Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH STANDARISASI BAHAN OBAT ALAM

STANDARDISASI MUTU EKSTRAK DAUN GEDI ( Abelmoschus manihot


(L.) MEDIK) DAN UJI EFEK ANTIOKSIDAN DENGAN METODE DPPH

OLEH :

NAMA : WISNI DAMAYANTI


NIM : O1A1 16 093
KELAS :C

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat, kasih dan karuniaNya
sehingga makalah ini berjudul ”Standarisasi Bahan Baku“ dapat selesai dengan
lancar. Maksud dari penulisan makalah ini adalah mengkaji lebih dalam tentang
bagaimana penerapan studi observasional dalam pelayanan kefarmasian.
Selama penyusunan makalah ini, penyusun banyak dihadapkan dengan
berbagai kendala, namun atas bantuan dari berbagai pihak akhirnya penyusun
dapat menyelesaikan makalah. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada  pihak-pihak yang telah banyak membantu
membangun gagasan ini terutama dari Dosen Pengampu.
Penulis juga tahu dan sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
agar makalah ini dapat berkembang dengan lebih  baik. Penulis berharap agar
makalah ini dapat bermanfaat dan diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Akhir kata, semoga Allah SWT. selalu memberikan perlindungan-Nya kepada
kita.

Kendari, 9 Juni 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................
Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................
BAB 1 Pendaahuluan.........................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................
C. Tujuan ................................................................................................
D. Manfaat ..................…………………………………………………
BAB 2 Pembahasan.............................................................................................
A. Standarisasi..............................................................................................
B. Standarisasi Simplisia..............................................................................
C. Standarisasi Ekstrak................................................................................
D. Jurnal acuan.............................................................................................
BAB 3 Penutup.................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................
B. Saran...............................................................................................
Daftar pustaka..................................................................................................

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu Negara yang kaya akan keanekaragaman
hayati terutama tumbuh-tumbuhan. Ada lebih dari 30.000 jenis tumbuhan yang
terdapat di bumi Nusantara ini, dan lebih dari 1000 jenis telah diketahui dapat
dimanfaatkan untuk pengobatan. Pada era globalisasi ini obat bahan alam baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri sangat pesat
perkembangannya, dengan demikian agar produk-produk herbal tersebut dapat
terjaga kualitas dan khasiatnya maka diperlukan suatu standarisasi baik pada
bahan baku ataupun dalam bentuk sediaan ekstrak. Beberapa negara baik di
Eropa, Asia, dan Amerika telah menetapkan beberapa standar terhadap bahan
baku produk herbal ini, bahkan WHO juga telah menetapkan standar terhadap
beberapa tanaman yang biasa digunakan sebagi bahan baku obat / produk herbal.
Beberapa contoh jenis standar yang dimaksud adalah BHP (British Herbal
Pharmacopoeia), USP (United States Pharmacopoeia), JSHM (Japanese
Standards For Herbal Medicines), API (The Ayurvedic Pharmacopoeia of India),
WHO's Guidelines For Medicinal Plant Materials.

Melihat jumlah simplisia yang semakin banyak digunakan sebagai bahan


baku dalam pembuatan obat tradisional atau obat bahan alam, maka untuk
menjamin bahwa kualitas herbal sama pada setiap produksinya dan memenuhi
standar minimal harus dilakukan standarisasi terhadap bahan baku tersebut, baik
yang berupa serbuk simplisia maupun yang berbentuk ekstrak. Persyaratan mutu
ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar
spesifik. Dengan standarisasi, pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan
pengawasan serta melindungi konsumen untuk tegaknya trilogi “mutu, keamanan
dan manfaat”. Standarisasi juga menjamin mahwa produk akhir mempunyai nilai
parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan (dirancang dalam formula)
terlebih dahulu.

5
B. Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud standarisasi?
2) Bagaimanakah proses standarisasi simplisia?
3) Bagaimanakah proses standarisasi ekstrak?
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui yang dimaksud dengan standarisasi.
2) Untuk mengetahui proses standarisasi simplisia.
3) Untuk mengetahui proses standarisasi ekstrak.

D. Manfaat
1) Agar Mahasiswa dapat mengetahui mengenai standarisasi.
2) Agar Mahasiswa dapat mengetahui mengenai proses standarisasi simplisia
3) Agar Mahasiswa dapat mengetahui mengenai proses standarisasi ekstrak.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Standarisasi

Standard adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan disusun


berdasarkan konsensus semua pihak terkait, dgn memperhatikan aspek
keselamatan, keamanan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta berdasarkan pengalaman, perkembangan masa kini dan masa
datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Standardisasi adalah proses perumusan, penetapan, dan penerapan serta
revisi standard yang dilaksanakan secara tertib dan melibatkan kerja sama pihak
terkait. Merumuskan standar adalah kegiatan pengumpulan dan pengolahan data
untuk merancang standar sampai tercapai kesepakatan semua pihak yang
berkepentingan. Menetapkan standar adalah menetapkan rancangan standar yang
telah disepakati menjadi SNI (Standar Nasional Indonesia) dengan Surat
Keputusan BSN (Badan Standar Nasional). Menerapkan standar adalah kegiatan
menggunakan standar sesuai SNI.

Serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya


merupakan unsur – unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian
memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi). Tujuan dari standarisasi
adalah konsisteni produk dari batch ke batch, jumlah ekstrak per unit donis,
indikasi adanya kehilangan atau degradasi selama proses produksi, dan mencegah
pemalsuan simplisia.

Keuntungan yang diperoleh konsumen dengan adanya standarisasi adalah


kandungan aktif dalam produk konstan sehingga tujuan terapi tercapai. Sedangkan
keuntungan bagi produsen adalah proses produksi lebih efektif, dipercaya, dan
meminimalkan kesalahan dan kerugian. Selain memiliki keuntungan, dalam
melakukan standarisasi juga ditemukan kendala yaitu, susah dilakukan untuk obat
dengan efek farmakologi tidak terukur misalnya antioksidan, butuh biaya besar.

7
B. Standarisasi Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat,


kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia terdiri dari
simplsia nabati, hewani dan mineral. Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di maksud
eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari selnya atau zat–zat
nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia
hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau
mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum
dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Untuk menjamin
keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus
memenuhi persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia.Standardisasi
simplisia mengacu pada tiga konsep antara lain sebagai berikut:
1. Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu
umum (nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi),
kemurnian, aturan penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi)
2. Simplisia sebagai bahan dan produk siap pakai harus memenuhi trilogi
Quality-Safety-Efficacy
3. Simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang berkontribusi
terhadap respon biologis, harus memiliki spesifikasi kimia yaitu
komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Depkes RI, 1985).

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam


proses standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia
meliputi parameter non spesifik dan spesifik.Parameter nonspesifik lebih
terkait dengan faktor lingkungan dalam pembuatan simplisia sedangkan
parameter spesifik terkait langsung dengan senyawa yang ada di dalam
tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter standardisasi
simplisia sebagai berikut:

1. Kebenaran simplisia

8
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik,
makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan
makroskopik dilakukan dengan menggunakan indera manusia dengan
memeriksa kemurnian dan mutu simplisia dengan mengamati bentuk
dan ciri-ciri luar serta warna dan bau simplisia.Sebaiknya pemeriksaan
mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri anatomi
histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.
2. Parameter non spesifik
Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran
yang disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat,
penetapan kadar abu, kadar air, kadar minyak atsiri, penetapan susut
pengeringan.
3. Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari
simplisia.Uji kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan
kandungan senyawa tertentu dari simplisia.Biasanya dilkukan dengan
analisis kromatografi lapis tipis (Depkes RI, 1985).
Standarisasi simplisia harus dilakukan pada setiap tahap penyiapan
simplisia. Meliputi penyiapan bibi, budidaya sampai dengan proses
pemanenan dan penanganan pasca panen (pengeringan).

Standarisasi dapat dilakukan melalui penerapan teknologi yang


tervalidasi pada proses menyeluruh yang meliputi penyediaan bibit unggul
(pre farm), budi daya tanaman obat (off farm), ekstraksi, formulasi, uji
klinik serta produksi.

1. Pre-Farm
Teknologi produksi benih / bibit unggul tumbuhan obat, secara
konvensional ataupun bioteknologis.
2. On-Farm
Teknologi budidaya tumbuhan obat yang mengacu pada GAP
3. Off-Farm

9
Teknologi panen yang memperhatikan kandungan senyawa aktif
berkhasiat obat maupun parameter kualitas lainnya yang
dipersyaratkan.
a. Teknologi pasca panen / pengolahan yang menghasilkan simplisia
yang memenuhi persyaratan.
b. Teknologi ekstrak standar untuk mendapatkan ekstrak yang
tervalidasi kandungan senyawa aktif.
c. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat pre klinik
yang memenuhi persyaratan validitas (Herbal Terstandar).
d. Teknologi pengujian khasiat dan toksisitas pada tingkat klinik
yang memenuhi persyaratan validitas (Fitofarmaka).

C. Standarisasi Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat


aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang
dibutuhkan sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan
persyaratan yang berlaku.
Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap
batch yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan
pemekatan kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi
secara signifikan volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan
terpenuhi, serta ekstrak yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan
cair , kapsul, tablet, dan lain-lain.
1. Parameter Non Spesifik
a. Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah
pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai

10
konstan, yang dinyatakan dalam porsen. Dalam hal khusus (jika
bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut
organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena
berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka (Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah Pengukuran Susut Pengeringan:
1) Ekstrak diratakan dalam botol timbang hingga setinggi
± 5-10 mm
2) Ekstrak ditimbang sebanyak 1-2 gram dalam botol
timbang yang sebelumnya dipanaskan pada suhu 105°C
selama 30 menit dan telah ditara
3) Masukkan dalam desikator hingga suhu kamar,
kemudian masukkan kedalam ruang pengering,
keringkan pada suhu 105°C hingga bobot tetap
4) Hitung Susut Pengeringan.

b. Bobot Jenis
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang
mengindikasikan spesifikasi ekstrak uji. Parameter ini penting,
karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah serta jenis
komponen atau zat yang larut didalamnya (Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah Pengukuran Bobot Jenis:
1) Hitung bobot piknometer dan bobot air yang baru
dididihkan pada suhu 25°C.
2) Atur suhu ekstrak ± 20°C, masukkan dalam piknometer.
Atur suhu piknometer hingga 25°C, buang kelebihan
ekstrak cair yang ditimbang.
3) Kurangkan bobot piknometer kosong dari berat
piknometer yang telah disini. Bobot jenis ekstrak adalah

11
hasil yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak
dengan bobot air dalam piknometer suhu 25°C
c. Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau
banyaknya air yang diserap dengan tujuan untuk memberikan
batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air
dalam bahan (Depkes RI, 2000).
Menggunakan Metode Titrasi, Destilasi dan Gravimetri.
1) Metode Titrasi
a) Masukkan ± 20 ml metanol P ke labu titrasi
b) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer hingga titik
akhir tercapai
c) Masukkan zat dengan cepat yang telah ditimbang
seksama yang diperkirakan mengandung 10 – 50
mg air kedalam labu titrasi, aduk selama 1 menit
d) Titrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang telah
diketahui kesetaraan airnya
e) Hitung jumlah air dalam mg dengan rumus V × F, V
adalah volume pereaksi Karl Fischer pada titrasi
kedua, F adalah Faktor Kesetaraan air
2) Metode Destilasi

12
a) Masukkan ekstrak yang telah ditimbang seksama
yang mengandung 2-4 ml air kedalam labu kering
b) Masukkan ± 200 ml toluen kedalam labu.
Hubungkan alat. Tuang toluen melalui alat
pendingin. Panaskan labu selama 15 menit
c) Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan
kecepatan ± 2 tetes per detik, hingga sebagian air
tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan
hingga 4 tetes per detik.
d) Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam
pendingin dengan toluen. Lanjutkan penyulingan
selama 5 menit. Dinginkan tabung hingga suhu
kamar.
e) Setelah air dan toluen memisah sempurna, baca
volume air. Hitung kadar air dalam persen. %Kadar
air = (V/W) x 100%
3) Metode Gravimetri

13
1) Masukkan ± 10 gram ekstrak dan timbang dalam
wadah yang telah ditara. Keringkan dalam suhu
105°C selama 5 jam dan ditimbang
2) Lanjutkan pengeringan dan timbang pada jarak 1
jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan
berturut – turut tidak lebih dari 0,25%
d. Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah
abu fisiologik bila simplisia dipijar hingga seluruh unsur organik
hilang. Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh dari sisa
pemijaran (Depkes RI, 2000).
Langkah – Langkah pengukuran kadar abu:
1) Penetapan Kadar Abu
a) Pijarkan krus silikat
b) Gerus ekstrak, timbang seksama 2-3 gram ekstrak
c) Masukkan ekstrak kedalam krus silikat, ratakan
d) Pijarkan perlahan hingga arang habis, dinginkan
lalu timbang
e) Jika arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air
panas
f) Saring melalui kertas saring bebas abu
g) Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus
yang sama
h) Masukkan filtrat kedalam krus, uapkan
i) Pijarkan hingga bobot tetap, timbang
j) Hitung kadar abu terhadap bahan yang dikeringkan
di udara

2) Penetapan Kadar Abu yang tidak larut dalam asam

14
a) Didihkan abu yang diperoleh dari penetapan kadar
abu dalam 25 ml asam sulfat encer P selama 5 menit
b) Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam krus
c) Saring melalui kertas saring bebas abu
d) Cuci dengan air panas
e) Pijarkan hingga bobot tetap, timbang
f) Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam
terhadap bahan yang telah dikeringkan

e. Sisa Pelarut
Menentukan kandungan sisa pelarut tertentu yang mungkin
terdapat dalam ekstrak dengan kromatografi gas.
Langkah – Langkah:
1) Timbang 2 gram ekstrak etanol, larutkan dalam 25 mL air
2) Masukkan dalam labu destilasi
3) Atur suhu destilat 78,5°C
4) Lakukan destilasi hingga selesai
5) Tambahkan aquadest 25 ml, tetapkan bobot jenis cairan pada
suhu 25°C
6) Hitung bobot jenis dan cocokkan pada tabel alkoholmetrik
f. Residu Pestisida
Prinsip dalam metode ini adalah untuk menentukan sisa
kandungan pestisida yang mungkin sajapernah ditambahkan atau
mengkontaminasi pada bahansimplisia pembuatan ekstrak
(Depkes RI, 2000). Tujuannya memberikan jaminan bahwa
ekstrak tidak mengandungpestisida melebihi nilai yang ditetapkan
karena berbahaya(toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
Metode : KLT dan kromatografi gas cair.

15
 Jika kandungan kimia pengganggu analisis yangbesifat non
polar relatif kecil seperti pada ekstrakyang diperoleh
dengan penyari air atau etanolberkadar kurang dari 20%
menggunakan metode KLT secara langsung tanpamelalui
tahap pembersihan lebih dahulu atau menggunakan
kromatografi gas jika tidak terdapatkandungan kimia
dengan unsur N (klorofil, alkaloiddan amina non polar
lain)
 Ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol berkadar
tinggi dan tidak mengandung senyawa nitrogen non polar
bisa menggunakan metode KLT atau kromatografi gas
secaralangsung tanpa pembersihan
 Jika tidak dapat dilakukan karena banyaknya kandungan
kimia pengganggu dapat dilakukan pengujian sesuai
metode baku.
 Agar memudahkan penelusuran kembali jika ada masalah
analisis dapat dilakukan penomoran dan perincian terhadap
analisis disesuaikan dengan buku aslinya.
g. Cemaran Mikroba
Prinsip dari metode ini adalah untuk menentukan (identifikasi)
adanya mikroba yang pathogen secara analisis mikrobiologis
( Depkes RI, 2000). Tujuannya adalah memberikan jaminan
bahwa ekstrak tidak mengandungmikroba patogen dan tidak
mengandung mikroba nonpatogen melebihi batas yang ditetapkan
karenaberpengaruh terhadap kestabilan ekstrak dan
berbahaya(toksik) bagi kesehatan (Depkes RI, 2000).
MetodeALT dan uji nilai duga terdekat (MPN) coliform.
 ALT (Angka Lempeng Total) digunakan untuk mengetahui
jumlah mikrobayang ada pada suatu sampel. Uji Angka
Lempeng Total (ALT) dan lebihtepatnya ALT aerob mesofil

16
setelah cuplikan diinokulasikan pada medialempeng agar
dengan cara tuang dan diinkubasi pada suhu yang sesuai.
o Media yang digunakan :PCA (Plate Count Agar)
o Pereaksi yang digunakan :PDF (Pepton Dilution Fluid),
FCDSLP (Fluid Casein Digest Soy Lecihitin
Polysorbate), Parafin cair (Minyak mineral), Tween 80
dan 20.
o Peralatan khusus :Stomacher (blender) dan Alat hitung
koloni
Langkah-langkah :
1. Siapkan 5 tabung atau lebih yang telah diisi dengan 9 ml
pengenceran PDF.
2. Hasil homogenisasi dipipet pengenceran 10-1 sebanyak 1 ml
ke dalam tabung yang berisi pengenceran PDF pertama
hingga pengenceran 10-2 , dikocok hingga homogen.
3. Buat pengenceran selanjutnya hingga 10-6 atau sesuai
dengan yang diperlukan.
4. Setiap pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri dan
dibuat duplo.
5. Tiap cawan petri dituangkan 15-20 ml media PCA (45±1o
C), cawan petri digoyang dan diputar hinggan suspense
tersebar merata.
6. Untuk mengetahui sterilitas media dan pengencer dibuat
uji blangko (kontrol).
7. Satu cawan hanya diisi 1 ml pengenceran dan media agar,
dan cawan yang lain diisi pengencer dan media.
8. Setelah media memadat, cawan petri diinkubasi pada suhu
35-37o C selama 24-48 jam dengan posisi terbalik.
9. Jumlah koloni yang tumbuh diamati dan dihitung.

17
 Uji Nilai Duga Terdekat (MPN) Coliform
Adalah pertumbuhan bakteri coliform setelah
cuplikandiinokulasikan pada media cair yang sesuai, adanya
reaksi fermentasi dan pembentukan gas di dalam tabung
durham.
o Pereaksi yang digunakan : PDF (Pepton Dilution Fluid),
MCB (Mac Conkey Broth), BGLB (Brilliant Green
Lactose Bile Broth, EMBA (Eosin Methylene Blue Agar),
VRBA (Violet Red Billie Agar), Methyl Red-Voges
Proskauer (MR-VP)Medium, Trypton Broth, Simmon’s
Citrate Agar, Nutrient Agar
o Peralatan :Stomacher atau blender atau cawan mortar, pipet
ukur, tabung durham.
Langkah-langkah:
1. Siapkan 5 tabung reaksi berisi 9 ml PDF.
2. Hasil homogenisasi pada penyiapan dipipet 1 ml
pengenceran 10-1 ke dalam tabung PDF pertama diperoleh
suspense dengan pengenceran 10-2, dikocok sampai
homogen.
3. Dibuat pengenceran selanjutnya hingga 10-6
Uji Prakiran
1) Siapkan 3 tabung berisi 9 ml MCB yang dilengkapi tabung
durham.
2) Tiap tabung dimasukkan 1 ml suspense pengenceran,
kemudian diinkubasi pada suhu 37o C selama 24-48 jam.
3) Setelah 24 jam dicatat dan diamati adanya gas yang
terbentuk didalam tiap tabung, kemudian inkubasi
dilanjutkan hinggan 48 jam dan dicatat tabung-tabung yang
menunjukkan gas positif.
Uji Konfirmasi

18
1) Tabung yang menunjukkan uji prakiraan positif
dipindahkan 1 sengkelit ke dalam tabung berisi 10 ml
BGLB yang telah dilengkapi tabung durham.
2) Seluruh tabung diinkubasi pada suhu 37o C selama 24-48
jam, dilakukan pengamatan terhadap pembentukan gas.
3) Jumlah tabung yang positif gas dicatat dan hasil
pengamatan tersebut dirujuk ke table Nilai Duga Terdekat
(NDT)/ Minimal Presumtif Number (MPN), angka yang
diperoleh pada table MPN menyatakan jumlah bakteri
coliform dalam tiap gram.
h. Cemaran Kapang, Khamir dan aflatoksin
Prinsip dari metode ini adalah menentukan adanya jamur secara
mikrobiologis dan adanya aflatoksin dengan KLT (Depkes RI,
2000). Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak
mengandung cemaran jamur melebihi batas yang ditetapkan
karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan aflatoksin yang
berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2000)
a. Uji Angka Kapang dan Khamir
Adalah pertumbuhan kapang dan khamir setelahdiinokulasikan
pada media yang sesuai dandiinkubasikan pada suhu 20-25ºC.
o Pereaksi/Media Khusus: Potato Dextrose Agar (PDA),
Czapek Dox Agar (CDA) atau Malt Agar, Air suling Agar
0,05% (ASA), Kloramfenikol 100 mg/liter media.
o Peralatan : Lemari aseptic, Stomacher atau blender, Pipet
ukur mulut lebar.
Langkah-langkah:
1. Siapkan 3 buah tabung yang masing-masing telah diisi 9
ml ASA.
2. Dipipet 1 ml pengenceran 10-1 ke dalam tabung ASA
pertama hinggan diperoleh pengenceran 10-2 , dan dikocok

19
sampai homogen, dibuat pengenceran selanjutnya hingga
10-4.
3. Dari masing-masing pengenceran dipipet 0,5 ml,
dituangkan pada permukaan PDA, segera digoyang sambil
diputar agar suspense tersebar merata dan dibuat duplo.
4. Untuk mengetahui sterilitas media dan pengenceran,
dilakukan uji blangko, ke dalam satu cawan petri
dituangkan media dan dibiarkan memadat.
5. Ke dalam cawan petri lainnya dituangkan media dan
pengencer, kemudian dibiarkan memadat. Seluruh cawan
petri diinkubasi pada suhu 20-25o C selama 5-7 hari.
6. Sesudah 5 hari diinkubasi, dicatat jumlah koloni jamur
yang tumbuh, pengamatan terakhir pada inkubasi 7 hari.
b. Uji Cemaran Aflatoksin
Pemisahan isolat aflatoksin secara kromatografilapis tipis
o Pereaksi : Media dan pengenceran Media Yeast
ExtractSucrose Broth (YES)
o Peralatan : Lemari aseptic, Lampu Ultra Violet, Mikropipet
10 ml
Langkah-langkah:
1. Kultur aspergillus flavus hasil isolate dan identifikasi dari
ekstrak diinokulasikan pada permukaan media YES.
2. Tabung diinokulasikan pada suhu 25o C selama satu minggu
dalam posisi miring untuk mendapatkan permukaan yang luas.
Biakan diautoklaf pada suhu 121o C selama 15 menit, biakan
dibiarkan sampai dingin.
3. Ambil media biakan menggunakan pipet Pasteur dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kecil atau vial.
c. Kromatografi Lapis Tipis
o Lempeng : Silika gel (Lempeng pralapis), Kiesel gel 60,
Merck

20
o Baku Aflatoksin :Merupakan campuran siap pakai terdiri
dari 0,5 ug, Aflatoksin B1 ; 1,5ug, Aflatoksin B2 ; 5,0 ug,
Aflatoksin G1 ; 1,5 ug, Aflatoksin G2 dalamlarutan
campuran benzene : acetonitril (98:2) (Sigma
ChemicalCompany)
o Eluen :Campuran kloroform : aseton : n-heksan (85:15:20)
o Jarak rambat : 10 cm
o Penampak bercak: Bercak berwarna biru atau hijau
kebiruan setelah lempeng diletakkandibawah cahaya
ultraviolet (366 nm), menandakan aflatoksin positif.
4. Parameter Spesifik
a. Identitas
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Deskripsi tata nama:
1) Nama Ekstrak (generik, dagang, paten)
2) Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
3) Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,)
4) Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa
tertentu yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu.
Parameter identitas ekstrak mempunyai tujuan tertentu untuk
memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa
identitas (Depkes RI, 2000).
b. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan
bentuk, warna, bau, rasa menggunakan panca indera dengan tujuan
pengenalan awal yang sederhana dan seobyektif mungkin (Depkes
RI, 2000).
c. Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah
kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar

21
sari ditetapkan sebagai parameter uji bahan baku obat tradisional
karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari simplisia
akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas
farmakodinamik simplisia tersebut (Depkes RI,1995).
d. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan
gambaran awal komponen kandungan kimia berdasarkan pola
kromatogram kemudian dibandingkan dengan data baku yang
ditetapkan terlebih dahulu (Depkes RI, 2000).

D. Jurnal Acuan

1) Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan standarisasi ekstrak daun
gedi yang mengandung antioksidan berdasarkan parameter spesifik dan
non spesifik. Parameter spesifik meliputi penetapan organoleptik ekstrak,
analisis kandungan flavonoid total dan penetepan kadar senyawa terlarut
dalam pelarut tertentu. Sementara itu, parameter non spesifik yang diamati
adalah parameter kadar air, parameter kadar abu, ,penentuan total bakteri
dan kapang, penentuan batas logam timbale (Pb)

2) Metode penelitian
 Alat penelitian

22
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sentrifuse,
magnetik strirer, beaker glass, oven, blender, neraca analitis dan Kertas
saring Whatman
 Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gedi yaitu
ekstrak daun gedi, bahan organic, bahan garam, pelarut
 Metode penelitian
 Pembuatan Ekstrak Daun gedi diambil pada pagi hari yaitu daun
yang kelima dari pucuk hingga ke bawah yang masih hijau, dipetik
secara langsung dengan tangan. Daun yang telah dikumpulkan dari
ketiga daerah, yakni daerah Makassar, Palu, dan Gorontalo masing-
masing disortasi basah atau dicuci dengan air mengalir, kemudian
dikeringkan. Daun yag telah kering disortasi kering dan diserbukkan.
Serbuk daun gedi diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi
dan infundasi. Mula-mula 800 g serbuk daun gedi dimaserasi dengan
pelarut etanol 70% dan 96% selama 3x24 jam pada wadah kaca yang
berbeda hingga 1- 3 cm di atas serbuk. Filtrat dikumpulkan lalu
diuapkan dengan rotavapor hingga diperoleh ekstrak kental etanol
70% dan 96%. Selain itu, dibuat infusa dari daun gedi dengan
menimbang sebanyak 500 gram serbuk daun gedi, kemudian
dibasahkan dengan 5000 ml air suling di dalam panci. Pemanasan
dilakukan pada suhu 90°C selama 15 menit sambil sesekali diaduk.
Infus disekai sewaktu masih panas melalui kain flannel dan untuk
mencukupi volumenya, ditambahkan air mendidih melalui ampasnya.
Kemudian dikeringkan secara freeze drying.

 Hasil dan Pembahasan


 Parameter spesifik:
1. Parameter Organoleptik
Standardisasi merupakan proses penjaminan produk akhir (obat, ekstrak,
atau produk ekstrak) agar mempunyai nilai parameter tertentu yang
konstan dan ditetapkan terlebih dahulu. Untuk menjamin mutu dari

23
ekstrak tanaman obat, perlu dilakukan penetapan standar mutu spesifik
dan non spesifik agar nantinya ekstrak terstandar dapat digunakan
sebagai obat yang mengandung kadar senyawa aktif yang konstan dan
dapat dipertanggung jawabkan.
Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh data seperti pada tabel 1.
Parameter organoleptik ekstrak bertujuan memberikan pengenalan
awalekstrak secara objektif berupa bentuk, warna, bau, dan rasa. Data ini
juga dapat digunakan sebagai dasar untuk menguji simplisia secara fisis
selama penyimpanan yang dapat mempengaruhi khasiatnya
2. Penentuan Kadar Senyawa Terlarut Dalam Pelarut Etanol dan Air
Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu bertujuan memberikan
gambaran awal jumlah kandungan senyawa yang dapat diekstraksi.
Penentuan parameter ini dilakukan secara gravimetrik dan
mempersyaratkan untuk menggunakan dua pelarut, yaitu pelarut air dan
etanol. Kedua pelarut ini dan campuran keduanya merupakan cairan
pelarut yang diperbolehkan dan memenuhi syarat kefarmasian
(pharmaceutical grade). Pelarut air dimaksudkan untuk melarutkan
senyawa polar dan etanol untuk melarutkan senyawa kurang polar yang
terdapat dalam ekstrak. Pada penelitian ini persentase kadar senyawa
terlarut dalam air dan persentase kadar senyawa terlarut dalam etanol
pada ekstrak daun gedi
3. Penentuan Kadar Air
Untuk penentuan kadar air digunakan metode gravimetrik, yang pada
prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahan dengan jalan pemanasan
pada suhu 1050C, kemudian menimbang bahan sampai berat konstan.
Pada penelitian ini persentase kadar air ekstrak daun gedi dapat dilihat
pada tabel 3. Pada penelitian ini, persentase kadar air dalam ekstrak daun
gedi tergolong memenuhi syarat . Menurut literatur, kadar air dalam
ekstrak tidak boleh lebih dari 10%. Hal ini bertujuan untuk menghindari
cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak
 Parameter non spesifik.
1. Penetapan kadar abu total dan abu tidak larut asam

24
Pada penelitian ini kadar abu total dan abu tidak larut asam dalam ekstrak
daun gedi dapat dilihat pada tabel 1. Abu adalah zat anorganik sisa hasil
pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya
tergantung pada macam bahan dan carapengabuannya. Kadar abu ada
hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam
suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu :
1. Garam-garam organik, misalnya garam dari asam malat, oksalat,
asetat, pektat, dan lain-lain
2. Garam-garam anorganik, misalnya fosfat, karbonat, klorida, sulfat
nitrat dan logam alkali. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang
mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat
organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk
aslinya adalah sangat sulit. Oleh karenanya biasanya dilakukan dengan
menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal
dengan pengabuan (Sudarmadji, 1986). Penentuan kadar abu total dapat
digunakan untuk berbagai tujuan antara lain:
1. menentukan baik tidaknya suatu pengolahan,
2. mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan
3. penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan.
Data kadar abu total dan abu tidak larut dalam asam yang terdapat pada
ekstrak daun gedi dapat dilihat pada tabel 3. Besarnya kadar abu total
dalam setiap ekstrak daun gedi mengindikasikan bahwa ekstrak yang
diperoleh dari proses maserasi dan infudasi banyakmengandung mineral.
Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang rendah
menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain dalam kadar rendah.

2. Cemaran Mikroba dan Kapang

Pengujian cemaran bakteri termasuk salah satu uji untuk syarat kemurnian

ekstrak. Uji ini mencakup penentuan jumlah mikroorganisme yang

diperbolehkan dan untuk menunjukan tidak adanya bakteri tertentu dalam

ekstrak. Menurut SK Dirjen Pom No : 03726/B/SK/VII/89 tentang batasan

25
maksimum mikroba dalam makanan, bahwa batas maksimum cemaran bakteri

dalam makanan yaitu 106 koloni/g dan untuk kapang yaitu 104 koloni/g. Ini

juga sesuai dengan standar uji cemaran mikroba menurut SNI 19-2897-1992,

yaitu standar batas kontaminasi bakteri yang masih dianggap aman untuk

dikonsumsi pada obat tradisional sesuai yang disyaratkan oleh Departemen

Kesehatan RI sebesar < 10 6 CFU/ml dan batas kontaminasi kapang/khamir

yang masih dianggap aman untuk dikonsumsi pada obat tradisional sebesar <

104 CFU/ml (Pratiwi, 2005). Data angka lempeng total bakteri dan kapang

dari masing-masing ekstrak daun gedi dapat dilihat pada tabel 3. Pada infus

daun gedi umumnya mempunyai angka lempeng total bakteri yang tinggi dari

batasan yang dipersyaratkan, sedangkan pada perhitungan angka lempeng

total kapang semua ekstrakmasih tergolong di bawah batas maksimum

cemaran kapang, yakni < 104 CFU/ml.

3. Pencemaran Logam Pb

Penentuan kandungan logam timbal (Pb) pada ekstrak berguna untuk dapat

menjamin bahwa ekstrak tidak mengandung timbal melebihi batas yang

ditetapkan karena bersifat toksik terhadap tubuh. Agar didapatkan data yang

valid maka dianalisa dengan menggunakan metoda spektrofotometri serapan

atom. SK Dirjen POM No 03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum

cemaran logam dalam makanan menyatakan bahwa batas maksimum cemaran

logam timbal pada rempah – rempah sebesar 10 mg/kg atau 0,01 mg/g (Arifin,

2006). Dari data cemaran logam berat yang terdapat pada tabel 3, diperoleh

kadar Pb dalam ekstrak daun gedi tergolong memenuhi syarat, yakni untuk

infus sebesar 0,003 ± 0,02 – 0,005 ± 0,002 mg/g, ekstrak etanol 70% sebesar

0,004 ± 0,001 – 0,007 ± 0,003 mg/g, dan ekstrak etanol 96% sebesar 0,007 ±

26
0,002 – 0,008 ± 0,003 mg/g. Adapun perbedaan kadar Pb dalam tanaman

disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi lingkungan tempat tanaman

tersebut tumbuh, antara lain kondisi udara dan tanah lingkungannya. Timbal

(Pb) adalah logam yang bersifat toksik terhadapa manusia yang berasal dari

tindakan mengkonsumsi makanan, minuman, atau melalui inhalasi dari udara,

debu yang tercemar Pb, kontaklewat kulit, mata, dan melalui parenteral

(Widowati, Astiana dan Raymond, 2008). Timbal adalah salah satu bahan

pencemar utama saat ini di lingkungan. Timbal digunakan sebagai aditif pada

bahan bakar, khususnya bensin karena dapat meningkatkan bilangan oktan.

Partikel timbal yang terdapat dalam asap kendaraan bermotor berukuran 0,02

– 1,00 μm, dengan masa tinggal di udara sekitar 4 – 40 hari. Partikel yang

sangat kecil ini memungkinkan terhirup dan masuk sampai ke paru-paru

(Naria, 2005). Selain itu, kandungan logam dalam tanah sangat berpengaruh

terhadap kandungan logam pada tanaman yang tumbuh di atasnya.Akumulasi

logam dalam tanaman tidak hanya tergantung pada kandungan logam dalam

tanah, tetapi juga tergantung pada unsur kimia tanah, jenis logam, pH tanah,

dan spesies tanaman (Darmono, 1995).

4. Penetapan Kadar Flavonoid Total

Hasil KLT dari masing-masing ekstrak ketika diamati di bawah sinar UV 366

nm terlihat ada beberapa noda yang tampak berfluoresensi dengan latar gelap.

Ketika disemprot dengan larutan 5% AlCl3 dalam etanol, masing-masing noda

semakin lebih jelas ketika diamati di bawah sinar UV 366 nm. Noda

memberikan perubahan warna menjadi lebih terang/ berfluoresensi. Perubahan

ini disebabkan adanya flavonoid. Reaksi antara AlCl 3 dengan golongan

flavonoid membentuk kompleks antara gugus hidroksil dan keton yang

27
bertetangga yang tahan asam ataudengan gugus ortohidroksil yang tidak tahan

asam dan bertetangga seperti pada gambar 1 berikut ini (Markham, 1988).

Gambar 1. Reaksi kompleks flavonoid-AlCl3 Pada penelitian ini penetapan

kadar flavonoid total dilakukan dengan menggunakan metode kolorimetri

aluminium klorida dan diukur sebagai kuersetin, di mana senyawa dihidrolisis

terlebih dahulu. Metode ini merupakan metode yang tercantum dalam

Farmakope Jerman dan German Drug Codex 1986 (Soares et. al., 2003).

Flavonoid dalam tumbuhan sebagian besar terdapat dalam bentuk glikosida.

Hidrolisis dimaksudkan agar ikatan antara gula dan aglikon yang terdapat

dalam senyawa dapat terlepas dari ikatannya. Hidrolisis dilakukan dengan

menggunakan sistem hidrolisis, yaitu larutan 0,5% b/v heksametilentetramina,

aseton, dan larutan HCl 25% dalam air kemudian direfluks (dilakukan

pemanasan sampai mendidih). Hasil hidrolisa kemudian diekstraksi dengan

etil asetat sehingga diperoleh fraksi etilasetat yang nantinya direaksikan

dengan pereaksi AlCl3 dan diukur pada spektrofotometer dengan panjang

gelombang maksimum, yakni 430 nm setelah 30 menit.Serapan maksimum

rutin terhidrolisis yang telahdireaksikan dengan AlCl 3 selama 30 menit berada

pada rentang 420 – 430 nm (Soares et al., 2003). Kadar flavonoid total

dihitung sebagai aglikon (quersetin) dengan menggunakan bahan standar

glikosida flavonoid rutin yang telah dihidrolisis dengan asam menurut German

Drug Codex 1986 (Soares et. al., 2003). Pada analisa kuantitatif, kadar

flavonoid total pada ekstrak daun gedi yang diperoleh secara maserasi

menggunakan pelarut etanol 96% tergolong tinggi, yakni 23,63±0,06 –

41,56±0,12 mg/g ekstrak sebagai kuersetin jika dibandingkan dengan ekstrak

daun gedi lainnya.

28
5. Aktivitas Antioksidan Dengan Metode DPPH

Metode DPPH merupakan metode yang dapat mengukur efektifitas

antioksidan secara cepat, sederhana, dan tidak membutuhkan biaya yang

mahal. DPPH telah digunakan secara luas untuk mengukur kemampuan suatu

senyawa untuk menghambat radikal bebas atau sebagai pendonor hidrogen,

dan juga untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan dalam makanan. Metode

DPPH dapat digunakan pada sampel uji yang berupa cairan maupun padatan.

Elektron bebas dari radikal bebas DPPH memberikan absorpsi yang

maksimum pada panjang gelombang 517 nm dan berwarna ungu. Warna ungu

ini akan berkurang hingga menjadi berwarna kuning pucat akibat elektron

bebas tersebut berpasangan dengan hidrogendari antioksidan membentuk

DPPH-H, seperti pada gambar 10 berikut. Gambar 10.Reduksi DPPH dari

senyawa peredam radikal bebas (Prakash et al, 2001). Dari penelitian yang

dilakukan diperoleh data IC50 ekstrak daun gedi seperti pada tabel 4, bahwa

ekstrak etanol 96% yang berasal dari daerah Palu memiliki IC 50 sebesar 0,575

mg/ml (575 ppm) yang tergolong efektif dalam menghambat 50% radikal

bebas. Ini didasarkan pada penggolongan keefektifan senyawa antioksidan

berdasarkan IC50, yakni jika suatu senyawa memiliki nilai IC 50 200 – 1000

ppm tergolong kurang aktif. Namun, masih bersifat antioksidan dan jika suatu

senyawa memiliki nilai IC50<200 ppm tergolong sangat efektif (Molyneux

2004). Vitamin C yang digunakan sebagai pembanding memiliki nilai IC 50

sebesar 0,018 mg/ml (18 ppm) yang tergolong sangat efektif dalam

menghambat radikal bebas.

3) Kesimpulan

29
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: Ekstrak daun
gedi (Abelmoschus manihot L.) Medik yang dipersyaratkan adalah ekstrak etanol
96%, yakni:
a) Secara organoleptis ekstrak yang berasal dari ketiga daerah tidak berbeda,
yakni berbentuk kental, berwarna hijau kecoklatan, berbau khas, dan berasa
sepat.
b) Kadar rata-rata senyawa yang terlarut dalam air yakni 7,38 ± 0,22 – 8,91±0,21
%b/b.
c) Kadar rata-rata senyawa yang terlarut dalam etanol yakni 21,12 ± 0,16 –
29,44±0,2 %b/b.
d) Kadar air maksimum yang terkandung yakni 8,25± 2,51%b/b.
e) Kadar abu total maksimum yang terkandung yakni 22,00 ± 1,46% b/b.
f) Kadar abu tidak larut asam maksimum yang terkandung yakni 0,50 ± 0,12% b/b.
g) Total cemaran bakteri maksimum yakni 6,7.105 koloni/g; total cemaran kapang
maksimum yakni 6,7.102 koloni/g, sesuai dengan ketentuan SNI 19-2897-1992
dan SK Dirjen POM No: 03726/B/SK/VII/89.
h) Cemaran logam timbal (Pb) sesuai dengan ketentuan SK Dirjen POM No
03725/B/SK/VII/89.
i) Kadar flavonoid total minimum yakni 23,63 ± 0,06 mg/g ekstrak.
Ekstrak daun gedi (Abelmoschus manihot L.) Medik yang diperoleh secara
maserasi dengan pelarut etanol 96% mempunyainilai efektivitas antioksidan
yakni 1,496 – 0,575 mg/ml dan yang berasal dari daerah Palu memiliki
efektivitas antioksidan yang optimal dibandingkan dengan daerah lain yaitu
dengan nilai IC50 sebesar 0,575 mg/ml atau 575 ppm

30
BAB III
KESIMPULAN

1. Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara


pengukuran yang hasilnya merupakan unsur – unsur terkait paradigma mutu
kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan
farmasi).
2. Parameter standarisasi simplisia adalah kebenaran simplisia,
parameter spesifik dan parameter non spesifik.
3. Standarisasi ekstrak meliputi parameter spesifik dan non spesifik
Parameter spesifik meliputi penetapan organoleptik ekstrak, analisis
kandungan flavonoid total dan penetepan kadar senyawa terlarut dalam
pelarut tertentu. Sementara itu, parameter non spesifik yang diamati adalah
parameter kadar air, parameter kadar abu, ,penentuan total bakteri dan
kapang, penentuan batas logam timbale (Pb)
4. Jurnal acuan. STANDARDISASI MUTU EKSTRAK DAUN GEDI (
Abelmoschus manihot (L.) MEDIK) DAN UJI EFEK ANTIOKSIDAN
DENGAN METODE DPPH. Hasil a) Secara organoleptis ekstrak yang berasal
dari ketiga daerah tidak berbeda, yakni berbentuk kental, berwarna hijau kecoklatan,
berbau khas, dan berasa sepat. Kadar rata-rata senyawa yang terlarut dalam air yakni
7,38 ± 0,22 – 8,91±0,21 %b/b. Kadar rata-rata senyawa yang terlarut dalam etanol
yakni 21,12 ± 0,16 – 29,44±0,2 %b/b. Kadar air maksimum yang terkandung yakni
8,25± 2,51%b/b. Kadar abu total maksimum yang terkandung yakni 22,00 ±
1,46%b/b. Kadar abu tidak larut asam maksimum yang terkandung yakni 0,50 ±
0,12%b/b. Total cemaran bakteri maksimum yakni 6,7.10 5 koloni/g; total cemaran
kapang maksimum yakni 6,7.102 koloni/g, sesuai dengan ketentuan SNI 19-2897-
1992 dan SK Dirjen POM No: 03726/B/SK/VII/89. Cemaran logam timbal (Pb)
sesuai dengan ketentuan SK Dirjen POM No 03725/B/SK/VII/89. Kadar flavonoid
total minimum yakni 23,63 ± 0,06 mg/g ekstrak. Ekstrak daun gedi (Abelmoschus
manihot L.) Medik yang diperoleh secara maserasi dengan pelarut etanol 96%
mempunyainilai efektivitas antioksidan yakni 1,496 – 0,575 mg/ml dan yang berasal

31
dari daerah Palu memiliki efektivitas antioksidan yang optimal dibandingkan dengan
daerah lain yaitu dengan nilai IC50 sebesar 0,575 mg/ml atau 575 pp

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI., 2009, Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:


261/MENKES/SK/IV/2009 tentang Farmakope Herbal Indonesia,Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Pine, A.T,D., Gemini A., dan Faisal A., 2015, STANDARDISASI MUTU
EKSTRAK DAUN GEDI ( Abelmoschus manihot (L.) MEDIK) DAN
UJI EFEK ANTIOKSIDAN DENGAN METODE DPPH, JF FIK UINAM
,Vol.3 No.3

32

Anda mungkin juga menyukai