijakan perdagangan bebas dalam ACFTA ini
memberikan berbagai konsekuensi yang berasal dari kehawatiran pengusaha
Indonesia, yaitu karena dengan berlakunya perjanjian antara negara-negara ASEAN
dan China maka produk China akan membanjir di Indonesia dengan kualitas baik
17
Majalah Trust No. 11 tahun VII edisi 11-17 Januari 2010
29
dan harga yang lebih murah karena China menggunakan teknologi tinggi sehingga
biaya produksinya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang belum
memiliki permesinan canggih sehingga bisa menekan biaya produksi. Hal inilah yang
menjadi masalah bagi para pengusaha di Indonesia mengenai kebijakan
perdagangan bebas dalam ACFTA, kekhawatiran mengenai usaha yang akan
gulung tikar maupun peningkatan pengangguran di Indonesia.
30
3.2 Kinerja Perekonomian Domestik
Kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2010 turut diwarnai oleh
dinamika perekonomian global. Membaiknya pertumbuhan ekonomi global yang
mendorong naiknya volume perdagangan internasional serta memicu kenaikan
harga-harga komoditas berdampak pada tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia.
Pada tahun 2010, ekspor menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Kinerjanya yang meningkat tinggi mampu mempertahankan surplus
transaksi berjalan, walaupun terjadi peningkatan yang tinggi baik di sisi impor
maupun pembayaran profit transfer. Di sisi transaksi modal dan finansial, pemulihan
ekonomi global yang disertai derasnya aliran modal menyebabkan surplus neraca
modal yang besar dalam NPI. Perkembangan kondisi makroekonomi yang membaik
ini membawa perkembangan positif bagi pasar modal Indonesia. Harga saham
meningkat cukup tinggi hingga menjadikan Bursa Efek Indonesia sebagai bursa
terbaik di negara-negara kawasan. Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga
Negara (SBN) terus mengalami penurunan yang signifikan sejak 2009. Derasnya
arus modal masuk juga mengakibatkan terjadinya penguatan nilai tukar rupiah yang
cukup signifikan dan peningkatan likuiditas di pasar uang jangka pendek. Kondisi ini
mendorong suku bunga PUAB over night (O/N) bergerak di bawah BI rate dan
cenderung mendekati batas bawah koridor. Dari sisi domestik, meningkatnya
keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat menjadi faktor utama cukup
tingginya pertumbuhan konsumsi pada tahun 2010. Kondisi ini kemudian direspons
31
oleh peningkatan pertumbuhan investasi seiring dengan membaiknya tendensi
bisnis dan permintaan ekspor yang tinggi. Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah
tumbuh lebih lambat dibanding tahun sebelumnya. Berbagai perkembangan ini
membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 6,1% dari 4,6%
pada tahun sebelumnya. Sementara itu, inflasi pada tahun 2010 meningkat cukup
tinggi dengan perkembangan inflasi IHK yang mencapai 6,96%, berada di atas
sasaran inflasi tahun 2010 ( 5±1%). Tingginya inflasi ini bersumber dari tekanan
kenaikan inflasi pada kelompok volatile food terkait dengan anomali cuaca yang
menyebabkan terjadinya gangguan pasokan pada kelompok barang ini. Meskipun
demikian, secara fundamental perkembangan inflasi pada dasarnya cukup
terkendali, sejalan dengan penguatan rupiah, terjaganya ekspektasi inflasi
masyarakat, serta kondisi sisi penawaran yang masih memadai dalam merespons
kenaikan permintaan. Perkembangan ini terlihat pada inflasi inti yang tetap stabil di
angka yang relatif sama dengan tahun sebelumnya yaitu 4,28%.
Sejalan dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global, perekonomian
Indonesia tahun 2010 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pertumbuhan PDB 2010 mencapai 6,1%, meningkat dari 4,6% pada tahun 2009. Di
sisi permintaan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi didukung oleh kinerja ekspor
dan investasi yang tumbuh tinggi, disertai konsumsi rumah tangga yang tetap kuat.
Kenaikan harga komoditas internasional turut menunjang tingginya pertumbuhan
ekspor nasional. Selain itu, meningkatnya kinerja ekspor juga diikuti oleh lebih
terdiversifikasinya komoditas ekspor dan lebih besarnya peran negara-negara
emerging markets sebagai pasar tujuan ekspor Indonesia. Permintaan
eksternal dan domestik yang kuat berpengaruh positif bagi optimisme pelaku usaha
terhadap prospek perekonomian, sehingga pada akhirnya mendorong kinerja
investasi tumbuh meningkat. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang tetap kuat
ditopang oleh daya beli masyarakat yang terjaga didukung meningkatnya peran
pembiayaan lembaga keuangan. Tingginya permintaan domestik dan eksternal pada
gilirannya berdampak pada tingginya pertumbuhan impor hingga melebihi
pertumbuhan ekspor.
Kinerja ekspor yang meningkat cukup tinggi sejalan dengan berlanjutnya
pemulihan ekonomi global. Kenaikan kinerja ekspor paling tinggi terjadi di semester I
2010, terutama pada awal tahun, didukung baik oleh komoditas migas maupun
32
nonmigas. Namun, memasuki semester II 2010 ekspor mengalami perlambatan
terkait dengan terjadinya penurunan produksi minyak, melambatnya laju
pertumbuhan negara mitra dagang, serta harga komoditas manufaktur dan pertanian
yang melambat. Kinerja ekspor kembali mencatat kenaikan yang cukup tinggi pada
akhir 2010 didorong oleh meningkatnya ekspor produk pertanian dan manufaktur,
disertai kenaikan harga komoditas. Secara keseluruhan, ekspor tahun 2010
mencatat kenaikan yang tinggi, yakni mencapai 14,9%.
Pertumbuhan ekspor tersebut merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun
terakhir – kecuali tahun 2005 – dengan komoditas ekspor yang relatif lebih tidak
terkonsentrasi pada hanya beberapa produk tertentu. Selain itu, capaian
pertumbuhan ekspor nasional yang tinggi juga disertai meningkatnya pangsa
negara-negara emerging markets sebagai pasar tujuan ekspor. Meningkatnya
kinerja ekspor dan semakin kondusifnya berbagai variabel makroekonomi
berkontribusi pada kinerja investasi yang tumbuh tinggi. Iklim investasi yang
membaik didukung oleh pembiayaan dari dalam dan luar negeri yang meningkat
sehingga mendorong realisasi investasi tumbuh lebih cepat untuk merespons
kenaikan kapasitas utilisasi seiring kuatnya permintaan. Survei Tendensi Bisnis yang
dilakukan oleh BPS menunjukkan optimisme pelaku usaha yang positif dengan terus
meningkatnya pemesanan barang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, harga
jual yang naik, serta kenaikan pemesanan barang input. Menguatnya nilai tukar
rupiah juga turut menunjang impor barang modal dengan harga yang relatif lebih
rendah. Dengan perkembangan tersebut, investasi nonbangunan kembali tumbuh
tinggi sebesar 13,1% setelah pada tahun 2009 mengalami kontraksi yang cukup
dalam. Sementara itu, investasi bangunan tumbuh stabil sebesar 7,0% Tingginya
perkembangan investasi nonbangunan ini mengisyaratkan sifat investasi yang lebih
kepada menambah kapasitas ekonomi. Berdasarkan jenis investasi, peningkatan
pertumbuhan investasi didorong oleh Penanaman Modal Asing (PMA) yang tercatat
mencapai Rp 208,6 triliun dan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) sebesar Rp
60,5 triliun.18
18
Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
33
3.3 Perkembangan Sektoral Ekonomi Nasional
Berdasarkan data BPS, sektor pertanian masih memegang peranan penting
dalam menopang pertumbuhan ekonomi, meskipun cenderung mengalami
penurunan pangsa dalam PDB, dari 15,2% pada 2003 menjadi 12,9% pada 2006.
Kendala yang dihadapi adalah rendahnya investasi dalam rangka penyediaan dan
perbaikan infrastruktur. Namun dalam 40 tahun terakhir pertumbuhan pertanian
Indonesia mengalami perlambatan. Pergeseran sektoral telah terjadi dimana
penurunan pangsa sektor pertanian dibarengi peningkatan pangsa industri
pengolahan. Untuk negara maju seperti Jepang dan USA, pergeseran terjadi ke arah
peningkatan pangsa sektor jasa bisnis. Indonesia menempati peringkat 20 negara
eksportir pertanian namun sayangnya justru kalah dari negara-negara dengan luas
lahan pertanian yang lebih sempit. Data 2005 menunjukkan terjadinya peningkatan
volume ekspor pertanian yang diikuti pula dengan kenaikan impor dengan jumlah
lebih besar. Meski secara volume defisit akan tetapi dari sisi nilai, neraca komoditas
pertanian masih menunjukkan surplus dari waktu ke waktu. Saat ini, volume ekspor
karet Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan menduduki peringkat ke-2 dunia
setelah Thailand. Indonesia juga merupakan negara pengekspor CPO terbesar
kedua setelah Malaysia, namun pertumbuhan ekspornya saat ini lebih cepat dari
Malaysia. Survei Pemetaan Sektor Ekonomi (SPSE) 2005 menunjukkan terdapat 12
komoditas pertanian unggulan yang menjadi penggerak utama sektor pertanian,
memberikan sumbangan lebih dari 80% output sektor pertanian primer dan
merupakan komoditas input yang dominan terhadap sektor agro industri. Sementara
berdasarkan kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia 2006 telah ditetapkan 5
komoditas unggulan pertanian yaitu kelapa sawit, kopi, karet, coklat, serta ikan dan
udang.
Peran sektor pertambangan walaupun relatif kecil dalam PDB (10,6% pada
2006) dan cenderung tumbuh lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi (5%
pada 2006) namun berperan strategis dalam penyediaan energi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Di samping itu subsektor
pertambangan migas masih berperan besar dalam penerimaan APBN.
Secara sektoral, penyumbang PDB terbesar adalah sektor industri
pengolahan (28% pada 2007) namun stok kapital neto tertinggi justru dimiliki oleh
sektor jasa (25,3%). Hal ini terkait dengan kebutuhan pemanfaatan teknologi
34
informasi dan komunikasi di era globalisasi di segala bidang, misalnya untuk
transaksi keuangan. Secara umum peran sektor industri nonmigas dalam
perekonomian nasional masih dominan walaupun sempat mengalami penurunan
selama periode krisis.
Pada 2007, pangsa sektor industri non migas ini mencapai 22,8% dari total
PDB, dibandingkan pangsa industri migas yang hanya 5,2%. Namun sektor ini tetap
sensitif terhadap gejolak permintaan eksternal, dan masih dilingkupi persoalan
rendahnya daya saing serta rendahnya tingkat investasi.19
19
Ibid
35
Dilihat dari segi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan
tenaga kerja maupun pemerataan pembangunan, peran ini masih lebih rendah
dibandingkan pada periode pra krisis. Hal ini disebabkan karakteristik industri
nonmigas yang dominan dalam melayani pasar domestik tetapi memiliki tingkat
ketergantungan impor yang tinggi, sensitivitas sektor industri terhadap gejolak
permintaan eksternal yang masih tinggi, rendahnya daya saing, serta minimnya
tingkat investasi. Komoditas nonmigas yang memiliki daya saing dan nilai tambah
cukup tinggi antara lain Minyak Kelapa Sawit (CPO) serta beberapa komoditas
tekstil dan TPT.
36
BAB IV
PEMBAHASAN
37
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Industri
38
Kebijakan Iklim Usaha Industri
39
Pemberian Fasilitas Fiskal Dalam Rangka Penanaman Modal
a. Pengurangan penghasilan net sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing- masing
sebesar 5% (lima persen) per tahun
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat
c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek
Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah
menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih
dari 10 (sepuluh) tahun
e. Dalam Revisi PP 62/2008, untuk sektor industri telah disepakati :
Lampiran I : 36 Bidang usaha tertentu
Lampiran II : 38 Bidang usaha tertentu dan daerah tertentu
Industri Petrokimia yang mendapatkan fasilitas Tax Allowance :
1. Industri kimia dasar anorganik lainnya
2. Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian
3. Industri Kimia Dasar Organik untuk Bahan Baku Zat Warna dan Pigmen
4. Industri Kimia Dasar Organik yang bersumber dari Minyak Bumi, Gas Alam
dan Batubara
5. Industri Kimia dasar Organik yang menghasilkan bahan kimia khusus
41
6. Revisi PMK 241 Tahun 2010 tentang Perubahan tarif Bea Masuk
PMK No. 13 Tahun 2011
Untuk Tarif Bea Masuk Komoditi Pangan dan Bahan Pangan, Bahan Baku Pakan
Ternak dan Pupuk Tertentu telah diubah dengan PMK No.13 Tahun 2011, sebanyak
57 pos tarif telah diturunkan menjadi 0 % sampai dengan 31 Desember 2011 dan
selanjutnya naik menjadi 5% mulai 1 Januari 2012.
PMK No. 80 Tahun 2011
Untuk Tarif Bea Masuk Komoditi Penetapan tarif bea masuk atas barang impor :
1) produk-produk bahan baku dan barang modal industri tertentu
2) produk-produk kapal tertentu
3) produk-produk bahan baku dan peralatan film tertentu
Lampiran I terdapat 25 produk yang tariff rate nya 0% berlaku mulai tanggal
diundangkan sampai dengan 31 Desember 2011.
Lampiran II terdapat 25 produk yang tariff rate nya 5% mulai 1 Januari 2012
Lampiran III sebanyak 157 post tarif yang 0% dan 8 post tarif yang 10% (makanan),
dan berlaku mulai tanggal diundangkan.
7. Pemberian Keringanan Suku Bunga
Pemerintah sejak tahun 2007 telah meluncurkan program restrukturisasi
permesinan bagi beberapa sektor industri, dengan hasil sebagai berikut :
Restrukturisasi Industri
42
4.2 Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan Kaitannya
dengan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Struktur Kebijakan
Peluang Penggunaan Produk Dalam Negeri – dari Belanja Barang dan Modal
Pemerintah Pusat
45
- TKDN Pengadaan Barang
46
- TKDN Pengadaan Barang
Kondisi Faktor
Merujuk pada ada dan tidak adanya input dari pekerjaan yang membutuhkan
keahlian tertentu, ketersediaan bahan mentah, infrastruktur, dan keuangan. Faktor
48
input bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dapat dilanjutkan dengan
mengembangkannya dan menjadikannya lebih spesifik dari waktu ke waktu,
contohnya perusahaan dapat memberikan investasi dalam hal memberikan
pelatihan kepada para karyawan untuk memberikan nilai tambah kepada mereka
dan juga meningkatkan produktivitas.
Konteks Strategi dan Persaingan
Hal ini merujuk kepada daya saing antara perusahaan dalam sektor atau industri.
Daya saing menyediakan insentif bagi inovasi dan meningkatkan bisnis, maka
perusahaan akan berusaha untuk bisa meraih pasar dari para pesaingnya. Untuk
menjadikannya lebih kuat, maka kebijakan yang diambil juga harus tepat sehingga
dapat menajamkan strategi sekaligus meningkatkan kualitas barang dan jasa untuk
bisa meraih pasar yang lebih luas.
Permintaan
Elemen permintaan melihat kebutuhan pasar dan mengevaluasi keinginan
konsumen. Permintaan konsumen menstimulasi inovasi dan meningkatkan
persaingan antarperusahaan. Ada atau tidaknya konsumen dan perlindungan
konsumen, dapat menghilangkan barang/jasa impor yang telah ada.
Industri Pendukung
Hal ini digunakan untuk menghitung formasi bagan. Bagan tersebut terdiri dari
industri multiple, industri geografis dan industri interkoneksi, perusahaan dan institusi
yang mempunyai tujuan yang sama dan saling melengkapi. Bagan ini meningkatkan
produktivitas dan daya saing dengan cara mengimplementasikan praktik,
menstimulasi inovasi, dan menciptakan peluang bisnis baru. Universitas dan
asosiasi industri memainkan peranan penting dalam membangun dan
mendiseminasi pengetahuan ini.
49
Pemerintah
Diamond Framework juga meyakini bahwa pemerintah memiliki peranan penting
dalam mempromosikan daya saing. Contohnya, sektor publik dapat mensponsori
pendidikan tertent dan program pelatihan atau investasi dalam infrastruktur;
menghilangkan hambatan-hambatan terhadap kompetisi lokal melalu deregulasi
atau perubahan lingkungan kebijakan; bertindak sebagai konsumen produk dan
jasa; dan mengembangkan platform yang mempertemukan industri dan penyedia
secara bersama-sama untuk meningkatkan daya saing perekonomian.
Factor-driven economies
Investment-driven stage
Innovation-driven stage
• Perekonomian dapat menghasilkan barang dan jasa yang unik untuk pasar
global, memacu perkembangan teknologi dan metode bisnis
• Industri jasa memainkan peranan penting dan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap GDP
• Perekonomian dalam tahap ini bisa berubah-ubah (tidak statis)
51
4.4 The Root of Competitiveness
52
Keterhubungan antara kebijakan industri di Indonesia dan orientasi ekspornya
masih tidak pas. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia merevitalisasi
kebijakan dengan memperkenalkan program baru dengan tujuan untuk memperkuat
hubungan performa ekspor dalam dinamika pasar global.
Tahapan antara kebijakan industrialisasi dan implementasi ekspor perlu untuk
diklariifikasi antara kompetensi utama yang dikembangkan dalam wilayah tertentu
dan fasilitas yang dapat disediakan oleh pemerintah. Peranan aktif pemerintah
daerah untuk membangun daya saing di tiap wilayah juga perlu dikembangkan
dengan cara mendukung program pengembangan kapasitas untuk mencapai
program ekspor dan kebijakan industrialisasi.
Daya saing di berbagai belahan dunia diukur oleh badan internasional yang
berbeda-beda juga dengan peringkatnya berbeda dan menggunakan sejumlah
kriteria. NCC menggunakan tiga indikator utama dalam menghitung daya saing di
Arab Saudi terhadap negara lainnya. Selain itu, indikator ini juga dikembangkan oleh
Forum Ekonomi Dunia dan Laporan Investasi Dunia sebagai benchmark dalam daya
saing baik pada tingkat makroekonomi maupun mikroekonomi. NCC juga
menggunakan laporan International Finance Corporation’s (IFC) “Ease of Doing
Business” sebagai benchmark untuk kebijakan dan hukum dalam hal operasi bisnis.
Negara-negara yang menduduki peringkat atas memperlihatkan performa yang
konsisten baik secara makro maupun mikro:
1) Memulai bisnis
2) Meminta perijinan
3) Mempekerjakan karyawan
4) Mendaftarkan kepemilikan
5) Mendapatkan pinjaman
6) Melindungi investor
7) Membayar pajak
8) Perdagangan lintas batas
9) Melaksanakan kontrak
10) Menutup bisnis.
54
• Analisis tren FDI pada tahun sebelumnya, dengan penekanan pada implikasi
pembangunan
• Peringkat korporasi transnasional terbesar di dunia
• Analisis mendalam dari topik terpilih yang berhubungan dengan FDI
• Analisis kebijakan dan rekomendasi
55
competitive constraints to industry substantial analysis
competitiveness required before
industry selection
End Market Interviews with End markets define the Requires knowledge
Informants highest-value end- universe of market of the end-market
market buyers opportunities; global buyers; this
regarding future buyers are information is not
trends and their knowledgeable of the available in-country;
procurement competition and factors subjective
strategies and trends likely to
influence the market--
information that is critical
to assessing
competitiveness
56
4.6 Pengukuran Daya Saing
4.6.1 Real Effective Exchange Rate
Pengukuran dengan menggunakan REER diadopsi oleh Bank Sentral
Trinidad dan Tobago pada awal tahun 1980-an untuk mengukur daya saing
internasional terhadap produl lokal. Pengukuran ini kemudian lebih jauh digunakan
pada pertengahan tahun 1990-an ketika indeks rendah. REER diindakisakan dengan
menurunkan indeks NEER (nominal effective exchange rate) dengan indeks harga
relatif atau tingkat inflasi efektif (effective inflation rate). NEER menunjukkan nilai
mata uang relatif terhadap nilai mata uang dalam hal mitra perdagangan dalam
periode tertentu. EIR mengukur tingkat inflasi domestik terhadap mitra perdagangan.
Secara matematis, indeks tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Dimana:
Sit - represents the nominal exchange rate index of the home currency at time t in
terms of an index of the ith countries currencies. (Relative to the base period)
wi - is the appropriate trade weight assigned to currency i.
Pit - represents an index of price relatives between Trinidad and Tobago and its i
trading partners at time t th. (Relative to the same base period as Sit).
REER bisa dihasilkan dari sejumlah perubahan dalam indeks yang kemudian
memiliki dua dampak, yaitu exchange rate effect (ER) yang diukur dari indeks NEER
dan inflation effect (IR), yang diukur dari indeks EIR. Indeks REER menunjukkan
kuat atau tidaknya daya saing.
where the numerator represents the unit labour cost index for Trinidad and Tobago
at time t and the denominator represents a geometric weighted average of the unit
labour cost indices of the jth partners at time t. Wj is the trade weights assigned to
the jth trading partners.
58
Bobot ini sama dengan total bobot perdagangan yang digunakan pada
penghitungan REER. Untuk perbandingan upah buruh internasional dalam kasus
Trinidad dan Tobago lebih baik dikonversi dalam US dollar, dalam hal indeks nilai
tukar. Keterbatasan data merupakan suatu hal yang menjadi tandatangan dalam
melakukan perhitungan indeks RULC. Bagi sejumlah negara, data tersebut tidak
tersedia, contohnya data yang didapatkan tidak reliabel bagi dua komponen indeks
tersebut. Rendahnya data frekuensi (tahunan) dipisahkan menjadi data frekuensi
bulanan menggunakan teknis Lisman dan Sandee yang menciptakan serangkaian
data tiga bulanan.
.
4.6.4 Terms-of-Trade
The term-of-trade didefinisikan sebagai rasio harga ekspor terhadap impor,
menggunakan definisi konvensional pendekatan net barter. Harga ekspor dan impor
untuk Trinidad dan Tobago tidak dihitung secara langsung, maka rata-rata nilai
dihitung oleh CSO sebagai yang terwakili. Maka dari itu indeks terms of trade
dihitung dengan membagi indeks rata-rata nilai ekspor dengan indeks rata-rata nilai
impor. Hal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Dimana
x m
P t and P t represent the index of average unit values of export and imports,
respectively at time t and relative to a base year, (1995).
59
4.6.5 Composite Indices
Pada beberapa waktu belakangan sejumlah institusi dan negara telah
mengembangkan composite indices (indeks gabungan) dengan pengukuran atau
penghitungan daya saing nasional yang lebih luas. Penghitungan yang paling
populer adalah yang dibuat oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) dan dipublikasikan di
Laporan Daya Saing Global. Penghitungan tersebut adalah indeks pertumbuhan
daya saing (GCI) dan indeks daya saing mikroekonomi (MIC) atau indeks daya saat
ini (CCI) atau indeks kompetitif bisnis (BCI).
GCI mengukur kapasitas ekonomi nasional untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan selama jangka menengah. Agregasi GCI terdiri dari tiga
komponen utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi untuk jangka
menengah dan panjang, yaitu kapasitas teknologi, kualitas institusi publik dan
kualitas lingkungan makroekonomi.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara survei. Indikator-indikator yang ada
memformulasi indeks teknologi termasuk inovasi (anggaran untuk riset dan
pengembangan, paten dan karakteristik pendaftaran), transfer teknologi (termasuk
investasi asing langsung sebagai sumber teknologi baru) dan teknologi komunikasi
informasi (termasuk akses internet di sekolah, penggunaan ICT dikaitkan dengan
hukum, sambungan telpon dan selukler per kapita dan jumlah komputer per capita).
Indeks kedua, CCI/MIC/BCI dikembangkan oleh Michael Porter dan
didasarkan pada diamond framework dalam daya saing. Indeks ini menekankan
pada fundamental mikroekonomi dan untuk menghitung kondisi yang menentukan
tingkat produktivitas suatu bangsa. Indeks ini juga dikembangkan dengan 2 sub
indikator, yaitu indeks pengalaman perusahaan (company sophistication index) dan
indeks kualitas lingkungan bisnis. Informasi untuk mendapatkannya adalah dari data
survei Executive Opinion Survey. Sejumlah variabel menentukan analisis faktor yang
digunakan untuk menghitung indeks yang dirata-rata dari estimasi BCI. Bobotnya
ditentukan dengan menggunakan koefisien regresi multiple dari sub indeks pada
GDP per kapita.
60
4.7 Daya Saing Nasional
Daya saing nasional dari suatu negara sering dikaitkan dengan beberapa
parameter. Misalnya, daya saing nasional dikaitkan dengan nilai tukar mata uang
dan tingkat suku bunga yang diberlakukan dan anggran pemerintah. Ada juga yang
mengkaitkan daya saing nasional suatu negara dengan jumlah angkatan kerja yang
berlimpah dan murah. Lainnya, mengaitkan daya saing nasional dengan kelimpahan
dan keragaman sumberdaya alam. Atau juga, mengkaitkan daya saing nasional
dengan kebijakan pemerintah dalam pencapaian target ekspor, promosi dagang,
proteksi impor dan subsidi eskpor. Bahkan, ada yang mengkaitkan daya saing
nasional dengan praktek manajemen perusahaan, termasuk didalamnya relasi
antara manajemen dengan pekerja. Singkatnya, terdapat banyak pendekatan yang
diterapkan untuk memahami dan mendefinisikan daya saing nasional. Dari hasil riset
dan studinya terhadap ekonomi negara-negara di dunia, Michael E. Porter, ekonom
kondang dari Harvard University, menyimpulkan bahwa sumber utama peningkatan
daya saing adalah produktivitas
Kualitas Lingkungan
SNI Penguat Daya Saing Bangsa dan rata-rata peningkatan produktivitas.
Lebih jauh lagi, Porter menandaskan bahwa sektor industri lah yang menjadi
pendorong utama daya saing nasional. Melalui sektor industri, sumberdaya manusia,
modal dan kekayaan alam dikelola dan dimanfatkan untuk memproduksi barang/jasa
pada tingkat biaya yang efisien dan menjualnya ke pasar secara kompetitif. Menurut
Porter, ada tiga faktor penentu yang mempengaruhi daya saing suatu negara lihat
61
Faktor-faktor Penentu Daya Saing
64
Dalam Gambar Upaya Perbaikan Lingkungan Usaha, diperlihatkan
bagaimana skema perbaikan lingkungan dunia usaha. Skema ini merupakan
pendekatan generik yang ditawarkan Porter untuk memperbaikan lingkungan usaha
di Indonesia, khususnya terkait dengan 10 isu yang telah diajukan. Sehubungan
dengan hal tersebut, Indonesia harus mampu memperbaiki lingkungan bisnis
menjadi lebih kondusif bagi investor baik dalam negeri ataupun luar negeri agar
terjadi kegiatan riil. Dalam persaingan industri/produk, tiga persyaratan umum harus
dipenuhi agar dapat keluar menjadi pemenang persaingan, yaitu:
o Menghasilkan suatu barang atau jasa dengan tetap memperhatikan mutu pada
tingkat biaya yang paling efisien sehingga bisa bersaing dalam harga jualnya.
o Diferensiasi dalam pengertian bahwa produk yang dihasilkan mempunyai
keunikan tersendiri dan mampu secara jitu mengkomunikasikan mutu dan harga
produk untuk membangun dan menciptakan superior perceived value di benak
konsumen.
o Cluster development dengan fokus untuk mengerjakan sesuatu bidang atau
produk tertentu yang berbasiskan kelimpahan sumberdaya yang dimiliki yang
mempunyai keunggulan komparative ataupun kompetitif sehingga menghasilkan
produk yang
65
6. berbeda dan “superior perceived value”.
Laporan lengkap daya saing Indonesia menurut GCI lihat Tabel. Indek Kompetitif
Global Indonesia 2010-2011.
66
(dari 35 menjadi 30), dan extent and effect of taxation (dari 22 menjadi 17). Begitu
pula, beberapa indikator pada pilar kepuasan bisnis (business sophistication) juga
meningkat, yaitu local supplier quantity (dari 50 menjadi 43), value chain breadth
(dari 35 menjadi 26), control of international distribution (dari 39 menjadi 33), dan
production process sophistication (dari 60 menjadi 52).
Dalam rangka mendorong daya saing nasional, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin Indonesia) menyimpulkan dalam Roadmap Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2010-2025 bahwa terdapat sepuluh klaster industri yang akan
mampu menjadi industri unggulan Indonesia. Sepuluh klaster tersebut, oleh Kadin
dibagi dalam tiga kelompok klaster, yakni empat klaster pertama merupakan
kumpulan industri unggulan pendorong pertumbuhan ekonomi. Adapun industri
tersebut meliputi industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil
dan alas kaki, industri elektronikadan komponen elektronika, terakhir industri alat
angkut dan komponen otomotif. Lantas, pada tiga klaster yang kedua adalah industri
unggulan yang masih memerlukan pendalaman pada struktur industrinya, yang
meliputi industri alat telekomunikasi dan informatika (industri ICT), industri logam
dasar dan mesin dan industri petrokimia. Sementara tiga klaster yang ketiga ialah
industri unggulan sumber penerima devisa, yang terdiri dari industri pengolahan
hasil pertanian, peternakan dan kehutanan, industri pengolahan hasil laut dan
kemaritiman serta industri berbasis tradisi dan budaya. Fokus pada pengembangan
dan pembangunan sepuluh klaster industri di atas diharapkan menjadi tulang
punggung dan mesin mendorong bagi daya saing nasional.
67
Dukungan pembiayan terhadap industri juga menjadi perhatian dalam
peningkatan daya saing. Menurut penilaian pelaku usaha, perhatian perbankan
terhadap sektor industri tergolong minim sehinggga pembiayaan untuk revitalisasi
permesinan/pabrik sangat sulit diperoleh. Padahal revitalisasi sangat penting
dilakukan untuk meningkat daya saing karena banyak diantara industri nasional
yang mesin-mesinnya sudah tua. Di sini pihak perbankan perlu lebih memberi
prioritas pendanaan untuk permodalan revitalisasi permesinan/pabrik bagi dunia
usaha. Perbankan juga perlu didorong untuk lebih aktif membantu dunia usaha
dalam hal pembiayaan ekspor. Salah satu pilihan dalam mendukung hal ini adalah
pendirian bank khusus industri (contohnya seperti BEI untuk pembiayaan ekspor),
yang diharapkan bisa memahami risiko dan kondisi perdagangan ekspor yang
dilakukan pelaku industri. Dengan demikian, ada kesamaan persepsi antara
perbankan dan pelaku industri. Pembenahan sektor infrastruktur juga menjadi salah
satu kunci utama peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks ketersedian
infrastruktur ini sektor industri banyak dihadapkan pada persoalan yang kompleks,
utamanya akses jalan dari/ke pelabuhan dan kawasan industri dan jaminan pasokan
listrik.
68
persetujuan yang dibutuhkan para pelaku industri, juga perlu ditingkatkan efisiensi
dan efektivitasnya. Indonesia dikenal memiliki sistem birokrasi dengan tingkatan
terbanyak dan terkompleks. Ini menjadi lahan subur bagi praktek korupsi, yang
mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi. Meningkatkan kemudahan dan kenyaman
pelayanan birokrasi dalam perizinan menjadi concern penting untuk peningkatan
daya saing nasional.
Pengembangan riset dan teknologi memberi kontribusi signifikan terhadap
peningkatan daya saing nasional. Di sini diperlukan sinkronisasi kebijakan dalam
pengembangan riset dan teknologi dengan fokus dan arah yang sejalan dengan
kebutuhan sektor industri. Perlu juga diberlakukan insentif bagi industri yang
melakukan pengembangan riset dan teknologi guna menarik investasi dengan
teknologi yang lebih maju. Kebijakan insentif ini akan merangsang sektor industri
untuk mengakselerasi proses penguasaan teknologi maju baik lewat kerjasama
dengan lembaga riset dan teknologi nasional maupun internasional.
69
Safety Authorithy (FSA) Inggris menuding udang yang diekspor oleh CP Prima
(perusahaan nasional yang bergerak di sektor penambakan udang) mengandung
antibiotik jenis nitrofurans, chloramphenicol, malachite green, dan Vibrio
parahaemolyticus. Standar yang dipersyaratkan oleh negara tujuan produk ekspor
Indonesia menjadi barrir to entry bagi produk-produk nasional tidak hanya di sektor
perikanan sebagaimana disebut di atas, tetapi juga di sektor-sektor lain, seperti
coklat, tektil atau pakaian, kerajinan rotan dan sebagainya. Kasus lain adalah
penerapan aturan impor barang-barang yang mengandung bahan kimia oleh
masyarakat Uni Eropa.
Aturan tersebut berupa identifikasi menyangkut Registration, Evaluation,
Authorization, and Restriction of Chemical (REACH). Setiap produk ekspor yang
masuk ke pasar Eropa harus disertai penjelasan lengkap tentang kandungan bahan
kimia ini. Padahal di Indonesia belum ada laboratorium uji melamin dan laboratorium
penguji terdekat adanya di Hong Kong. Sedangkan untuk penyediaan infrastruktur
laboratorium bahan kimia yang bersertifikat juga sulit. Laboratorium untuk pengujian
bahan-bahan kimia harus memiliki sertifikat Good Laboratory Practice dan harus
terkoneksi dengan laboratorium bersertifikat sama dengan yang ada di seluruh
dunia. Akibatnya, sejumlah produk Indonesia gagal masuk ke Uni Eropa, tepatnya
Finlandia, seperti pakaian, tekstil, serta kerajinan tangan. Produk Indonesia tersebut
diketahui menggunakan unsur bahan kimia, tetapi tidak memiliki registrasi REACH.
70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Daya saing perekonomian Indonesia akan membaik jika semua indikator
makroekonomi menunjukkan kestabilan dan perbaikan, serta adanya keseriusan
pemerintah untuk memberikan jalan bagi perbaikan perekonomian Indonesia.
Seperti terlihat dari hasil penelitian mengenai daya saing di Indonesia menggunakan
variabel yang merupakan variabel makroekonomi. Bahwa masih ada beberapa
bagian yang perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Terdapat berbagai cara untuk mengukur daya saing, tetapi perlu dilihat indikator
mana saja yang dapat digunakan untuk meneliti daya saing dan ketahanan pada
kajian berikutnya. Perlu dibentuk industrial based minded agar pemerintah lebih
memperhatikan lingkup mikro, terutama jenis usaha yang diartikan oleh Peraturan
Presiden No. 54 tahun 2010, yang terdiri dari empat jenis yaitu barang, jasa lainnya,
konsultansi dan konstruksi.
Diperlukan kemandirian fiskal, menciptakan iklim investasi asing yang baik
dan perbaikan infrastruktur untuk mengurangi high cost economy dan menciptakan
daya saing dan ketahanan sektor – sektor yang disebutkan dalam Peraturan
Presiden No. 54 tahun 2010.
5.2 Saran
Melalui penulisan laporan kali ini maka dapat diketahui beberapa cara untuk
mengukur daya saing, terutama dari beberapa kajian yang telah dilakukan untuk
menilai daya saing secara makroekonomi, selain itu juga didapatkan cara untuk
melihat daya saing industri di Indonesia. Maka dari itu, timbullah pemikiran berkaitan
dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, bagaimana kita dapat mengukur
daya saing penyedia barang, jasa lainnya, konstruksi serta konsultansi.
Dimungkinkan ada variabel atau indikator lainnya yang dapat kita jadikan
suatu ukuran dalam menilai daya saing, melalui laporan inilah maka kita bisa
melanjutkan kajian yang lebih spesifik mengenai daya saing dan ketahanan sektor
barang, sektor jasa lainnya, sektor konstruksi dan sektor konsultansi dengan
kaitannya dalam penghadaan di pemerintahan Indonesia.
71
Diperlukan untuk melihat dua sisi yaitu dari sisi mengetahui daya saing
penyedia di Indonesia untuk masuk ke pasar pengadaan barang Internasional, dan
ketahanan penyedia sendiri dalam menerima gempuran penyedia asing yang ikut
serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah Indonesia. Untuk tahun selanjutnya
berdasarkan grand design kajian iklim usaha yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka akan lebih baik difokuskan kepada sektor yang dianggap sudah lebih mampu
bersaing dan memiliki ketahanan untuk dikompetisiskan secara global. Maka
selanjutnya akan dilakukan kajian dari sektor konstruksi dan juga konsultansi.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press
Couloumbis, Theodore, James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional:
Power and Justice. Bandung: Putra Bardin
Curry, Jeffrey Edmund. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. Jakarta: Victory
Jaya Abadi
Djafar, Zainuddin. 2008. Indonesia, ASEAN dan Dinamika Asia Timur: kajian
Perspektif Ekonomi-Politik. Jakarta: Pustaka Jaya
Dougherty, James E and Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of
International Relations. United States: Addison-Wesley Educational
Publishers
Gilpin, Robert. 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey:
Princeton University Press
Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key
Concepts. New York: Routledge
Krugman, P. (1994). Competitiveness: A Dangerous Obsession. Foreign Affairs, Vol.
73,No. 2.
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Todaro, Michael P.. 1997. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga
CEPR
Dokumen Resmi:
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas WTO
Situs Resmi:
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gproc_e.htm
http://www.iie.com
74
75