Anda di halaman 1dari 9

SOSIALISASI INFORMASI KEPADA MASYARAKAT

SEBAGAI STRATEGI KOMUNIKASI PUBLIK


PEMERINTAHAN YANG EFEKTIF

Disusun Sebagai Tugas Akhir Semester


Mata Kuliah Psikologi Komunikasi
Dosen Pengampu: Dr. Tony S. Soekrani, M. Si

OLEH
YUNITA INDINABILA
NIM. 2016 91 00 40

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS DR. SOETOMO SURABAYA
2017
I. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia
membutuhkan interaksi, interaksi dapat dilakukan dengan melakukan proses
komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan dari satu orang
kepada orang lain yang dituju dengan menggunakan media tertentu. Media yang
digunakan haruslah dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan komunikasi. Pada
umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan media berupa kata-kata atau
verbal. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti, maka komunikasi
dapat dilakukan dengan komunikasi non verbal. Contoh komunikasi non verbal
adalah dengan menggunakan bahasa tubuh seperti menggelengkan kepala, tersenyum,
mengangkat bahu, dan lain sebagainya. Apabila terjadi kesalah pahaman atau
interpretasi mengenai isi pesan yang disampaikan, maka dapat dikatakan komunikasi
yang terjadi tidak efektif. Dalam proses komunikasi, adanya proses dan kesamaan
makna atau persepsi menjadi sangat penting.
Sama halnya dengan hubungan antar manusia, komunikasi antara institusi
dengan masyarakat disekitar institusi juga sangat penting, terlebih jika institusi
tersebut menciptakan sebuah kebijakan publik. Institusi pemerintahan dikelola oleh
pihak pemerintah dan tunduk pada aturan-aturan negara. Aturan-aturan yang dibuat
oleh negara harus dipatuhi oleh tiap warga negaranya. Ketika peraturan dibuat maka
akan ada sosialisasi dari institusi terkait untuk menyebarluaskan kepada masyarakat.
Sehingga peraturan tersebut dapat diterapkan dan masyarakat diharapkan untuk
mematuhi serta tidak melanggar peraturan tersebut.

II. IDENTIFIKASI MASALAH


Menurut UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 1 ayat 3, kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjutnya, dalam UU
yang sama, pasal 25, pemanfaatan kawasan hutan pelestarian alam dan kawasan
hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan tentang pemanfaatan kawasan hutan sesuai peraturan
perundang-undangan ini yang masih banyak dari masyarakat yang belum
mengetahui. Seperti kasus yang baru-baru ini dialami oleh Didin yang berusia 48
tahun, warga Kampung Rarahan RT 06 RW 08 Desa Cimacan, Kecamatan Cipanas,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang dijerat UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan pasal 78 ayat 5 dan atau ayat 12, serta pasal 50 ayat 3 huruf e dan atau
huruf m. Sehingga Didin dituntut selama 10 tahun penjara oleh pihak polisi hutan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Didin yang sehari-harinya berjualan jagung bakar, diminta oleh seseorang untuk
mencari cacing Sonari sebanyak 400 ekor untuk dijadikan obat. Didin menyanggupi
dan mencari cacing Sonari di sekitar kawasan TNGGP. Selang beberapa hari, rumah
Didin didatangi oleh 10 pria yang mengaku petugas dari kehutanan didampingi aparat
kepolisian. Orang-orang tersebut melakukan penggeledahan di sekitar rumah, ember
berisi 77 cacing Sonari yang tersimpan di bagian belakang rumah dibawa sebagai
barang bukti. Dan sejak 24 Maret 2017, Didin dibawa dan mendekam di penjara.
Hingga diadakannya sidang ke dua pada 22 Mei 2017, pihak dari TNGGP tidak
menghadiri persidangan. Dan pada tanggal itu pula, Didin menjadi tahanan kota dan
wajib lapor. Saat ini penahanan Didin telah ditangguhkan dengan jaminan dari pihak
keluarga dan kuasa hukum jika yang bersangkutan tidak akan melarikan diri dan
tidan akan mengulangi perbuatannya, Didin dapat kembali ke rumah meskipun proses
hukum tetap berlanjut.
Dengan adanya kasus Didin tersebut, terungkap bahwa selama ini belum ada
pemberitahuan dari pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)
mengenai adanya larangan untuk mengambil cacing Sonari di sekitar kawasan
TNGGP. Hal ini diutarakan oleh beberapa warga dan Didin sendiri, lalu sejak kasus
ini terjadi warga sudah tidak berani mengambil cacing Sonari kembali untuk diperjual
belikan padahal aktivitas seperti ini sudah mereka lakukan sejak lama dan turun
temurun. Jadi, selama ini warga tidak mengetahui peraturan yang berlaku di kawasan
TNGGP. Peraturan tersebut mengenai undang-undang tentang penggunaan dan
pengolahan sumber daya alam yang terdapat di dalam hutan.

III. PEMBAHASAN
Dalam kasus Didin yang dituntut tahanan selama 10 tahun karena mengambil
cacing Sonari dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP),
terdapat fakta bahwa selama ini belum ada pemberitahuan dari pihak TNGGP dalam
penyebaran informasi undang-undang yang mengatur penggunaan dan pengolahan
sumber daya alam di dalam hutan. Sehingga warga, termasuk Didin, tidak tahu jika
mengambil cacing Sonari termasuk dalam tindak pelanggaran hukum.
Sosialisasi merupakan salah satu cara untuk menangani permasalah
terhambatnya sebuah informasi kepada masyarakat. Sosialisasi adalah proses
penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari suatu generasi ke
generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog
menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory).

Berdasarkan model komunikasi Harold Lasswell, yang menjadi sumber atau


komunikator (who) adalah pihak pemerintah yaitu pengurus dari Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Komunikator menyampaikan pesan (says what)
berupa informasi-informasi terkait dengan pemanfaatan dan pengolahan sumber daya
alam, termasuk hukum yang mengatur, dalam kawasan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango (TNGGP). Medium (which channel) yang digunakan adalah udara
karena komunikator menyampaikan pesan secara langsung dalam kegiatan
sosialisasi. Komunikan (to whom) dalam sosialisasi tentunya adalah masyarakat yang
tinggal di sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), merekalah
yang kegiatan sehari-harinya berhubungan langsung dengan alam di daerah Gunung
Gede Pangrango seperti bertani.
Dan efek (what effect) yang dihasilkan dari kegiatan sosialisasi ini adalah
masyarakat tahu tentang informasi-informasi mengenai pemanfaatan dan pengolahan
sumber daya alam dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP), tentunya masyarakat juga memahami peraturan yang berlaku sehingga
kasus seperti Didin tidak terulang kembali. Selain itu, sosialisasi pada warga yang
tinggal disekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dapat juga
digunakan sebagai wadah untuk menyampaikan keluh kesah masyarakat kepada
pemerintah terkait dengan pengolahan sumber daya alam yang ada di kawasan
tersebut.
Sosialisasi, sesuai dengan teori komunikasi publik, dapat dilakukan dengan cara
mengumpulkan masyarakat desa di sebuah tempat, misal di balai desa atau rumah
dari salah satu tokoh masyarakat disana. Pilih waktu yang tepat, seperti disaat hari
libur atau jam-jam luang sehingga banyak masyarakat yang dapat ikut dalam
sosialisasi ini. Dalam sosialisasi, pilihlah komunikator, yang menjadi pembicara,
yang menguasai materi dan berpenampilan menarik, dengan kata lain yang memiliki
kredibilitas. Hal ini sesuai dengan tradisi retorika karena komunikator yang baik
adalah komunikator yang mampu berbicara di depan publik dan dipercayai oleh
publik.
Komunikator haruslah menyusun terlebih dahulu hal apa saja yang akan
dibicarakan di depan publik. Komunikator juga harus mengetahui komunikan atau
lawan bicaranya sehingga ia dapat menentukan gaya bahasa apa yang tepat dan
pantas digunakan agar pesan dapat tersampaikan dengan benar. Gaya bahasa disini
termasuk pemilihan kata dan penggunaan bahasa, misal komunikannya hanya bisa
menggunakan bahasa Jawa maka pilih komunikator yang bisa dan menguasai bahasa
Jawa.
Dari hasil sosialisasi tersebut, diharapkan masyarakat memahami tentang
peraturan-peraturan yang berlaku. Sosialisasi akan dikatakan berhasil, jika warga
tidak lagi melakukan hal-hal yang melanggar peraturan. Jika masih terdapat warga
yang melanggar peraturan, berarti masih ada yang salah atau kurang tepat pada
proses sosialisasi tersebut. Maka pihak dari Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP) harus melakukan evaluasi terhadap proses sosialisasi yang telah
dilakukan, dicari tahu apa kekurangan dari sosialisasi sebelumnya. Dan pada
sosialisasi berikutnya, terdapat perbaikan pada cara penyampaian informasi-informasi
agar kesalahan sebelumnya tidak terulang lagi.
Agar hasil sosialisasi ini dapat tetap berhasil maka sosialisasi dilakukan secara
berkala. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak lupa mengenai aturan-aturan yang
berlaku, dan pemberian informasi terbaru yang terkait dengan kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) kepada warga, serta dapat juga sebagai
himbauan kepada warga pendatang di daerah tersebut.
IV. SIMPULAN
Simpulan dalam permasalahan kali ini adalah permasalah yang menimpa Didin
karena ketidaktahuan dari dirinya sendiri mengenai aturan yang berlaku, termasuk
ketidaktahuan dari warga lainnya mengenai aturan perundang-undangan yang
mengatur tentang penggunaan dan pengolahan sumber daya alam di dalam hutan.
Ketidaktahuan warga juga karena tidak adanya pemberitahuan dari pihak pemerintah
mengenai perundang-undangan yang berlaku dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Sehingga cara untuk mengatasi kesalahan komunikasi ini adalah dengan
pemberian sosialisasi kepada warga dengan tujuan agar masyarakat tahu tentang
informasi-informasi mengenai pemanfaatan dan pengolahan sumber daya alam dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), tentunya masyarakat
juga memahami peraturan yang berlaku sehingga kasus seperti Didin tidak terulang
kembali. Selain itu, sosialisasi pada warga yang tinggal disekitar Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dapat juga digunakan sebagai wadah untuk
menyampaikan keluh kesah masyarakat kepada pemerintah terkait dengan
pengolahan sumber daya alam yang ada di kawasan tersebut.
Sosialisasi dilakukan dengan berdasarkan tradisi retorika dan model komunikasi
Harold Lasswell. Tradisi retorika diterapkan pada si komunikator, yaitu komunikator
yang mampu berbicara di depan publik dan dipercayai publik. Komunikator harus
memiliki sisi kredibilitas dan mampu mempersiapkan materi-materi apa saja yang
akan dikemukakan di depan publik. Tak hanya itu, komunikator juga harus mengenal
lawan bicara atau komunikannya, dalam artian komunikator mengetahui budaya dari
komunikannya.
Sosialisasi akan berhasil jika masyarakat sudah tidak lagi melanggar peraturan
dan agar hasil yang didapatkan dapat maksimal maka sosialisasi dapat dilakukan
secara berkala. Selain sebagai pengingat untuk masyarakat, hal ini juga sebagai
himbauan untuk masyarakat yang baru saja pindah ke daerah tersebut.
Lalu setiap selesai diadakan kegiatan sosialisasi, pihak komunikator atau
pengurus dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), harus melakukan
evaluasi. Hal ini dilakukan agar pada sosialisasi berikutnya tidak melakukan
kesalahan yang sama dan memperbaiki cara-cara penyampaian informasi.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Littlejohn, Stephen W. & Karen A. Foss. 2012. Teori Komunikasi Theories Of Human
Communication. Jakarta: Salemba Humanika.

Mufid, Muhamad. 2012. Etika Dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Pace, R. Wayne & Don F. Faules. 2013. Komunikasi Organisasi Strategi


Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Winarno, Budi. 2016. Kebijakan Publik Era Globalisasi Teori, Proses, Dan Studi
Kasus Komparatif. Yogyakarta: Center Of Academic Publishing Service (CAPS).

NON BUKU :
Denzer, Rendy. 2014. Model Komunikasi Menurut Harold D Lasswell,
(https://www.scribd.com/document/239698478/Model-Komunikasi-Menurut-Harol
d-D-Lasswell, diunduh pada 26 Juni 2017).

Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. Tanpa tahun. Tentang TNGGP,


(https://www.gedepangrango.org/tentang-tnggp/2/, diakses pada 28 Juni 2017).

Sudibyo, Triono Wahyu. 2017. Keistimewaan Cacing Sonari Yang Sebabkan Didin
Dibui, (https://news.detik.com/berita/3500357/keistimewaan-cacing-sonari-yang-se
babkan-didin-dibui, diakses pada 24 Juni 2017).

Wikipedia. Tanpa Tahun. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,


(https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Gunung_Gede_Pangrango, diakses
pada 28 Juni 2017).
LAMPIRAN

Kamis 11 Mei 2017, 10:45 WIB


Andi Saputra - detikNews

Ambil Cacing Hutan Dibui, Ini 5 Fakta yang Menjerat Didin

Cianjur - Didin (48) meringkuk di


penjara gara-gara mengambil
cacing hutan. Ia dikenakan UU
Kehutanan karena memungut hasil
hutan tanpa izin.

Berikut 5 fakta kasus tersebut


yang dirangkum detikcom, Kamis
(11/5/2017):

1. Cacing Sonari
Warga Kampung Rarahan, RT 06
RW 08 Desa Cimacan, Kecamatan
Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat memiliki kebiasaan mencari cacing Sonari sejak lama. Cacing hutan untuk
dijadikan obat tradisional untuk tipes dan sakit panas.
"Selama ini aman-aman saja, tapi tiba-tiba muncul kasus ini. Kita juga sebagai warga
kaget apakah mencari cacing Sonari benar-benar dilarang oleh pemerintah," kata Heri
(31) warga setempat menuturkan kepada detikcom, Rabu (10/5/2017) siang.

2. Didin Penjual Jagung


Didin mencari cacing hutan hanya untuk sampingan, menambah nafkah buat
keluarganya. Sehari-hari ia jualan jagung bakar. Istri Didin sendiri, Ela Nurhayati
(43) mengaku, suaminya selama ini tidak pernah mencari cacing Sonari.
"Walau penghasilan tidak menentu, tapi selalu saja ada rezeki untuk keluarga kami.
Suami saya sehari-harinya berjualan jagung bakar dan kopi. Kadang bisa dapat 50
ribu rupiah perhari, kadang dapat lebih kalau lagi ramai, itu sumber nafkah sudah
bisa mencukupi keluarga," kata Ela.
"Karena memang ada orang yang pesan, suami saya menyanggupi. Tapi malah
ditangkap seperti itu," sambung Ela.

3. Ditahan Sejak 24 Maret 2017


Rumah Didin didatangi polisi hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(TNGGP) pada 23 Maret 2017. Keesokannya ia meringkuk di dalam penjara hingga
hari ini.
"Rumahnya didatangi sepuluh orang petugas. Sempat dikepung dan digeledah,
setelah itu dibawa dan sampai saat ini tidak pulang lagi ke rumahnya, ditahan.
Padahal bukan tindak pidana, sifatnya pelanggaran, cukup dibina saja, bukan ditahan
seperti ini," ucap pengacara Didin, Sabang Sirait.
4. Sosialisasi
Versi Didin, larangan mengambil cacing hutan belum ada. Pengacara Didin, Sabang
Sirait menyebut tidak ada sosialisasi yang dilakukan pihak TNGGP terkait larangan
pengambilan Cacing Sonari yang dipersoalkan. Terlebih jika memang ada kesalahan
yang dilakukan warga menurutnya itu harusnya bersifat pelanggaran. TNGGP
membantah hal itu.

5. UU Kehutanan
Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan Balai Besar TNGGP Aden
Mahyar menyebut
penindakan yang
dilakukan lebih kepada
status kawasan yang
dipersoalkan, bukan
terkait aktivitas. Didin
dianggap telah melanggar
Pasal 78 ayat (5) dan atau
ayat (12) Jo Pasal 50 ayat
(3) huruf e dan atau huruf
m UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan.

Pasal 50 ayat 3 huruf e berbunyi:


Setiap orang dilarang menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Adapun Pasal 50 ayat 3 huruf m berbunyi:


Setiap orang dilarang mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan
dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan
hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(asp/rvk)

Sumber :

https://news.detik.com/berita/d-3498250/ambil-cacing-hutan-dibui-ini-5-fakta-yang-
menjerat-didin?single=1&single=1

Anda mungkin juga menyukai