Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN

KAJIAN PENGADAAN BARANG/JASA


DALAM PENGEMBANGAN IKLIM
USAHA NASIONAL

DIREKTORAT IKLIM USAHA


DAN KERJASAMA INTERNASIONAL

LEMBAGA KEBIJAKAN PENGADAAN


BARANG/JASA PEMERINTAH
2011
Sekilas Mengenai Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional

Pejabat : Sarah Sadiqa, SH., M.Sc

Tugas : Melaksanakan perumusan dan penyusunan


strategi, kebijakan dan pedoman pengadaan
barang/jasa dalam rangka pengembangan iklim usaha
dan kerjasama internasional.

Latar Belakang

Sebagai lembaga kebijakan, fokus utama LKPP adalah mengembangkan sistem


pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibagi dalam 4 fungsi utama, yaitu
menyusun regulasi; SDM pengadaan; sistem monitoring dan evaluasi serta electronic
procurement; dan bimbingan teknis, advokasi, serta bantuan hukum.

Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional terbagi dalam Sub-Direktorat Iklim
Usaha dan Sub-Direktorat Kerjasama Internasional. Tugas direktorat ini adalah
merumuskan dan menyusun strategi, kebijakan dan pedoman pengadaan barang/jasa
dalam rangka pengembangan iklim usaha dan kerjasama internasional.

Saat ini Direktorat Iklim Usaha dan Kerjasama Internasional tengah melakukan
harmonisasi peraturan bidang pengadaan barang/jasa pemerintah, survey Compliance
Performance Indicator (CPI) yang akan menghasilkan laporan yang menunjukkan hasil
implementasi pengadaan barang/jasa yang telah dilaksanakan oleh K/L/D/I yang
selaras ketentuan tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, serta kajian strategi
dan kebijakan pengadaan barang/jasa dalam rangka pengembangan iklim usaha
nasional

Gedung SME TOWER lantai 8 Jl. Jend. Gatot Subroto Kav 94,
Jakarta Selatan 12880
Telp. (021) 7991025; Fax: (021) 7996033
Website : www.lkpp.go.id
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya lah akhirnya kami dapat menyelesaikan Laporan Kajian Strategi
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Rangka Pengembangan Iklim Usaha
dan Nasional.

Semakin intensifnya kerjasama ekonomi perdagangan internasional termasuk


dalam konteks liberalisasi perdagangan yang terjadi hampir di seluruh dunia,
maka jelas dibutuhkan kemampuan daya saing agar bisa berkompetisi di pasar
global. Selain itu, Indonesia sebagai negara anggota WTO juga harus mengikuti
prinsip-prinsip yang ada di dalam perjanjian-perjanjian multilateral, yaitu prinsip
Most-Favored Nations, National Treatment dan Market Access.

Pengurangan hambatan-hambatan baik tarif maupun non-tarif yang diberlakukan


membuat Indonesia harus siap dengan serbuan barang dan jasa asing.
Perdagangan bebas tersebut tidak bisa dilepaskan dari isu pengadaan
barang/jasa. Maka dari itu diperlukan suatu kajian untuk melihat bagaimana
kebijakan daya saing Indonesia terhadap pasar global. Kajian ini juga diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai perekonomian Indonesia untuk ke
depannya dapat dianalisis mengenai kekuatan persaingan barang/jasa menurut
jenis pengadaannya.

Jakarta, Desember 2011

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Ruang Lingkup 7
Bab II Kajian Pustaka
2.1 Perdagangan Bebas 8
2.2 Liberalisasi Perdagangan 8
2.3 Kepentingan Nasional 9
2.4 Kerjasama Internasional 10
2.5 Progress in Policy Reforms to Improve the Investment 11
Climate in South East Europe-Investment Reform Index
(IRI) 2006
Bab III Gambaran Umum 20
3.1 Perekonomian Ekonomi Dunia dan Indonesia 20
3.1.1 Masyarakat Ekonomi ASEAN 22
3.1.2 ASEAN-China Free Trade Agreement 26
3.2 Kinerja Perekonomian Domestik 31
3.3 Perkembangan Sektoral Ekonomi Nasional 34
Bab IV Pembahasan 37
4.1 Kebijakan Peningkatan Daya Saing Nasional 37
4.2 Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) 43
dan Kaitannya dengan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
4.3 Daya Saing 47
4.3.1 Diamond Framework 48
4.3.2 Tahapan Pembangunan Ekonomi 50
4.4 The Root of Competitiveness 52
4.5 Assessment Daya Saing 53
4.5.1 International Finance Corporation Ease of Doing 54
Business Index
4.5.2 The World Economic Forum Global 54
Competitiveness Index (GCI)
4.5.3 United Nations Conference on Trade and 54
Development (UNCTAD) - World Investment
Report
4.5.4 A Comparison of Competitiveness Assessment 55
Tools
4.6 Pengukuran Daya Saing 57
4.6.1 Real Effective Exchange Rate 57
4.6.2 Unit Labour Cost 57
4.6.3 Relative Unit Labour Cost 58
4.6.4 Terms-of-Trade 59
4.6.5 Composite Indices 60

ii
4.7 Daya Saing Nasional 61
4.8 Standar untuk Peningkatan Daya Saing 69

BAB V Kesimpulan dan Saran


5.1 Kesimpulan 71
5.2 Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 73

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terdapat perubahan besar dalam struktur ekonomi internasional sejak awal
tahun 1980-an dan juga terdapat perubahan respon pemerintah dalam bentuk
kebijakan dalam menghadapi perubahan besar tersebut. Perubahan besar itu adalah
investasi asing langsung yang perkembangannya cepat dan merupakan faktor
dominan yang mendorong ekonomi dunia.
Integrasi ekonomi dunia semakin intensif dengan adanya ekspansi dari
perdagangan global, keuangan dan produksi yang terhubung dengan bangsa,
komunitas, dan kawasan menjadi pasar ekonomi dunia. Selain itu perusahaan
transnasional memberikan kontribusi sebanyak 70% dalam perdagangan dunia dan
80% untuk investasi internasional. Di samping masalah ekonomi, dapat juga dilihat
dari infrastruktur dan cara baru dalam komunikasi global yang memungkinkan untuk
memobilisasi manusia melintasi batas negara, hal ini membuat tersebarnya ide-ide,
budaya, dan informasi ke semua tempat di dunia ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita seringkali mendengar kata globalisasi di
mana batas-batas negara menjadi kabur ketika dunia ini seolah-olah menjadi
sebuah tempat yang tunggal. Begitu juga yang terjadi dalam perekonomian yaitu
mengenai globalisasi ekonomi. Tidak ada pengertian yang baku mengenai
globalisasi, tetapi secara sederhana, globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai
suatu proses di mana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan
ekonomi. Globalisasi ekonomi juga merupakan perubahan perekonomian dunia yang
bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju
yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin
cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia.
Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan
ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam
perdagangan internasional tetapi juga investasi, keuangan dan produksi.
Seluruh negara telah melihat pengaruh dari perdagangan lintas batas sebagai
keuntungan potensial dan produk baru. Bagaimanapun juga, perdagangan
melahirkan kompetisi, yang biasanya terjadi ketika dua perekonomian saling
1
bertukar barang dan jasa demi uang. Seiring tumbuhnya perdagangan, status
perekonomian nasional menjadi pusat perhatian dalam perekonomian global dan
memiliki pengaruh jangka panjang terhadap keadaan domestik.1
Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak mungkin berdiam
diri dengan gencarnya globalisasi ekonomi dunia dimana pergerakan barang/jasa
bahkan individu semakin mudahnya melintasi batas-batas negara. Kompetisi jelas
semakin terlihat ketika Indonesia masuk dalam organisasi internasional maupun
meratifikasi perjanjian dalam bidang perdagangan internasional. Ketika kondisi
ekonomi sudah mengglobal maka diperlukan kemampuan untuk bisa ikut
berkompetisi di dalamnya dalam menghadapi pasar global.
Dalam konteks ekonomi perdagangan internasional, Indonesia tergabung
dalam World Trade Organization (WTO) dengan meratifikasi UU No.7 Tahun 1994.
World Trade Organizations (WTO) didirikan pada tahun 1994 dengan
ditandatanganinya Marrakesh Agreement Establishing in the World Trade
Organization oleh 124 negara anggota GATT (General Agreement Trade and
Tarrif). Dengan ditandatanganinya perjanjian pembentukan WTO tersebut, maka
WTO menjadi organisasi pengganti GATT yang melaksanakan seluruh aturan
perdagangan internasional yang telah disepakati di Marrakesh.
World Trade Organization memiliki dua tujuan, yang pertama adalah untuk
mendorong perdagangan bebas dengan penghapusan hambatan-hambatan
perdagangan yang tidak menimbulkan dampak-dampak sampingan. Dengan adanya
WTO setiap individu, perusahaan, dan pemerintah negara-negara anggota WTO
dapat mengetahui aturan perdagangan yang berlaku di seluruh dunia, dan
memberikan kepercayaan bahwa tidak akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan
perdagangan secara mendadak, karena peraturan perdagangan yang ada dibuat
secara transparan dan mudah diprediksi. Kedua, untuk menyediakan forum
negosiasi perdagangan internasional yang lebih permanen. Ketiga, sebagai mediator
untuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional.2

1
Jeffrey Edmund Curry. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. Jakarta: Victory Jaya Abadi, hal
143
2
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2
WTO adalah badan internasional yang mempromosikan perdagangan yang
lebih terbuka dan berkompeten untuk menghasilkan aturan perdagangan
antarnegara saat ini. Inti dari berjalannya fungsi WTO adalah dilaksanakannya
kesepakatan-kesepakatan multilateral yang merupakan dasar hukum untuk
perdagangan internasional yang telah dinegosiasikan dan disepakati oleh negara-
negara anggotanya. Dokumen kesepakatan ini berupa perjanjian yang mengikat
setiap pemerintah penandatangan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan dagang
dalam batas-batas yang telah disetujui bersama. Sebagai konsekuensi dari hal
tersebut, para pelaku bisnis dan unsur-unsur pemerintahan suatu negara sebagai
fasilitator dituntut untuk memahami dan melaksanakan aturan main perdagangan
internasional tersebut secara penuh, dalam rangka mengambil manfaat sebesar-
besarnya dari peluang akses pasar yang terbuka oleh adanya WTO ini.

Prinsip-prinsip dalam WTO, antara lain:


a. MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra
dagang. Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat
begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang
diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari
mitra dagang negara anggota lainnya.
b. Perlakuan Nasional (National Treatment): Negara anggota diwajibkan untuk
memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak
setelah barang impor memasuki pasar domestik.
c. Transparansi (Transparency): Negara anggota diwajibkan untuk bersikap
terbuka/transparan terhadap berbagai kebijakan perdagangannya sehingga
memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan.

Pembentukan WTO sendiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi
sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun
1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum
mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini.
Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai

3
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional
tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade
Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem
Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui
dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret
1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar.
Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun
sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara
efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan
instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada
tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan
“plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan
tarif. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan
multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round),
sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan
negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan
tahun 1960-an) dibahas mengenai tarif dan Persetujuan Anti Dumping (Anti
Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff
secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan
dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff
rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang
berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi
tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran
Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan
perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai
“safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian
persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan,
yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.

4
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada
pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut
hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut
nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran
Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak
diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan
dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata.
Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan
atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang,
penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan
reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi
peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60
persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-
persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang
mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.3
Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:
1. Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
2. Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
3. Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/
TRIPs)
4. Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

Dalam WTO terdapat perjanjian multilateral dan plurilateral. Untuk perjanjian


multilateral, semua negara anggota WTO wajib meratifikasinya sedangkan untuk
perjanjian plurilateral, tidak ada kewajiban bagi negara anggota WTO untuk
meratifikasinya karena sifatnya voluntary-based. Salah satu perjanjian plurilateral
dalam WTO adalah Government Procurement Agreement.
GPA merupakan persetujuan plurilateral yang mulai berlaku pada 1 Januari
1996. Sebagian besar persetujuan dalam WTO diikuti oleh semua negara anggota,
namun ada empat persetujuan yang bersifat plurilateral yang hanya ditandatangani

3
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan
Pembangunan, Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas WTO.
5
oleh sejumlah negara anggota, antara lain trade in civil aircraft, government
procurement, daily product, dan bovine meat.
GPA didasarkan pada prinsip keterbukaan, transparansi dan non-diskriminasi
yang jelas akan memberikan keuntungan untuk para pihak yang menandatangani
termasuk penyedia mereka dalam hal barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa
oleh instansi pemerintah adalah elemen penting dalam hal berjalannya pemerintah.
Hal ini disebabkan oleh dengan adanya pengadaan tersebut maka tugas-tugas
pemerintah bisa berjalan, bahkan pengadaan juga berdampak besar bagi para
pemangku kepentingan di masyarakat. Selain itu, pengadaan pemerintah juga
merupakan aspek yang penting dalam perdagangan internasional.
Adanya kelangkaan dalam sumber-sumber publik, efisiensi proses pengadaan
adalah pertimbangan utama dalam setiap pengadaan itu sendiri. Prinsip
keterbukaan, transparan dan non diskriminasi adalah yang paling utama untuk
mencapai “value for money” yang dalam waktu yang bersamaan dapat
meningkatkan kompetisi di antara para penyedia. Namun sejumlah negara anggota
WTO masih menggunakan aturan mereka sendiri dalam pembeliannya untuk
mencapai tujuan kebijakan domestik, seperti penggunaan industri lokal.4
Pengadaan pemerintah adalah aspek penting dalam perdagangan internasional,
di mana pasar pengadaan itu sendiri sekitar 10-15 % dari GDP dan juga dilihat dari
keuntungan yang didapatkan baik para pemangku kepentingan domestik maupun
asing dalam meningkatkan kompetisi.
Terdapat tiga hal yang melingkupi pengadaan pemerintah, yaitu:5
1. Agreement on Government Procurement (GPA) yang ditandatangani oleh
sejumlah anggota WTO;
2. Transparency in government procurement, yang dilakukan oleh Working
Group, dan
3. Multilateral negotiations on services procurement, yang dilakukan oleh
Working Group on GATS Rules (WPGR).
Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi Government Procurement
Agreement (GPA) karena diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai

4
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm
5
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gproc_e.htm

6
kesiapan domestik dalam menghadapi perdagangan bebas, termasuk mengenai
tingkat daya saing (kompetisi) pelaku usaha Indonesia.

1.2 Ruang Lingkup


Dengan begitu intensifnya ekonomi dunia melalui perdagangan bebas, maka
diperlukan kajian untuk membahas kesiapan pelaku usaha domestik dalam
menghadapi pasar global. Selain itu, dalam laporan ini juga akan dibahas
bagaimana tingkat daya saing nasional. Masih berkenaan dengan globalisasi
ekonomi, maka Indonesia perlu melihat peluang-peluang untuk bisa meratifikasi
Government Procurement Agreement (GPA), hal tersebut juga berkaitan dengan
kondisi riil perekonomian Indonesia dalam kaitannya dengan akses pasar.

7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perdagangan Bebas


Perdagangan bebas adalah aliran barang dan jasa yang melintasi batas-batas
negara yang tidak dihalangi oleh tarif atau hambatan lainnya.6 Perdagangan bebas
sangat krusial bagi sebuah negara untuk mengambil keuntungan dari keunggulan
komparatifnya (comparative advantages). Dengan kata lain tiap negara dapat
mengeksploitasi sumber dayanya dan mengambil keuntungan dari spesialisasi yang
negara tersebut miliki. Ekonominya sendiri diperlancar oleh pertukaran mata uang
yang bebas dan pasar terbuka yang dapat menciptakan sistem harga secara global.7
Empat keuntungan dari perdagangan bebas, yaitu: mendorong terjadinya kompetisi,
memperbanyak pilihan para konsumen, perdagangan bebas mempermudah
ketersediaan barang-barang tertentu, dan perdagangan bebas memiliki tendensi
untuk mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antar negara.8
Perdagangan bebas memegang arti penting dalam kinerja ekspor dan
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, para pendukung perdagangan
bebas berkeyakinan bahwa liberalisasi perdagangan yang meliputi upaya-upaya
promosi ekspor, devaluasi mata uang domestik, penghapusan segala bentuk
hambatan-hambatan perdagangan internasional, serta pengikisan distorsi-distorsi
harga (agar lebih sesuai dengan konstelasi kekuatan permintaan dan penawarannya
di pasar), merupakan syarat penting demi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan
peningkatan ekspor.9

2.2 Liberalisasi Perdagangan


Liberalisasi perdagangan merupakan salah satu dari tiga poin utama
neoliberalisme dalam memandang globalisasi. Konsep tersebut hingga saat ini
masih banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Liberalisasi perdagangan
akan mengarah pada pola perdagangan efisien yang ditentukan oleh prinsip

6
Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to
International Relations. Oxford: Oxford University Press, p. 618
7
Ibid, p. 285
8
Martin Griffiths and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. New York:
Routledge, p. 114-115
9
Michael P. Todaro. 1997. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga, hal 79
8
keunggulan komparatif; yaitu oleh relative factor prices (tanah, modal dan tenaga
kerja). Penerapan asas-asas keunggulan komparatif atau biaya komparatif akan
menjamin sebuah negara menerima kesejahteraan ekonomi yang lebih besar
melalui partisipasinya dalam perdagangan asing daripada melalui proteksi
perdagangan.10
Liberalisasi perdagangan, membantu negara untuk menyadari efisiensi
kegunaan dari sumber daya yang mereka miliki. Liberalisasi perdagangan memiliki
dua efek yang tidak dapat dikesampingkan. Pertama, menggiring pada penataan
kembali sumber daya pada aktivitas negara yang memiliki keunggulan komparatif.
Kedua, liberalisasi perdagangan memperluas kesempatan konsumsi banyak negara,
makin efisien kegiatan produksi memicu pendapatan yang lebih dan meningkatkan
kesempatan untuk membeli barang dan jasa dari negara lain. Walau suatu negara
semiskin apa pun, pasti negara tersebut tetap saja memiliki keunggulan komparatif.
Liberalisasi perdagangan seharusnya dapat meningkatkan penerimaan negara
melalui pengalihan sumber daya dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif.

2.3 Kepentingan Nasional


Kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan
dengan kebutuhan negara-bangsa atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan.
Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama di antara semua
negara-bangsa adalah keamanan serta kesejahteraan. Oleh karena kesamaan itu,
kepentingan nasional lazim diidentikkan dengan tujuan nasional. Namun untuk hal-
hal lainnya yang bisa saja berbeda dan berubah dalam jangka waktu tertentu, jelas
perlu diutarakan sebagai kepentingan nasional dan bukan tujuan nasional.
Kepentingan nasional adalah konsep abstrak yang meliputi berbagai kategori
atau keinginan dari suatu negara yang berdaulat. Kepentingan nasional terbagi ke
dalam beberapa jenis:
1. Core/basic/vital interests, kepentingan yang sangat tinggi nilainya sehingga
suatu negara bersedia untuk berperang dalam mencapainya. Melindungi
daerah-daerah wilayahnya, menjaga dan melestarikan nilai-nilai hidup yang
dianut suatu negara merupakan beberapa contoh darii jenis kepentingan ini.

10
Robert Gilpin. 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton
University Press
9
2. Secondary interests, meliputi segala macam keinginan yang hendak dicapai
masing-masing negara. Namun mereka tidak bersedia berperang di mana
masih terdapat kemungkinan lain untuk mencapainya melalui jalur
11
perundingan misalnya.
Untuk memperjelas pengertian kepentingan nasional Coulumbis dan Wolfe
memberikan beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian, yaitu: (1)
kepentingan nasional berbeda dengan kepentingan kelompok, kelas, elit atau
kepentingan lainnya; (2) kepentingan nasional suatu negara harus seimbang dengan
kapabilitas yang dimilikinya; (3) bagaimana menghubungkan kepentingan nasional
suatu negara dengan kepentingan negara lain, hal ini berdasaran asumsi bahwa
kepentingan nasional suatu negara yang bukan hanya menyadari kepentingan
sendiri, tetapi juga menyadari kepentingan negara-negara lain”; (4) yang terakhir
adalah bagaimana menghubungkan kepentingan nasional dengan persyaratan
keamanan global dan keamanan regional.12

2.4 Kerjasama Internasional


Kerjasama dapat tercipta sebagai akibat dari adanya penyesuaian-penyesuaian
perilaku oleh aktor dalam rangka merespon dan mengantisipasi pilihan-pilihan yang
diambil oleh aktor-aktor lainnya. Kerjasama dapat dijalankan dalam suatu proses
perundingan yang secara nyata diadakan atau karena masing-masing pihak sudah
saling mengerti, sehingga tidak perlu lagi diadakan suatu perundingan
Hal lain yang dapat mendorong sebuah kerjasama timbul adalah adanya
komitmen seseorang atau individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai
usaha memenuhi kepentingan pribadi. Oleh karena itu, isu utama dari teori
kerjasama adalah pemenuhan kepentingan pribadi, dimana hasil yang
menguntungkan kedua belah pihak akan diperoleh dengan bekerjasama, daripada
berusaha memenuhi kepentingan sendiri dengan berusaha sendiri atau dengan
berkompetisi. Sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional dapat ditempuh
melalui perjanjian internasional (treaty, convention, agreement, declaration, pact,

11
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 52
12
Couloumbis, Theodore, James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional: Power and
Justice. Bandung: Putra Bardin, hal 115-116
10
charter, final act, protocol). Bisa juga secara bilateral, trilateral atau multilateral,
bergantung pada segi kebutuhan dan hal yang diperjanjikan.13

2.5 Progress in Policy Reforms to Improve the Investment Climate in South


East Europe-Investment Reform Index (IRI) 2006

Alat yang digunakan Negara Eropa Tenggara untuk mengukur dan


mengkomunikasikan perkembangan dalam kerangka reformasi kebijakan berkaitan
dengan iklim usaha.
Tujuan pelaksanaan dari IRI 2006 antara lain:
a. Structured evaluation
b. Targeted suppoert for improvement
c. Regional collaboration and peer review
d. Public and private sector involvement
Dimensi yang tercover dalam IRI 2006 antara lain: investment policy,
investment promotion and facilitation, tax policy, anti-corruption and business
integrity, competition policy, trade policy, regulatory reform, human capital and
employment, corporate governance dan SME policy.
Dari dimensi yang sudah dibagi tersebut, kemudian dibali lagi menjadi sub-
dimensi. Sub-dimensi tersebut dibagi kedalam 5 level struktur dari indikator dari
reformasi kebijakan dengan angka 1 sebagai yang terlemah dan 5 sebagai yang
terkuat. Setiap sub-dimensi dan indikator tersebut kemudian ditetapkan bobotnya
dengan tujuan untuk mengkalkulasikan score nilai dari setiap dimensi kebijakan.
Sistem pembobotan tersebut terdiri dari range 3 (yang paling penting) sampai
1(kurang penting). Penilaian dari dimensi reformasi kebijakan yang berbeda level
atau tingkat berdasarkan kombinasi dari kuantitatif dan kualitatif input, meliputi:
• OECD Investment Compact databese, 5 tahun terakhir
• Data sekunder yang tersedia, seperti report dari WB, Komisi Uni Eropa,
EBRD atau Foreign Investors Councils

13
Dougherty, James E and Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of International
Relations. United States: Addison-Wesley Educational Publishers, p. 418-419

11
• Data yang disediakan secara langsung oleh pemerintah, seperti rencana
strategis, peraturan terbaru, rencana kerja, data monitoring
• Interview secara langsung kepada individu atau kelompok sektor swasta di
setiap negara.

Langkah-langkah proses IRI 2006:


a. Putaran pertama dari misi pengenalan Investment Compact untuk
mempresentasikan dan menjelaskan proyek IRI (Oktober 2005-Januari
2006);
b. Finalisasi dari toolkit IRI dan evaluasi pertama dari negara-negara Eropa
tenggara yang dilakukan oleh tim dari Investment Compact, berdasarkan
data sekunder (Januari 2006);
c. Negara-negara Eropa tenggara melakukan evaluasi mandiri merujuk pada
IRI dimensi (Februari-Maret 2006);
d. Tim Investment Compact memperkenalkan patokan atau alat ukur level
kedua, yang ikut melibatkan konsultan lokal:
 Data orimer dari setiap negara-negara Eropa Tenggara;
 Masukan dari lembaga negara yang secara spesifik khusus menangani
satu bidang (ex: otoritas persaingan usaha, badan promosi investasi);
e. Putaran kedua dari misi adalah untuk mendiskusikan evaluasi mandiri yang
telah dilakukan dan hasil dari simpulan IRI dengan pemerintah setiap
negara eropa tenggara (April 2006);
f. Finalisasi dan publikasi dari laporan IRI (November 2006).

Kelebihan dari Metodologi IRI antara lain:


a. Data yang digunakan IRI menggabungkan data yang dikumpulkan oleh
OECD Investment Compact dengan data yang telah tersedia, seperti data
dari Komisi Eropa, WB, dan EBRD untk memberikan pandangan yang luas
kepada pemerintah mengenai kekuatan dan prioritas kebijakan,
memberikan masukan referensi/masukan unik dan secara umum kepada
setiap negara untuk digunakan pada penilaian prioritas kebijakan.
b. Menggunakan papan scoreboard secara umum yang memfasilitasi
konsultan pemerintah-swasta dan mendorong aksi. Hal ini juga membantu
12
pegawai negara untuk berkomunikasi lebih baik untuk peningkatan
kebijakan dan area kebijakan yang perlu segera dilakukan pembaharuan.
c. IRI adalah good practices yang dapat diambil dari negara CEE yang paling
relevan untuk dicontoh.
d. Akhirnya, indikator dari IRI secara struktur dapat digunakan atau komatibel
dengan Uni Eropa yang mencakupi seluruh dimensi penting dari iklim
investasi.

Limitasi atau keterbatasan dari metodologi IRI:


a. IRI tidak mencover seluruh dimensi kebijakan yang berpengaruh terhadap
iklim usaha. Dimensi yang tidak termasuk tersebut seperti infrastruktur dan
jasa keuangan, yang secara mendalam termasuk dalam organisasi
internasional lainnya seperti WB dan EBRD. Evaluasi dari kebijakan UKM
adalah proses terpisah yang termasuk dalam kerjasama Uni Eropa, serta
kerangka Center UKM Eropa.
b. Mengukur implementasi yang efektif dari sebuah kebijakan pemerintah
adalah hal yang sulit. Oleh karena itu, IRI mengkombinasikan data
kuantitatif yang tersedia (seperti data pemegang sertifikat ISO) dengan
data kualitatif (seperti feedbak yang berasal dari sektor swasta melalui
interview), tetapi informasi yang disesidkan kadang terbatas sehingga
evaluasi memerlukan penilaian pribadi.
c. Perbedaan antara tingkatan nilai bisa menjadi tantangan, terutama untuk
nilai yang berada dibawah 3 yang menilai tingkatan evaluasi dari
pelaksanaan.
d. Tidak semua indikator memiliki bobot atau penting yang sama. Maksudnya
adalah parameter pembobotan sudah diberitahukan, tapi tidak melepaskan
timbulnya banyak pertanyaan.
e. Dimana negara yang menjadi tempat survey tidak memiliki tingkat
kesetaraan yang sama dalam hal pertumbuhan, dalam hal ini beberapa
dimensi memiliki tingkat bobot yang berbeda dibandingkan dengan negara
lain. seperti Sumber daya manusia yang akan menjadi lebih prioritas di
Bulgaria dan Romanis. Setiap negara harus menginterpretasikan dasar
penilaian pada konteks perkembangan yang spesi
13
Makroekonomi dan infrastruktur menggunakan penilaian sebagai berikut:

- Kebijakan Investasi

14
- Promosi Investasi dan fasilitasi (Investment Promotion and Facilitation)
Dibagi menjadi 3 bagian antara lain:
a. Dukungan pemerintah terhadap perkembangan investasi yang ramah
lingkungan

b. Kerangka kerja penilaian

15
c. Elemen kunci

- Kebijakan Perpajakan

16
- Anti-korupsi dan business integrity

- Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy)

17
- Kebijakan Perdagangan

- Reformasi Kebijakan/ Regulatory Reform

18
Ditambahkan pula dalam bagian ini adalah Bagan Analisa Dampak Peraturan
yang diambil dari OECD:

- Sumber Daya Manusia/Human Capital

19
BAB III
GAMBARAN UMUM

3.1 Perekonomian Ekonomi Dunia dan Indonesia


Dinamika perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi
global dan kawasan serta berbagai kemajuan dalam perbaikan, iklim investasi,
infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) dalam negeri. Ekonomi
dunia telah mampu tumbuh diatas 4% dalam lima tahun terakhir, lebih tinggi dari
rata-rata historisnya.
Perkembangan ini terutama didorong oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi di
negara berkembang (China dan India) serta kawasan Eropa. Tingginya
pertumbuhan ekonomi dunia tersebut diiringi dengan volume perdagangan dunia
yang juga tumbuh lebih tinggi dari tren jangka panjangnya.Sejalan dengan
perkembangan ekonomi dunia tersebut, aliran Foreign Direct Investment (FDI) global
juga meningkat pesat. Namun perkembangan ekonomi dunia yang impresif ini
dibayangi dengan melambungnya harga minyak dan non-minyakdunia. Terus
naiknya harga komoditas dan tetap tingginya pertumbuhan ekonomi dunia
menyebabkan tekanan inflasi dunia meningkat. Tekanan inflasi dunia yang
meningkat seiring dengan harga komoditas yang masih tinggi direspons secara
bervariasi oleh bank sentral di beberapa negara. Disamping tekanan inflasi,
beberapa bank sentral tampaknya juga mempertimbangkan kondisi stabilitas pasar
keuangan dan prospek pertumbuhan ekonomi domestiknya. Bank sentral Amerika
Serikat (TheFed) memberi bobot yang tinggi pada pemulihan krisis di pasar
keuangan dan stimulus perekonomian domestik, yang terlihat dari agresivitas
penurunan Fed Fund Rate menjadi 3% pada Januari 2008. Sebaliknya, bank sentral
Uni Eropa (ECB) dan Jepang (BOJ) tampaknya lebih memprioritaskan tekanan
inflasi domestik sehingga memilih mempertahankan tingkat bunga. Dari sisi
domestik, walaupun stabilitas ekonomi makro bisa dijaga, sejumlah masalah
struktural, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran)
masih membayangi pencapaian pertumbuhan yang lebih cepat dan berkualitas. Hal
ini antara lain karena struktur perekonomian pascakrisis lebih ditopang oleh
konsumsi dan ekspor, sementara investasi belum menunjukkan peran yang
signifikan. Belum pulihnya investasi ditunjukkan oleh menurunnya pangsa investasi
20
terhadap PDB, terutama dialami oleh sektor terpenting dalam perekonomian
Indonesia seperti industri pengolahan, pertanian dan pertambangan. Dalam pada itu,
pergerakan inflasi menunjukkan karakteristik yang berbeda antara periode sebelum
dan sesudah krisis, dimana volatilitas inflasi jauh lebih tinggi pascakrisis. Kondisi di
mana pertumbuhan ekonomi pascakrisis lebih rendah dan rata-rata inflasi yang
sedikit lebih tinggi menunjukkan penawaran agregat yang mengindikasikan adanya
permasalahan di sisi penawaran (supply side constraints), sehingga menyebabkan
perekonomian Indonesia lebih sensitif terhadap tekanan harga. Meskipun masih
dibayangi berbagai permasalahan di atas, secara umum investor internasional
menilai bahwa prospek usaha di Indonesia tetap baik dan Indonesia masih dianggap
sebagai lokasi yang menarik untuk penempatan FDI.

Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI

Berdasarkan survei UNCTAD pada 2007, Indonesia ditempatkan dalam 15


besar negara paling menarik sebagai lokasi penempatan FDI. Selain itu, peringkat
Indonesia dalam indeks kinerja dan potensi FDI juga terus menunjukkan perbaikan.4
21
Hal ini sejalan dengan persepsi risiko terhadap Indonesia yang dari tahun ke tahun
semakin membaik, seperti terlihat dalam International Country Risk Guide (ICRG).
Selain itu, Indonesia dianggap memiliki potensi pasar yang besar dan kualitas
lingkungan usaha yang baik. Mempertimbangkan konstelasi perekonomian dunia
dan Indonesia selama 5 tahun terakhir, faktor eksternal menunjukkan kontribusi
yang semakin signifikan terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Hal ini
terkait dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia, baik terhadap ekonomi
dunia maupun ekonomi kawasan.14

Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI

3.1.1 Masyarakat Ekonomi ASEAN


Perkembangan signifikan di tingkat kawasan yang perlu diamati adalah
rencana percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic

14
Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
22
Community) dari 2020 menjadi 2015, yang memiliki tujuan tercapainya suatu
kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan
ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi. Hal ini karena integrasi ekonomi menjanjikan peningkatan kesejahteraan
bagi negara-negara di dalamnya melalui pembukaan akses pasar yang lebih besar,
dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta
terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih luas.
Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang dilaksanakan pada bulan Agustus
2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat untuk mengembangkan ASEAN Economic
Community Blueprint yang merupakan panduan untuk terwujudnya AEC. Declaration
on ASEAN Economic Community Blueprint, ditandatangani pada 20 November
2007, memuat jadwal strategis untuk masing-masing pilar yang disepakati dengan
target waktu yang terbagi dalam empat fase yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011,
2012-2013, dan 2014-2015. Penandatanganan AEC Blueprint dilakukan bersamaan
dengan penandatanganan Piagam ASEAN.
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN
untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk
melaksanakan komitmen dalam bluepirnt tersebut. AEC Blueprint memuat empat
kerangka utama, yaitu:
a. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen
aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang
lebih bebas;
b. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan
elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan
intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce.
c. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan
elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi
ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam).
d. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian
global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan di luar
kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dari
keempat pilar tersebut, saat ini pilar pertama masih menjadi perhatian utama
ASEAN.
23
Perkembangan Pilar Utama ASEAN Economic Community (AEC):
1. Arus Barang yang Bebas
ASEAN telah melakukan penurunan hambatan tarif secara signifikan. Sejak 1
Januari 2010, seluruh tarif produk ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) yang masuk dalam Inclusion List (IL)
dari Common Effective Preferential Tariff (CEPT), telah dihapuskan untuk
perdagangan antar negara ASEAN. Daftar produk yang mengalami penghapusan
tersebut merepresentasikan 99 % dari seluruh daftar tarif. Rata-rata tarif telah
berkurang dari 4.4 % pada tahun 2000 menjadi 0.9% pada tahun 2009.
Peraturan asal barang (ROO) menetapkan kondisi produk manufaktur atau
diproduksi di negara anggota ASEAN yang dapat menikmati konsesi tarif
preferensi tersebut apabila produk tersebut diproses atau dihasilkan untuk di
ekspor ke negara anggota ASEAN lainnya. Upaya signifikan telah dilakukan
dengan merevisi dan menyederhanakan ASEAN ROO untuk memfasilitasi
perdagangan dan meningkatkan pengembangan usaha di kawasan. Dengan
penurunan hambatan tarif yang sangat signifikan dan ROO yang lebih sederhana,
saat ini ASEAN mengarahkan perhatiannya kepada langkah-langkah fasilitasi
perdagangan dan penyelesaian beberapa hambatan non-tarif. Hambatan non -
tarif ini dapat menghambat arus bebas barang di ASEAN melalui penerapan
persyaratan yang rumit dan tidak transparan. Untuk mengatasi hal tersebut,
negara anggota ASEAN telah melakukan identifikasi terhadap hambatan
perdagangan non - tarif dan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menghapuskannya.

2. Arus Jasa yang Bebas


Negara anggota ASEAN sejauh ini telah merundingkan dan menyepakati tujuh
paket komitmen ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang meliputi
liberalisasi dari sektor:
• layanan bisnis
• jasa profesional
• jasa konstruksi
• jasa distribusi
24
• jasa lingkungan
• jasa kesehatan
• jasa transportasi maritim
• jasa telekomunikasi
• jasa pendidikan
• jasa pariwisata

3. Arus Investasi yang Bebas


Perjanjian investasi yang ada, termasuk jaminan investasi, telah ditingkatkan dan
dikonsolidasikan ke dalam ASEAN Comprehensive Agreement on Investment
(ACIA) untuk memenuhi tantangan kompetisi yang semakin meningkat bagi
investasi langsung asing (FDI). Melalui ACIA, baik investor ASEAN dan investor
asing berbasis ASEAN dapat mengambil manfaat dari liberalisasi investasi yang
lebih besar dan proteksi investasi yang semakin membaik. Sejauh ini, delapan
negara anggota ASEAN telah meratifikasi perjanjian: Brunei Darussalam,
Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina,Singapura dan Vietnam.

4. Arus Modal yang Bebas


Sejumlah US$ 120 milyar yang dialokasikan untuk swap arrangement dalam
Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) telah disepakati pada bulan
Desember 2009 dan diharapkan dapat dioperasikan pada bulan Maret 2010.
CMIM adalah respon kolektif yang signifikan dari ASEAN, dan 3 negara mitra
wicara yaitu China, Jepang dan Republik Korea untuk mengatasi dampak krisis
keuangan global. Sejalan dengan roadmap terbaru Asian Bond Markets Initiative
(ABMI) yang telah disahkan, ada upaya untuk terus mempromosikan
pemberlakuan nilai obligasi dalam mata uang lokal sesuai dengan perkembangan
permintaan, serta meningkatkan kerangka peraturan dan infrastruktur untuk pasar
obligasi. Salah satu kunci inisiatif di bawah kerangka ABMI adalah pembentukan
Credit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM) atau Penjaminan Kredit dan
Pinjaman Kredit Investasi yang bertujuan untuk mendukung penerbitan obligasi
mata uang lokal di kawasan. Inisiatif utama lainnya yang sedang diupayakan
adalah pembentukan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur ASEAN yang

25
diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembiayaan
infrastruktur di ASEAN.

5. Arus Tenaga Kerja Terampil yang Bebas


Pergerakan jasa yang lebih besar - ASEAN akan mewujudkan pergerakan jasa
profesional berkualitas yang lebih besar di wilayah ASEAN. Dengan
ditandatanganinya pengaturan saling pengakuan (Mutual Recognition
Arrangement/MRA) di bidang praktisi medis, gigi , dan jasa akuntansi, maka
ASEAN telah menyepakati 7 (tujuh) MRA. MRA lainnya adalah dalam MRA di
bidang jasa teknik, keperawatan, arsitektur dan survei kualifikasi. Fokus ASEAN
saat ini adalah di tataran implementasi/penerapan seluruh MRA tersebut.

3.1.2 ASEAN-China Free Trade Agreement


Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November
2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast
Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework
Agreement AC-FTA tersebut adalah (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama
ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak; (b) meliberalisasikan
perdagangan barang, jasa dan investasi (c) mencari area baru dan mengembangkan
kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi
integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan
menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga
menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (a)
penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang; (b)
liberalisasi secara progresif perdagangan jasa; (c) membangun regim investasi yang
kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA.
Dalam hal penurunan dan penghapusan tariff perdagangan barang, telah
disepakati tiga skenario yaitu: (a) Early Harvest Programme (EHP); (b) Normal Track
Programme; (c) Sensitive dan Highly Sensitive. The Early Harvest Programme
(EHP), tujuannya adalah mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana
program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai
pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi 0% pada 1 Januari 2006. Pada
26
Normal Track programme penurunan tarif bea masuk dimulai sejak tanggal 20 Juli
2005, yang menjadi 0% pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk
yang akan menjadi 0% pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok
Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan
bahwa maksimun tarif bea masuk 20% pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5%
mulai tahun 2018. Produk-produk Highly Sensitive akan dilakukan penurunan tariff
bea masuknya 0-5% pada tahun 2020.15
Perdagangan antar negara yang tanpa hambatan seperti yang diterapkan
dalam ACFTA berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui
spesifikasi produksi komoditas yang diunggulkan masing-masing negara tersebut.
Namun dalam perdagangan bebas dapat juga menimbulkan dampak negatif,
diantaranya adalah eksploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri
lokal, serta keamanan barang menjadi lebih rendah.

Kekhawatiran terhadap membanjirnya produk dari China pasca implementasi


ACFTA timbul karena produk China selain dikenal murah harganya juga sudah
banyak beredar di Indonesia sebelum implementasi ACFTA. Pendapat tentang
dampak negatif dari ACFTA juga telah banyak dilontarkan oleh berbagai pihak dan
arus menentang kesepakatan ACFTA juga telah dilakukan oleh kalangan pelaku
usaha.
Belum lagi rapuhnya industri hilir dan menengah Indonesia dalam menunjang
beberapa barang ekspor manufaktur (tekstil dan pakaian jadi, plastik, karpet,
kemasan, serta industri mainan anak-anak). Perkembangan China dengan
pertumbuhan ekonominya dan total perdagangannya yang semakin besar ternyata
belum secara langsung diikuti dengan peningkatan ekspor non-migas Indonesia.16
China merupakan negara yang sedang berjaya. Produknya merambah hampir
ke seluruh dunia. Produk yang murah menjadi poin plus bagi Negara Tirai Bambu
tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat pun membuat China menjadi Aktor
paling penting di kawasan Asia.
China memang mempunyai dukungan yang besar terhadap industri dalam
negerinya sehingga dapat menguasai pasar dunia. Kemudahan dalam memberikan
15
Economic Review No. 218 Desember 2009
16
Zainuddin Djafar. 2008. Indonesia, ASEAN dan Dinamika Asia Timur: kajian Perspektif Ekonomi-
Politik. Jakarta: Pustaka Jaya
27
pinjaman bank dengan bunga yang rendah mendorong lahirnya produk-produk yang
merambah negara-negara lain dengan harga relatif murah. Dukungan infrastruktur
juga sangat diperhatikan bagi perluasan perdagangan. Selain itu kemudahan izin
usaha juga diterapkan.
Kemudahan-kemudahan seperti di China tersebut sampai saat ini belum
ditemui di Indonesia. Inilah yang memberikan kekhawatiran tersendiri atas dampak
ACFTA di dalam negeri. Produk dalam negeri dinilai belum dapat bersaing dengan
produk-produk dari China karena biaya produksi di dalam negeri masih tinggi dan
menyebabkan harga jualnya jauh di atas produk-produk China.
Segala sesuatu memang akan memberi dampak positif dan negatif. Begitu
juga dengan ACFTA. Dampak kesepakatan ini memang memiliki implikasi yang
cukup luas di bidang ekonomi, industri dan perdagangan.

Gambar 3.3 Produk China yang sering dibeli

Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi yang cukup tinggi
sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini dikhawatirkan akan
memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan ditutupnya perusahaan
dalam negeri akibat kalah bersaing. Masalah yang paling dikhawatirkan adalah
pengaruh ACFTA terhadap keberlangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang

28
berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Tentu UKM tersebutlah yang paling parah
terkena imbas dengan membanjirnya produk-produk China.
Dari sisi konsumen atau masyarakat, kesepakatan ini memberikan angin segar
karena membuat pasar dibanjiri oleh produk-produk dengan harga lebih murah dan
banyak pilihan. Dengan demikian akan berdampak pada meningkatnya daya beli
masyarakat sehingga diharapkan kesejahteraan pun dapat ditingkatkan.
Namun, kesepakatan tersebut justru membuat industri lokal gelisah. Hal ini
dikarenakan industri lokal belum siap terhadap serbuan produk China.
Tujuan pembentukkan ACFTA adalah pertama, meningkatkan dan
memperkuat kerjasama perdagangan antara ASEAN dan China. Kedua,
meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui penurunan tarif. Ketiga,
mengembangkan berbagai area kerjasama ekonomi lain yang saling
menguntungkan dan yang terakhir, memfasilitasi integrasi ekonomi kawasan dengan
menjembatani berbagai kesenjangan ekonomi yang ada antara ASEAN dan China.
Pada awal penandatanganan, kesepakatan ini disambut hangat oleh banyak
kalangan di dalam negeri untuk beberapa alasan. Pertama, penurunan tarif dan
penghilangan hambatan non-tarif perdagangan dengan China memungkinkan
Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara tersebut,
yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Kedua, terkait dengan hal ini,
peningkatan perdagangan diprediksikan akan meningkatkan kesejahteraan dan
mengurangi ketimpangan pendapatan di dalam negeri. Hal ini mengingat ia
cenderung menghasilkan pola pertumbuhan yang broadbased, yang dinikmati oleh
banyak masyarakat. Ketiga, penetapan perdagangan bebas dengan China
memungkin ditariknya lebih banyak investasi asing di dalam negeri, baik dari China
maupun dari negara lain yang ingin memanfaatkan kedekatan ekonomi Indonesia
dengan negara ini. Keempat, perdagangan bebas dengan China juga
memungkinkan terserapnya lebih banyak teknologi dan pengetahuan serta skill,
yang memungkinkan pengembangan industri di dalam negeri.17
Namun di sisi yang lain, kebijakan perdagangan bebas dalam ACFTA ini
memberikan berbagai konsekuensi yang berasal dari kehawatiran pengusaha
Indonesia, yaitu karena dengan berlakunya perjanjian antara negara-negara ASEAN
dan China maka produk China akan membanjir di Indonesia dengan kualitas baik

17
Majalah Trust No. 11 tahun VII edisi 11-17 Januari 2010
29
dan harga yang lebih murah karena China menggunakan teknologi tinggi sehingga
biaya produksinya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang belum
memiliki permesinan canggih sehingga bisa menekan biaya produksi. Hal inilah yang
menjadi masalah bagi para pengusaha di Indonesia mengenai kebijakan
perdagangan bebas dalam ACFTA, kekhawatiran mengenai usaha yang akan
gulung tikar maupun peningkatan pengangguran di Indonesia.

Gambar 3.4 Komposisi Ekspor-Impor Indonesia dengan China

Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI

30
3.2 Kinerja Perekonomian Domestik
Kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2010 turut diwarnai oleh
dinamika perekonomian global. Membaiknya pertumbuhan ekonomi global yang
mendorong naiknya volume perdagangan internasional serta memicu kenaikan
harga-harga komoditas berdampak pada tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia.
Pada tahun 2010, ekspor menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Kinerjanya yang meningkat tinggi mampu mempertahankan surplus
transaksi berjalan, walaupun terjadi peningkatan yang tinggi baik di sisi impor
maupun pembayaran profit transfer. Di sisi transaksi modal dan finansial, pemulihan
ekonomi global yang disertai derasnya aliran modal menyebabkan surplus neraca
modal yang besar dalam NPI. Perkembangan kondisi makroekonomi yang membaik
ini membawa perkembangan positif bagi pasar modal Indonesia. Harga saham
meningkat cukup tinggi hingga menjadikan Bursa Efek Indonesia sebagai bursa
terbaik di negara-negara kawasan. Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga
Negara (SBN) terus mengalami penurunan yang signifikan sejak 2009. Derasnya
arus modal masuk juga mengakibatkan terjadinya penguatan nilai tukar rupiah yang
cukup signifikan dan peningkatan likuiditas di pasar uang jangka pendek. Kondisi ini
mendorong suku bunga PUAB over night (O/N) bergerak di bawah BI rate dan
cenderung mendekati batas bawah koridor. Dari sisi domestik, meningkatnya
keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat menjadi faktor utama cukup
tingginya pertumbuhan konsumsi pada tahun 2010. Kondisi ini kemudian direspons
31
oleh peningkatan pertumbuhan investasi seiring dengan membaiknya tendensi
bisnis dan permintaan ekspor yang tinggi. Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah
tumbuh lebih lambat dibanding tahun sebelumnya. Berbagai perkembangan ini
membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 6,1% dari 4,6%
pada tahun sebelumnya. Sementara itu, inflasi pada tahun 2010 meningkat cukup
tinggi dengan perkembangan inflasi IHK yang mencapai 6,96%, berada di atas
sasaran inflasi tahun 2010 ( 5±1%). Tingginya inflasi ini bersumber dari tekanan
kenaikan inflasi pada kelompok volatile food terkait dengan anomali cuaca yang
menyebabkan terjadinya gangguan pasokan pada kelompok barang ini. Meskipun
demikian, secara fundamental perkembangan inflasi pada dasarnya cukup
terkendali, sejalan dengan penguatan rupiah, terjaganya ekspektasi inflasi
masyarakat, serta kondisi sisi penawaran yang masih memadai dalam merespons
kenaikan permintaan. Perkembangan ini terlihat pada inflasi inti yang tetap stabil di
angka yang relatif sama dengan tahun sebelumnya yaitu 4,28%.
Sejalan dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global, perekonomian
Indonesia tahun 2010 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Pertumbuhan PDB 2010 mencapai 6,1%, meningkat dari 4,6% pada tahun 2009. Di
sisi permintaan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi didukung oleh kinerja ekspor
dan investasi yang tumbuh tinggi, disertai konsumsi rumah tangga yang tetap kuat.
Kenaikan harga komoditas internasional turut menunjang tingginya pertumbuhan
ekspor nasional. Selain itu, meningkatnya kinerja ekspor juga diikuti oleh lebih
terdiversifikasinya komoditas ekspor dan lebih besarnya peran negara-negara
emerging markets sebagai pasar tujuan ekspor Indonesia. Permintaan
eksternal dan domestik yang kuat berpengaruh positif bagi optimisme pelaku usaha
terhadap prospek perekonomian, sehingga pada akhirnya mendorong kinerja
investasi tumbuh meningkat. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang tetap kuat
ditopang oleh daya beli masyarakat yang terjaga didukung meningkatnya peran
pembiayaan lembaga keuangan. Tingginya permintaan domestik dan eksternal pada
gilirannya berdampak pada tingginya pertumbuhan impor hingga melebihi
pertumbuhan ekspor.
Kinerja ekspor yang meningkat cukup tinggi sejalan dengan berlanjutnya
pemulihan ekonomi global. Kenaikan kinerja ekspor paling tinggi terjadi di semester I
2010, terutama pada awal tahun, didukung baik oleh komoditas migas maupun
32
nonmigas. Namun, memasuki semester II 2010 ekspor mengalami perlambatan
terkait dengan terjadinya penurunan produksi minyak, melambatnya laju
pertumbuhan negara mitra dagang, serta harga komoditas manufaktur dan pertanian
yang melambat. Kinerja ekspor kembali mencatat kenaikan yang cukup tinggi pada
akhir 2010 didorong oleh meningkatnya ekspor produk pertanian dan manufaktur,
disertai kenaikan harga komoditas. Secara keseluruhan, ekspor tahun 2010
mencatat kenaikan yang tinggi, yakni mencapai 14,9%.
Pertumbuhan ekspor tersebut merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun
terakhir – kecuali tahun 2005 – dengan komoditas ekspor yang relatif lebih tidak
terkonsentrasi pada hanya beberapa produk tertentu. Selain itu, capaian
pertumbuhan ekspor nasional yang tinggi juga disertai meningkatnya pangsa
negara-negara emerging markets sebagai pasar tujuan ekspor. Meningkatnya
kinerja ekspor dan semakin kondusifnya berbagai variabel makroekonomi
berkontribusi pada kinerja investasi yang tumbuh tinggi. Iklim investasi yang
membaik didukung oleh pembiayaan dari dalam dan luar negeri yang meningkat
sehingga mendorong realisasi investasi tumbuh lebih cepat untuk merespons
kenaikan kapasitas utilisasi seiring kuatnya permintaan. Survei Tendensi Bisnis yang
dilakukan oleh BPS menunjukkan optimisme pelaku usaha yang positif dengan terus
meningkatnya pemesanan barang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, harga
jual yang naik, serta kenaikan pemesanan barang input. Menguatnya nilai tukar
rupiah juga turut menunjang impor barang modal dengan harga yang relatif lebih
rendah. Dengan perkembangan tersebut, investasi nonbangunan kembali tumbuh
tinggi sebesar 13,1% setelah pada tahun 2009 mengalami kontraksi yang cukup
dalam. Sementara itu, investasi bangunan tumbuh stabil sebesar 7,0% Tingginya
perkembangan investasi nonbangunan ini mengisyaratkan sifat investasi yang lebih
kepada menambah kapasitas ekonomi. Berdasarkan jenis investasi, peningkatan
pertumbuhan investasi didorong oleh Penanaman Modal Asing (PMA) yang tercatat
mencapai Rp 208,6 triliun dan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) sebesar Rp
60,5 triliun.18

18
Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.

33
3.3 Perkembangan Sektoral Ekonomi Nasional
Berdasarkan data BPS, sektor pertanian masih memegang peranan penting
dalam menopang pertumbuhan ekonomi, meskipun cenderung mengalami
penurunan pangsa dalam PDB, dari 15,2% pada 2003 menjadi 12,9% pada 2006.
Kendala yang dihadapi adalah rendahnya investasi dalam rangka penyediaan dan
perbaikan infrastruktur. Namun dalam 40 tahun terakhir pertumbuhan pertanian
Indonesia mengalami perlambatan. Pergeseran sektoral telah terjadi dimana
penurunan pangsa sektor pertanian dibarengi peningkatan pangsa industri
pengolahan. Untuk negara maju seperti Jepang dan USA, pergeseran terjadi ke arah
peningkatan pangsa sektor jasa bisnis. Indonesia menempati peringkat 20 negara
eksportir pertanian namun sayangnya justru kalah dari negara-negara dengan luas
lahan pertanian yang lebih sempit. Data 2005 menunjukkan terjadinya peningkatan
volume ekspor pertanian yang diikuti pula dengan kenaikan impor dengan jumlah
lebih besar. Meski secara volume defisit akan tetapi dari sisi nilai, neraca komoditas
pertanian masih menunjukkan surplus dari waktu ke waktu. Saat ini, volume ekspor
karet Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan menduduki peringkat ke-2 dunia
setelah Thailand. Indonesia juga merupakan negara pengekspor CPO terbesar
kedua setelah Malaysia, namun pertumbuhan ekspornya saat ini lebih cepat dari
Malaysia. Survei Pemetaan Sektor Ekonomi (SPSE) 2005 menunjukkan terdapat 12
komoditas pertanian unggulan yang menjadi penggerak utama sektor pertanian,
memberikan sumbangan lebih dari 80% output sektor pertanian primer dan
merupakan komoditas input yang dominan terhadap sektor agro industri. Sementara
berdasarkan kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia 2006 telah ditetapkan 5
komoditas unggulan pertanian yaitu kelapa sawit, kopi, karet, coklat, serta ikan dan
udang.
Peran sektor pertambangan walaupun relatif kecil dalam PDB (10,6% pada
2006) dan cenderung tumbuh lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi (5%
pada 2006) namun berperan strategis dalam penyediaan energi untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Di samping itu subsektor
pertambangan migas masih berperan besar dalam penerimaan APBN.
Secara sektoral, penyumbang PDB terbesar adalah sektor industri
pengolahan (28% pada 2007) namun stok kapital neto tertinggi justru dimiliki oleh
sektor jasa (25,3%). Hal ini terkait dengan kebutuhan pemanfaatan teknologi
34
informasi dan komunikasi di era globalisasi di segala bidang, misalnya untuk
transaksi keuangan. Secara umum peran sektor industri nonmigas dalam
perekonomian nasional masih dominan walaupun sempat mengalami penurunan
selama periode krisis.
Pada 2007, pangsa sektor industri non migas ini mencapai 22,8% dari total
PDB, dibandingkan pangsa industri migas yang hanya 5,2%. Namun sektor ini tetap
sensitif terhadap gejolak permintaan eksternal, dan masih dilingkupi persoalan
rendahnya daya saing serta rendahnya tingkat investasi.19

Gambar 3.5 Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia

Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI

19
Ibid
35
Dilihat dari segi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan
tenaga kerja maupun pemerataan pembangunan, peran ini masih lebih rendah
dibandingkan pada periode pra krisis. Hal ini disebabkan karakteristik industri
nonmigas yang dominan dalam melayani pasar domestik tetapi memiliki tingkat
ketergantungan impor yang tinggi, sensitivitas sektor industri terhadap gejolak
permintaan eksternal yang masih tinggi, rendahnya daya saing, serta minimnya
tingkat investasi. Komoditas nonmigas yang memiliki daya saing dan nilai tambah
cukup tinggi antara lain Minyak Kelapa Sawit (CPO) serta beberapa komoditas
tekstil dan TPT.

36
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Kebijakan Peningkatan Daya Saing Nasional


Dalam menghadapi permasalahan pembangunan industri dan dengan
memperhatikan lingkungan global yang persaingannya semakin ketat serta prospek
ekonomi Indonesia yang semakin membaik, maka pembangunan industri perlu
dipercepat dan dilakukan secara terintegrasi dengan sektor ekonomi lainnya.
Pendekatan dalam pembangunan industri dilakukan melalui: Pertama, konsentrasi
lokasi industri dan meningkatkan kemampuan masyarakat di lokasi industri tersebut,
sehingga akan memberikan dampak positif bagi pembangunan industri yang
semakin efisien dan efektif serta memberikan manfaat berganda bagi daerah
setempat. Kedua, meningkatkan investasi di sektor industri dan infrastruktur yang
dapat dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Ketiga, meningkatkan
penguasaan pasar baik dalam negeri maupun pasar internasional.
Pendekatan yang digunakan dalam mempercepat pembangunan industri
dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan sektoral dengan
mengembangkan klaster industri dan pendekatan regional yang berlandaskan pada
keunggulan komparatif yang dimiliki oleh daerah. Dalam rangka memperjelas
strategi pengembangan industri prioritas di atas, perlu disusun rencana aksi untuk
setiap pengembangan industri prioritas.

37
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Industri

Ada sejumlah tujuan industri prioritas, antara lain:


• Meningkatkan daya saing industri prioritas
• Memperdalam struktur industri nasional dengan mendorong tumbuhnya industri
pionir dan industri hilir
• Mendorong penyebaran industri manufaktur ke seluruh wilayah Indonesia,
khususnya wilayah yang memiliki SDA melimpah
Selain itu, ada juga sejumlah kebijakan iklim Usaha Industri yang dapat
digambarkan sebagai berikut:

38
Kebijakan Iklim Usaha Industri

1. Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP)


PMK Nomor 261/2010 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor
Barang dan Bahan Untuk Memproduksi Barang Dan/Atau Jasa Guna Kepentingan
Umum Dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tahun
Anggaran 2011.
2. Tax Allowance (Revisi PP Nomor 62/2008)
Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal dibidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah – daerah tertentu)
Tax Allowance

39
Pemberian Fasilitas Fiskal Dalam Rangka Penanaman Modal
a. Pengurangan penghasilan net sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah
Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing- masing
sebesar 5% (lima persen) per tahun
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat
c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek
Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah
menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih
dari 10 (sepuluh) tahun
e. Dalam Revisi PP 62/2008, untuk sektor industri telah disepakati :
Lampiran I : 36 Bidang usaha tertentu
Lampiran II : 38 Bidang usaha tertentu dan daerah tertentu
Industri Petrokimia yang mendapatkan fasilitas Tax Allowance :
1. Industri kimia dasar anorganik lainnya
2. Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian
3. Industri Kimia Dasar Organik untuk Bahan Baku Zat Warna dan Pigmen
4. Industri Kimia Dasar Organik yang bersumber dari Minyak Bumi, Gas Alam
dan Batubara
5. Industri Kimia dasar Organik yang menghasilkan bahan kimia khusus

3. Tax Holiday (Peraturan Menteri Keuangan 130/2011)


Fasilitas diberikan kepada industri pionir dengan jumlah minimal investasi sebesar
Rp. 1 Triliun dengan bidang usaha :
40
a) Industri logam dasar;
b) Industri pengilangan minyak bumi dan/atau industri kimia dasar organik yang
bersumber dari minyak bumi dan gas alam;
c) Industri permesinan;
d) Industri di bidang sumber daya alam terbarukan; dan/atau
e) Industri peralatan komunikasi
Bentuk pemberian fasilitas adalah :
a) Pembebasan PPh Badan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun dimulainya produksi
komersial dengan nilai investasi sebesar 100 %.
b) Pengurangan PPh Badan sebesar 50 % dari PPh Badan terutang selama 2
(dua) tahun pajak setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan PPh
Badan.
4. Insentif Bea Masuk Penanaman Modal (PMK No.176/2009)
Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan
Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman
Modal. Persyaratannya yaitu hanya berlaku dalam rangka penanaman modal (PMA
& PMDN) dan untuk investasi baru dan perluasan sebesar 30% atau lebih.
5. PPN- DTP
Pajak Pertambahan Nilai - Ditanggung Pemerintah yaitu Insentif berupa PPN-DTP
untuk Sektor Industri.

PPN-DTP Tahun 2011

41
6. Revisi PMK 241 Tahun 2010 tentang Perubahan tarif Bea Masuk
PMK No. 13 Tahun 2011
Untuk Tarif Bea Masuk Komoditi Pangan dan Bahan Pangan, Bahan Baku Pakan
Ternak dan Pupuk Tertentu telah diubah dengan PMK No.13 Tahun 2011, sebanyak
57 pos tarif telah diturunkan menjadi 0 % sampai dengan 31 Desember 2011 dan
selanjutnya naik menjadi 5% mulai 1 Januari 2012.
PMK No. 80 Tahun 2011
Untuk Tarif Bea Masuk Komoditi Penetapan tarif bea masuk atas barang impor :
1) produk-produk bahan baku dan barang modal industri tertentu
2) produk-produk kapal tertentu
3) produk-produk bahan baku dan peralatan film tertentu
Lampiran I terdapat 25 produk yang tariff rate nya 0% berlaku mulai tanggal
diundangkan sampai dengan 31 Desember 2011.
Lampiran II terdapat 25 produk yang tariff rate nya 5% mulai 1 Januari 2012
Lampiran III sebanyak 157 post tarif yang 0% dan 8 post tarif yang 10% (makanan),
dan berlaku mulai tanggal diundangkan.
7. Pemberian Keringanan Suku Bunga
Pemerintah sejak tahun 2007 telah meluncurkan program restrukturisasi
permesinan bagi beberapa sektor industri, dengan hasil sebagai berikut :

Restrukturisasi Industri

42
4.2 Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan Kaitannya
dengan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Struktur Kebijakan

INPRES NO. 2 Tahun 2009


1. Pengadaan barang/jasa Pemerintah bertujuan untuk:
a) Memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri termasuk
rancang bangun dan perekayasaan nasional, serta penggunaan penyedia
barang/jasa nasional;
b) Memberikan preferensi harga untuk barang produksi dalam negeri dan
penyedia jasa pemborongan nasional kepada perusahaan penyedia
barang/jasa;
2. Pengadaan barang/jasa Pemerintah agar berpedoman dan mengacu pada
Pedoman Peningkatan Penggunaan Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri yang
ditetapkan oleh Menteri Perindustrian.
3. Kampanye penggunaan produksi dalam negeri di lingkungan instansi
Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN dan BUMD dikoordinasikan oleh Menteri
Perdagangan.
4. Dalam melaksanakan tugasnya, Timnas P3DN dapat melakukan kerjasama
dengan konsultan, tenaga ahli, akademisi atau pihakpihak lain yang dipandang
perlu.
43
5. Timnas P3DN menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada
Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian secara berkala
setiap 6 (enam) bulan, atau sewaktuwaktu jika diminta Presiden.

PERPRES 54 TAHUN 2010 (Perubahan Keppres 80/2003)


• Produk Dalam Negeri wajib digunakan jika terdapat Penyedia Barang/Jasa yang
menawarkan Barang/Jasa yang menawarkan Barang/Jasa dengan nilai TKDN
minimal 40%; (Ps 97 (2) Perpres 54/2010)
• TKDN mengacu pada Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri
yang diterbitkan oleh Kementerian yang membidangi perindustrian;
• Preferensi Harga untuk barang/jasa dalam negeri diberlakukan pada Pengadaan
Barang/Jasa yang dibiayai rupiah murni tetapi hanya berlaku dalam pengadaan
barang/jasa bernilai di atas 5.000.000.000 (lima miliar rupiah); (Ps 98 (2)
Perpres 54/2010)
• Preferensi harga hanya diberikan kepada barang/jasa dalam negeri dengan
TKDN lebih besar atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen); (Ps 98 (3)
Perpres 54/2010)
• Preferensi harga untuk barang produksi dalam negeri setingi-tinginya 15% (lima
belas persen), sedangkan preferensi harga untuk pekerjaan konstruksi yang
dikerjakan oleh Kontraktor nasional adalah 7,5% di atas harga penawaran
terendah dari Kontraktor asing) ; (Ps 98 (5,6) Perpres 54/2010)

PERMENPERIN No. 49/2009 dan No.102/2009


Untuk mengimplementasikan isi Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Inpres No.2 tahun
2009 perubahannya Menteri Perindustrian menerbitkan Peraturan No:102/M-
IND/PER/9/2009 yang isinya antara lain:
1. Mewajibkan instansi menggunakan produksi dalam negeri yang memiliki Tingkat
Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP)
tertentu;
2. Memberikan preferensi harga pada produksi dalam negeri yang memiliki nilai
TKDN tertentu pada Tender;
3. Mewajibkan instansi membentuk Tim Peningkatan Penggunaan Produk Dalam
Negeri (P3DN) untuk mendorong Penggunaan Produk Dalam Negeri yang
44
diimplementasikan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
monitoring.

Peluang Penggunaan Produk Dalam Negeri – dari Belanja Barang dan Modal
Pemerintah Pusat

Tahun Belanja Belanja Jumlah % Peluang


Barang Modal APBN Penggunaan
Pusat Produksi Dalam
Negeri

2009 80,7 75,9 628,8 triliun 24,9 %


triliun triliun
(APBN)

2010 112,6 95 triliun 781,5 triliun 26,5 %


triliun
(APBN-P)

2011 137,8 135,8 836,6triliun 32,7 %


triliun triliun
(APBN)

Konsep Preferensi pada Proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terhadap


Produk Dalam Negeri
Dasar penilaian tingkat komponen dalam negeri barang dan jasa sesuai Keppres
No. 80 tahun 2003 serta perubahannya pada Perpres No. 08/2006
% TKDN Barang = Harga Barang Jadi - Harga Komponen Luar Negeri x 100%
Harga Barang Jadi
% TKDN Jasa = Harga Jasa - Harga Jasa Luar Negeri x 100%
Harga Jasa

45
- TKDN Pengadaan Barang

Stuktur Harga Barang

46
- TKDN Pengadaan Barang

Stuktur Biaya Jasa

4.3 Daya Saing


Daya saing merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menciptakan nilai yang
berkelanjutan dan untuk meningkatkan standar kehidupan yang tinggi bagi
masyarakatnya. Daya saing dapat dibentuk oleh produktivitas termasuk tenaga kerja
dan barang modal. Suatu negara berkompetisi dengan negara lainnya dengan
menawarkan tenaga kerja yang produktif dan lingkungan kondusif untuk bisnis.
Lingkungan tersebut dapat menarik investasi, memacu tumbuhnya perusahaan yang
ada, dan juga menciptakan peluang kerja. Tetapi tingginya tingkat produktivitas
membutuhkan investasi dan fokus terhadap aktivitas yang terdiferensiasi daripada
berkompetisi dalam harga dan penghasilan rendah.
Kebijakan makroekonomi, sosial, politik dan hukum dapat menciptakan
produktivitas dan kemakmuran yang lebih tinggi serta potensial dengan memberikan
47
akses kepada modal dan pasar internasional. Tetapi, dalam tingkat mikroekonomu
melalui penciptaan barang/jasa yang unik dan inovatif dapat memacu permintaan
dengan harga tinggi di pasar global.

4.3.1 Diamond Framework

Daya saing suatu negara ditentukan oleh daya saing perusahaan-perusahaan


yang ada di negara tersebut, termasuk di tiap sektornya. Analisis NCC
menggunakan Diamond Framework yang dikembangkan oleh Michael E. Porter,
Bishop William Lawrence dari Sekolah Bisnis Harvard, yaitu sebagai berikut:

Kondisi Faktor
Merujuk pada ada dan tidak adanya input dari pekerjaan yang membutuhkan
keahlian tertentu, ketersediaan bahan mentah, infrastruktur, dan keuangan. Faktor

48
input bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dapat dilanjutkan dengan
mengembangkannya dan menjadikannya lebih spesifik dari waktu ke waktu,
contohnya perusahaan dapat memberikan investasi dalam hal memberikan
pelatihan kepada para karyawan untuk memberikan nilai tambah kepada mereka
dan juga meningkatkan produktivitas.
Konteks Strategi dan Persaingan
Hal ini merujuk kepada daya saing antara perusahaan dalam sektor atau industri.
Daya saing menyediakan insentif bagi inovasi dan meningkatkan bisnis, maka
perusahaan akan berusaha untuk bisa meraih pasar dari para pesaingnya. Untuk
menjadikannya lebih kuat, maka kebijakan yang diambil juga harus tepat sehingga
dapat menajamkan strategi sekaligus meningkatkan kualitas barang dan jasa untuk
bisa meraih pasar yang lebih luas.

Permintaan
Elemen permintaan melihat kebutuhan pasar dan mengevaluasi keinginan
konsumen. Permintaan konsumen menstimulasi inovasi dan meningkatkan
persaingan antarperusahaan. Ada atau tidaknya konsumen dan perlindungan
konsumen, dapat menghilangkan barang/jasa impor yang telah ada.

Industri Pendukung
Hal ini digunakan untuk menghitung formasi bagan. Bagan tersebut terdiri dari
industri multiple, industri geografis dan industri interkoneksi, perusahaan dan institusi
yang mempunyai tujuan yang sama dan saling melengkapi. Bagan ini meningkatkan
produktivitas dan daya saing dengan cara mengimplementasikan praktik,
menstimulasi inovasi, dan menciptakan peluang bisnis baru. Universitas dan
asosiasi industri memainkan peranan penting dalam membangun dan
mendiseminasi pengetahuan ini.

49
Pemerintah
Diamond Framework juga meyakini bahwa pemerintah memiliki peranan penting
dalam mempromosikan daya saing. Contohnya, sektor publik dapat mensponsori
pendidikan tertent dan program pelatihan atau investasi dalam infrastruktur;
menghilangkan hambatan-hambatan terhadap kompetisi lokal melalu deregulasi
atau perubahan lingkungan kebijakan; bertindak sebagai konsumen produk dan
jasa; dan mengembangkan platform yang mempertemukan industri dan penyedia
secara bersama-sama untuk meningkatkan daya saing perekonomian.

Institusi untuk berkolaborasi


Institusi untuk berkolaborasi memainkan peranan penting dalam mengkoordinasikan
segala bentuk usaha antara sektor publik dan swasta serta akademisi. Dewan,
universitas, asosiasi perdagangan, dan kamar dagang merupakan platform yang
membawa kebersamaan semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan
strategi dan agenda daya saing yang sama. Kemitraan tersebut mengembangkan
institusi yang ada dalam meningkatkan keterhubungan antara institusi dan individu
serta memfasilitasi arus informasi.

4.3.2 Tahapan Pembangunan Ekonomi

Kemampuan suatu negara untuk berkompetisi dan prioritasnya dalam


pembangunan memiliki tahapan tertentu. Tahapan tersebut dapat dikategorikan
seperti gambar di bawah ini:

Factor-driven economies

• Perekonomian berkompetisi terutama dalam harga yang rendah dan sumber


daya alam yang ada
• Perusahaan yang termasuk dalam produksi utama
50
• Perekonomian secara khusus berfluktuasi dalam siklus ekonomi dunia, harga
komoditi, dan nilai tukar.

Investment-driven stage

• Perusahaan memproduksi produk dan jasa yang sesuai standar tertentu


• Produktivitas dikembangkan melalui peningkatan investasi dalam infrastruktur
dan lingkungan bisniis yang baik
• Perusahaan mengarah pada nilai-nilai manufaktur yaitu desain produk,
distribusi dan pemasaran
• Krisis keuangan dan eksternal, permintaan pada sektor yang spesifik dapat
memberikan dampak pada perekonomian

Innovation-driven stage

• Perekonomian dapat menghasilkan barang dan jasa yang unik untuk pasar
global, memacu perkembangan teknologi dan metode bisnis
• Industri jasa memainkan peranan penting dan memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap GDP
• Perekonomian dalam tahap ini bisa berubah-ubah (tidak statis)

51
4.4 The Root of Competitiveness

Cluster and Related Cross Sectoral Activities

52
Keterhubungan antara kebijakan industri di Indonesia dan orientasi ekspornya
masih tidak pas. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia merevitalisasi
kebijakan dengan memperkenalkan program baru dengan tujuan untuk memperkuat
hubungan performa ekspor dalam dinamika pasar global.
Tahapan antara kebijakan industrialisasi dan implementasi ekspor perlu untuk
diklariifikasi antara kompetensi utama yang dikembangkan dalam wilayah tertentu
dan fasilitas yang dapat disediakan oleh pemerintah. Peranan aktif pemerintah
daerah untuk membangun daya saing di tiap wilayah juga perlu dikembangkan
dengan cara mendukung program pengembangan kapasitas untuk mencapai
program ekspor dan kebijakan industrialisasi.

4.5 Assessment Daya Saing

Daya saing di berbagai belahan dunia diukur oleh badan internasional yang
berbeda-beda juga dengan peringkatnya berbeda dan menggunakan sejumlah
kriteria. NCC menggunakan tiga indikator utama dalam menghitung daya saing di
Arab Saudi terhadap negara lainnya. Selain itu, indikator ini juga dikembangkan oleh
Forum Ekonomi Dunia dan Laporan Investasi Dunia sebagai benchmark dalam daya
saing baik pada tingkat makroekonomi maupun mikroekonomi. NCC juga
menggunakan laporan International Finance Corporation’s (IFC) “Ease of Doing
Business” sebagai benchmark untuk kebijakan dan hukum dalam hal operasi bisnis.
Negara-negara yang menduduki peringkat atas memperlihatkan performa yang
konsisten baik secara makro maupun mikro:

• Lingkungan makroekonomi: surplus angggaran yang tinggi, tingkat kredit


yang kuat dan inflasi rendah
• Institusi publik dan swasta yang kuat: tidak adanya korupsi, transparansi
bisnis dan oemerintahan, independensi pengadilan, penegakan hak
kepemilikan
• Teknologi dan Inovasi: biaya yang tinggi untuk penelitian dan pengembangan,
adopsi teknologi barus secara agresif, penelitian industri dan universitas yang
dilakukan bersama, penggunaan teknologi secara aktif
• Pendidikan dan pelatihan: tingkat pendidikan yang tinggi, pengembangan
pendidikan yang baik, dan tenaga kerja yang terlatih
53
4.5.1 International Finance Corporation Ease of Doing Business Index
The IFC’s Ease of Doing Business Index merupakan pengukuran yang paling
komprehensif dari salah satu faktor terpenting dalam menentukan daya saing, yaitu
lingkungan bisnis. The IFC mengukur 183 negara dalam hal 10 aspek dalam
melakukan bisnis:

1) Memulai bisnis
2) Meminta perijinan
3) Mempekerjakan karyawan
4) Mendaftarkan kepemilikan
5) Mendapatkan pinjaman
6) Melindungi investor
7) Membayar pajak
8) Perdagangan lintas batas
9) Melaksanakan kontrak
10) Menutup bisnis.

4.5.2 The World Economic Forum Global Competitiveness Index (GCI)


The WEF’s Global Competitiveness Index (GCI) merupakan pengukuran daya
saing yang banyak digunakan dan banyak diketahui, yaitu di 133 negara. Arab Saudi
adalah negara yang pertama kali diukur peringkatnya. GCI mengevaluasi 103
parameter, campuran data baik statistik maupun fakta dan manajemen persepsi
(melalui survey), untuk mengukur kualitas lingkungan makroekonomi dan
mikroekonomi. Parameter ini terdiri dari 9 pilar daya saing, yaitu institusi,
infrastruktur, kerangka makroekonomi, pendidikan dan kesehatan, pendidikan dan
pelatihan yang lebih tinggi, pasar yang efisien, kemampuan untuk memanfaatkan
teknologi yang ada, proses produksi yang canggih, dan inovasi.

4.5.3 United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) - World


Investment Report
The World Investment Report focus pada tren Foreign Direct Investment (FDI) di
dunia, baik secara regional maupun negara, untuk mengukur bagaimana
kontribusinya dalam pembangunan. Sejumlah isu nya antara lain:

54
• Analisis tren FDI pada tahun sebelumnya, dengan penekanan pada implikasi
pembangunan
• Peringkat korporasi transnasional terbesar di dunia
• Analisis mendalam dari topik terpilih yang berhubungan dengan FDI
• Analisis kebijakan dan rekomendasi

4.5.4 A Comparison of Competitiveness Assessment Tools

Tool Description Strengths Weaknesses

Labor Contribution of Quick measure of Does not measure


Adjusted to GNP/percent of relative importance and competitiveness
GNP work force potential employment factors; does not
employed in sector effect directly consider
global competitors;
assesses past, not
potential, importance
of sectors

Boston Assesses local Relatively quick Does not directly


Matrix industry growth and reasonable proxy for address factors
market share more detailed tools; influencing
against global assessment data can competitiveness;
market share easily be collected for assessment is based
secondary sources on historical data, not
potential

Porter's Five Based on five Assessment based on Assessment is


Forces and interacting factors factors influencing complicated and,
Porter's critical for an industry where information is
Diamond industry to become competitiveness; not readily available, it
Framework and remain assessment suggest can take time to
location of driving collect data;

55
competitive constraints to industry substantial analysis
competitiveness required before
industry selection

End Market Interviews with End markets define the Requires knowledge
Informants highest-value end- universe of market of the end-market
market buyers opportunities; global buyers; this
regarding future buyers are information is not
trends and their knowledgeable of the available in-country;
procurement competition and factors subjective
strategies and trends likely to
influence the market--
information that is critical
to assessing
competitiveness

Investor Maps opportunities, Complementary to value Costly as an industry


Road Maps constraints and chain analysis, high selection tool; does
risks to investment level of detail on not consider industry
with an emphasis identified opportunities efficiency resulting
on the business and constraints from vertical and
enabling horizontal
environment, and coordination; does not
the existence and consider glob
quality of critical
infrastructure and
services

56
4.6 Pengukuran Daya Saing
4.6.1 Real Effective Exchange Rate
Pengukuran dengan menggunakan REER diadopsi oleh Bank Sentral
Trinidad dan Tobago pada awal tahun 1980-an untuk mengukur daya saing
internasional terhadap produl lokal. Pengukuran ini kemudian lebih jauh digunakan
pada pertengahan tahun 1990-an ketika indeks rendah. REER diindakisakan dengan
menurunkan indeks NEER (nominal effective exchange rate) dengan indeks harga
relatif atau tingkat inflasi efektif (effective inflation rate). NEER menunjukkan nilai
mata uang relatif terhadap nilai mata uang dalam hal mitra perdagangan dalam
periode tertentu. EIR mengukur tingkat inflasi domestik terhadap mitra perdagangan.
Secara matematis, indeks tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

Dimana:
Sit - represents the nominal exchange rate index of the home currency at time t in
terms of an index of the ith countries currencies. (Relative to the base period)
wi - is the appropriate trade weight assigned to currency i.
Pit - represents an index of price relatives between Trinidad and Tobago and its i
trading partners at time t th. (Relative to the same base period as Sit).

REER bisa dihasilkan dari sejumlah perubahan dalam indeks yang kemudian
memiliki dua dampak, yaitu exchange rate effect (ER) yang diukur dari indeks NEER
dan inflation effect (IR), yang diukur dari indeks EIR. Indeks REER menunjukkan
kuat atau tidaknya daya saing.

4.6.2 Unit Labour Cost


Bank Sentral telah melakukan ekspansi indikator daya saing termasuk indeks
upah buruh di Trinidad dan Tobago yang merupakan pelengkap terhadap
pengukuran yang sudah ada. Lebih jauh lagi, indeks upah buruh ini akan menjadi
bagian dari landscape statistik Bank dan akan diperhitungkan tiap tiga bulanan.
Upah buruh juga menunjukkan indikasi tekanan biaya dalam sejumlah sektor atau
57
perekonomian. Lebih spesifik, upah buruh dapat didefinisikan sebagai rasio
kompensasi terhadap produktivitas buruh dan dapat dituliskan seperti di bawah ini:
ULCn = Wn / (Q / H)
Dimana:
Wn = represents the nominal wage rate,
Q = represents domestic production
H = denotes the number of hours worked
(Q / H) is equal to labour productivity (P)

Dengan demikian, ULCn secara langsung berhubungan dengan tingkat upah


nominal dan juga terhadap produktivitas buruh.

4.6.3 Relative Unit Labour Cost


Pergerakan indeks ULC di Trinidad dan Tobago dalam menghitung daya
saing internasional hanya terbatas karena daya saing merupakan konsep yang
relatif. Maka dari itu pengukuran ULC mencakup upah buruh (sektor manufaktur)
mitra perdagangan dan juga menggunakan metode kedua, indeks rata-rata gaji per
minggu yang dibagi dengan indeks produktivitas, pengukuran ini disebut dengan
Relative Unit Labour Cost (RULC). Tingginya indeks RULC mengindikasikan
rendahnya daya saing internasional terhadap mitra perdagangan. Bagi Trinidad dan
Tobago, indeks RULC dikalkulasikan sebagai rasio indeks upah buruh terhadap
rata-rata bobot upah buruh untuk mitra perdagangan besar.

where the numerator represents the unit labour cost index for Trinidad and Tobago
at time t and the denominator represents a geometric weighted average of the unit
labour cost indices of the jth partners at time t. Wj is the trade weights assigned to
the jth trading partners.

58
Bobot ini sama dengan total bobot perdagangan yang digunakan pada
penghitungan REER. Untuk perbandingan upah buruh internasional dalam kasus
Trinidad dan Tobago lebih baik dikonversi dalam US dollar, dalam hal indeks nilai
tukar. Keterbatasan data merupakan suatu hal yang menjadi tandatangan dalam
melakukan perhitungan indeks RULC. Bagi sejumlah negara, data tersebut tidak
tersedia, contohnya data yang didapatkan tidak reliabel bagi dua komponen indeks
tersebut. Rendahnya data frekuensi (tahunan) dipisahkan menjadi data frekuensi
bulanan menggunakan teknis Lisman dan Sandee yang menciptakan serangkaian
data tiga bulanan.
.
4.6.4 Terms-of-Trade
The term-of-trade didefinisikan sebagai rasio harga ekspor terhadap impor,
menggunakan definisi konvensional pendekatan net barter. Harga ekspor dan impor
untuk Trinidad dan Tobago tidak dihitung secara langsung, maka rata-rata nilai
dihitung oleh CSO sebagai yang terwakili. Maka dari itu indeks terms of trade
dihitung dengan membagi indeks rata-rata nilai ekspor dengan indeks rata-rata nilai
impor. Hal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

Dimana
x m
P t and P t represent the index of average unit values of export and imports,
respectively at time t and relative to a base year, (1995).

Rasio ini bisa menggambarkan kemungkinan peningkatan dalam kompetisi


internasional. Pendekatan net barter mengasumsikan bahwa dampak kondisi pasar
yang berubah-ubah dalam suatu negara dipengaruhi tidak hanya oleh harga tetapi
juga oleh volume. Pengaruh perubahan volume perdagangan dapat dilihat dari
pendekatan pendapatan yang mengalikan indeks terms of trade (net barter) dengan
volume perdagangan.

59
4.6.5 Composite Indices
Pada beberapa waktu belakangan sejumlah institusi dan negara telah
mengembangkan composite indices (indeks gabungan) dengan pengukuran atau
penghitungan daya saing nasional yang lebih luas. Penghitungan yang paling
populer adalah yang dibuat oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) dan dipublikasikan di
Laporan Daya Saing Global. Penghitungan tersebut adalah indeks pertumbuhan
daya saing (GCI) dan indeks daya saing mikroekonomi (MIC) atau indeks daya saat
ini (CCI) atau indeks kompetitif bisnis (BCI).
GCI mengukur kapasitas ekonomi nasional untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan selama jangka menengah. Agregasi GCI terdiri dari tiga
komponen utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi untuk jangka
menengah dan panjang, yaitu kapasitas teknologi, kualitas institusi publik dan
kualitas lingkungan makroekonomi.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara survei. Indikator-indikator yang ada
memformulasi indeks teknologi termasuk inovasi (anggaran untuk riset dan
pengembangan, paten dan karakteristik pendaftaran), transfer teknologi (termasuk
investasi asing langsung sebagai sumber teknologi baru) dan teknologi komunikasi
informasi (termasuk akses internet di sekolah, penggunaan ICT dikaitkan dengan
hukum, sambungan telpon dan selukler per kapita dan jumlah komputer per capita).
Indeks kedua, CCI/MIC/BCI dikembangkan oleh Michael Porter dan
didasarkan pada diamond framework dalam daya saing. Indeks ini menekankan
pada fundamental mikroekonomi dan untuk menghitung kondisi yang menentukan
tingkat produktivitas suatu bangsa. Indeks ini juga dikembangkan dengan 2 sub
indikator, yaitu indeks pengalaman perusahaan (company sophistication index) dan
indeks kualitas lingkungan bisnis. Informasi untuk mendapatkannya adalah dari data
survei Executive Opinion Survey. Sejumlah variabel menentukan analisis faktor yang
digunakan untuk menghitung indeks yang dirata-rata dari estimasi BCI. Bobotnya
ditentukan dengan menggunakan koefisien regresi multiple dari sub indeks pada
GDP per kapita.

60
4.7 Daya Saing Nasional
Daya saing nasional dari suatu negara sering dikaitkan dengan beberapa
parameter. Misalnya, daya saing nasional dikaitkan dengan nilai tukar mata uang
dan tingkat suku bunga yang diberlakukan dan anggran pemerintah. Ada juga yang
mengkaitkan daya saing nasional suatu negara dengan jumlah angkatan kerja yang
berlimpah dan murah. Lainnya, mengaitkan daya saing nasional dengan kelimpahan
dan keragaman sumberdaya alam. Atau juga, mengkaitkan daya saing nasional
dengan kebijakan pemerintah dalam pencapaian target ekspor, promosi dagang,
proteksi impor dan subsidi eskpor. Bahkan, ada yang mengkaitkan daya saing
nasional dengan praktek manajemen perusahaan, termasuk didalamnya relasi
antara manajemen dengan pekerja. Singkatnya, terdapat banyak pendekatan yang
diterapkan untuk memahami dan mendefinisikan daya saing nasional. Dari hasil riset
dan studinya terhadap ekonomi negara-negara di dunia, Michael E. Porter, ekonom
kondang dari Harvard University, menyimpulkan bahwa sumber utama peningkatan
daya saing adalah produktivitas

Kualitas Lingkungan
SNI Penguat Daya Saing Bangsa dan rata-rata peningkatan produktivitas.
Lebih jauh lagi, Porter menandaskan bahwa sektor industri lah yang menjadi
pendorong utama daya saing nasional. Melalui sektor industri, sumberdaya manusia,
modal dan kekayaan alam dikelola dan dimanfatkan untuk memproduksi barang/jasa
pada tingkat biaya yang efisien dan menjualnya ke pasar secara kompetitif. Menurut
Porter, ada tiga faktor penentu yang mempengaruhi daya saing suatu negara lihat

61
Faktor-faktor Penentu Daya Saing

Disimpulkan oleh Porter bahwa kelimpahan sumberdaya alam tidak cukup


untuk menciptakan daya saing suatu negara yang berujung pada standar hidup
(living standard) yang tinggi. Sementara, daya saing makroekonomi
(macroeconomic competitiveness) hanya memberikan dukungan terhadap
produktivitas suatu negara. Bagi Porter, produktivitas sepenuhnya tergantung pada
perbaikan kapabilitas mikroekonomi dari suatu negara dan kecanggihan industri
lokal. Jadi, sesungguhnya industrilah yang punya kaitan langsung dalam
menciptakan lapangan pekerjaan, menambah penghasilan pekerja dan berperan
penting dalam mengatasi kemiskinan. Ekonomi suatu negara yang memiliki daya
saing adalah ekonomi yang ditopang dan digerakkan oleh industri yang kuat untuk
melahirkan dari rahimnya perusahaan-perusahaan kelas dunia, yang tidak hanya
mampu menahan gempuran pesaing-pesaing asing di pasar domestik tapi juga
62
mampu melakukan penetrasi dan memenangkan persaingan di pasar-pasar
internasional. Perusahaan-perusahaan inilah yang menjadi ujung tombak dari daya
saing nasional. Sebab, bagaimanapun yang bersaing secara head-to-head dengan
produk asing adalah produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahan ini
di manapun produk-produk tersebut dipasarkan baik di pasar domestik maupun di
pasar luar negeri.
Pada intinya, daya saing nasional sangat tergantung pada produktivitas
perusahaan-perusahaan di berbagai industri dalam memproduksi barang secara
lebih kompetitif. Akan tetapi, peranan pemerintah dalam menumbuhkan daya saing
suatu negara tidak bisa dikesampingkan. Pemerintah memiliki yang peran sangat
penting, utamanya dalam mendesain dan mengimplementasikan berbagai kebijakan
yang menawarkan lingkungan usaha kondusif kepada dunia bisnis. Pemerintah
berperan menciptakan iklim usaha untuk memungkinkan dunia usaha tumbuh kuat
dan bergerak lincah dalam berkompetisi dengan produsen asing. Begitu juga, sektor
publik dan masyarakat harus memposisikan diri dalam memperkuat sektor industri.
Sektor publik diharapkan mampu menyediakan berbagai infrastruktur dan
pengelolaannya serta tingkat pelayanan yang cepat, akurat dan murah kepada
sektor industri.
Sementara itu, masyarakat berperan menyerap produk yang dihasilkan oleh
sektor industri melalui kekuatan daya beli dan pola konsumsi yang dimiliki.
Masyarakat juga diharapkan menmbangun dan memperkuat aspek budaya
(termasuk pendidikan) dan mentalitas/spiritual para warganya agar dapat melahirkan
tenaga-tenaga kerja yang trampil, ulet dan berintegritas bagi sektor industri. Dari
perspektif ini menjadi jelas bahwa membangun daya saing nasional suatu negara
bukanlah persoalan sederhana. Di sana mutlak perlu ditunjang oleh industrial
structure yang tangguh. Yakni, suatu bagunan industri yang digerakan oleh
perusahaan-perusahaan yang kokoh dalam sumber pendanan/keuangan, ditopang
oleh sumberdaya manusia kompeten, bergerak lincah dan cepat karena didukung
kebijakan pemerintah yang kondusif terhadap lingkungan usaha, memiliki
kemudahan akses bahan baku, menguasai teknologi secara handal, kuat dalam
jaringan distribusi, mampu mengembangkan penelitian dan pengembangan
terdepan untuk menelurkan produk inovatif, dan terakhir memiliki kepedulian
terhadap kelangsungan lingkungan hidup (sustainable development).
63
Mencermati kondisi Indonesia, dalam presentasi Improving Indonesia’s
Competitiveness kepada Presiden RI di Boston pada 28 September 2009, Porter
memberi beberapa catatan mengenai kekuatan dan kelemahan lingkungan bisnis
Indonesia. Kekuatan Indonesia pertama-tama terletak pada tersedianya jumlah
angkatan kerja yang besar dengan tingkat kemampuan dasar yang kuat. Kedua,
terlaksananya program reformasi hukum/perundang-undangan dan peraturan yang
menciptakan iklim usaha kondusif bagi kalangan dunia usaha. Ketiga, terciptanya
sistem keuangan solid yang menjamin ketersedian cadangan devisa memadai untuk
menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya mata uang
dari negara-negara kuat. Keempat, ketersedian Indonesia untuk terus membuka
pasarnya bagi perdagangan bebas dan investasi luar negeri. Kelima, tersedianya
ruang gerak yang luas bagi pembangunan cluster, khususnya di sektor- sektor
industri berbasis sumberdaya alam yang secara berlimpah dimiliki Indonesia. Hal
terakhir ini bisa memberikan keunggulan komparatif (comparative adventage) bagi
Indonesia.
Sementara itu, Porter mencatat setidaknya ada 10 hal yang harus mendapat
perhatian dan segera dibenahi serta diperbaiki oleh Indonesia, yakni:
o Infrastruktur komunikasi dan logistik.
o Krisis dalam menyediakan pasokan listrik yang andal.
o Kekakuan pasar tenaga kerja.
o Keruwetan dan kompleksitas regulasi dan prosedur kepabean.
o Sistem keuangan yang masih kurang menyentuh sektor riil.
o Tingkat mutu pendidikan.
o Kepastian hukum yang kurang memadai bagi investor, khususnya di tingkat
provinsi
o Dominasi kelompok usaha besar (konglomerat) dan BUMN.
o Pembangunan dan kolaborasi industri cluster yang masih lemah.
o Kekurangan tenaga kerja di tingkat ahli dan lemahnya pengembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan.

64
Dalam Gambar Upaya Perbaikan Lingkungan Usaha, diperlihatkan
bagaimana skema perbaikan lingkungan dunia usaha. Skema ini merupakan
pendekatan generik yang ditawarkan Porter untuk memperbaikan lingkungan usaha
di Indonesia, khususnya terkait dengan 10 isu yang telah diajukan. Sehubungan
dengan hal tersebut, Indonesia harus mampu memperbaiki lingkungan bisnis
menjadi lebih kondusif bagi investor baik dalam negeri ataupun luar negeri agar
terjadi kegiatan riil. Dalam persaingan industri/produk, tiga persyaratan umum harus
dipenuhi agar dapat keluar menjadi pemenang persaingan, yaitu:
o Menghasilkan suatu barang atau jasa dengan tetap memperhatikan mutu pada
tingkat biaya yang paling efisien sehingga bisa bersaing dalam harga jualnya.
o Diferensiasi dalam pengertian bahwa produk yang dihasilkan mempunyai
keunikan tersendiri dan mampu secara jitu mengkomunikasikan mutu dan harga
produk untuk membangun dan menciptakan superior perceived value di benak
konsumen.
o Cluster development dengan fokus untuk mengerjakan sesuatu bidang atau
produk tertentu yang berbasiskan kelimpahan sumberdaya yang dimiliki yang
mempunyai keunggulan komparative ataupun kompetitif sehingga menghasilkan
produk yang

65
6. berbeda dan “superior perceived value”.

Laporan lengkap daya saing Indonesia menurut GCI lihat Tabel. Indek Kompetitif
Global Indonesia 2010-2011.

Kenaikan peringkat daya saing Indonesia ini terutama disebabkan oleh


meningkatnya peringkat pada indikator macroeconomic environment (dari peringkat
52 menjadi 34), health and primary education (dari 82 menjadi 62), quality of overall
infrastructure (dari 96 menjadi 90), intellectual property protection (dari 67 menjadi
58), national savings rate (dari 40 menjadi 16), effectiveness of anti-monopoly policy

66
(dari 35 menjadi 30), dan extent and effect of taxation (dari 22 menjadi 17). Begitu
pula, beberapa indikator pada pilar kepuasan bisnis (business sophistication) juga
meningkat, yaitu local supplier quantity (dari 50 menjadi 43), value chain breadth
(dari 35 menjadi 26), control of international distribution (dari 39 menjadi 33), dan
production process sophistication (dari 60 menjadi 52).

Dalam rangka mendorong daya saing nasional, Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin Indonesia) menyimpulkan dalam Roadmap Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2010-2025 bahwa terdapat sepuluh klaster industri yang akan
mampu menjadi industri unggulan Indonesia. Sepuluh klaster tersebut, oleh Kadin
dibagi dalam tiga kelompok klaster, yakni empat klaster pertama merupakan
kumpulan industri unggulan pendorong pertumbuhan ekonomi. Adapun industri
tersebut meliputi industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil
dan alas kaki, industri elektronikadan komponen elektronika, terakhir industri alat
angkut dan komponen otomotif. Lantas, pada tiga klaster yang kedua adalah industri
unggulan yang masih memerlukan pendalaman pada struktur industrinya, yang
meliputi industri alat telekomunikasi dan informatika (industri ICT), industri logam
dasar dan mesin dan industri petrokimia. Sementara tiga klaster yang ketiga ialah
industri unggulan sumber penerima devisa, yang terdiri dari industri pengolahan
hasil pertanian, peternakan dan kehutanan, industri pengolahan hasil laut dan
kemaritiman serta industri berbasis tradisi dan budaya. Fokus pada pengembangan
dan pembangunan sepuluh klaster industri di atas diharapkan menjadi tulang
punggung dan mesin mendorong bagi daya saing nasional.

Selain memperkuat daya saing melalui pembangunan kesepuluh klaster


industri tersebut, Indonesia juga harus memperhatikan kekuatan dan potensi
ekonomi daerah yang memiliki sumberdaya alam berlimpah. Sangat disayangkan,
bahwa sejauh ini penggalian dan pemanfatan potensi daerah masih belum digarap
secara optimal. Padahal ekonomi daerah menyimpan kekuatan yang luar biasa
besar untuk memberikan kontribusi bagi daya saing nasional. Pemanfaatan jagung
yang dilakukan oleh Provinsi Gorontalo atau Bali dengan pariwisatanya adalah
contoh sukses pengembangan ekonomi berbasiskan daerah. Dalam hal ini, perlu
ditingkatkan sinergi dan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah dalam
pembangunan dan pengembangan ekonomi daerah.

67
Dukungan pembiayan terhadap industri juga menjadi perhatian dalam
peningkatan daya saing. Menurut penilaian pelaku usaha, perhatian perbankan
terhadap sektor industri tergolong minim sehinggga pembiayaan untuk revitalisasi
permesinan/pabrik sangat sulit diperoleh. Padahal revitalisasi sangat penting
dilakukan untuk meningkat daya saing karena banyak diantara industri nasional
yang mesin-mesinnya sudah tua. Di sini pihak perbankan perlu lebih memberi
prioritas pendanaan untuk permodalan revitalisasi permesinan/pabrik bagi dunia
usaha. Perbankan juga perlu didorong untuk lebih aktif membantu dunia usaha
dalam hal pembiayaan ekspor. Salah satu pilihan dalam mendukung hal ini adalah
pendirian bank khusus industri (contohnya seperti BEI untuk pembiayaan ekspor),
yang diharapkan bisa memahami risiko dan kondisi perdagangan ekspor yang
dilakukan pelaku industri. Dengan demikian, ada kesamaan persepsi antara
perbankan dan pelaku industri. Pembenahan sektor infrastruktur juga menjadi salah
satu kunci utama peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks ketersedian
infrastruktur ini sektor industri banyak dihadapkan pada persoalan yang kompleks,
utamanya akses jalan dari/ke pelabuhan dan kawasan industri dan jaminan pasokan
listrik.

Upaya percepatan realisasi infrastruktur yang sempat tertunda harus segera


diselesaikan, misalnya percepatan program pembangunan proyek listrik 10.000MW.
Mengarahkan kebijakan energi nasional bagi kepentingan industri domestik juga
perlu mendapat penekanan. Biarpun saat ini telah menjadi net importir minyak,
namun Indonesia masih memiliki cadangan energi dari batu bara dan gas yang
besar. Sayangnya, sebagian besar energi yang masih ada ini belum diarahkanuntuk
kepentingan memperkuat industri dalam negeri. Baik batu bara maupun gas bumi
lebih banyak diekspor ke luar. Ironisnya, industriindustri asing yang dihidupkan oleh
gas dan batu bara dari Indonesia ini memproduksi berbagai produk untuk kemudian
menjual produk-produk tersebut ke pasar Indonesia dengan tingkat kompetitif yang
tinggi.
Di sini dibutuhkan kebijakan energi yang memihak industri nasional dalam
kemudahan akses atas ketersedian energi agar dapat memproduksi produk dengan
tingkat yang lebih kompetitif dengan produk yang dihasilkan oleh negara importir
energi dari Indonesia. Pengelolaan birokrasi, utamanya terkait dengan perizinan dan

68
persetujuan yang dibutuhkan para pelaku industri, juga perlu ditingkatkan efisiensi
dan efektivitasnya. Indonesia dikenal memiliki sistem birokrasi dengan tingkatan
terbanyak dan terkompleks. Ini menjadi lahan subur bagi praktek korupsi, yang
mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi. Meningkatkan kemudahan dan kenyaman
pelayanan birokrasi dalam perizinan menjadi concern penting untuk peningkatan
daya saing nasional.
Pengembangan riset dan teknologi memberi kontribusi signifikan terhadap
peningkatan daya saing nasional. Di sini diperlukan sinkronisasi kebijakan dalam
pengembangan riset dan teknologi dengan fokus dan arah yang sejalan dengan
kebutuhan sektor industri. Perlu juga diberlakukan insentif bagi industri yang
melakukan pengembangan riset dan teknologi guna menarik investasi dengan
teknologi yang lebih maju. Kebijakan insentif ini akan merangsang sektor industri
untuk mengakselerasi proses penguasaan teknologi maju baik lewat kerjasama
dengan lembaga riset dan teknologi nasional maupun internasional.

4.8. Standar untuk Peningkatan Daya Saing

Selain berbagai langkah peningkatan daya saing nasional sebagaiman telah


diutarakan di atas, langkah yang dinilai dan dipandang strateggis dalam
meningkatkan daya saing nasional adalah penerapan standar. Sesungguhnya
banyak produk-produk industri nasional berdaya saing cukup bagus, bahkan mampu
menembus pasar negara maju. Namun, mereka sering kehilangan daya saing
akibat tak adanya standardisasi. Bahkan, banyak di antaranya tidak diizinkan masuk
ke pasar suatu negara karena tidak menerapkan standar. Contoh kasus mengenai
penolakan terhadap produk Indonesia terkait dengan penerapan standar oleh
negara tujuan ekspor sudah banyak terjadi. Misalnya saja, penolakan yang terjadi
pada produk perikanan yang dianggap belum memenuhi persyaratan kesehatan.
Pada bulan Maret 2007, ekspor udang windu dan komoditas perikanan
indonesia sebanyak 16,2 ton (sekitar 1,2 M) ditolak oleh Jepang. Lalu, embargo
yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan CD No7/61/EC sejak tahun 2007 untuk
berbagai produk kekerangan dari Indonesia, sehingga menyebabkan potensi
kerugian bagi pelaku usaha kekerangan sebanyak 188 Milyar. Kasus terbaru adalah
ditolaknya ekspor udang oleh Uni Eropa pada awal Januari 2009. Saat itu, Food

69
Safety Authorithy (FSA) Inggris menuding udang yang diekspor oleh CP Prima
(perusahaan nasional yang bergerak di sektor penambakan udang) mengandung
antibiotik jenis nitrofurans, chloramphenicol, malachite green, dan Vibrio
parahaemolyticus. Standar yang dipersyaratkan oleh negara tujuan produk ekspor
Indonesia menjadi barrir to entry bagi produk-produk nasional tidak hanya di sektor
perikanan sebagaimana disebut di atas, tetapi juga di sektor-sektor lain, seperti
coklat, tektil atau pakaian, kerajinan rotan dan sebagainya. Kasus lain adalah
penerapan aturan impor barang-barang yang mengandung bahan kimia oleh
masyarakat Uni Eropa.
Aturan tersebut berupa identifikasi menyangkut Registration, Evaluation,
Authorization, and Restriction of Chemical (REACH). Setiap produk ekspor yang
masuk ke pasar Eropa harus disertai penjelasan lengkap tentang kandungan bahan
kimia ini. Padahal di Indonesia belum ada laboratorium uji melamin dan laboratorium
penguji terdekat adanya di Hong Kong. Sedangkan untuk penyediaan infrastruktur
laboratorium bahan kimia yang bersertifikat juga sulit. Laboratorium untuk pengujian
bahan-bahan kimia harus memiliki sertifikat Good Laboratory Practice dan harus
terkoneksi dengan laboratorium bersertifikat sama dengan yang ada di seluruh
dunia. Akibatnya, sejumlah produk Indonesia gagal masuk ke Uni Eropa, tepatnya
Finlandia, seperti pakaian, tekstil, serta kerajinan tangan. Produk Indonesia tersebut
diketahui menggunakan unsur bahan kimia, tetapi tidak memiliki registrasi REACH.

70
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Daya saing perekonomian Indonesia akan membaik jika semua indikator
makroekonomi menunjukkan kestabilan dan perbaikan, serta adanya keseriusan
pemerintah untuk memberikan jalan bagi perbaikan perekonomian Indonesia.
Seperti terlihat dari hasil penelitian mengenai daya saing di Indonesia menggunakan
variabel yang merupakan variabel makroekonomi. Bahwa masih ada beberapa
bagian yang perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian pemerintah Indonesia.
Terdapat berbagai cara untuk mengukur daya saing, tetapi perlu dilihat indikator
mana saja yang dapat digunakan untuk meneliti daya saing dan ketahanan pada
kajian berikutnya. Perlu dibentuk industrial based minded agar pemerintah lebih
memperhatikan lingkup mikro, terutama jenis usaha yang diartikan oleh Peraturan
Presiden No. 54 tahun 2010, yang terdiri dari empat jenis yaitu barang, jasa lainnya,
konsultansi dan konstruksi.
Diperlukan kemandirian fiskal, menciptakan iklim investasi asing yang baik
dan perbaikan infrastruktur untuk mengurangi high cost economy dan menciptakan
daya saing dan ketahanan sektor – sektor yang disebutkan dalam Peraturan
Presiden No. 54 tahun 2010.

5.2 Saran
Melalui penulisan laporan kali ini maka dapat diketahui beberapa cara untuk
mengukur daya saing, terutama dari beberapa kajian yang telah dilakukan untuk
menilai daya saing secara makroekonomi, selain itu juga didapatkan cara untuk
melihat daya saing industri di Indonesia. Maka dari itu, timbullah pemikiran berkaitan
dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, bagaimana kita dapat mengukur
daya saing penyedia barang, jasa lainnya, konstruksi serta konsultansi.
Dimungkinkan ada variabel atau indikator lainnya yang dapat kita jadikan
suatu ukuran dalam menilai daya saing, melalui laporan inilah maka kita bisa
melanjutkan kajian yang lebih spesifik mengenai daya saing dan ketahanan sektor
barang, sektor jasa lainnya, sektor konstruksi dan sektor konsultansi dengan
kaitannya dalam penghadaan di pemerintahan Indonesia.
71
Diperlukan untuk melihat dua sisi yaitu dari sisi mengetahui daya saing
penyedia di Indonesia untuk masuk ke pasar pengadaan barang Internasional, dan
ketahanan penyedia sendiri dalam menerima gempuran penyedia asing yang ikut
serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah Indonesia. Untuk tahun selanjutnya
berdasarkan grand design kajian iklim usaha yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka akan lebih baik difokuskan kepada sektor yang dianggap sudah lebih mampu
bersaing dan memiliki ketahanan untuk dikompetisiskan secara global. Maka
selanjutnya akan dilakukan kajian dari sektor konstruksi dan juga konsultansi.

72
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press
Couloumbis, Theodore, James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional:
Power and Justice. Bandung: Putra Bardin
Curry, Jeffrey Edmund. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. Jakarta: Victory
Jaya Abadi
Djafar, Zainuddin. 2008. Indonesia, ASEAN dan Dinamika Asia Timur: kajian
Perspektif Ekonomi-Politik. Jakarta: Pustaka Jaya
Dougherty, James E and Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of
International Relations. United States: Addison-Wesley Educational
Publishers
Gilpin, Robert. 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey:
Princeton University Press
Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key
Concepts. New York: Routledge
Krugman, P. (1994). Competitiveness: A Dangerous Obsession. Foreign Affairs, Vol.
73,No. 2.
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Todaro, Michael P.. 1997. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga

Majalah dan Jurnal:

Majalah Trust No. 11 tahun VII edisi 11-17 Januari 2010


Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
Economic Review No. 218 Desember 2009
Asian Development Outlook. (2003). Competitiveness in Developing Asia.
Balgobin, R. (2004). Business Climate: An Overview of the Business Climate in
Trinidad and Tobago, Draft Copy. Institute of Business.
73
Bennett, K. (2002). Exchange Rate Regimes and International Competitiveness: The
Caricom Experience.
Clements, Kenneth W. and Yihui Lan (2005). A Stochastic Measure of International
Competitiveness. Business School The University of Western Australia.
Coker, K. (1998). An Historical Review of the Terms of Trade, 1968-1998 for
Trinidad and Tobago. The Balance of Payments of Trinidad and Tobago,
1998.
Colthrust, P. (1997). A New Effective Exchange Rate for Trinidad & Tobago. Mimeo.
Ellis, L. (2001). Measuring the Real Exchange Rate: Pitfalls and Practicalities.
Felipe, J. (2005). A note on Competitiveness, Unit Labor Costs and Growth: Is
“Kaldor’s paradox” A figment of Interpretation? CAMA Working Paper 6/2005.
Henry, C. (2001). Measuring the Competitiveness of the Jamaican Economy.
WorkingPaper.
Keyder, N., Saglam, Y. and Ozturk, M. (2004). International Competitiveness and
Unit Labor Cost Based Competitiveness Index.
Lall, S. (2001). Comparing National Competitive Performance: An Economic
Analysis of World Economic Forum’s Competitiveness Index. Working Paper
No. 61.
Neary, J. Peter (2006). Measurring Competitiveness. University College Dublin and

CEPR

Dokumen Resmi:
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi,
Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas WTO

Situs Resmi:
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gproc_e.htm
http://www.iie.com

74
75

Anda mungkin juga menyukai