Anda di halaman 1dari 275

ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI DENGAN LEADER PASSIONATE

PERFORMANCE SEBAGAI PEMODERASI PADA BANK


BUMN DI KOTA MEDAN

DISERTASI

OLEH :

ELPERIDA JUNIARNI SINURAT


NIM. 168115009

DOKTOR ILMU MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal : 4 September 2020

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Promotor : Prof. Dr. Prihatin Lumbanraja, S.E., M.Si


Co Promotor : Dr. Yeni Absah, S.E., M.Si
Co Promotor : Dr. Parapat Gultom, MSIE
Penguji : Prof. Dr. Ritha F Dalimunthe, SE, M.Si
Penguji : Prof. Dr. Djoko Setyadi, S.E., M.Sc
Penguji : Dr. Endang Sulistya Rini, M.Si
Penguji : Dr. Beby Karina F Sembiring, M.M

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI DENGAN LEADER PASSIONATE


PERFORMANCE SEBAGAI PEMODERASI PADA BANK
BUMN DI KOTA MEDAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama Mahasiswa : Elperida Juniarni Sinurat

NIM : 168115009

Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Manajemen

Judul Disertasi : Anteseden Kinerja Pegawai dengan Leader


Passionate Performance sebagai Pemoderasi Pada
Bank BUMN di Kota Medan

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Doktor dari Program Studi Doktor (S3) Ilmu Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan
hasil karya saya sendiri.
Adapun pengutipan yang saya lakukan pada bagian-bagian tertentu dari
hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah saya cantumkan
sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan karya
ilmiah.
Apabila kemudian hari ternyata ditemukan atau sebagian Disertasi ini
bukan karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu yang
secara sengaja saya lakukan, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar
akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

Medan, Desember 2020

Elperida Juniarni Sinurat

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan
dibawah ini :

Nama Mahasiswa : Elperida Juniarni Sinurat


NIM : 168115009
Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Manajemen
Jenis Karya : Disertasi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non Exclusive
Royalty Free Right) atas disertasi saya yang berjudul :

ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI DENGAN LEADER PASSIONATE


PERFORMANCE SEBAGAI PEMODERASI PADA BANK
BUMN DI KOTA MEDAN

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan dalam bentuk
database, merawat dan mempublikasikan disertasi saya tanpa meminta izin dari
saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini Saya perbuat dengan sebenarnya.

Dibuat di Medan
Pada Tanggal Desember 2020
Yang menyatakan,

(Elperida Juniarni Sinurat)

Universitas Sumatera Utara


ANTESEDEN KINERJA PEGAWAI DENGAN LEADER PASSIONATE
PERFORMANCE SEBAGAI PEMODERASI PADA BANK
BUMN DI KOTA MEDAN

DISERTASI

Untuk memperoleh Gelar Doktor Dalam Program Ilmu Manajemen Pada


Program Studi Doktor Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sumatera Utara Telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian
Tertutup

Pada Hari : Jumat


Tanggal : 4 September 2020
Pukul : 10.00 WIB

Oleh
Elperida Juniarni Sinurat
168115009

Universitas Sumatera Utara


Anteseden Kinerja Pegawai dengan Leader Passionate Performance sebagai
Pemoderasi Pada Bank BUMN di Kota Medan.

ABSTRAK

Salah satu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja Bank BUMN,
adalah dengan meningkatkan kinerja marketing. Situasi ini membuat Bank
BUMN membuat kebijakan yakni pegawai harus mampu menjadi marketing pada
semua produk-produk perbankan, bahkan tidak jarang pegawai akhirnya memiliki
pekerjaan ganda. Situasi tersebut seringkali menjadi sumber konflik bagi pegawai
marketing khususnya pegawai marketing perempuan, yang mana pegawai
marketing perempuan menjadi tidak kompatibel dalam menjalankan perannya
terhadap keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model kinerja
pegawai marketing perempuan di Bank BUMN, dengan peran leader agar
meminimalkan timbulnya konflik akibat beban kerja yang yang dapat menurunkan
kinerja pegawai marketing perempuan. Penelitian ini dilakukan di empat (4) Bank
BUMN di Kota Medan, sampel penelitian sebesar 215 pegawai. Penelitian ini
bersifat deskriptif dengan teknik sample purposive sampling dan menggunakan
software partial least square (PLS). Hasil penelitian ini menunjukkan (1) WFC
berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Enjoyable Employee
Experience (2) WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Employee
Engagement (3) Employee Engagement berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Enjoyable Employee Experience (4) Enjoyable Employee Experience
berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja pegawai (5) Enjoyable
Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan terhadap Need for
Achievement (6) Need for Achievement berpengaruh negatif namun tidak
signifikan terhadap kinerja pegawai (7) Enjoyable Employee Experience
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja pegawai yang dimoderasi
Leader Passionate Performance (8) WFC berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kinerja pegawai (9) WFC berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Kinerja Pegawai melalui Employee Engagement dan Enjoyable Employee
Experience (10) WFC berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Need
for Achievement melalui Enjoyable Employee Experience (11) WFC berpengaruh
negatif namun tidak signifikan terhadap Kinerja Pegawai melalui Need for
Achievement dan Enjoyable Employee Experience

Kata kunci: Kinerja Pegawai, Work Family Conflict, Enjoyable Employee


Experience, Leader Passionate Performance, Need For Achievement, Employee
Engagement

Universitas Sumatera Utara


Antecedents of Employee Performance with Passionate Performance Leaders as
Moderators at State-Owned Banks in Medan City

ABSTRACT

One of the efforts to maintain and improve the performance of state-owned banks
is by improving marketing performance. This situation has made state-owned
banks make a policy that employees must be able to become marketing for all
banking products, sometimes even employees end up having multiple jobs. This
situation is often a source of conflict for marketing employees, especially women
marketing employees, where female marketing employees are incompatible in
carrying out their roles with the family. The purpose of this research is to build a
model of the performance of female marketing staff at state-owned banks, with the
role of a leader to minimize the occurrence of conflicts due to workloads that can
reduce the production of female marketing employees. This research was
conducted in four (4) state-owned banks in the city of Medan, with a sample of
215 employees. This research is descriptive with purposive sampling technique
and uses partial least square (PLS) software. The results of this study indicate (1)
WFC has a negative but not significant effect on Enjoyable Employee Experience
(2) WFC has a negative and significant impact on Employee Engagement (3)
Employee Engagement has a positive and significant effects on Enjoyable
Employee Experience (4) Enjoyable Employee Experience has a positive and
Significant on employee performance (5) Enjoyable Employee Experience has a
positive and significant effect on Need for Achievement (6) Need for Achievement
has a negative but insignificant impact on employee performance (7) Enjoyable
Employee Experience has a negative and significant effect on employee
performance moderated by Leader Passionate Performance (8) WFC has a
negative and significant effect on employee performance (9) WFC has a positive
and significant effect on Employee Performance through Employee Engagement
and Enjoyable Employee Experience (10) WFC has a positive but not significant
effects on Need for Achievement t through the Enjoyable Employee Experience
(11) WFC has a negative but insignificant effect on Employee Performance
through Need for Achievement and Enjoyable Employee Experience

Keywords: Employee Performance, Work Family Conflict, Enjoyable Employee


Experience, Leader Passionate Performance, Need for Achievement, Employee
Engagement

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Terpujilah Tuhan Allah yang telah melimpahkan kasihNya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul “Anteseden

Kinerja Pegawai dengan Leader Passionate Performance sebagai Pemoderasi

pada Bank BUMN di Kota Medan”. Penyusunan Disertasi ini dilakukan dalam

rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program

Studi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara. Penulis

menyadari bahwa dalam proses penulisan disertasi ini banyak mengalami kendala,

namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan pertolongan

Tuhan sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu

pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ramli, S.E., M.S, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Endang Sulistya Rini, M.Si., selaku Ketua Program Studi Doktor Ilmu

Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

sekaligus selaku komisi pembanding yang telah membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.

4. Ibu Dr. Beby Karina F. Sembiring, M.M., selaku Sekretaris Program Studi

Doktor Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UniversitasSumatera

Utara sekaligus selaku Anggota Komisi Pembanding yang telah membimbing

dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan disertasi ini.

iii

Universitas Sumatera Utara


5. Ibu Prof. Dr. Prihatin Lumbanraja, S.E., M.Si. selaku Promotor, Ibu Dr. Yeni

Absah, S.E., M.Si dan bapak Dr. Parapat Gultom, MSIE, selaku Co. Promotor

dengan sabar, tulus dan ikhlas meluangkan waktunya, tenaga dan pikiran

memberikan bimbingan, motivasi dan arahan yang sangat berharga kepada

kepada penulis selama penyusunan disertasi ini.

6. Ibu Prof. Dr. Ritha Dalimunthe, selaku komisi pembanding yang telah

meluangkan waktu serta memberikan saran dan kritik untuk kesempurnaan

disertasi ini.

7. Prof. Dr. Djoko Setyadi, S.E., M.Sc, selaku komisi pembanding yang telah

memberikan saran dan kritik untuk perbaikan disertasi ini.

8. Ayahanda tercinta St. Marcenius Sinurat (Alm) dan Ibunda tercinta Hotnida

Bungarade br Simbolon yang penulis kasihi dan hormati yang selalu

memberikan doa, kasih sayang, perhatian dan motivasi; Ayahanda Mertua St.

Pangondingan Pospos (Alm) dan Ibunda Mertua Nursia br Siregar (Alm).

9. Secara khusus, suami penulis Harrys Parlindungan Pospos atas ijin, motivasi,

perhatian serta doa yang tulus; Kedua anak-anak penulis Yockye Efrat

Alexsandro Pospos dan Ferdio Albert Torkis Pospos atas dukungan, doa dan

kasih sayang yang selalu diberikan.

10. Kakak dan abang penulis Linda Sinurat, S.Pd dan kel, Ir. Jusman EU Sinurat

dan kel, Drg. Erika Sinurat (Alm) dan kel, Reni Sinurat, S.E., dan kel, Ernist

Sinurat, S.E dan kel, Ir. Marintan Sinurat, M.Si, Ir Belgrad Sinurat dan kel,

terima kasih dukungan doa dan perhatiannya.

iv

Universitas Sumatera Utara


11. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Program Studi Doktor Ilmu Manajemen Fakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan Ilmu

Pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

12. Bishop Kristi Wilson Sinurat, S.Th, M.Pd Gereja Methodist Indonesia

Wilayah I, Rektor Universitas Methodist Indonesia Bapak Drs. Humuntal

Rumapea, M.Kom, yang telah memberikan ijin belajar. Dekan Fakultas

Ekonomi Universitas Methodist Indonesia Bapak Dr. Rasmulia Sembiring,

MMA, Kepala Prodi Manajemen Bapak Robinhot Gultom, S.E, M.Si, serta

rekan-rekan sejawat di Universitas Methodist Indonesia yang selalu

memberikan dukungan baik moril maupun materil.

13. Para staf, pegawai, dan karyawan Program Studi Doktor Ilmu Manajemen

yang telah memberikan dukungan dalam proses penyelesaian studi ini.

14. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Manajemen, Dr. Lailan

Tawila, Supriadi, S.E, M.Si, Afridayanti Surbakti, S.E, M.Si, Rasyid, S.E,

M.Si, Erry Mergery, S.E, M.Si, Zulfa, S,E, M.Si, Dr. Mareta Ginting, Dr.

Hardi Mulyono Surbakti, Dr. Syafrizal Helmi, Dr. Immanuel Ginting, S.E,

M.Si, Dr. Wan Suryani, yang telah banyak memberikan masukkan bagi

penulis baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam penulisan disertasi.

15. Pimpinan Bank Mandiri (khususnya Bapak Benget Simarmata), Pimpinan

Bank BRI (khususnya Ibu Lenny Limbong), Pimpinan Bank BNI (khususnya

Bapak Guntur Pangaribuan, SE, Ak,. Pimpinan Bank BTN (khususnya Bapak

Edison Ginting dan Ibu Tri Arni), yang telah memberikan informasi yang

relevan kepada penulis serta mendistribusikan kuesioner sehingga disertasi ini

dapat terselesaikan dengan baik.

Universitas Sumatera Utara


16. Pimpinan Gereja HKBP Resort Padang Bulan, Pdt Gokma Simanungkalit

beserta Parhalado HKBP Padang Bulan, Ketua Yayasan SD dan SMP HKBP

Padang Bulan, Dr. Kuras Purba yang memberikan dukungan doa kepada

penulis.

17. Sahabat terkasih Riani Helionita Malau, S.E, Ak, Nettywati Limbong, S.E,

Ak,. M.Si, Ika Sukawaty, S.E, Ak, Fitri Yanti Sinaga, S.P, Yosephine

Sembiring, S.E, M.Si, Tiur Rajagukguk, S.E, M.Si untuk doa, motivasi dan

dukungannya.

18. Para responden yang telah meluangkan waktu untuk mengisi angket yang

diajukan peneliti.

19. Seluruh pihak yang terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu

dalam penelitian disertasi ini.

Semoga Tuhan selalu memberikan berkat dan karunia-Nya kepada semua

pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatian kepada penulis, baik ketika

masa kuliah maupun saat penulisan disertasi. Dengan segala kekurangan dan

keterbatasan, penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan sumbangan

dan manfaat bagi para pembaca, sehingga dapat memperkaya khasanah penelitian-

penelitian sebelumnya dan dapat memberi inspirasi untuk penelitian lebih lanjut.

Medan, Desember 2020

Penulis,

Elperida Juniarni Sinurat

vi

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP
Elperida Juniarni Sinurat lahir di Pangururan 25 Juni 1975,
anak kedelapan dari delapan bersaudara dari pasangan
Bapak St. Marcenius Sinurat (Alm) dan Ibu Hotnida
Bungarade Simbolon. Pendidikan formal penulis dimulai
pada tahun 1981 di Sekolah Dasar, dan lulus dari Sekolah
Dasar (SD) 173741 Pangururan tahun 1987. Pada tahun
1987 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1
Pangururan dan lulus tahun 1990. Pada Tahun 1990 penulis
melanjutkan sekolah di SMA Negeri 4 Medan, dan lulus
tahun 1993. Pada Tahun 1993 penulis diterima di Fakultas
Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sumatera Utara
(USU), lulus tahun 1998. Pada Tahun 2009 penulis melanjutkan ke tingkat
Magister di Sekolah Pascasarjana (Strata-2) Program Studi Magister Ilmu
Manajemen Universitas Sumatera Utara dan lulus tahun 2011. Untuk menambah
ilmu manajemen pada Tahun 2016, penulis melanjutkan pendidikan S3 (Doktor)
di Program Studi Doktor Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tanggal 4 September 2020. Penulis
menikah dengan Harrys Parlindungan Pospos pada tanggal 6 November 1998 dan
telah dikaruniai dua orang anak yaitu Yockye Efrat Alexsandro Pospos dan Ferdio
Albert Torkis Pospos. Penulis mengawali karir sebagai Staf Pengajar di YP.
MEDICOM Medan pada tahun 1998-2000, Ketua Jurusan Administrasi Bisnis
Diploma 3 dari tahun 2000-2001. Pada tahun 2001-2011 sebagai Dosen Tetap di
Yayasan Mandiri Bina Prestasi Medan, Staf Pengajar di AMIK Mandiri Bina
Prestasi Medan, STIKOM Medan, Akademi Pariwisata Taman Harapan Medan.
Ketua Program Studi Administrasi Bisnis Politeknik MBP Medan Program
Diploma 3 sejak tahun 2011-2012. Tahun 2013 s.d sekarang sebagai Dosen Tetap
Yayasan di Fakultas Ekonomi Universitas Methodist Indonesia.

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK .................................................................................................................... i
ABSTRACT ................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah .............................................................................. 13
1.3. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 15
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................. 16
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 16
1.5.1. Manfaat Praktis ............................................................................ 16
1.5.2. Manfaat Teoritis .......................................................................... 17
1.6. Originalitas Penelitian ............................................................................ 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................................... 19


2.1. Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory .................................. 19
2.2. Teori Perilaku Organisasi ......................................................................... 19
2.3. Teori Motivasi ......................................................................................... 27
2.3.1. Teori Konten ................................................................................. 32
2.3.2. Teori Proses .................................................................................. 36
2.4. Teori Kinerja ........................................................................................... 39
2.4.1. Teori Kinerja Pegawai .................................................................. 39
2.4.2. Tingkat Kinerja............................................................................. 45
` 2.4.3. Komponen Kinerja ....................................................................... 46
2.4.4. Kinerja Sebagai Konsep Multi-Dimensi ....................................... 49
2.4.5. Kinerja Sebagai Konsep Dinamis .................................................. 52
2.4.6. Perspektif Tentang Kinerja............................................................ 54
2.5. Affective Event Theory .............................................................................. 55
2.6. Teori Kepemimpinan ................................................................................ 58
2.7. Teori Work Family conflict ....................................................................... 64
2.8. Konsep Employee Engagement (EE) ......................................................... 68
2.8.1. Pengertian Employee Engagement................................................. 72
2.8.2. Pengukuran dan Dimensi Employee Engagement........................... 73
2.8.3. Elemen Pokok Membangun Engagement ...................................... 74
2.6 Sintesa Leader Passionate Performance Terhadap kinerja ...................... 77
2.7 Sintesa Enjoyable Employee Experiance Terhadap Kinerja .................... 79
2.8 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 81

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ....................................................................... 93


3.1. Hubungan Antar Variabel ....................................................................... 93
3.1.1. Work Family ConflictBerpengaruh Negatif Signifikan
Terhadap Employee Engagement. ........................................................... 93
3.1.2. Work Family Conflict Berpengaruh Negatif Signifikan
Terhadap EnjoyableEmployee Experience ............................................... 95
3.1.3. Employe Engagement Berpengaruh Positif Signifikan
Terhadap Enjoyable Employee Experience ............................................. 97
3.1.4. Enjoyable Employee Experience Berpengaruh Positif Signifikan

viii

Universitas Sumatera Utara


Terhadap Kinerja Pegawai ..................................................................... 98
3.1.5. Enjoyable Employee Experience Berpengaruh Positif
Signifikan Terhadap Need for Achievement ............................................. 99
3.1.6. Need for AchievementBerpengaruh Positif Signifikan
Terhadap Kinerja Pegawai ................................................................... 100
3.1.7. Enjoyable Employee ExperienceBerpengaruh Positif
Signifikan Terhadap KinerjaPegawai yang dimoderasi
Leader Passionate Performance ........................................................... 102
3.1.8. Work Family ConflictBerpengaruh Negatif Signifikan Terhadap
Kinerja Pegawai................................................................................... 103
3.1.9. Employee EngagementBerpengaruh Positif Signifikan Terhadap
Kinerja Pegawai MelaluiEnjoyable Employee Experience ..................... 105
3.1.10. Work Family ConflictBerpengaruh Negatif Signifikan Terhadap
Need forAchievement melalui Enjoyable Employee Experience ............. 106
3.1.11. Enjoyable Employee ExperienceBerpengaruh Positif
Signifikan Terhadap Kinerja Pegawai melalui Need for Achievement ..........
3.2. Kerangka Konseptual ........................................................................... 108
3.3. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 110

BAB IV METODE PENELITIAN.............................................................................. 112


4.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 112
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 113
4.2.1.Lokasi Penelitian ........................................................................ 113
4.2.2.Waktu Penelitian ......................................................................... 113
4.3. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 113
4.3.1. Data Primer ............................................................................... 113
4.3.2. Data Sekunder ........................................................................... 113
4.4. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................... 114
4.5. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 114
4.6. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ..................................... 114
4.6.1. Variabel Endogen Kinerja Pegawai (Y). .................................... 115
4.6.2. Variabel Endogen Need forAachievement (Z4)........................... 116
4.6.3. Variabel Endogen Leader PassionatePperformance (Z3)............ 116
4.6.4. Variabel Endogen Enjoyable Employee Experience (Z2) ............ 117
4.6.5. Variabel Endogen Employee Engagement (Z1) .......................... 118
4.6.6. Variabel Eksogen Work Family Conflict (X1) ........................... 119
4.6.7. Definisi Operasional Variabel ................................................... 120
4.7. Analisis Statistik Inferensial-Partial least square ................................. 124
4.7.1. Alat Analisis Statistik ................................................................ 124
4.7.2. Data yang dapat dengan PLS pada SEM ..................................... 126
4.7.3. Skala Pengukuran pada SEM dengan PLS ................................... 126
4.7.4. Asumsi PLS pada SEM............................................................... 127
4.7.5. Persyaratan Jumlah Data PLS .................................................... 128
4.7.6.Tujuan Menggunakan PLS SEM .................................................. 129
4.8. Instrumen dan Skala Pengukuran Penelitian .......................................... 129
4.8.1. Instrumen Penelitian ................................................................... 129
4.8.2. Skala Pengukuran Penelitian ....................................................... 130
4.8.3.Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen ............................. 130

BAB V HASIL PENELITIAN .................................................................................. 132


5.1. Hasil Penelitian .................................................................................... 132
5.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................ 133
5.1.1.1. Bank Rakyat Indonesia (BRI) ........................................ 134
5.1.1.2. Bank Negara Indonesia (BNI) ........................................ 136
5.1.1.3. Bank Tabungan Negara (BTN) ...................................... 136
5.1.1.4. Bank Mandiri ................................................................ 137
5.2. Pembahasan Kharakteristik Responden ................................................. 138
5.2.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan-Usia ............... 138

ix

Universitas Sumatera Utara


5.2.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan-Lama Bekerja . 139
5.2.3. Pandidikan-Usia ......................................................................... 141
5.2.4. Pendidikan-Lama Bekerja ........................................................... 142
5.3. Hasil Hasil Statistik Deskriptif ............................................................... 142
5.3.1. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Kinerja Pegawai ....... 143
5.3.2. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Employee
Engagement ........................................................................................... 152
5.3.3. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel
Enjoyable Employee Experience ............................................................. 154
5.3.4. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Need for
Achievement ........................................................................................... 163
5.3.5. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel
Leader Passionate Performance ............................................................. 168
5.3.6. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Work
Family Conflict ...................................................................................... 174
5.4. Statistik Inferensial ................................................................................. 177
5.4.1. Model Pengukuran (outer model) .................................................. 178
5.4.2.Pengukuran Model Struktural (Inner Model)................................... 188
5.4.2.1. Evaluasi Model Penelitian .......................................................... 189
5.4.2.2. Evaluasi Model Struktural Langsung dan
Tidak Langsung ..................................................................................... 191
5.5. Hasil Hipotesis Penelitian ....................................................................... 195

BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................... 198


6.1. Work Family Conflict BerpengaruhNegatif Namun Tidak Signifikan
Terhadap Enjoyable Employee Experience .............................................. 198
6.2. WFC Berpengaruh Negatif dan Signifikan Terhadap Employee
Engagement ........................................................................................... 203
6.3. Employee EngagementBerpengaruhPositif dan Signifikan Terhadap
Enjoyable Employee Experience ............................................................. 208
6.4. Enjoyable Employee Experience Berpengaruh Positif dan
Signifikan Terhadap Kinerja pegawai ..................................................... 212
6.5. Enjoyable Employee ExperienceBerpengaruh Positif dan
Signifikan Terhadap Need for Achievement ............................................. 216
6.6. Need for AchievementBerpengaruh Negatif Namun Tidak
Signifikan TerhadapKinerja Pegawai ..................................................... 219
6.7. Enjoyable Employee ExperienceBerpengaruh Negatif dan
Signifikan Terhadap Kinerja Pegawai yang Dimoderasi
Leader Passionate Performance ............................................................. 222
6.8. WFCBerpengaruh Negatif dan Signifikan Terhadap Kinerja Pegawai ...... 229
6.9. WFC Berpengaruh Positif dan Signifikan Terhadap Kinerja
Pegawai Melalui Employee Engagement dan Enjoyable
Employee Experience .............................................................................. 234
6.10. WFC Berpengaruh Positif Namun Tidak Signifikan Terhadap
Need for AchievementMelalui Enjoyable Employee Experience................ 237
6.11. WFC Berpengaruh Negatif Namun Tidak Signifikan Terhadap
Kinerja Pegawai Melalui Need for Achievement dan
Enjoyable Employee Experience ............................................................. 241
6.12. Novelty Penelitian .................................................................................. 244

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 246


7.1. Kesimpulan .......................................................................................... 246
7.2. Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 247
7.3. Saran ................................................................................................... 247

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 249


LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 1.1. Hasil Pra Survey Work Family Conflict ............................................................. 10


Tabel 2.2. Components that Holistically Interact to Establish Level of Performance ............ 47
Tabel 2.3. Penelitian Terdahulu ........................................................................................ 81
Tabel 4.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian ................................................................ 120
Tabel 5.1. Tabulasi Silang Pendidikan-Usia ...................................................................... 139
Tabel 5.2. Tabulasi Silang Pendidikan-Lama Bekerja ....................................................... 141
Tabel 5.3. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Kinerja Pegawai .......................... 143
Tabel 5.4. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Employee Engagement ................ 152
Tabel 5.5. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Enjoyable Employee Experience.............. 154
Tabel 5.6. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Need for Achievement.................. 164
Tabel 5.7. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Leader Passionate Performance ............. 168
Tabel 5.8. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Work Family Conflict .................. 174
Tabel 5.9. Variabel, Dimensi, Indikator dan Notasi Indikator ............................................ 179
Tabel5.10. Loading factors item (standardized loading) .................................................... 181
Tabel 5.11. Composite Reliability dan AVE ........................................................................ 184
Tabel 5.12. Cross Loasing Factor ...................................................................................... 185
Tabel 5.13 Koefisien Determinasi Variabel ....................................................................... 190
Tabel 5.14. Signifikansi Model Persamaan Struktural Secara Langsung (Direct) ................. 191
Tabel 5.15. Signifikansi Model Persamaan Struktural Secara Tidak Langsung (Indirect) ..... 194
Tabel 5.16 Hasil Hipotesis Penelitian ................................................................................ 195

xi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

Gambar 2.1 Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory ........................................... 19
Gambar 2.2 Atributes of Higher Levels of Performance ...................................................... 47
Gambar 2.3 Sintesa Variabel Leader Passionate Performance ............................................. 78
Gambar 2.4 Sintesa Variabel Enjoyable Employee Experience ............................................. 80
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian .................................................................... 109
Gambar 4.1 Indikator Kinerja Pegawai .............................................................................. 115
Gambar 4.2 Indikator Need For Achievement .................................................................... 116
Gambar 4.3 Indikator Leader PassionatePperformance .................................................... 117
Gambar 4.4 Indikator EnjoyableEmployee Experience ....................................................... 118
Gambar 4.5 Indikator Employee Engagement ................................................................... 119
Gambar 4.6 Indikator Work Family Conflict ...................................................................... 119
Gambar 5.1 Pendidikan - Usia ........................................................................................... 141
Gambar 5.2 Pendidikan –Lama Bekerja ............................................................................. 142
Gambar 5.3 Outer Model Penelitian .................................................................................. 178
Gambar 5.4 Model Struktural (Inner Model)...................................................................... 188

xii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner
Lampiran 2. Uji Validitas dan Reliabilitas Kinerja Pegawai
Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Need For Achievement
Lampiran 4. Uji Validitas dan Reliabilitas Leader Passionate Performance
Lampiran 5. Uji Validitas dan Reliabilitas Enjoyable Employee Experiance
Lampiran 6. Uji Validitas dan Reliabilitas Employee Engagement
Lampiran 7. Uji Validitas dan Reliabilitas Work Family Conflict
Lampiran 8. Hasil PLS

xiii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Transformasi digital telah mengubah cara hidup, cara bekerja dan

bagaimana bisnis diatur dan dijalankan. Perubahan ini juga membawa dampak

yang lebih besar dengan munculnya banyak ketidakpastian dalam kehidupan

seseorang yang mempengaruhi produktivitas kerjanya tersebut. Transformasi

digital telah mengubah organisasi dan model bisnis untuk menciptakan aliran

pendapatan baru, produk dan layanan baru. Hasil riset Delloit (2019) pada

banking dan jasa keuangan menunjukkan bahwa menciptakan kemampuan digital

bagi karyawan (create digital capability) merupakan aspek teknologi terpenting

bagi organisasi perbankan dan layanan keuangan. Apalagi ditengah menurunnya

kinerja Bank Badan Usaha Milik Negara di Indonesia saat ini (Otoritas Jasa

Keuangan Indonesia, 2019)

Kinerja kredit BRI mengalami perlambatan pertumbuhan laba bersih,

diakibatkan oleh pelbagai indikator, salah satu diantaranya adalah lesunya kinerja

pinjaman tahun 2018 yang berdampak pada tidak maksimalnya laba perseroan

(Direktur Utama BRI, 2018). Hal senada juga terjadi pada BNI yaitu meskipun

sepanjang 2019 perseroan masih mampu menyalurkan kredit yang cukup baik,

yakni Rp 556,77 triliun atau naik 8,58% dari Rp 512,78 triliun di tahun

sebelumnya. Namun sayangnya, pertumbuhan ini juga masih kalah jauh

dibandingkan periode 2017-2018 yang berhasil tumbuh 16,2% (Direktur Utama

BNI, 2018)

1
Universitas Sumatera Utara
2

Turunnya pertumbuhan laba bersih perseroan juga dialami Bank Mandiri

yang disebabkan oleh menurunnya angka pertumbuhan kredit bank Mandiri dari

12,4% menjadi 10,79% (Direktur Utama Bank Mandiri, 2019). Sementara dari

empat bank BUMN, satu-satunya yang belum mempublikasikan laporan keuangan

2019 setidak-tidaknya sampai artikel ini ditulis hanya BTN. Namun jika dilihat

berdasarkan laporan keuangan BTN pada kuartal III-2019, agaknya bank spesialis

penyalur kredit perumahan ini akan memiliki performa paling suram (Otoritas

Jasa Keuangan Indonesia, 2019)

Untuk menghadap tantangan digitalisasi perbankan maka, diperlukan

kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Stephan et al., (2016)

menyatakan bahwa dunia serba digital menghadirkan dua tantangan mendasar.

Pertama, SDM dapat membantu para pemimpin bisnis dan karyawan beralih ke

pola pikir digital, cara mengelola organisasi dengan bantuan digital, mengatur

aktivitas organisasi, dan memimpin perubahan dalam sektor perbankan. Kedua,

SDM memiliki kesempatan untuk mengakomodir seluruh pengalaman karyawan

melalui transformasi proses SDM, sistem kerja dan organisasi dengan

menggunakan platform digital dan aplikasi sehingga menghasilkan cara baru

dalam memberikan layanan SDM.

Menurut Volini et al., (2017), pada 1960-an dan 1970-an, SDM fokus

pada operasi personalia, mengotomatisasi transaksi, dan memelihara sistem

catatan karyawan. Pada 1980-an, SDM dirancang ulang sebagai "organisasi

layanan" dimana organisasi menangani kebutuhan individu dan mitra bisnis SDM

serta mengelola bakat karyawan. Pada 1990-an dan awal 2000-an, SDM

Universitas Sumatera Utara


3

dirancang ulang lagi secara terintegrasi, disertai dengan penerapan sistem baru

untuk perekrutan, pembelajaran, manajemen kinerja dan kompensasi.

Saat ini, fokus SDM telah bergeser ke arah membangun organisasi masa

depan melalui konektivitas digital sehingga organisasi bisa berbagi informasi

secara transparan serta berbagi pengalaman digital yang terintegrasi di tempat

kerja. Dengan demikian pekerjaan administratif dapat dilakukan lebih cepat, lebih

murah dan lebih mudah. Selain itu teknologi SDM membantu karyawan saling

terkoneksi satu sama lain serta merasakan rasa memiliki melalui hubungan pribadi

(Ulrich, 2019). Rasa saling memiliki di dalam organisasi akan sangat membantu

pegawai untuk membuat emosi dan energi positif dalam bekerja.

Perasaan positif membuat pegawai akan lebih senang didalam bekerja dan

menghadirkan pengalaman yang menyenangkan. Untuk menciptakan situasi ini,

peran leader menjadi sangat dibutuhkan. Peneliti terdahulu telah menyelidiki

kondisi yang serupa yakni menganalisis kondisi kesenangan di tempat kerja pada

karyawan, yang mana ditemukan bahwa kesenangan dalam bekerja berdampak

positif terhadap hasil kerja (Tews et al., 2014).

Studi sebelumnya terutama meneliti cara-cara dimana kesenangan di

tempat kerja dan keterikatan dengan konstituen berinteraksi, dan telah

mengembangkan moderator potensial seperti sosialisasi rekan kerja dan dukungan

manajer terhadap kesenangan (Tews et al., 2012, 2014). Literatur juga

menunjukkan bahwa efek kesenangan kerja di tempat kerja pada kepuasan kerja

karyawan dipengaruhi oleh bagaimana karyawan mengalami praktik yang

menyenangkan diimplementasikan di tempat kerja (Karl dan Peluchette, 2006).

Universitas Sumatera Utara


4

Pegawai lebih puas dan senang bekerja ketika pegawai bisa menikmati

tugasnya dan ketika pegawai bekerja dalam kondisi menyenangkan. Oleh karena

itu, bersenang-senang dapat mengubah efek hubungan tempat kerja kepercayaan

karyawan dalam manajemen dan kepuasan kerja. Namun, dalam artikel yang sama

(Tews, 2014) menyatakan bahwa efek enjoyable ini akan menjadi buruk bagi

kinerja karyawan karena akan membuat kerja karyawan menjadi “mengendur”.

Mengacu kepada uraian tersebut ternyata bahwa efek enjoy bisa saja

memberikan dampak positif maupun negatif. Untuk itu peran pemimpin semakin

penting dalam memberikan batasan-batasan kesenangan di kantor. Leader punya

tugas yang kompleks, di sisi lain leader harus mampu membuat pegawai enjoy

namun tetap fokus pada kinerja.

Capaian kinerja pada era digital dimana bekerja dengan teknologi adalah

keharusan, tentunya akan memiliki banyak faktor yang mempengaruhi. Volini et

al., (2016), teknologi mensyaratkan tingkat kesiapan organisasi yang lebih tinggi

untuk berurusan dengan keterlibatan karyawan (engage) dan budaya.

Transformasi digital membuat perubahan besar terhadap prilaku karyawan

dalam bekerja sehingga evaluasi terhadap hasil kerja pegawai tidak dapat

dipandang hanya dari satu sisi. Evaluasi hasil tugas atau disebut dengan task

performance itu sendiri melibatkan banyak dimensi. Komponen kinerja tersebut

yang diusulkan oleh Campbell (1990), ada lima faktor yang mengacu pada kinerja

tugas (Campbell et al., 1996; Motowidlo & Schmit, 1999): yakni kemahiran

pegawai baik dalam konteks tugas, di luar tugas, komunikasi, pengawasan dan

manajemen administrasi. Masing-masing faktor ini terdiri dari sejumlah subfaktor

yang mungkin berbeda diantara berbagai pekerjaan. Misalnya, faktor

Universitas Sumatera Utara


5

manajemen/administrasi terdiri dari subdimensi seperti: a. perencanaan dan

pengorganisasian, b. membimbing, mengarahkan, dan memotivasi bawahan dan

memberikan umpan balik, c. melatih dan mengembangkan bawahan, d.

komunikasi secara efektif dan memberi tahu orang lain (Borman & Brush, 1993).

Menurut Brown et al., (2016), adanya otomatisasi menyebabkan

perubahan pada sistem kinerja. Jika pada dekade lalu perusahaan terbiasa

berinvestasi dalam jumlah besar pada karyawan dengan tujuan mempertahankan

karyawan dan melihatnya tumbuh dan berkontribusi dimasa mendatang. Saat ini,

karena karyawan berganti pekerjaan lebih cepat, perusahaan harus menyediakan

pengembangan lebih cepat, menggerakkan orang lebih teratur, menyediakan

siklus promosi terus menerus, serta memberi kesempatan kepada karyawan untuk

mengelola kinerja mereka sendiri. Avey et al., (2009) menyatakan ketika

karyawan merasa diberdayakan dan punya rasa memiliki untuk pekerjaan mereka,

keterlibatan dan kinerjanya akan meningkat.

Beberapa ahli setuju bahwa ketika mengkonseptualisasikan kinerja

seseorang maka harus membedakan antara aspek tindakan (misalnya: Perilaku)

dan aspek hasil kinerja (Campbell, 1990; Campbell, et al, 1993; Kanfer, 1990;

Roe, 1999). Tidak setiap perilaku dimasukkan dalam konsep kinerja, tetapi hanya

perilaku yang relevan untuk tujuan organisasi yang dapat dimasukkan dalam

konsep ini: "Kinerja adalah apa yang telah dirancang organisasi untuk dilakukan,

dan dilakukan dengan baik" (Campbell et al., 1993). Dengan demikian, kinerja

tidak didefinisikan oleh tindakan itu sendiri tetapi oleh proses penilaian dan

evaluasi (Ilgen & Schneider, 1991; Motowidlo et al., 1997). Sebuah organisasi

bisnis akan berkinerja tinggi dan terus berkembang jika unsur utama yang ada di

Universitas Sumatera Utara


6

dalam organisasi tersebut yaitu: manusia, juga berkinerja tinggi dan mau

mengembangkan diri. Untuk dapat bersaing secara lebih unggul, perusahaan tidak

lain harus bertumpu pada kualitas sumber daya manusianya.

Hal tersebut sejalan dengan Winning (2005) yang menyatakan bahwa

produk yang hebat, layanan yang prima, teknologi yang canggih, maupun strategi

yang mumpuni, semua hal itu tidak akan terwujud dan terlaksana dengan baik

tanpa sumber daya manusia yang tepat sebagai pengelolanya. Sehebat apapun

strategi dan teknologi yang dimiliki perusahaan, efektivitas penerapannya akan

sangat bergantung pada kualitas orang-orang yang menjalankannya.

Kekuatan dari adanya karyawan yang tepat pada suatu perusahaan adalah

bahwa mereka sama sekali tidak mudah ditiru. Sangat berbeda dengan produk,

jasa, teknologi, strategi, bahkan pasar yang dengan mudah dibuat imitasinya.

Dengan demikian jika perusahaan ingin agar organisasinya tetap tumbuh,

bertahan, dan kuat memenangi persaingan maka, perusahaan perlu mengelola

dengan baik karyawannya yang dinilai memiliki kinerja tinggi dan memperhatikan

karyawan dengan serius.

Kesadaran perusahaan untuk mengelola karyawannya dengan baik

merupakan titik ukur untuk kemajuan organisasi. Kesadaran tersebut menjadi

lebih penting karena karyawan yang unggul tidak akan muncul, berkembang dan

bertahan dengan sendirinya. Hal yang sama juga dialami oleh bank, dimana

tekanan perubahan teknologi/digitalisasi menyebabkan efisiensi pada divisi yang

menggunakan otomatisasi mesin seperti teller dan customer service. Efisiensi

tersebut membuat bank shifting terhadap job desk pegawainya ke bagian

marketing. Shifting yang dilakukan oleh bank ini umumnya membuat banyak

Universitas Sumatera Utara


7

pegawai harus menjadi tenaga pemasar pada semua produk-produk perbankan,

bahkan tidak jarang pegawai yang akhirnya memiliki pekerjaan ganda.

Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki jumlah bank terbanyak

(115) dibandingkan negara tetangga yakni Thailand (30) dan Malaysia (19)

padahal rata-rata asset bank di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia

dan Thailand (OJK, 2019). Jumlah pegawai di 9 (Sembilan) bank terbesar di

Indonesia ditemukan menurun drastis dari yang berjumlah 242.000 orang pada

tahun 2016, berkurang menjadi 22.000 orang lebih pada akhir 2018 dimana hal

tersebut sebagai dampak dari pesatnya perubahan teknologi, namun meski banyak

terjadi pengurangan pegawai sebagian bankir masih menyatakan bahwa efisiensi

perbankan masih buruk (Wibowo, 2019). Untuk itu perbankan melakukan

efisiensi besar-besaran tidak terkecuali provinsi Sumatera Utara.

Bentuk efisiensi yang dilakukan oleh perbankan di hampir seluruh wilayah

Indonesia adalah dengan melakukan pengurangan pegawai. Hal itu

mengakibatkan pendelegasian beban kerja menjadi lebih banyak terhadap

karyawan yang ada. Bukan hanya beban kerja, pegawai juga dituntut untuk

memberikan waktu kerja yang lebih banyak pada perusahaan. Tidak jarang

ditemukan banyak karyawan Bank yang bekerja diluar jam kerja, dan terpaksa

harus mengorbankan waktu untuk keluarga demi tuntutan profesi.

Kondisi ini membuat beberapa karyawan terutama wanita menghadapi

konflik dari peran ganda yang dijalankannya, dimana peran tersebut menjadi tidak

kompatibel satu dengan lainnya. Terdapat perdebatan mengenai kinerja antara

pria dan wanita, dimana kinerja umumnya diukur melalui tingkat absensi dan

tingkat perpindahan. Adapun perdebatan tentang hal tersebut masih bersifat

Universitas Sumatera Utara


8

inconclusive. Belum ada data pasti yang menunjukkan bahwa pria lebih baik

kinerjanya daripada wanita, ataupun sebaliknya.

Satu-satunya area dimana ditemukan perbedaan yang cukup signifikan

antara pria dan wanita adalah mengenai absensi. Wanita memiliki tingkat absensi

yang lebih tinggi karena biasanya wanita memiliki peran lebih besar ketimbang

pria dalam menjaga dan mengurusi anak-anak, orang tua yang renta, dan

pasangannya yang sakit, sehingga membuat wanita harus absen dari pekerjaan

(Farrell dan Stamm, 2013).

Disatu sisi perempuan dituntut untuk bertanggung jawab dalam mengurus

dan membina keluarga, namun disisi lain, sebagai seorang karyawan yang baik

dituntut pula untuk bekerja sesuai dengan standar kepegawaian dengan

menunjukkan performan kerja yang tinggi. Peran tersebut terbagi dengan

perannya sebagai ibu rumah tangga sehingga terkadang dapat mengganggu

kegiatan dan konsentrasi didalam pekerjaannya, sebagai contoh perusahaan

merasa sulit menuntut lembur ataupun menugaskan karyawan wanita yang telah

menikah dan punya anak untuk pergi keluar kota.

Aldous (2011) menyatakan ketidakmampuan wanita karir dalam

menyelesaikan konflik rumah tangganya menyebabkan mereka menampilkan

sikap kerja yang negatif misalnya kurang motivasi dalam bekerja, kurang

konsentrasi karena urusan keluarga, sehingga dengan demikian akan berpengaruh

terhadap kinerja organisasi atau perusahaan secara keseluruhan. Ibu yang bekerja

diluar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi

kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas

utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga (Aldous, 2011).

Universitas Sumatera Utara


9

Dalam pandangan terhadap peran yang dimainkannya, pria dan wanita

mempunyai pandangan yang berbeda. Teori peran gender menyatakan bahwa

wanita lebih melihat perannya di keluarga sebagai bagian dari identitas sosial

mereka, jika dibandingkan dengan pria (Crouter, 2015). Ketika peran wanita di

tempat kerja semakin meningkat, harapan yang ditumpukan pada mereka dalam

memainkan peran di keluarganya tidaklah hilang (Crouter, 2015). Oleh karena itu,

ketika pekerjaan mengganggu tuntutan-tuntutan di keluarga, wanita lebih

cenderung mengembangkan sikap negatif terhadap pekerjaan dibandingkan

dengan pria, karena pekerjaan dilihatnya lebih sebagai ancaman bagi peran sosial

sentralnya (Grandey et al., 2015). Wanita yang telah menikah memiliki potensi

yang lebih besar untuk menghadapi konflik kerja karena tuntutan peran ganda

baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pekerja profesional.

Hampir semua bank memiliki pegawai wanita yang telah menikah, bahkan

terdapat bank yang pegawai wanitanya lebih banyak dari pegawai pria. Konflik

keluarga yang diakibatkan pekerjaan kecenderungannya lebih banyak dialami

wanita. Tingkat konflik ini akan memberikan pengaruh terhadap komitmen dan

kinerja pegawai tersebut. Untuk menurunkan peluang terjadinya konflik, unsur

yang terkait bukan hanya pegawai yang bersangkutan saja namun juga

keterlibatan lingkungan organisasi khususnya pimpinan perusahaan.

Hasil pra survey kepada 30 (tiga puluh) orang pegawai wanita di Bank

Mandiri Cabang Jl. Thamrin Medan tentang konflik pekerjaan-keluarga disajikan

pada table berikut :

Universitas Sumatera Utara


10

Tabel 1.1 Hasil Pra Survey Work Family Conflict

No Jenis Konflik Tidak Setuju (%) Setuju (%)


1 Tuntutan pekerjaan membuat tidak 43.4 56.6
mempunyai cukup waktu berkumpul
bersama dengan keluarga
2 Tuntutan pekerjaan membuat tidak 46.6 53.30
mempunyai waktu untuk kehidupan
bermasyarakat
3 Waktu libur sering digunakan untuk 46.6 53.30
menyelesaikan pekerjaan
4 Masalah keluarga menyita waktu 53.30 46.60
5 Masalah keluarga menyebabkan 50.00 50.00
produktivitas terganggu
6 Tuntutan pekerjaan saat ini 43.00 56.00
berpengaruh terhadap kehidupan
keluarga
7 Mendapat teguran dari keluarga yang 50.00 50.00
diakibatkan beban pekerjaan yang
tinggi
8 Keluarga kurang memberi dukungan 50.00 50.00
terhadap pekerjaan
9 Sering merasa lelah setelah pulang 40.00 60.00
kerja
Sumber : Hasil Pra Survey, 2019

Dari Tabel 1.1 ditemukan bahwa separuh wanita yang bekerja di bank mengalami

work family conflict dan merasa kelelahan setelah pulang kerja sehingga, waktu

yang dihabiskan untuk berkumpul dengan keluarga menjadi lebih sedikit. Tidak

hanya itu saja, banyaknya tuntutan pekerjaan juga membuat wanita tidak memiliki

cukup waktu untuk bermasayarakat.

Menurut Ilara (2015) perubahan job desk, tekanan pekerjaan, konflik

keluarga dan kondisi lingkungan kerja dapat memberikan pengaruh yang besar

terhadap stress kerja. Maka untuk mencegah hal ini terjadi dibutuhkan upaya

setiap pimpinan perusahaan untuk menginisiasi dan mengimplementasikan

pengelolaan organisasinya secara komprehensif dan konsisten terlebih pada

bagaimana organisasi mendapatkan pengalaman kerja yang menyenangkan

(enjoyable employee experience/J-ex).

Universitas Sumatera Utara


11

Banyak karyawan yang awalnya menunjukkan kontribusi dan kesetiaan

yang tinggi kepada perusahaan saat rekrutmen, bisa mengalami penurunan atau

bahkan kehilangan engagement. Hal ini dapat terjadi jika karyawan menghadapi

stress kerja dan tidak mendapatkan pengalaman yang menyenangkan saat bekerja.

Memiliki pengalaman yang menyenangkan bagi sebuah organisasi adalah hal

yang sangat penting bagi karyawan.

Oleh karena itu, karyawan yang tingkat enjoyment nya tinggi akan mampu

memberikan pelayanan yang lebih unggul, menurunkan peluang turnover, mampu

meningkatkan keuntungan jangka panjang bagi organisasi dan meningkatkan

engagement pegawai. Hasil survey dari Gallup (2015) menunjukkan bahwa

organisasi yang karyawannya memiliki tingkat engagement tinggi berdampak

pada penurunan: tingkat absensi sebanyak 37%, tingkat turnover 65%,

kecelakaan kerja 48%, tingkat kecacatan produk 41%, dan terjadi peningkatan

pada: jumlah pelanggan sebesar 10%, produktivitas yang lebih tinggi (21%) dan

keuntungan 22%.

Berdasarkan hal tersebut maka, mendapatkan karyawan yang memiliki

engagement yang tinggi merupakan hal yang sangat diinginkan oleh perusahaan.

Namun demikian, di tengah kondisi pasar yang sangat kompetitif dan dengan

adanya ketidakselarasan antara kebutuhan dan pasokan tenaga kerja, upaya

menemukan karyawan dengan karakteristik tersebut bukanlah hal yang mudah.

Untuk mencapai tingkat engagement yang tinggi peran utama yang paling

penting dan tidak dapat diabaikan adalah Leader. Pimpinan tidak hanya

memerintah atau sekedar menyetujui penerapan proses pengelolaan karyawan, dan

membuat lingkungan kerja yang kondusif, tetapi pimpinan harus melibatkan diri

Universitas Sumatera Utara


12

secara aktif dalam proses tersebut atau dikenal dengan istilah “Leader passionate

performance (LPF)”.

LPF adalah dimana seorang pimpinan memimpin sendiri (secara langsung)

proses pengembangan karyawannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan

memberikan teladan, arahan, menghadiri setiap diskusi pengelolaan karyawan,

memberikan dorongan kepada masing-masing atasan karyawan untuk berani

mengambil resiko mendeferensiasi karyawan dan menerapkan standar

kepemimpinan yang unggul. Selain itu, melalui LPF akan membantu pegawai

untuk mendapatkan pengalaman yang menyenangkan.

LPF akan membantu membentuk tingkat engagement karyawan yang lebih

tinggi lagi guna meningkatkan kinerja pegawai. Kapabilitas yang tinggi dan

komitmen yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang sangat tinggi (Result

Based Leadership, 1999). Sementara kapabilitas yang sama, jika diimbangi

dengan motivasi diri untuk pencapaian atau motivasi prestasi karyawan umumnya

dianggap memiliki dampak penting pada kinerja dan kepuasan kerja karyawan

(Shantakumary, 2012).

Oleh karena itu pegawai harus dapat memiliki motivasi berprestasi/prestasi

dan mengetahui cara meningkatkan dan memanfaatkannya. Jika pembuat

kebijakan masa depan mempertimbangkan faktor penting ini dalam fase seleksi,

tidak ada keraguan bahwa bank akan menunjukkan produktivitas yang lebih besar.

Meskipun bank sudah ketat dalam melakukan seleksi dan memberikan

kompensasi yang menarik, tetap saja karyawan tersebut rentan dibajak dan

dibujuk oleh perusahaan lain. Maka untuk menurunkan kecenderungan tersebut,

pimpinan perusahaan harus dapat mengidentifikasi kebutuhan dasar karyawannya

Universitas Sumatera Utara


13

yakni: Intelectual (Mind) Needs dan Emotional (Heart) Needs yang mana engaged

mind akan membangun performance karyawan dan engaged hearts

menghidupkan passion karyawan.

Bank yang telah berhasil membangun pengalaman positif bagi

karyawannya membuat karyawan menjadi lebih engaged dan membantu

karyawan untuk melakukan pencapaian (achievement) yang pada akhirnya

menghasilkan magical boldness dan genius power bagi perusahaan-perusahaan

tersebut. Menurut Collan (2017) belum banyak perusahaan yang menaruh

perhatian pada bidang ini. Namun beberapa bank pemerintah seperti BRI, BNI,

Mandiri dan BTN telah memiliki standar tersediri untuk meningkatkan kinerja

pegawainya dengan peran aktif dari LPF.

Pimpinan perusahaan memiliki andil yang besar dalam peningkatan kerja

pegawainya. Kemampuan pimpinan dalam mengelola karyawannya menjadi tolak

ukur bagi karyawannya untuk berkembang sehingga tujuan perusahaan lebih

mudah tercapai.

Berdasarkan uraian di atas maka judul dalam penelitian ini adalah

Anteseden Kinerja Pegawai dengan Leader Passionate Performance sebagai

Pemoderasi Pada Bank BUMN di Kota Medan.

1.2. Identifikasi Masalah

Pertumbuhan kinerja pegawai marketing perempuan diduga disebabkan

oleh banyak faktor. Salah satu yang sering terjadi pada wanita yang telah menikah

adalah konflik keluarga yang disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri. Konflik

pekerjaan-keluarga yang dihadapi pegawai marketing perempuan yaitu (1)

Ketidakseimbangan peran baik dalam keluarga ataupun pekerjaan (2) Terjadi

Universitas Sumatera Utara


14

benturan antara tangung jawab di tempat kerja dengan kewajiban terhadap

keluarga seperti harus masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian atau

kerja lembur. Ketidakmampuan wanita dalam menyelesaikan konflik keluarga ini

tentunya akan berakibat pada sikap kerja yang negatif dan berujung pada

penurunan kinerja. Berdasarkan hal tersebut maka penulis memilih perempuan

sebagai objek penelitian

Konflik yang dialami pegawai dapat ditekan apabila pegawai merasa

senang di tempat kerja, sehingga pegawai akan memiliki tingkat kepuasan kerja

dan juga kinerja yang lebih tinggi (Karl dan Peluchette, 2006). Namun dalam

artikel Tews (2014) efek enjoyable berdampak buruk bagi kinerja pegawai. Efek

buruk dari enjoyable ini menyebabkan kerja karyawan menjadi “mengendur”.

Mengacu kepada uraian tersebut bahwa enjoyable memiliki efek positif namun

dapat pula berdampak negatif.

Pengalaman menyenangkan ini tidak dapat dilakukan dengan sekedar

menciptakan lingkungan yang kondusif saja. Peran penting LPF adalah memimpin

secara langsung pengembangan karyawannya dengan mengidentifikasi kebutuhan

dasar pegawai yakni Intelectual (Mind) Needs dan Emotional (Heart) Needs yang

mana engaged mind akan membangun performance pegawai dan engaged hearts

menghidupkan passion karyawan.

Dalam hal ini pemimpin di bank sudah melakukan beberapa hal terkait

dengan enjoyment yakni senantiasa melakukan komunikasi informal, membuat

event tertentu, dan menciptakan atmosfir kerja yang menyenangkan. Namun

kenyataannya, hal tersebut tidak serta merta membuat pegawai marketing

Universitas Sumatera Utara


15

perempuan memiliki pengalaman yang menyenangkan dan hasil kerjanya

meningkat.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka pertanyaan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah WFC berpengaruh terhadap Employee Engagement ?

2. Apakah WFC berpengaruh terhadap Enjoyable Employee Experience?

3. Apakah Employee Engagement berpengaruh terhadap Enjoyable Employee

Experience?

4. Apakah Enjoyable Employee Experience berpengaruh terhadap Kinerja

Pegawai?

5. Apakah Enjoyable Employee Experience berpengaruh terhadap Need For

Achievement?

6. Apakah Need for Achievement berpengaruh terhadap kinerja pegawai?

7. Apakah Leader Passionate Performance memperkuat pengaruh Enjoyable

Employee Experience terhadap kinerja pegawai?

8. Apakah WFC berpengaruh terhadap kinerja pegawai?

9. Apakah Employee Engagement berpengaruh terhadap Kinerja Pegawai

melalui Enjoyable Employee Experience?

10. Apakah WFC berpengaruh terhadap Need for Achievement melalui Enjoyable

Employee Experience?

11. Apakah Enjoyable Employee Experience berpengaruh terhadap Kinerja

Pegawai melalui Need for Achievement?

Universitas Sumatera Utara


16

1.4. Tujuan Penelitian

(1) Untuk membangun model peningkatan kinerja pegawai marketing

perempuan di Bank BUMN, dimana model tersebut menggunakan enjoyable

employee experience dengan perkuatan dari peran leader passionate performance

untuk menekan timbulnya konflik akibat beban kerja yang dapat menurunkan

kinerja pegawai marketing perempuan. (2) Membuat model enjoyable employee

experience pegawai marketing perempuan dengan melibatkan variabel work

family conflict dan employee engagement.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun yang manfaat penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

1.5.1. Manfaat Praktis

Manfaat praktis akan diuraikan sebagai berikut :

1. Penelitian ini menguraikan sejumlah variabel yang bisa membantu bank

pemerintah menyadari pentingnya pengelolaan karyawan, serta bagaimana

mengidentifikasi, mengembangkan dan mempertahankan pegawai.

2. Membantu bank pemerintah untuk membuat pemimpin masing-masing divisi

agar mengelola karyawan dengan menggunakan manajemen bakat untuk

mewujudkan keterlibatan karyawan.

3. Memberikan rekomendasi bagi bank pemerintah agar leader passionate

performance membuat program kerja yang menyenangkan di masing-masing

divisi.

Universitas Sumatera Utara


17

1.5.2. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis seperti dibawah ini :

1. Bagi peneliti selanjutnya penelitian ini menjadi bahan referensi jika peneliti

berikutnya hendak mengembangkan penelitian terkait leader passionate

performance dan enjoyable employee experience.

2. Penelitian ini juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang

manajemen sumber daya manusia tentang pegawai marketing perempuan

dalam meningkatkan kinerja di bank BUMN.

1.6. Originalitas Penelitian

Penelitian ini memiliki memiliki beberapa originalitas yang dijelaskan

dalam uraian seperti di bawah ini:

a. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa WFC, job satisfaction dan employee

engagement memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai

dan berdampak pada perkembangan karier pegawai tersebut (Celic dan

Turunc, 2010). Adapun WFC sebagian besar penelitian menyebutkan

pengaruhnya bersifat negatif dan signifikan (Aras dan Karakiraz, 2013). Pada

penelitian ini kedua variabel tersebut yakni WFC dan employee engagement

dianalisis langsung terhadap kinerja pegawai dan dianalisis secara tidak

langsung dengan menempatkan variabel intervening Enjoyable Employee

Experience terhadap kinerja pegawai (Kamalan dan Sutha, 2018). Adapun

penempatan Enjoyable Employee Experience sebagai variabel intervening

berdasarkan pada penelitian terdahulu dimana peneliti terdahulu menyatakan

bahwa konflik kerja-keluarga dapat berdampak pada sikap kerja negatif yang

berujung pada turunnya kinerja dan dapat ditekan dengan menciptakan

Universitas Sumatera Utara


18

pengalaman kerja yang menyenangkan. Namun disisi lain, terdapat pula hasil

penelitian yang menyatakan bahwa kesenangan kerja justru dapat

menurunkan kinerja pegawai (Tews et al, 2017)

b. Perbedaan lainnya penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah

menggunakan variabel leader passionate performance sebagai pemoderasi

enjoyable employee experience terhadap kinerja pegawai. LPF berperan aktif

dalam membuat pengalaman yang menyenangkan. LPF juga menjadi faktor

pendorong untuk membentuk tingkat engagement karyawan yang lebih tinggi

lagi guna meningkatkan kinerja pegawai (Berens, 2013; Boman dan Deal,

2014). LPF akan memperkuat peran pegawai untuk menghasilkan kapabilitas

dan komitmen yang tinggi dan akan menghasilkan percepatan peningkatan

kinerja.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory

Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory yang merupakan dasar

lahirnya teori-teori lain dalam berbagai level dan keadaan. Grand Theory karena

teori-teori ini berada pada level makro, Middle Theory merupakan teori yang

berada pada level mezo/menengah dimana fokus kajiannya makro dan mikro dan

begitu juga dengan Applied Theory merupakan teori yang berada di level mikro

dan siap diaplikasikan dalam konseptualisasi (Dougherty dan Pfaltzgraff 1990:

10-11). Gambar 2.1 merupakan Grand Theory, Middle Theory dan Applied

Theory

Grand Theory Perilaku Organisasi

Middle Theory Teori Motivasi

Teori Kinerja, Affective Event Theory, Teori


Applied Theory Kepemimpinan, Teori Kebutuhan Mc-Clelland, Work
Family Conflict Theory

Gambar 2.1. Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory

2.2. Teori Perilaku Organisasi

Teori perilaku organisasi biasanya ditelusuri kembali ke Cyert dan March

"A Behavioral Theory of the Firm," yang berusaha untuk mengembangkan teori

umum pengambilan keputusan yang relevan secara empiris, berorientasi proses,

oleh perusahaan bisnis (Cyert dan March, 1963 : 3). Kata "Behavioral" bukan

bagian dari pedoman mereka untuk membangun teori; tetapi agar teori

berorientasi pada proses pengambilan keputusan dan relevan secara empiris, teori

19

Universitas Sumatera Utara


20

itu harus fokus pada perilaku pengambilan keputusan yang sebenarnya. Oleh

karena itu Cyert dan March mengusulkan teori perilaku perusahaan (BTOF)

sebagai tandingan teori yang tidak didasarkan pada pengamatan proses

pengambilan keputusan dan tidak terbukti relevan secara empiris untuk keputusan

tingkat perusahaan, meskipun mereka mungkin masih berguna prediksi tingkat

makro. Tinjauan dan reformulasi modern telah terbagi antara upaya untuk

menegaskan kembali definisi perilaku ini dan upaya untuk memperluasnya.

Sebuah tinjauan baru-baru ini mencerminkan perpecahan, karena definisi

yang sesuai dengan pertumbuhan umum dan diversifikasi literatur perilaku, tetapi

juga mencatat bahwa teori perilaku memiliki dasar yang sama dalam gagasan

rasionalitas terbatas individu dan prosedur organisasi untuk pengambilan

keputusan ( Gavetti et al, 2012). Dalam bidang manajemen, gagasan bahwa teori

harus dibangun di atas pengamatan proses pengambilan keputusan saat ini begitu

konvensional sehingga kebalikannya tampaknya memiliki nilai historis.

Namun, definisi klasik dari perilaku masih memiliki perdebatan. Teori

pengambilan keputusan intra-organisasi berdasarkan ide-ide ekuilibrium bukanlah

teori proses dan oleh karena itu gagal dalam bagian proses dari definisi, yang

berarti bahwa teori agensi atau kontrak, misalnya, bukanlah teori perilaku. Jika

sebuah teori sesuai dengan pengamatan empiris, mungkin sesuai dengan bagian

lain dari definisi, dan relevansi empiris.

Beberapa teori yang diutarakan pada tingkat analisis yang sangat tinggi

juga tidak memiliki teori proses pengambilan keputusan yang jelas, atau mereka

akan konsisten dengan beberapa teori proses pengambilan keputusan, dan teori

semacam itu juga tidak berperilaku. Ekologi populasi tidak dimulai sebagai teori

Universitas Sumatera Utara


21

perilaku, meskipun kami kemudian akan berpendapat bahwa itu telah menjadi

teori perilaku.

Pandangan pengambilan keputusan yang berorientasi pada proses dalam

organisasi selalu menyiratkan fokus pada banyak orang, dan berpotensi beberapa

unit organisasi, yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Perumusan paling

awal dari teori perilaku perusahaan menekankan hal ini melalui teori pencarian

problemistik yang dimulai secara lokal ke suatu masalah tetapi diperluas jika

pencarian tidak memiliki solusi lokal, bersama dengan teori koalisinya dalam

pengambilan keputusan (Cyert dan March, 1963).

Fokus pada banyak orang ini melabuhkan teori-teori perilaku ke tingkat

analisis meso. Meskipun perlakuan khusus dapat melintasi tingkat analisis dan

karenanya melihat bagaimana tingkat meso berinteraksi dengan hasil tingkat

mikro atau tingkat makro, tingkat meso tidak dapat dihindari. Melalui

penekanannya pada proses yang dapat diamati, teori perilaku juga sangat

difokuskan pada mekanisme organisasi yang menghasilkan keputusan, daripada

keputusan sebagai hasil dari insentif atau tekanan.

Teori perilaku organisasi perlu memperhatikan bahwa perilaku dilakukan

dalam suatu organisasi. Meskipun para sarjana memperdebatkan definisi yang

tepat dari suatu organisasi, sebagian besar definisi setuju bahwa organisasi adalah

kumpulan individu dan kelompok yang melakukan aktivitas saling bergantung

yang berorientasi pada pencapaian tujuan. Karakteristik utama lain dari organisasi

adalah bahwa mereka menunjukkan beberapa keabadian dari waktu ke waktu dan

tertanam dalam lingkungan eksternal, tetapi para ahli teori berbeda dalam hal

Universitas Sumatera Utara


22

apakah mereka melihat karakteristik ini sebagai yang menentukan atau sesering

mungkin.

Ciri-ciri yang menentukan berimplikasi pada apa yang harus dimasukkan

dalam teori perilaku organisasi agar menjadi teori yang lengkap. Meskipun

terdapat teori-teori saat ini yang menangani masalah tersebut dengan derajat yang

berbeda. Tulisan ini menunjukkan perspektif teoretis yang berfokus pada solusi

mereka.

Teori Perilaku Perusahaan

Teori perilaku perusahaan adalah tradisi penelitian yang menelusuri asal-

usulnya langsung ke "Teori Perilaku Perusahaan" (Cyert dan Maret, 1963), dan

penekanannya pada pembelajaran organisasi terkait erat dengan teori

pembelajaran organisasi (Levitt dan Maret, 1988). Ada ulasan terbaru tentang

teori perilaku perusahaan (Gavetti et al. 2012) jadi penelitian ini ditinjau secara

singkat dan dengan penekanan pada kontribusi utama dan pekerjaan terbaru.

Salah satu cabang penelitian ini telah mengambil pernyataan tentang

pengambilan keputusan manajerial sebagai fitur utama dari teori ini. Fitur utama

pembuat keputusan bergaya dalam teori perilaku perusahaan adalah fokus pada

variabel tujuan dan adaptasi tingkat aspirasi, dan verifikasi asumsi ini adalah fitur

dari pekerjaan lama dan saat ini.

Penyesuaian kecenderungan pengambilan risiko sebagai hasil kinerja

relatif terhadap tingkat aspirasi bukanlah bagian dari rumusan asli teori, tetapi

sejak itu menjadi sentral dalam pekerjaan pengambilan keputusan individu (Maret

dan Shapira, 1992), sebagian sebagai hasilnya pemupukan silang ide dengan

psikologi seperti teori prospek. Fokus pada tujuan dalam teori perilaku perusahaan

Universitas Sumatera Utara


23

juga dibawa ke penelitian di tim manajemen puncak dan analisis tingkat

organisasi.

Oleh karena perilaku berbeda sebagai akibat dari tujuan yang diperiksa

dan bagian lingkungan mana yang menonjol, pertanyaan tentang perhatian

organisasi muncul ke depan (Ocasio, 1997). Efek perhatian pada tindakan

organisasi dieksplorasi dalam penelitian tentang hasil seperti perhatian tim

manajemen puncak dan pernyataan publik organisasi. Pekerjaan ini berkaitan erat

dengan penelitian yang mengintegrasikan pengaruh pencarian informasi

manajerial, karakteristik manajerial, dan tanggapan terhadap kinerja dalam

pengambilan keputusan.

Teori perilaku perusahaan memprediksi bahwa organisasi merespons

kinerja di bawah tingkat aspirasi dengan terlibat dalam pencarian problemistik.

Hal ini telah dikembangkan menjadi aliran penelitian tentang umpan balik kinerja,

yang meneliti bagaimana perubahan organisasi dihasilkan dari kinerja di bawah

tingkat aspirasi, yang pada gilirannya beradaptasi sebagai hasil dari perbandingan

sosial dan historis (Greve, 2003).

Banyak dari pekerjaan ini berada pada tingkat analisis organisasi, dan ini

menunjukkan efek pada keputusan yang tampaknya disesuaikan dengan cepat

pulih dari kinerja yang buruk seperti masuk pasar, investasi, dan peluncuran

inovasi (Greve, 2003). Keputusan yang sama ini berisiko, jadi penelitian juga

menunjukkan peningkatan pengambilan risiko ketika kinerja di bawah tingkat

aspirasi.

Sebuah wawasan penting dalam The Behavioral Theory of the Firm adalah

bahwa organisasi belajar dari pengalaman mereka. Pengetahuan atau kecerdasan

Universitas Sumatera Utara


24

yang mereka peroleh tertanam dalam prosedur atau rutinitas operasi standar, yang

memengaruhi kinerja masa depan. Jadi, alih-alih setiap tindakan yang dilakukan

organisasi merupakan hasil perhitungan, banyak tindakan adalah hasil dari

penerapan rutinitas. Rutinitas organisasi adalah urutan tugas yang saling

bergantung yang dilakukan oleh banyak anggota.

Konsepsi awal tentang rutinitas menekankan bahwa mereka menyimpan

pelajaran dari masa lalu dan dengan demikian meningkatkan efisiensi di masa

depan. Rutinitas dipahami sebagai sumber stabilitas dalam organisasi dan

mewakili gencatan senjata politik tentang bagaimana tugas harus dilakukan dalam

organisasi. Pekerjaan terbaru tentang rutinitas telah menekankan bahwa mereka

adalah sumber perubahan serta stabilitas (Feldman dan Pentland, 2003) dan telah

memahami perkembangan bertahap dari rutinitas organisasi sebagai mesin evolusi

dalam organisasi (Nelson dan Winter, 1982).

Dua rangkaian penelitian tentang pembelajaran organisasi telah

mengambil pendirian yang berbeda tentang peran pengalaman organisasi. Satu

untai, dicontohkan oleh penelitian tentang kurva pembelajaran organisasi,

menemukan bahwa meskipun ada variasi yang cukup besar dalam tingkat

perbaikan, pengalaman umumnya meningkatkan dimensi kinerja organisasi

(Argote, 2013). Untaian lain menekankan tantangan pengambilan sampel yang

tepat dan belajar dari pengalaman dalam organisasi (Denrell dan Maret, 2001).

Kedua untaian penelitian ini telah terjalin sampai batas tertentu dengan

peneliti menjelaskan variasi dalam tingkat di mana organisasi belajar dari

pengalaman dan mengidentifikasi kondisi di mana pengalaman berbahaya atau

membantu kinerja organisasi. Menurut Levitt dan March (1988) bahwa tidak

Universitas Sumatera Utara


25

hanya organisasi belajar dari pengalaman langsung mereka sendiri, mereka juga

belajar dari pengalaman organisasi lain. Bentuk pembelajaran yang terakhir ini

disebut sebagai pembelajaran perwakilan atau transfer pengetahuan.

Teori perilaku perusahaan sejak awal menunjukkan perhatian terhadap

konsekuensi aturan perilaku yang ditemukan oleh penelitian empiris. Hal ini

menyebabkan tradisi pemodelan yang kaya yang menunjukkan bagaimana aturan

perilaku yang berbeda mempengaruhi kinerja dan adaptasi organisasi dalam

lingkungan yang stabil atau berubah (March et al., 2000). Penemuan klasik

mencakup pekerjaan yang menunjukkan bahaya pembelajaran rutin yang cepat

atau reaksi yang tepat terhadap umpan balik yang berisik, keduanya dapat

menyebabkan pemilihan strategi yang secara inheren inferior.

Argumen ini dikembangkan lebih lanjut menjadi tradeoff terkenal antara

eksplorasi strategi baru dan eksploitasi strategi saat ini (Maret, 1991), argumen

yang sejak itu telah terbukti stabil di seluruh kerangka pemodelan (Denrell dan

Maret, 2001). Kesulitan dalam menemukan strategi atau struktur terbaik adalah

topik yang bertahan lama dalam tradisi pemodelan ini, dan banyak perlakuan

berfokus pada bagaimana struktur lingkungan menghadirkan jebakan atau

bagaimana struktur organisasi memengaruhi pengambilan keputusan dan

pembelajaran (Fang et al., 2010).

Perilaku organisasi (OB) adalah subjek ilmiah studi kinerja organisasi

berdasarkan analisis perilaku manusia secara individu dan kelompok saat

pengambilan keputusan. Hal itu terutama berfokus pada dampak individu,

kelompok, dan struktur pada perilaku manusia di dalam organisasi. Biasanya OB

Universitas Sumatera Utara


26

diterapkan dalam upaya menciptakan bisnis yang lebih efisien dalam mengubah

lingkungan internal dan eksternal.

Sejumlah besar studi penelitian dan perkembangan konseptual secara

konstan menambah basis pengetahuan. Hal ini juga merupakan ilmu terapan,

dalam informasi tentang praktik yang efektif dalam satu organisasi. Perilaku

organisasi "mikro" mengacu pada individu, dan dinamika kelompok dalam

organisasi. Manajemen strategis "Makro" dan studi teori organisasi dan industri,

terutama bagaimana mereka beradaptasi, memiliki strategi, struktur, dan

kontinjensi. Tujuan utama dari perilaku Organisasi adalah: (1) Untuk

menggambarkan secara sistematis bagaimana orang berperilaku dalam berbagai

kondisi, (2) Untuk memahami mengapa orang berperilaku seperti mereka, (3)

Memprediksi perilaku karyawan di masa depan, dan (4) Kontrol setidaknya

disebagian dan beberapa aktivitas manusia di tempat kerja. (5) Untuk mengetahui

bagaimana orang bisa termotivasi dan diarahkan pada tanggung jawabnya untuk

meningkatkan kinerja individu dan kelompok. Efektivitas dalam Organisasi

adalah biasanya dicapai dengan mempraktikkan nilai-nilai tertentu seperti:

(1) Keterbukaan dalam perilaku - yang menunjukkan langsung dan terbuka untuk

mempengaruhi, komitmen terhadap kesuksesan orang lain, dan kesediaan untuk

mengakui kontribusi karyawan terhadap masalah.

(2) Menerima keragaman - Menghormati dan mendorong sudut pandang yang

berbeda.

(3) Menampilkan pengakuan - Untuk individu dan tim yang berkontribusi pada

perusahaan keberhasilan.

Universitas Sumatera Utara


27

(4) Mengikuti praktik etis - Dengan manajemen sesuai dengan standar perilaku

etis

(5) Pemberdayaan - Dengan memberikan otoritas dan tanggung jawab kepada

karyawan kunci operasional.

Organisasi dipandang sebagai elemen yang saling bergantung dan manajer

harus menangani aspek internal dan eksternal dari perilaku organisasi. Organisasi

bergantung pada lingkungan internal untuk dua jenis masukan, yaitu sumber daya

alam karyawan yang merupakan masukan manusia dan masukan bukan manusia

seperti peralatan, informasi dan bahan baku.

2.3. Teori Motivasi

Teori motivasi dibangun di atas sekumpulan asumsi tentang sifat orang

dan tentang faktor-faktor yang memberikan dorongan untuk bertindak. Asumsi-

asumsi ini, dan teori-teori yang mengikutinya, dapat dipandang sebagai suatu

kontinum deskriptif mulai dari mekanistik hingga organismik. Teori mekanisme

cenderung memandang organisme manusia sebagai makhluk pasif, yaitu didorong

oleh interaksi dorongan fisiologis dan rangsangan lingkungan, sedangkan teori

organisme cenderung memandang organisme sebagai sesuatu yang aktif, yaitu,

sebagai kehendak dan awal perilaku.

Menurut perspektif terakhir, organisme memiliki kebutuhan intrinsik dan

dorongan fisiologis, dan kebutuhan intrinsik ini menyediakannya energi

organisme untuk bertindak (bukan hanya untuk menjadi reaktif) lingkungan dan

untuk mengelola aspek dorongan dan emosi. Pandangan organisme aktif

memperlakukan rangsangan bukan sebagai 'penyebab perilaku, tetapi sebagai

kemampuan atau peluang yang dapat dimanfaatkan organisme dalam memenuhi

Universitas Sumatera Utara


28

kebutuhannya. Ketika teori didasarkan pada asumsi organisme aktif, organisme

mengutamakan struktur pengalaman orang, dan lebih mementingkan arti

psikologis dari rangsangan daripada dengan karakteristik obyektif dari rangsangan

tersebut

A. Konseptualisasi Motivasi Intrinsik dan Penentuan Nasib Sendiri

Organisme manusia secara inheren adalah aktif, organisme mengambil

sesuatu, menyium, merasakan, melempar ke seberang ruangan, dan terus bertanya,

"Apa ini?" Organisme selalu ingin tahu, dan ingin melihat efek dari tindakan

tersebut. Anak-anak secara intrinsik termotivasi untuk belajar, menghadapi

tantangan, dan memecahkan masalah. Orang dewasa juga secara intrinsik

termotivasi untuk melakukan berbagai hal.

Orang menghabiskan banyak waktu untuk mengecat gambar, membangun

perabot, berolahraga, mengikis kayu, mendaki gunung, dan melakukan banyak hal

lain yang tidak ada ganjaran eksternal yang jelas atau berarti. Imbalannya melekat

dalam aktivitas tersebut, dan meskipun mungkin ada keuntungan sekunder,

motivator utamanya adalah pengalaman internal yang spontan yang menyertai

perilaku tersebut.

Motivasi intrinsik adalah sumber energi yang menjadi pusat aktivitas sifat

organisme. Dalam bab ini menjelaskan berbagai upaya untuk mengklarifikasi

masalah dan menyelesaikan masalah, dimulai dengan pembahasan historis tentang

munculnya konsep motivasi intrinsik dalam tradisi psikologi empiris dan

psikodinamik.

Universitas Sumatera Utara


29

B. Motivasi Intrinsik dikonseptualisasi

Manusia terlibat dalam sejumlah besar perilaku yang termotivasi secara

intrinsik, sehingga teori motivasi harus mampu menjelaskan perilaku yang

dimotivasi oleh "penghargaan yang tidak mengurangi kebutuhan dasar"

(Eisenberger, 1972). Hal Ini membutuhkan konsepsi motivasi intrinsik yang

memadai dan teori motivasi umum yang mencakup motivasi intrinsik serta jenis

motivasi lainnya.

Uraian ini melihat bahwa upaya untuk mengintegrasikan fenomena yang

dimotivasi secara intrinsik ke dalam teori penggerak Hullian dan teori naluri

Freudian terbukti tidak memadai. Seperti yang telah diramalkan Koch (1956),

penting untuk menempatkan keberadaan sumber motivasi yang berbeda secara

fundamental. Pada tingkat fisiologis hal ini dilakukan dengan teori-teori gairah;

pada tingkat psikologis hal itu dilakukan oleh teori ketidaksesuaian dan teori yang

berfokus pada kebutuhan akan kompetensi dan penentuan nasib sendiri, atau

emosi minat dan kesenangan.

Berdasarkan berbagai karya ini, uraian ini menawarkan definisi motivasi

intrinsik. Motivasi intrinsik didasarkan pada kebutuhan organismik bawaan akan

kompetensi dan penentuan nasib sendiri. Ini memberi energi pada berbagai

macam perilaku dan proses psikologis yang imbalan utamanya adalah pengalaman

efektivitas dan otonomi.

Kebutuhan intrinsik berbeda dari dorongan primer karena tidak didasarkan

pada defisit dasar dan tidak beroperasi secara siklis, yaitu, mendobrak kesadaran,

mendorong untuk dipuaskan, dan kemudian ketika puas, berdiam diri ke dalam

ketenangan. Namun, seperti dorongan, kebutuhan intrinsik bawaan dari organisme

Universitas Sumatera Utara


30

manusia berfungsi sebagai penyemangat perilaku. Kebutuhan intrinsik akan

kompetensi dan motivasi penentuan nasib sendiri yakni sebuah proses

berkelanjutan dalam mencari dan mencoba untuk menaklukkan tantangan yang

optimal.

Ketika orang bebas dari gangguan dorongan dan emosi, maka orang

tersebut mencari situasi yang menarik minat dan membutuhkan penggunaan

kreativitas dan akal. Orang mencari tantangan yang cocok untuk menggabungkan

berbagai elemen ke dalam struktur yang ada.

Perilaku termotivasi secara intrinsik, perilaku dimotivasi oleh kebutuhan,

kompetensi dan penentuan nasib sendiri, oleh karena itu dapat melibatkan proses

pencarian yang berkelanjutan dan mengurangi ketidaksesuaian yang optimal.

Emosi secara integral terkait dengan motivasi intrinsik. Emosi minat memainkan

peran direktif penting dalam perilaku termotivasi intrinsik di mana orang secara

alami mendekati aktivitas yang menarik minat.

Emosi kesenangan dan kegembiraan yang menyertai pengalaman

kompetensi dan otonomi mewakili penghargaan untuk perilaku yang termotivasi

secara intrinsik. Imbalan ini tidak benar disebut penguatan, tentu saja, karena

tidak mengurangi defisit kebutuhan dasar (Hull, 1943) atau secara operasional

terpisah dari aktivitas itu sendiri (Skinner, 1953).

Ketika orang termotivasi secara intrinsik, mereka mengalami minat dan

kenikmatan, merasa kompeten dan menentukan nasib sendiri, mereka merasakan

lokus kausalitas untuk perilaku mereka sebagai internal, dan dalam beberapa

contoh mereka mengalami aliran.

Universitas Sumatera Utara


31

Selain definisi psikologis, definisi operasional juga diperlukan untuk

tujuan penelitian. Pertama, motivasi intrinsik untuk suatu aktivitas ketika

seseorang melakukan aktivitas tersebut tanpa adanya kontingensi atau kendali

hadiah. Ini telah menjadi dasar dari apa yang disebut freechoice ukuran motivasi

intrinsik yang telah banyak digunakan di penelitian eksperimental.

Seperti semua definisi operasional, motivasi instrinsik tidak berkorelasi

sempurna dengan definisi psikologis, sehingga memerlukan penggunaan beberapa

perspektif dalam penerapannya. Penggunaan definisi operasional yang sederhana,

tanpa penilaian tepat telah menyebabkan beberapa temuan eksperimental yang

membingungkan.

Ketika menerapkan definisi operasional ini, akan berguna untuk mencatat

reaksi afektif subjek. Misalnya, Ryan (1982) menemukan bahwa ketika subjek

terlibat egois dalam suatu aktivitas, ketika harga diri mereka bergantung pada

perbuatan mereka maka, mereka mengalami tekanan dan ketegangan. Jika

seseorang mengamati perasaan tertekan dan tegang, bahkan jika berperilaku tanpa

adanya imbalan "eksternal" yang jelas, orang mungkin curiga bahwa ada beberapa

dinamika motivasi lain yang terlibat, dan seseorang akan melihat lebih dalam

untuk memahami proses daripada menyimpulkan motivasi intrinsik secara naif.

Kedua, terkadang kita melihat kualitas kinerja atau kinerja sebagai indikator

motivasi intrinsik. Karena motivasi intrinsik telah dikaitkan dengan kreativitas

yang lebih besar (Amabile, 1983), fleksibilitas (McGraw & McCullers, 1979), dan

spontanitas (Koestner, Ryan, Bernieri, &. Holt, 1984), kehadiran karakteristik

tersebut dapat menandakan motivasi intrinsik.

Universitas Sumatera Utara


32

Di seluruh literatur, teori-teori tentang kepuasan kerja telah secara

konsisten dikelompokkan baik pada 'sifat theoris' atau 'sifat kronologis’. Sebagai

contoh, S. Shajahan dan Linu Shajahan (2004) memberikan pengelompokan

berbasis alam sebagai Teori-Konten (Teori Hirarki Kebutuhan Maslow, teori Dua

Faktor Herzberg, Teori X dan Teori Y, ERG Alderfer teori, dan teori Kebutuhan

McClelland) dan teori Proses (Modifikasi Perilaku, Teori Evaluasi Kognitif, teori

Penentuan Sasaran, teori Penguatan Tujuan, teori Harapan, dan teori Ekuitas).

Luthans (2005) telah menggunakan perpaduan klasifikasi teori

berdasarkan alam dan sejarah yang ditulis pada tulisan pertamanya. Lain halnya

dengan tulisan Stephen P. Robbins (2005) yang menerapkan basis kronologi

tunggal dan mengkategorikan teori kepuasan kerja ke dalam Teori Awal (Hierarki

kebutuhan, Teori X & Y, Teori Dua Faktor) dan teori Kontemporer (teori

McClelland). Teori kebutuhan, teori Penentuan Sasaran, teori Penguatan, Teori

Desain Pekerjaan (model karakteristik pekerjaan), teori Ekuitas dan teori

Harapan). Saat ini konten dan teori proses telah menjadi penjelasan yang kuat

untuk motivasi kerja.

2.3.1. Teori konten

Teori Konten didasarkan pada apa yang memotivasi orang di tempat kerja

yaitu, mengidentifikasi kebutuhan, dorongan dan insentif / tujuan dan prioritas

mereka oleh individu untuk mendapatkan kepuasan dan dengan demikian pegawai

bekerja secara efektif (Luthans, 2005: 240). Hampir semua peneliti telah

mengelompokkan kebutuhan individu (pekerja) ke dalam tingkat primer,

sekunder, dan tinggi, yang harus dipenuhi setiap kali pekerja diharuskan

dimotivasi dan dipuaskan.

Universitas Sumatera Utara


33

Ada beberapa teori yang memandu para manajer dalam memahami "apa

yang memotivasi tenaga kerja" yakni :

A. Teori Motivasi / Kepuasan Maslow (1943)

Hirarki kebutuhan Maslow adalah “teori motivasi dan kepuasan yang

paling banyak disebutkan (Weihrich dan Koontz, 1999).” Maslow (1943)

mengidentifikasi lima level dalam hierarki kebutuhannya yaitu :

1. Kebutuhan fisik : (makanan, pakaian, tempat tinggal, jenis kelamin),

2. Kebutuhan keamanan : (perlindungan fisik),

3. Sosial : (peluang untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain),

4. Esteem / Achievement needs : (prestise diterima dari orang lain), dan

5. Aktualisasi Diri : (peluang untuk pemenuhan diri dan pencapaian melalui

pertumbuhan pribadi) (Maslow, 1943).

Selanjutnya, kepuasan kebutuhan individu dipengaruhi oleh sejauh mana

masing-masing individu memandang bahwa berbagai aspek kehidupannya harus

dan benar-benar memenuhi terpenuhi (Karimi, 2007). Beberapa berpendapat

bahwa teori hierarki kebutuhan Maslow adalah teori motivasi pertama yang benar-

benar meletakkan dasar bagi 'teori kepuasan kerja'. Teori ini berfungsi sebagai

dasar yang baik dari mana peneliti awal dapat mengembangkan teori kepuasan

kerja (Wikipedia, 2009).

B. Teori Dua Faktor Herzberg (1959)

Herzberg mengembangkan teori motivasi kerja tertentu pada sekitar 200

akuntan dan insinyur yang dipekerjakan oleh perusahaan di Pittsburgh,

Pennsylvania. Dia menggunakan metode pengumpulan data insiden kritis dengan

dua pertanyaan: a. kapan Anda merasa sangat baik tentang pekerjaan Anda - apa

Universitas Sumatera Utara


34

yang membuat Anda bersemangat? dan b. kapan Anda merasa sangat buruk

tentang pekerjaan Anda - apa yang membuat Anda tidak senang? (Luthans, 2005).

Herzberg menyimpulkan bahwa pemuas kerja (motivator) terkait dengan konten

pekerjaan dan bahwa pemuas kerja (faktor Kebersihan) terkait dengan konteks

pekerjaan.

Motivator berhubungan dengan isi pekerjaan seperti prestasi, pengakuan,

pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab dan kemajuan). Sedangkan faktor

kebersihan tidak 'memotivasi / memuaskan' namun bukan 'mencegah

ketidakpuasan.' Faktor-faktor ini berhubungan dengan konteks pekerjaan seperti,

kebijakan perusahaan, administrasi, pengawasan, gaji, hubungan interpersonal,

pengawas, dan kondisi kerja (Herzberg et al., 1959). Teori ini telah diakui sebagai

model yang paling berguna untuk mempelajari kepuasan kerja (Kim, 2004).

C. Teori X & Y (Douglas McGregor) (1960)

Setelah melihat cara manajer menangani karyawan, McGregor

menyimpulkan bahwa pandangan manajer tentang sifat manusia didasarkan pada

pengelompokan asumsi tertentu dan bahwa ia cenderung untuk membentuk

perilakunya terhadap bawahan sesuai "Asumsi" (Robbins, 1998) :

1. Teori X Asumsi

a. Manusia biasa memiliki ketidaksukaan yang melekat pada pekerjaan dan

akan menghindarinya jika mereka bisa.

b. Karena tidak menyukai pekerjaan, kebanyakan orang harus dipaksa,

dikendalikan, diarahkan, dan diancam dengan hukuman agar mereka

bekerja untuk organisasi.

Universitas Sumatera Utara


35

c. Rata-rata manusia lebih suka diarahkan, ingin menghindari tanggung

jawab, memiliki ambisi yang relatif sedikit, dan menginginkan keamanan

(Weihrich dan Koontz, 1999).

2. Teori Y Asumsi

a. Upaya fisik dan mental dalam bekerja sama wajarnya dengan bermain dan

beristirahat.

b. Kontrol dan ancaman eksternal bukan satu-satunya cara untuk

menghasilkan upaya menuju tujuan organisasi. Orang-orang akan

melakukan pengarahan diri sendiri dan pengendalian diri dalam mencapai

tujuan yang telah ditentukan.

c. Tingkat komitmen terhadap tujuan sebanding dengan ukuran penghargaan

yang terkait dengan prestasi.

d. Rata-rata manusia belajar, dalam kondisi yang tepat, tidak hanya untuk

menerima tanggung jawab tetapi juga untuk mencarinya (Weihrich dan

Koontz, 1999).

D. Theory of Needs - Achievement Theory (David Mc Clelland, 1961)

Mc Clelland and Associates berpendapat bahwa beberapa orang memiliki

dorongan kuat untuk berhasil. Mereka berjuang untuk pencapaian pribadi daripada

penghargaan keberhasilan semata. Mereka memiliki keinginan untuk melakukan

sesuatu yang lebih baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan

sebelumnya sehingga mereka lebih suka pekerjaan yang menantang - ini adalah

orang-orang yang berprestasi tinggi (Shajahan & Shajahan, 2004). Teori ini

menekankan pada motif pencapaian yang juga dikenal sebagai 'teori prestasi'

namun model ini mencakup tiga kebutuhan atau motif yang saling terkait:

Universitas Sumatera Utara


36

1) Prestasi: Dorongan untuk unggul, untuk mencapai dalam kaitannya dengan

aset standar, dan berusaha untuk berhasil.

2) Kekuatan: Kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa

sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya (Shajahan dan Shajahan,

2004). Ini mengacu pada keinginan untuk memiliki dampak, untuk menjadi

berpengaruh dan untuk mengendalikan orang lain (Robbins, 2005).

3) Afiliasi: Keinginan untuk hubungan interpersonal yang ramah dan dekat

(Shajahan & Shajahan, 2004: 95). Orang dengan afiliasi tinggi lebih suka

situasi kooperatif daripada yang kompetitif (Robbins, 2005: 53).

E. Teori ERG (Clayton P. Alderfer) (1969)

Clayton Alderfer (1969) telah mengerjakan ulang hierarki kebutuhan

Maslow untuk menyelaraskannya lebih dekat dengan penelitian empiris. Teori

ERG melakukan pengelompokan hierarki kebutuhan Maslow ke dalam tiga

kelompok kebutuhan: Keberadaan, Keterkaitan, dan Pertumbuhan. Klasifikasi

kebutuhannya menyerap pembagian kebutuhan Maslow menjadi:

a. Keberadaan (kebutuhan fisiologis dan keamanan),

b. Keterkaitan (kebutuhan sosial dan harga diri) dan

c. Pertumbuhan (aktualisasi diri) (Shajahan dan Shajahan, 2004)

Tidak seperti Maslow dan Herzberg, teori ini membantah bahwa kebutuhan

tingkat yang lebih rendah harus dipenuhi sebelum kebutuhan tingkat yang lebih

tinggi menjadi memotivasi (Luthans, 2005).

2.3.2. Teori Proses

Tidak seperti teori lainnya, teori proses lebih mementingkan 'bagaimana

motivasi terjadi? 'Konsep 'harapan' dari 'teori kognitif' memainkan peran dominan

Universitas Sumatera Utara


37

dalam proses teori kepuasan kerja (Luthans, 2005: 246). Dengan demikian, teori

proses mencoba menjelaskan bagaimana kebutuhan dan tujuan dipenuhi dapat

diterima secara kognitif (Perry et al., 2006). Sejumlah teori berorientasi proses

telah disarankan. Beberapa teori ini telah menarik perhatian para peneliti yang

menguji hipotesis ini di lingkungan yang berbeda dan menganggapnya sebagai

pemicu pemikiran. Teori proses terkemuka yang popular digunakan adalah

sebagai berikut:

1. Teori Ekuitas (J. Stacy Adams, 1963)

Teori ekuitas mengatakan bahwa karyawan menimbang input mereka dan hasil

dari input tersebut dan kemudian membandingkan rasio input-hasil dengan

rasio input-hasil dari orang. Jika mereka menganggap rasio mereka sama

dengan rasio orang lain yang relevan maka terjadilah ekuitas (Robbins, 2005).

2. Teori Harapan (Vroom, 1964)

Victor H. Vroom berpendapat bahwa orang akan termotivasi untuk melakukan

hal-hal untuk mencapai tujuan jika mereka percaya tujuan itu memiliki nilai

dan jika orang tersebut juga dapat melihat peluang (probabilitas) untuk

mencapai tujuan tersebut. (Weihrich dan Koontz, 1999). Teori Vroom dicirikan

dengan tiga variabel utama: valance, expectancy dan instrumentality. Valance

adalah kekuatan preferensi individu (nilai, insentif, sikap dan utilitas yang

diharapkan) untuk output tertentu. Expectancy mengacu pada probabilitas

bahwa upaya tertentu akan mengarah pada hasil tertentu pula di tahap awal.

Sedangkan instrumentalitas adalah sejauh mana hasil dari tahap awal akan

mengarah pada hasil tahap berikutnya yang diinginkan. Misalnya, seseorang

akan termotivasi (kekuatan atau upaya motivasi) menuju kinerja yang unggul

Universitas Sumatera Utara


38

(output tahap awal) untuk mewujudkan promosi (output tahap berikutnya)

(Luthans, 2005).

3. Porter / Lawler Expectancy Model (1968)

Porter dan Lawler menunjukkan bahwa 'usaha' (kekuatan atau kekuatan

motivasi) tidak mengarah langsung ke 'kinerja.' Usaha dimoderasi oleh

'kemampuan dan sifat' dan 'persepsi peran.' Demikian pula, 'kepuasan' tidak

tergantung pada kinerja dan bukan ditentukan oleh "probability of receiving

fair rewards" (Weihrich dan Koontz, 1999). Model motivasi Porter-Lawler

menunjukkan bahwa motivasi bergantung pada beberapa faktor kognitif yang

saling terkait, misalnya, usaha yang berasal dari "peluang usaha-reward yang

dirasakan" sebelum dimulai.

4. Teori Penentuan Sasaran (Edwin Locke, 1968)

Pada akhir 1960-an, Edwin Locke berpendapat bahwa niat dinyatakan sebagai

tujuan dapat menjadi sumber utama motivasi dan kepuasan kerja (Shajahan dan

Shajahan, 2004). Beberapa tujuan spesifik mengarah pada peningkatan kinerja.

Studi yang menguji teori penetapan tujuan telah menunjukkan keunggulan

tujuan yang spesifik dan menantang dengan umpan balik, sebagai kekuatan

yang memotivasi (Robbins, 2005: 54). Teori penetapan tujuan adalah satu-

satunya teori motivasi karyawan yang paling banyak diteliti dan dominan

(Perry et al., 2006). Teori tujuan mengusulkan bahwa tujuan yang sulit

memerlukan fokus pada masalah, meningkatkan rasa pentingnya tujuan dan

mendorong bertahan dan bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan. Teori

tujuan dapat dikombinasikan dengan teori kognitif untuk lebih memahami

fenomena, misalnya, alat kognitif self-efficacy adalah persepsi tentang

Universitas Sumatera Utara


39

kesulitan suatu tujuan dan kemampuan untuk mencapai tujuan (Moynihan dan

Pandey, 2007).

5. Teori Karakteristik Pekerjaan (Hachman & Oldham, 1975-76)

Hackman dan Oldham (1980) perumusan asli dari teori karakteristik pekerjaan

berpendapat bahwa hasil redesain pekerjaan dipengaruhi oleh beberapa

moderator. Yang menonjol di antara moderator ini adalah perbedaan sejauh

mana berbagai individu atau karyawan menginginkan pengembangan pribadi

atau psikologis. (Perry et al., 2006). Karakteristik pekerjaan adalah aspek

pekerjaan individu dan tugas-tugas yang membentuk bagaimana individu

memandang peran khususnya dalam organisasi. Kejelasan tugas mengarah

pada kepuasan kerja yang lebih besar. Teori ini memberi kejelasan peran yang

lebih besar akan menciptakan karyawan yang lebih puas, lebih berkomitmen,

dan lebih terlibat dalam pekerjaan mereka (Moynihan dan Pandey, 2007).

2.4. Teori Kinerja

2.4.1. Teori Kinerja Pegawai

Theory of Performance (ToP) mengembangkan dan menghubungkan enam

konsep dasar untuk membentuk kerangka kerja yang dapat digunakan untuk

menjelaskan kinerja serta peningkatan kinerja. Pencapaian kinerja adalah tentang

bagaimana menghasilkan hasil kerja yang dihargai. Seorang pegawai dapat

menjadi individu atau sekelompok orang yang terlibat dalam upaya kolaboratif.

Tingkat kinerja saat ini tergantung secara holistik pada 6 komponen: (1). konteks,

(2). tingkat pengetahuan, (3). tingkat keterampilan, (4). tingkat identitas, (5).

faktor pribadi, (6) dan faktor tetap. Tiga aksioma diusulkan untuk peningkatan

Universitas Sumatera Utara


40

kinerja yang efektif. Aksioma ini melibatkan pola pikir, lingkungan dan

keterlibatan dalam praktik kerja.

A. Teori untuk Mengevaluasi Hubungan Kepribadian dan Kinerja:

Perspektif Sosioanalitik

Sejak 1990, tinjauan meta-analitik menunjukkan bahwa ukuran

kepribadian adalah prediktor yang berguna untuk kinerja pekerjaan. Meskipun

hasil ini merupakan cara yang diterapkan Ilmu Psikologi dalam memandang

kepribadian sebagai bagian dari faktor kinerja (Guion & Gottier, 1965; Locke &

Hulin, 1962), namun masih belum ada kesepakatan teoritis tentang temuan

tersebut.

Teori perbedaan individu dalam efektivitas kerja yang menghubungkan

penilaian dengan kinerja akan meningkatkan nilai ukuran kepribadian untuk

meramalkan hasil kerja. Studi tersebut mengorganisir kriteria kepribadian

terhadap kinerja ke dalam beberapa tema yaitu: (a) bergaul dan maju, dan (b) Big-

Five kategori terhadap konten kepribadian. Korelasi antara ukuran kriteria dan

prediktor kepribadian kemudian dianalisis secara meta analisis dan hasilnya

dibandingkan dengan temuan sebelumnya. Hasilnya menunjukkan ada beberapa

kegunaan praktis untuk penelitian berbasis teori kepribadian terhadap kinerja.

B. Menerapkan Teori Socioanalytic untuk Kinerja di Tempat Kerja

Teori sosioanalitik (Hogan, 1983, 1991, 1996) berakar pada psikologi

interpersonal (Carson, 1969; Leary, 1957; Sullivan, 1953; Wiggins, 1979), dan

dimaksudkan untuk menjelaskan perbedaan individu dalam kesuksesan karier.

Teori ini didasarkan pada dua generalisasi yang relevan dengan perilaku

organisasi yaitu: orang selalu hidup (bekerja) dalam kelompok dan kelompok

Universitas Sumatera Utara


41

selalu terstruktur dalam hal hierarki status. Generalisasi ini menunjukkan adanya

dua pola motif yang diterjemahkan ke dalam perilaku yang dirancang untuk

“bergaul” dengan anggota kelompok lainnya dan untuk “maju” atau mencapai

status terhadap anggota kelompok lain. Bergaul dan maju adalah tema-tema akrab

dalam psikologi kepribadian (Adler, 1939; Bakan, 1966; Rank, 1945; Wiggins &

Trapnell, 1996).

Hal ini dibenarkan dalam istilah Darwinian: orang-orang yang tidak dapat

bergaul dengan orang lain dan yang tidak memiliki status dan kekuasaan telah

mengurangi peluang untuk keberhasilan reproduksi. Teori sosioanalitik

menetapkan bahwa kepribadian harus didefinisikan dari perspektif individu itu

sendiri dan orang yang mengamatinya. Kepribadian dari pandangan individu

adalah identitas seseorang, yang didefinisikan dalam hal strategi yang digunakan

seseorang untuk mengejar penerimaan dan status; identitas mengontrol perilaku

sosial individu.

Kepribadian dari pandangan pengamat adalah reputasi seseorang, dan

memang begitu didefinisikan dalam hal evaluasi sifat-menyesuaikan diri,

membantu, banyak bicara, kompetitif, tenang, ingin tahu dan sebagainya. Reputasi

mencerminkan pandangan pengamat tentang cara-cara khas individu dalam

berperilaku di depan umum. Reputasi adalah hubungan antara upaya individu

untuk mencapai penerimaan dan status dan bagaimana upaya tersebut dievaluasi

oleh pengamat. Reputasi menggambarkan perilaku seseorang dan menjelaskan

identitasnya.

Universitas Sumatera Utara


42

C. Perspektif Leksikal (Goldberg, 1981)

Faktor kepribadian Big-Five mewakili struktur peringkat pengamat

berdasarkan 75 tahun penelitian faktor analitik dari Thurstone (1934) hingga

Goldberg (1993). Faktor-faktor ini adalah taksonomi dari reputasi (Digman, 1990;

John, 1990; Saucier & Goldberg, 1996), dan diberi label sebagai berikut: Faktor I,

Extraversion atau Surgency; Faktor II, Agreeableness; Faktor III, Kesadaran;

Faktor IV, Stabilitas Emosional; dan Faktor V, Intelek / Keterbukaan terhadap

Pengalaman (John, 1990). Karena reputasi adalah indeks kasar dari jumlah

penerimaan dan status yang dinikmati seseorang (Foa & Foa, 1974, 1980;

Wiggins, 1979), dan karena reputasi dikodekan dalam istilah Big Five (Saucier &

Goldberg, 1996), maka faktor Lima Besar juga merupakan evaluasi penerimaan

dan status (Digman, 1997).

Digman (1997) menyimpulkan bahwa terdapat dua faktor penting untuk

mengatur model Big-Five; dua faktor ini yaitu (1) Kepentingan sosial versus

perjuangan superioritas (Adler, 1939), persekutuan versus agensi (Bakan, 1966;

Wiggins, 1991), persatuan versus individualisme (Pangkat, 1945), status versus

popularitas ( Hogan, 1983), dan keintiman versus kekuasaan (McAdams, 1985)

(2) Kehidupan kerja (Motowidlo, Borman, & Schmit, 1997) yang diorganisasikan

sesuai dengan agenda dan peran - apa yang akan dilakukan dan siapa yang akan

melakukannya.

Untuk bergaul, orang harus bersikap kooperatif dan tampak patuh, ramah,

dan positif. Ketika sukses, mereka dievaluasi oleh orang lain sebagai bagian dari

tim yang baik, warga organisasi, dan penyedia layanan (Mount, Barrick, &

Stewart, 1998; Moon, 2001). Disisi lain, untuk maju orang harus mengambil

Universitas Sumatera Utara


43

inisiatif, mencari tanggung jawab, bersaing dan berusaha diakui. Ketika sukses

mereka digambarkan oleh orang lain sebagai mencapai hasil, memberikan

kepemimpinan, mengkomunikasikan visi dan memotivasi orang lain menuju

tujuan (Conway, 1999).

Diskusi sebelumnya menunjukkan model untuk memahami motivasi dan

untuk menilai perbedaan individu dalam kinerja di tempat kerja. Orang mencari

penerimaan dan status dalam kelompok kerja. Perilaku mereka mencerminkan

upaya ini. Perbedaan individu dalam kriteria kinerja dapat diatur dalam hal tema

bergaul dan maju. Faktor Big Five juga dapat diartikan sebagai upaya untuk

mendapatkan persetujuan dan status (Digman, 1997; Wiggins & Trapnell, 1996).

D. Pengukuran: Penilaian Kepribadian dan Big-Five Factors

Ada banyak perdebatan mengenai jumlah faktor kepribadian yang

diperlukan untuk memprediksi dan memahami perilaku kerja. Menurut Hough and

Ones (2001) memberikan ulasan terperinci dari debat ini, dan mereka membuat

poin-poin berikut. Analisis Tupes dan Christal (1961) tentang peringkat sifat

adalah fondasi kontemporer untuk Big-Five. Penelitian substansial mendukung

ketahanan dan generalisasi dari lima faktor di berbagai jenis penilaian, sumber

penilaian, bahasa dan budaya. Namun demikian, beberapa peneliti mengkritik

faktor Big-Five sebagai taksonomi yang tidak lengkap dan menyarankan bahwa

hubungan penting dikaburkan ketika analisis terbatas pada model Big-Five,

daripada Model Seven-Factors.

Tellegen dan Waller (1987), Hogan dan Hogan (1995), Hough (1997), dan

Saucier dan Goldberg semuanya menemukan dalam Seven Factors, lima di

antaranya sesuai dengan Big Five dan dua faktor tambahan. Saucier dan Goldberg

Universitas Sumatera Utara


44

(in press) menyimpulkan bahwa kepuasan Big-Five dapat dipertanyakan dalam

kriteria baru untuk menilai kecukupan model struktural untuk atribut kepribadian.

E. Pengukuran: Menilai Kinerja Pekerjaan menggunakan Model

Multidimensi

Metaconcepts dari getting along dan getting ahead adalah laten dalam

frasa seperti "peran instrumental dan ekspresif," "memulai struktur dan

memberikan pertimbangan," "tugas dan input sosial-emosional," "kelompok

berorientasi produksi versus berorientasi layanan," dan "tugas kinerja versus

kinerja kontekstual. Campbell, McHenry, dan Wise (1990) mengusulkan bahwa

kinerja dalam pekerjaan entry level di Angkatan Darat A.S. dapat dievaluasi

dalam lima dimensi: kemahiran inti, kemahiran prajurit, upaya dan

kepemimpinan, disiplin pribadi, dan kebugaran jasmani/militer. Campbell,

McCloy, Oppler dan Sager (1993) kemudian memperluas taksonomi ini menjadi

model umum kinerja pekerjaan yang terdiri dari delapan faktor untuk kemahiran

tugas khusus pekerjaan, kemahiran tugas khusus untuk pekerjaan, kemahiran

tugas komunikasi tertulis dan lisan, menunjukkan upaya, mempertahankan

disiplin pribadi, memfasilitasi kinerja rekan dan tim, pengawasan/ kepemimpinan,

dan manajemen/ administrasi.

Borman dan Motowidlo (1993) membedakan antara kinerja tugas dan

kinerja kontekstual-kinerja non-tugas yang penting dalam semua pekerjaan.

Kinerja tugas berhubungan dengan maju dan kinerja kontekstual berhubungan

dengan bergaul dengan orang lain. Demikian pula Hunt (1996) mengusulkan

model sembilan faktor kinerja pekerjaan entry-level, dengan faktor-faktor yang

berbeda sesuai untuk berbagai pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara


45

Model Hunt menyoroti pentingnya kemahiran teknis untuk keberhasilan

pekerjaan (maju), tetapi juga menekankan kontekstual kinerja, kewarganegaraan

organisasi, dan perilaku pro-sosial. Tiga dimensi ini adalah indeks untuk bergaul

di tempat kerja. Akhirnya, Tett, Guterman, Bleier dan Murphy (2000) mensintesis

12 model kinerja manajerial termasuk model yang dipublikasikan dan praktisi.

Tett et al. (2000) mengidentifikasi 53 dimensi kinerja dalam pekerjaan manajerial.

Inspeksi dimensi ini menunjukkan adanya faktor struktur dan pertimbangan yang

ada (Bass, 1990; Fiedler, 1967; Fleishman, 1953).

2.4.2. Tingkat Kinerja

Kinerja, seperti kata pepatah, adalah "perjalanan bukan tujuan." Lokasi

dalam perjalanan diberi label sebagai "tingkat kinerja." Setiap level mencirikan

efektivitas atau kualitas kinerja seperti:

1. Ketika seorang pengacara meningkatkan level kinerjanya, ia dapat melakukan

penelitian hukum lebih cepat, lebih menyeluruh, dan lebih mendalam.

2. Ketika departemen akademik meningkatkan tingkat kinerjanya, anggota

departemen dapat menghasilkan pembelajaran siswa yang lebih efektif,

penelitian yang lebih efektif, dan budaya yang lebih efektif.

3. Ketika seorang manajer meningkatkan level kinerjanya, ia dapat mengatur

orang dan sumber daya secara lebih efektif dan untuk mendapatkan hasil

berkualitas lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.

4. Ketika seorang guru meningkatkan tingkat kinerjanya, ia mampu menghasilkan

tingkat pembelajaran yang lebih dalam, peningkatan tingkat pengembangan

keterampilan, dan lebih banyak koneksi dengan disiplin untuk kelas yang lebih

besar sambil menghabiskan lebih sedikit waktu untuk melakukan hal ini.

Universitas Sumatera Utara


46

5. Ketika seorang aktor meningkatkan level kinerjanya, ia dapat mempelajari

bagian-bagian lebih cepat, memainkan peran yang lebih bervariasi, dan

menghasilkan dampak yang lebih dalam dan lebih bermakna pada audiens.

Kinerja di tingkat yang lebih tinggi menghasilkan hasil yang dapat

diklasifikasikan ke dalam kategori:

1. Peningkatan kualitas — hasil atau produk lebih efektif dalam memenuhi atau

melampaui harapan para pemangku kepentingan.

2. Pengurangan biaya — jumlah upaya atau sumber daya keuangan untuk

menghasilkan efisiensi.

3. Kemampuan meningkat — kemampuan untuk mengatasi lebih banyak

tantangan atau peningkatan jumlah proyek.

4. Peningkatan kapasitas — kemampuan untuk menghasilkan lebih banyak

output.

5. Pengetahuan meningkat — kedalaman dan luasnya pengetahuan meningkat.

6. Peningkatan keterampilan — kemampuan untuk menetapkan tujuan,

bertahan, dan mempertahankan pandangan positif.

7. Peningkatan luasnya aplikasi dan efektivitas.

2.4.3. Komponen Kinerja

Kinerja suatu sistem tergantung pada komponen sistem dan pada interaksi

antara komponen-komponen ini. Demikian pula tingkat kinerja individu atau

organisasi tergantung pada komponen yang diuraikan dalam Gambar 2.1.

Universitas Sumatera Utara


47

Gambar 2.1 Atributes of Higher Levels of Performance


Sumber: Elger, 2017

Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kinerja tidak dapat

diubah, faktor lain dapat dipengaruhi oleh pemain atau oleh orang lain. Faktor-

faktor yang dapat bervariasi terbagi dalam tiga kategori.

Tabel 2.2
Components that Holistically Interact to Establish Level of Performance
Component Description Exemplars Classification
Rules
Level of Identity As individuals A student uses associated with
mature in a disciplinary slang to maturation in a
discipline, they take describe engineering discipline or culture
on the shared design activities. associated with
identity of the A teacher examines his maturation in life
professional performance through internalized by
community while the lens of student person or
elevating their own learning. organization—the
uniqueness. As an individual or
organization A college dean holds
herself accountable organization takes
matures, it on the shared
develops it mission, for her leadership.
A research team identity
its way doing
business, and its evolves its identity as
uniqueness a performance
organization.
Level of Skills Skills describe making assumptions describe an action
specific actions persisting action is relevant in
that are used by being humble a broad range of
individuals, groups, setting goals performance
or organizations in observing contexts
multiple types of
performances.

Level of Knowledge Facts/information— derives from human


Knowledge involves facts, names of states, experiences
information, conversion factor can be
concepts, theories, between feet and communicated or
or principles inches recognized
acquired by a

Universitas Sumatera Utara


48

Component Description Exemplars Classification


Rules
person or group Concepts—democracy,
through experience chair, force,
or education. Principles/theories—
relationships between
the tilt of the earth and
the seasons; law of
conservation of energy
Context of This component The performance of an relates to
Performance includes variables academic department circumstances
associated with the is coupled with the associated with the
situation that the organizational performance
individual or effectiveness of the applies to multiple
organization host college. performance within
performs in. Learning of a student the context—not a
is coupled with the personal factor
organization of a
class.
Personal Factors This component Performance of a involves life
includes variables teacher is impacted situation of an
associated with the when he or she is ill individual
personal situation Performance of a dean
of an individual is impacted when his
or her spouse dies
A student’s
performance is
impacted by the
quality of his or her
home environment
Fixed Factors This component Performance in involves an
includes variables basketball is impacted individual
unique to an by height immutable; cannot
individual that Genetic factors be altered
cannot be altered influence performance

Sumber: Don Elger, 2017

Terdapat beragam definisi tentang konsep kinerja yang banyak digunakan

dalam berbagai penelitian empiris. Namun, pada tahun 1990 Campbell

menggambarkan literatur tentang struktur dan konten kinerja sebagai "virtual

desert". Selama 10 hingga 15 tahun terakhir terjadi peningkatan minat dalam

mengembangkan definisi kinerja dan menentukan konsep kinerja.

Universitas Sumatera Utara


49

Beberapa penulis setuju bahwa ketika mengkonseptualisasikan kinerja

seseorang maka harus membedakan antara aspek tindakan (misalnya: Perilaku)

dan aspek hasil kinerja (Campbell, 1990; Campbell, McCloy, Oppler, dan Sager,

1993; Kanfer, 1990; Roe, 1999). Tidak setiap perilaku dimasukkan dalam konsep

kinerja, tetapi hanya perilaku yang relevan untuk tujuan organisasi yang dapat

dimasukkan dalam konsep ini: "Kinerja adalah apa yang telah dirancang

organisasi untuk dilakukan, dan dilakukan dengan baik" (Campbell et al., 1993).

Dengan demikian, kinerja tidak didefinisikan oleh tindakan itu sendiri

tetapi oleh proses penilaian dan evaluasi (Ilgen & Schneider, 1991; Motowidlo,

Borman, dan Schmit, 1997). Selain itu kinerja merupakan tindakan yang dapat

diskalakan dan diukur (Campbell et al., 1993), sedangkan aspek hasil mengacu

pada konsekuensi atau hasil dari perilaku individu. Aspek hasil kinerja juga

tergantung pada faktor-faktor selain perilaku individu.

2.4.4. Kinerja Sebagai Konsep Multi-Dimensi

Kinerja adalah konsep multi-dimensi. Pada tingkat paling dasar, Borman

dan Motowidlo (1993) membedakan antara tugas dan kinerja kontekstual. Kinerja

tugas mengacu pada kemampuan individu yang dengannya individu tersebut

melakukan kegiatan yang berkontribusi pada 'inti teknis' organisasi. Kontribusi ini

dapat bersifat langsung (mis,. dalam kasus pekerja produksi), atau tidak langsung

(mis., dalam kasus manajer atau personel staf).

A. Kinerja Kontekstual

Kinerja kontekstual mengacu pada kegiatan yang tidak berkontribusi pada

inti teknis organisasi tetapi yang mendukung lingkungan organisasi, sosial, dan

psikologis dimana tujuan organisasi dikejar. Kinerja kontekstual mencakup tidak

Universitas Sumatera Utara


50

hanya perilaku seperti membantu rekan kerja atau menjadi anggota organisasi

yang dapat diandalkan, tetapi juga membuat saran tentang cara meningkatkan

prosedur kerja.

Tiga asumsi dasar dikaitkan dengan diferensiasi antara tugas dan kinerja

kontekstual (Borman & Motowidlo, 1997; Motowidlo & Schmit, 1999):

1. Kegiatan yang relevan untuk kinerja tugas bervariasi diantara pekerjaan

sedangkan kegiatan kinerja kontekstual relatif sama di seluruh pekerjaan;

2. Kinerja tugas terkait dengan kemampuan, sedangkan kinerja kontekstual

terkait dengan kepribadian dan motivasi;

3. Kinerja tugas lebih ditentukan dan merupakan perilaku dalam peran,

sedangkan kinerja kontekstual lebih diskresioner dan memiliki peran-ekstra.

B. Kinerja tugas

Kinerja tugas itu sendiri adalah multi-dimensi. Misalnya, diantara delapan

komponen kinerja yang diusulkan oleh Campbell (1990), ada lima faktor yang

mengacu pada kinerja tugas (Campbell, Gasser, & Oswald, 1996; Motowidlo &

Schmit, 1999) antara lain :

1. Kemahiran tugas khusus pekerjaan

2. Kemahiran tugas yang tidak spesifik untuk pekerjaan

3. Kemahiran komunikasi tertulis dan lisan

4. Pengawasan-dalam hal posisi pengawas atau kepemimpinan-dan sebagian

5. Manajemen / administrasi.

Masing-masing faktor ini terdiri dari sejumlah subfaktor yang mungkin berbeda

diantara berbagai pekerjaan. Misalnya, faktor manajemen / administrasi terdiri

dari subdimensi seperti:

Universitas Sumatera Utara


51

1. Perencanaan dan pengorganisasian

2. Membimbing, mengarahkan, memotivasi bawahan dan memberikan umpan

balik

3. Melatih dan mengembangkan bawahan

4. Komunikasi secara efektif dan memberi tahu orang lain (Borman & Brush,

1993).

Dalam beberapa tahun terakhir para peneliti memperhatikan aspek-aspek

spesifik dari kinerja tugas. Sebagai contoh inovasi dan perilaku yang berorientasi

pada pelanggan menjadi semakin penting ketika organisasi lebih menekankan

layanan pelanggan (Anderson & King, 1993; Bowen dan Waldman, 1999).

C. Konsep Kinerja Kontekstual

Para peneliti telah mengembangkan sejumlah konsep kinerja kontekstual.

Secara umum seseorang dapat membedakan antara dua jenis kinerja kontekstual:

yakni (1) kinerja sebagai konsep yang dinamis yang mana perilaku yang bertujuan

terutama pada kelancaran fungsi organisasi dan perilaku proaktif yang bertujuan

mengubah dan meningkatkan prosedur kerja dan proses organisasi. Perilaku

kinerja kontekstual yang 'menstabilkan' termasuk perilaku kewarganegaraan

organisasi dengan lima komponen yaitu: altruisme, kesadaran, kebajikan,

kesopanan, dan sportif (Organ, 1988), beberapa aspek spontanitas organisasi

(mis., membantu rekan kerja, melindungi organisasi, George & Brief, 1992) dan

perilaku organisasi prososial (Brief dan Motowidlo, 1986). (2) Perilaku yang lebih

proaktif termasuk inisiatif pribadi (Frese, Fay, Hilburger, Leng, & Tag, 1997;

Frese, Garst, dan Fay, 2000; Frese, Kring, Soose, & Zempel, 1996), suara (Van

Dyne & LePine, 1998), mengambil alih (Morrison & Phelps, 1999). Dengan

Universitas Sumatera Utara


52

demikian, kinerja kontekstual bukanlah satu set perilaku yang serupa, tetapi hal itu

merupakan konsep multidimensi (Van Dyne & LePine, 1998).

D. Hubungan Antara Tugas dan Kinerja Kontekstual

Tugas dan kinerja kontekstual dapat dengan mudah dibedakan pada tingkat

konseptual. Kedua konsep ini juga dapat dipisahkan secara empiris (mis.,

Morrison & Phelps, 1999; Motowidlo & Van Scotter, 1994; Van Scotter &

Motowidlo, 1996; Williams & Anderson, 1991). Selain itu kinerja tugas dan

faktor kinerja kontekstual seperti dedikasi pekerjaan dan fasilitasi antarpribadi

berkontribusi unik untuk kinerja keseluruhan dalam pekerjaan manajerial

(Conway, 1999). Kinerja kontekstual diprediksi oleh variabel individu lainnya,

tidak hanya kinerja tugas.

Kemampuan dan keterampilan cenderung untuk memprediksi kinerja tugas

sementara kepribadian dan faktor-faktor terkait cenderung untuk memprediksi

kinerja kontekstual (Borman dan Motowidlo, 1997; Hattrup, O'Connell, dan

Wingate, 1998; Motowidlo & Van Scotter, 1994). Namun, aspek spesifik dari

kinerja kontekstual seperti inisiatif pribadi telah terbukti diprediksi baik oleh

kemampuan dan faktor motivasi (Fay & Frese, dalam pers).

2.4.5. Kinerja Sebagai Konsep Dinamis

Kinerja individu tidak stabil dari waktu ke waktu. Variabilitas dalam

kinerja seseorang dari waktu ke waktu mencerminkan : (1) proses pembelajaran

dan perubahan jangka panjang lainnya dan (2) perubahan sementara dalam

kinerja. Kinerja individu berubah sebagai hasil pembelajaran. Studi menunjukkan

bahwa kinerja awalnya meningkat dengan meningkatnya waktu yang dihabiskan

dalam pekerjaan tertentu dan kemudian mencapai dataran tinggi (Avolio,

Universitas Sumatera Utara


53

Waldman, & McDaniel, 1990; McDaniel, Schmidt, & Hunter, 1988; Qui˜nones,

Ford, & Teachout, 1995). Selain itu, proses yang mendasari perubahan kinerja

dari waktu ke waktu.

Selama fase awal perolehan keterampilan, kinerja sangat bergantung pada

'pemrosesan terkontrol', ketersediaan pengetahuan deklaratif dan alokasi optimal

sumber daya perhatian terbatas, sedangkan kemudian dalam proses perolehan

keterampilan, kinerja sebagian besar bergantung pada pemrosesan otomatis,

pengetahuan prosedural, dan kemampuan psikomotorik (Ackerman, 1988; Kanfer

& Ackerman, 1989).

Untuk mengidentifikasi proses yang mendasari perubahan kinerja

pekerjaan, Murphy (1989) membedakan antara tahap transisi dan tahap

pemeliharaan. Tahap transisi terjadi ketika individu baru dalam suatu pekerjaan

dan ketika tugas itu baru. Tahap pemeliharaan terjadi ketika pengetahuan dan

keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dipelajari dan ketika

penyelesaian tugas menjadi otomatis. Untuk melakukan selama fase transisi,

kemampuan kognitif sangat relevan.

Selama tahap pemeliharaan, kemampuan kognitif menjadi kurang penting

dan faktor disposisi (motivasi, minat, nilai) meningkat dalam relevansi. Perubahan

kinerja dari waktu ke waktu tidak berubah-ubah antar individu. Ada bukti empiris

yang meningkat bahwa individu berbeda sehubungan dengan pola perubahan

intra-individu (Hofmann, Jacobs, & Gerras, 1992; Ployhard & Hakel, 1998;

Zickar dan Slaughter, 1999).

Temuan ini menunjukkan bahwa tidak ada pola pengembangan kinerja

yang seragam dari waktu ke waktu. Selain itu, ada variabilitas jangka pendek

Universitas Sumatera Utara


54

dalam kinerja yang disebabkan oleh perubahan dalam keadaan psiko-fisiologis

individu, termasuk kapasitas pemrosesan lintas waktu (Kahneman, 1973).

Perubahan ini mungkin disebabkan oleh jam kerja yang panjang, gangguan

ritme, atau paparan stres dan dapat menyebabkan kelelahan atau penurunan

aktivitas. Namun, status ini tidak serta merta mengakibatkan penurunan kinerja.

Individu, misalnya, mampu mengkompensasi kelelahan, baik itu dengan beralih

ke strategi yang berbeda atau dengan meningkatkan usaha (Hockey, 1997; Van

der Linden, Sonnentag, & Frese, dalam pers; Sperandio, 1971).

2.4.6. Perspektif Tentang Kinerja

Para peneliti telah mengadopsi berbagai perspektif untuk mempelajari

kinerja. Pada level paling umum seseorang dapat membedakan antara tiga

perspektif yang berbeda antara lain :

1. Perspektif perbedaan individu yang mencari karakteristik individu (mis.,

Kemampuan mental umum, kepribadian) sebagai sumber variasi dalam

kinerja,

2. Perspektif situasional yang berfokus pada aspek situasional sebagai fasilitator

dan hambatan untuk kinerja, dan

3. Perspektif regulasi kinerja yang menggambarkan proses kinerja.

Perspektif ini tidak saling terkait tetapi mendekati fenomena kinerja dari

sudut yang berbeda yang saling melengkapi. Pada bagian ini, terdapat tiga

perspektif dan pertanyaan inti ini untuk dibahas oleh masing-masing perspektif

secara rinci. Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa motivasi sangat

penting untuk kinerja. Konstruksi motivasi yang terkait dengan kinerja dapat

sebagian digolongkan di bawah perspektif perbedaan individu (mis., Kebutuhan

Universitas Sumatera Utara


55

akan prestasi), sebagian di bawah perspektif situasional (mis., Imbalan ekstrinsik),

dan sebagian lagi di bawah peraturan perspektif kinerja (mis., penetapan tujuan).

Terdapat beragam definisi tentang konsep kinerja yang banyak digunakan

dalam berbagai penelitian empiris. Namun, pada tahun 1990 Campbell

menggambarkan literatur tentang struktur dan konten kinerja sebagai "virtual

desert". Selama 10 hingga 15 tahun terakhir terjadi peningkatan minat dalam

mengembangkan definisi kinerja dan menentukan konsep kinerja.

Beberapa penulis setuju bahwa ketika mengkonseptualisasikan kinerja

seseorang maka harus membedakan antara aspek tindakan (misalnya: Perilaku)

dan aspek hasil kinerja (Campbell, 1990; Campbell, McCloy, Oppler, dan Sager,

1993; Kanfer, 1990; Roe, 1999). Tidak setiap perilaku dimasukkan dalam konsep

kinerja, tetapi hanya perilaku yang relevan untuk tujuan organisasi yang dapat

dimasukkan dalam konsep ini: "Kinerja adalah apa yang telah dirancang

organisasi untuk dilakukan, dan dilakukan dengan baik" (Campbell et al., 1993).

Dengan demikian, kinerja tidak didefinisikan oleh tindakan itu sendiri

tetapi oleh proses penilaian dan evaluasi (Ilgen & Schneider, 1991; Motowidlo,

Borman, dan Schmit, 1997). Selain itu kinerja merupakan tindakan yang dapat

diskalakan dan diukur (Campbell et al., 1993), sedangkan aspek hasil mengacu

pada konsekuensi atau hasil dari perilaku individu. Aspek hasil kinerja juga

tergantung pada faktor-faktor selain perilaku individu.

2.5. Affective Event Theory

Rambu-rambu mengarahkan manusia ke reaksi afektif dan akan

menyajikan gambaran posisi yang disebut dengan Teori Peristiwa Afektif atau

AET. Tinjauan ini akan menyoroti beberapa elemen AET yang lebih penting,

Universitas Sumatera Utara


56

membandingkan posisi AET dengan posisi yang lebih tradisional tentang

kepuasan kerja.

Diskusi yang lebih rinci tentang komponen-komponen tersebut akan

menjadi bagian makalah selanjutnya. Dalam membandingkan Teori Peristiwa

Afektif dengan teori tradisional, titik tolak pertama adalah bahwa Teori Peristiwa

Afektif berfokus pada struktur, sebab, dan konsekuensi dari pengalaman afektif di

tempat kerja. Dimana, kepuasan adalah penilaian evaluatif yang dibuat tentang

pekerjaan seseorang.

Sementara pengalaman afektif dapat mempengaruhi penilaian, kepuasan

dan pengaruh bukanlah konstruksi yang setara. Dalam penggambaran faktor-

faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, Teori Peristiwa Afektif berfokus pada

pengalaman afektif, sebagai sebuah teori yang mengimbangi teori lain secara

eksklusif yang berfokus pada proses penilaian. Namun, di sini pengalaman afektif

adalah fenomena yang lebih sentral dari minat dengan kepuasan kerja sebagai

salah satu konsekuensinya.

Selanjutnya, Teori Peristiwa Afektif mengalihkan perhatian dari ciri-ciri

lingkungan dan ke peristiwa-peristiwa sebagai penyebab proksimal dari reaksi

afektif. Banyak hal terjadi pada orang-orang dalam lingkungan kerja dan orang-

orang sering bereaksi secara emosional terhadap peristiwa ini. Pengalaman afektif

ini memiliki pengaruh langsung pada perilaku dan sikap dan sifat dari efek ini

belum dieksplorasi. Tulisan ini tidak mengabaikan relevansi fitur tetapi secara

tentatif menyarankan bahwa fitur lingkungan dipengaruhi terutama oleh membuat

peristiwa afektif (atau ingatan atau imajinasi peristiwa afektif) lebih atau kurang

mungkin.

Universitas Sumatera Utara


57

Teori Peristiwa Afektif juga menambahkan waktu sebagai parameter

penting saat memeriksa pengaruh dan kepuasan. Penelitian tentang suasana hati

dan emosi dengan jelas menunjukkan bahwa tingkat pengaruh berfluktuasi dari

waktu ke waktu dan bahwa pola fluktuasi ini sebagian besar dapat diprediksi.

Tulisan ini mengusulkan bahwa pola reaksi afektif ini memengaruhi perasaan

secara keseluruhan tentang pekerjaan seseorang dan perilaku diskrit di tempat

kerja.

Memperhatikan pola pengalaman afektif dari waktu ke waktu berlawanan

langsung dengan pendekatan tradisional terhadap kepuasan kerja di mana waktu

pengukuran tidak dianggap penting secara teoritis. Dalam pendekatan seperti itu,

kepuasan, serta indeks prediktor dan konsekuensi (kinerja, misalnya) dinilai pada

titik waktu tertentu. Mengabaikan waktu konsisten dengan posisi teoritis yang

berfokus pada efek fitur lingkungan karena fitur tersebut dianggap relatif stabil.

Sayangnya, pendekatan ini mengabaikan pentingnya variasi afektif,

kesalahan yang mungkin berkontribusi pada kegagalan untuk menemukan

hubungan pengaruh-kinerja dari substansi apapun. Akhirnya, Teori Peristiwa

Afektif menganggap struktur reaksi afektif sama pentingnya dengan struktur

lingkungan. Struktur dimensi kepuasan kerja menitikberatkan pada dimensi objek

sikap. Artinya, pekerjaan adalah objek dan dimensinya adalah fitur-fitur seperti

gaji atau pengawasan. AET menyadari bahwa pengaruh itu sendiri bersifat

multidimensi dan menekankan pentingnya struktur pengalaman psikologis. Orang

bisa merasa marah, frustrasi, bangga atau gembira dan reaksi yang berbeda ini

memiliki implikasi perilaku yang berbeda

Universitas Sumatera Utara


58

2.6. Teori Kepemimpinan

Menurut Bass (1990) menyatakan bahwa kemunculan kata 'pemimpin'

dalam bahasa Inggris dimulai sejak tahun 1300 dan kata 'kepemimpinan' tidak

pernah muncul sampai paruh pertama abad ke-19. Selain itu, Bass (1990)

menegaskan bahwa hingga saat ini tidak terungkap ‘kepemimpinan’ dalam bahasa

modern lainnya. Selama berabad-abad orang telah mencari arah, tujuan, dan

makna untuk memandu aktivitas bersama. Kepemimpinan diperlukan untuk

mengembangkan tujuan, arah, imajinasi, dan hasrat, khususnya di saat krisis atau

perubahan yang cepat.

Pada saat seperti itu orang membutuhkan pemimpin untuk harapan,

inspirasi, dan jalan yang akan membawa mereka ke tempat yang lebih diinginkan

(Bolman & Deal, 1994).Tantangan kontemporer seperti outsourcing, persyaratan

kualitas total, persaingan global, kemajuan teknologi, keragaman, dan aliansi baru

dihadapi oleh sebagian besar tenaga kerja, administrator, manajer, dan eksekutif.

Perusahaan yang dulunya berada di depan pesaing masing-masing dengan hanya

membuat perubahan bertahap atau linier tiba-tiba menyadari bahwa mereka telah

tergelincir ke belakang atau mengarah ke sasaran / arah yang salah. Hyden (1994)

menyatakan tidak ada cukup pemimpin tetapi terlalu banyak manajer di sana.

Adaptasi kompetensi inti seperti komunikasi, pemberdayaan, visi,

pemikiran strategis dan toleransi telah memainkan peran penting dalam

menciptakan lebih banyak pemimpin. Menurut Gill, et al (1998) saat menjelaskan

pentingnya Kepemimpinan dan Organisasi untuk masa depan, berpendapat bahwa

perkembangan teori kepemimpinan telah mencapai posisi yang sejajar dengan

perkembangan teori organisasi.

Universitas Sumatera Utara


59

Model kepemimpinan seperti kepemimpinan transformasional, laissez-

faire dan transaksional menggambarkan model lama organisasi birokrasi serta

memperkuat model organisasi baru untuk masa depan. Organisasi birokrasi dinilai

sesuai dengan konsep kepemimpinan laissez-faire. Sedangkan organisasi pasca-

birokrasi dievaluasi oleh empat "I" kepemimpinan transformasional yaitu;

Pengaruh yang diidealkan, pertimbangan individual, motivasi inspirasional, dan

stimulasi intelektual.

Perkembangan organisasi akhir-akhir ini serta dominasi organisasi pasca

birokrasi tentunya berkaitan dengan arah baru tentang pertimbangan

kepemimpinan. Literatur yang tersedia tentang kepemimpinan menunjukkan

bahwa ada perbedaan yang signifikan antara istilah, 'pemimpin' dan 'manajer.

Menurut Squires (2001) mengemukakan bahwa, pemimpin peduli dengan aspek

spiritual dari pekerjaan, karena memiliki pengikut yang sangat percaya pada

mereka dan memiliki kekuatan laten dalam organisasi.

Namun, manajer menangani tugas rutin seperti alokasi peran, tugas dan

sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi, sinkronisasi

kegiatan dan prosedur yang dialokasikan dan mengamati operasi sehari-hari

organisasi. Manajer dikaitkan dengan periode stabilitas; pemimpin dengan periode

ketidakstabilan (Bryman, 1993). Ketika ada kedamaian, orang-orang bahagia dan

puas, hampir tidak ada kebutuhan untuk kepemimpinan.Tetapi ketika daya tahan

manusia dipertaruhkan dan kondisi mendesak seseorang untuk melangkah maju

dan memulai perubahan, persyaratan untuk kepemimpinan menjadi sangat besar

(English, 1992).

Universitas Sumatera Utara


60

Selanjutnya, pemimpin memiliki visi masa depan dan mereka

mengembangkan strategi yang wajib membawa perubahan yang diperlukan untuk

mewujudkan visi tersebut. Namun, manajer mengambil langkah-langkah

tambahan dan membuat jadwal untuk mencapai hasil tersebut (Carlson, 1996).

Menurut Day (2000) menyatakan bahwa kepemimpinan membangun dan

menopang rasa visi, budaya, dan hubungan interpersonal. Padahal, manajemen

adalah mengkoordinasikan, mendukung, dan memantau aktivitas suatu organisasi.

Menurut Hersey dan Blanchard (1969) mengusulkan bahwa

kepemimpinan adalah konsep yang lebih luas daripada manajemen. Di mana

manajemen adalah sub keterampilan kepemimpinan yakni pencapaian tujuan

organisasi adalah yang terpenting. Kepemimpinan mencakup bekerja dengan dan

melalui orang-orang untuk mencapai tujuan tetapi tidak pada tujuan organisasi.

Sepanjang sejarah, penjelasan teoretis tentang kepemimpinan telah disajikan.

Pendekatan Trait sampai akhir 1940-an menunjukkan bahwa kapasitas

kepemimpinan sudah ada sejak lahir (Bryman, 1993). Orang-orang ternyata

menjadi pemimpin karena sifat-sifat yang mereka miliki seperti kecerdasan,

penampilan, keterampilan komunikasi, dan lain-lain (Bolman et al, 1994).

Pada akhir 1940-an hingga akhir 1960-an, Pendekatan Perilaku menjadi

lazim mempromosikan bahwa efektivitas dalam kepemimpinan adalah fungsi dari

bagaimana seorang pemimpin berperilaku. Pendekatan Kontingensi, di sisi lain,

mengusulkan bahwa kepemimpinan yang efektif tergantung pada keadaan, dan

menjadi meluas pada akhir 1960-an hingga awal 1980-an. Ini menunjukkan bahwa

gaya tertentu cocok dalam beberapa keadaan sedangkan yang lain tidak. Namun,

pendekatan kepemimpinan baru-baru ini menekankan pada visi dan karisma,

Universitas Sumatera Utara


61

istilah yang digunakan oleh sosiolog Max Weber untuk mendefinisikan pemimpin

yang dapat memimpin, tetapi tidak memegang 'jabatan yang disetujui'.

Pada akhir 1970-an model kepemimpinan transaksional dan

transformasional berkembang. Kepemimpinan transaksional mengusulkan bahwa

hubungan antara manajer dan karyawan didasarkan pada tawar-menawar

sedangkan kepemimpinan transformasional menganggap bahwa hubungan antara

manajer dan karyawan adalah saling percaya dan ditandai oleh empat faktor:

karisma, inspirasi, pertimbangan individu dan stimulasi intelektual. Menurut

Bolman dan Deal (1991) menganggap kepemimpinan dalam empat kerangka:

kerangka struktural, sumber daya manusia, politik dan simbolik. Kerangka

tersebut menyarankan bahwa jiwa kepemimpinan yang efektif terletak pada

mengetahui kerangka mana yang akan diterapkan dalam situasi tertentu.

Kerangka struktural akan membantu dalam organisasi dengan tujuan yang

jelas, teknologi yang kuat dan otoritas yang stabil, namun kerangka sumber daya

manusia akan bekerja dalam organisasi di mana semangat dan motivasi karyawan

rendah. Kerangka politik akan menonjol di mana sumber daya langka, konflik dan

keragaman tinggi. Kerangka simbolis akan menjadi sangat penting di mana tujuan

tidak jelas dan ambiguitas tinggi

A. Tinjauan Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan telah menjadi konsep multifaset yang dengannya banyak

filosofi telah dikembangkan. Ada beberapa deskripsi tentang apa itu dan dalam

keadaan apa mengungkapkan dirinya sendiri. Seperti yang didefinisikan oleh Tead

(1935), ini adalah aktivitas mempengaruhi orang untuk berkolaborasi menuju

tujuan bersama yang diinginkan. Seperti yang dapat disimpulkan dari pernyataan

Universitas Sumatera Utara


62

tersebut, menuntut adanya interaksi antara dua komponen: mereka yang

memimpin dan mereka yang mengikuti. Pemimpin tidak bisa hidup tanpa

pengikut dan sebaliknya.

Kepemimpinan memiliki pengaruh yang nyata pada budaya, sejarah, dan

peradaban manusia, deskripsi teoretis untuk itu telah ditawarkan sepanjang

sejarah. Bagian ini akan memberikan latar belakang sejarah filosofi

kepemimpinan yang tertanam dalam bisnis dan industri. Selanjutnya akan fokus

pada pendekatan kontemporer untuk kepemimpinan

B. Teori Sifat Kepemimpinan

Studi tentang sifat-sifat khusus pemimpin dikembangkan dari keyakinan

bahwa kepemimpinan dan kemampuan seperti kecerdasan bersifat genetik. Selain

kecerdasan, elemen lain seperti urutan kelahiran, status, dan orang tua liberal

sangat berkorelasi dengan kapasitas kepemimpinan (Carlson, 1996). Pendekatan

ini menempati studi tentang kepemimpinan hingga tahun 1950-an. Hak ini

mencoba untuk menggambarkan ciri fisik atau psikologis yang berbeda dari

individu yang menggambarkan perilaku pemimpin (Hoy dan Miskel, 1991).

Kapasitas kepemimpinan adalah bawaan. Filsuf terkenal Aristoteles (dikutip

dalam Hoy dan Miskel, 1991) menyatakan bahwa '' dari saat lahir, beberapa

ditandai untuk ditundukkan, yang lain untuk aturan. ''

C. Teori Perilaku Kepemimpinan

Kekecewaan menemukan 'emas' dalam sifat 'tambang' memaksa para

peneliti untuk memeriksa perilaku yang ditunjukkan oleh pemimpin tertentu.

Kajian perilaku kepemimpinan dimaksudkan untuk mengenali perilaku yang

membedakan pemimpin dari non-pemimpin (Robbins, 1998). Teori perilaku dari

Universitas Sumatera Utara


63

kepemimpinan mendukung bahwa sekumpulan perilaku tertentu dapat disebut

sebagai gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan mengacu pada perilaku unik

yang diadopsi oleh orang-orang dalam posisi formal kepemimpinan (Campell, et

al., 1966) dan beberapa penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi mereka.

D. Teori Kontingensi Kepemimpinan

Pandangan kontingensi kepemimpinan muncul dari teori sistem dan

dampaknya terhadap teori organisasi dan administrasi. Menurut model ini,

perilaku pemimpin tertentu berhubungan dengan kinerja dan kepuasan kelompok.

Untuk mencapai hal tersebut, variabel-variabel tertentu berinteraksi satu sama lain

seperti pemimpin itu sendiri, jabatan yang dipegangnya, anggota kelompok,

lingkungan internal, dan lingkungan eksternal organisasi. Kesesuaian yang

berhasil antara pemimpin dan kinerja dan kepuasan kelompok adalah 'bergantung'

pada variabel-variabel ini.

Tiga variabel situasional yang mempengaruhi antara gaya dan efektivitas

pemimpin adalah hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan posisi

kekuasaan. Grup diklasifikasikan sebagai menguntungkan atau tidak

menguntungkan berdasarkan kriteria ini (Monahan dan Hengst, 1982).

E. Model Kontingensi Fiedler

Menurut Fiedler (1967) menyatakan bahwa jika kinerja organisasi ingin

ditingkatkan, kita harus mengatasi tidak hanya dengan gaya pemimpin tetapi juga

dengan faktor situasional yang mempengaruhinya. Kinerja organisasi dapat

ditingkatkan baik oleh kesesuaian pemimpin dengan situasi atau kesesuaian

situasi dengan pemimpin. Dimana Fiedler (1961) juga menyatakan bahwa ciri-ciri

kepemimpinan, jika ada, akan terpapar pada banyak pengaruh luar. Oleh karena

Universitas Sumatera Utara


64

itu, ciri-ciri kepemimpinan sulit untuk diidentifikasi. Fiedler (1961) berpendapat

bahwa berbagai penyebab dapat memaksa seseorang untuk menjadi seorang

pemimpin, banyak di antaranya sama sekali tidak terkait dengan atribut

kepribadian, salah satunya adalah warisan kepemimpinan. Fiedler menyarankan

bahwa menangani efektivitas kepemimpinan akan lebih logis dan bermanfaat

dengan alasan bahwa kemampuan untuk memotivasi orang lain mungkin

tergantung pada satu atau lebih ciri kepribadian.

Seorang pemimpin efektif sejauh dia membuat kelompoknya lebih

produktif. Dengan demikian, sifat efektivitas kepemimpinan dapat disebut sebagai

atribut kepribadian yang konsisten dan terukur yang memisahkan pemimpin yang

efektif dari yang tidak efektif. Namun, perilaku yang terkait dengan sifat-sifat ini

hanya akan terungkap dalam kondisi yang sesuai. Fiedler juga mengembangkan

instrumen pembeda semantik di mana pemimpin menilai rekan kerja yang paling

tidak dia kerjakan dengan baik. Pemimpin yang menilai rekan kerja mereka yang

paling tidak disukai secara positif dan menguntungkan diklasifikasikan sebagai

'hubungan termotivasi' dan mereka yang menilai rekan kerja mereka yang paling

tidak disukai secara negatif dan tidak disukai didefinisikan sebagai 'tugas

termotivasi' (Monahan & Hengst, 1982).

2.7. Teori Work Family Conflict

Work family conflict (WFC) berasal dari studi konflik peran (Zaiton et al,

2010), maka WFC dapat didefinisikan berdasarkan teori peran sebagai: '' bentuk

konflik antar peran, dimana tuntutan pekerjaan dan peran keluarga tidak

kompatibel (Greenhaus dan Beutell, 1985) dalam beberapa hal, sehingga terjadi

ketimpangan antar peran tersebut. Artinya, terdapat dominasi antar peran yaitu

Universitas Sumatera Utara


65

peran terhadap pekerjaan lebih condong sehingga mengganggu peran individu

tersebut dalam keluarganya. Tanggung jawab di tempat kerja dan dalam keluarga

jelas penting bagi sebagian besar individu; Namun, ketika diambil bersama-sama,

tanggung jawab ini sering mengakibatkan tuntutan yang bertentangan (Boles et

al., 1997).

Definisi tersebut menyiratkan bahwa konflik pekerjaan dan keluarga

bersifat dua arah. Konflik dapat timbul dari domain: konflik kerja-ke-keluarga

(WFC) atau konflik keluarga-ke-kerja (FWC) (Stoeva et al., 2002). WFC juga

dapat dilihat dari perspektif sumber daya dan permintaan (Voydanoff, 2005) yakni

WFC adalah evaluasi kognitif sumber daya dan tuntutan pekerjaan dan keluarga

dalam satu domain.

Dua dimensi umum WFC, yaitu pekerjaan dapat mengganggu keluarga

(Work inference family/WIF) dan keluarga juga dapat mengganggu pekerjaan

(Family inference work/FIW), dengan anteseden dan hasil yang berbeda (Frone et

al., 1997, Gutek dan Searle, 1991). Meskipun dua konflik yang berbeda ini saling

terkait (O'Driscoll et al., 2004), penelitian sebelumnya secara konsisten

menunjukkan bahwa orang dewasa yang bekerja dengan keluarga biasanya

mengalami lebih banyak konflik kerja-ke-keluarga daripada konflik keluarga-ke-

kerja (Kinnunen et al., 2003). Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian lainnya

yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan FIW, WIF lebih umum dan

memiliki dampak yang lebih besar pada dua hal yakni pekerjaan dan keluarga

(Burke, 2004; Frone, 2003).

Menurut (Dawn et al., 1995) dan (Nicholas, 2014 ) Work family conflict

(WFC) terdiri atas konflik dalam keluarga dan konflik dalam pekerjaan. WFC

Universitas Sumatera Utara


66

memberikan pengaruh positif terhadap turn over karyawan dan berhubungan

negatif dengan fleksibilitas tempat kerja (Robert, 2010). Adapun masing-masing

konflik tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: jumlah waktu yang

dihabiskan di tempat kerja, jumlah waktu yang dihabiskan untuk keluarga, faktor

demografi seperti: identitas diri di tempat kerja, identitas diri dalam keluarga dan

identitas sosial.

Pendapat lain dari (Neill, 2010) menyatakan bahwa work family (WF)

dimoderasi oleh moderator organisasi yang terdiri atas dimensi (dukungan

manajerial, dan iklim kerja) dan moderator individual yang terdiri atas dimensi

(gender, evaluasi diri, sumberdaya dan efektivitas).

Faktor yang menimbulkan WFC adalah ketika karyawan membawa

masalah dan stres dari tempat mereka bekerja ke rumah, sehingga hal tersebut

secara negatif mempengaruhi kualitas kehidupan keluarga. Sedangkan faktor

FWC terjadi ketika tanggung jawab keluarga mengganggu tugas-tugas terkait

pekerjaan individu.

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap timbulnya WFC adalah

lamanya pengalaman seseorang dalam bidang pekerjaan, hati nurani, cara

pengasuhan di keluarga, aturan dalam kehidupan dan jumlah aktivitas sehari-hari.

Hal tersebut akan berpengaruh terhadap cara seseorang dalam mensitesis perannya

baik dalam keluarga maupun pekerjaan.

Selain itu, para peneliti telah mengkategorikan faktor terjadinya WFC

menjadi tiga bagian, yaitu berdasarkan waktu, ketegangan dan perilaku (Carlson

et al., 2000). Salah satu variabel demografi yang menimbulkan terjadinya WFC

adalah gender. Perbedaan gender (Ellen et al, 1999; Cardoso, 2008; Adriana et al.,

Universitas Sumatera Utara


67

2014), marital status, kategori pekerjaan, dan kategori pendidikan (Tri et al.,

2015).

Banyaknya anak, terutama ketika karyawan memiliki anak-anak yang

tidak mandiri, jam kerja yang lebih lama, dan ketidakmampuan melakukan

pemisahan peran individu sebagai pekerja dan peran individu sebagai keluarga

akan turut meningkatkan terjadinya WFC. Menurut Pleck (1977) bahwa laki-laki

mengalami WFC lebih tinggi, sedangkan perempuan lebih dominan mengalami

FWC. Hal tersebut dikarenakan laki-laki cenderung lebih mampu memisahkan

perannya sebagai keluarga dan sebagai pekerja.

Namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa WFC dan FWC lebih

kuat untuk wanita dibandingkan dengan pria (Frone, 2003; Frone et al., 1992;

Williams dan Alliger, 1994). Alasan tersebut juga didukung oleh Idris et al, 2010)

yang menyatakan bahwa faktor penyebab wanita lebih cenderung mengalami

FWC dan WFC adalah karena pria merasa kurang bersalah daripada wanita

sehingga konflik yang dialami pria tidak banyak mempengaruhi kehidupan sosial

mereka.

David et al., (2003) menyatakan bahwa pasangan yang sama-sama bekerja

akan mengalami tingkat stres yang lebih tinggi daripada pasangan yang salah

satunya tidak bekerja. Work family conflict (WFC), konflik peran dan ambiguitas

peran akan lebih besar terjadi diantara pasangan yang sama-sama bekerja daripada

yang hanya salah satunya bekerja.

Hal lainnya yang menimbulkan WFC menurut Sue (2004) yakni ada

tidaknya dukungan organisasi tempat karyawan bekerja dan dukungan budaya

(Tejinder, 2013) dalam kehidupan karyawan tersebut. Jika karyawan mengalami

Universitas Sumatera Utara


68

dukungan di dalam organisasinya dan kehidupan sosialnya maka kecenderungan

karyawan akan mengalami WFC lebih sedikit dibandingkan dengan karyawan

yang tidak mendapat dukungan.

2.8. Konsep Employee Engagement (EE)

Konsep engagement karyawan telah menghasilkan minat besar dalam

ranah akademik dan praktisi. Teori yang menjelaskan tentang engagement adalah

Teori Lewin, 1952. Di dalam Buku Pegangan, dan di dalam literatur yang lebih

luas, engagement telah dikaitkan dengan beberapa teori. Adapun teori-teori

tersebut adalah :

1. teori konservasi sumber daya/conservation of resources (COR) (Hobfoll,

1989);

2. teori penentuan nasib sendiri/self determination theory (SDT) (Deci & Ryan,

1985);

3. teori pertukaran sosial/social exchange theory (SET, Blau, 1964);

4. teori identitas sosial/social identity theory (SIT), Tajfel, 1974);

5. teori peran/role theory (Kahn, 1990);

6. teori emosi positif (Fredrickson, 2001);

7. teori karakteristik pekerjaan/job characteristic theory (JCT, Hackman &

Oldham, 1980);

8. dan model permintaan pekerjaan - sumber daya/jobs demand resources model

(JD – R, Bakker & Demerouti, 2007)

Teori-teori tersebut menggambarkan bagaimana organisasi menyediakan

sumber daya yang berharga yang membuat karyawan mampu mengemban

kewajiban, bersikap pro sosial dan berperilaku engage. Ada berbagai cara dimana

Universitas Sumatera Utara


69

prinsip-prinsip utama dari teori-teori ini dapat membantu menjelaskan

kemunculan employee engagement. Seperti misalnya teori COR, dimana teori ini

menjelaskan bagaimana karyawan berusaha untuk mendapatkan dan melindungi

sumber daya dan mengapa mereka dapat bekerja lebih efektif ketika mereka

memiliki akses ke berbagai sumber daya individu dan pekerjaan. Sedangkan teori

SDT menjelaskan bahwa pengalaman dalam employee engagement membutuhkan

kepuasan dan kebutuhan psikologis dasar seperti kompetensi, otonomi dan

engage.

Secara teoritis teori yang paling banyak dan paling sering digunakan

adalah teori Model JD-R. Teori ini menunjukkan bagaimana sumber daya

pekerjaan (misalnya, otonomi, umpan balik, dukungan) dan sumber daya individu

(misalnya, efisiensi diri, optimisme, ketahanan) secara langsung memengaruhi

engagement kerja, yang pada gilirannya mempengaruhi hasil seperti: role

performance, extra role performance, kreativitas dan profit.

Engagement adalah konsep yang sangat menarik. Secara intuitif beberapa

peneliti memahami apa artinya dan percaya bahwa engagement membantu

menjelaskan tentang bagaimana orang (atau seharusnya) bekerja. Masalahnya,

tentu saja adalah bahwa banyak dari peneliti memiliki pemahaman yang berbeda

tentang arti engagement.

Perbedaan ini membuat sulit bagi para peneliti untuk sepakat tentang cara

bagaimana membuat orang engage di tempat kerja. Penelitian Albertch (2010)

telah memikirkan, meneliti, dan membantu orang serta organisasi dengan

engagement selama hampir tiga puluh tahun. Hasil penelitiannya menemukan

bahwa konsep engagement tidak dilibatkan (terabaikan) dalam studi tradisional

Universitas Sumatera Utara


70

tentang motivasi kerja yaitu, bahwa karyawan mengeksplorasi diri mereka

berdasarkan faktor internal baik secara sadar maupun tidak sadar (Kahn, 1990).

Studi motivasi tradisional secara implisit mengasumsikan bahwa pada

kondisi yang stabil pekerja termotivasi karena faktor penghargaan eksternal dan

faktor intrinsik, dan hal ini akan berujung pada motivasi untuk tetap bekerja atau

tidak (Hackman & Oldham, 1980). Namun studi engagement menyatakan bahwa

karyawan membuat pilihan tentang berapa banyak dari diri mereka yang

sebenarnya mereka bawa ke dalam peran mereka dalam bekerja (Kahn, 1992).

Studi engagement mengembangkan konsep engagement untuk menangkap

seberapa besar karyawan mau berperan dalam organisasinya dengan emosi yang

positif dan bertahan di organisasinya dengan berbagai macam kendala. Sifat

engagement adalah bahwa engagement karyawan dapat dikategorikan sangat

rapuh, rapuh dan cukup tangguh.

Tingkatan tersebut terjadi sebab karyawan memiliki radar yang cukup

canggih. Karyawan terus-menerus mencari tanda-tanda tentang apakah

engagement mereka penting, seberapa aman mereka, apakah para pemimpin

mereka benar-benar antusiasme dengan mereka dan apakah atasan mengetahui

benar yang harus dilakukan dengan karyawannya.

Jika karyawan melihat tanda-tanda yang baik, karyawan akan bertahan di

organisasinya. Jika tanda-tandanya tidak begitu bagus, karyawan akan mundur.

Jika pertanda terlihat buruk, mereka akan melepaskan diri. Mereka akan

melakukan ini secara instan, tanpa pemberitahuan dan hal ini merupakan tingkatan

engagement yang paling rapuh.

Universitas Sumatera Utara


71

Para pemimpin perlu belajar untuk membongkar hambatan engagement

seperti struktur, proses dan menciptakan pola interaksi baru dengan dan diantara

karyawan. Para pemimpin harus membuat forum yang terjamin kerahasiaan dan

keamanannya bagi karyawan untuk mengatakan yang sebenarnya tentang apa

yang mereka rasakan dan apa yang mereka alami.

Pemimpin harus membuat forum untuk diri mereka sendiri, dimana

mereka bekerja melalui dan dengan bantuan luar, mengimplikasi dari apa yang

mereka dengar, dan pemimpin harus mencari tahu apa yang harus dilakukan

tentang hal itu. Dalam kondisi dimana engagement karyawan terbukti sangat

tangguh maka karyawan memiliki keinginan untuk engage. Hal itu dapat terjadi

jika karyawan memiliki dorongan naluriah untuk mengungkapkan siapa mereka,

siapa yang mereka inginkan, dan diberi kesempatan di tempat kerja dan mereka

akan melakukan tugasnya dengan sangat baik.

Untuk mendapat karyawan yang tepat suatu organisasi penting memiliki

daya pikat. Ada empat alternatif daya tarik yang mampu memikat karyawan yaitu:

Pertama, Tawaran tentang kandidat yang ingin bekerja di perusahaan yang

berkinerja tinggi dan kandidat berfikir untuk diberi banyak kesempatan berkarier

jika bergabung.

Kedua, Resiko yang tinggi tetapi imbalannya besar, yakni karyawan akan merasa

tertantang untuk menunjukkan kinerja yang sangat tinggi demi imbalan yang

sangat besar.

Ketiga, Pekerjaan yang mampu memikat kandidat dengan menginspirasi

karyawan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, sebagaimana yang

Universitas Sumatera Utara


72

ditawarkan oleh perusahaan teknologi tinggi atau organisasi perlindungan flora

dan fauna.

Keempat, Perusahaan yang menawarkan fleksibilitas yang lebih dengan gaya

hidup yang lebih menggairahkan.

Tujuannya adalah agar organisasi dapat memastikan siapa karyawan yang

perlu dicari dan agar organisasi tahu bagaimana cara mengukur keselarasan antara

karyawan dengan organisasi. Keselarasan ini bertujuan untuk mencapai kinerja

dan komitmen yang tinggi dengan lebih mudah melalui nilai pribadi karyawan,

minat dan passion yang selaras dengan karakteristik organisasi.

2.8.1. Pengertian Employee Engagement

Sejak tahun 2009 telah terjadi lonjakan penelitian secara akademik yang

signifikan tentang employee engagement. Meski demikian, Macey et al., (2009)

menyatakan bahwa sulit memberikan definisi yang pasti tentang employee

engagement karyawan. Definisi yang dituliskan oleh Macey terkait engagement

yakni keterlibatan karyawan berupa "perasaan individu, energi lebih untuk tetap

fokus pada organisasi, menunjukkan inisiatif pribadi, memiliki kemampuan yang

tinggi dalam beradaptasi, selalu berupaya optimal, dan kegigihan yang

didedikasikan untuk tujuan organisasi".

Istilah engagement sendiri sulit dicari padanan katanya dalam bahasa

Indonesia (Adryanto, 2016), secara umum engagement mengacu pada keterkaitan

kuat karyawan, baik secara intelektual maupun emosional terhadap pekerjaan,

organisasi, atasan atau rekan kerjanya yang kemudian mendorong karyawan

tersebut untuk secara sukarela menampilkan usaha ekstra dalam pekerjaannya

(The Conference Board Study of Employee Engagement, 2006)

Universitas Sumatera Utara


73

Namun begitu, definisi engagement yang paling banyak dikutip adalah

yang dikemukakan oleh Schaufeli et al., (2002), yang mendefinisikan engagement

sebagai "keadaan pikiran yang positif, perasaan puas terhadap organisasi yang

berhubungan dengan pekerjaan dan ditandai dengan semangat, dedikasi dan

kemudahan dalam adaptasi". Di sisi lain Schaufeli et al., (2006) menambahkan

bahwa engagement merupakan gabungan dari afektif-kognitif yang lebih

persisten, fokus pada objek tertentu, fokus pada peristiwa, fokus pada diri sendiri,

dan terkait dengan perilaku karyawan dalam organisasi ”

2.8.2. Pengukuran dan Dimensi Employee Engagement

Bakker et al., (2008) berpendapat bahwa engagement karyawan dapat

diukur dengan Utrecht Work Engagement Scale (UWES) (Schaufeli et al., 2002),

ukuran ini merupakan ukuran engagement yang paling banyak dikutip dan paling

banyak digunakan. Penggunaan UWES didasarkan pada teori yang dengan jelas

mencerminkan aspek inti engagement yaitu kekuatan, dedikasi dan penyerapan

dimana aspek ini telah divalidasi di banyak negara yang berbeda dan sudah

menggunakan analisis data statistik.

Meskipun Bakker et al., berpendapat bahwa hasil hipotesis model

pengukuran menggunakan tiga faktor tersebut memberikan pengaruh positif

terhadap keunggulan organisasi, namun Schaufeli dan Bakker (2010) berpendapat

bahwa skor keseluruhan untuk engagement kerja lebih cocok dalam penelitian

empiris dibandingkan menggunakan sistem skor dengan menghitung secara

terpisah ketiga dimensi tersebut.

Ketika mengukur engagement akan sangat berguna jika item atau

pertanyaan umum yang dibuat, memiliki tautan yang jelas ke konstruk penelitian.

Universitas Sumatera Utara


74

Berikut contoh item yang mirip dengan item inti dari UWES (misalnya, "di

tempat kerja saya merasa penuh energi", "Saya biasanya sangat antusias dengan

pekerjaan saya", "Saya sering sepenuhnya tenggelam dalam pekerjaan saya")

dikombinasikan dengan hal-hal yang juga mencerminkan kemauan untuk

berkontribusi pada peran kerja dan keberhasilan organisasi (misalnya, “Saya

sangat termotivasi untuk melakukan pekerjaan yang bagus untuk organisasi ini”

dan “ Saya merasakan antusiasme nyata atas apa yang dicapai dalam organisasi

ini”).

2.8.3. Elemen Pokok Membangun Engagement

Berikut ini adalah elemen pokok dalam upaya untuk membangun

engagement yang seharusnya dilakukan pimpinan terhadap karyawannya:

A. Komunikasi yang Melibatkan

Beberapa cara yang dilakukan agar komunikasi dari pimpinan ke

karyawan dapat berlangsung secara efektif, ada beberapa hal yang harus dilakukan

(Boggess, 2012) antara lain :

1. Ciptakan kebiasan organisasi untuk berkomunikasi. Komunikasi ini

digunakan sebagai wadah untuk menyampaikan kebijakan, prosedur, cara

kerja maupun perkembangan organisasi.

2. Samakan pandangan di tingkat atas. Para pemimpin puncak perlu

menyamakan pandangan tentang pesan yang akan dikomunikasikan, agar

terjadi korelasi komunikasi strategis ke karyawan untuk mencapai tujuan

organisasi.

Universitas Sumatera Utara


75

3. Sampaikan pesan ke karyawan lebih dahulu. Ketika perusahaan sedang

menyusun prioritas komunikasi, jadikan karyawan sebagai pendengar

pertama yang menerima langsung pesan tersebut.

4. Pahami karyawan. Cara memahami karyawan dapat dilakukan dengan

menanyai mereka secara berkala.

5. Manfaatkan berbagai saluran komunikasi.

6. Sampaikan secara singkat dan jelas.

7. Berikan konteksnya. Kemukakan konteksnya (faktor eksternal apa yang

berperan?); jelaskan strateginya (mengapa kita memutuskan untuk bereaksi

seperti ini?); dan jadikan hal tersebut lebih pribadi (bagaimana pengaruhnya

terhadap individu pegawai?).

8. Utamakan komunikasi tatap muka.

9. Susun perencanaan dengan cara bertindak lebih sistemati dan strategis.

10. Ukur efektivitas. Tetapkan sasaran komunikasi secara berkesinambungan, dan

komunikasikan apapun beritanya baik yang baik ataupun yang buruk.

11. Bersikaplah objektif. Tidak perlu mendikte atau berasumsi tentang bagaimana

seharusnya perasaan karyawan setelah mendengar informasi yang

disampaikan.

12. Selaraskan tindakan dengan perkataan.

13. Fasilitasi perbincangan dengan karyawan.

14. Katakan ‘terimakasih’ sesering mungkin.

Universitas Sumatera Utara


76

Terdapat lima kategori umpan balik yang sering muncul dalam

komunikasi sehari-hari pegawai yakni :

1. Mengevaluasi: Memberikan penilaian tentang berharga/tidaknya,

baik/tidaknya, atau tepat/tidaknya pernyataan orang lain.

2. Memaknai: Mengulangi pesan yang diterima dengan kata-kata sendiri.

Berusaha memperjelas apa yang disampaikan orang lain.

3. Mendukung: Berusaha membantu atau mendukung pengirim pesan

4. Menggali: Berupaya mendapatkan tambahan informasi, melanjutkan diskusi,

atau memperjelas sebagian pesan yang diterima.

5. Memahami: Berusaha menangkap secara utuh apa yang dimaksudkan oleh

pengirim pesan

A. Pelibatan yang Komunikatif

Beberapa implementasi pelibatan yang dapat dilakukan pimpinan terhadap

karyawan mereka adalah sebagai berikut:

1. Kenali keunggulan dan kelemahan karyawan. Pengenalan ini akan

membantu pimpinan memtuskan jenis penugasan serta tingkat keterlibatan

yang bisa memotivasi mereka.

2. Berikan tugas secara bertahap. Libatkan karyawan dalam penugasan yang

sederhana dan yang beresiko paling kecil lebih dahulu.

3. Sediakan waktu untuk membimbing. Sekalipun memiliki kompetensi yang

memadai untuk menjalankan tugas yang diberikan, tidak berarti segala

sesuatu akan berjalan mudah bagi pegawai.

4. Berikan apresiasi. Berikan pujian ataupun apresiasi khusus untuk

kesuksesan atas penugasan pegawai.

Universitas Sumatera Utara


77

2.9. Sintesa Leader Passionate Performance Terhadap Kinerja

Sintesa variabel Leader Passionate Performance merupakan turunan dari

variabel employee experience yang dikemukakan oleh (Karl et al., 2018).

Variabel employee experience itu sendiri terdiri atas dua bagian yakni (1) positive

experience dan (2) negative experience. Menurut (Plester et al., 2012 dan Tews et

al., 2012) positive experience memberikan pengaruh terhadap achievement,

sedangkan negatif experience berpengaruh terhadap sinisme organisasi (Warren

dan Finemen, 2007).

Dalam penelitian ini, penulis tidak membahas lebih lanjut tentang negatif

experience, namun penulis hanya berfokus pada positif experience dikarenakan

positif experience selain menimbulkan dampak positif terhadap achievement juga

dapat menghasilkan magical boldness, genius power dan engage pada pegawai

(Collan, 2017).

Untuk mempertahankan engage dalam suatu organisasi diperlukan peran

leader, sehingga engage pegawai bisa tetap terjaga dan terus bertumbuh (Crant,

2014). Menurut (Collan, 2017 ) engage pegawai terdiri atas (1) engage mind yang

berdampak pada kinerja pegawai dan (2) Engage heart yang berdampak pada

passion pegawai. Berdasarkan uraian di atas maka gambar dari sintesa variabel

adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3 Sintesa Variabel Leader Passionate Performance

78

Universitas Sumatera Utara


79

2.10. Sintesa Enjoyable Employee Experience Terhadap Kinerja

Sintesa variabel Enjoyable Employee Experience merupakan turunan dari

variabel employee experience yang dikemukakan oleh (Karl et al., 2018).

Variabel employee experience itu sendiri terdiri atas dua bagian yakni (1) positive

experience dan (2) negative experience. Menurut (Plester et al., 2012 dan Tews et

al., 2012) positive experience memberikan pengaruh terhadap achievement dan

enjoyment, sedangkan negatif experience berpengaruh terhadap sinisme organisasi

(Warren dan Finemen, 2007).

Positive experience juga disebut sebagai engagement experience jangka

pendek (Abercht, 2012). Berbeda dengan Abercht yang menyebut positive

experience sebagai engagement experience jangka pendek, menurut (Barbara dan

Plester, 2016) justru positive experience memberikan pengaruh terhadap

engagement experience jangka pendek. Namun peneliti terdahulu sepakat bahwa

enjoyment memberikan pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai (Rasyid et

al., 2015; Patel dan Desai, 2014). Berdasarkan uraian di atas maka gambar dari

sintesa variabel adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4 Sintesa Variabel Enjoyable Employee Experience

80
Universitas Sumatera Utara
81

2.11. Penelitian Terdahulu

Berikut adalah hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan kinerja yang

dirangkum pada Tabel 2.3 di bawah ini :

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
1. Raduan The Effect Of Variabel Structure Hasil penelitian
Che Organizational Independen Equation menunjukkan bahwa
Rose, Learning On :Organization Model pembelajaran
Naresh Organizational al Learning organisasi
Kumar, Commitment, Variabel memainkan peran
dan Ong Job Satisfaction dependen : penting dan
Gua Pak And individual individual memberikan
Performance Performance kontribusi signifikan
(2009) terhadap komitmen
organisasi, kepuasan
kerja, dan hasil kerja
manajer layanan
publik. Selain itu,
temuan ini
menyajikan bukti
empiris bahwa
komitmen organisasi
dan kepuasan kerja
memediasi secara
parsial hubungan
antara pembelajaran
organisasi dan kinerja
kerja manajer layanan
publik Malaysia.
2. Paraskvi Measuring the Variabel Regresi Hasil penelitian
Dekoulu, Impact of Independen berganda menunjukkan bahwa
Panagiti Learning :Learning Learning Organization
sTrivella Organization on Organization berpengaruh positif
s Job Satisfaction & Work dan signifikan
and Individual Outcomes terhadap individual
Performance in Performance, Work
Greek Advertising Variabel Outcomes
Sector dependen : berpengaruh positif
(2015) individual dan signifikan
Performance terhadap individual
Performance
3. Shu- Effects of Variabel Regresi Budaya organisasi
Hung Organization Independen: berganda dan pembelajaran
Hsu Culture, IT Strategy, organisasi yang
Organizational Organization dimediasi oleh
Learning and IT al Culture, manajemen
Strategy on Organization pengetahuan yang
Knowledge al Learning, berdampak pada
Management and Knowledge kinerja, hubungan
Performance Management, antara budaya
(2014) organisasi dan
Variabel manajemen
dependen : pengetahuan, dan

Universitas Sumatera Utara


82

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
Business hubungan antara
Performance pembelajaran
organisasi dan
manajemen
pengetahuan ;
hubungan antara
manajemen
pengetahuan dan
kinerja organisasi;
dan menghasilkan
implikasi untuk efek
strategi TI, budaya
organisasi,
pembelajaran
organisasi dan
manajemen
pengetahuan pada
kinerja organisasi
bisnis.
4. Gabriel Effect of Variabel Regresi Ada hubungan positif
Mrisha Learning Independen berganda antara pemberdayaan
Mary Organization : karyawan dan kinerja
Ibua, Culture on Learning organisasi sementara
William Organizational Organization Kirim dan dialog,
Kingi Performance Culture, sistem tertanam,
Among Logistics Individual koneksi sistem dan
Firms in Learning, kepemimpinan
Mombasa County Team strategis memiliki
(2015) Learning, hubungan positif dan
Organization kuat dengan kinerja
al Learning, organisasi. Studi ini
menyimpulkan bahwa
Variabel pembelajaran budaya
dependen : organisasi secara
Organization signifikan
al mempengaruhi
Performance kinerja organisasi.
5. Lies The Impact of Variabel Structure budaya organisasi
Putriana Organizational Independen equation belum secara
Culture On Job : model signifikan terkait
Satisfaction, organization dengan kinerja
Organizational culture, job pekerjaan, hubungan
Commitment And satisfaction, kepuasan kerja
Job Performance organizationa dengan komitmen
: Study on l commitment, organisasi, dan
Japanese hubungan positif
Motorcycle Variabel antara kepuasan kerja
Companies in dependen : dan komitmen
Indonesia job organisasi terhadap
(2015) performance kinerja pekerjaan.
Pengaruh budaya
organisasi yang relatif
kuat terhadap
kepuasan kerja dan
organisasi

Universitas Sumatera Utara


83

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
komitmen.
6 Moham Impact of Organization Kualitatif Budaya organisasi
mad Organizational al Culture, secara signifikan
Jasim Culture on Employee mempengaruhi
Uddin, Employee Performance kinerja dan
Ruman Performance and and produktivitas
a Huq Productivity: A Productivity karyawan dalam
Luva& Case Study of konteks yang muncul
Saad Md. Telecommunicat dinamis
Maroof ion Sector in
Hossian Bangladesh
(2013)
7. Halil Analyzing The Variabel Regresi Ada hubungan positif
Zaim, Effects Of Independen berganda antara kompetensi
Mehmet Individual : dan kinerja individu.
Fatih Competencies On Individual Selanjutnya,
Yaşar, Performance: A Competencies kompetensi inti
Ömer Field Study In tampaknya memiliki
Faruk Services Variabel pengaruh paling
Ünal Industries In dependen : signifikan terhadap
Turkey Individual kinerja individu.
(2013) Performance Hasil penelitian ini
memberikan
beberapa bukti
empiris yang merujuk
pada pengaruh
kompetensi individu
pada kinerja
organisasi. Salah satu
hasil paling
mengejutkan dari
penelitian ini adalah,
ketika sampai pada
kinerja organisasi,
kompetensi
manajerial
tampaknya menjadi
faktor paling
signifikan.
8. Fakhar Impact of Organization Kualitatif Karyawan memiliki
Shahzad, Organizational Culture, komitmen dan
Rana Culture on Organization memiliki norma dan
Adeel Organizational Performance, nilai yang sama
Luqman Performance: An Employee’s dengan per
dan Overview Commitment, organisasi, dapat
Ayesha (2012) organizationa meningkatkan kinerja
Rashid l goals untuk mencapai
Khan tujuan organisasi
secara keseluruhan
9. Hary The Effect of Variabel Structural Budaya Organisasi
Sastrya Organizational Independen Equation berpengaruh
Wanto,R Culture and :Organization Model signifikan terhadap
uswiati, Organizational al Culture and Strategi Kompetitif
Suryasa Learning Organization perusahaan,
putra towards the al Learning Pembelajaran

Universitas Sumatera Utara


84

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
Competitive Organisasi
Strategy and Variabel berpengaruh
Company dependen : signifikan terhadap
Performance Competitive Strategi Kompetitif,
(Case Study of Strategy and tetapi tidak
East Java SMEs in Company berpengaruh
Indonesia: Food Performance signifikan terhadap
and Beverage Kinerja Perusahaan
Industry)
(2012)
10. Muham The Impact Of Variabel Regresi 1) Kepemimpinan
mad Visionary Independen berganda visioner, organisasi
Anshar Leadership, : pembelajaran dan
Learning Learning perilaku inovatif
Organization And Organization memiliki hubungan
Innovative Variabel langsung
Behavior To dependen : dan dampak positif
Performance Of Performance pada kinerja,
Customs And Of Customs 2) kepemimpinan
Excise Functional visioner, dan
(2017) organisasi
pembelajaran
memiliki langsung
dan dampak positif
pada perilaku inovatif
dan
3) kepemimpinan
visioner memiliki
dampak langsung dan
positif
berdampak pada
pembelajaran
organisasi.
11. Dahlan The Effect of Variabel Structure Kepuasan kerja tidak
Habba , Leadership, Independen Equatiaon memiliki peran
Basri Organisational : Model penting dalam
Modding Culture and Organisationa menjelaskan
, Muh. Work Motivation l Culture pengaruh
Jobhaar on Job kepemimpinan dan
Bima , Satisfaction and Variabel budaya organisasi
Jamalud Job Performance dependen : terhadap kinerja
din among Civil Job pegawai negeri.
Bijang Servants in Performance Motivasi kerja
Maros District pegawai negeri sipil
Technical pada level tinggi
Working Unit terbukti
(2017) meningkatkan
kepuasan kerja dan
menciptakan
peningkatan kinerja
pegawai negeri sipil.
Kepuasan kerja
memiliki peran
penting dalam
menjelaskan

Universitas Sumatera Utara


85

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
pengaruh motivasi
kerja terhadap kinerja
pegawai negeri.
Tingkat kepuasan
kerja pegawai negeri
yang tinggi adalah
yang menentukan
penciptaan kinerja
pegawai negeri sipil.
12. Endang The Effect of Variabel Metode Budaya organisasi
General
Eviline Organizational Independen tidak memiliki
Structured
Giri, Culture and : Component pengaruh signifikan
Umar Organizational Organization analysis terhadap komitmen
Nimran, Commitment to al Culture (GSCA). organisasi; budaya
Djamhur Job Involvement, organisasi tidak
Hamid, Knowledge Variabel memiliki pengaruh
Mocham Sharing, and dependen : signifikan terhadap
mad Al Employee Employee berbagi pengetahuan;
Musadie Performance: A Performance dan budaya
q Study on organisasi
Regional berpengaruh
Telecommunicati signifikan terhadap
ons Employees of kinerja karyawan.
PT Telkom Keterlibatan kerja
East Nusa memiliki pengaruh
Tenggara signifikan terhadap
Province, komitmen organisasi;
Indonesia keterlibatan kerja
(2016) tidak memiliki
pengaruh signifikan
terhadap berbagi
pengetahuan; dan
keterlibatan kerja
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
kinerja karyawan.
Komitmen organisasi
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
berbagi pengetahuan;
dan komitmen
organisasi
berpengaruh
signifikan terhadap
kinerja karyawan
Berbagi pengetahuan
memiliki pengaruh
signifikan terhadap
kinerja karyawan..
13. Ida Ayu The Influence of Variabel struktural- Dimensi komitmen
Oka Competency on Independen partial organisasi yang
Martini , Employee : least terdiri dari komitmen
I Ketut Performance Competency square afektif, komitmen
Rahyud, through (SEM- normatif, dan
Desak Organizational Variabel PLS). komitmen

Universitas Sumatera Utara


86

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
Ketut Commitment dependen : berkelanjutan
Sinta Dimension Employee bertindak sebagai
asih, (2018) Performance mediator parsial
Putu antara kompetensi
Saroyeni dengan kinerja
Piartrini karyawan.

14. Edy Does Variabel Structure Temuan ini


Hartono, Organizational Independen equation menunjukkan
Sugeng Learning Affect : model hubungan positif yang
Wahyudi the Performance Learning signifikan antara
, of Higher Organization kemampuan dan
Pahlawa Education kinerja dosen. Ini
nsjah Lecturers in mengungkapkan
Harahap Indonesia? The Variabel penentu yang
and Mediating Role dependen : berharga dari
Ahyar of Teaching Performance kompetensi mengajar
Yuniawa Competence Of Higher dalam memediasi
n. (2017) Education hubungan antara
pembelajaran
organisasi dan
kinerja. Penelitian ini
awalnya
berkontribusi secara
signifikan terhadap
penciptaan dan
transfer pengetahuan
di lingkungan
akademik, terutama
di lembaga
pendidikan tinggi.
15 Sek Effects of Variabel Moderating Keadilan organisasi
Young organizational Independen regression memoderasi
Oh learning on : analysis pengaruh
performance: Learning (MRA) pembelajaran pada
the moderating Organization kinerja melalui
roles of trust in umpan-maju
leaders and Variabel pembelajaran,
organizational dependen : sementara
justice performance kepercayaan pada
(2018) manajer memoderasi
pengaruh stok
pembelajaran pada
kinerja melalui arus
pembelajaran umpan
balik.

16 Atik Pengaruh Peran Variabel Regresi Terdapat pengaruh


Dina Ganda terhadap Independen berganda negatif antara peran
Nasekha Kinerja : Konflik ganda terhadap
h Karyawan peran ganda kinerja karyawan di
Wanita di tempat LPP RRI Yogyakarta.
Kerja di LPP RRI Variabel Artinya semakin
Yogyakarta dependen : tinggi konflik peran
(2017) Kinerja ganda maka akan

Universitas Sumatera Utara


87

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
Pegawai semakin rendah
kinerja karyawan
wanita di LPP RRI
Yogyakarta
17 Nini Source of Work- -- Literature Mengingat perbedaan
Yang, Family Conflict : Review dalam nilai-nilai
Chao C a Sino-U.S tentang waktu kerja
Chen, Comparison of dan keluarga, bahwa
Jaepil the effects of orang Amerika akan
Choi, work and family mengalami
Yimin demands permintaan keluarga
Zou (2000) yang lebih besar, yang
akan memiliki
dampak yang lebih
besar pada konflik
pekerjaan-keluarga,
sedangkan orang Cina
akan mengalami
permintaan pekerjaan
yang lebih besar, yang
akan memiliki
dampak yang lebih
besar pada pekerjaan
konflik keluarga. Hasil
survei
pria dan wanita yang
bekerja di kedua
negara umumnya
mendukung hipotesis;
Namun, permintaan
pekerjaan tidak
berbeda secara
signifikan antara
kedua negara dan
tidak memiliki efek
yang lebih besar
daripada permintaan
keluarga pada konflik
pekerjaan-keluarga di
Cina.

18 Beverly The woman --- Kualitatif Perempuan secara


Dawn question? tradisional
Metcalfe Gender and berkembang dalam
and management in manajerial dan bidang
Mariann the Russian profesional
e Federation dalam masyarakat
Afanassi (2017) Soviet tetapi
eva kemajuan ini dibalik
selama tahap transisi.
Menekankan warisan
sosial-politik dari
tatanan gender Soviet,
menyoroti bagaimana
peran gender yang

Universitas Sumatera Utara


88

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
dominan diperkuat di
sepanjang garis
esensialis. Hasilnya
menyoroti bagaimana
identitas kerja wanita
direkonstruksi
sepanjang garis
stereotip feminin
bahwa perempuan
menghadapi
hambatan budaya dan
organisasi untuk
kemajuan karir
mereka.
19 Suvi The spouse of --- Kualitatif fluiditas dalam
Va¨lima¨ the female gender
ki and manager: role peran antara
Anna- and influence on pasangan dikaitkan
Maija the woman’s dengan rasa
La¨msa career keberhasilan dan
And (2009) kepuasan manajer
Minna wanita dalam
Hiillos kariernya
dibandingkan dengan
konstruksi peran
gender yang lebih
konvensional.
Tampaknya peran
gender tradisional
antara pasangan
dapat menjadi salah
satu alasan kesulitan
perempuan dalam
mendapatkan posisi
manajerial (atas) di
Finlandia.
20 Taesung Organizational Variabel Structure Bahwa
Kim and culture and Independen: equation kecenderungan
Jihyun performance: a self-efficacy model berbagi pengetahuan
Chang macro-level and berdampak positif
longitudinal actualised pada perilaku berbagi
study behaviours pengetahuan. Selain
(2019) Variabel itu, perilaku berbagi
Dependen: pengetahuan
Individual memediasi hubungan
Work antara
Performance kecenderungan
berbagi pengetahuan
dan kinerja individu.
Efek yang terakhir
juga signifikan di
antara anggota
organisasi yang paling
berpendidikan tetapi
tidak di antara

Universitas Sumatera Utara


89

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
mereka yang memiliki
tingkat pendidikan
terendah.

21 Cortney Stereotyping and Variabel Kualitatif Perempuan mampu


Baker women’s roles in Independen: menjadi yang
leadership Gender Roles berkinerja terbaik,
positions Variabel perempuan masih
(2014) Dependen: tidak mendapatkan
Leadership posisi kepemimpinan
tingkat atas
dibandingkan dengan
rekan-rekan pria
mereka. Makalah ini
akan
mempertimbangkan
beberapa alasan
bahwa perempuan
mengalami kesulitan
dalam menaiki tangga
perusahaan serta
membahas stereotip
dan gender yang
berkaitan dengan sifat
kepemimpinan

22 Whitney Women in the Variabel Regresi Empat variabel


Douglas boardroom and Independen: Panel tingkat perusahaan -
Fernand corporate social Corporate keanggotaan inisiatif
ez, performance: social sukarela, deviasi dari
Meredit negotiating the performance kinerja keuangan,
h F. double bind Variabel internasionalisasi dan
Burnett (2018) Dependen: diversifikasi produk -
and Role moderasi hubungan
Carolina congruity antara kami dengan
B. dewan wanita dan
Gomez CSP. Temuan ini
menyarankan bahwa
ada rekomendasi
untuk memiliki
kemampuan untuk
meningkatkan
kemampuan dan juga
untuk meningkatkan
nilai-nilai yang ada di
luar forum.
Sebaliknya, hubungan
antara direktur
perempuan dan CSP
melemah ketika
konteksnya
mendorong fokus

Universitas Sumatera Utara


90

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
pada garis bawah.

23 Hadi Competency, Variabel Multiregre kompetensi


Purnant Organizational Independen: si berpengaruh positif
ara and Health, Job Competency, dan signifikan
Gede Sri Career, Job organizationa terhadap kinerja
Darma Performance l health karyawan tetapi
And Employees memiliki pengaruh
Turnover Variabel negatif terhadap
(2015) Dependen: scaffold karier
Job Temuan ini
performance memberikan
and pemahaman yang
employess lebih baik tentang
turnover bagaimana faktor
kebersihan organisasi
dapat mengontrol niat
berpindah karyawan
dan sebagai pemicu
untuk meningkatkan
kinerja karyawan
melalui perancah
karir.
24 IWG Commitment Variabel Structure Hasil penelitian
Sarmaw and Competency Independen: equation menemukan bahwa
a, NK as an Commitment model komitmen dan
Suryani organizational and kompetensi guru
and citizenship Competency adalah prediktor OCB.
Gede behavior Variabel Komitmen guru tidak
Riana predictor and its Dependen: secara signifikan
effect on the Perfomance mempengaruhi
performance kinerja guru itu
(2018) sendiri. OCB tidak
mempengaruhi
kinerja guru. Faktor
yang paling
mempengaruhi
kinerja guru dalam
penelitian ini adalah
kompetensi.
25 Dr. The Effect of Variabel Path Makalah ini meneliti
Abdullah Human Independen: analysis sifat hubungan ini dan
Osman, Resources Organization menyajikan bukti
Dr. Mohd Planning and Culture empiris yang
Suberi Training and menunjukkan bahwa
Ab Halim Development on Variabel hubungan antara gaya
and Organizational Dependen: kepemimpinan dan
Hamza Performance in Performance kinerja dimediasi oleh
Ali Al- the Government bentuk budaya
Shatana Sector in Jordan organisasi yang hadir.
wi (2014) Makalah ini diakhiri
dengan sejumlah
implikasi untuk teori

Universitas Sumatera Utara


91

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
dan praktik

26 Lucía The Variabel Structure Untuk melihat ke


Avella multidimension Independen: equation dalam teori
and al nature of competence model kompetensi produksi
Daniel production dengan mengusulkan
Vázquez‐ competence and Variabel dan memvalidasi
Bustelo additional Dependen: konstruk
evidence of its performance multidimensi, dan
impact on menawarkan bukti
business empiris tambahan
performance mengenai kontribusi
kompetensi produksi
(2010) terhadap kinerja.
27 Mahmou An Assessment Variabel Regresi Dukungan organisasi
d of the Independen berganda tidak berpengaruh
El‐Gamal Relationships of : terhadap kinerja
, Ridha Awareness, Organization individu
M. Attitude, al Learning,
Al‐Khayy Satisfaction and Attitude
at, Lulwa Organization Variabel
El‐Eway Support dependen :
ed, Associated with Individual
E-learning and Performance
Organization
and Individual
Performance
(2005)
28 Kyoungs The impact of a Variabel ANOVA Hasilnya
hin Kim learning Independen menunjukkan bahwa
and organization on : organisasi belajar
Karen E. performance Organization mempengaruhi
Watkins Focusing on al Learning, kinerja pengetahuan
knowledge Variabel dan kinerja keuangan
performance dependen : secara positif
and financial knowledge
performance performance,
(2017) financial
performance
29. Teresa Learning Variabel ANOVA Pembelajaran
G. Weldy organization and Independen: organisasi memiliki
transfer: Organization hubungan positif
strategies for al Learning terhadap kinerja yang
improving Variabel menunjukkan bahwa
performance dependen: organisasi
(2009) Performance pembelajaran dapat
mengarah pada
peningkatan kinerja.
30 Joe The link Variabel Regresi konsep tim kerja
Power between Independen: berganda tidak menunjukkan
self‐managed tim kerja dan hubungan yang
work teams organisasi signifikan dengan
and learningorg pembelajaran kinerja sementara
anisations using hubungan yang Tidak

Universitas Sumatera Utara


92

Judul Metode
No. Peneliti Penelitian/tahun
Variabel Temuan penelitian
Analisis
performance Variabel signifikan antara tim
indicators Dependen: kerja dan organisasi
(2004) kinerja pembelajaran juga
pengetahuan, ditemukan.
kinerja
keuangan dan
kepuasan
pelanggan.
31 Ajay K. Organizational Variabel Analisis Hasil menunjukkan
Jain learning, Independen: factor bahwa faktor
knowledge Organization (Confirma pembelajaran
management al learning, tory organisasi ditemukan
practices and knowledge Factor sebagai prediktor
firm’s management analysis/ positif dari berbagai
performance: An CFA) dimensi kinerja dan
empirical study Variabel praktik manajemen
of a heavy Dependen: pengetahuan
engineering firm Performance perusahaan.
in India
(2015)
32 Wahdaa Mediating effect Varibel Structure Dalam hal ini, budaya
of knowledge Independen equation pembelajaran
management on : knowledge model organisasi memiliki
organizational management, efek terbesar pada
learning culture organizationa pencapaian kinerja
in the context of l learning organisasi.
organizational culture
performance Variabel
(2017) Dependen:
Performance

Universitas Sumatera Utara


BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Hubungan Antar Variabel

Berikut adalah hubungan antara variabel penelitian yang dijelaskan

berdasarkan kerangka konseptual penelitian sebagai berikut :

3.1.1. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap

Employee Engagement

Konsep keterlibatan karyawan telah berkembang dari penelitian tentang

komitmen organisasi, motivasi dan keterlibatan karyawan (Bernthal, 2004). Para

peneliti telah menetapkan keterlibatan karyawan dalam berbagai cara (mis., Ellis

& Sorensen, 2007; Gibbons, 2006). Perrin (2003) menyatakan bahwa keterlibatan

adalah kesediaan dan kemampuan karyawan untuk berkontribusi pada kesuksesan

perusahaan. . . [dengan] menempatkan upaya diskresioner ke dalam pekerjaan

mereka dalam bentuk waktu tambahan, kekuatan otak dan energi. Istilah upaya

diskresi sering melekat dalam definisi keterlibatan karyawan.

Thomas (2006) mengemukakan bahwa keterlibatan 'melampaui' kepuasan

atau komitmen dan merupakan keadaan pemikiran dan tindakan yang ditingkatkan

yang membawa pemenuhan pribadi dan kontribusi positif bagi organisasi.

Keterlibatan yang ditingkatkan dikaitkan dengan manfaat bagi karyawan dan

organisasi mereka. Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang terlibat

cenderung tingkat stresnya menurun, lebih puas dengan kehidupan pribadi

mereka, menggunakan lebih sedikit perawatan kesehatan dan mengambil lebih

93

Universitas Sumatera Utara


94

sedikit hari sakit daripada karyawan yang secara aktif kurang memiliki

“keterlibatan” (Gallup Organization, 2003; Harter et al., 2002).

Penelitian lain menunjukkan bahwa keterlibatan dapat menumbuhkan

kesehatan yang baik dan pengaruh positif diantara karyawan (Crabtree, 2005).

Dari perspektif atasan, karyawan yang terlibat cenderung lebih produktif, lebih

menguntungkan, lebih aman, menciptakan hubungan pelanggan yang lebih kuat,

dan tinggal lebih lama dengan perusahaan mereka daripada karyawan yang tidak

terlibat (lihat Crabtree, 2005; Ellis & Sorensen, 2007; Gallup Organization, 2006 ;

Gibbons, 2006; Harter et al., 2002).

Ada hubungan yang terdokumentasi antara keterlibatan karyawan dan

inovasi di tempat kerja (Krueger & Killham, 2006). Studi lain juga menemukan

hubungan antara keterlibatan dan hasil bisnis seperti penilaian karyawan terhadap

orientasi pelanggan, pertumbuhan pendapatan dan metrik operasional perusahaan

(Gibbons, 2006; Towers Perrin, 2005).

Laporan The Conference Board menyimpulkan, "ada bukti yang jelas

bahwa keterlibatan karyawan memiliki dampak pada tingkat kinerja dan

produktivitas pada tingkat individu, tim dan organisasi" (Gibbons, 2006,). Meta-

analisis Dewan Konferensi terhadap 12 studi utama yang diterbitkan sejak tahun

2000 menemukan bahwa delapan faktor berikut diidentifikasi oleh setidaknya

empat studi sebagai pendorong keterlibatan karyawan yaitu kepercayaan dan

integritas, sifat pekerjaan, saling menghargai antara individu dan perusahaan,

peluang pertumbuhan karier, kebanggaan tentang perusahaan, rekan kerja/

anggota tim, pengembangan karyawan dan hubungan pribadi dengan manajer

(Gibbons, 2006).

Universitas Sumatera Utara


95

Berbeda dengan work family conflict, menurut Perrin (2003) bahwa

keterlibatan karyawan dan work family conflict berbanding terbalik. Keterlibatan

membuat peluang karyawan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan

baru, sedangkan work family conflict akan berpeluang mengganggu peningkatan

keterampilan dan kemampuan karyawan. Untuk itu organisasi sebagai pemberi

kerja yang baik, memiliki kewenangan dalam membuat keterlibatan karyawan

agar fokus terhadap kepuasan pelanggan.

3.1.2. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap

Enjoyable Employee Experience

Menurut (Rosliza et al., 2017), kesenangan di tempat kerja dapat

memberikan dampak positif bagi individu dan organisasi. Studi sebelumnya telah

menghubungkan kesenangan di tempat kerja berdampak pada kepuasan kerja.

Literatur Rosliza menekankan bagaimana kesenangan di tempat kerja bagi para

akademisi mempengaruhi hasil pekerjaan yang meliputi kepuasan kerja,

komitmen organisasi dan kinerja tugas serta bagaimana berbagai generasi

merespons kesenangan di tempat kerja yang memengaruhi hasil kerja mereka.

Hasilnya menunjukkan bahwa kesenangan di tempat kerja memang

mempengaruhi hasil pekerjaan secara umum. Dalam dua generasi X dan Y,

menunjukkan sedikit perbedaan dimana kesenangan di tempat kerja tidak

memiliki hubungan dengan kepuasan kerja. Menurut (Tews et al., 2017) kaidah

kesenangan di tempat kerja pertama adalah menceritakan tentang makna

kesenangan di tempat kerja. Kedua, meninjau dan mengkritik tentang fitur-fitur

yang menyenangkan di tempat kerja. Ketiga, berdasarkan teori Kahn (1990)

tentang keterlibatan psikologis yang mengusulkan model konseptual untuk

Universitas Sumatera Utara


96

memandu meningkatkan pemahaman tentang peran fitur menyenangkan dalam

bekerja. Keempat, peluang untuk penelitian di masa depan serta implikasi praktis.

Dalam makalah Tews (2017) memberikan dasar teoritis yang lebih kuat untuk

memahami dan meneliti fitur-fitur menyenangkan dalam pekerjaan dan untuk

memberikan panduan yang lebih variatif dalam menciptakan atmosfir yang

menyenangkan.

Kesenangan kerja merupakan hal yang penting bagi karyawan. Hal

tersebut dikarenakan, hampir semua karyawan membutuhkan kesenangan terlebih

lagi ketika mengalami konflik pekerjaan-keluarga. Konflik ini adalah “bentuk

konflik antar-peran dimana tekanan peran dari domain pekerjaan dan keluarga

saling tidak kompatibel dalam beberapa hal (Waroka dan Febrilia, 2015). WFC

terjadi ketika ada perbedaan antara situasi nyata dan harapan orang-orang yang

akan mengganggu dan mengurangi kinerja peran mereka di tempat kerja atau

keluarga (Greenhaus et al., 2006). Selain itu, WFC dikonseptualisasikan sebagai

konsekuensi dari "sumber daya yang hilang baik dalam pekerjaan maupun peran

keluarga. Konflik pekerjaan-keluarga juga dianggap sebagai konflik dua arah. Ini

dibagi menjadi dua konsep utama. Pertama, pekerjaan dapat diintervensi oleh

keluarga (WIF) dan kedua, keluarga dapat diintervensi oleh pekerjaan (FIW)

(Frone et al., 1992).

WFC mengacu pada “suatu bentuk konflik antar peran dimana tuntutan

umum waktu dicurahkan dan ditegaskan oleh pekerjaan itu, mengganggu

pelaksanaan tanggung jawab terkait keluarga. "Sementara itu, Family Work

Conflict (FWC) mengacu pada" suatu bentuk konflik antar peran, dimana tuntutan

keseluruhan waktu yang dicurahkan untuk dan ketegangan diciptakan oleh

Universitas Sumatera Utara


97

keluarga, mengganggu pelaksanaan tanggung jawab yang terkait dengan

pekerjaan ”(Netemeyer et al., 1996). Dengan kata lain, WFC terjadi ketika

seseorang tidak dapat melakukan kegiatan pekerjaannya karena tanggung jawab

keluarganya, namun hal ini dapat ditekan ketika pegawai mendapatkan

pengalaman menyenangkan dalam bekerja.

3.1.3. Employee Engagement berpengaruh positif signifikan terhadap

Enjoyable Employee Experience

Istilah lingkungan kerja yang menyenangkan adalah kepentingan strategis

bagi organisasi untuk mode manajemen baru (Bilginoglu dan Yozgat, 2017).

Penelitian ini menyediakan studi kualitatif dan studi kuantitatif. Hasil dari

keduanya menunjukkan bahwa responden tidak percaya bahwa lingkungan kerja

yang menyenangkan adalah mode manajemen. Akhirnya, penelitian ini

memberikan bukti bahwa inisiatif menyenangkan di tempat kerja bukanlah mode

manajemen, namun diyakini sebagai salah satu konsep manajemen dominan yang

bertahan.

Literatur yang menyoroti peran kesenangan di tempat kerja dimana

kesenangan di tempat kerja memiliki dampak yang menguntungkan bagi individu

dan organisasi dikemukakan oleh (Tews dan Allenc, 2018). Tujuan dari penelitian

ini adalah (i) untuk meninjau penelitian sebelumnya tentang kesenangan di tempat

kerja dan mengidentifikasi kesenjangan dalam literatur untuk memberikan arahan

bagi pekerjaan di masa depan, (ii) untuk menawarkan kerangka kerja teoritis yang

membantu menjelaskan bagaimana individu dapat menafsirkan kesenangan di

tempat kerja dan bagaimana hal itu mejadi paling bermanfaat.

Universitas Sumatera Utara


98

Menurut La Guardia (2009) bahwa kebutuhan psikologis membentuk rasa

pengembangan identitas dengan motivasi intrinsik yang menghasilkan hasil yang

memuaskan dan engagement. Menggunakan potensi dan komitmen dapat

memengaruhi nilai, perilaku dan tujuan individu yang merupakan faktor penting

untuk identitas individu (La Guardia, 2009). Hubungan antara motivasi intrinsik

dan mendukung engagement sebagai kebutuhan psikologis otonomi.

Hal senada juga terjadi ketika karyawan memiliki engage yang kuat

teradap organisasi (Berens, 2013). Pekerjaan yang berdedikasi dan bermakna

memungkinkan karyawan untuk menyadari betapa berharganya karyawan dalam

organisasi. Pengaruh ini akan semakin kuat ketika peningkatan partisipasi

karyawan; kebutuhan akan otonomi, penghargaan intrinsik diberikan oleh

organisasi, sehingga pegawai akan merasa enjoy dan engage (Bolman dan Deal,

2014).

3.1.4. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan

terhadap Kinerja pegawai

Pengalaman karyawan yang menyenangkan adalah tren sumber daya

manusia nomor satu di tahun 2017. Pengalaman karyawan adalah desain dan

rekayasa yang disengaja, bernilai tinggi dan terintegrasi. Pengalaman karyawan

dimulai dari pra-rekrutmen hingga pensiun. Harapan dari organisasi adalah

sepanjang karier karyawan, mereka mendapatkan pengalaman yang

menyenangkan.

Pengalaman karyawan dapat digunakan perusahaan sebagai lensa, yakni

perusahaan dapat memaksimalkan semua interaksi yang dimiliki individu dengan

pemberi kerja dalam jangka panjang. Interaksi ini digunakan untuk menciptakan

Universitas Sumatera Utara


99

rasa memiliki yang mendalam dan menghasilkan kinerja tinggi serta hasil bisnis

yang lebih kuat. Dibutuhkan komitmen nyata untuk memberikan pengalaman

kerja yang unggul. Hal tersebut dikarenakan menciptakan pengalam kerja yang

menyenangkan perlu investasi teknologi SDM, peralatan dan infrastruktur fisik

serta desain progresif praktik SDM dan manajemen.

3.1.5. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan

terhadap Need for Achievement

Kegembiraan di tempat kerja melibatkan aktivitas sosial, antarpribadi atau

tugas di tempat kerja yang bersifat menyenangkan atau lucu yang memberikan

hiburan atau kesenangan bagi individu (Kamalan dan Shunta, 2018). Definisi ini

konsisten dengan konseptualisasi sebelumnya yang mendefinisikan kesenangan di

tempat kerja sebagai terlibat dalam kegiatan yang tidak secara spesifik terkait

dengan pekerjaan yang menyenangkan, lucu atau menyenangkan (Mc Dowell,

2005)

Kegiatan tersebut merupakan indikasi dari lingkungan kerja yang

menyenangkan dan secara sengaja mendorong, memulai dan mendukung berbagai

kegiatan yang menyenangkan secara positif dan berdampak pada sikap dan

produktivitas individu dan kelompok (Gifford, 2006). Model perilaku lingkungan

mengidentifikasi enam komponen utama: pengaturan pekerjaan fisik, karakteristik

pekerja, kebijakan kerja, interaksi pekerja-lingkungan, proses psikologis dan hasil.

Dalam model ini karakteristik pekerja individu, pengaturan kerja fisik dan

gaya manajemen semua mempengaruhi interaksi pekerja-lingkungan. Namun,

dalam model ini interaksi pekerja-lingkungan secara khusus didefinisikan sebagai

kesenangan di tempat kerja. Kegembiraan ini kemudian memengaruhi kreativitas

Universitas Sumatera Utara


100

yang menggabungkan keahlian, keterampilan berpikir kreatif dan motivasi

intrinsik. Hasil akhirnya adalah produk kreatif, kepuasan kerja dan produktivitas.

Orang-orang yang termotivasi biasanya senang melakukan pekerjaannya,

sehingga mendorong karyawan bekerja lebih giat. Karyawan yang termotivasi dan

enjoy akan mencari tugas-tugas yang menantang dan bekerja keras untuk

mencapai tujuan. Tentunya berkebalikan dengan pegawai yang rendah dalam

kebutuhan untuk berprestasi dan tertekan (tidak enjoy). Karyawan tersebut

cenderung mengejar tugas yang sangat mudah dimana peluang keberhasilannya

tinggi.

3.1.6. Need for Achievement berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja

pegawai

Jumlah literatur yang tersedia terbilang lebih sedikit sehubungan dengan

motivasi diri untuk achievement, kinerja dan kepuasan (Aloysius, 2012). Diantara

ketiga hal tersebut, sebagian besar peneliti seperti (Hackman dan Oldham (1976)

Shanthakumary, (1998), Singh dan Shrivastava, (1983), Abdel-Halim (1980),

Shanthakumary (2011) menganalisis pengaruh moderasi dari kebutuhan akan

prestasi antara karakteristik dan kepuasan kerja sementara yang lain sangat sedikit

(Hasanath Ali (1998) menganggap perlunya prestasi sebagai variabel independen.

Definisi need for achievement adalah untuk mencapai sesuatu yang sulit.

Sementara definisi ini luas dan mencakup berbagai perilaku manusia. Menurut

Cassidy dan Lynn (1989) mendefinisikan motivasi diri untuk berprestasi secara

umum sebagai upaya pribadi individu untuk mencapai tujuan dalam lingkungan

sosial mereka. Menurut Spinath (2001) need for achievement terdiri dari dimensi

Universitas Sumatera Utara


101

seperti kebutuhan atau mengejar keunggulan, etos kerja, menetapkan dan

memenuhi tujuan, daya saing dan status.

Motivasi diri untuk mencapai prestasi berkaitan dengan bagaimana orang-

orang yang diilhami mengejar dan mencapai tujuan mereka. Ketika seorang

individu benar-benar mencapai tujuan yang diinginkan biasanya menghasilkan

rasa harga diri positif yang berkontribusi pada pertumbuhan dan perkembangan

pribadi dan profesional. Motivasi untuk berprestasi dapat dipengaruhi oleh

karakteristik disposisi seperti persepsi individu tentang kemampuan dan potensi

mereka untuk berhasil; dan oleh kekuatan eksternal seperti janji penghargaan

untuk kesuksesan atau ancaman hukuman karena kegagalan.

Orang-orang yang termotivasi terutama oleh kebutuhan yang tinggi untuk

mencapai akan mencari tugas-tugas yang menantang dan bekerja keras untuk

berhasil pada mereka. Orang yang rendah dalam kebutuhan untuk berprestasi

cenderung mengejar tugas yang sangat mudah, dimana peluang keberhasilannya

tinggi; atau mereka memilih tugas yang sangat sulit, dimana tidak ada orang yang

dapat diharapkan untuk berhasil.

Menurut Singh dan Sharivastava, kebutuhan akan prestasi menentukan

hubungan antara kinerja dan kepuasan kerja. Efek moderasi dari kebutuhan

berprestasi karyawan berdampak pada kinerja dan kepuasan kerja. Hubungan

antara kinerja dan kepuasan kerja berhubungan positif dengan karyawan secara

kuat dalam kebutuhan tingkat tinggi.

Universitas Sumatera Utara


102

3.1.7. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan

terhadap kinerja pegawai yang dimoderasi Leader Passionate Performance

Hasil penelitian yang dilakukan (Kamalan dan Sutha, 2018)

menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara kesenangan di tempat kerja dan

kinerja. Menurut penelitian sebelumnya, bersenang-senang di tempat kerja dapat

dilihat sebagai peristiwa positif yang meningkatkan kinerja (Cooper, 2008).

Gagasan lain juga menyatakan bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan

merupakan sarana peningkatan produktivitas karyawan (Williams, 2005).

Hasil ini menunjukkan bahwa kesenangan dan humor di tempat kerja

meningkatkan kinerja, membuat engagement karyawan serta meningkatkan

kinerja karyawan dan kepuasan kerja. Namun hal ini tidak akan dapat tercapai

jika, pimpinan tidak berperan aktif untuk mempengaruhi kinerja karyawan.

Temuan ini dengan jelas menunjukkan bahwa pimpinan memiliki kewenangan

membuat kesenangan di tempat kerja. Dari penelitian sebelumnya ada beberapa

faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Makalah ini mengambil perspektif

luar negeri bahwa tempat kerja yang menyenangkan menciptakan kegiatan yang

menghibur, lucu dan mungkin termasuk acara lucu yang mempromosikan senyum

dan / atau lingkungan yang bahagia yang diciptakan oleh pimpinan.

Karyawan yang senang bekerja di perusahaannya, cenderung mengerahkan

lebih banyak usaha menuju keberhasilannya.Oleh karena itu, karyawan yang

bahagia atau senang memiliki sikap mental positif meningkatkan aliran oksigen,

endorfin dan aliran darah ke otak, memungkinkan pemikiran yang lebih jernih dan

kreatif (Fineman, 2007).

Universitas Sumatera Utara


103

3.1.8. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja

pegawai

Konsep keluarga telah menjadi salah satu konsep penting yang terus

mengalami berbagai perubahan terbaru. Konsep keluarga merupakan salah satu

nilai terpenting dalam kehidupan manusia. Kehidupan keluarga dapat

bertentangan dengan kehidupan pekerjaan yang diperlukan untuk menjaga

kesinambungan kualitas kehidupan. Komplikasi kehidupan pekerjaan dan

peningkatan beban kerja individu memengaruhi kehidupan keluarga secara

negatif. Selama konflik tersebut berlangsung tekanan adalah salah satu faktor

yang dominan.

Adapun studi sebelumnya dalam studi Aras dan Karakiraz (2013),

hubungan konflik kerja-keluarga dengan perasaan sukses dan kinerja kerja adalah

negatif berdasarkan rentang waktu tertentu. Penelitian Aras dan Karakiraz

menemukan bahwa dukungan organisasi yang dirasakan di sektor pertahanan pada

pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-pekerjaan dan niat pengunduran diri

serta kurangnya dukungan organisasi memiliki efek negatif terhadap kinerja

pegawai.

Efeoğlu dan Özgen (2007) menganalisis hubungan antara keluarga,

pekerja dan konflik kehidupan, konflik kerja-keluarga di sektor kedokteran,

kinerja kerja dan komitmen organisasi. Hasil penelitian tersebut terdapat efek

positif konflik terhadap kinerja kerja dan komitmen organisasi, namun konflik

kerja-keluarga akibat konflik pekerjaan memiliki pengaruh tidak signifikan

terhadap kinerja dan komitmen organisasi. Özdevecioğlu dan Çakmak Doruk

(2009) menganalisis hubungan antara pekerjaan-keluarga dan konflik keluarga-

Universitas Sumatera Utara


104

pekerjaan dengan tingkat kehidupan dan kinerja kerja para pekerja dan

menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara konflik kerja-keluarga dan

konflik keluarga-kerja terhadap kinerja.

Çelik dan Turunç (2010) menganalisis pengaruh konflik kerja-keluarga,

dan komitmen organisasi pada kinerja pekerjaan di sektor pertahanan dan

menyimpulkan bahwa tingkat konflik pekerja mempengaruhi kinerja pekerjaan

secara negatif dan komitmen organisasi mempengaruhi kinerja pekerjaan secara

positif. Eren Gümüştekin dan Gültekin (2009) menganalisis efek penyebab

konflik pekerjaan-keluarga pada manajemen karier.

Eren Gümüştekin dan Öztemiz (2015) menganalisis interaksi antara

konflik kerja-keluarga dan efisiensi dan kinerja dalam organisasi, berfokus pada

konsep konflik kerja-keluarga dan gejala konflik kerja-keluarga pada orang dalam

penelitian, faktor yang dianalisis menentukan efisiensi dan kinerja dalam bisnis,

disebutkan juga bahwa berdampak pada efek konflik kerja-keluarga pada

organisasi. Sebagai konsekuensi dari konflik kerja-keluarga, studi manajemen

pada bisnis hotel yang dilakukan oleh Akova dan Işik (2008), ditentukan bahwa

faktor paling penting yang membuat pekerja hotel konflik kerja-keluarga adalah

dari struktur dan kebijakan organisasi, dan reaksi terhadap konflik kerja-keluarga

digambarkan sebagai faktor yang memengaruhi kinerja dan efisiensi secara

umum.

Oleh karena efek dari faktor-faktor yang memotivasi pekerja pada kinerja

pekerjaan dan niat pengunduran diri, maka Savcı dan Kapu (2014) menyimpulkan

bahwa gaji, kondisi kerja dan kerja sama dari pekerja mempengaruhi niat

pengunduran diri sementara pekerjaan itu sendiri, dimana gaji dan kondisi kerja

Universitas Sumatera Utara


105

mempengaruhi kinerja pekerjaan secara positif. Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Gul (2007) tentang hubungan antara konflik kerja-keluarga kerja, kesehatan

dan kinerja organisasi, disajikan bahwa ada hubungan antara konflik kerja-

keluarga pekerjaan, kinerja pekerjaan dan kesehatan organisasi. Dalam penelitian

ini tidak seperti penelitian lain hubungan antara kehidupan kerja-keluarga, konflik

kerja-keluarga kerja dan kinerja pekerjaan dicoba untuk dianalisis di bidang studi

lain dan di bidang lain

3.1.9. Employee Engagement berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja

Pegawai melalui Enjoyable Employee Experience

Melalui literatur akademik semakin banyak bukti yang menunjukkan

hubungan yang kuat antara keterlibatan karyawan dan berbagai hasil organisasi

yang penting. Keterlibatan misalnya telah terbukti dikaitkan dengan peningkatan

komitmen karyawan (Hallberg dan Schaufeli, 2006), peran dan perilaku (Bakker

et al., 2004), iklim layanan, kinerja karyawan, dan loyalitas pelanggan (Salanova

et al., 2005).

Menurut Xanthopoulou et al., (2009) dalam sebuah studi menunjukkan

hubungan yang jelas antara tingkat keterlibatan dan keuntungan perusahaan.

Keterlibatan individu, unit bisnis juga akan berdampak pada metrik keuangan

organisasi (Macey et al., 2009). Agar keterlibatan tetap menjadi fokus organisasi

yang bernilai, penting bagi peneliti dan praktisi untuk menunjukkan keunggulan

finansial dan non-finansial yang terkait dengan intervensi yang ditujukan untuk

meningkatkan keterlibatan karyawan.

Manfaat dari keterlibatan seperti diuraikan di atas dapat dikaitkan untuk

mengembangkan dan meningkatkan keterlibatan karyawan dalam konteks

Universitas Sumatera Utara


106

organisasi. Hal yang perlu dilakukan pada level praktis untuk membangun dan

mempertahankan keterlibatan karyawan akan berguna untuk mengklasifikasikan

intervensi keterlibatan dalam hal intervensi di tingkat organisasi, pekerjaan dan

individu.

Beberapa kombinasi intervensi di berbagai tingkatan mungkin akan

diperlukan untuk mengembangkan, menanamkan dan mempertahankan

keterlibatan dalam pengaturan organisasi. Jika kita pertama-tama memikirkan

intervensi tingkat organisasi, metodologi pengembangan organisasi/organization

development (OD) yang dicoba dan diuji harus dipertimbangkan. Proses umpan

balik survei misalnya dapat digunakan untuk menciptakan budaya atau iklim

untuk keterlibatan.

Menurut (Schneider et al., 1998) telah lama menganjurkan bahwa langkah-

langkah iklim organisasi perlu referensi tertentu (misalnya, iklim untuk

keselamatan, iklim untuk layanan, iklim untuk inovasi). Pengembangan "iklim

untuk keterlibatan" atau "iklim keterlibatan tinggi" mungkin secara wajar

dibangun diatas model iklim organisasi tradisional (misalnya, Koys & DeCotiis,

1991; Patterson et al., 2005) dan fokus pada pengalaman karyawan tentang

partisipasi, otonomi, kepercayaan, keselamatan, kohesi, dukungan, keadilan,

umpan balik, pengakuan dan peluang untuk pertumbuhan dan hadiah sebagai

sarana untuk memprediksi dan mengembangkan keterlibatan karyawan

3.1.10. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap Need

for Achievement melalui Enjoyable Employee Experience

Menurut pernyataan (Fineman, 2007), kesenangan di tempat kerja

membantu mengurangi stress dimana sebagian besar peneliti menerima konsep

Universitas Sumatera Utara


107

tersebut. Tetapi menurut temuan tidak ada yang signifikan antara kesenangan di

tempat kerja dan stres. Untuk hasil tersebut ada beberapa alasan, penelitian ini

melakukan satu sektor dan satu jenis sampel yang mungkin hal itu menjadi alasan.

Di sisi lain sebagian besar perusahaan IT tidak benar mengatur kegiatan

menyenangkan di lingkungan perusahaan mereka, sebagian besar dari mereka

hanya berlatih beberapa permainan dalam ruangan dan pesta tahunan atau

bulanan. Hal ini tidak cukup untuk mengendalikan stres. Sebagian besar

perusahaan menggunakan kesenangan di tempat kerja sebagai salah satu faktor

pengontrol stress.

3.1.11. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan

terhadap Kinerja Pegawai melalui Need for Achievement

Pada studi kasus di Perusahaan IT Sri Lanka terdapat hal penting untuk

diingat bahwa tidak semua karyawan suka bersenang-senang di tempat kerja,

terutama ketika kesenangan tersebut bersifat resmi yang dikemas dimana semua

karyawan "diharuskan" berpartisipasi (Kamalan dan Sutha, 2018). Hal ini terjadi

karena beberapa kegiatan resmi yang menyenangkan mungkin melibatkan hari

libur selama akhir pekan, imbalan formal, dan aturan main-main yang ditegakkan.

Untuk membuat kegiatan yang menyenangkan berfungsi sebagaimana

mestinya atasan harus memberi karyawan pilihan untuk tidak berpartisipasi.

Manajemen harus dengan cermat merancang kegiatan yang menyenangkan

sehingga karyawan dengan senang hati memilih untuk berpartisipasi. Manajemen

merencanakan kegiatan yang menyenangkan dan memberikan dukungan yang

diperlukan mungkin merupakan strategi yang memadai untuk memotivasi

karyawan untuk berpartisipasi dan membuat kegiatan yang benar-benar

Universitas Sumatera Utara


108

menyenangkan bagi karyawan (Redman dan Mathews, 2002). Artinya,

memberdayakan karyawan dalam budaya yang menyenangkan untuk merangkul

tuntutan mereka dan meningkatkan minat mereka.

Metode regresi berganda yang dilakukan (Kamalan dan Sutha, 2018)

menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kesenangan di tempat kerja dan

kinerja karyawan, sementara stres juga berdampak negatif pada kinerja karyawan.

Ketika stres meningkatkan kinerja karyawan akan berkurang tetapi kesenangan di

tempat kerja tidak mengendalikan stres. Jadi bagian mediasi tidak didukung untuk

penelitian ini tetapi secara langsung berdampak pada variabel dependen yaitu

kinerja karyawan. Koefisien menunjukkan bahwa kesenangan di tempat kerja dan

stres adalah prediktor yang signifikan, menunjukkan bahwa stres memiliki

dampak yang lebih tinggi daripada kesenangan di tempat kerja.

Sebagai hasil dari penelitian (Kamalan dan Sutha, 2018), jelas bahwa stres

memiliki dampak negatif pada kinerja karyawan sehingga kesenangan di tempat

kerja mengurangi stres pada pekerjaan sehari-hari yang pada akhirnya

menghasilkan jumlah produksi yang lebih tinggi. Kesenangan di lingkungan

tempat kerja juga berpengaruh positif dalam kinerja karyawan. Akhirnya

penelitian di atas dengan jelas menjelaskan bahwa hubungan positif antara kinerja

karyawan dan kesenangan di tempat kerja harus dipertahankan untuk

mengendalikan stres dengan bantuan kesenangan di tempat kerja yang untuk

kinerja karyawan yang lebih baik.

3.2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual pada penelitian ini berdasarkan pengaruh antar

variabel seperti yang telah diuraikan pada Gambar 3.1. Dalam penelitian ini

Universitas Sumatera Utara


109

kerangka konseptual dijadikan acuan dalam menganalisis hubungan antar variable

yang telah disusun berdasarkan teori yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.

Menurut Saunders et al., (2016) penelitian dengan mengumpulkan data

untuk mengeksplorasi gejala/fenomena melalui pengembangan suatu teori disebut

dengan kerangka kerja konseptual. Model konseptual juga menjelaskan ide-ide

terkait dalam suatu model yang saling berkaitan. Kerangka konseptual dari

variabel kinerja pegawai, need for achievement, leader passionate performance,

enjoyable employee experience dan work family conflict digambarkan dalam

diagram alur sebagai berikut:

H8 Kinerja
Work Family Pegawai (Y)
Conflict (X1)
Leader
Passionate
H2 Performance (Z3)
H10 H7
H1 H4
Enjoyable H6
Employee
Experience (Z2)
H11
H3
Employee H9 H5 Need For
Engagement
(Z1)
Achievement
(Z4)

Gambar 3.1

Kerangka Konseptual Penelitian

Hubungan dari masing-masing variabel pada kerangka konseptual tersebut

tidak hanya berdasarkan pada review penelitian terdahulu saja namun juga

berdasarkan pada uraian latar belakang masalah.

Universitas Sumatera Utara


110

3.3. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis pada penelitian ini yang dibangun berdasarkan teori

adalah sebagai berikut :

1. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap Employee

Engagement

2. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap Enjoy able

Employee Experience

3. Employee Engagement berpengaruh positif signifikan terhadap Enjoyable

Employee Experience

4. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan terhadap

Kinerja pegawai

5. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan terhadap Need

for Achievement

6. Need for Achievement berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja

pegawai

7. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan terhadap

kinerja pegawai yang dimoderasi Leader Passionate Performance

8. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja

pegawai

9. Employee Engagement berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja

Pegawai melalui Enjoyable Employee Experience

10. Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan terhadap Need for

Achievement melalui Enjoyable Employee Experience

Universitas Sumatera Utara


111

11. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif signifikan terhadap

Kinerja Pegawai melalui Need for Achievement

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Alasan mendasar

menggunakan penelitian kuantitatif adalah untuk menguji teori dengan cara

mengumpulkan data numerik dan menganalisisnya secara statistik. Oleh karena

itu penelitian kuantitatif umumnya melibatkan instrumen yang digunakan untuk

mengumpulkan data dan metode kuantitatif biasanya berkaitan dengan membuat

generalisasi tentang populasi yang diselidiki (Zikmund et al,. 2010).

Penelitian dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuannya. Oleh karena itu,

Saunders, Lewis dan Thornhill (2003) menyebutkan bahwa penelitian sering

digolongkan sebagai eksploratif, deskriptif, atau eksplanatori sedangkan Cooper

dan Schindler (2003) mengkategorikannya sebagai deskriptif dan kausal.

Studi yang membangun hubungan sebab akibat antara variabel dapat

disebut studi penjelasan. Penekanan disini adalah pada mempelajari situasi atau

masalah untuk menjelaskan hubungan antara variabel (Saunders, et al., 2003).

Studi penjelasan dirancang untuk menguji apakah satu peristiwa menyebabkan

yang lain (Hair et al., 2003). Penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Data telah

dikumpulkan melalui kuesioner dari pegawai marketing perempuan, bertujuan

untuk memahami faktor terpenting dari variabel prediktor yang mempengaruhi

kinerja pegawai marketing perempuan di Bank BUMN.

112

Universitas Sumatera Utara


113

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah seluruh Bank Pemerintah yang ada di wilayah

Kota Medan yaitu: Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI),

Bank Mandiri, dan Bank Tabungan Negara (BTN).

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2019 sampai dengan

bulan Juni 2020.

4.3. Jenis dan Sumber Data

4.3.1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara

langsung dari responden atau dari sumber-sumber yang dianggap penting. Data

primer adalah data yang didapatkan dari sumber asli dan pertama. Teknik

pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

menyebarkan kuesioner, wawancara langsung dengan responden serta wawancara

dengan pimpinan.

4.3.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tidak langsung, yang didapatkan melalui

perantara atau pihak-pihak lain yang telah terlebih dahulu menuliskannya. Data

sekunder dalam penelitian ini didapatkan dari literature baik yang telah

dipublikasikan maupun belum dipublikasikan. Meskipun data sekunder

didapatkan dari artikel atau laporan yang belum dipublikasikan, namun data ini

tetap dianggap sahih.

Universitas Sumatera Utara


114

4.4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh pegawai tetap wanita divisi

Marketing di Bank BUMN. Adapun kriteria sampel penelitian ini adalah:

1. Pegawai marketing perempuan yang telah menikah

2. Telah berada di bidang marketing sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun

Sampel dalam penelitian menggunakan syarat dari SEM yaitu 43 x 5 = 215 orang

(Hair, et al., 2011). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive

sampling dimana sampel ini diambil secara sengaja oleh peneliti dengan

pertimbangan tertentu.

4.5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam memperoleh data yang lengkap dan teliti, penulis menggunakan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara langsung (terstruktur) dengan pegawai marketing perempuan dan

pimpinan.

2. Penyebaran kuesioner dengan cara memberikan sejumlah daftar pertanyaan

yang diisi oleh pegawai marketing perempuan.

3. Studi dokumentasi dari catatan atau majalah Bank BUMN yang terbit secara

berkala.

4.6. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

Penulis mengidentifikasi penelitian ini dengan 6 (enam) variabel dan

mengelompokkan variabel tersebut menjadi dua bagian yaitu variabel endogen

yang terdiri atas: (1) Kinerja pegawai (2) Need for achievement (3) Leader

passionate performance (4) Enjoyable employee experience (5) Employee

engagement dan variabel eksogen yaitu Work family conflict

Universitas Sumatera Utara


115

4.6.1. Variabel Endogen Kinerja Pegawai (Y)

Variabel endogen pertama dalam penelitian ini adalah kinerja pegawai.

Definisi kinerja pegawai dalam penelitian ini adalah hasil kerja pegawai bank

pemerintah yang dihasilkan dalam suatu periode tertentu. Variabel kinerja

pegawai merupakan variabel laten yang diukur dengan 12 (dua belas) variabel

manifest (indikator) yang terdiri atas:

Gambar 4.1 Indikator Kinerja Pegawai

Universitas Sumatera Utara


116

4.6.2. Variabel Endogen Need for Achievement (Z4)

Variabel endogen kedua dalam penelitian ini adalah need for achievement.

Definisi need for achievement dalam penelitian ini adalah hasrat pegawai

marketing untuk menjadi unggul. Variabel need for achievement merupakan

variabel laten yang diukur dengan 5 (lima) variabel manifest (indikator)

Gambar 4.2 Indikator Need for Achievement

4.6.3. Variabel Endogen Leader Passionate Performance (Z3)

Variabel endogen ketiga dalam penelitian ini adalah leader passionate

performance. Definisi leader passionate performance dalam penelitian ini adalah

keterlibatan leader secara langsung untuk melihat passion dan performance

pegawai. Variabel leader passionate performance merupakan variabel laten yang

diukur dengan 8 (delapan) variabel manifest (indikator) yang terdiri atas :

Universitas Sumatera Utara


117

Gambar 4.3 Indikator Leader Passionate Performance

4.6.4. Variabel Endogen Enjoyable Employee Experience (Z2)

Variabel endogen keempat dalam penelitian ini adalah enjoyable employee

experience. Definisi enjoyable employee experience dalam penelitian ini adalah

persepsi positif pegawai bank pemerintah tentang pengalaman bekerja dan reaksi

positif terhadap interaksi pegawai dengan organisasi. Variabel enjoyable employee

experience merupakan variabel laten yang diukur dengan 8 (delapan) variabel

manifest (indikator) yang terdiri atas :

Universitas Sumatera Utara


118

Gambar 4.4 Indikator Enjoyable Employee Experience

4.6.5. Variabel Endogen Employee Engagement (Z1)

Variabel endogen kelima dalam penelitian ini adalah employee

engagement. Definisi employee engagement dalam penelitian ini adalah perasaan,

energi lebih yang dimiliki setiap pegawai bank pemerintah untuk tetap fokus pada

Bank tempat pegawai bekerja. Variabel employee engagement merupakan

variabel laten yang diukur dengan 5 (lima) variabel manifest (indikator) yang

terdiri atas :

Universitas Sumatera Utara


119

Gambar 4.5 Indikator Employee Engagement

4.6.6. Variabel Eksogen Work Family Conflict (X1)

Variabel eksogen dalam penelitian ini adalah work family conflict. Definisi

work family conflict dalam penelitian ini adalah bentuk konflik antar peran yang

dialami pegawai dimana tuntutan pekerjaan dan peran keluarga tidak kompatibel.

Variabel work family conflict merupakan variabel laten yang diukur dengan 6

(enam) variabel manifest (indikator) yang terdiri atas:

Gambar 4.6 Indikator Work Family Conflict

Universitas Sumatera Utara


120

4.6.7. Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan teori dan literatur-literatur sebelumnya maka variabel,

dimensi dan indikator dalam penelitian ini disajikan dalam bentul Tabel 4.1

Tabel 4.1
Operasionalisasi Variabel Penelitian

No Variabel Definisi Dimensi Indikator Skala


Hasil kerja a. Program
pegawai hubungan
marketing pelanggan dapat
perempuan bank dijalankan
pemerintah yang dengan baik
dihasilkan (Sonenntag dan
dalam suatu Frese, 2001; BRI,
periode tertentu BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)

b. Pelayanan yang
1. Customer
diberikan sudah
Orientation
sesuai dengan
(Sonenntag dan
kebutuhan
Frese, 2001;
pelanggan
BRI, BNI,
(Sonenntag dan
BTN, dan
Frese, 2001; BRI,
Mandiri, 2019)
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)

c. Produk sesuai
Kinerja dengan
Pegawai kebutuhan
1 Ordinal
(Y) pelanggan
(Sonenntag dan
Frese, 2001; BRI,
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)

a. Target tercapai
sesuai rencana
(Sonenntag dan
Frese, 2001; BRI,
BNI, BTN, dan
2. Execution Mandiri, 2019)
Focused
(Sonenntag dan b. Sumber daya
Frese, 2001; keuangan
BRI, BNI, direncanakan
BTN, dan untuk mencapai
Mandiri, 2019) target (Sonenntag
dan Frese, 2001;
BRI, BNI, BTN,
dan Mandiri,
2019)

Universitas Sumatera Utara


121

No Variabel Definisi Dimensi Indikator Skala


c. Berkordinasi
terhadap tugas
(Sonenntag dan
Frese, 2001; BRI,
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)
a. Menyelesaikan
pekerjaan sesuai
dengan tanggung
jawab (Sonenntag
dan Frese, 2001;
BRI, BNI, BTN,
dan Mandiri,
2019)
3. Results
b. Menyelesaikan
Orientation
tugas berdasarkan
(Sonenntag dan
target yang telah
Frese, 2001;
ditetapkan
BRI, BNI,
(Sonenntag dan
BTN, dan
Frese, 2001; BRI,
Mandiri, 2019)
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)

c. Bekerja sesuai
dengan supervise
(Sonenntag dan
Frese, 2001; BRI,
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)
a. Memperlihatkan
sikap yang positif
(Sonenntag dan
Frese, 2001; BRI,
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)
4. Professional
b. Bertindak tepat
Mindset
pada situasi
(Sonenntag dan
tertentu
Frese, 2001;
(Sonenntag dan
BRI, BNI,
Frese, 2001; BRI,
BTN, dan
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)
Mandiri, 2019)

c. Memiliki inisiatif
(Sonenntag dan
Frese, 2001; BRI,
BNI, BTN, dan
Mandiri, 2019)
Keinginan 1. Urge to excel a. Hasrat untuk Ordinal
pegawai untuk (Byars & Rue, mempengaruhi
Need for mecapai sesuatu 2002; Acquah, (hasrat untuk
2 Achievement di atas standar 2017) menjadi orang
(Z4) rata-rata berpengaruh
terhadap pegawai
lain) (Cassidy

Universitas Sumatera Utara


122

No Variabel Definisi Dimensi Indikator Skala


dan Lynn (1989;
Aloysius, 2012)

b. Selalu ingin
unggul (Spinath,
2001; Bosse,
2015)
2. To accomplish a. Keinginan yang
in relation kuat dalam
(Byars & Rue, membina
2002; Acquah, hubungan baik
2017) dengan pegawai
lain
(Shanthakumary,
2011)
3. To struggle for a. Upaya keras
success untuk
(Byars & Rue, mempertahankan
2002; Acquah, hubungan baik
2017) dengan
perusahaan
(Minter et al.,
1994; Aloysius,
2012)

b. Upaya keras
untuk
menciptakan
hubungan saling
menguntungkan
terhadap
organisasi
(Aloysius, 2012)
Keterlibatan 1. Passion a. Love for one job Ordinal
leader secara (Drucker,2001; (Erickson; 2015;
langsung untuk Adryanto, Terry, 2016;
melihat passion 2016; Collan, Collan, 2017)
dan 2017)
performance b. Feeling vitality at
pegawai work (Erickson;
2015; Terry,
2016; Collan,
2017)
Leader
Passionate
c. Seeing one,s
3 Performance
identity
(Z3)
(Erickson; 2015;
Terry, 2016;
Collan, 2017)

d. Willingness to
learn
(Erickson; 2015;
Terry, 2016;
Collan, 2017)

Universitas Sumatera Utara


123

No Variabel Definisi Dimensi Indikator Skala


e. Improve
continuously
(Erickson; 2015;
Terry, 2016;
Collan, 2017)
2. Leader a. Capable of
Performance handling
(Drucker,2001; assignment
Adryanto, (Terry, 2017;
2016; Collan, Adryanto, 2016)
2017)
b. Could manage
change(Terry,
2017; Adryanto,
2016)

c. Derive a lot
satisfaction
(Terry, 2017;
Adryanto, 2016)

Persepsi positif a. Positive feeling Ordinal


pegawai bank part of teamwork
pemerintah (Karl et al, 2018
tentang
pengalaman b. Positive feeling
1. Belonging
bekerja dan part of divisi
(Michelli, 2013)
reaksi positif (Karl et al, 2018)
terhadap
interaksi c. Positive feeling
pegawai dengan part of
organisasi organization
Enjoyable (Karl et al, 2018)
Employee a. Pleasant feeling
4
Experience (Karl et al, 2018)
2. Happines
(Z2)
(Michelli,
b. Perasaan diterima
2013)
orang lain (Karl
et al, 2018
a. Present of energy
(Collan, 2017)

b. Enthusiasm
3. Vigor (Michelli,
(Collan, 2017)
2013)
c. Excitement at
work
(Collan, 2017)
Perasaan, energi a. Intimacy (Collan,
lebih yang 2017)
dimiliki setiap
Employee pegawai bank 1. Engage Heart b. Appreciation
3 Engagement pemerintah (Collan, 2017) (Collan, 2017)
(Z1) untuk tetap
fokus pada c. Purpose (Collan,
Bank tempat 2017)
pegawai

Universitas Sumatera Utara


124

No Variabel Definisi Dimensi Indikator Skala


bekerja, a. Autonomy
(Collan, 2017)
2. Engage Mind
(Collan, 2017)
b. Mastery (Collan,
2017)

Bentuk konflik 1. Work Inference a. Dominasi salah Ordinal


antar peran yang Family (WIF) satu peran
dialami (Frone et al., (Nicholas, 2014 )
pegawai, di 1997, Gutek
mana tuntutan dan Searle, b. Dukungan
pekerjaan dan 1991) keluarga
peran keluarga (Tejinder, 2013;
tidak Nicholas, 2014 )
kompatibel 2. Beban kerja 1. Kategori
(Frone et al., pekerjaan
1997, Gutek (Tejinder, 2013;
dan Searle, Nicholas, 2014 )
1991)
Work Family
2. Dukungan
5 Conflict
organisasi
(X)
(Tejinder, 2013;
Nicholas, 2014 )
3. Waktu kerja a. Jumlah waktu
(O'Driscoll et yang dihabiskan
al., 2004) untuk bekerja
(Tejinder, 2013;
Nicholas, 2014 )

b. Jumlah waktu
yang dihabiskan
untuk keluarga.
(Tejinder, 2013;
Nicholas, 2014 )

4.7. Analisis Statistik Inferensial-Partial least square

4.7.1. Alat Analisis Statistik

Penelitian ini dilakukan dengan SEM menggunakan PLS dimana menurut

Monecke dan Leisch (2012) beberapa hal penting yang menjadi dasar penggunaan

PLS adalah sebagai berikut:

1. PLS terdiri atas tiga komponen yakni (a) model structural (b) model

pengukuran dan (c) skema pembobotan. Point c merupakan ciri khusus SEM

dengan PLS dan tidak ada pada SEM yang berbasis kovarian

Universitas Sumatera Utara


125

2. SEM yang menggunakan PLS hanya untuk model antar variabel yang

recursive saja. Hal ini sama dengan model analisis jalur (path analysis) tidak

sama dengan SEM yang berbasis kovarian yang membolehkan terjadi

hubungan non recursive.

3. Skema pembobotan digunakan untuk estimasi bobot, kemudian

perkembangan selanjutnya skema pembobotan juga menggunakan

pembobotan faktorial dan jalur

4. Koefisien jalur diestimasi dengan menggunakan OLS (ordinary least square)

menurut model strukturalnya. Koefisien jalur dalam SEM-PLS ialah koefisien

regresi baku (Beta)

Sedangkan menurut Hair et al., 2011, ciri dari SEM dengan PLS

diantaranya adalah SEM dengan PLS membuat estimasi ‘loadings’ variabel

manifest/indikator untuk variabel laten eksogenous dengan didasarkan pada

prediksi terhadap variabel laten endogenous bukan didasarkan pada varian yang

dibagi diantara variabel – variabel manifest / indikator pada variabel laten yang

sama sebagaimana yang terjadi pada SEM berbasis kovarian. Oleh karena itu

loadings merupakan kontributor bagi koefesien jalur dengan keterangan sebagai

berikut:

1. SEM dengan PLS dapat menghasilkan model pengukuran yang dapat

diterima meskipun hubungan model struktural tidak signifikan

2. Secara konsep penggunaan SEM dengan PLS adalah memaksimalkan varian

yang dijelaskan pada variabel laten endogenous dengan ditambah menilai

kualitas data yang didasarkan pada karakteristik model pengukuran

Universitas Sumatera Utara


126

3. Para peneliti pengguna SEM dengan PLS menamakan model pengukuran

reflektif sebagai model A sedangkan model pengukuran formatif sebagai

model B

4. Model jalur SEM dengan PLS sama dengan SEM yang berbasis kovarian,

yaitu didasarkan pada diagram jalur dari analisis jalur (path analysis)

4.7.2. Data yang dapat dianalisis dengan PLS SEM

Data yang digunakan dalam PLS tidak harus memenuhi persyaratan

asumsi normalitas dengan demikian, PLS memberi kelonggaran pada data yang

tidak berdistribusi normal. Hal ini berbeda dengan SEM yang berbasis kovarian

dimana normalitas data menjadi suatu keharusan dalam prosedur tersebut.

Oleh karena itu maka, SEM dengan PLS menjadi suatu prosedur alternatif

selain SEM yang berbasis kovarian, karena dalam praktik / kenyataan kita sering

menemukan bahwa data yang akan kita oleh tidak berdistribusi normal. Oleh

karena itu sebelum kita menggunakan prosedur ini, sebaiknya kita melakukan

pengujian terlebih dahulu seperti apa distribusi data kita. Sekalipun demikian data

yang berdistribusi normal juga dapat dipergunakan dalam SEM dengan PLS

sebagaimana kita menggunakan data tersebut dalam SEM yang berbasis kovarian.

4.7.3. Skala Pengukuran pada SEM dengan PLS

Oleh karena akar dari PLS SEM adalah regresi linier sebagaimana sudah

kita ketahui bahwa dalam regresi linier skala pengukuran yang dipergunakan

setidak-tidaknya berskala interval maka, data yang akan diolah dengan

menggunakan PLS sebaiknya merupakan data dengan skala pengukuran interval.

Sekalipun demikian hal ini tidak menjadi keharusan dalam PLS. SEM dengan PLS

memberi kelonggaran kepada pengguna untuk menggunakan skala pengukuran

Universitas Sumatera Utara


127

selain interval dimana hal ini tidak diijinkan dalam SEM yang berbasis kovarian

lainnya

4.7.4. Asumsi PLS pada SEM

Beberapa asumsi dalam PLS SEM diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Asumsi utama dalam penggunaan PLS SEM ialah tidak mengharuskan

mengikuti asumsi normalitas karena PLS SEM tidak memperlakukan data

sebagaimana dalam SEM yang berbasis kovarian dimana dalam SEM tersebut

data diharuskan berdistribusi normal. Kelonggaran ini memungkinkan kita

menggunakan data yang tidak berdistribusi normal.

2. Asumsi berikutnya ialah PLS SEM dapat menggunakan ukuran sampel yang

kecil tidak seperti pada SEM yang berbasis kovarian yang mengharuskan

peneliti menggunakan ukuran sampel yang besar.

3. Sebaliknya PLS SEM tidak mengharuskan peneliti menggunakan jumlah data

yang besar. Dengan demikian prosedur ini memberikan keuntungan bagi

pengguna saat kesulitan mencari data dalam jumlah yang besar.

4. Tidak mengharuskan randomisasi sampel dengan demikian sampel yang

dipilih dengan pendekatan non probabilitas, seperti : accidental sampling,

purposive sampling dan sejenisnya dapat digunakan pada SEM dengan PLS.

5. Memperbolehkan indikator formatif dalam mengukur variabel laten selain

indikator reflektif. Hal ini tidak diijinkan dalam SEM berbasis kovarian yang

menggunakan indikator reflektif saja.

6. PLS SEM mengijinkan adanya variabel laten dikotomi.

Universitas Sumatera Utara


128

7. PLS SEM memberi kelonggaran terhadap keharusan adanya skala pengukuran

interval. Dengan demikian peneliti dapat menggunakan skala pengukuran

selain interval.

8. Distribusi residual dalam PLS SEM tidak diharuskan seperti pada SEM yang

berbasis kovarian dimana dalam SEM tersebut distribusi residual harus

sekecil mungkin seperti pada regresi linier.

9. PLS SEM cocok digunakan sebagai prosedur yang digunakan untuk

mengembangkan teori pada tahap awal. Hal ini berbeda dengan SEM yang

berbasis kovarian yang menggunakan teori untuk dikonfirmasi dengan

menggunakan data sampel.

10. Pendekatan regresi dalam PLS SEM lebih cocok dibandingkan dalam SEM

yang berbasis kovarian.

11. Pada PLS SEM hanya diperbolehkan model recursive (sebab - akibat ) saja

dan tidak mengijinkan model non recurisve (timbal balik) sebagaimana dalam

SEM yang berbasis kovarian.

12. PLS SEM memungkinkan model sangat kompleks dengan banyak variabel

laten dan indikator.

4.7.5. Persyaratan Jumlah Data PLS

Jika SEM yang berbasis kovarian mengharuskan ukuran sampel yang besar

yang dapat mencakup ratusan bahkan ribuan observasi maka, PLS SEM cukup

dengan menggunakan ukuran sampel yang kecil. Ukuran sampel kecil dengan

persyaratan minimal adalah 5 kali dari besarnya indikator formatif terbanyak yang

digunakan untuk mengukur 1 variabel laten atau 5 kali dari jumlah jalur struktural

terbanyak yang ditujukan ke variabel laten tertentu dalam model struktural.

Universitas Sumatera Utara


129

Penelitian yang dilakukan oleh Chin dan Newsted (1999) membuktikan hanya

dengan menggunakan 20 data mereka dapat menggunakan PLS SEM dengan

benar.

4.7.6. Tujuan Menggunakan PLS SEM

SEM dengan PLS digunakan saat tujuan penelitian ialah memprediksi dan

mengembangkan teori. Hal ini berlainan dengan SEM yang berbasis kovarian

yang ditujukan untuk menguji teori yang ada dan konfirmasi. Disamping itu, PLS

SEM juga digunakan untuk memprediksi variabel laten endogenous atau

mengidentifikasi variabel-variabel utama jika riset merupakan riset eksploratori

atau perluasan suatu teori struktural yang ada.

4.8. Instrumen dan Skala Pengukuran Penelitian

4.8.1. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat untuk pengumpulan data. Tanpa alat

tersebut tidak mungkin data dapat diambil. Instrumen adalah berbagai alat ukur

yang digunakan secara sistematis untuk pengumpulan data, seperti tes, kuesioner,

pedoman wawancara dan pedoman observasi yang digunakan peneliti untuk

mengumpulkan data penelitian.

Pada penelitian ini penulis menggunakan instrument penelitian berupa

kuesioner yaitu penyebaran quesioner atau angket untuk mendapatkan data

yang bersifat pendapat atau persepsi, yang dilanjutkan dengan pendalaman

melalui wawancara dan observasi langsung ke sumber data. Agar angket yang

dipergunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat akurasi dan ketepatan

yang tinggi dalam penggalian data penelitian, maka perlu indikator dari

penelitian disesuaikan dengan kondisi yang ada di Bank BUMN.

Universitas Sumatera Utara


130

4.8.2. Skala Pengukuran Penelitian

Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan

untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga

alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data

kuantitatif. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert.

Skala ini digunakan untuk mengembangkan instrument yang digunakan

untuk mengukur sikap, persepsi, dan pendapat pegawai perempuan di Bank

Pemerintah Kota Medan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan

skala Likert dalam penelitian ini mempunyai gradasi dari sangat positif sampai

sangat negatif dan memiliki skor, yang antara lain sebagai berikut:

Skor 5 = Sangat setuju/sangat puas

Skor 4 = Setuju/puas

Skor 3 = Kurang setuju/kurang puas

Skor 2 = Tidak setuju/tidak puas

Skor 1 = Sangat tidak setuju/sangat tidak puas

4.8.3. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Construct validity adalah penilaian validitas (kebenaran bahwa suatu item

benar-benar mengukur sesuatu yang ingin diukur). Validitas instrumen dapat

diukur dengan cara membandingkan koefisien korelasi antara skor butir dengan

skor total melalui teknik korelasi Product Moment Pearson. Instrumen dinyatakan

valid jika koefisien korelasi hasil perhitungan lebih besar dari r tabel (rhitung >

rtabel ). Sedangkan reliabilitas instrumen dapat diukur dengan menggunakan rumus

Alpha Cronbach. Instrumen dapat dikatakan reliabel (ajeg/konsisten) jika r alpha

positif atau > dari r tabel maka pertanyaan reliabel. Jika r alpha negatif atau < dari

Universitas Sumatera Utara


131

r tabel maka pertanyaan tidak reliabel. Pengukuran relabilitasnya menggunakan

uji statistik Cronbach Alpha.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Hasil Penelitian

Bab ini menganalisis data dengan menggunakan statististik deskriptif dan

statistik inferensial. Menguraikan data dengan statististik deskriptif dilakukan

dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul

sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk

umum atau generalisasi. Termasuk dalam statistik deskriptif antara lain adalah

penyajian data melalui tabel, grafik, diagram lingkaran, perhitungan modus,

median, mean, dan standar deviasi. Statistik deskriptif dapat digunakan bila

peneliti hanya ingin mendeskripsikan data sampel, dan tidak ingin membuat

kesimpulan yang berlaku untuk populasi dimana sampel diambil. Statistik

inferensial adalah teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel

dan hasilnya diberlakukan untuk populasi.

Menguraikan data dengan statistik inferensial yakni digunakan untuk

menguji parameter populasi melalui data sampel. Dimana pengujian parameter

melalui statistik ini dinamakan dengan uji hipotesis statistik. Statistik inferensial

yang digunakan dalam penelitian ini adalah model diagram jalur pada PLS. Model

diagram jalur pada PLS terdiri atas model struktural (inner model) dan model

pengukuran (outer model)

5.1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di empat (4) Bank BUMN yang ada di Kota

Medan pada pegawai marketing perempuan.

132

Universitas Sumatera Utara


133

5.1.1.1. Bank Rakyat Indonesia

PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (“BRI”,“Bank”, atau

“Perseroan”) dimulai sejak 16 Desember 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah

dengan nama “Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren” yang

setelah beberapa kali mengalami perubahan nama kemudian resmi ditetapkan

menjadi Bank Rakyat Indonesia sejak 16 Desember 1968 berdasarkan UU No.21

tahun 1968. Sejak tahun 1992, status BRI berubah menjadi Perseroan Terbatas

dengan 100% kepemilikan BRI ditangan pemerintah Republik Indonesia yang

kemudian pada tahun 2003, BRI melakukan Initial Public Offering (IPO)

sehingga komposisi kepemilikan saham pemerintah di BRI menjadi 56.75%,

sementara sisanya sebesar 43,25% dimiliki oleh pemegang saham publik.

Sebagai bank komersial tertua, BRI konsisten memberikan pelayanan

kepada segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan hingga saat ini

BRI tetap mampu menjaga komitmen tersebut di tengah kompetisi industry

perbankan Indonesia.Dengan dukungan pengalaman dan kemampuan yang

matang dalam memberikan layanan perbankan, terutama pada segmen UMKM,

BRI mampu mencatat prestasi selama 10 tahun berturut-turut sebagai bank dengan

laba terbesar.Keberhasilan ini adalah hasil kerja keras segenap insan BRI, yang

secara terus menerus menambah kompetensi, berinovasi dan mengembangkan

produk dan jasa perbankan bagi semua segmen bisnis.

Konsisten fokus pada Segmen Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(UMKM) melalui lebih dari 10.000 unit kerja yang terintegrasi secara online di

seluruh Indonesia menjadikan BRI sebagai salah satu Bank dengan layanan Micro

Banking terbesar di Indonesia dan dunia. BRI juga terus mengembangkan

Universitas Sumatera Utara


134

berbagai produk consumer banking dan layanan institusional bagi masyarakat

perkotaan. Untuk mendukung upaya tersebut, BRI terus mengembangkan jaringan

kerja sehingga kini tercatat sebagai bank terbesar dalam hal jumlah unit kerja di

Indonesia, yaitu berjumlah 10.396 unit kerja termasuk 3 kantor cabang yang

berada di luar negeri, yang seluruhnya terhubung secara real time online.

5.1.1.2. Bank Negara Indonesia (BNI)

PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk atau biasa dikenal dengan BNI

merupakan salah satu penyedia jasa perbankan terkemuka di Indonesia.BNI

pertama kali didirikan pada tanggal 5 Juli 1946 sebagai bank pertama yang

dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia secara resmi.Debut pertama BNI

sejak awal berdirinya dengan mengedarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) yang

merupakan alat pembayaran pertama yang resmi sejak tanggal 30 Oktober

1946.Hari tersebut sekarang diperingati sebagai Hari Keuangan Nasional,

sedangkan hari berdirinya BNI tanggal 5 Juli diperingati sebagai Hari Bank

Nasional.Peran BNI sebagai bank sirkulasi atau bank sentral mulai dibatasi oleh

Pemerintah seiring dengan penunjukan bank warisan Belanda De Javsche Bank

sebagai Bank Sentral sejak tahun 1949. Selanjutnya BNI diberikan hak sebagai

bank devisa selain berperan sebagai bank pembangunan dengan memiliki akses

transaksi langsung ke luar negeri.

Status BNI kemudian berubah menjadi bank komersial milik pemerintah

dengan penambahan modal yang dilakukan pada tahun 1955.Hal ini menjadikan

pelayanan BNI berjalan semakin baik seiring dengan hadir-nya dukungan bagi

sektor usaha nasional.Nama BNI atau Bank Negara Indonesia 1946 yang dipakai

sebagai identitas bank secara resmi digunakan sejak akhir tahun 1968. Namun

Universitas Sumatera Utara


135

dalam perkembangan-nya bank ini lebih dikenal sebagai 'BNI 46'. Pada tahun

1988 perusahaan memutuskan untuk merubah nama panggilan menjadi 'Bank

BNI' dengan alasan mudah diingat oleh nasabah. Sejak tahun 1992 status hukum

Bank BNI berubah menjadi perusahaan terbuka. Hal ini sejalan dengan

penggantian nama menjadi PT Bank Negara Indonesia (Persero). Perusahaan tak

hanya berhenti sampai disana saja, rencana untuk "go public" kemudian dapat

terealisasikan dengan melakukan penawaran umum perdana di pasar modal pada

tahun 1996.

Perusahaan terus menjaga komitmen dalam perbaikan kualitas kinerja di

tengah perubahan dan kemajuan lingkungan, sosial-budaya serta teknologi.

Identitas baru perusahaan terus diperbaharui dengan menggunakan nama "BNI"

dan mencantumkan tahun berdiri "46" dalam logo perusahaan sejak tahun

2004.Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia telah memegang saham BNI sebesar

60% dan sisanya 40% dimiliki oleh pemegang saham publik yang datang dari

individu, instansi, domestik maupun asing. Dengan visi "Menjadi bank yang

unggul, terkemuka dan terdepan dalam layanan dan kinerja".

BNI telah berhasil menjadi bank terbesar ke-4 di Indonesia bila dilihat dari

total aset, total kredit maupun total dana pihak ketiga. Hingga akhir tahun 2012

saja, BNI telah memiliki total aset sebesar Rp333,3 triliun. Hal ini merupakan

hasil kerja keras dari semua komponen BNI, terutama 24.861 karyawan yang telah

berdedikasi tinggi terhadap perusahaan. Selain itu, jaringan layanan BNI berada di

1.585 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia dan telah berhasil merambah

hingga Hong Kong, London, New York dan Singapura. Melalui tekad dan

Universitas Sumatera Utara


136

semangat yang tinggi ke depan-nya BNI akan selalu berupaya untuk memberikan

layanan terbaik dan selalu menjadi kebanggaan negara.

5.1.1.3 Bank Tabungan Negara (BTN)

PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk atau biasa dikenal dengan BTN

adalah sebuah perseroan terbatas yang bergerak di bidang penyedia jasa

perbankan. Bank ini merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara Indonesia

yang pertama kali didirikan pada tahun 1987.Saat itu bank ini masih bernama

Postspaar Bank yang terletak di Batavia. Selanjutnya Jepang membekukan

kegiatan bank tersebut dan mengganti nama menjadi Chokin Kyoku. Pemerintah

Indonesia mengambil alih dan mengubah namanya kembali menjadi Bank

Tabungan Pos sesuai dengan Undang-Undang Darurat Nomor 9 Tahun 1950.

Beberapa tahun berselang tepatnya pada tahun 1963, bank ini kembali berganti

nama menjadi Bank Tabungan Negara atau biasa dikenal dengan BTN.

Lima tahun setelah itu, bank ini beralih status menjadi bank milik negara

melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 1964.Pada tahun 1974 BTN

menawarkan layanan khusus yang bernama KPR atau kredit pemilikan rumah.

Layanan ini dikhususkan pada BTN oleh Kementerian Keuangan dengan

dikeluarkannya surat pada tanggal 29 Januari 1974. Layanan ini pertama kali

dilakukan pada tanggal 10 Desember 1976. Selanjutnya pada tahun 1989 BTN

juga telah beroperasi menjadi bank umum dan mulai menerbitkan obligasi.Pada

tahun 1992 status hukum BTN berubah menjadi perusahaan perseroan (Persero).

Selain itu, dua tahun berselang tepatnya pada tahun 1994, BTN juga

memiliki izin sebagai Bank Devisa.Keunggulan dari BTN terlihat pada tahun

2002 yang menempatkan BTN sebagai bank umum dengan fokus pinjaman tanpa

Universitas Sumatera Utara


137

subsidi untuk perumahan. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya surat dari Menteri

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tanggal 21 Agustus 2002. Pada tahun 2003

BTN melakukan restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi perusahaan yang

dilakukan secara menyeluruh tersebut telah tertulis dalam persetujuan RJP

berdasarkan surat Menteri BUMN tanggal 31 Maret 2003 dan Ketetapan Direksi

Bank BTN tanggal 3 Desember 2004. Tak berhenti sampai di sana, pada tahun

2008 BTN juga yang telah melakukan pendaftaran transaksi Kontrak Investasi

Kolektif Efek Beragun Aset (KIK Eba) di Bapepam. Bank BTN merupakan bank

pertama di Indonesia yang berhasil melakukannya. Selanjutnya pada tahun 2009,

BTN melakukan pencatatan perdana dan listing transaksi di Bursa Efek Indonesia.

Dengan visi "menjadi bank yang terkemuka dalam pembiayaan perumahan" Bank

BTN nyatanya telah menjadi salah satu bank terkemuka di Indonesia.

5.1.1.4. Bank Mandiri

Bank Mandiri adalah bank terbesar di Indonesia bila dilihat dari sektor

jumlah aset, pinjaman dan deposito.Bank Mandiri didirikan pada tanggal 2

Oktober 1998. Dengan penggabungan usaha bank-bank Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang terdiri dari BBD, BDN, Bank Exim, dan Bapindo pada

tanggal 31 Juli tahun 1999. Hingga pada bulan Agustus 1999 Bank Mandiri resmi

beroperasi secara komersial.

Bank ini telah melayani banyak nasabah dengan berbagai fasilitas yang

ditawarkan, sehingga bank ini merupakan salah satu bank retail dengan nasabah

terbanyak di Indonesia. Pada bulan Maret 2005, Bank Mandiri telah berhasil

membuka lebih dari 829 cabang yang tersebar di berbagai kota di Indonesia dan

beberapa cabang telah merambah penjuru luar negeri. Bank ini juga telah

Universitas Sumatera Utara


138

mempunyai lebih dari 2.500 ATM yang tergabung dalam jaringan LINK serta tiga

anak perusahaannya, yakni Bank Syariah Mandiri, Mandiri Sekuritas, dan AXA

Mandiri. Cabang Bank Mandiri yang tersebar ke luar negeri antara lain di

Singapura, Cayman Island, Dili (Timor Leste), Hong Kong, Shanghai, Malaysia

dan beberapa anak perusahaan di London.

Salah satu prioritas Bank Mandiri yakni menggalang nasabah yang datang

dari berbagai sektor sehingga Bank Mandiri juga ikut dalam usaha penggerak

ekonomi di Indonesia.Selain itu, Bank Mandiri juga terus malakukan inovasi-

inovasi terbaru guna memuaskan nasabahnya.Salah satunya yakni dengan

menerapkan upaya "prudential banking", "best-practices risk management" dan

"four-eye principle".Bank Mandiri juga telah berhasil mencetak perkembangan

yang signifikan dalam pelayanan dalam sektor Usaha Kecil dan Menengah

(UKM) dan nasabah ritel. Dengan pencapaian yang diperolehnya hingga saat ini

menempatkan Bank Mandiri sebagai salah satu bank terkemuka di Indonesia dan

menjadi solusi tepat dalam masalah perbankan nasabah Indonesia

5.2. Pembahasan Karakteristik Responden

Berikut adalah karakteristik responden yang diklasifikasikan berdasarkan

usia, pengalaman dan pendidikan

5.2.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan-Usia

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan untuk mengetahui

perbedaan pendidikan diantara pegawai marketing perempuan. Pada Tabel 5.1

komposisi pegawai marketing perempuan terbanyak adalah pada pendidikan S1

dengan kelompok usia 20-30 Tahun sebanyak 97 orang dan yang paling sedikit

adalah pendidikan S2. Hal ini menunjukkan bahwa Bank BUMN di Kota Medan

Universitas Sumatera Utara


139

banyak melakukan proses rekrutmen pada fresh graduate S1 dan usia muda untuk

penempatan posisi marketing.

Keuntungan mempekerjakan usia muda pada Bank BUMN adalah generasi

muda dipenuhi dengan ide-ide yang segar, unik, bahkan anti mainstream. Hal

tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pekerjaan marketing. Selain itu

koneksi networking generasi muda juga terbilang luas karena para generasi muda

merupakan kategori pengguna sosial media dan internet yang aktif.

Oleh karena itu, mempekerjakan pegawai usia muda atau fresh graduate,

dapat dimanfaatkan sebagai media promosi untuk perusahaan. Selain itu,

kelompok generasi muda memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang teknologi

jika dibandingkan dengan generasi tua. Hal itu memberikan keuntungan tersendiri

bagi Bank BUMN untuk menjadikan pekerjaan lebih cepat terselesaikan melalui

pemanfaatan bantuan teknologi.

Tabel 5.1
Tabulasi Silang Pendidikan-Usia
Usia (Tahun)
Pendidikan Total
20-30 31-40 41-50 >50
D3 0 14 37 3 54
S1 97 53 0 0 150
S2 0 0 0 11 11
Total 97 67 37 14 215

5.2.2. Pendidikan-Usia

Usia rata-rata pegawai marketing perempuan sebagian besar adalah 20-30

tahun dengan pendidikan S1. Hasil pearson Chi-Square = 0.000 < 0.05, maka

disimpulkan terdapat perbedaan pendidikan dan usia pegawai artinya adalah

pegawai dengan usia 20-30 tahun kebanyakan berpendidikan S1 sedangkan

Universitas Sumatera Utara


140

pegawai dengan pendidikan S2 umumnya berusia antara 50 tahun atau diatas 50

tahun

Gambar 5.1 Pendidikan-Usia

5.2.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan-Lama Bekerja

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan untuk mengetahui

perbedaan pendidikan dan lama bekerja diantara pegawai marketing perempuan.

Pada Tabel 5.2 komposisi pegawai marketing perempuan terbanyak adalah pada

pendidikan S1 dengan lama bekerja 4-6 Tahun sebanyak 114 orang, dan yang

paling sedikit adalah pendidikan S1 juga dengan lama bekerja 7-9 Tahun

sebanyak 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa pegawai marketing perempuan

Bank BUMN di Kota Medan tidak banyak yang melanjutkan jenjang pendidikan

ke S2.

Hal tersebut dikarenakan kenaikan jenjang pendidikan dari S1 ke S2 tidak

berdampak banyak terhadap kenaikan karier pegawai.Kebanyakan pegawai

marketing perempuan bekerja tidak lebih dari 10 tahun, setelahnya kebanyakan

dari pegawai tersebut mengundurkan diri. Hal tersebut dikarenakan, pegawai

Universitas Sumatera Utara


141

marketing perempuan merasa bahwa pekerjaan marketing lebih sesuai untuk

wanita-wanita usia muda.

Meskipun pengalaman kerja pegawai masih berkisar 4 (tahun), bukan

berarti bahwa pegawai tak memiliki pengalaman berharga.Kebanyakan yang

memiliki pengalaman kerja 4 tahun adalah generasi muda yang memiliki

keterampilan yang memadai. Ditambah lagi pegawai dengan lama bekerja 4-6

tahun adalah pegawai yang lebih bersemangat dibandingkan dengan usia tua.

Pegawai tersebut juga selalu ingin memahami bagaimana segala sesuatunya

dilakukan.

Mereka tidak takut untuk bertanya “mengapa?”.Hal ini sangat

menguntungkan bagi Bank BUMN terutama ketika perusahaan hendak

menganalisis tingkat efisiensi dan efektifitas. Hal tersebut dikarenakan perusahaan

memiliki kemampuan dalam menghadirkan perspektif baru yang inovatif dan

segar untuk divisi marketing.

Selain itu masa bekerja 4-6 tahun memiliki harapan gaji yang lebih rendah

dari para senior. Keuntungannya bagi perusahaan adalah lebih berhemat, karena

gaji tentu belum setinggi para senior. Dalam hal ini perusahaan memiliki

kesempatan untuk mempekerjakan seorang pegawai berbakat yang memiliki

banyak ide segar dengan gaji yang lebih rendah.

Tabel 5.2
Tabulasi Silang Pendidikan-Lama Bekerja
Lama Bekerja (Tahun)
Pendidikan Total
1-3 4-6 7-9 >10
D3 0 0 44 10 54
S1 30 114 6 0 150
S2 0 0 0 11 11
Total 30 114 50 21 215

Universitas Sumatera Utara


142

5.2.4. Pendidikan-Lama Bekerja

Lama bekerja yang dimiliki pegawai marketing sebagian besar adalah 4-6

tahun dengan pendidikan S1. Hasil pearson Chi-Square = 0.000 < 0.05, maka

disimpulkan terdapat perbedaan pendidikan dan lama bekerja pegawai, artinya

adalah pegawai dengan masa kerja 4-9 tahun dan berpendidikan S1 telah memiliki

pengalaman yang cakap untuk mencapai target, sehingga target marketing trennya

cenderung positif. Usia responden dibagi atas 4 kategori seperti yang terlihat pada

Gambar 5.1 dimana usia marketing yang dominan adalah di antara 20-30 tahun,

yang menunjukkan bahwa usia tersebut merupakan usia muda dan masih energik.

Perusahaan banyak menggunakan marketing denganusia muda, dikarenakan

pegawai marketing yang masih muda, lebih energik dan menyukai tantangan.

Sedangkan pengalaman diatas 10 tahun umumnya adalah jabatan pada leader

marketing.

Gambar 5.2 Pendidikan-Lama Bekerja

5.3. Hasil Statistik Deskriptif

Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini berisi tanggapan

Universitas Sumatera Utara


143

responden atas pernyataan yang diajukan dalam kuesioner yang dikelompokkan

berdasarkan indikator variabel penelitian. Masing-masing alternatif jawaban dari

variabel penelitian telah ditentukan dengan nilai skor minimal 1 (satu) dan

maksimal 5 (lima). Kategori untuk setiap indikator ditentukan berdasarkan

interval rerata skor berikut:

Nilai rata-rata Kategori


1.00-1.80 Sangat tidak setuju /sangat tidak baik/sangat tidak
tepat/sangat tidak cepat
1.81-2.60 Tidak setuju/ Tidak baik/Tidak tepat/tidak cepat
2.61-3.40 Kurang setuju/ Kurang baik/Kurang tepat/kurang cepat
3.41-4.20 Setuju/ Baik/Tepat/cepat
4.21-5.00 Sangat Setuju/ Sangat Baik/Sangat Tepat/sangat cepat

5.3.1. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Kinerja Pegawai

Berikut adalah jawaban responden berdasarkan hasil kuesioner atas

variabel kinerja pegawai

Tabel 5.3
Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Kinerja Pegawai
Pilihan Rata-
No Pernyataan rata
Ket
STS TS KS S SS
Membangun -- 1 -- 116 98 Sangat
1 hubungan dengan (0.5%) (54%) (45.6%) baik
4.45
pelangga
-- 7 28 93 87 Sangat
2 (3.3%) (13.0%) (43.3%) (40.5%) 4.21
Kepuasan layanan baik
Pelanggan lama 1 -- 6 123 85 Sangat
3 (0.5%) (2.8%) (57.2%) (39.5%) 4.35
tidak berkurang baik
Kemampuan 7 -- 6 132 70 Baik
4 membuat (3.3%) (2.8%) (61.4%) (32.6%)
4.20
perencanaan kerja
Memaksimalkan 6 -- 22 123 64 Baik
pengelolaan (2.8%) (10.2%) (57.2%) (29.8%)
5 4.11
sumberdaya
keuangan
Memaksimalakan -- 1 18 145 51 Baik
6 sumber daya non (0.5%) (8.4%) (67.4%) (23.7%)
4.14
keuangan
Kecepatan -- -- 13 154 48 Baik
7 mengambil (6.0%) (71.6%) (22.3%)
4.16
keputusan
Ketepatan -- 2 16 127 70 Baik
8 mengambil (0.9%) (7.4%) (59.1%) (32.6%)
4.23
keputusan
Memaksimalkan -- 19 82 60 54 Baik
9 (8.8%) (38.1%) (27.9%) (25.1%) 3.70
pencapaian target

Universitas Sumatera Utara


144

No Pernyataan Pilihan Rata- Ket


Meniadakan -- 2 17 129 67 rata Baik
10 (0.9%) (7.9%) (60.0%) (31.2%) 4.21
kesalahan kerja
Kemampuan -- 4 8 107 96 Sangat
(1.9%) (3.7%) (49.8%) (44.7%) 4.37
menyelesaikan baik
11
pekerjaan tepat
waktu
Sumber: Data diolah SPSS, 2020

Memberikan pelayanan yang sesuai kebutuhan pelanggan

sangat tergantung pada pelayanan pegawai yang melayani

tersebut. Pegawai marketing yang melayani nasabah harus

memiliki kemampuan melayani calon nasabah dan nasabah

secara tepat dan cepat. Disamping itu pegawai marketing harus

memiliki kemampuan dalam berkomunikasi, sopan santun,

ramah dan bertanggung jawab penuh terhadap nasabahnya.

Selanjutnya adalah faktor tersedianya sarana dan prasarana

yang mendukung kecepatan, ketepatan, dan keakuratan

pekerjaan pegawai marketing.Sarana dan prasarana yang dimiliki

harus dilengkapi oleh kemajuan teknologi terkini. Pada akhirnya,

sarana dan prasarana ini dioperasikan oleh pegawai yang

berkualitas sehingga faktor pendukung diatas saling menunjang

satu sama lainnya. Setelah ada faktor pendukung yang

berpengaruh terhadap mutu layanan terbentuklah ciri-ciri

pelayanan yang baik antara lain sebagai berikut:

a. Tersedianya karyawan yang baik dan tersedianya sarana dan

prasarana yang baik. Pegawai marketing yang baik harus

ramah, sopan, menarik, cepat tanggap, pandai bicara,

menyenangkan serta pintar, karena kenyamanan nasabah

Universitas Sumatera Utara


145

sangat tergantung dari pegawai marketing yang melayaninya.

Selain itu, pegawai marketing juga harus mampu memikat

dan mengambil hati nasabah sehingga nasabah semakin

tertarik. Demikian juga dengan cara kerja pegawai yang rapi,

cepat dan cekatan.

b. Mampu berkomunikasi artinya pegawai marketing harus

mampu dengan cepat memahami keinginan nasabah. Selain

itu, pegawai marketing harus dapat berkomunikasi dengan

bahasa yang jelas dan mudah dimengerti. Komunikasi harus

dapat membuat nasabah senang sehingga jika nasabah

mempunyai masalah, nasabah tidak segan-segan

mengemukakannya kepada marketing. Mampu

berkomunikasi dengan baik juga akan membuat setiap

permasalahan menjadi jelas sehingga tidak timbul salah

paham.

c. Untuk memberikan segala informasi dan kemudahan-

kemudahan kepada pelanggan. Disamping itu, juga sebagai

tempat menampung keluhan, keberatan, atau konsultasi

berbagai hal yang ada kaitannya dengan sebuah produk

perusahaan secara keseluruhan.

Bersikap proaktif penting untuk memastikan tim marketing memiliki

kemampuan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan nasabah. Untuk meyakinkan

perusahaan bahwa tim marketing memiliki service skill yang baik, survey atau

Universitas Sumatera Utara


146

wawancara ke nasabah lumrah dilakukan perusahaan untuk mengetahui apakah

tim marketing memiliki service skill yang baik.

Sikap layanan pegawai marketing secara konsisten sangat diperlukan

dalam berinteraksi dengan nasabah, namun yang terpenting adalah bagaimana

sikap konsisten ini kemudian dapat ditingkatkan. Oleh karena itu pegawai yang

telah memiliki skill yang dibutuhkan, akan menjadi awal yang baik. Peningkatan

pelayanan kepada nasabah ini dilakukan dengan bertindak secara cepat dengan

memastikan layanan nasabah diterima dengan baik seperti yang telah dilakukan

pegawai selama ini yakni:

(a) Pegawai terbiasa untuk mendengarkan agar nasabah merasa didengar.

Klarifikasi dan mengulangi apa yang nasabah katakan untuk memastikan

bahwa tidak ada kesalahan komunikasi juga selalu dilakukan. Pegawai

senantiasa bersikap empati dan merefleksikan perasaan pegawai dengan

mengatakan, “Masalah ini pasti membuat Anda kesal,” atau “Saya bisa

mengerti kenapa Anda merasa jengkel.”

(b) Pegawai juga tidak sungkan untuk mengakui kesalahan, meski ketika pegawai

lebih dulu menyadarinya sebelum nasabah. Hal ini akan membangun

kepercayaan dan mempertahankan rasa percaya diri, juga membuat pegawai

bisa mengontrol situasi, kembali fokus pada nasabah, dan mengatasi masalah.

(c) Pegawai melakukan follow up setelah masalah terselesaikan dan memastikan

masalah telah diatasi dan nasabah puas dengan layanan yang diberikan.

Mengirim email atau survey feedback jadi cara tepat untuk memberitahu

nasabah masih berada di pihak perusahaan

Universitas Sumatera Utara


147

Pencapaian target pegawai marketing sangat erat kaitannya dengan realistis atau

tidaknya target yang ditetapkan perusahaan. Dalam hal menentukan target pun ada

yang perlu diperhatikan. Untuk itu pegawai keseluruhan akan mendapatkan target

yang realistis disesuaikan dengan peluang pasar serta sumber daya yang ada. Jika

pasar sedang lesu, pegawai beserta tim tidak mau terlalu memaksakan diri untuk

melakukan penjualan yang tinggi. Oleh karena hal ini justru membuat kerugian

pada tim marketing.

Setelah menentukan titik target yang akan dicapai, pegawai marketing

akan dikontrol dengan menetapkan tenggat waktu. Tenggat waktu yang jelas

membutuhkan penelitian dan waktu untuk menentukannya. Jika sebelumnya

pegawai telah mencapai target, maka hal itu akan dijadikan sebagai acuan

perbanding dengan standar yang berlaku di produk marketing serupa.

Namun jika belum maka pegawai bisa menentukan berdasarkan seberapa

besar beban yang harus dikerjakan dan sumber daya dalam pengerjaannya. Tim

marketing biasanya saja menentukan tenggat yang ketat, namun pimpinan

marketing pun selalu memberikan motivasi yang lebih serta reward kepada tim

yang sukses. Cara pencapaian target ini agar mencapai hasil yang maksimal,

umumnya pegawai melakukan riset terlebih dahulu.

Melalui riset ini pegawai bisa menemukan kebiasaan-kebiasaan calon

nasabah.Setelah itu bisa ditingkatkan dengan mengetahui kegiatan-kegiatan

nasabah. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah mereka ada di media sosial? Apa

yang kerap mereka cari? Jaringan atau grup apa yang diikuti? Sumber apa yang

kerap dibaca? Dan lain sebagainya. Dengan melakukan riset, pegawai akan dapat

Universitas Sumatera Utara


148

menargetkan produk pada nasabah yang tepat. Tanpa membuang-buang waktu

mengajak orang-orang yang sebenarnya tidak tertarik dengan produk marketing.

Penentuan sumber daya yang diperlukan tidak jauh dari yang dinyatakan

sebagai action plan. Dalam action plan, langkah pertama yang dilakukan pegawai

yaitu menentukan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan ini bisa berupa target atau

pun tujuan yang lebih detail yakni reward. Langkah berikutnya yaitu pegawai

selalu menentukan tugas-tugas yang harus diselesaikan untuk mencapai tujuan

tersebut. Melalui langkah mana yang akan menjadi langkah awal. Kemudian

menentukan tugas-tugas selanjutnya secara berurutan. Dengan cara mengurutkan

tugas-tugas ini berdasarkan prioritas dan urutan waktunya. Tugas yang menjadi

prioritas utama tentu harus dikerjakan dan diselesaikan terlebih dahulu. Tugas

yang harus diselesaikan lebih dahulu sebelum bisa melakukan tugas lain juga

harus didahulukan.

Jika tugas-tugas tersebut sudah disusun, maka tim akan melakukan analisa

dan membagi tugas-tugas tersebut. Jika tujuan yang akan dicapai merupakan

tujuan individu, individu itu sendiri harus dapat menentukan batas waktu untuk

mengerjakan tugas tersebut. Jika tujuan yang akan dicapai merupakan tujuan

kelompok, selain menentukan batas waktunya juga menentukan siapa yang akan

bertanggung jawab akan tugas tertentu. Kemudian disesuaikan juga dengan

kemampuan masing-masing orang yang terlibat.

Target tersebut dianalisis terlebih dahulu apakah bisa diselesaikan sendiri,

atau akan memerlukan bantuan dari pegawai lain. Jika memerlukan bantuan

pegawai lain, maka tim akan menentukan pegawai seperti apa yang bisa

Universitas Sumatera Utara


149

membantu, dimana bisa menemukan pegawai tersebut, lalu tentukan siapa saja

yang bisa untuk membantu.

Tanggung jawab bukan hanya karena pegawai memiliki kewajiban untuk

menyelesaikan pekerjaannya, tetapi juga diharapkan berdasarkan pada

ketertarikan secara psikologis terhadap perusahaan. Tanggung jawab ini muncul

dan tumbuh karena adanya dorongan keamanan, kenyamanan dan benefit lain

yang dirasa tidak akan diperoleh di tempat kerja lain. Pegawai yang memiliki rasa

sayang terhadap pekerjaan terjadi karena pegawai merasa ada ikatan emosional

yang kuat terhadap perusahaan. Pegawai marketing yang sudah menikmati

pekerjaannya, mungkin merasa betah dan puas dengan pekerjaan tersebut. Pada

akhirnya, tanggung jawab kerja yang meningkat ini kemungkinan akan menambah

perasaan nyaman dengan pekerjaan. Tanggung jawab yang dilakukan pegawai

adalah dengan tidak meninggalkan perusahaan (continuance commitment).Rasa

tanggung jawab ini juga berasal dari beberapa faktor yakni pegawai merasa harus

tetap dengan perusahaan karena telah menginvestasikan uang atau waktu dalam

pelatihan pegawai.

Tanggung jawab yang dilakukan pegawai marketing diperoleh dari proses

analisis jabatan. Job desc itu sendiri berfungsi untuk mengidentifikasi jabatan,

memberikan batasan-batasan yang jelas serta menguraikan cakupan dan isi jabatan

tersebut. Penyelesaian pekerjaan dilakukan berdasarkan tanggung jawab masing-

masing pegawai ataupun tim. Pembagian pelaksanaan tanggung jawab tersebut

memperjelas siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas dalam

perusahaan. Untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai tanggung jawab maka

pegawai harus memahami tugas dan tanggung jawabnya

Universitas Sumatera Utara


150

Selanjutnya pegawai memiliki informasi tentang pengetahuan, pelatihan,

pendidikan dan keterampilan yang dituntut untuk melaksanakan tiap pekerjaan

secara lengkap dan objektif. Manajemen juga ikut membantu menganalisis serta

menyempurnakan struktur tim marketing perusahaan. Menyelesaikan pekerjaan

dengan tanggung jawab juga harus ada rasa ikhlas dan profesionalisme. Bahkan

ketika pegawai diminta untuk mengerjakan tugas di luar tanggung jawab yang

diberikan, pegawai tetap bersedia.

Bagian marketing memiliki tanggung jawab yang penting dalam

menyukseskan bisnis perbankan. Tanggung jawab bagian marketing adalah

mengetahui apa yang menjadi kebutuhan dan harapan nasabah/calon nasabah.

Nasabah/calon nasabah memiliki kebutuhan dan harapan yang harus dicukupi.

Jika ada produk yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan ini, maka pasti produk

yang ditawarkan marketing akan dipilih. Itulah mengapa penting bagi bagian

marketing mengetahui apa saja kebutuhan dan harapan nasabah/calon nasabah

dalam menyusun strategi pemasaran.

Bagian marketing pun harus menjamin bahwa nasabah/calon nasabah

terjamin pelayanannya. Produk yang memberikan pelayanan terbaik maka akan

menjadi pilihan yang utama bagi nasabah/calon nasabah. Sangat penting bagi

pihak marketing untuk selalu mengedepankan pelayanan terbaik untuk membuat

nasabah tetap setia dengan produk perusahaan. Setelah mengetahui apa yang

dibutuhkan nasabah/calon nasabah, maka pihak marketing pun dapat menentukan

seperti apa produk yang direncanakan. Produk yang direncanakan ini harus dapat

dipasarkan dengan luas dan memang menjadi yang dibutuhkan oleh

Universitas Sumatera Utara


151

masyarakat.Itulah sebabnya perusahaan harus memilih pihak marketing yang

kreatif dan berpengalaman dalam menyusun perencanaan produk ini.

Terakhir, tugas dari marketing adalah dengan melakukan pemasaran

produk secara maksimal untuk menjamin bisnis dapat berjalan dengan

lancar.Akan tetapi memang pemasaran bisnis tidak dapat dilakukan dengan

maksimal tanpa strategi yang tepat. Penyusunan strategi marketing yang tepat

inilah yang menjadi tanggung jawab utama bagian marketing, yang harus

dievaluasi juga setiap waktunya. Misalnya ketika marketing menggunakan

manfaat brosur dalam marketing, maka melakukan evaluasi apakah hasilnya

seperti yang diharapkan atau tidak.

Mempertahankan sikap yang positif adalah hal yang tidak bisa diabaikan.

Bentuk keramahan yang tulus yang diberikan pegawai kepada nasabah bukan

hanya membuat nasabah nyaman, tapi akan mengirimkan sinyal positif ke otak

sehingga pegawai bisa melihat hal menjadi lebih baik. Untuk menjaga sikap

positif itu, ucapkan kalimat “Terima kasih” atau “Saya sangat menyukainya”

kepada rekan kerja. Mengapresiasi rekan juga bisa membuat pegawai tetap

positif di kantor sepanjang hari.

Pegawai juga dalam hal ini tidak perlu mengetahui segala hal tentang

rekan kerja, cukup dengan menjaga hubungan baik. Setidaknya pegawai

memahami tanggung jawab dan hak mereka sehingga saling menghargai. Hal

tersebut sangat penting, mengingat sesama pegawai bertemu setiap hari dan di

waktu yang lebih lama dibanding bertemu dengan sahabat-sahabat. Oleh karena

itu berlaku dengan baik akan memudahkan hidup pegawai sehari-hari dalam

pekerjaannya.

Universitas Sumatera Utara


152

Senantiasa memperbaiki diri dan mempelajari hal baru juga bisa

membuat pegawai lebih puas pada diri sendiri. Hal ini dilakukan dengan

mencoba kelas online secara gratis atau video Youtube dari internet untuk

mempelajari hal baru tersebut, misalnya kelas menulis, desain atau belajar

bahasa baru.

Adakalanya, pekerjaan menjadi sangat penting dalam kehidupan namun,

bagaimanapun juga pegawai akan kehilangan sebagian dari diri sendiri jika

membiarkan pekerjaan menggerogoti privasi dan integritas. Tempat kerja hanya

untuk bekerja, bukan tempat tinggal.Untuk itu pegawai harus memisahkan

keduanya. Perusahaan dalam hal ini secara berkala melakukan kegiatan lain yang

lebih menyenangkan berupa gathering atau kumpul bersama.

Inisiatif yang diinginkan perusahaan dalam hal ini adalah berinisiatif

dalam melakukan perbaikan proses kerja, baik di lingkup operasional internal

maupun saat melayani nasabah, dan menghilangkan ineficiency, sehingga seluruh

aktivitas menghasilkan manfaat untuk perusahaan. Termasuk melakukan review

dan penyempurnaan aturan internal agar kecepatan proses dan mitigasi risiko bisa

lebih seimbang. Nilai rata-rata pada indikator ini, adalah yang paling kecil

diantara indikator kinerja lainnya. Hal tersebut menunjukkan masih belum terjadi

review dan penyempurnaan aturan misalnya seluruh supervisor belum melakukan

monitoring pada pegawai untuk menentukan bagaimana pegawai menangani

pekerjaan, sehingga fungsi evaluasi menjadi kurang efektif.

5.3.2. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Employee Engagement

Berikut adalah jawaban responden berdasarkan hasil kuesioner atas

variabel employee engagement

Universitas Sumatera Utara


153

Tabel 5.4
Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Employee Engagement
Pilihan Rata-
No Pernyataan rata
Ket
STS TS KS S SS
Membiasakan diri -- -- 13 100 102 Sangat
dengan (6.0%) (46.5%) (47.0%) baik
1 menggunakan kata 4.41
“please” dan
“thanks”
Pekerjaan saya -- -- -- 169 46 Sangat
2 (78.6%) (21.4%) 4.21 baik
sangat penting
Dukungan tim -- 6 20 75 114 Sangat
3 (2.8%) (9.3%) (34.9%) (53.0%) 4.38 baik
Pendapat saya -- -- -- 54 161 Sangat
4 (25.1%) (74.9%) 4.75 baik
diperhitungkan
Otorisasi terhadap -- -- 54 54 107 Sangat
5 (25.1%) (25.1%) (49.8%) 4.25 baik
perubahan
Kesempatan -- -- -- 108 107 Sangat
6 melakukan yang (50.2%) (49.8%) 4.50 baik
terbaik
Kesempatan untuk -- -- 36 72 107 Sangat
7 mengembangkan (16.7%) (33.5%) (49.8%) 4.33 baik
skill
Sumber: Data Diolah SPSS, 2020

Bentuk appreciation pada tim marketing memang tidak selalu dalam

bentuk bonus uang. Memberikan pujian yang tulus, tidak dibuat-buat, merupakan

hal sederhana yang lumrah diberikan kepada sesama rekan kerja pada divisi

marketing. Pegawai yang sudah mau bekerja menyelesaikan tugas kantor dengan

usaha lebih, layak mendapatkan pujian dengan kalimat sederhana seperti “kerja

yang sangat bagus”, “Anda hebat”.

Selain kata pujian, ada cara yang lebih bisa dikenang oleh pegawai loyal

jika mereka mencapai pencapaian yang bagus. Seperti diberi piagam, trofi atau

medali. Jika penghargaan ini dipasang di meja kantor akan mengingatkan pegawai

akan keberhasilan yang pernah dicapai. Penghargaan berupa piagam dan trofi ini

akan membuat seseorang lebih percaya diri untuk maju bersama perusahaan.

Bonus special juga biasanya diberikan bagi pegawai yang sudah bekerja

keras untuk perusahaan dengan diberi imbalan seperti voucher belanja, voucher

makan di tempat tertentu atau juga liburan ke luar negeri. Perusahaan yang

Universitas Sumatera Utara


154

memberikan penghargaan dengan mengajak pegawai yang loyal ini keluar kota

atau luar negeri, selain untuk refreshing, acara ini bisa dipakai juga untuk

meningkatkan wawasan bagi para pegawai. Sehingga saat kembali bekerja

pegawai punya perspektif baru. Khusus bagi pegawai yang bekerja sebagai

marketing, hal ini sebagai ajang berpacu dalam prestasi. Jika penjualan mereka

mencapai target, mereka akan mendapat bonus ini.

Untuk mendapatkan tujuan, upaya yang dapat dilakukan pegawai

marketing adalah memastikan tetap fokus. Perencanaan waktu yang baik juga

termasuk dalam meningkatkan target penjualan. Konsep purpose adalah dengan

tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai yakni peluang yang menghasilkan

keuntungan dan mencapai target penjualan. Fokus kepada tujuan juga akan

membantu pegawai mengatasi gangguan yang ada di sekitar dan dapat tetap fokus

mencapai target. Untuk itu memastikan tim bisnis fokus dan terhindar dari

gangguan apa pun adalah hal penting.

Seorang pegawai benar-benar bahagia dan puas ketika diberikan otonomi

dalam pekerjaannya sehari-hari.Salah satu karakteristik utama otonomi pegawai

adalah pengambilan keputusan. Seorang pegawai yang otonom dapat mengambil

keputusan daripada meminta atasan untuk mendapatkan prosedur persetujuan

melalui keputusan mereka. Selain itu, seorang pegawai harus merasa bebas untuk

menyumbangkan ide dan saran dalam setiap tugas yang diberikan perusahaan.

Pegawai perlu memiliki kebebasan untuk memutuskan tanggung jawab

mereka sendiri. Kebebasan yang dimaksud juga termasuk pemberian jadwal kerja

yang fleksibel, memiliki opsi untuk bekerja dari rumah dan sebagainya. Selain itu,

bahwa pegawai lebih cenderung memiliki rasa memiliki atas pekerjaannya ketika

Universitas Sumatera Utara


155

diberi kekuatan untuk mengambil keputusan dan berperan aktif dalam

menyumbangkan ide-ide tanpa dipandang rendah.

5.3.3. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Enjoyable Employee

Experience

Berikut adalah jawaban responden berdasarkan kuesioner atas variabel

enjoyable employee experience

Tabel 5.5
Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Enjoyable Employee Experience
Pilihan Rata-
No Pernyataan rata
Ket
STS TS KS S SS
Senang menjadi -- 4 7 (3.3%) 116 88 Sangat
1 (1.9%) (54.0%) (40.9%) 4.34 setuju
bagian dari tim
Senang menjadi 130 80 Sangat
2 -- -- 5 (2.3%) 4.35
bagian dari divisi (60.5%) (37.2%) setuju
Senang menjadi
137 71 Sangat
3 bagian dari -- -- 7 (3.3%)
(63.7%) (33.0%) 4.30 setuju
organisasi
Perusahaan
memberikan 6 11 116 82 Sangat
4 --
(2.8%) (5.1%) (54.0%) (38.1%) 4.27
pengalaman yang baik
menyenangkan
Rasa nyaman di 4 17 121 73 Sangat
5 --
(1.9%) (7.9%) (56.3%) (34.0%) 4.22
perusahaan baik
Perasaan
4 12 119 80 Sangat
6 dibutuhkan oleh --
(1.9%) (5.6%) (55.3%) (37.2%) 4.28 baik
tim kerja
Perasaan
54 161 Sangat
7 bersemangat di -- -- --
(25.1%) (74.9%) 4.75 baik
divisi
Suasana kerja yang -- 54 54 107 Sangat
8 --
(25.1%) (25.1%) (49.8%)
4.25
menyenangkan baik
Hubungan antara
108 107 Sangat
9 atasan dan -- -- --
(50.2%) (49.8%) 4.50
baik
bawahan
Hubungan antara
26 72 107 Sangat
10 sesama teman -- --
(16.7%) (33.5%) (49.8%)
4.33
baik
kerja
Sumber: Data diolah SPSS, 2020

Perasaan negatif yang digabungkan dengan cara kerja dan sikap kerja akan

menyebabkan sikap defensif, kelelahan mental dan pada akhirnya menurunkan

kinerja pegawai. Untuk itu semua pegawai marketing berupaya berpikir positif

Universitas Sumatera Utara


156

pada setiap pesan yang ingin disampaikan dengan solusi yang membangun akan

membuat tim marketing lebih bahagia dan lebih efisien di lingkungan kerja.

Hal tersebut dirasa mampu membantu pegawai untuk bersosialisasi dengan

mudah dengan rekan kerja. Sebab lain dari pentingnya perasaan positif ini adalah

pegawai yang terlalu sering berbuat kesalahan dan sering menjadikan

kekurangannya sebagai acuan maka akan merasakan ketegangan dalam setiap

hubungan di kantor. Untuk itu maka leader dari tim marketing selalu berpikir dua

kali setiap ingin melakukan kritik kepada setiap pegawai yang berbuat kesalahan

Hal ini bukan untuk tidak memberikan teguran di perusahaan. Namun,

dengan tidak mengkritik hal itu bisa sangat bermanfaat. Oleh karena terus

berfokus pada hal yang negatif dapat memiliki efek yang merugikan bagi tim.

Untuk itu jika sesama rekan kerja dalam tim ingin mengkritik, harus disampaikan

dengan cara-cara yang positif. Kritik misalnya bisa diutarakan untuk

meningkatkan kinerja rekan yang berbuat salah.

Bahkan para pegawai dan atasan akan memberikan beberapa pujian

terlebih dahulu kepada pegawai yang bersalah, setelah itu baru memberi kritik

dengan cara yang positif. Tim marketing percaya bahwa dengan fokus pada cara-

cara positif tim marketing akan mampu membantu meningkatkan kinerja kerja

pegawai.

Mengejar kesuksesan dan kebahagian dengan berpikir positif saja memang

bisa berhasil. Namun, hasilnya akan lebih optimal jika pegawai menggunakan

perasaan positif dan menyelaraskannya dengan pikiran positif pada perusahaan.

Berapa banyak keinginan yang tercapai ketika perasaan positif. Sebaliknya ketika

perasaan negatif alias dipenuhi emosi, maka pegawai akan jauh dari kemudahan.

Universitas Sumatera Utara


157

Pegawai yang memiliki perasaan negatif terhadap divisinya, akan selalu

diliputi rasa cemas, takut, dan penuh amarah ketika divisinya tidak memberikan

manfaat seperti yang diharapkannya. Alhasil pegawai akan kehabisan tenaga.

Semangat pun tak banyak tersisa karena zona ini memang diselimuti energi

rendah.

Sementara, ketika hati pegawai terasa lapang dan ikhlas (positive feeling),

pegawai akan merasa penuh tenaga. Karena memang energi yang menyelimuti

zona ikhlas adalah berbagai perasaan positif yang berenergi tinggi seperti rasa

syukur, sabar, fokus, tenang dan bahagia dalam menghadapi berbagi situasi di

divisi marketing. Perasaan-perasaan ini yang menjadi sistem navigasi hati. Sistem

yang memberitahu untuk selalu berada di "jalan benar" menuju tujuan.

Menjaga agar tetap berada dalam kondisi positive feeling, maka pegawai

marketing menggeser keseriusan menjadi keasyikan ketika instruksi divisi penuh

dengan hal-hal serius. Menggeser keseriusan ini harus dihadapi dengan rileks di

kepala, senyum di wajah dan tenang di hati. Segera segala urusan jadi begitu

lancar dan penuh kemudahan.

Terbawa ke zona perasaan negatif juga disebabkan karena divisi terlalu

sering memaksa atau menuntut banyak dari diri pegawai. Memaksakan diri terus

bekerja hingga energi habis, padahal pegawai hanya punya satu badan, dua

tangan, dan dua kaki. Untuk itu setelah lelah mendera, divisi marketing akan

membuat rileks situasi dan mengizinkan pegawai beristirahat misalnya dengan

cara minum kopi sore bersama.

Dalam bekerja konflik dengan perusahaan merupakan hal yang tidak dapat

dihindari. Pegawai marketing yang ada didalamnya seringkali dihadapkan pada

Universitas Sumatera Utara


158

konflik. Adanya perubahan atau inovasi dapat menjadikan timbulnya konflik,

terlebih jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang baik terhadap ide-ide

baru.Hal ini dilakukan karena bagi perusahaan strategi baru dapat mendongkrak

motivasi karyawan dalam berkompetisi. Tapi dalam beberapa kondisi, konflik

tersebut malah menyebabkan pegawai tidak memiliki positive feeling terhadap

perusahaan.

Konflik akan sangat mempengaruhi pegawai karena itu pemimpin dalam

perusahaan harus memiliki kemampuan menciptakan suasana yang memadai,

sehingga perasaan yang muncul akan membawa dampak positif bagi perusahaan.

Terdapat beberapa hal yang biasa dilakukan pegawai bersama-sama dengan

perusahaan, agar pegawai memiliki positive feeling terhadap perusahaan yakni:

pertama, perusahaan mengevaluasi efektivitas sistem jika terjadi konflik dalam

organisasi. Konflik yang konstruktif akan membantu perusahaan dalam

mengindentifikasi apakah sistem yang sudah dilakukan berjalan efektif atau

memerlukan perbaikan.

Kedua, penanganan konflik dengan tepat yang didukung dengan strategi

dan sistem akan membantu organisasi mengembangkan kompetensinya, terlebih

dalam hal kompetensi non teknis. Hal ini bisa meningkatkan skill organiasi dalam

hal penanganan konflik internal sehingga pegawai juga menjadi lebih kuat dalam

menyikapi hal-hal yang menantang dalam pekerjaan.

Ketiga, mengambil sikap dengan cepat, karena jika tidak segera diatasi

akan menyebabkan negatif feeling dan tersendatnya pertumbuhan perusahaan.

Menciptakan positive feeling ini dapat dilakukan perusahaan dengan mendorong

semangat kerja pegawai dalam menghadapi persaingan, memacu kreativitas dalam

Universitas Sumatera Utara


159

mencari solusi dan berpikir kreatif, menstimulasi karyawan untuk fokus pada

tugas dan mendorong pegawai yang sebelumnya pasif menjadi aktif.

Sebagian pegawai berpendapat bahwa semakin banyak pegawai yang

merasa nyaman dengan lingkungan kerjanya, akan berdampak lebih baik untuk

perkembangan perusahaan. Akan tetapi tentunya, setiap pegawai memiliki alasan

yang berbeda ketika datang untuk bekerja. Bersenang-senang bagi sebagian orang

adalah melakukan hal-hal di luar kantor atau di luar ruang lingkup pekerjaan.

Bersenang-senang dalam bekerja menjadi satu perhatian khusus. Seolah-

olah seperti mandat atau misi atau etika dalam bekerja. Tak jarang menjadi sebuah

persyaratan utama dalam perekrutan. Berikut beberapa alasan tentang mengapa

bersenang-senang bagi pegawai dalam bekerja menjadi sesuatu yang perlu. Alasan

pertama, “perasaan senang dalam bekerja” dengan kata lain menunjukkan perilaku

yang lebih baik, teamwork yang lebih solid dan lingkungan yang positif. Pegawai

yang mengalami shock dan stres dalam pekerjaan, yang kemudian akan

berdampak pada anggapan dalam pikirannya bahwa tidak ada hal baik terjadi

dalam pekerjaan yang ditekuninya yang pada akhirnya akan menurunkan kinerja

kerja.

Kedua, “perasaan senang dalam bekerja” adalah sesuatu yang bisa

dirasakan. Ketika pegawai bekerja di lingkungan yang membuat perasaan ringan,

senang dan bahagia, akan memberikan energi dalam pikiran sehingga akan timbul

anggapan setiap orang di tempat itu memiliki niat yang baik. Energi terbesar yang

didapatkan di sebuah intitusi kerja adalah kombinasi dari orang-orang yang

memiliki niat baik dan kecerdasan. Setiap orang ingin melakukan pekerjaan yang

Universitas Sumatera Utara


160

mengagumkan dan menyenangkan. Perasaan ini hampir sama bagi semua

pegawai.

Ketiga, perusahaan tidak bisa dan tidak seharusnya memaksakan sesuatu

kepada pegawainya. Apa yang perusahaan bisa fokuskan adalah membuat kondisi

yang bisa mendorong pegawai untuk menemukan nilai atau makna atas

keberadaan pegawai dalam pekerjaannya. Seorang karyawan adalah individu yang

ingin menikmati hidup mereka dengan cara-cara yang paling bermakna dalam

hidupnya.

Disamping itu, seberat apapun pekerjaan, akan terasa lebih ringan jika

mengerjakannya dengan senang hati. Setiap orang memiliki cara yang berbeda

membuat dirinya nyaman dan senang saat bekerja. Dengan melakukan banyak

aktivitas bersama dengan tim, akan ada banyak hal yang bisa dipelajari, bahkan

pegawai bisa mendapatkan informasi-informasi menarik yang belum pernah

diketahui sebelumnya.

Sebuah dukungan dan rasa saling memiliki dalam sebuah lingkungan kerja

dapat berkontribusi untuk membuat pegawai merasa diterima di tempat kerjanya.

Ketika itu terjadi anggota tim akan saling membantu, mengandalkan satu sama

lain, dan membangun kepercayaan di dalam tim tersebut. Pada masa-masa sulit,

dukungan menjadi salah satu hal krusial untuk mendapatkan kesuksesan suatu

pekerjaan. Ketika setiap pegawai merasa diri mereka diterima dalam tim maka,

akan mampu memberikan dan mendapatkan dukungan satu sama lain, dan tim

tersebut akhirnya mencapai tujuan dari pekerjaan yang sedang dikerjakan. Jika

pegawai merasa tidak diterima dalam timnya, hal itu akan menjadi masa-masa

sulit bagi pegawai.

Universitas Sumatera Utara


161

Tidak hanya melalui kerja sama tim, kolaborasi yang tepat juga dapat

membantu pegawai untuk membangun rasa diterima dalam tim. Kolaborasi terjadi

ketika dua pegawai atau sekelompok pegawai bekerja sama untuk mencapai

tujuan bersama dengan berbagi gagasan dan keterampilan. Selain itu, kolaborasi

ternyata memberikan beberapa aspek pekerjaan yang perlu diketahui,

seperti brainstorming, memberikan nilai-nilai, dan juga pembagian pekerjaan

yang sama rata.

Ketika pegawai merasa diterima oleh timnya maka, tim akan berkumpul

bersama dan bekerja untuk mencapai tujuan yang sama melalui berbagai

perspektif untuk memberikan suatu solusi dengan cara atau ide yang beragam.

Karena memiliki tujuan yang sama dengan anggota tim lainnya, sering kali

kolaborasi ini dapat memberikan sebuah inspirasi bagi setiap anggotanya.

Terdapat pula nilai-nilai yang bermanfaat dari bekerja sama dengan tujuan yang

sama, baik untuk perusahaan ataupun tim. Pembagian tugas bagi setiap anggota

juga membuat beberapa anggota tim mendapatkan kesempatan yang sama untuk

berpartisipasi dan mengkomunikasikan gagasan mereka.

Ketika pegawai di kantor merasa bahagia, maka suasana di tempat kerja

menjadi menyenangkan. Saat semua orang mengalami hari yang buruk, maka

suasana kantor berubah jadi negatif. Tapi, meski lingkungan kantor sedang

muram, pegawai harus punya cara menebar energi positif di kantor. Saat

bekerja sama dengan tim, maka pegawai dan rekan akan saling bergantung satu

sama lain. Anggota tim harus saling mendukung agar mencapai tujuan utama,

baik terkait tenggat waktu atau ukuran kinerja tertentu. Setiap kali rekan-rekan

Universitas Sumatera Utara


162

mencapai target baiknya dirayakan bersama. Hal ini akan menghasilkan energi

positif dalam tim, karena perayaan cenderung akan membawa semangat.

Menebarkan kebaikan juga membantu pegawai untuk tetap memiliki

energy positif. Ada banyak kesempatan untuk berbuat baik di tempat seperti

misalnya menahan pintu lift untuk seseorang yang hampir terlambat atau

sekedar membantu seseorang untuk mengangkat telepon nasabah. Sebenarnya,

setiap orang memiliki jiwa yang baik sehingga siap melakukan tindakan tanpa

pamrih untuk orang lain. Hal-hal seperti itu bisa mengangkat semangat kerja di

kantor dan mendorong kebaikan yang lebih besar.

Antusiasme dalam bekerja di dalam keseharian pegawai, kadang naik atau

turun disebabkan hal-hal yang dapat diketahui ataupun tidak dan bisa terjadi tiba-

tiba, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan kinerja dan

pelayanan dari pegawai. Manusia membutuhkan semangat dan perasaan antusias

bukan hanya supaya mereka dapat terus-menerus bekerja, tetapi juga akan

membuat mereka melakukan pekerjaan mereka dengan sukacita.

Dengan antusiasme dalam bekerja yang tinggi dari pegawai, maka akan

memberikan energi positif yang besar kepada tim dan rekan-rekan di tempat

kerjanya. Ketika masalah serta tantangan dalam pekerjaan semakin besar, maka

pada akhirnya, yang akan tersisa hanyalah pegawai dengan antusiasme tinggi.

Mengapa? karena merekalah yang mampu menanggung segala kesulitan dan

masalah yang terjadi dalam hidupnya.

Pegawai yang memiliki antusiasme dalam bekerja tidak pernah dikontrol

oleh lingkungan, bahkan dialah yang mengontrol lingkungannya. Jika

lingkungannya dalam kondisi baik, ia akan baik. Jika lingkungannya dalam

Universitas Sumatera Utara


163

keadaan buruk, ia akan tetap baik. Antusiasme adalah energi kehidupan yang

tertanam di dalam diri setiap manusia, energi yang membuat maju dan terus

maju.Antusiasme merupakan sendi-sendi kehidupan yang membuat hidup menjadi

lebih hidup, berwarna, dan bermakna, bukan saja bagi diri sendiri tetapi bagi

orang lain disekitarnya.

Pentingnya antusiasme pegawai dalam bekerja, yang bisa digabungkan

dalam beberapa alasan yang sangat kuat yaitu:

1. Membuat hidup lebih bahagia dan menyenangkan, karena pegawai bekerja

dengan sangat bahagia, tanpa mengeluh, dan membangkitkan semangat dari

dalam untuk menikmati pekerjaannya dan bersyukur dengan yang dikerjakan

dan dimilikinya.

2. Membentuk pribadi yang kreatif, inovatif dan attraktif, karena dengan

antusiasme yang karyawan miliki menjadikan dirinya haus untuk terus belajar

hal baru yang membuat dirinya lebih hebat dan semakin hebat, serta mampu

memberikan efisiensi dalam bekerja dengan inovasi dan kreatifitasnya.

3. Melakukan sesuatu lebih baik, karena dengan antusias tersebut pegawai

mampu mengerjakan segala pekerjaan dengan benar dan penuh tanggung

jawab.

Di dunia kerja terkadang terdapat pegawai yang terus bertahan di

pekerjaan yang sebenarnya tidak mereka nikmati. Dengan keyakinan bahwa

mereka tidak punya pilihan dan tidak punya kesempatan lain di luar sana. Jika ini

terjadi akibatnya adalah pegawai terus mengeluh dan merasa pekerjaan mereka

hanyalah sekumpulan tugas dan rutinitas yang harus diselesaikan. Mereka bekerja

Universitas Sumatera Utara


164

sekedar untuk survive atau sekedar agar tidak dipecat. Kalau sudah begini,

jangankan menikmati pekerjaan, yang terjadi adalah pegawai stress dan burn out.

Untuk itu excitement penting dimiliki oleh pegawai karena akan memicu

pegawai, tidak ada untuk melakukan hasil kerja lebih dari standar. Excitement

adalah kegembiraan bekerja sehingga pegawai bisa mengeluarkan semua potensi

dan kapasitas yang ada dalam diri pegawai.

Pegawai biasanya mencari kesenangan dari hal-hal di luar pekerjaan. Dan

mereka mendapatkan kepuasan dari hal-hal yang bersifat eksternal. Seperti gaji

atau fee yang diterima, fasilitas yang menjamin pemenuhan kebutuhan dan gaya

hidup yang nyaman. Prestige jabatan atau pengakuan perusahaan dan rekan-rekan

akan prestasi mereka dan sejalan dengan passion pegawai.

5.3.4. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Need for Achievement

Berikut adalah jawaban responden berdasarkan hasil kuesioner variabel

need for achievement.

Tabel 5.6
Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Need for Achievement
Pilihan Rata-
No Pernyataan rata
Ket
STS TS KS S SS
Menyukai 191 24
1 -- -- --
(88.8%) (11.2%) 4.11 Setuju
persaingan
Senang
72 95 48
2 mempengaruhi -- --
(33.5%) (44.2%) (22.3%) 3.88 Setuju
orang lain
Bertekad menjadi 48 114 23
3 -- --
(22.3%) (67.0%) (10.7%)
3.88 Setuju
pemimpin
Meningkatkan 5
145 59
4 keinginan untuk -- (2.3 6 (2.8%)
(67.4%) (27.4%)
4.20 Baik
bertanggung jawab %)
Meningkatkan 2
17 129 67 Sangat
5 kinerja -- (0.9
(7.9%) (60.0%) (31.2%)
4.21
%) setuju
Membangun
hubungan yang 4
107 96 Sangat
6 -- (1.9 8 (3.7%)
(49.8%) (44.7%)
4.37
erat dengan rekan %) baik
kerja
Menikmati 4
107 96 Sangat
7 tantangan -- (1.9 8 (3.7%)
(49.8%) (44.7%)
4.37
%) baik
8 Perasaan puas -- 4 7 (3.3%) 116 88 4.34 Sangat

Universitas Sumatera Utara


165

dalam (1.9 (54.0%) (40.9%) baik


menyelesaikan %)
pekerjaan
Pencapaian target 130 80 Sangat
9 -- -- 5 (2.3%)
(60.5%) (37.2%)
4.35
di atas rata-rata baik
Ingin disukai 7
28 93 87
10 orang lain -- (3.3
(13.0%) (43.3%) (40.5%)
4.20 Setuju
%)
Senang menjadi
1 123 85 Sangat
11 bagian dari (0.5%)
-- 6 (2.8%)
(57.2%) (39.5%)
4.35
setuju
perusahaan
Sumber: Data diolah SPSS, 2020

Setiap pegawai sepatutnya memang punya pandangannya sendiri,

keyakinannya sendiri, dan apapun yang mereka percaya. Itulah yang kadang

membuat seseorang berada pada situasi dimana harus meyakinkan orang lain

tentang pandangannya. Hal ini terkadang memang dapat memicu perdebatan, tapi

kalau hal itu bisa membuat tim bergerak ke arah lebih baik, maka si pemilik

pendapat harus mampu meyakinkan pegawai lainnya.

Bicara soal berbeda pandangan dan pemikiran, terkadang membuat

seseorang berpikir sebuah cara untuk menjadi pribadi yang berpengaruh.

Setidaknya dalam tim kerja sendiri, seseorang pasti ingin menjadi pribadi yang

didengarkan, karena pada dasarnya setiap individu memang punya hasrat natural

untuk menjadi berpengaruh dan didengar.

Menjadi orang paling berpengaruh mungkin perlu bakat tersendiri, namun

dalam dunia marketing pemilihan kata memang menjadi hal krusial dalam

berkomunikasi. Salah kata sedikit, maknanya bisa berbeda dan tidak jarang malah

bisa membuat orang lain menjadi tersinggung. Maka dari itu, menjadi pribadi

yang berpengaruh dalam tim marketing adalah harus pandai memilih kata untuk

lawan bicara. Hal yang tak kalah pentingnya ialah sebagai manusia yang berakal,

menggunakan logika adalah hal yang lumrah dilakukan. Begitu pula bagi pegawai

Universitas Sumatera Utara


166

yang ingin mengutarakan pendapat kepada orang lain harus berlandaskan logika,

agar lawan bicara dapat dipengaruhi.

Tidak jarang, pegawai yang berjiwa kompetitif selalu merasa setiap orang

adalah saingan. Bahkan dirinya sendiripun bisa menjadi lawan yang ingin

dikalahkannya. Menganggap pencapaian diri yang sudah dialami dimasa lalu

sebagai tolak ukur demi menjadi lebih baik dimasa yang akan datang tentu

merupakan hal yang baik. Namun, jika hal ini terlalu berlebihan larut dalam

ambisi tentulah akan menyulitkan pegawai itu sendiri.

Pegawai yang selalu ingin unggul, diberikan batasan bahwa hidup ini tidak

semuanya sebagai lahan persaingan. Oleh karena hasrat selalu ingin unggul akan

membuat pegawai kecewa pada diri sendiri jika ada orang lain yang mampu

mengunggulinya dan itu berbahaya.

Pegawai marketing dalam hal ini tetap diingatkan bahwa mereka tidak bisa

selalu unggul dalam segala halnya. Sehingga pegawai tidak mengalami depresi

hanya karena kalah dalam salah satu persaingan. Bagi pegawai yang berjiwa

kompetitif, tantangan adalah hal yang harus ditaklukkan. Jika ditantang oleh orang

lain, pegawai tersebut akan langsung bersemangat dan sangat ambisi untuk

mengalahkan orang yang sudah menantangmu.

Namun yang sangat dikhawatirkan adalah ketika kegagalan menghampiri,

orang yang berhasrat selalu ingin unggul pasti akan sangat sedih dan menyesal.

Pegawai marketing yang selalu unggul kebanyakan adalah mereka akan

menganalisis kembali penyebab kekalahannya. Selalu ingin tahu apa yang

menyebabkan kalah dari pesaing dan semangat untuk bangkit lagi dari kegagalan.

Universitas Sumatera Utara


167

Salah satu tantangan untuk kelangsungan pekerjaan di perusahaan adalah

jika pegawai memiliki hubungan yang harmonis dengan perusahaan. Hubungan

yang harmonis ini antara pimpinan dan pegawai. Sikap ini dapat ditunjukkan

dengan menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati. Hal ini

tentunya akan membuat hubungan pegawai dengan perusahaan menjadi baik.

Semua pegawai ingin dihargai, maka sikap saling menghargai dan menghormati

ini bisa tercermin dari pegawai yang tidak memaksakan diri dalam memberikan

aspirasinya, selain itu perlu juga saling menghargai dan menghormati peran

pimpinan dalam perusahaan.

Keterbukaan juga menjadi hal yang akan meningkatkan hubungan baik

dengan perusahaan. Keterbukaan disini adalah berarti pegawai berpikir positif

bahwa tidak ada hal baik ataupun hal buruk yang ditutupi perusahaan, yang bisa

merugikan pegawai. Dengan sikap pegawai seperti ini maka pegawai dapat

merasa nyaman dan tentunya pegawai akan berjuang sekuat tenaganya untuk

perusahaan. Hubungan komunikasi yang baik dengan cara tidak memberikan

pencitraan negatif tentang perusahaan, menjadi hal positif yang dapat dilakukan

pegawai dalam menjaga keharmonisan dengan perusahaan.

Sukses dalam dunia marketing tentu menjadi keinginan semua pegawai

marketing.Namun hal tersebut tidak mudah karena membangun pribadi sukses

tidak seperti membalikkan kedua telapak tangan. Terkadang, pegawai salah

mengambil langkah dalam menjalankan tugasnya, sehingga bukannya sukses,

malah akan membuat perusahaan rugi. Selain itu, terkadang juga pegawai sudah

pesimistis ketika target belum juga tercapai. Padahal hal tersebut disebabkan

karena strategi pegawai yang kurang matang.

Universitas Sumatera Utara


168

Untuk membuat hubungan antara pegawai dan perusahaan saling

menguntungkan dari sisi pegawai. Maka, dalam mengembangkan strategi

marketing sebaiknya melakukan evaluasi secara menyeluruh tentang target yang

ingin dicapai oleh perusahaan. Pegawai bisa memeriksa bagaimana strategi

sehingga, target tahun-tahun sebelumnya bisa tercapai.

Selain itu bandingkan pula capaian 1 tahun lalu dengan tahun-tahun

sebelumnya apakah ada peningkatan atau tidak. Pegawai bisa melakukan evaluasi

dari bulan ke bulan ataupun per triwulan. Pegawai biasanya melakukan analisis di

mana letak kelebihan dan kekurangan dari target atau startegi marketing

perusahaan. Hasil evaluasi tersebut bisa dijadikan bahan agar ke depannya bisa

lebih baik lagi.

Jika marketing lain hanya menjual tidak lebih dari 25% maka pegawai bisa

memperhitungkan untuk membentuk beberapa tim untuk menunjang kinerjanya

dan meminta tambahan waktu kepada perusahaan. Selain itu, bahan evaluasi

tersebut juga bisa dijadikan penilaian sekaligus pertimbangan untuk menerima

marketing baru atau mengeluarkan marketing yang tidak optimal.

Setelah melakukan evaluasi, pegawai akan meminta masukan dari

perusahaan. Hal tersebut nantinya bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan

dalam menentukan strategi penjualan dari perusahaan. Setelah mendapatkan apa

yang harus dilakukan, maka bisa segera mengimplementasikanya dalam waktu

setahun ke depan. Tentunya dalam mengimplementasikannya pegawai tetap harus

meminta kerjasama dari semua pihak yang ada di perusahaan tanpa terkecuali.

5.3.5. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Leader Passionate

Performance

Universitas Sumatera Utara


169

Berikut adalah jawaban responden berdasarkan hasil kuesioner variabel

leader passionate performance

Tabel 5.7
Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Leader Passionate Performance
Pilihan Rata-
No Pernyataan rata
Ket
STS TS KS S SS
Kemampuan
pimpinan
2 1 26 141 45
1 memberikan (0.9%) (0.5%) (12.1%) (65.6%) (20.9%) 4.05 Baik
pekerjaan yang
cocok
Kemampuan
pimpinan 2 28 149 36
2
mengoptimalkan
--
(0.9%) (13.0%) (69.3%) (16.7%) 4.02 Baik
feeling vitality
Kemampuan
pimpinan 2 169 38
3
menemukan (0.9%)
-- 6 (2.8%)
(78.6%) (17.7%) 4.12 Baik
passion
Pimpinan
memberikan 2 13 142 58
4
kesempatan (0.9%)
--
(6.0%) (66.0%) (27.0%) 4.18 Baik
belajar
Pimpinan terus
meningkatkan 2 21 136 56
5
kemampuan (0.9%)
--
(9.8%) (63.3%) (26.0%) 4.13 Setuju
kerja
Pimpinan
mampu
2 1 14 141 57
6 meningkatkan (0.9%) (0.5%) (6.5%) (65.6%) (26.5%) 4.16 Setuju
kemampuan
multi tasking
Pimpinan
mampu membuat
keberhasilan 2 7 32 124 50
7
dalam (0.9%) (3.3%) (14.9%) (57.7%) (23.3%) 4.00 Setuju
menghadapi
perubahan
Pimpinan
4 44 125 42
8 mampu membuat --
(1.9%) (20.9%) (58.1%) (19.5%) 3.95 Setuju
kepuasan kerja
Sumber: Data diolah SPSS, 2020

Menurut pendapat pegawai, leader marketing mencintai pekerjaan yang

sekarang dan tidak pernah berusaha menghindarinya. Hal yang sama juga

dirasakan pegawai dimana, pegawai telah sadar bahwa tidak akan mungkin bisa

mencintai pekerjaan, jika absen dari pekerjaan, atau tetap masuk kerja namun

nyawa dan perhatian tidak berada didepan pekerjaan yang sekarang. Misalnya,

Universitas Sumatera Utara


170

dengan membuang waktu yaitu membuka Facebook, Instagram atau malah

melihat-lihat barang yang dijual di situs online. Karena hal itu tidak akan

menciptakan rasa cinta sama sekali terhadap pekerjaan. Leader terkadang

memaksa diri nya dan juga pegawai untuk tetap masuk kerja dan tidak

meremehkan tanggung jawab yang dimiliki. Selain itu leaderakan berusaha untuk

memusatkan perhatian pada tugas-tugas kerja yang ada di depan. Berusahalah

semaksimal mungkin untuk tetap fokus kerja, dan menghindari hal-hal yang bisa

mengalihkan perhatian dari pekerjaan.

Feeling vitality pada leader dalam bekerja merupakan perasaan yang

sangat kuat dan semangat membangun organisasi dengan landasan positive culture

agar perusahaan menuju pada kontinum positif.Sedangkan jika pada komunikasi

bukan hanya komunikasi yang baik, tetapi membangun komunikasi positif

berdasarkan integrative communication, yaitu ada inclusiveness (dalam

menyampaikan ide, pemikiran, keputusan untuk kekompakan dan saling terkait

yang bertujuan untuk menghasilkan solution focus (bertujuan membuat hal-hal

menjadi lebih baik, fokus pada solusi bukan pada permasalahan), future

orientation (kesadaran masa depan yang ingin dibangun), collaborative

interaction (memberi respon yang kooperatif, memberi kontribusi yang relevan,

informatif dan terpercaya sesuai konteks pembicaraan, bukan kritikan/masukan

saja namun juga berkolaborasi untuk hasil kerja yang optimal). Sedangkan

pada positive relationship akan membangun high quality connections dengan

memperhatikan pikiran terhadap orang lain, ekspresi emosi positif serta

pelaksanaan perilaku positif. Pada positive meaning yang seharusnya dimulai pada

Universitas Sumatera Utara


171

level pemimpin sehingga pegawai melakukan pekerjaan berorientasi manfaat pada

orang lain.

Identitas diri adalah suatu hal yang ada di dalam diri seseorang, dengan

meliputi karakter, sifat, watak dan kepribadian. Jati diri itu adalah segala hal

tentang diri seseorang. Menjadi seorang leader penting untuk menunjukkan

identitas diri, yang dimiliki secara alami ataupun melalui proses pembentukan.

Identitas diri yang diinginkan pegawai atas leader nya adalah semua yang baik

pastinya, dan untuk mencapai hal baik tersebut, maka setiap orang harus mengenal

dirinya sendiri dan mencoba untuk terus melakukan hal-hal yang baik, dan hal baik

ini yang akan membantu untuk menemukan suatu kebiasaan baru yang baik dan

akan menjadi kebiasaan yang baik pula.

Meskipun pada akhirnya pencarian identitas diri hanya dapat dilakukan

oleh orang bersangkutan dan hanya orang tersebut yang dapat menentukan apa

yang dibutuhkan, memiliki leader (mentor) dapat menjadi sumber yang sangat

baik saat sesorang melalui sesuatu yang negatif yang tidak dapat dihindari dalam

pekerjaannya. Maka, dalam hal ini peran leader menjadi sangat membantu. Leader

yang memiliki satu identitas diri yang baik akan memiliki kemantapan hati dalam

menjalankan tugas.

Belajar adalah bagian dari hidup manusia. Dengan belajar manusia dapat

memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat. Selaku leader dan

pegawai yang unggul, maka harus melakukan hal yang sama. Jangan pernah

berpuas diri atas apa yang sudah diraih. Namun, teruslah belajar dan jadi yang

terbaik di kantor. Leader maupun pegawai biasanya meluangkan waktu

setidaknya 30 menit untuk belajar setiap hari. Belajar yang dimaksud tidak hanya

Universitas Sumatera Utara


172

membaca koran tapi juga belajar mengamati lingkungan di sekitar tempat kerja

beserta orang-orang yang ada di dalamnya.

Pola belajar seorang leader maupun pegawai menunjukkan tingkat

profesionalitas. Selain harus mampu untuk bekerja dengan teratur dan sistematis,

terus menerus belajar adalah suatu keharusan. Sebab sistematis keteraturan saat

bekerja dan pembelajaran akan membuat semua pekerjaan jadi lebih ringan.

Dengan begitu, pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik dan maksimal tanpa ada

hambatan apa pun.

Para leader dan pegawai sangat menyadari pentingnya pengembangan diri

di dalam hidup. Tidak akan bisa menjadi individu yang sukses tanpa sikap

pengembangan diri yang dilakukan secara baik dan maksimal. Itulah alasan

mengapa leader sangat memperhatikan proses pengembangan diri bagi para

pegawai di dalam perusahaan. Para pegawai atau SDM akan berusaha untuk

mengadakan pelatihan pegawai dengan beberapa materi pengembangan diri. Hal

ini menunjukkan bahwa pengembangan diri dalam bekerja, khususnya untuk para

pegawai memang benar-benar harus didukung oleh perusahaan. Oleh karena itu,

pelatihan dan pengembangan SDM harus lebih diperhatikan, bahkan diperbanyak

lagi jumlahnya.

Manfaat pengembangan diri akan membawa pegawai ataupun leader

untuk mengenal “jiwa” yang sebenarnya. Dalam hal ini kesadaran diri adalah

faktor pertama yang perlu dimiliki agar bisa mengembangkan diri sendiri.

Kesadaran diri akan membawa leader maupun pegawai pada proses

pengembangan diri yang berhasil, dimana menjadi tahu apa saja nilai-nilai,

keyakinan dan tujuan hidup yang menjadi pedoman di dalam hidup, karena

Universitas Sumatera Utara


173

pemenuhan diri dan kepuasan hidup tidak akan pernah terjadi jika kita hanya

mengejar dan mewujudkan mimpi-mimpi orang lain. Kesadaran diri akan

membantu mengembangkan diri dan membuat semakin bersemangat untuk

mengejar segala mimpi dan tujuan kita di dalam hidup.

Dalam menangani tugas seorang leader membutuhkan skill untuk

mengatur sesuatu dengan baik. Dimulai dari mengatur target kerja, strategi dan

pembagian waktu, hingga keefektivitasan dalam bekerja. Pasalnya, leader

berhadapan dengan kehidupan dan pegawai lain sehingga dibutuhkan pengaturan

yang sangat tepat agar semua kegiatan dan tujuan dapat berlangsung dengan baik.

Leader juga akan mengurusi masalah kantor hingga masalah personal para

pegawai, ditambah dengan tugas lainnya seperti pengawasan, pelatihan dan

sebagainya. Tanggung jawab seperti pengurusan dokumen,dan surat kontrak pun

tak bisa ditinggalkan. Pekerjaan prioritas dan kebutuhan perusahaan juga selalu

berubah setiap waktu sehingga leader yang baik harus memiliki skill untuk multi-

tasking.

Sering kali tim marketing berada di area abu-abu ketika dihadapkan oleh

masalah tertentu yang dialami nasabah. Misalnya mengenai kontrak dan hal

lainnya yang belum tentu bisa diselesaikan dengan aturan yang ada. Maka,

seorang leader harus dapat bertindak berdasarkan informasi yang lengkap

sehingga dapat memberikan keputusan terbaik.

Melanjutkan hal sebelumnya dimana leader harus mampu menghadapi

masalah “abu-abu”, leader juga harus mampu menilai sejumlah solusi yang ada.

Hal ini kemudian berujung pada negosiasi terhadap setiap pihak terkait agar tidak

ada yang dirugikan atau dengan kata lain menghasilkan.

Universitas Sumatera Utara


174

Mengatasi perubahan dalam situasi bisnis yang tidak terduga dan sangat

cepat maka, leader merasa perlu melakukan manajemen perubahan (change

management), dimana hal ini sering dikaitkan dengan manajemen sumber daya

manusia karena yang menjadi objek utama perubahan adalah sumber daya

manusia. Change management dalam suatu perusahaan umumnya dilakukan

dengan perubahan kebijakan yang sederhana hingga kebijakan yang kompleks dan

berpengaruh terhadap perubahan perusahaan.

Sebagai makhluk yang dinamis, pegawai tidak bisa berdiam diri dengan

kondisi lingkungan yang terus bergerak, sehingga leader perlu melakukan

perubahan untuk mengarahkan pergerakan pegawai ke arah yang diinginkan demi

mencapai tujuan perusahaan. Pada dasarnya, change management bisa diartikan

secara lebih luas berdasarkan sudut pandang dan tujuannya.Namun, hampir semua

manajemen perubahan bertujuan untuk mengelola bisnis atau perusahaan kearah

yang lebih baik demi mendapatkan lebih banyak keuntungan. Change

management di perbankan umumnya dilakukan dengan perubahan kebijakan yang

sederhana hingga kebijakan yang kompleks dan berpengaruh terhadap perubahan

perusahaan.

5.3.6. Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Work Family Conflict

Berikut jawaban responden berdasarkan kuesioner atas variabel work

family conflict

Tabel 5.8
Distribusi Jawaban Responden atas Variabel Work Family Conflict
Pilihan Rata-
No Indikator rata
Ket
STS TS KS S SS
Tidak
mempunyai 2 16 127 70 Sangat
1 --
(0.91%) (7.4%) (59.1%) (32.6%)
4.23
setuju
cukup waktu
untuk keluarga
Tidak 19 82 60 54
2 --
(8.8%) (38.1%) (27.9%) (25.1%) 3.70 setuju
mempunyai

Universitas Sumatera Utara


175

No Indikator Pilihan Rata- Ket


cukup waktu rata
bermasyarakat
Masalah
keluarga 17 129 67 Sangat
3 -- 2 (0.9%)
(7.9%) (60.0%) (31.2%) 4.21
mengganggu
setuju
produktivitas
Tidak mendapat
12 15 106 53 29 Kurang
4 dukungan (5.6%) (7.0%) (49.3%) (24.7%) (13.5%) 3.33
keluarga setuju
Tuntutan 4 18 88 72 33
5 (1.9%) (8.4%) (40.9%) (33.5%) (15.3%) 3.52 Setuju
pekerjaan
Perusahaan
6 25 73 89 22 Kurang
6 memberikan (2.8%) (11.6%) (34.0%) (41.4%) (10.2%) 3.40
kelonggaran setuju
Mendapat
5 31 82 69 28
7 teguran dari (2.3%) (14.4%) (38.1%) (32.1%) (13.0%) 3.40 Setuju
keluarga
Waktu libur 1 29 56 89 40
8 (0.5%) (13.5%) 926.0%) (41.4%) (18.6%) 3.64 Setuju
terganggu
Masalah
1 29 56 89 40
9 keluarga (0.5%) (13.5%) 926.0%) (41.4%) (18.6%) 3.64 Setuju
menyita waktu
Sumber: Data diolah SPSS, 2020

Dominasi peran dalam pekerjaan yang menimbulkan konflik keluarga

artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan

pekerjaan sehingga waktu untuk keluarga menjadi berkurang. Konflik pekerjaan

keluarga terjadi karena pegawai berusaha untuk menyeimbangkan antara

permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun dari

pekerjaannya. Dominasi peran dapat timbul dikarenakan urusan pekerjaan

mencampuri urusan keluarga seperti banyaknya waktu yang dicurahkan untuk

menjalankan pekerjaan menghalangi seseorang untuk menjalankan kewajibannya

di rumah, atau urusan keluarga mencampuri urusan pekerjaan, seperti karena

banyaknya pekerjaan, seorang ibu menjadi terhalang untuk merawat anak yang

sakit.

Pegawai marketing wanita sudah selayaknya mendapat dukungan dari

keluarga baik dari suami, anak, maupun anggota keluarga yang lain. Dukungan

keluarga yang didapatkan berupa upaya bahu membahu dalam mengurus rumah,

Universitas Sumatera Utara


176

anak, dan lainnya. Hal ini akan menciptakan energy positif bagi pegawai baik di

lingkungan kerja maupun di rumah. Peran dari keluarga sangat penting

manfaatnya. Dukungan yang baik adalah hal yang sangat dibutuhkan para ibu

bekerja.

Meski mendapatkan dukungan penuh dari keluarga seorang wanita harus

pula menetapkan prioritas. Pegawai saat di rumah perhatian hanya tertuju pada

keluarga dan anak. Sementara di kantor bisa mencurahkan waktunya untuk urusan

pekerjaan. Mengingat tidak hanya karena kebutuhan financial saja yang terus

meningkat, seorang wanita juga bekerja karena kebutuhan aktualisasi dirinya.

Untuk itu penting bagi keluarga untuk terus mendukung wanita yang sedang

bekerja.

Pekerjaan yang dilakukan di kantor adalah pekerjaan yang telah memiliki

prosedur yang standart. Namun demikian pekerjaan marketing, sering lebih

banyak menghabiskan waktu di luar kantor dan di luar jam kantor. Risiko

pekerjaan ini tidak dapat dielakkan oleh pegawai, mengingat sejak awal

perusahaan telah menjelaskan secara lugas rincian kerja seorang tenaga

marketing.

Namun tidak jarang juga, kondisi ini menguntungkan pegawai, yang mana

pegawai tidak harus terpaku seharian di dalam kantor, sehingga pegawai tidak

merasa jenuh dan tidak statis. Kategori pekerjaan marketing merupakan salah

satu yang menantang, dimana pegawai dihadapkan dengan target pencapaian

penjualan yang nilainya tidak sedikit. Hal inilah yang kemudian memicu salah

satu dominasi peran pegawai. Ketika lebih banyak waktu yang dihabiskan di

Universitas Sumatera Utara


177

tempat kerja dibandingkan dengan di rumah, pegawai marketing menganggap hal

itu sebagai konsekuensi logis dari pekerjaan.

Pegawai marketing wanita dapat meminta dukungan sosial dari leader

ataupun rekan kerjanya. Lewat dukungan rekan kerja yang menciptakan situasi

tolong menolong, bersahabat dan bekerja sama akan menciptakan lingkungan

kerja yang menyenangkan. Peran dari leader, perusahaan dan rekan kerja juga

jangan dilupakan, karena sangat penting manfaatnya. Manajemen waktu yang baik

adalah strategi penting yang perlu ditetapkan oleh para ibu bekerja.

Untuk dapat mengoptimalkan peran harus pula menetapkan prioritas.

Pegawai saat di rumah perhatian hanya tertuju pada keluarga dan anak. Sementara

di kantor bisa mencurahkan waktunya untuk urusan pekerjaan. Mengingat

fenomena wanita yang bekerja akan selalu meningkat, maka penting juga bagi

perusahaan untuk mengupayakan social support bagi tenaga kerja wanita apapun

dibidangnya akan meringankan beban seorang ibu. Adanya kebijakan yang

mendukung wanita saat bekerja misalnya pemberian dispensasi kepada pegawai

bekerja dari rumah ketika anak, suami dan orang tua kandung pegawai sedang

sakit.Pemberian dispensasi kerja ini juga dapat dilakukan ketika pegawai masih

harus memberikan ASI ekslusif.

Jumlah waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan umumnya adalah 8 jam

perhari, meskipun terkadang bisa lebih dari itu. Hanya saja yang sering tidak

sesuai adalah waktu kerja yang digunakan pegawai. Dimana pegawai sulit

menentukan waktu untuk menjumpai klien secara sepihak. Umumnya perjumpaan

antara marketing dengan nasabah atau calon nasabah ditentukan oleh nasabah atau

calon nasabah, meskipun pegawai dapat bernegosiasi. Sama hal nya dengan hari

Universitas Sumatera Utara


178

kerja, tidak jarang pegawai marketing bekerja di hari libur mengingat calon

nasabah atau nasabah hanya dapat ditemui pada hari itu.

Jumlah waktu yang dihabiskan untuk keluarga memang tetap lebih

banyak, mengingat pegawai marketing tidak terlalu sering dinas keluar kota.

Hanya saja ketika pegawai pulang ke rumah mereka sudah kelelahan sehingga,

waktu efektif untuk bercengkrama dengan keluarga menjadi tidak banyak. Belum

lagi terkadang pegawai masih membawa beberapa pekerjaan pulang ke rumah,

dan menjawab panggilan telepon dari nasabah atau calon nasabah saat pegawai

sudah di rumah.

5.4. Statistik Inferensial

Statistik inferensial adalah teknik statistik yang digunakan untuk

menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi. Statistik

inferensial yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik parametris yang

mana statistik ini digunakan untuk menguji parameter populasi melalui data

sampel. Dimana pengujian parameter melalui statistik ini dinamakan dengan uji

hipotesis statistik.

Statistik inferensial yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

diagram jalur pada PLS. Model diagram jalur pada PLS terdiri atas model

struktural (inner model) dan model pengukuran (outer model). Berikut ini adalah

hasil penelitian untuk masing-masing model

5.4.1. Model Pengukuran (outer model)

Evaluasi awal terhadap model hasil output PLS adalah evaluasi terhadap

model pengukuran. Evaluasi ini meliputi convergent validity dan discriminant

validity. Berikut adalah gambar dari outer model penelitian ini

Universitas Sumatera Utara


179

Gambar 5.3 Outer Model Penelitian

Sumber: Hasil Olahan Data Smart PLS, 2020

Berdasarkan Gambar 5.3 maka untuk melihat dimensi dan notasi indikator

dari masing-masing variabel disajikan pada Tabel 5.9 berikut :

Tabel 5.9
Variabel, Dimensi, Indikator dan Notasi Indikator
No Variabel Dimensi Indikator Notasi Indikator

Program hubungan
pelanggan dapat dijalankan I1
Kinerja
1. Customer dengan baik
Pegawai
1 Orientation Pelayanan yang diberikan
(Y)
sudah sesuai dengan I2
kebutuhan pelanggan
Produk sesuai dengan I3

Universitas Sumatera Utara


180

No Variabel Dimensi Indikator Notasi Indikator

kebutuhan pelanggan
Target tercapai sesuai
I4
rencana
2. Execution Sumber daya keuangan
Focused direncanakan untuk I5
mencapai target
Bertanggung jawab
I6
terhadap tugas
Menyelesaikan pekerjaan
sesuai dengan tanggung I7
jawab
3. Results Menyelesaikan tanggung
Orientation jawab berdasarkan target I8
yang telah ditetapkan
Bekerja sesuai dengan
bimbingan/ I9
supervisi
Memperlihatkan sikap
I10
yang positif
4. Professional Bertindak cepat dan tepat
Mindset pada situasi dan kondisi I11
tertentu
Memiliki inisiatif I12
Positive feeling part of
I13
teamwork
1. Belonging Positive feeling part of
I14
divisi
Enjoyable Positive feeling part of
I15
Employee organisation
2
Experience Pleasant feeling I16
(Z2) 2. Happines Perasaan diterima orang
I17
lain
Present of energy I18
3. Vigor Enthusiasm I19
Excitement at work I20
1.Engage Heart Appreciation I21
Employee
Purpose I22
3 Engagement
(Z1) Autonomy I23
2.Engage Mind
Mastery I24

Love for one job I25


Feeling vitality at work I26
1.Passion
Leader Seeing one,s identity I27
passionate Willingness to learn I28
4 performance improve continuously I29
(Z3) Capable of handling
I30
assignment
2. Performance
Could manage change I31
Derive a lot satisfaction I32
Need for 1.Urge to excel Hasrat untuk
5 achievement mempengaruhi (hasrat I33
(Z4) untuk menjadi orang

Universitas Sumatera Utara


181

No Variabel Dimensi Indikator Notasi Indikator

berpengaruh terhadap
pegawai lain)
Selalu ingin unggul I34
2.To accomplish in
Keinginan yang kuat
relation
dalam membina hubungan I35
baik dengan pegawai lain
Upaya keras untuk
mempertahankan
I36
hubungan baik dengan
3. To struggle for
perusahaan
success
Upaya keras untuk
menciptakan hubungan
I37
saling menguntungkan
terhadap organisasi
1.Work inference Dominasi salah satu peran I38
family (WIF) Dukungan keluarga
I39
Work Family 2.Beban kerja Kategori pekerjaan I40
6 Conflict Dukungan organisasi I41
(X) Jumlah waktu yang
I42
dihabiskan untuk bekerja
3.Waktu kerja
Jumlah waktu yang
I43
dihabiskan untuk keluarga
A. Convergent validity

Covergent validity meliputi item reliability (validitas indikator),

reliabilitas konstuk, dan nilai AVE. Untuk validitas indikator dapat dilihat dari

nilai loading factor (standardized loading). Nilai ini menggambarkan besarnya

korelasi antar tiap indikator dengan konstruknya. Suatu indikator dikatakan valid

bila memiliki nilai standar loadings lebih dari 0,5. Adapun nilai kuadrat dari

setiap standardized loading disebut communalities. Nilai ini memiliki pengertian

besarnya varian yang mampu diterangkan oleh konstrak terhadap indikator

tersebut. Berikut adalah Tabel loading faktor penelitian yang nilainya sudah di

atas 0,5

Tabel 5.10
Loading factors item (standardized loading)

Variabel Latent Variabel Standardized Keterangan


Manifest Loading
Kinerja Pegawai I2 0.633 Valid
(Y) I3 0.747 Valid

Universitas Sumatera Utara


182

Variabel Latent Variabel Standardized Keterangan


Manifest Loading
I4 0.795 Valid
I5 0.767 Valid
I6 0.807 Valid
I7 0.661 Valid
I8 0.633 Valid
I10 0.702 Valid
I12 0.609 Valid
I38 0.876 Valid
I39 0.884 Valid
Work Family I40 0.831 Valid
Conflict (X) I41 0.853 Valid
I42 0.902 Valid
I43 0.735 Valid
I21 0.737 Valid
Employe
I22 0.943 Valid
Engagement (Z1)
I23 0.809 Valid
I13 0.789 Valid
I14 0.677 Valid
I15 0.805 Valid
Enjoyable
I16 0.899 Valid
Employee
I17 0.836 Valid
Experience (Z2)
I18 0.922 Valid
I19 0.898 Valid
I20 0.572 Valid
I25 0.730 Valid
I26 0.702 Valid
I27 0.807 Valid
Leader Passionate
I28 0.914 Valid
Performance (Z3)
I29 0.929 Valid
I30 0.913 Valid
I31 0.625 Valid
I34 0.602 Valid
Need For
I35 0.821 Valid
Achievement (Z4)
I36 0.950 Valid

Berdasarkan Tabel 5.10 tersebut, maka keterangan loading faktor dari

masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

1. Kinerja pegawai memiliki sembilan indikator dimana semua indikator memiliki

loading factor diatas 0.5 hal ini menunjukkan bahwa semua indikator pada

variabel kinerja pegawai adalah valid. Nilai loading factor terbesar pada

variabel kinerja pegawai yaitu I6 adalah 0.807 dengan nilai communalities dari

Universitas Sumatera Utara


183

indikator sebesar 0.651. Artinya bahwa 65.1% varian indikator I6 mampu

dijelaskan oleh konstruk laten kinerja pegawai. Maka, dari uraian tersebut,

terlihat bahwa konstruk laten kinerja pegawai paling tinggi menjelaskan varian

indikator I6 dibandingkan indikator lainnya.

2. Work family conflict memiliki enam indikator dimana semua indikator

memiliki loading factor diatas 0.5 hal ini menunjukkan bahwa semua indikator

pada variabel work family conflict adalah valid. Nilai loading factor terbesar

pada variabel work family conflict yaitu I42 adalah 0.902 dengan nilai

communalities dari indikator sebesar 0.814. Artinya bahwa 81.4% varian

indikator I42 mampu dijelaskan oleh konstruk laten work family conflict. Maka

dari uraian tersebut terlihat bahwa konstruk laten work family conflict paling

tinggi menjelaskan varian indikator I42 dibandingkan indikator lainnya.

3. Employee Engagement memiliki tiga indikator dimana semua indikator

memiliki loading factor diatas 0.5 hal ini menunjukkan bahwa semua indikator

pada variabel Employee Engagement adalah valid. Nilai loading factor

terbesar pada variabel Employee Engagement yaitu I22 adalah 0.943 dengan

nilai communalities dari indikator sebesar 0.890. Artinya bahwa 89.0% varian

indikator I22 mampu dijelaskan oleh konstruk laten Employee Engagement.

Makadari uraian tersebut terlihat bahwa konstruk laten Employee Engagement

paling tinggi menjelaskan varian indikator I22 dibandingkan indikator lainnya.

4. Enjoyable Employee Experience memiliki delapan indikator dimana semua

indikator memiliki loading factor diatas 0.5 hal ini menunjukkan bahwa semua

indikator pada variabel Enjoyable Employee Experience adalah valid. Nilai

loading factor terbesar pada variabel Enjoyable Employee Experienceyaitu I18

Universitas Sumatera Utara


184

adalah 0.922 dengan nilai communalities dari indikator sebesar 0.850. Artinya

bahwa 85.0% varian indikator I18 mampu dijelaskan oleh konstruk laten

Enjoyable Employee Experience. Maka dari uraian tersebut terlihat bahwa

konstruk laten Enjoyable Employee Experience paling tinggi menjelaskan

varian indikator I18 dibandingkan indikator lainnya.

5. Leader Passionate Performance memiliki tujuh indikator dimana semua

indikator memiliki loading factor diatas 0.5 hal ini menunjukkan bahwa semua

indikator pada variabel Leader Passionate Performance adalah valid. Nilai

loading factor terbesar pada variabel Leader Passionate Performanceyaitu I29

adalah 0.929 dengan nilai communalities dari indikator sebesar 0.863. Artinya

bahwa 86.3% varian indikator I29 mampu dijelaskan oleh konstruk laten Leader

Passionate Performance. Maka dari uraian tersebut terlihat bahwa konstruk

laten Leader Passionate Performance paling tinggi menjelaskan varian

indikator I29 dibandingkan indikator lainnya.

6. Need For Achievement memiliki tiga indikator dimana semua indikator

memiliki loading factor diatas 0.5 hal ini menunjukkan bahwa semua indikator

pada variabel Need For Achievement adalah valid. Nilai loading factor

terbesar pada variabel Need For Achievement yaitu I36 adalah 0.950 dengan

nilai communalities dari indikator sebesar 0.903. Artinya bahwa 90.3% varian

indikator I36 mampu dijelaskan oleh konstruk laten Need For Achievement.

Maka dari uraian tersebut terlihat bahwa konstruk laten Need For Achievement

paling tinggi menjelaskan varian indikator I36 dibandingkan indikator lainnya.

Pemeriksaan selanjutnya dari model pengukuran adalah composite

reliability.Pemeriksaan ini dapat dilihat dari nilai Cronbach's Alpha,

Universitas Sumatera Utara


185

danComposite Reliability. Dalam model SEM nilai Composite Reliability lebih

baik digunakan sebagai pengukuran reliabilitas konstruk daripada Cronbach's

Alpha.Berikut adalah hasil dari Composite Reliabilitydan AVE penelitian:

Tabel 5.11
Composite Reliability dan AVE

Cronbach's Composite Average Variance


Variabel Latent rho_A
Alpha Reliability Extracted (AVE)
Kinerja Pegawai
0.878 0.884 0.902 0.508
(Y)
Work Family
0.930 1.052 0.939 0.720
Conflict (X)
Employe
0.777 0.858 0.871 0.695
Engagement (Z1)
Enjoyable
Employee 0.921 0.947 0.937 0.654
Experience (Z2)
Leader Passionate
0.912 0.972 0.929 0.657
Performance (Z3)
Need For
0.793 1.334 0.841 0.646
Achievement (Z4)

Berdasarkan hasil Tabel 5.11 nilai Cronbach's Alpha, dan Composite

Reliability di atas 0.7 maka semua konstruk pada variabel di atas memiliki nilai

reliabilitas yang dapat diandalkan. Pemeriksaan berikutnya adalah melihat nilai

AVE. Nilai ini menggambarkan besarnya varian atau keragaman variabel-

variabel manifest yang dapat dikandung oleh kosntruk laten.

Dengan demikian, semakin besar varian atau keragaman variabel manifest

yang dapat dikandung oleh konstruk laten maka semakin besar representasi

variabel manifest terhadap konstruk latennya. Berdasarkan Tabel tersebut, semua

nilai AVE untuk setiap konstruk laten di atas 0.50 dengan nilai AVE konstruk

Work Family Conflict (0.720) adalah yang tertinggi dan nilai AVE untuk konstruk

Kinerja Pegawai (0.508) adalah yang terendah.

Universitas Sumatera Utara


186

B. Discriminant Validity

Pemeriksaan selanjutnya dari model pengukuran adalah evaluasi terhadap

discriminant validity yang meliputi pemeriksaan cross loading. Berikut adalah

nilai cross loading penelitian

Tabel 5.12
Cross Loasing Factor

Work Enjoyable Leader


Kinerja Employe Need For
Family Employee Passionate
Pegawai Engagement Achievement
Conflict Experience Performance
(Y) (Z1) (Z4)
(X) (Z2) (Z3)
I10 0.702 0.130 0.533 0.420 0.326 0.130
I12 0.609 0.380 0.422 0.719 0.268 0.380
I13 0.510 0.360 0.330 0.798 0.349 0.360
I14 0.425 0.350 0.344 0.677 0.158 0.350
I15 0.458 0.391 0.324 0.805 0.415 0.391
I16 0.647 0.436 0.658 0.899 0.649 0.436
I17 0.508 0.318 0.505 0.836 0.571 0.318
I18 0.658 0.509 0.677 0.922 0.614 0.509
I19 0.612 0.385 0.611 0.898 0.537 0.385
I2 0.663 0.220 0.476 0.455 0.264 0.220
I20 0.313 0.389 0.356 0.572 0.246 0.389
I21 0.339 0.188 0.737 0.434 0.359 0.188
I22 0.712 0.186 0.943 0.631 0.504 0.186
I23 0.580 0.155 0.809 0.439 0.407 0.155
I25 0.252 -0.031 0.345 0.305 0.730 -0.031
I26 0.133 0.213 0.343 0.328 0.702 0.213
I27 0.206 0.106 0.446 0.358 0.807 0.106
I28 0.416 0.266 0.546 0.618 0.914 0.266
I29 0.397 0.284 0.426 0.528 0.929 0.284
I3 0.747 0.170 0.414 0.433 0.310 0.170
I30 0.379 0.295 0.499 0.603 0.913 0.295
I31 0.174 0.289 0.221 0.344 0.625 0.289
I34 -0.179 0.602 -0.077 0.166 -0.007 0.602
I35 -0.024 0.821 0.054 0.273 0.138 0.821
I36 0.277 0.950 0.282 0.537 0.305 0.950
I38 0.221 -0.220 0.078 -0.168 -0.107 -0.220
I39 0.323 -0.160 0.153 -0.027 -0.026 -0.160
I4 0.795 0.268 0.569 0.559 0.283 0.268
I40 0.144 -0.105 0.035 -0.172 -0.187 -0.105
I41 0.316 0.019 0.156 0.013 -0.016 0.019
I42 0.447 0.014 0.310 0.217 0.071 0.014
I43 0.077 -0.166 0.067 -0.161 -0.119 -0.166
I5 0.767 -0.002 0.462 0.469 0.303 -0.002
I6 0.807 -0.076 0.466 0.472 0.305 -0.076
I7 0.661 0.066 0.536 0.323 0.175 0.066
I8 0.633 -0.079 0.448 0.285 0.161 -0.079

Universitas Sumatera Utara


187

Berdasarkan Tabel 5.12 pemeriksaan nilai crossloading maka:

1. Korelasi indikator I6 dengan konstrak laten kinerja pegawai (0.807) memiliki

nilai tertinggi dibandingkan dengan konstruk work family conflict (0.130),

konstruk employee engagement (0.533), konstruk enjoyable employee

experience (0.420), konstruk leader passionate performance (0.326), dan

need for achievement (0.130). Hal ini menunjukkan bahwa I6 mengukur

konstruk laten kinerja pegawai lebih tinggi daripada mengukur konstruk laten

lainnya. Sama halnya dengan I2, I3, I38, I39, I4, I40, I41, I42, I5, I6, I7, dan I8

memiliki korelasi lebih tinggi dengan konstruk kinerja pegawai (bisa dilihat

pada setiap baris di tabel, begitu seterusnya pada point berikutnya)

2. Korelasi indikator I34, I35,I36, dan I43 dengan konstrak laten work family conflict

memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan konstruk kinerja pegawai,

konstruk employee engagement, konstruk enjoyable employee experience,

konstruk leader passionate performance, dan need for achievement. Hal ini

menunjukkan bahwa indikator I34, I35, I36, dan I43mengukur konstruk laten

work family conflict lebih tinggi daripada mengukur konstruk laten lainnya.

3. Korelasi indikator I21, I22, dan I23 dengan konstrak laten employee engagement

memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan konstruk kinerja pegawai,

konstruk work family conflict, konstruk enjoyable employee experience,

konstruk leader passionate performance, dan need for achievement. Hal ini

menunjukkan bahwa indikator I21, I22, dan I23 mengukur konstruk laten

employee engagement lebih tinggi daripada mengukur konstruk laten lainnya.

4. Korelasi indikator I12, I13, I14, I15, I16, I17, I18, I19, dan I20dengan konstrak laten

Universitas Sumatera Utara


188

enjoyable employee experience memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan

konstruk kinerja pegawai, konstruk work family conflict, konstruk employee

engagement, konstruk leader passionate performance, dan need for

achievement. Hal ini menunjukkan bahwa indikator I12, I13, I14, I15, I16, I17, I18,

I19, dan I20mengukur konstruk laten enjoyable employee experience lebih

tinggi daripada mengukur konstruk laten lainnya.

5. Korelasi indikator I25, I26, I27, I28, I29, I30, dan I31 dengan konstrak laten leader

passionate performance memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan

konstruk kinerja pegawai, konstruk work family conflict, konstruk employee

engagement, konstruk enjoyable employee experience, dan need for

achievement. Hal ini menunjukkan bahwa indikator I25, I26, I27, I28, I29, I30, dan

I31 mengukur konstruk laten leader passionate performance lebih tinggi

daripada mengukur konstruk laten lainnya.

6. Korelasi indikator I34, I35, I36 dan I43 dengan konstrak laten need for

achievement memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan konstruk kinerja

pegawai, konstruk work family conflict, konstruk employee engagement,

konstruk enjoyable employee experience, dan leader passionate performance.

Hal ini menunjukkan bahwa indikator I34, I35, I36 dan I43 mengukur konstruk

laten need for achievementlebih tinggi daripada mengukur konstruk laten

lainnya.

5.4.2. Pengukuran Model Struktural (Inner Model)

Evaluasi terhadap model struktural dapat dilihat dari pengujian secara

parsial dan simultan.Gambar 5.4 menunjukkan model struktural penelitian

Universitas Sumatera Utara


189

Gambar 5.4 Model Struktural (Inner Model)

5.4.2.1. Evaluasi Model Penelitian

Dalam penelitian ini terdapat lima (5) pengujian model structural yaitu :

A. Pertama, menguji model struktural hubungan antara variabel eksogen Work

family conflict (X) terhadap variabel endogen Employee engagement (Z1)

B. Kedua, menguji model struktural hubungan antara variabel eksogen Work

family conflict (X) dan Employee engagement (Z1) terhadap variabel endogen

Enjoyable Employee Experience (Z2)

Universitas Sumatera Utara


190

C. Ketiga, menguji model struktural hubungan antara variabel eksogen Work

family conflict (X), Employee engagement (Z1), Enjoyable Employee

Experience (Z2), Leader Passionate Performance (Z3), dan Need For

Achievement (Z4)terhadap variabel endogen Kinerja pegawai (Y)

D. Keempat, menguji model struktural hubungan antara variabel eksogen Work

family conflict (X), Employee engagement (Z1), Enjoyable Employee

Experience (Z2), dan terhadap variabel endogen Need For Achievement (Z4)

E. Kelima, menguji model struktural hubungan antara variabel eksogen Work

family conflict (X), Employee engagement (Z1), Enjoyable Employee

Experience (Z2), Leader Passionate Performance (Z3), Need For

Achievement (Z4), dan efek moderasi (Z5) terhadap variabel endogen Kinerja

pegawai (Y)

Tabel 5.13 adalah menunjukkan besarnya pengaruh secara bersama-sama

dari konstruk terhadap Employee Engagement (Z1) Enjoyable employee

experience (Z2) Kinerja Pegawai (Y) dan Need for achievement (Z4).

Tabel 5.13
Koefisien Determinasi Variabel

No Variabel Laten R Square


R Square
Adjusted
1 Employee Engagement(Z1) 0.043 0.039
2 Enjoyable employee
0.389 0.384
experience (Z2)
3 Kinerja Pegawai (Y) 0.572 0.564
4 Need for achievement (Z4) 0.237 0.234

Nilai R2 dan R Square Adjusted masing-masing adalah sebagai berikut:

1. R Square Adjusted Employee Engagement (Z1) menunjukkan nilai 0.039 yang

Universitas Sumatera Utara


191

artinya hanya 3.9% variability konstruk laten Employee Engagement (Z1)

mampu dijelaskan oleh Work family conflict. Hal ini menunjukkan pengaruh

tersebut sangatlah kecil, sehingga model Employee Engagement (Z1)

dinyatakan tidak layak/tidak fit.

2. R Square Adjusted Enjoyable employee experience (Z2) menunjukkan nilai

0.384 yang artinya 38,4% variability konstruk laten Enjoyable employee

experience (Z2) mampu dijelaskan oleh Work family conflict (X) dan

Employee engagement (Z1). Secara statistik model ini dinyatakan fit oleh

karena salah satu konstruk laten eksogen signifikan yaitu work family conflict

(X) dengan nilai p-value 0.017 < 0.05

3. R Square Adjusted Kinerja Pegawai (Y) menunjukkan nilai 0.564 yang

artinya 56,4% variability konstruk laten Kinerja Pegawai (Y) mampu

dijelaskan oleh Work family conflict (X), Employee engagement (Z1),

Enjoyable Employee Experience (Z2), Leader Passionate Performance (Z3),

Need For Achievement (Z4), dan efek moderasi (Z5). Secara statistik model

ini dinyatakan fit oleh karena salah satu konstruk laten eksogen signifikan

yaitu leader passionate performance (Z3) dengan nilai p-value 0.001 dan

Need for achievement (Z4) dengan nilai 0.041< 0.05

4. R Square Adjusted Need For Achievement (Z4) menunjukkan nilai 0.234 yang

artinya 23,4% variability konstruk laten Need For Achievement (Z4) mampu

dijelaskan oleh Work family conflict (X), Employee engagement (Z1),

Enjoyable Employee Experience (Z2). Secara statistik model ini dinyatakan

tidak fit oleh karena tidak ada satu konstruk laten eksogen pada modelini

yang signifikan p-value >0.05

Universitas Sumatera Utara


192

5.4.2.2. Evaluasi Model Struktural Langsung dan Tidak Langsung

Dalam penelitian ini terdapat dua pengujian model struktural yaitu model

struktural langsung (direct) dan model struktural tidak langsung (indirect).

A. Evaluasi Model Struktural Langsung (Direct)

Berdasarkan Tabel 5.14 maka hasil pengujian model dalam penelitian ini

terlebih dahulu dilakukan secara langsung. Ketentuan signifikansi model

menggunakan statistik t nilai p – value 0.00<0.05.

Tabel 5.14
Signifikansi Model Persamaan Struktural Secara Langsung (Direct)

Standard
Original Sample Mean T Statistics P
Deviation
Sample (O) (M) (|O/STDEV|) Values
(STDEV)
Employee Engagement(Z1) ->
Enjoyable Employee Engagement 0,637 0,643 0,041 15,708 0,000
(Z2)
Enjoyable Employee Engagement
0,619 0,607 0,064 9,707 0,000
(Z2) -> Kinerja Pegawai (Y)
Enjoyable Employee Engagement
(Z2) -> Need For Achievement 0,487 0,503 0,044 11,135 0,000
(Z4)
Leader Passionate Paerformance
0,000 0,005 0,044 0,005 0,996
(Z3) -> Kinerja Pegawai (Y)
Moderating Effect 1 ->Work
-0,193 -0,189 0,045 4,244 0,000
Family Conflict (Y)
Need For Achievement (Z4) ->
-0,055 -0,049 0,080 0,690 0,490
Kinerja Pegawai (Y)
Work Family Conflict (X1) ->
0,208 0,224 0,099 2,109 0,035
Employee Engagement (Z1)
Work Family Conflict (X1) -
>Enjoyable Employee Engagement -0,105 -0,098 0,083 1,260 0,208
(Z2)
Work Family Conflict (X1) ->
0,358 0,360 0,071 5,043 0,000
Kinerja Pegawai (Y)

Hasil evaluasi Tabel 5.14 direct model penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Employee Engagement (Z1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

Enjoyable Employee Engagement (Z2)

2. Enjoyable Employee Engagement (Z2) memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap Kinerja Pegawai (Y)

Universitas Sumatera Utara


193

3. Enjoyable Employee Engagement (Z2) memberikan pengaruh yang signifikan

Need For Achievement (Z4)

4. Leader Passionate Paerformance (Z3) tidak memberikan pengaruh yang

signifikan Kinerja Pegawai (Y)

5. Moderating Effect 1 memberikan pengaruh yang signifikan Work Family

Conflict (Y)

6. Need For Achievement (Z4) tidak memberikan pengaruh yang signifikan

Kinerja Pegawai (Y)

7. Work Family Conflict (X1) memberikan pengaruh yang signifikan Employee

Engagement (Z1)

8. Work Family Conflict (X1) tidak memberikan pengaruh yang signifikan

Enjoyable Employee Engagement (Z2)

9. Work Family Conflict (X1) memberikan pengaruh yang signifikan Kinerja

Pegawai (Y)

B. Evaluasi Model Struktural Tidak Langsung (Indirect)

1. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Enjoyable Employee Experience (Z2)

melalui variabel intervening Employee Engagement (Z1)

2. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Kinerja Pegawai (Y) melalui variabel

intervening Enjoyable Employee Experience (Z2) dan Employee Engagement

(Z1)

3. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Kinerja Pegawai (Y) melalui variabel

Universitas Sumatera Utara


194

intervening Enjoyable Employee Experience (Z2)

4. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Kinerja Pegawai (Y) melalui variabel

intervening Enjoyable Employee Experience (Z2), Employee Engagement

(Z1), dan Need for Achievement (Z4)

5. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Kinerja Pegawai (Y) melalui variabel

intervening Enjoyable Employee Experience (Z2), dan Need for Achievement

(Z4)

6. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Need for Achievement (Z4) melalui

variabel intervening Enjoyable Employee Experience (Z2), dan Employee

Engagement (Z1)

7. Menguji model struktural tidak langsung antara variabel eksogen work family

conflict (X) terhadap variabel endogen Need for Achievement (Z4) melalui

variabel intervening Enjoyable Employee Experience (Z2)

Berdasarkan Tabel 5.15, maka hasil pengujian model tidak langsung

(indirect) dalam penelitian ini terlihat pada Tabel 5.15. Adapun signifikansi model

menggunakan statistik t nilai p – value 0.00<0.05, seperti berikut :

Tabel 5.15
Signifikansi Persamaan Secara Tidak Langsung (Indirect)

Original Standard
Sample T Statistics
Sample Deviation P Values
Mean (M) (|O/STDEV|)
(O) (STDEV)
Work family Conflict (X1) ->
Employee Engagement (Z1) ->
0,133 0,145 0,063 2,123 0,034
Enjoyable Employee
Experience (Z2)
Work family Conflict (X1) ->
0,082 0,087 0,037 2,230 0,026
Employee Engagement (Z1) ->

Universitas Sumatera Utara


195

Enjoyable Employee
Experience (Z2) -> Kinerja
Pegawai (Y)
Work family Conflict (X1) ->
Enjoyable Employee
-0,065 -0,060 0,052 1,252 0,211
Experience (Z2) -> Kinerja
Pegawai (Y)
Work family Conflict (X1) ->
Employee Engagement (Z1) ->
Enjoyable Employee
-0,004 -0,003 0,007 0,543 0,587
Experience (Z2) -> Need For
Achievement (Z4) -> Kinerja
pegawai (Y)
Work family Conflict (X1) ->
Enjoyable Employee
Experience (Z2) -> Need For 0,003 0,003 0,006 0,442 0,659
Achievement (Z4) -> Kinerja
Pegawai (Y)
Work family Conflict (X1) ->
Employee Engagement (Z1) ->
Enjoyable Employee 0,065 0,073 0,034 1,916 0,056
Experience (Z2) -> Need For
Achievement (Z4)
Work family Conflict (X1) ->
Enjoyable Employee
-0,051 -0,050 0,043 1,176 0,240
Experience (Z2) -> Need For
Achievement (Z4)

Hasil evaluasi berdasarkan Tabel 5.15 adalah sebagai berikut:

1. Dari empat (4) model indirect konstruk laten kinerja pegawai hanya (1)

model yang signifikan, sedangkan tiga (3) model lainnya tidak signifikan.

Signifikansi model tersebut artinya adalah work family conflict berpengaruh

signifikan terhadap kinerja pegawai dengan employee engangement dan

enjoyable employee experience sebagai pemediasi.

2. Dari dua (2) model indirect konstruk laten need for achievement tidak ada

yang signifikan. Artinya employee engangement dan enjoyable employee

experiencetidak dapat dijadikan sebagai pemediasi konstruk laten work family

conflict terhadap need for achievement

3. Model indirect konstruk laten enjoyable employee experience hasilnya

signifikan. Artinya adalah employee engangement dapat dijadikan sebagai

Universitas Sumatera Utara


196

pemediasi konstruk laten work family conflict terhadapenjoyable employee

experience.

5.5. Hasil Hipotesis Penelitian

Berdasarkan evaluasi model struktural penelitian baik secara langsung

(direct) Tabel 5.14 maupun secara tidak langsung (indirect) Tabel 5.15 maka,

hasil hipotesis pada penelitian ini dinyatakan dalam bentuk (a) terima H0 dan tolak

Ha jika p value >0.005 (b) tolak H0 dan terima Ha jika p value < 0.005. Hasil

hipotesis dapat dilihat pada Tabel 5.16

Tabel 5.16
Hasil Hipotesis Penelitian

No Pernyataan Penelitian Keterangan

1 WFC berpengaruh terhadap Ditolak


Enjoyable Employee
Experience
2 WFC berpengaruh terhadap Diterima
Employee Engagement
3 Employee Engagement Diterima
berpengaruh terhadap
Enjoyable Employee
Experience
4 Enjoyable Employee Diterima
Experience berpengaruh
terhadap Kinerja pegawai
5 Enjoyable Employee Diterima
Experience berpengaruh
terhadap Need for Achievement
6 Need for Achievement Ditolak
berpengaruh terhadap kinerja
pegawai
7 Enjoyable Employee Diterima
Experience berpengaruh
terhadap kinerja pegawai yang
dimoderasi Leader Passionate
Performance
8 WFC berpengaruh terhadap Diterima
kinerja pegawai
9 WFC berpengaruh terhadap Diterima
Kinerja Pegawai melalui
Employee Engagement dan
Enjoyable Employee

Universitas Sumatera Utara


197

No Pernyataan Penelitian Keterangan

Experience
10 WFC berpengaruh terhadap Ditolak
Need for Achievement melalui
Enjoyable Employee
Experience
11 WFC berpengaruh terhadap Ditolak
Kinerja Pegawai melalui Need
for Achievement dan Enjoyable
Employee Experience

Hasil hipotesis Tabel 5.16 menunjukkan bahwa dari sebelas (11) hipotesis

penelitian terdapat empat (4) Ha ditolak dengan uraian sebagai berikut:

1. WFC berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Enjoyable

Employee Experience

2. WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Employee Engagement

3. Employee Engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap Enjoyable

Employee Experience

4. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Kinerja pegawai

5. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Need for Achievement

6. Need for Achievement berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap

kinerja pegawai

7. Enjoyable Employee Experience berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

kinerja pegawai yang dimoderasi Leader Passionate Performance

8. WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja pegawai

9. WFC berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai melalui

Employee Engagement dan Enjoyable Employee Experience

10. WFC berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Need for

Universitas Sumatera Utara


198

Achievement melalui Enjoyable Employee Experience

11. WFC berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Kinerja Pegawai

melalui Need for Achievement dan Enjoyable Employee Experience

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Work Family Conflict berpengaruh negatif namun tidak signifikan

terhadap Enjoyable Employee Experience

Penulis mendefinisikan work family conflict dalam penelitian ini sebagai

ketidakkompatibelan antara peran pegawai di keluarga dan di tempat kerja.

Penulis mendapati hasilnya adalah negatif namun tidak signifikan, antara work

family conflict terhadap enjoyable employee experience. Hasil negatif dalam

penelitian ini menunjukkan pengaruh yang berbanding terbalik antara work family

conflict terhadap enjoyable employee experience, yakni jika pegawai lebih banyak

mengalami konflik di tempat kerja akan menyebabkan semakin sedikit

pengalaman yang menyenangkan yang didapat pegawai, demikian sebaliknya.

Namun demikian pada Bank BUMN di Kota Medan pengaruh work family

conflict tidak signifikan terhadap enjoyable employee experience.

Ketidaksignifikanan ini bermakna work family conflict tidak memiliki efek cukup

besar untuk dapat mempengaruhi enjoyable employee experience. Makna

ketidaksignifikanan lainnya adalah work family conflict bukan prediktor yang

penting dan dapat dilepaskan dari variabel enjoyable employee experience.

Ketidakkompatibelan tersebut disebabkan perubahan dunia perbankan

yang berubah dengan cepat. Persaingan global, laju inovasi yang tinggi, dan

kecenderungan perusahaan menugaskan pegawai untuk selalu mencapai target

membuat pekerjaan menjadi lebih berat. Menanggapi perkembangan ini pegawai

harus terus memperluas pengetahuan mereka, membangun jejaring sosial dan

198

Universitas Sumatera Utara


199

bersaing dengan marketing lainnya yang membuat marketing memiliki peran yang

tidak seimbang antara keluarga dan pekerjaan.

Untuk menguraikan ketidaksignifikanan ini penulis merujuk penelitian

sebelumnya tentang work family conflict. Dimana konflik pekerjaan-keluarga

yang berpengaruh signifikan dan negatif pada kepuasan pegawai bukan pada

kesenangan. Studi-studi sebelumnya mengungkapkan bahwa gangguan antara

pekerjaan dan tanggung jawab keluarga pada akhirnya akan menciptakan

ketidakpuasan kerja membawa pegawai untuk tidak menyukai pekerjaan mereka,

dan menyebabkan kualitas pekerjaan yang berkinerja buruk (Warokka dan

Febrillia, 2015). Temuan ini dikonfirmasi oleh pernyataan "beban kerja yang

berlebihan telah menghambat upaya pegawai untuk memenuhi kebutuhan

keluarga" yang telah mendorong kepuasan kerja yang lebih rendah (Work

inference family). Sebaliknya family inference work akan membuat batasan bagi

pegawai untuk melakukan pekerjaan mereka dan akan memicu ketidakpuasan

kerja (Zhao dan Namasivayam, 2012).

Sebelum penulis menjelaskan situasi yang membuat hasil penelitian ini

tidak signifikan, penulis merujuk artikel yang ditulis oleh Shimazu dan Schaufeli.

Yang mana tulisan tersebut secara keseluruhan menganalisis perubahan dunia

kerja memungkinkan dan menstimulus pegawai untuk bekerja lebih keras dari

sebelumnya. Dua jenis kerja keras dapat dibedakan: workaholic, tipe yang

"buruk" , dan engage work, tipe “baik” (Shimazu & Schaufeli, 2009). Karena dua

bentuk kerja keras ini terkait dengan hasil kerja individu dan organisasi yang

berbeda.

Universitas Sumatera Utara


200

Workaholism, engage work dan burnout adalah tiga jenis kesejahteraan

yang berhubungan dengan pekerjaan (Schaufeli et al., 2008). Workaholism

mengacu pada "kecenderungan untuk bekerja terlalu keras dan terobsesi dengan

pekerjaan yang memanifestasikan dirinya dalam bekerja secara kompulsif".

Karyawan yang workaholic bekerja lebih keras daripada rekan kerja mereka dan

mereka memikirkan pekerjaan mereka secara terus-menerus dan mereka

mengalami situasi batin yang kuat dan tidak terkendali untuk bekerja keras.

Dalam hal ini karyawan gila kerja didorong untuk terus bekerja.

Workaholism terkait dengan berbagai hasil negatif bagi karyawan,

pasangan mereka dan perusahaan mereka. Sebagai contoh, karyawan workaholic

mengalami lebih banyak konflik interpersonal di tempat kerja, kurang puas

dengan pekerjaan mereka, mengalami lebih banyak gangguan di rumah

(Schaufeli, dan Verhoeven, 2005), dan memiliki hubungan sosial yang lebih

buruk diluar pekerjaan daripada karyawan lain. Selanjutnya karyawan mengalami

kepuasan hidup yang rendah.

Work engagement adalah kondisi pikiran yang positif, memuaskan, terkait

pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi, dan penyerapan (Schaufeli,

Salanova, Gonzalez-Romá, & Bakker, 2002). Semangat mengacu pada tingkat

kegigihan, energi dan ketahanan mental yang tinggi saat bekerja, dan kemauan

untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan seseorang. Dedikasi mengacu

pada engage yang kuat dalam pekerjaan seseorang dan mengalami perasaan

signifikansi, antusiasme, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Akhirnya, mengacu

pada terkonsentrasi penuh dan asyik dalam pekerjaan, dimana waktu berlalu

dengan cepat dan seseorang memiliki kesulitan melepaskan diri dari pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara


201

Berdasarkan uraian yang dikemukakan Shimazu dan Schaufeli tersebut,

penulis dalam penelitian ini mengaitkan dengan jawaban responden. Rata-rata

responden dalam penelitian mengalami work family conflict. Konflik bukan hanya

disebabkan oleh banyaknya tuntutan pekerjaan dari perusahaan, tetapi memang

pegawai marketing secara individual memiliki rasa work engagement bahkan ada

yang masuk kategori workaholic. Hal ini akhirnya menyebabkan pegawai

terkonsentrasi penuh pada target marketing yang membuat peran pegawai

terhadap keluarganya menjadi tidak kompatible.

Jika pegawai mengalami konflik dengan keluarga akibat dari banyaknya

waktu dan pikiran yang dihabiskan di tempat kerja daripada di rumah, bukan

berpengaruh pada pengalaman menyenangkan pegawai namun lebih berpengaruh

terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Hal tersebut dikarenakan pegawai

itu sendiri merasa engage dengan pekerjaan mereka, sehingga pegawai tidak

berkeberatan jika pikiran mereka terfokus pada pekerjaan di kantor.

Menurut Kumar et al, (2019) bersenang-senang ditempat kerja

menciptakan hubungan yang baik diantara karyawan dan atasan yang melepaskan

masalah dan kekhawatiran kehidupan kerja sehari-hari. Kesenangan datang

dengan keceriaan dan kebahagiaan. Hal itu diperlukan ditempat kerja untuk

membuat pegawai produktif di tempat kerja.

Bersenang-senang di tempat kerja membuat karyawan kembali bekerja

dengan energi baru (Kumar et al, 2019). Happy workplace adalah tempat dimana

karyawan yang bahagia lebih loyal dan produktif. Tingkat absensi dan

keterlambatan rendah karena karyawan antusias untuk pergi bekerja. Artinya

dalam hal penelitian ini penulis menyatakan bahwa, seharusnya work family

Universitas Sumatera Utara


202

conflict dan enjoyable employee experience adalah variabel yang sama-sama

memberikan pengaruh kepada kepuasan kerja dan kinerja pegawai.

Pada saat kegiatan yang menyenangkan, pegawai dapat berinteraksi satu

sama lain serta mengembangkan ikatan yang lebih dekat yang selanjutnya

membantu pegawai untuk tampil lebih baik sebagai tim karena interaksi sosial

memecah hambatan komunikasi diantara karyawan. Kegembiraan adalah salah

satu jenis obat, jika pegawai meminumnya maka akan meningkatkan moral,

kinerja, meningkatkan antusiasme pegawai, mengurangi keluhan akan kebosanan,

dan yang paling penting membuat pegawai senang dan menghabiskan waktu di

tempat kerja dengan optimal meskipun pegawai sedang terlibat konflik di

keluarganya.

Membangun kesenangan ditempat kerja bukan berarti pelanggaran

terhadap aturan, mengabaikan pengawasan dan mengurangi profesionalisme.

Kesenangan dalam hal ini justru diperlukan untuk menciptakan tempat kerja yang

sehat. Memang benar bahwa ketika kesehatan batin kita meningkat kita bergaul

lebih baik dengan orang lain dan melakukan pekerjaan yang lebih baik. Suasana

yang menyenangkan ini mengarah pada pengurangan rasio turnover karyawan dan

pengurangan tingkat stres karyawan.

Kesenangan juga menciptakan hubungan interpersonal yang kuat,

membangun kepercayaan satu sama lain dan membangun budaya yang kuat.

Organisasi harus mendorong setiap karyawan untuk meluangkan waktu beberapa

menit untuk melakukan sesuatu yang unik untuk mematahkan ketegangan. Paling

penting bahwa kesenangan tidak hanya berarti tertawa atau aktivitas

menyenangkan apa pun dan yang hanya dapat dilakukan oleh karyawan diwaktu

Universitas Sumatera Utara


203

luang. Namun menyenangkan di tempat kerja juga termasuk belajar untuk melihat

humor dalam situasi negatif (konflik).

Memang benar bahwa dalam situasi kritis misalnya saja pegawai sedang

mengalami konflik pegawai tetap harus dapat menghasilkan solusi kreatif. Hal itu

bisa didapatkan jika sikap mental karyawan bahagia yang memungkinkan

karyawan untuk berpikir lebih jernih dan kreatif. Kesenangan ditempat kerja

adalah cara yang efektif untuk meningkatkan kepuasan, kinerja dan produktivitas

karyawan serta semangat kerja, membangun kerja tim, dan mengurangi absensi

dan turnover. Selain itu kesenangan juga harus menjadi sesuatu yang benar-benar

dinikmati oleh karyawan.

6.2. WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Employee

Engagement

Hasil dari penelitian ini adalah work family conflict berpengaruh negatif

dan signifikan terhadap employee engagement. Pengaruh negatif dalam penelitian

ini menunjukkan adanya hubungan berkebalikan antara dua variabel ini. Jika

konflik pekerjaan yang dialami oleh pegawai marketing semakin besar, maka

tingkat engage pegawai akan semakin menurun, demikian juga sebaliknya.

Penulis belum menemukan artikel lain yang memiliki kesamaan dengan penelitian

ini. Umumnya kedua variabel ini digunakan peneliti-peneliti terdahulu untuk

menunjukkan tingkat kepuasan kerja, turn over intention dan kinerja. Artinya

belum ada satu tulisan dari peneliti lain yang mengukur pengaruh antara work

family conflict terhadap employee engagement secara langsung untuk konsep

pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara


204

Untuk memudahkan penulis menguraikan secara ilmiah hasil penelitian ini

penulis terlebih dahulu akan menjelaskan dua variabel ini secara terpisah. Dalam

tulisan ini, konsep pertama yang dijelaskan adalah employee engagement.

Engagement terdiri dari jaringan nomologis yang kompleks yang mencakup

konstruksi sifat, keadaan, dan perilaku serta kondisi kerja dan organisasi yang

dapat mempermudah perilaku engage. Meskipun engagement mungkin paling

cocok dengan apa yang dijelaskan oleh Law, Wong, dan Mobley (1998) sebagai

model profil konstruk multidimensi namun peneliti lain menyatakan engagement

tidak hanya seperangkat konstruk tetapi juga untaian yang terintegrasi erat, saling

terkait dengan cara-cara yang diketahui terdiri dari konstruksi yang jelas yang

dapat diidentifikasi (Machei dan Schneider, 2008)

Efek positif engagement dikaitkan dengan pekerjaan dan pengaturan kerja

yang berkonotasi atau secara eksplisit menunjukkan perasaan kegigihan,

semangat, energi, dedikasi, penyerapan, antusiasme, kewaspadaan dan

kebanggaan (Machei dan Schneider, 2008). Dengan demikian engagement

memiliki komponen komitmen organisasi, work engagement dan komponen

positif efektivitas kepuasan kerja. Untuk itu perasaan positif dan engagement juga

mencakup rasa identitas diri yang dimiliki orang dengan pekerjaan yang mereka

lakukan; kerja adalah bagian tentang bagaimana orang mendefinisikan diri sendiri

dan bahwa dimana orang tersebut secara pribadi menanamkan keinginan kuat.

Penulis dalam penelitian ini banyak merujuk artikel dari Machei dan

Schneider yang menghubungkan kepuasan kerja menempati ruang konseptual

umum dengan engagement. Dalam pandangan ini, engagement ditandai dengan

perasaan hasrat, energi, antusiasme dan aktivasi. Hal ini mencerminkan kearifan

Universitas Sumatera Utara


205

dari konsep, dan sebagai penanda yang digunakan untuk mencerminkan efek

positif perasaan ketika menggambarkan keadaan sifat atau suasana hati. Meskipun

berkorelasi dengan engagement, kepuasan ditandai dengan cukup oleh rasa

kesejahteraan dan kesenangan yang berkonotasi pada tingkat aktivasi atau energi

yang paling moderat. Engagement perilaku mengikuti engagement dalam

perilaku adaptif.

Perilaku adaptif adalah konsep yang berguna untuk menggambarkan

kisaran perilaku yang mendukung efektivitas organisasi. Perilaku tugas normal

dalam beberapa keadaan, misalnya, kondisi kerja sehari-hari, namun perilaku

engage dapat dilihat sebagai perilaku yang di luar dari kondisi kerja sehari-hari,

misalnya ketika terjadi bencana dan tantangan lainnya. Semua ini mengarah

kepada kecenderungan untuk menjalani pekerjaan dengan cara-cara yang positif,

aktif dan energik.

Berikutnya adalah konsep kedua ialah work family conflict. Menurut Judge

et al, 2006 selama lebih dari ¼ abad terakhir banyak literature yang mengkaji

tentang anteseden dan konsekuensi dari work family conflict. Judge et al

menemukan bahwa konflik pekerjaan-peran keluarga menghasilkan pengaruh

negatif yang lebih tinggi terhadap kesenangan dalam bekerja. Oleh karena itu

dalam mempertimbangkan dampak emosional dari work family conflict, penting

untuk mempertimbangkan kondisi emosional yang berbeda. Work family conflict

cenderung mewakili peristiwa negatif dan hubungan antara peristiwa dan emosi

namun kecenderungannya adalah pada emosi negatif daripada emosi positif.

Sehubungan dengan emosi negatif dimensi luas dari pengaruh negatif

ditunjukkan oleh emosi yang berupa ketakutan, kesedihan, rasa bersalah dan

Universitas Sumatera Utara


206

permusuhan. Dari emosi-emosi inti ini, emosi rasa bersalah dan permusuhan

tampaknya paling terkait erat dengan work family conflict.

Hasil penelitian oleh Jimenez, 2009 hubungan work family conflict dan

family work conflict dengan dua indikator kesejahteraan, yaitu ketegangan

psikologis dan kepuasan hidup dengan mempelajari kemungkinan peran moderasi.

Secara umum, temuan mendukung gagasan bahwa pelepasan psikologis untuk

bekerja adalah strategi yang efektif untuk mengurangi beberapa konsekuensi

negatif dari work family conflict pada kesejahteraan karyawan.

Detasemen psikologis dari pekerjaan memoderasi hubungan antara konflik

keluarga dengan ketegangan psikologis. Selain itu, proses ini juga memoderasi

hubungan antara Work Family Conflict dan kepuasan hidup. Artinya adalah bahwa

ketika pekerjaan mengganggu tanggung jawab keluarga, memutuskan hubungan

dari tugas-tugas terkait pekerjaan dapat menjadi sumber daya penting untuk

mengurangi efek konflik pada ketegangan psikologis.

Selanjutnya, ketika orang harus memenuhi tuntutan keluarga, maka kinerja

di tempat kerja dapat menurun dan dapat mengurangi tingkat kepuasan hidup

pegawai. Namun, ketika orang mampu memenuhi tuntutan keluarga mereka,

memutuskan hubungan dari pekerjaan bila perlu, maka tingkat kepuasan hidup

tidak berkurang.

Detasemen psikologis dari pekerjaan tidak memoderasi hubungan antara

work family conflict dan kepuasan hidup. Dalam kasus pertama mungkin ketika

pekerjaan mengganggu keluarga, sulit untuk memutuskan hubungan dari sumber

konflik, yang dapat menyebabkan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah

dalam jangka panjang. Dalam kasus kedua, penjelasan yang mungkin bisa terjadi

Universitas Sumatera Utara


207

adalah ketika keluarga mengganggu tugas-tugas terkait pekerjaan, meskipun

individu memutuskan hubungan dari pekerjaan, ada kemungkinan bahwa mereka

terus memikirkan masalah keluarga mereka, membuat lebih sulit untuk mengatasi

ketegangan psikologis.

Berdasarkan dua konsep yang sudah diuraikan diatas, penulis akan

mengaitkan dengan situasi yang tengah dialami oleh pegawai marketing

perempuan pada Bank BUMN. Pada dasarnya semua pegawai marketing

perempuan pernah mengalami work family conflict. Dampak yang diakibatkan

ketika pegawai mengalami work family conflict adalah bentuk perasaan ataupun

emosi negatif dan ketegangan psikologis. Konflik yang paling utama yang

dialami pegawai marketing adalah banyak waktu yang dihabiskan di tempat

bekerja telah mengurangi porsi waktu untuk keluarga.

Hal ini bisa terjadi karena pegawai marketing lebih banyak bekerja di luar

kantor, tidak terikat jam kerja, bahkan tidak jarang mengorbankan hari libur untuk

menemui konsumen. Banyaknya waktu yang dihabiskan pegawai marketing untuk

pekerjaan, membuat pegawai merasa kelelahan dan jenuh, hal ini sesuai dengan

yang dikemukakan oleh Judge et al, 2006. Efek kelelahan dan kejenuhan ini akan

terbawa ke dalam rumah, namun hasilnya akan berbeda jika keluarga memberikan

dukungan.

Dukungan keluarga dalam pekerjaan pegawai membuat efek perasaan

negatif menjadi berkurang, sehingga pegawai seperti mendapatkan energi baru

lagi untuk hari-hari berikutnya. Pernyataan berikutnya adalah dimana letak

hubungan antara work family conflict dengan employee engagement. Pernyataan

ini dapat dijelaskan dengan merujuk artikel dari Machei dan Schneider yang

Universitas Sumatera Utara


208

menjelaskan bahwa employee engagement adalah perasaan, hasrat, antusiasme,

energy, dan aktivasi pegawai yang melampaui batas pekerjaan normalnya.

Pegawai marketing yang mengalami work family conflict akan memiliki

perasaan dan emosi negatif terhadap dirinya sendiri, dan akan mengurangi hasrat,

antusiasme, dan energi dalam bekerja. Perlu ditegaskan bahwa ketika pegawai

marketing mengalami work family conflict, pegawai tersebut tetap dapat bekerja

secara normal. Namun tingkat antusiasme, hasrat dan energi untuk mendapat

target di atas standar akan menurun.

Bagi perusahaan, mendapatkan pegawai yang antusiasme dan hasratnya

dalam mencapai target menggebu-gebu adalah hal yang sangat berharga,

dibandingkan dengan pegawai yang hanya memiliki semangat kerja biasa-biasa

saja. Inilah yang kemudian menjadi alasan utama mengapa work family conflict

dapat menurunkan tingkat engagement pegawai marketing di Bank BUMN

6.3. Employee Engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Enjoyable Employee Experience

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terlihat enjoyable memainkan

peran dalam engagement. Employee engagement pegawai dikaitkan dengan

psikologi positif dan emosi seperti kebahagiaan, kegembiraan dan antusiasme.

Demikian juga, enjoyable dalam penelitian ini dianggap positif dan berhubungan

dengan kesenangan, keceriaan dan kebahagiaan. Baik enjoyable dan engagement

terkait dengan keceriaan dan emosi positif di tempat kerja. Enjoyable secara

sinonim diartikan dengan kesenangan tetapi tentunya pegawai di Bank mengalami

rasa enjoy ini melalui berbagai jenis hal positif di kantor.

Universitas Sumatera Utara


209

Employee enjoyable experience menunjukkan bahwa positive feeling

memungkinkan pegawai merasa enjoy dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Hal

ini menciptakan efek positif pada suasana hati pegawai yang kemudian akan

terbawa pada tugas atau pekerjaan pegawai. Fungsi enjoyable experience ini

membuat energy baru terhadap engagement pegawai dalam menyelesaikan

pekerjaan. Oleh karena itu, pengalaman yang menyenangkan dalam bekerja

mendorong engagement yang lebih besar pada pegawai. Menjalankan pekerjaan

sehari-hari yang didasari karena kesenangan membantu menciptakan keadaan

yang positif bagi pegawai.

Employee enjoyable experience menciptakan kenikmatan dan

persahabatan, dan dengan demikian engagement di tingkat tim, unit, atau

organisasi akan lebih baik lagi. Jenis engagement ini didapatkan melalui

pengembangan iklim atau budaya organisasi di Bank yang menghargai dan

mendorong terciptanya pengalaman pegawai yang menyenangkan. Tempat kerja

yang memungkinkan enjoyable experience untuk berkembang menciptakan

perasaan positif tentang tim atau organisasi yang memicu peningkatan

engagement organisasi.

Penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa kegembiraan memfasilitasi

keterhubungan dengan orang lain di tempat kerja, selain lingkungan yang aman

dan suportif, yang semuanya memfasilitasi keamanan psikologis (Rich et al.,

2010), menunjukkan bagaimana employee enjoyable experience berkontribusi

pada salah satu kunci engagement. Selanjutnya, hasil penelitian ini juga

menunjukkan bahwa employee engagement berpengaruh terhadap enjoyable,

karena memungkinkan pegawai marketing menikmati pekerjaannya.

Universitas Sumatera Utara


210

Employee engagement yang didasari dengan ketulusan hati membuat

pegawai dapat kembali menjalankan tugas dan mencurahkan perhatian penuh

mereka pada pekerjaan mereka dan dapat menghindari kejenuhan. Employee

engagement dikaitkan dengan emosi positif sehingga berdampak pada suasana

iklim positif di tempat kerja, oleh karena itu, memupuk kondisi pegawai yang

engage memberikan perasaan senang.

Employee engagement didefinisikan dalam istilah energi tinggi dan

kondisi psikologis positif. Employee enjoyable juga mencakup elemen-elemen

seperti itu yang menunjukkan tumpang tindih konseptual yang signifikan. Namun

belum ada penelitian yang secara khusus menyelidiki hubungan antara konsep-

konsep ini. Albrecht (2010) membuat penelitian yang berfokus pada 'memahami

psikologi atau merasakan pengalaman engagement dan secara khusus

menyarankan bahwa penelitian mengenai iklim organisasi, budaya organisasi dan

nilai-nilai organisasi dapat memperluas model employee engagement saat ini.

Bindl dan Parker (2010) mengklaim bahwa semakin banyak karyawan

menginternalisasi tempat kerja, semakin tinggi tingkat engagement pegawai.

Kesenangan adalah konsep yang telah diselidiki melalui kerangka budaya

dan nilai-nilai organisasi (Plester, 2009) dan kesenangan sering dikutip dan

dipromosikan sebagai nilai tempat kerja tertentu (Plester 2009). Apa yang kita

ketahui adalah bahwa untuk karyawan yang terlibat, pekerjaan aktual itu

menyenangkan (Schaufeli, Tarris dan Bakker dalam Bakker, 2010) dan

Gorgievski dan Bakker (2010 ) menyarankan bahwa gila kerja dan keterlibatan

kerja dibedakan terutama oleh pengaruh positif atau 'kesenangan' terkait dengan

keterlibatan.

Universitas Sumatera Utara


211

Oleh karena itu dalam literatur yang ada sudah ada beberapa hubungan

yang lewat dengan gagasan kesenangan dalam keterlibatan dan panggilan untuk

budaya yang lebih besar, iklim dan studi nilai-nilai yang menyenangkan

merupakan komponen penting.

Menurut (Owler et al., 2010) terdapat ambiguitas tentang persepsi

kesenangan sehingga persepsi kesenangan tidak boleh diselidiki sebagai 'konsep

kesatuan' - melainkan harus meninjaunya dari aspek multidimensi (Tews et al.,

2012). Organisasi secara kontras mendefinisikan kesenangan sebagai fenomena

yang terjadi secara alami antara anggota organisasi, dan gagasan bahwa

kesenangan dapat dengan sengaja dan bahkan secara taktis diatur oleh manajer

untuk memenuhi beberapa tujuan organisasi.

Kegembiraan yang diciptakan secara strategis tersebut mencakup kegiatan

seperti acara, pesta, permainan, berbagi makanan dan minuman, tamasya,

pertukaran hadiah dan kompetisi yang menyenangkan (Karl et al., 2008).

Meskipun tampak positif dan aspirasional, ketika organisasi berusaha untuk

menciptakan kegiatan atau acara yang menyenangkan di tempat kerja, kesenangan

yang dibuat-buat (dikelola) dapat mengakibatkan sinisme (Warren dan Fineman,

2007). Sebaliknya, kesenangan yang dihasilkan secara spontan oleh anggota

organisasi dan terjadi secara alami, sering dalam interaksi kecil seperti lelucon,

dan bahkan interaksi fisik (Lamm dan Meeks, 2009) biasanya lebih disukai karena

dianggap tidak dibuat-buat.

Perspektif berikutnya, muncul tentang kesenangan di tempat kerja

menunjukkan bahwa bagi beberapa anggota organisasi, kesenangan dialami dalam

tugas kerja yang sebenarnya (Plester et al., 2012). Konstruksi akhir kesenangan

Universitas Sumatera Utara


212

ini menunjukkan bahwa pekerjaan itu sendiri adalah bentuk kesenangan dan

beberapa tanggung jawab di tempat kerja adalah 'menyenangkan secara pribadi'

(Tews et al., 2012).

Konsepsi yang menyenangkan ini bertentangan dengan asumsi populer

yang menganggap kesenangan dan pekerjaan terpisah dan berbeda satu sama lain.

Penelitian terbaru (Tews et al., 2012 dan Plester et al., 2012) menantang dikotomi

tradisional antara tugas kerja dan kegiatan menyenangkan yang menunjukkan

bahwa bagi sebagian orang hal itu bisa adalah sama. Gagasan kesenangan yang

dialami dalam tugas-tugas kerja menunjukkan bahwa pengalaman menyenangkan

seperti itu membentuk apa yang oleh Czikszentmihalyi (1975) disebut aliran -

terkait dengan konsep engagement. Menurut (Fleugge, 2008) pengalaman

menyenangkan dianggap sebagai engagement experience jangka pendek

(Albrecht, 2010). Karena sangat sedikit (jika ada) penelitian yang mengeksplorasi

hubungan antara kesenangan dan engagement (Barbara dan Plester, 2016)

6.4. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Kinerja pegawai

Di era saat ini terjadi ledakan persaingan bagi organisasi untuk

mendapatkan tenaga kerja potensial. Sangat penting bagi organisasi untuk fokus

pada peningkatan kinerja pekerja agar dapat bertahan di pasar yang semakin

kompetitif. Pekerja dengan kinerja tinggi adalah pilar organisasi. Oleh karena itu

perusahaan menggunakan berbagai teknik dan strategi untuk meningkatkan

kemampuan karyawan mereka.

Dalam industri jasa termasuk sektor perbankan, kepuasan nasabah

biasanya tergantung pada kinerja pegawai. Menurut Rashid et al., (2015)

Universitas Sumatera Utara


213

menyoroti kinerja pegawai dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan untuk

meningkatkan kinerja karyawan, seperti pemberdayaan karyawan, keterlibatan

karyawan, self-efficacy karyawan dan berbagi pengetahuan karyawan. Ada

konsep lain yang paling penting, yang berkontribusi meningkatkan kinerja

karyawan seperti kesenangan di tempat kerja (Rashid et al., 2015)

Aktivitas yang menyenangkan tidak selalu merupakan tugas yang terkait

dengan pekerjaan, tetapi melibatkan aktivitas yang meningkatkan kinerja,

misalnya: bersosialisasi dengan rekan kerja, merayakan di tempat kerja dan

kebebasan pribadi (Fluegge, 2008). Hal senada juga dikemukakan oleh Cooper

(2008) menunjukkan kesenangan di tempat kerja sebagai peristiwa yang

menggembirakan, dapat membantu untuk menciptakan lingkungan kerja yang

positif dan meningkatkan kinerja karyawan.

Menurut penulis tentang bisnis, kesenangan di tempat kerja adalah penting

untuk meningkatkan motivasi dan produktivitas karyawan, mengurangi stres

(Patel dan Desai, 2013). Studi yang dilakukan oleh (Rashid et al., 2015) tentang

orang-orang yang bekerja di Universitas Pakistan berusaha untuk memuaskan

tenaga kerja mereka (dosen) karena, dosen secara langsung berdampak pada

keseluruhan kinerja universitas. Tanggung jawab dosen universitas meningkat

yaitu akademisi, tekanan untuk menerbitkan makalah penelitian, meningkatkan

beban kerja; restrukturisasi dan kontrak jangka pendek yang diyakini

menimbulkan banyak masalah (Dickson-Swift, 2009). Masalah-masalah ini tidak

hanya menyebabkan kualitas kerja karyawan yang rusak tetapi juga

mempengaruhi kinerja organisasi.

Universitas Sumatera Utara


214

Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kegembiraan di tempat kerja

berarti terlibat dalam kegiatan yang tidak secara spesifik terkait dengan pekerjaan

yang menyenangkan dan kesenangan di tempat kerja merupakan elemen kunci

untuk meningkatkan kinerja dan efektivitas organisasi. Konsep kesenangan di

tempat kerja dapat ditemukan dalam publikasi Patel dan Desai (2013).

Kesenangan di lingkungan kerja telah dipromosikan sebagai elemen kunci untuk

lingkungan produktif (Karl dan Peluchette, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa

bersenang-senang di tempat kerja dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja

(Morrison, 2012).

Bersenang-senang di tempat kerja bahkan dianggap sebagai faktor penting

untuk melepaskan masalah dan kekhawatiran kehidupan kerja sehari-hari.

Kegembiraan datang dengan keceriaan, kebahagiaan dan pekerja yang bahagia

adalah pekerja produktif. Karyawan harus produktif di tempat kerja mereka dan

kesenangan di tempat kerja menjadikan mereka pekerja produktif (Patel & Desai,

2013).

Head IT Application Development Bank Mandiri sependapat dengan hal

tersebut dimana pada Era digital industri 4.0 suasana kerja yang nyaman, kondusif

dan suportif dibutuhkan untuk mendukung terciptanya kolaborasi dalam

kebutuhan pengembangan solusi IT yang lebih agile (Majalah Mandiri, 2020). Di

dukung konsep open space, entertainment area, serta tata ruang meeting dengan

teknologi video conference, adanya Mandiri Digiclub diharapkan dapat

membangun employee engagement yang baik dan membawa tim project yang

bukan hanya super happy, namun juga super productive, sehingga dapat

mendeliver outcome solusi yang inovatif dan customer oriented.

Universitas Sumatera Utara


215

Ching (2010) mengidentifikasi dua kategori utama kesenangan di tempat

kerja seperti sifat nyata dan tidak berwujud dari kesenangan di tempat kerja.

Dalam kesenangan nyata, aktivitas menyenangkan yang memiliki keberadaan fisik

seperti permainan, dan lain-lain. Beberapa aktivitas yang khas di tempat kerja

seperti membawa makanan, memberikan penghargaan kepada staf yang

berprestasi, membentuk komite untuk beberapa kegiatan lucu. Sedangkan

kesenangan nyata, yang tidak memiliki keberadaan fisik, seperti lingkungan

tempat kerja yang ramah, perasaan sayang, dan hubungan yang baik terhadap

rekan kerja, bawahan dan atasan.

Sejumlah penelitian menunjukkan pengaruh positif kesenangan di tempat

kerja (Karl dan Peluchette, 2006) studi ini menemukan bahwa kesenangan di

tempat kerja mengarah pada kepuasan kerja yang lebih besar dan menunjukkan

hubungan yang kuat untuk individu. Ketika orang mengalami kesenangan di

tempat kerja, orang tersebut lebih termotivasi dan bersemangat.

Pegawai yang rukun memiliki kinerja yang lebih baik, memberikan

layanan pelanggan yang lebih baik, menghadapi lebih sedikit stres dan memiliki

lebih sedikit ketidakhadiran (Meyer, 1999). Kegiatan menyenangkan juga

memiliki dampak kuat pada produktivitas dan sikap individu dan kelompok (Tews

et al., 2012).

Bersenang-senang di tempat kerja kondusif untuk produktivitas

(McDowell, 2005). Beberapa orang merasa bahwa kesenangan di tempat kerja

merusak reputasi organisasi, sementara di sisi lain karyawan merasa bahwa

kesenangan di tempat kerja meningkatkan moral dan produktivitas karyawan

(Patel & Desai, 2013). Menyenangkan di tempat kerja meningkatkan kepuasan

Universitas Sumatera Utara


216

kerja tetapi itu tergantung pada preferensi individu atau sikap terhadap

kesenangan, karyawan yang memiliki sikap positif terhadap kesenangan di tempat

kerja memiliki hubungan yang kuat antara kesenangan di tempat kerja dan

kepuasan kerja (Ying, 2010).

Staf menganggap kesenangan di tempat kerja sebagai istirahat di hari kerja

mereka; menghilangkan stres, yang juga memberi mereka kesempatan untuk

merawat diri mereka sendiri, mereka berpikir bahwa kesenangan di tempat kerja

memberi mereka alasan lain untuk berada di tempat kerja (Owler & Morrison,

2012). Menurut Karl dan Harland (2005) mayoritas pekerja lebih suka kegiatan

sosial yang menyenangkan seperti kegiatan perusahaan dan kegiatan sosial

lainnya, mereka juga berpendapat bahwa individu dengan sikap positif terhadap

kesenangan di tempat kerja lebih produktif daripada individu yang memiliki sikap

negatif terhadap kesenangan di tempat kerja.

Menurut Fluegge (2008) dan McDowell (2005) membahas dimensi

kesenangan di tempat kerja seperti, membuat perayaan di tempat kerja, kebebasan

pribadi, bersosialisasi dengan rekan kerja dan kegiatan menyenangkan global

lainnya. Bersosialisasi adalah tanda interaksi yang menyenangkan dengan rekan

kerja, merayakan mencerminkan kegiatan menyenangkan formal, kebebasan

pribadi berarti memiliki kebebasan untuk bersenang-senang di tempat kerja seperti

aturan berpakaian informal, kesenangan global mencakup apakah kesenangan di

tempat kerja secara umum adalah tempat yang menyenangkan untuk bekerja.

6.5. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Need for Achievement

Penelitian ini menghubungkan garis variabel Enjoyable Employee

Universitas Sumatera Utara


217

Experience terhadap Need for Achievement dan hasilnya adalah positif dan

signifikan. Hal tersebut menunjukkan terdapat pengaruh yang positif dan linear

antara Enjoyable Employee Experience dan Need for Achievement. Meskipun

belum ada satupun penelitian yang secara spesifik meneliti tentang kedua

hubungan ini, penulis akan menguraikan kerterhubungan dua variabel ini dengan

merujuk pada penelitian terdahulu yang mendekati atau yang mengaitkan antara

achievement dengan perasaan positif (emosi positif) pegawai.

Hasil Penelitian (Eisenberger et al., 2005) mengungkapkan bahwa terdapat

pengaruh positif antara suasana hati pegawai terhadap hasil organisasi. Mood

yang positif terkait dengan peningkatan kinerja dan extra role pegawai. Suasana

hati yang positif mendorong pegawai untuk memikirkan rekan kerja yang

mengarah pada perilaku membantu/menolong.

Eisenberger juga berpendapat bahwa suasana hati yang positif dapat

mendorong pemikiran kreatif, yang mengarah ke saran kreatif. Suasana hati

positif meningkatkan berbagai extra role pegawai, termasuk membantu rekan

kerja dan membuat saran kreatif. Perilaku extra role yang dilakukan secara

sukarela dan membantu organisasi, disebut spontanitas organisasi, termasuk

membuat saran konstruktif, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan,

membantu organisasi, melindungi organisasi dari potensi masalah, dan membantu

rekan kerja.

Pegawai yang mengalami kombinasi keterampilan tinggi dan tantangan di

tempat kerja dapat melampaui tanggung jawab pekerjaan tertentu untuk

berkontribusi pada keberhasilan organisasi dari peningkatan mood positif . Seperti

disebutkan sebelumnya, hubungan keterampilan tinggi dan tantangan dengan

Universitas Sumatera Utara


218

suasana hati positif harus sangat kuat untuk karyawan yang membutuhkan prestasi

tinggi karena tugas yang sulit memungkinkan karyawan untuk memenuhi dan

melampaui standar keunggulan pribadi. Akibatnya, suasana hati yang positif dapat

memediasi pengaruh interaktif keterampilan / tantangan dan orientasi pencapaian

pada spontanitas organisasi.

Penelitian ini mengukur need for achievement berdasarkan indikator:

hasrat untuk mempengaruhi (hasrat untuk menjadi orang berpengaruh terhadap

pegawai lain), selalu ingin unggul, keinginan yang kuat dalam membina hubungan

baik dengan pegawai lain, upaya keras untuk mempertahankan hubungan baik

dengan perusahaan dan upaya keras untuk menciptakan hubungan saling

menguntungkan terhadap organisasi. Untuk mendapatkan semua itu pegawai

tidak jarang mengalami gejala-gejala seperti kelelahan, lesu, kehilangan minat,

kehilangan motivasi, kehilangan kesenangan, dan keraguan yang dapat

menyebabkan pegawai kurang aktif dan ini sering membuat segala sesuatu

menjadi lebih buruk.

Menurut Centre for Clinical Interventions karena kurangnya motivasi,

orang yang mengalami kelelahan emosi mungkin mulai mengabaikan tugas dan

tanggung jawab sehari-hari baik di tempat bekerja atau di rumah. Dengan

demikian, ketika pegawai yang depresi berpikir tentang hal-hal yang harus

dilakukan, pegawai mungkin merasa kewalahan oleh tumpukan hal-hal yang

dimiliki dan akhirnya akan menunda melakukan pekerjaan. Hal ini dapat

mengakibatkan pegawai merasa bersalah atau berpikir bahwa mereka tidak

efektif atau bahkan gagal.

Universitas Sumatera Utara


219

Salah satu cara untuk mengatasi kejenuhan di tempat kerja dengan

meningkatkan tingkat aktivitas dengan banyak kegiatan menyenangkan, maka

semakin baik perasaan pegawai membuat pegawai lebih aktif untuk menunjukkan

keunggulannya. Sangat logis untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan yang

akan berdampak membuat diri pegawai merasa lebih baik, tetapi hal ini bukan

satu-satunya kegiatan yang akan membantu menghasilkan perasaan positif.

Emosi negatif yang dirasakan oleh pegawai bukan hanya tentang merasa

sedih - ada banyak perasaan lain yang terlibat juga, seperti keputusasaan dan rasa

bersalah. Jadi, logis bagi perusahaan untuk melakukan hal-hal yang menghasilkan

pengalaman yang menyenangkan bagi pegawai, sehingga muncul perasaan positif

lainnya, seperti prestasi dan keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan.

Pegawai tentunya merencanakan hal-hal yang harus dilakukan sendiri,

maka penting untuk diingat untuk bagaimana pimpinan seharusnya dapat

membuat kegiatan, yang memiliki potensi untuk memberi pegawai pengalaman

yang menyenangkan dan perasaan positif lainnya. Misalnya, pegawai yang selalu

ingin unggul akan memiliki rasa senang dapat mencapai target marketingnya, dan

itu merupakan pencapaian dari need for achievement. Pencapaian sama

pentingnya dengan mendapatkan sesuatu kesenangan, dan untuk itu diharapkan

pegawai mendapatkan enjoyable experience lebih banyak lagi di perusahaan.

6.6. Need for Achievement berpengaruh negatif namun tidak signifikan

terhadap kinerja pegawai

Hipotesis penelitian ini yang menunjukkan bahwa N ach berpengaruh

negatif namun tidak signifikan terhadap kinerja pegawai sesuai dengan penelitian

yang dilakukan oleh (Smith et al., 1992). Dalam penelitian ini yang melibatkan

Universitas Sumatera Utara


220

pegawai marketing di Bank BUMN dengan banyaknya butir pertanyaan, faktor

internal bisa saja mempengaruhi hasil jawaban dari responden.

Ketidaksignifikanan ini bukan berarti menunjukkan bahwa N ach tidak

berdampak pada kinerja. Namun ini menunjukkan bahwa pada pegawai

marketing Bank BUMN faktor lain selain N ach lebih dibutuhkan untuk

peningkatan kinerja misalnya enjoyable, dan employee engagement

McClelland dan Atkinson menemukan bahwa orang-orang yang berada

dalam kondisi dengan isyarat prestasi tinggi menunjukkan n Ach lebih tinggi

daripada mereka yang berada dalam kondisi netral, meskipun temuannya tidak

signifikan (Smith et al.,1992). Salah satu jenis variabel yang mempengaruhi hal

ini adalah situasi internal saat pengujian. Misalnya, sangat mungkin terjadi

tekanan waktu, informasi yang berlebihan, gangguan, dan beberapa status subjek

(mis., kondisi motivasi yang sedang menurun, kelelahan atau penyakit yang tidak

memadai) akan mengurangi skor.

Penulis membuat Nach pada penelitian ini diukur dengan indikator hasrat

ingin memimpin dan hasrat ingin selalu lebih unggul dari orang lain. Namun

ternyata motif ini dianggap sebagai hal yang cenderung negatif oleh pegawai

marketing. Motif pencapaian ini dilihat oleh pegawai sebagai alat untuk

pencapaian ambisius pribadi. Oleh karena itu, pegawai percaya bahwa mereka

harus bekerja secara engage agar memiliki kinerja tinggi.

Need for Achievement (n Ach) adalah tingkat keinginan terhadap prestasi;

keinginan ini diciptakan oleh apa yang disebut pencitraan prestasi (Bosse, 2015).

Pencitraan prestasi adalah cara dimana sikap terhadap prestasi digambarkan dalam

kehidupan sehari-hari, dalam cerita, gambar dan video. Seseorang yang dikelilingi

Universitas Sumatera Utara


221

oleh dan dibesarkan di sekitar pekerjaan yang memotivasi dan penuh prestasi,

lebih cenderung mengekspresikan tinggi n Ach. Misalnya orang yang berpikir

perlu melakukan kerja keras agar bisa berhasil pasti akan melakukan kerja keras.

Pegawai dengan prestasi tinggi cenderung memiliki keinginan untuk

berhasil dengan standar yang melampaui keunggulan rekan-rekannya dan

antusiasme dengan tugas. Pegawai marketing lebih memilih untuk memiliki

motivasi berprestasi tinggi, dan menghadapi tugas-tugas yang cukup sulit, karena

mereka ingin meningkatkan kemampuan diri mereka sendiri dan memiliki peluang

lebih baik untuk berhasil dengan standar keunggulan yang tinggi, ketimbang

ambisi dan pencitraan prestasi untuk mempengaruhi pegawai lainnya dan bagi

pegawai marketing pencitraan ini adalah sebuah kondisi pamer yang berkonotasi

negatif.

Hal lainnya yang menyebabkan ketidaksignifkanan pada penelitian ini

adalah, lingkungan yang berbeda memiliki tingkat n Ach yang berbeda, mengingat

Bank BUMN dalam penelitian ini masing-masing memiliki karakteristik

lingkungan yang berbeda pula. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian

McClelland.

McClelland melakukan studi longitudinal menilai tingkat n Ach pada

siswa tahun kedua dan menemukan n Ach tinggi di pekerjaan wirausaha

dibandingkan dengan n Ach rendah yang ditemukan dipekerjaan non-

kewirausahaan. Mc Clelland menyebutkan bahwa orang-orang dengan prestasi

tinggi cenderung dalam profesi yang mengharuskan mereka untuk mengambil

inisiatif dan risiko dalam keseharian mereka.

Universitas Sumatera Utara


222

Berdasarkan tulisan Mc Clelland dalam hal ini, penulis menyatakan bahwa

bekerja di Bank BUMN sebagai pegawai marketing tidak sarat dengan resiko,

karena pegawai masih memiliki atasan dalam pengambilan keputusan. Berbeda

dengan wirausaha yang pekerjaan mereka akan sarat dengan resiko. Untuk itu

maka, prediktor N ach pada pegawai marketing lebih rendah dibandingkan dengan

predictor kinerja lainnya di Bank BUMN.

Tinggi atau rendah n Ach telah diketahui memengaruhi cara-cara

seseorang menciptakan dan menyelesaikan tujuan dan karenanya memengaruhi

kinerja secara keseluruhan. Namun perlu diingat bahwa tujuan pegawai yang

berbeda dikarenakan kebutuhan motivasi yang berbeda yang dimiliki pegawai,

dan satu motivasi berbeda yang dimiliki seseorang dapat memicu jenis motivasi

berbeda lainnya

Kecenderungan yang terjadi di Bank BUMN adalah pegawai dengan

prestasi tinggi akan memiliki sikap dan kinerja yang lebih baik dalam pekerjaan

karena pegawai yang berprestasi tidak akan menyukai bidang yang menantang

dan akan memotivasi pegawai. Ketidaksignifikanan n Ach pada hipotesis ini

bukan berarti pegawai tidak memandang kinerja sebagai hal yang diperlukan

untuk kepuasan kerja. Namun pegawai marketing lebih ingin untuk memiliki

kebebasan untuk meningkatkan prestasi di bidangnya, dan lebih cenderung untuk

meningkatkan kinerjanya dengan menemukan peluang dan cara-cara baru.

6.7. Enjoyable Employee Experience berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap kinerja pegawai yang dimoderasi Leader Passionate Performance

Sebelum menjelaskan tentang hasil hipotesis ini, maka penulis akan

menguraikan terlebih dahulu hasil penelitian sebelum dimasukkan efek moderasi

Universitas Sumatera Utara


223

yakni Leader Passionate Performance. Hasil penelitian pada hipotesis 6.5

menunjukkan nilai yang positif dan signifikan antara enjoyable employee

experience terhadap kinerja. Pertama hasil penelitian statistik dengan

menggunakan CFA didapatkan bahwa indikator present of energy memiliki nilai

loading faktor terbesar pada Enjoyable Employee Experience. Maknanya adalah

semangat pegawai marketing ketika berada di divisinya menjadi hal utama dalam

membuat pengalaman menyenangkan bagi pegawai marketing.

Kedua hasil penelitian dengan menggunakan outer model untuk menjawab

hipotesis, ditemukan bahwa enjoyable employee experience memberikan

pengaruh yang positif dan siginifikan terhadap kinerja pegawai marketing.

Artinya adalah jika semakin tinggi enjoyable employee experience maka kinerja

pegawai akan semakin tinggi pula, begitu juga sebaliknya. Berarti terbukti secara

statistik bahwa enjoyable employee experience marketing pegawai Bank BUMN

memberikan dampak yang nyata terhadap kinerja pegawai marketing Bank

BUMN di Kota Medan.

Kemudian penyelidikan berikutnya penulis memasukkan efek moderasi

variabel leader passionate performance untuk menganalisis, apakah setelah

variabel moderasi leader passionate performance dimasukkan hasilnya akan tetap

memberikan dampak positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Ternyata

hasil analisis menunjukkan sebaliknya, bahwa ketika variabel leader passionate

performance dimasukkan sebagai moderasi antara enjoyable terhadap kinerja

pegawai hasilnya menjadi negatif dan signifikan. Artinya bahwa dukungan leader

untuk membuat pengalaman kerja yang menyenangkan bagi pegawai marketing

BUMN akan menurunkan kinerja pegawai marketing.

Universitas Sumatera Utara


224

Maka sebelum dilakukan penjelasan lebih mendalam lagi perlu diketahui

nilai faktor terbesar dari masing-masing variabel tersebut. Leader passionate

performance nilai faktor terbesar adalah improve continuously, employee

enjoyable experience nilai faktor terbesar adalah present of energy dan nilai

terbesar dari kinerja pegawai adalah bertanggung jawab terhadap tugas. Untuk

keperluan tersebut maka penulis melakukan analisis dengan merujuk pada

penelitian lain dengan variabel kesenangan sebagai eksogen dan variabel

eksogennya adalah selain kinerja.

Merujuk pada penelitian terdahulu Karl dan rekannya mempelajari

hubungan antara pengalaman yang menyenangkan dan sikap karyawan. Karl et

al., (2005) menemukan bahwa sikap karyawan mengenai penyesuaian diri

merupakan konsekuensi dari pekerjaan yang menyenangkan.

Lingkungan secara positif terkait dengan kepercayaan pada leader dan

rekan kerja, yang menunjukkan bahwa membangun hubungan saling percaya bisa

menjadi prasyarat untuk mendapatkan enjoyable experience di tempat kerja.

Dalam penelitian lain, Peluchette dan Karl (2005) menemukan bahwa sikap positif

mengenai kesesuaian, dan konsekuensi kesenangan di tempat kerja secara positif

terkait dengan kepuasan kerja.

Karl dan Peluchette (2006) menemukan bahwa mengalami kesenangan di

tempat kerja memiliki hubungan negatif antara kelelahan emosional dan kepuasan

kerja, dan Karl et al., (2007) menemukan bahwa pengalaman yang menyenangkan

berhubungan negatif dengan kelelahan emosional dan disonansi emosional terkait

dengan kepuasan kerja. Karl dan Peluchette (2006) juga menemukan bahwa

pengalaman yang menyenangkan berhubungan positif dengan kepuasan kerja,

Universitas Sumatera Utara


225

terutama bagi mereka yang menempatkan nilai tinggi pada kesenangan di tempat

kerja.

Selain itu, penulis terdahulu juga menemukan bahwa karyawan yang puas

merasa bahwa mereka memberikan kualitas layanan yang lebih baik kepada

pelanggan. Terakhir, Karl et al., (2008) menemukan bahwa sikap positif terhadap

kesenangan yang dialami berhubungan positif dengan kepuasan kerja dan

berhubungan negatif dengan niat berpindah. Penelitian lain telah menguji

kesenangan di tempat kerja sebagai konstruksi multidimensi (McDowell, 2004).

Menggabungkan dimensi-dimensi ini ke dalam ukuran keseluruhan, menunjukkan

bahwa kesenangan di tempat kerja secara signifikan terkait dengan kepuasan

kerja, komitmen organisasi dan niat berpindah.

Dalam penelitian lain, yang meneliti dimensi yang sama, Fluegge (2008)

menemukan bahwa kesenangan di tempat kerja memiliki hubungan positif dengan

kinerja pekerjaan, termasuk kinerja tugas, kinerja kreatif, dan perilaku kewargaan

organisasional (OCB). Selain itu Fluegge menunjukkan bahwa hubungan antara

kesenangan di tempat kerja dan kinerja tugas dimediasi oleh pengaruh positif

karyawan dan bahwa hubungan antara kesenangan di tempat kerja dan kinerja

kreatif dimediasi oleh keterlibatan kerja. Namun, tidak ada pengaruh positif atau

keterlibatan kerja yang memediasi hubungan antara kesenangan di tempat kerja

dan OCB.

Meskipun kedua studi ini memberikan bukti awal tentang pentingnya

berbagai dimensi kesenangan di tempat kerja, namun studi tersebut tidak

menentukan aspek kesenangan mana yang paling dominan di dunia kerja, hal

tersebut dikarenakan semua dimensi digabungkan menjadi satu ukuran. Untuk

Universitas Sumatera Utara


226

menentukan kepentingan relatif dari berbagai aspek kesenangan di tempat kerja,

Tews dan rekannya melakukan beberapa penelitian yang berfokus pada

kepentingan relatif dari berbagai aspek kesenangan di tempat kerja. Hasilnya

menunjukkan bahwa kesenangan di tempat kerja adalah prediktor yang lebih kuat

daripada kompensasi dan peluang untuk maju, sementara rekan kerja dan

tanggung jawab pekerjaan yang menyenangkan adalah prediktor yang lebih kuat

dari daya tarik pelamar daripada kegiatan yang menyenangkan.

Tews et al., (2013) meneliti dampak kegiatan yang menyenangkan dan

dukungan manajer untuk kesenangan pada kinerja karyawan dan pergantian

karyawan dengan sampel pelayan restoran. Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa kegiatan yang menyenangkan berhubungan positif dengan kinerja dan

dukungan manajer untuk bersenang-senang berhubungan negatif dengan turn

over, sehingga meningkatkan retensi. Namun, dukungan manajer untuk

bersenang-senang berdampak buruk pada kinerja. Para penulis berspekulasi

bahwa dukungan manajer untuk bersenang-senang dapat menyebabkan kinerja

yang lebih rendah karena kerja karyawan mungkin diizinkan untuk "mengendur."

Tews et al., (2014) meneliti hubungan antara tiga bentuk kesenangan di tempat

kerja pada omset — aktivitas menyenangkan, rekan kerja, dan dukungan manajer

untuk bersenang-senang dengan sampel lain dari server restoran. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa sosialisasi rekan kerja dan dukungan manajer untuk

bersenang-senang secara signifikan terkait dengan turnover, dan bahwa

keterikatan konstituen memediasi hubungan antara masing-masing dari tiga

bentuk kesenangan di tempat kerja dan turn over.

Universitas Sumatera Utara


227

Dengan sampel Millennial yang bekerja penuh waktu yang dipekerjakan di

organisasi yang berbeda, Tews et al., (2015) menemukan bahwa kesenangan akan

tanggung jawab pekerjaan adalah prediktor yang paling dominan, berikutnya

adalah peluang karir yang dirasakan, pujian dan hadiah, dukungan manajer untuk

kesenangan, rekan kerja, dan kegiatan menyenangkan.

Akhirnya, dengan sampel pegawai restoran Tews et al., (2017)

menunjukkan bahwa kegiatan yang menyenangkan terkait dengan pembelajaran

informal, tetapi tidak untuk dukungan manajer. Namun, dukungan manajer untuk

bersenang-senang secara positif terkait dengan sub-dimensi pembelajaran

informal, belajar dari diri sendiri. Selanjutnya, kegiatan yang menyenangkan

berhubungan positif dengan sub-dimensi belajar dari orang lain dan belajar dari

non-interpersonal.

Merujuk pada penelitian terdahulu maka hasil penelitian yang dilakukan

oleh penulis sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tews et al., (2013,

2017) bahwa dukungan manajer untuk kesenangan memberikan efek negatif

terhadap kinerja pegawai. Meskipun dalam hal ini Tews et al., tidak menjadikan

leader sebagai variabel pemoderasi. Menurut Tews et al., efek negatif tersebut

dikarenakan atasan yang memberikan banyak kesenangan bagi pegawai akan

menimbulkan keseriusan kerja karyawan restoran mengendur sehingga kinerja

karyawan akan menurun.

Hal yang sama dari yang ditemukan oleh penulis adalah ketika leader

memberikan lebih banyak lagi pengalaman yang menyenangkan bagi pegawai

akan berdampak negatif terhadap kinerja pegawai Bank. Dalam penelitian ini

Universitas Sumatera Utara


228

penulis akan menguraikan satu persatu alasan tersebut dengan menganalisis dari

butir pernyataan yang telah diberikan pegawai.

Pada pernyataan rasa nyaman bekerja, hasil kuesioner menunjukkan

pegawai marketing hampir seluruhnya nyaman terhadap pekerjaannya. Apabila

rasa nyaman ini terus ditambah oleh leader akan membuat pegawai marketing

menjadi terlena dalam pekerjaan sehingga dikhawatirkan pegawai sulit untuk

menghadapi tantangan baru. Pernyataan selanjutnya adalah perasaan dibutuhkan

di tempat kerja, pegawai yang merasa dibutuhkan di tempat kerja tentunya akan

membuat emosi positif bagi pegawai tersebut sehingga memunculkan rasa percaya

diri terhadap perusahaan. Namun apa jadinya jika leader terus menerus

menyatakan kepada pegawai, bahwa pegawai tersebut sangat dibutuhkan di divisi

marketing. Dampaknya adalah pegawai akan mengalami over confidence berfikir

bahwa tanpa dirinya divisi marketing tidak akan mampu mencapai target.

Over confidence yang dialami pegawai tersebut akan berakibat pegawai

berfikir bahwa pegawai tersebut tidak akan diberikan sanksi meskipun melakukan

kesalahan karena pegawai merasa sangat dibutuhkan di perusahaan, sehingga

pegawai akan bekerja tidak optimal dan berdampak buruk bagi kinerja pegawai.

Pernyataan lainnya yang ditanyakan kepada pegawai adalah tentang keharmonisan

dengan atasan dan rekan kerja.

Keharmonisan dengan atasan dan rekan kerja akan berdampak positif jika

keharmonisan itu diberlakukan oleh atasan sesuai dengan porsinya. Hasil dari

penelitian ini tentulah sangat umum, karena dalam organisasi, karyawan bekerja

sama untuk mencapai tujuan dan visi bersama seperti yang dipetakan oleh

manajemen, namun yang penting untuk diperhatikan oleh leader adalah secara

Universitas Sumatera Utara


229

bersamaan keharmonisan para pegawai bukan diartikan pegawai tidak bersaing

untuk sumber daya yang terbatas (misalnya, kenaikan gaji, pengakuan,

popularitas, promosi, posisi dan lain-lain.)

Keharmonisan dalam penelitian ini adalah kedamaian dan keselarasan

antara pegawai dan atasan. Namun leader tetap harus menciptkan iklim kompetisi

pada sesama pegawai. Oleh karena itu leader harus menemukan cara untuk

menekan dorongan kompetitif yang berbahaya di antara pegawai marketing.

Leader harus lebih menekankan pada pendidikan karyawan pada aspek daya saing

yang sehat dengan memberikan landasan yang setara bagi pegawai. Dengan kata

lain, leader harus menindak tegas pada segala bentuk persaingan tidak sehat

karena dampak negatif jangka panjang dan jangka pendeknya akan merugikan

bagi perusahaan. Di sisi lain keharmonisan yang berlebihan dari atasan terhadap

dirinya dan pegawai mengakibatkan, pegawai akan memiliki perasaan bahwa

atasannya adalah temannya, sehingga akan membuat pegawai terkadang

mengacuhkan perintah atasan.

6.8. WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja pegawai

Hipotesis pada penelitian ini tentang pernyataan apakah work family

conflict dapat memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kinerja

pegawai Bank BUMN. Didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu dimana

Ashfaq et al. (2013) melaporkan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh

konflik kehidupan kerja dan kelebihan beban kerja di sektor perbankan. Penelitian

tersebut menyebutkan bahwa secara umum di negara-negara berkembang, ada dua

variabel (yaitu konflik antara kehidupan kerja dan kelebihan pekerjaan) yang

Universitas Sumatera Utara


230

terhubung dengan pekerjaan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap

kinerja karyawan (Ashfaq et al., 2013).

Indonesia mengalami pertumbuhan populasi usia kerja yang signifikan di

mana 30% dari 53 juta tenaga kerja adalah wanita (Kementerian Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, 2014). Data ini mengungkapkan setidaknya dua sisi, pertama,

wanita menunjukkan perkembangan ekonomi yang positif; dan kedua, saat ini

wanita aktif terlibat dalam dunia kerja baik untuk mengejar karir pribadi atau

untuk mendukung kesejahteraan keluarga. Situasi ini juga menunjukkan

peningkatan jumlah wanita pekerja.

Mereka adalah wanita karier independen di tempat kerja dan istri / ibu

yang bertanggung jawab aktif di keluarga mereka. Sayangnya fenomena dunia

kerja saat ini menghasilkan konflik keseimbangan peran dan tanggung jawab

sebagai wanita karir dan istri / ibu (Karatepe dan Kilic, 2007). Ada dua jenis

konflik, pertama konflik pekerjaan-keluarga (WFC) dan yang kedua konflik

keluarga-pekerjan. Kedua konflik ini di Indonesia sedang mengalami kenaikan,

akibat pertumbuhan populasi usia kerja yang signifikan di mana 30% dari 53 juta

angkatan kerja adalah perempuan (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,

2014).

Work family conflict terjadi begitu saja ketika seseorang tidak dapat

menyeimbangkan dan mengatur waktu atau energinya untuk memenuhi peran dan

tanggung jawabnya. Fenomena itu sering memengaruhi pertimbangan atau

keputusan perekrutan, menimbulkan keraguan akan kemampuan

menyeimbangkan peran, dan memicu prasangka pada kinerja pekerjaan seseorang,

kemungkinan turnover intention, dan kepuasan pekerjaan.

Universitas Sumatera Utara


231

Meningkatnya konflik yang terjadi di tempat kerja atau di keluarga, secara

logis, akan mengurangi konsentrasi pikiran, memicu stres, depresi, ketidakpuasan,

dan bahkan pekerjaan yang berkinerja buruk, dan kemungkinan besar mendorong

untuk berubah dan pindah ke pekerjaan lain. Ini mengungkapkan bahwa

menangani dan mengelola secara efektif konflik ini dibutuhkan pengembangan

sumber daya manusia yang penting dan strategis

Kondisi yang dialami pegawai marketing di Bank BUMN terkait work

family conflict adalah kelebihan pekerjaan juga terkait dengan jam kerja yang

panjang yang membutuhkan tingkat energi yang tinggi. Situasi ini terkait dengan

permintaan pekerjaan yang melebihi tugas normal namun waktu yang diberikan

sangatlah terbatas. Hal ini tentunya berkaitan dengan permintaan dari perusahaan

yang menuntut kerja keras dan cepat, dan banyak hal lainnya, pada akhirnya; hal

itu akan mendorong reaksi yang tidak menguntungkan, seperti stres,

keterlambatan, perilaku yang tidak fokus, dan ketidakpuasan (Boyar et al., 2005).

Sebelum menjawab secara lanjut hasil hipotesis penelitian ini, penulis

akan lebih dulu menjelaskan konteks ketidakpuasan pegawai akibat kelebihan

pekerjaan yang kemudian memicu penurunan kinerja. Konteks ini ialah keadaan

emosional yang tidak menyenangkan yang dihasilkan dari penilaian masing-

masing pegawai terhadap pekerjaan nya. Work family conflict yang dialami oleh

pegawai berupa kelebihan beban kerja dan waktu kerja, membuat peran pegawai

menjadi tidak kompatibel dalam keluarganya dan muncul perasaan bersalah

(perasaan yang tidak menyenangkan). Perasaan negatif ini kemudian berdampak

penurunan kinerja.

Universitas Sumatera Utara


232

Perlu digaris bawahi bahwa sesuai dengan yang dinyatakan oleh

Sonenntag dan Frese, 2001 bahwa kinerja adalah konsep multi-dimensi. Pada

tingkat paling dasar, kinerja dibedakan atas kinerja tugas dan kinerja kontekstual.

Kinerja tugas mengacu pada kemampuan individu yang dengannya individu

tersebut melakukan kegiatan yang berkontribusi pada 'inti teknis' organisasi.

Kontribusi ini dapat bersifat langsung (mis., Dalam kasus pekerja

produksi), atau tidak langsung (mis., Dalam kasus manajer atau personel staf).

Kinerja kontekstual mengacu pada kegiatan yang tidak berkontribusi inti teknis

tetapi yang mendukung lingkungan organisasi, sosial, dan psikologis dimana

tujuan organisasi akan tercapai. Kinerja kontekstual mencakup tidak hanya

perilaku seperti membantu rekan kerja atau menjadi anggota organisasi yang

dapat diandalkan, tetapi juga membuat saran tentang cara meningkatkan prosedur

kerja.

Tiga asumsi dasar dikaitkan dengan diferensiasi antara tugas dan kinerja

kontekstual :

(1) Kegiatan yang relevan untuk kinerja tugas bervariasi di antara pekerjaan

sedangkan kegiatan kinerja kontekstual relatif sama di seluruh pekerjaan;

(2) Kinerja tugas terkait dengan kemampuan, sedangkan kinerja kontekstual

terkait dengan kepribadian dan motivasi;

(3) Kinerja tugas lebih ditentukan dan merupakan perilaku dalam peran,

sedangkan kinerja kontekstual lebih diskresioner dan ekstra-peran.

Terdapat lima faktor yang merujuk pada kinerja tugas: (1) kemahiran tugas

khusus pekerjaan, (2) kemahiran tugas yang tidak spesifik untuk pekerjaan, (3)

Universitas Sumatera Utara


233

kemahiran komunikasi tertulis dan lisan, (4) pengawasan-dalam hal posisi

pengawas atau kepemimpinan (5) manajemen / administrasi.

Masing-masing faktor ini terdiri dari sejumlah subfaktor yang mungkin

berbeda di antara berbagai pekerjaan. Misalnya, faktor manajemen / administrasi

terdiri dari subdimensi seperti (1) perencanaan dan pengorganisasian, (2)

membimbing, mengarahkan, dan memotivasi bawahan dan memberikan umpan

balik, (3) melatih, dan mengembangkan bawahan, (4) komunikasi secara efektif

dan membuat orang lain mendapat informasi

Kinerja tugas dan kinerja kontekstual dapat dengan mudah dibedakan pada

tingkat konseptual. Selain itu kinerja tugas dan faktor kinerja kontekstual seperti

dedikasi kerja dan fasilitasi antarpribadi berkontribusi secara unik untuk kinerja

keseluruhan dalam pekerjaan manajerial. Selain itu, kinerja kontekstual diprediksi

oleh variabel individu lainnya, tidak hanya kinerja tugas, kemampuan dan

keterampilan cenderung untuk memprediksi kinerja tugas sementara kepribadian

dan faktor-faktor terkait cenderung untuk memprediksi kinerja kontekstual.

Namun, aspek spesifik dari kinerja kontekstual seperti inisiatif pribadi telah

terbukti diprediksi kemampuan individu dan faktor motivasi.

Merujuk pada tulisan Sonenntag dan Frese, 2001, penulis menguraikan

tentang penurunan kinerja pegawai yang diakibatkan oleh konflik dengan

menggunakan multi dimensi berupa customer orientation, execution focused,

result orientation dan professional mindset. Penurunan kinerja dalam kasus ini

tidak serta merta menurunkan semua dimensi kinerja pegawai. Kinerja yang

paling menurun ketika dihadapkan oleh konflik adalah penurunan inisiatif dalam

Universitas Sumatera Utara


234

penyelesaian masalah, kurang fokusnya terhadap kebutuhan pelanggan dan

kekeliruan dalam pembuatan perencanaan sumber daya untuk pencapaian target.

6.9. WFC berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai

melalui Employee Engagement dan Enjoyable Employee Experience

Hipotesis ini menunjukkan bahwa work family conflict terhadap kinerja

pegawai dengan dua varibel intervening yakni employee engagement dan

enjoyable employee experience. Dua varibel intervening tersebut memberikan

efek yang berbeda terhadap kinerja pegawai. Sebelum memasukkan intervening

variabel, work family conflict memiliki pengaruh yang negatif terhadap kinerja

pegawai. Namun setelah variabel intervening dimasukkan efeknya menjadi

positif dan signifikan.

Hasil yang didapati sebelum menggunakan intervening dan sesudah

menggunakan intervening, tidak hanya berbanding terbalik, namun kedua-duanya

juga signifikan. Untuk itu penting bagi penulis menguraikan ini satu persatu.

Penulis memberikan penjelasan tentang hal ini dengan terlebih dahulu, merujuk

kembali pada pengaruh langsung.

Pertama secara langsung work family conflict memberikan pengaruh yang

negatif terhadap kinerja pegawai. Hal ini terjadi akibat adanya kelebihan beban

pekerjaan dan durasi waktu yang lebih panjang, sehingga menurunkan kinerja

pegawai baik secara task performance maupun conceptual performance. Kedua

secara langsung work family conflict memberikan pengaruh yang negatif namun

signifikan terhadap employee engagement, dimana pengaruh ini akibat dari rasa

antusiasme dan energy yang berkurang sebagai akibat beban kerja dan waktu kerja

yang di atas normal.

Universitas Sumatera Utara


235

Ketiga employee engagement memberikan pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap enjoyable employee experince karena kedua varibel ini

memiliki kemiripan yakni emosi positif, kebahagiaan, antusiasme, dan energi

positif. Keempat enjoyable employee experience memberikan pengaruh yang

positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai disebabkan perasaan bahagia dan

keceriaan membuat pegawai mampu bekerja secara produktif.

Berdasarkan uraian diatas, pengaruh positif yang didapatkan terhadap

kinerja pegawai dengan menambahkan intervening variabel sebagai akibat dari

employee engagement dan enjoyable employee experience dikonsep dengan cara

yang berbeda yaitu sikap positif yang dipegang oleh pegawai terhadap nilai-nilai

perusahaan dan kebahagiaan serta keceriaan. Sehingga, tingkat kinerja pegawai

sangat ditentukan oleh tingkat engage dan kebahagiaan dari pegawai itu sendiri

terhadap nilai-nilai meskipun pegawai tengah menghadapi konflik pekerjaan yang

membuat peran pegawai di keluarganya menjadi tidak kompatibel.

Seorang pegawai yang engage dan enjoy ditandai dengan energi, kekuatan,

dedikasi, antusiasme dan keadaan positif yang digambarkan sebagai katalis untuk

kinerja pegawai. Pegawai yang enjoy dan engage memiliki sikap positif dan

memiliki pikiran yang terkait dengan pekerjaan yang ditandai dengan semangat,

dan dedikasi, dan ini membuat pegawai hadir secara psikologis di tempat kerja,

yang meminimalkan kemungkinan pegawai untuk melakukan kesalahan terkait

pekerjaan.

Pegawai yang mengalami work family conflict namun tetap bisa

mempertahankan kebahagiaan dan keceriaannya akan mampu mempertahankan

emosi positif sehingga, dapat terus berfikir positf dan justru mengarahkan pegawai

Universitas Sumatera Utara


236

untuk menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi pekerjaan mereka. Tidak ada

satupun dalam hal ini pegawai yang tidak mengalami konflik dalam pekerjaannya.

Konflik tersebut bisa menjadi sumber pembelajaran bagi pegawai bagaimana

pegawai mengelola konflik mereka.

Ketika konflik berhasil diatasi dengan tetap mempertahankan emosi

positif, kebahagiaan dan antusiasme dalam pekerjaan maka pegawai akan

memiliki energy baru dan merasa puas dengan diri mereka sendiri yang justru

akan meningkatkan kinerja pegawai. Pegawai yang memiliki tingkat engage yang

tinggi menunjukkan dedikasi yang lebih dalam pekerjaan mereka yang mengarah

ke hasil kinerja yang lebih baik di tempat kerja. Tidak hanya itu pegawai yang

memiliki pengalaman yang menyenangkan selama bekerja, dengan menerima

berbagai manfaat perusahaan akan lebih merasa wajib meningkatkan kinerja yang

lebih besar dan pada gilirannya, menampilkan sikap dan perilaku yang lebih baik.

Lebih lanjut memiliki rasa engage dan pengalaman yang menyenangkan

bagi pegawai akan membuat pegawai merasa bahwa pegawai adalah bagian dari

organisasi meskipun mereka tengah berada dalam konflik, dan ini akan mengarah

pada peningkatan kinerja. Dan hal ini juga dikarenakan kondisi psikologis,

komitmen, keterikatan, suasana hati, yang berdampak pada kinerja pegawai itu

sendiri.

Selanjutnya hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan

antara enjoyable employee experience pegawai dan kinerja karyawan. Ini

menyiratkan bahwa ketika pegawai enjoy, kinerjanya akan meningkat. Hasil ini

sesuai dengan banyak temuan lainnya peneliti misalnya, Sendawula et al., (2018)

berpendapat bahwa karyawan yang engage akan konteks bisnis dimana ia bekerja

Universitas Sumatera Utara


237

akan cenderung meningkatkan kinerja dalam pekerjaannya untuk kepentingan

organisasi.

Juga menurut Men (2015), employee engagement ditandai oleh energi,

keterlibatan, kekuatan, dedikasi, antusiasme dan keadaan positif yang

digambarkan sebagai katalis untuk kinerja karyawan. Ini tidak menyimpang dari

Gichohi (2014) yang menjelaskan bahwa ada hubungan positif antara engagement

dan enjoyable dan kinerja karyawan melalui peningkatan komitmen. Engage juga

dapat menjadi prediktor kinerja karyawan karena mengarah pada perilaku positif,

seperti mengambil inisiatif pribadi, perilaku organisasi dan efektivitas karyawan.

Mengenai peran mediasi dari employee engagement dan enjoyable employee

experience, bahwa ketika work family conflict dalam hubungan antara enjoyable

dan engage dan kinerja karyawan, koefisien determinasinya mengalami

penurunan.

Namun karena pengaruhnya signifikan, ini menyiratkan bahwa enjoyable

employee experience dan employee engagement memediasi sebagian pengaruh

antara work family conflict dan kinerja pegawai. Belum ada satu pun penelitian

yang menjadikan kedua variabel ini secara bersamaan sebagai pemediasi antara

work family conflict dan kinerja pegawai.

6.10. WFC berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Need for

Achievement melalui Enjoyable Employee Experience

Hipotesis pada pembahasan ini adalah hipotesis yang melibatkan variabel

intervening yakni enjoyable employee experience. Secara langsung pengaruh

work family conflict berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap

enjoyable employee experience, sedangkan enjoyable employee experience

Universitas Sumatera Utara


238

memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap N ach.

Dalam hal ini jelas bahwa sudah dapat dipastikan bahwa work family

conflict tidak akan bisa memiliki pengaruh yang signifikan, hal tersebut sebagai

akibat dari enjoyable employee experience yang menjadi pemediasi antara work

family conflict terhadap N ach. Dimana work family conflict secara langsung tidak

signifikan terhadap enjoyable employee experience.

Dalam penelitian ini penulis tidak mengukur secara langsung efek work

family conflict terhadap N ach. Sehingga penulis hanya bisa menyatakan

ketidaksignifikanan ini terbatas pada efek tidak langsung saja. Maka dengan

ketidaksignifikana tersebut, enjoyable employee experience tidak layak untuk

menjadi variabel intervening.

Baik secara langsung maupun tidak langsung belum ada studi yang

menghubungkan antara work family conflict dengan N ach. Mc Clelland

mendefinisikan perlunya N ach sebagai keberhasilan dalam persaingan dengan

beberapa standar keunggulan. Ini mengandaikan bahwa, tujuan dari pegawai

adalah menjadi sukses dalam hal persaingan dengan beberapa standar keunggulan.

Pegawai mungkin gagal mencapai tujuan ini, tetapi bukan karena mengalami

konflik kerja-keluarga.

Konflik yang dialami pegawai lebih kepada terjadinya emosi negatif dalam

diri pegawai. Kondisi emosional yang dirasakan pegawai marketing ini

dinamakan emotional intelegence (EI) Scandra (2019). Para pemimpin organisasi

dan profesional sumber daya manusia menemukan konsep EI ini relevan dengan

tempat kerja. Bahkan, memiliki kemampuan EI mungkin penting untuk menjadi

seorang pemimpin yang efektif. EI dianggap memiliki empat aspek:

Universitas Sumatera Utara


239

1. Kemampuan untuk merasakan emosi dalam diri dan orang lain (misalnya.,

Mengidentifikasi dengan benar ekspresi emosi yang dirasakan sebagai rasa

takut)

2. Kemampuan untuk menggunakan emosi untuk memfasilitasi kegiatan

kognitif seperti berpikir dan pemecahan masalah (misalnya., mengetahui cara

memanfaatkan ayunan suasana hati yang bahagia untuk terlibat dalam tugas

kreatif)

3. Kemampuan untuk memahami informasi emosional (misalnya., memahami

bagaimana menetralkan emosi)

4. Kemampuan untuk mengelola emosi dalam diri dan orang lain (misalnya.

melepaskan diri dari keadaan ketakutan yang mengganggu fungsi seseorang)

Maka uraian diatas secara jelas menyatakan bahwa konflik pekerjaan-

keluarga jika dapat dikendalikan merupakan salah satu kemampuan penting yang

dimiliki pegawai dengan EI tinggi. Kemampuan pengendalian emosi ini mungkin

saja menjelaskan kemampuan pegawai dalam persaingan dengan standar

keunggulan di atas rata-rata dan itu juga bisa menjadi bukti seberapa baik

pegawai melakukan tugas, terlepas dari bagaimana pegawai tersebut

melakukannya.

Nach merupakan kepedulian pegawai untuk unggul dalam prestasi melalui

upayanya. N ach juga menyatakan kebutuhan untuk prestasi terdiri dari empat

bidang utama yaitu; keinginan untuk mencapai sesuatu yang sulit, mencapai

standar kesuksesan yang tinggi, menguasai tugas-tugas kompleks dan melampaui

orang lain. Secara karakteristik, pegawai yang menunjukkan kebutuhan akan N

ach berusaha mencapai tujuan yang realistis meskipun menantang, baik dalam

Universitas Sumatera Utara


240

kondisi sedang terjadi konflik kerja-keluarga maupun tidak, karena sesungguhnya

pegawai telah memiliki EI yang tinggi.

Pegawai akan bertindak dengan cara yang akan membantu pegawai

mengungguli orang lain, memenuhi atau melampaui beberapa standar keunggulan,

atau melakukan sesuatu yang unik. Ini berarti bahwa kebutuhan pegawai untuk

berprestasi didorong oleh tantangan kesuksesan dan ketakutan akan kegagalan,

bukan karena banyak sedikitnya konflik yang dialami. Kebutuhan pegawai untuk

N ach sejauh ini dalam kategori moderat yang mana pegawai dapat menyelesaikan

tugas-tugas yang cukup sulit.

Selain itu pegawai marketing bersifat analitis dan tingkat resiko yang

dihadapi juga tidak tinggi. Hal itu menjadi motivasi bagi pegawai untuk mampu

dengan jernih melihat peluang untuk sukses. Pegawai dengan kebutuhan

berprestasi tinggi berusaha untuk unggul dalam pekerjaan dan menghargai

pengakuan atas upaya mereka. Namun juga pegawai menghindari situasi berisiko

tinggi di mana kegagalan adalah besar kemungkinan terjadi.

Tetap menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa keberhasilan kinerja

organisasi mana pun pertama-tama tergantung pada penggunaan dan pengelolaan

sumber daya yang tersedia, dengan sumber daya manusia yang paling penting.

Semua organisasi, apakah mereka menghasilkan layanan atau produk, memiliki

orang dalam proses. Selanjutnya kemampuan organisasi untuk memotivasi

karyawan akan menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi itu.

Universitas Sumatera Utara


241

6.11. WFC berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Kinerja

Pegawai melalui Need for Achievement dan Enjoyable Employee Experience

Pada hipotesis sebelumnya telah terjawab, bahwa secara langsung work

family conflict tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap enjoyable

employee experience. Efek tidak langsung work family conflict terhadap need for

achievement dengan enjoyable employee experience sebagai pemediasi juga tidak

signifikan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa need for achievement dengan

enjoyable employee experience tidak tepat menjadi variabel intervening work

family conflict terhadap kinerja pegawai

Efek secara langsung berpengaruh negatif dan signifikan, hal ini sekali lagi

membuktikan bahwa employee engagement dan employee enjoyable experience

lah yang tepat dijadikan variabel intervening dalam penelitian ini. Mengapa hal

tersebut bisa terjadi, karena work family conflict berpengaruh signifikan terhadap

employee engagement dan employee enjoyable experience berpengaruh signifikan

terhadap kinerja.

Apabila ditarik satu garis lurus maka, hipotesis ini tidak bisa menjadi

signifikan, karena variabel work family conflict tidak signifikan terhadap seluruh

variabel intervening nya, meskipun efek secara langsung terhadap kinerja hasilnya

signifikan. Juga need for achievement tidak berpengaruh signifikan terhadap

kinerja pegawai. Seperti yang telah diuraikan pada hipotesis-hipotesis

sebelumnya, bahwa penurunan kinerja dalam penelitian ini bukan penurunan

kinerja seluruhnya. Maka, dapat dinyatakan bahwa need for achievement tidak

layak untuk dijadikan intervening variabel.

Universitas Sumatera Utara


242

Seperti uraian sebelumnya bahwa penurunan kinerja disini adalah

penurunan inisiatif dalam penyelesaian masalah, kurang fokusnya terhadap

kebutuhan pelanggan dan kekeliruan dalam pembuatan perencanaan sumber daya

untuk pencapaian target. Hasil analisis pada hipotesis sebelum nyapenurunan

kinerja ini dapat terjadi jika kinerja pegawai mendapat efek langsung dari work

family conflict.

Namun ketika melalui variabel intervening hal tersebut menjadi tidak

signifikan, dikarenakan konflik kerja-keluarga yang dialami pegawai, tidak

memberikan dampak terhadap tiga dimensi N ach yaitu urge to excel, to

accomplish in relation dan to struggle to success dan terhadap enjoyable employee

experience. Artinya adalah konflik kerja pegawai dapat menaikkan dan

menurunkan kinerja pegawai meskipun pegawai dalam kondisi tidak sedang enjoy

dan tidak memiliki N ach. Menurut analisis penulis, kondisi ini terjadi di mana

karena objek dari penelitian ini adalah pegawai marketing bank. Nach sendiri

didefinisikan sebagian pencapaian pribadi, sedangkan pegawai marketing bank

kinerja yang dicapai kecenderungannya adalah kerja tim.

Alasan ini didukung oleh Mc Clelland (1976) yang berpendapat bahwa

kebutuhan akan prestasi diperoleh secara budaya dan merupakan atribut

psikologis utama dari wirausahawan. Pandangan ini didukung oleh bukti yang

menunjukkan hubungan antara motif pencapaian pemimpin dan pertumbuhan

perusahaan (Minter et al., 1994). Cassidy dan Lynn (1989) mengemukakan bahwa

etos kerja, dominasi, daya saing, aspirasi status dan perolehan uang serta

kekayaan merupakan faktor dasar yang mendorong motif pencapaian. Kebutuhan

Universitas Sumatera Utara


243

akan pencapaian tidak diragukan lagi relevan dengan kemenangan dan kinerja

tinggi.

Jika merujuk pada pandangan Cassisdy dan Lynn yang menyatkan bahwa

dominasi, uang serta kekayaan adalah bagian dari N ach. Tentulah ini membuat N

ach menjadi tidak signifikan menjadi variabel intervening, dikarenakan pegawai

marketing tidak boleh mendominasi karena mereka bekerja secara tim. Sedangkan

uang dan kekayaan tentulah mustahil apabila pegawai marketing dapat meraup

keuntungan besar, karena gaji, bonus, dan kompensasi lain telah diatur oleh

perusahaan. Penulis menganalisis, N ach lebih sesuai digunakan untuk pegawai

yang menghabiskan pekerjaan secara individual dibandingkan dengan kerja tim.

Sedangkan untuk pegawai yang bekerja tim, penulis sependapat dengan

(Jha, 2010) bahwa motivasi lebih dominan untuk meningkatkan kinerja.

Dikarenakan anggota kelompok yang relatif tinggi dalam motivasi berprestasi

menunjukkan lebih banyak perhatian tentang keberhasilan kelompok, dan

kelompok yang terdiri dari anggota dengan motivasi berprestasi tinggi, akan

memecahkan masalah kompleks dengan lebih efisien.

Demikian juga halnya dengan enjoyable employee experience yang tidak

dapat menjadi intervening variabel antara work family conflict dengan kinerja

pegawai. Artinya work family conflict tidak memiliki pengaruh terhadap

enjoyable employee experience untuk meningkatkan atau menurunkan kinerja

pegawai. Konflik yang dialami pegawai tidak berhubungan dengan pengalaman

yang didapatkan oleh pegawai selama pegawai bekerja.

Situasi ini disebabkan karena enjoyable employee experience erat

kaitannya dengan apa yang diberikan perusahaan kepada pegawai. Jadi apa yang

Universitas Sumatera Utara


244

diberikan perusahan ke pegawai, itulah yang membuat pegawai memiliki

pengalaman yang menyenangkan atau tidak. Sedangkan work family conflict

sendiri adalah disebabkan beban kerja, dan waktu kerja yang lebih lama, dan

membuat peran pegawai menjadi tidak kompatibel. Artinya adalah

ketidakkompatibelan pegawai atas perannya dalam keluarga dan pekerjaan (di

mana waktu yang dihabiskan lebih banyak untuk bekerja), tidak memiliki efek

pada pengalaman menyenangkan yang dialami pegawai ketika pegawai bekerja.

Enjoyable employee experience ini juga erat kaitannya dengan semua

emosi positif, dan ini berbanding terbalik dengan konflik keluarga-kerja. Artinya

ketika pegawai telah memiliki positif feeling terhadap pekerjaannya, tim kerja,

dan perusahaan maka, konflik akan dapat diselesaikan secara bijaksana. Hal inilah

yang kemudian membuat enjoyable employee experience tidak dapat menjadi

intervening variabel.

6.12. Novelty Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka temuan

yang langka, yang belum ditemukan dari hasil peneliti-peneliti terdahulu

khususnya pada sektor perbankan adalah enjoyable employee experience

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja pegawai yang dimoderasi

leader passionate performance. Dalam penelitian ini penulis meletakkan leader

passionate performance sebagai pemoderasi atas dasar bahwa ada keterikatan

yang kuat antara kinerja pegawai dengan peran pimpinan.

Hasil penelitian ini menjadi keterbaruan bagi bidang ilmu Manajemen

Sumber Daya Manusia, dikarenakan peran pimpinan yang seharusnya

memberikan efek positif terhadap kinerja pegawai, namun menjadi negatif ketika

Universitas Sumatera Utara


245

leader diletakkan sebagai pemoderasi antara enjoyable employee experience

dengan kinerja pegawai.

Efek negatif terjadi karena atasan memberikan banyak kesenangan bagi

pegawai, akan menimbulkan penurunan terhadap keseriusan kerja karyawan

sehingga kinerja karyawan akan menurun. Hasil ini berdasarkan pada kondisi

kerja yang ada di Bank BUMN. Kondisi kerja di Bank BUMN sedari awal

memang di dirancang dengan atmosfir kerja yang nyaman, bahkan pegawai

mendapatkan gaji dan kompensasi yang relatif cukup tinggi dibandingkan Bank

lainnya. Ketika leader memberikan lebih banyak lagi pengalaman yang

menyenangkan bagi pegawai bukan berdampak positif, namun justru akan

berdampak negatif terhadap kinerja pegawai Bank. Efek negatif tersebut

dikarenakan, apabila rasa nyaman ini terus ditambah oleh leader akan

menimbulkan kondisi kerja yang tidak sehat dan dikhawatirkan pegawai sulit

untuk menghadapi tantangan baru, sehingga membuat divisi marketing tidak akan

mampu mencapai target.

Peran leader adalah menemukan cara untuk menekan dorongan kompetitif

yang berbahaya yaitu persaingan yang bisa menimbulkan permusuhan, tanpa

menghilangkan kompetisi itu sendiri. Dengan kata lain, leader memiliki

kewenangan menindak tegas pada segala bentuk persaingan tidak sehat yang

dalam jangka panjang dan jangka pendek akan merugikan bagi perusahaan.

Universitas Sumatera Utara


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis secara inferensial kesimpulan penelitian ini

didasarkan pada hasil hipotesis yaitu:

1. WFC berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Enjoyable Employee

Experience

2. WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Employee Engagement

3. Employee Engagement berpengaruh positif dan signifikan terhadap Enjoyable

Employee Experience

4. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Kinerja pegawai

5. Enjoyable Employee Experience berpengaruh positif dan signifikan terhadap

Need for Achievement

6. Need for Achievement berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap

kinerja pegawai

7. Enjoyable Employee Experience berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

kinerja pegawai yang dimoderasi Leader Passionate Performance

8. WFC berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja pegawai

9. WFC berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai melalui

Employee Engagement dan Enjoyable Employee Experience

10. WFC berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap Need for

Achievement melalui Enjoyable Employee Experience

246

Universitas Sumatera Utara


247

11. WFC berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap Kinerja Pegawai

melalui Need for Achievement dan Enjoyable Employee Experience

7.2 Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini memiliki beberapa

keterbatasan yaitu:

Penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini memiliki beberapa

keterbatasan yaitu:

1. Responden dalam penelitian dipilih oleh pimpinan masing-masing Bank,

sehingga penulis tidak bisa mendapatkan informasi yang lebih dalam lagi

mengenai situasi dan kondisi kerja responden

2. Kuesioner diberikan kepada responden pada waktu jam kerja, dengan waktu

yang sangat terbatas, sehingga memungkinkan responden belum memahami

isi kuesioner dengan benar.

7.3. Saran

Penelitian ini memperluas wawasan tentang kinerja pegawai, dengan peran

aktif pemimpin dalam konteks menciptakan suasana kerja yang enjoy. Untuk itu

beberapa saran dalam penelitian ini adalah :

1. Sehubungan dengan implikasi manajerial, kesenangan di tempat kerja

membantu membangun kepercayaan antara manajer dan karyawan. Ini

membantu individu menikmati pekerjaan tugas, memungkinkan mereka untuk

mendesain ulang karakteristik pekerjaan dan memungkinkan organisasi untuk

membuat tempat kerja yang lebih baik. Untuk itu Leader harus menumbuhkan

budaya bekerja berdasarkan kesenangan, ketenangan dan kebahagiaan.

Universitas Sumatera Utara


248

Pimpinan diharapkan memberikan masukan kepada perusahaan agar

berinvestasi dalam hal tersebut . Pegawai masih bisa mengalami kesenangan di

tempat kerja sambil melakukan tugas pekerjaan mereka, misalnya, memiliki

kesempatan untuk berpartisipasi dalam kesukarelaan komunitas.

2. Ketika leader telah menetapkan kesenangan di tempat kerja, maka dampaknya

adalah pengalaman menyenangkan pegawai lebih tinggi terhadap kepercayaan

pada perusahaan, yang menghasilkan energi baru untuk memulai pekerjaan.

Untuk itu, Leader harus memperhatikan hal ini dengan menciptakan konsep

kesenangan di tempat kerja yaitu tidak dibatasi oleh budaya yang membuat

jenuh. Untuk mendukung hal ini leader dapat membuat iklim kerja yang

menyenangkan dengan menyempurnakan, memodifikasi dan menambah

program kerja lama.

3. Pencapaian target merupakan indikator penting bagi seorang pegawai

marketing, untuk itu sebaiknya selain mendapatkan gaji pokok, maka insentif

pegawai juga dinaikkan. Kenaikan insentif ini jangan hanya terfokus pada

bonus saja, tetapi bisa dimulai dengan hal kecil misalnya kenaikan uang

transport dan uang kerajinan.

4. Responden dalam penelitian ini terbatas pada divisi marketing saja, maka bagi

peneliti selanjutnya disarankan responden berasal dari berbagai bagian seperti

bagian keuangan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Al Jenaibi, B. 2010, “Job Satisfaction: Comparisons among diverse Public Organizations in the
UAE”, Management Science and Engineering, Vol. 4 No. 3, pp. 60-79.

Albrecht, S.L. 2010. Employee engagement: 10 questions for research and practice. In S. L.
Albrecht 2010. (Ed.), Handbook of Employee Engagement. 3-19 Cheltenham: Edward
Elgar.

Alicia A. Grandey and Allison S. Gabriel. 2015. Emotional Labor at a Crossroads: Where Do We
Go From Here?. The Annual Review of Organizational Pshicolgy and Organizational
Behavior

Anderson and King N. 1993. Innovation in Organizations In Cooper C. Roberston I. (eds).


International Reviewof Industrial and Organizational Psychology: 86-104. London: Wiley

Andrews Achquah. 2017. Implications of The Achievement Motivation Theory for School
Management in Ghana: A Literature Review. Research on Humanities and Social
Science. 7: 1-15

Ari Warokka and Ika Febrilia. 2015. Work-Family Conflict and Job Performance: Lesson from a
Southeast Asian Emerging Market. Journal of Southeast Asian Research. 1-15

Aryee, S., Luk, V., Leung, A. and Lo, S. 1999, “Role stressors, interrole conflict, and well-being:
the moderating influence of spousal support and coping behaviors among employed
parents in Hong Kong”, Journal of Vocational Behavior, Vol. 54, pp. 259-78

Avolio B.J., Waldman D.A and Mc Daniel M.A. 1990. Age and Work Performance In
Nonmanagerial Jobs: The Effects of Experience and Occupational Type. Academy of
Management Journal. 3: 407-422

Bakker, A.B. 2010. Engagement and job crafting: Engaged employees create their own great place
to work. In S. L. Albrecht (2010) (Ed.), Handbook of Employee Engagement. 229-244.
Cheltenham: Edward Elgar.

Bakker, A.B. & Demerouti, E. 2008. Towards a model of work engagement. Career Development
International, 13(3), 209-223.

Barbara Plester and Ann Hutchison. 2016. Journal Employee RelationFun times: The relationship
between fun and engagement.

Berens, R. 2013. The roots of employee engagement: A strategic approach. Employment Relations
Today, 40, 43–49.

Bindl, U.K. & Parker, S.K. 2010. Feeling good and performing well. Psychological engagement
and positive behaviors at work. In S. L. Albrecht (2010) (Ed.), Handbook of Employee
Engagement. 399-415. Cheltenham: Edward Elgar.

Bodur, S. 2002, “Job satisfaction of health care staff employed at health centers in Turkey”,
Occupational Medicine, Vol. 52 No. 6, pp. 353-355

Boles, J.S., Johnston, M.W. and Hair, J.F. 1997, “Role stress, work-family conflict and emotional
exhaustion: inter-relationships and effects on some work-related consequences”, Journal
of Personal Selling and Sales Management, Vol. 17 No. 1, pp. 17-28

Bolman, L. G., & Deal, T. E. 2014. How great leaders think: The art of reframing. San Francisco,
CA: Jossey-Bass.

249

Universitas Sumatera Utara


250

Borman, W.C and Motowidlo, S.J. 1997. Task Performance and Contextual Performance: The
Meaning for Personnel Selection Research. Human Performance Journal. 10: 99-109

Borman, W.C and Motowidlo S.J. 1993. Expanding the Criterion Domain to Include Elements of
Extra Role Performance. San Francisco

Bowen D.E and Waldman D.A. 1999. Customer Driven Employee Performance In DA Ilgen E.D.
Pulakos (Eds). The Changing Nature of Performance. San Francisco. Jossey Bass

Boyar, SL., Maertz, CP, Jr. and Pearson, AW. 2005, ‘The Effects of Work-Family Conflict and
Family-Work Conflict on Non- Attendance Behaviors,’ Journal of Business Research, 58
(7), 919-925.

Byars, L. L., and Rue, L. W. 2002. Human resource management. New York: Emerald Group
Tayyaba Rashid, Muhammad Imran Malik Dan Muhammad Sajjad.2015. Workplace Fun
As Determinant Of Teachers’ Performance In Pakistani Universities. Vfast Transactions
On Education And Social Sciences. 7. .20-32

Campbell, J.P. 1990. “Modeling the Performance Prediction Problem in Industrial and
Organizational Psychology” In M.D. Dunnette and L.M. Hough (eds). Handbook of
Industrial and Organizational Psychology. Palo Alto: Consulting Psychologist Press. 1:
687-732

Ching, C. Y. I. Y. H. 2010. Workplace Fun and Job Satisfaction: the Moderating Effects of
Attitudes toward Fun (Doctoral dissertation, Hong Kong Baptist University Hong Kong).

Cooper, C. 2008. Elucidating the bonds of workplace humor: A relational process model. Human
Relations, 61(8), 1087-1115

Delloit. 2019. Banking and Capital Markets Outlook: Reimagining transformation,


https://www2.deloitte.com/content/dam/Deloitte/us/Documents/financial-services/us-fsi-
dcfs-2019-banking-cap-markets-outlook.pdf

Dickson-Swift, V., James, E. L., Kippen, S., and Liamputtong, P. 2009. Researching sensitive
topics: qualitative research as emotion work. Qualitative Research, 9(1), 61-79.

Fluegge, E. R. 2008. Who put the fun in functional? Fun at work and its effects on job
performance (Doctoral dissertation, University of Florida)

Ford, M.T., Heinen, B.A. and Langkamer, K.L. 2007, ‘‘Work and family satisfaction and conflict:
a meta-analysis of cross-domain relations’’, Journal of Applied Psychology, Vol. 92, pp.
57-80

Frone, MR., Russell, M. and Cooper, ML. 1992, ‘Antecedents and Outcomes of Work-Family
Conflict,’ Journal of Applied Psychology, 77, 65-78

Frye, N.K. and Breaugh, J.A. 2004, “Family-friendly policies, supervisor support, work-family
conflict, family-work conflict, and satisfaction: a test of a conceptual model”, Journal of
Business and Psychology, Vol. 19 No. 2, pp. 197-220.

Greenhaus, HJ., Tammy, DA. And Spector, PE. 2006, ‘Health Consequences of Work-Family:
The Dark Side of The Work-Family Interface,’ Research in Occupational Stress and
Well-Being, 5, 61- 98

Greenhaus, J.H. and Beutell, N.J. 1985, “Sources of conflict between work and family roles”,
Academy of Management Review, Vol. 10 No. 1, pp. 76-88

Universitas Sumatera Utara


251

Haybatollahi, S.A.G.M. 2015, “Organizational citizenship behavior: An empirical investigation of


the impact of age and job satisfaction on Ghanaian industrial workers”,
International Journal of Organizational Analysis, Vol. 23 No. 2, pp. 285-301

Heath Y, Gifford R. 2006. Free-market ideology and environmental degradation: The case of
belief in global climate change. Environment and behavior. 1:48-71

Jeffrey H. Greehaus and Nicholas J. Beutell. 1985. Sources of Conflict Between Work and Family
Roles. The Academy of Management Review. Vol 10. 76-88

Jha, Sumi. 2010. Need for Growth, Achievement, Power and Afiliation: Determinant of
Psycological Empowerment. Global Business Review. 3: 379-393

John W. Michela., Michael J. Tews., and David G. Allen. 2018. Fun in the workplace: A review
and expanded theoretical perspective. Human Resource Management Review.1-13

Karatepe, O.M. and Baddar, L. 2006, ‘‘An empirical study of the selected consequences of
frontline employees’ work-family conflict and family-work conflict’’, Tourism
Management, Vol. 27 No. 5, pp. 1017-28.

Karatepe, OM. and Kilic, H. 2007, ‘Relationships of Supervisor Support and Conflicts in The
Work-Family Interface with The Selected Job Outcomes of Frontline Employees,’
Tourism Management, 28 (1), 238–252

Karl, K. & Peluchette, J. 2008. Give them something to smile about: A marketing strategy for
recruiting and retaining volunteers. Journal of Non-profit & Public Sector Marketing, 20,
91-96.

Karl, K., & Peluchette, J. 2006. How does workplace fun impact employee perceptions of
customer service quality?. Journal of Leadership & Organizational Studies, 13(2), 2-13.

Kinnunen, U., Vermulst, A., Gerris, J. and Ma¨kikangas, A. 2003, “Work-family conflict and its
relations to well-being: the role of personality as a moderating factor”, Personality and
Individual Differences, Vol. 35, pp. 1669-83.

Kossek, E.E. and Lambert, J.S. 2005, Work and Life Integration: Organizational, Cultural and
Individual Perspectives, Lawrence Erlbaum Associates, Mahwah, NJ.

Krishnamoorty Kamalan and Jayaranjani Sutha. 2018. Influence of Fun/Entertainment at


Workplace on Employee Performance in Sri Lanka IT Sector. Scholars Journal of
Economics, Business and Management. 11. 739-748

Kumar, Preven and Priyadarsini, Kirupa. 2019. Effect of workplace fun of employee behaviors:
An empirical study. International Journal of Mechanical and Production Engineering
Research and Development (IJMPERD). 8: 1040-1050

La Guardia, J. G. 2009. Developing who I am: A self-determination theory approach to the


establishment of healthy identities. Educational Psychologist, 44, 90–104

Lambert, E.G., Hogan, N.Y. and Barton, S.M. 2002, “The impact of work-family conflict on
correctional staff job satisfaction”, American Journal of Criminal Justice, Vol. 27, pp. 35-
51

Lamm, E. & Meeks, M.D. 2009. Workplace fun: The moderating effects of generational
differences. Employee Relations, 31(6), 613-631.

Lee J. Collan. 2009. Engaging the Hearts and Minds of All Your Employees. Mc Graw Hill: New
York

Universitas Sumatera Utara


252

Locke, E.A. 1976, “The nature and causes of job satisfaction”, in Dunnette, M. (Ed.), Handbook of
Industrial and Organizational Psychology, Rand McNally, Chicago, IL

Lovett, S., Coyle, T. and Adams, R. 2004, “Job satisfaction and technology in Mexico”, Journal of
World Business, Vol. 39 No. 3, pp. 217-232.

Macey, William and Schneider Benjamin. 2006. The Meaning of Employee Engagement.
Industrial and Organizational Psychology. 3-30

Majalah Mandiri. No 485. 2020

Manyika, J. 2017 Technology, jobs, and the future of work , https://www.mckinsey.com/featured-


insights/employment-and-growth/technology-jobs-and-the-future-of-work

Mc Daniel M.A., Schmidth F.L and Hunter J.E. 1988. Job Experience Correlates of Job
Performance. Journal of Applied Psychology.73:327-330

McDowell T. Fun at work: Scale development, confirmatory factor analysis, and links to
organizational outcomes.2005

McElwain, A.K., Korabik, K. and Rosin, H.M. 2005, ‘‘An examination of gender differences in
work-family conflict’’, Canadian Journal of Behavioural Science, Vol. 37 No. 4, pp. 283-
98

Mesmer-Magnus, J.R. and Viswesvaran, C. 2005, ‘‘Convergence between measures of work-


tofamily and family-to-work conflict: a meta-analytic examination’’, Journal of
Vocational Behavior, Vol. 67, pp. 215-32

Meyer, H. 1999. Fun for everyone. Journal of Business Strategy, 20(2), 13-17

Michael J. Tews. 2014. Fun and Friends: The Impact o Workplace Fun and Constituent
Attachment on Turnover in Hospitality Context. Human Relations Journal

Moon, W.H.S.H.J.Y.T.W. 2015, “The moderating role of perceived organizational support on the
relationship between emotional labor and job-related outcomes”, Management Decision,
Vol. 53 No. 3, pp. 605-624

Motowidlo, S.J and Schmit, M.J. 1999. Performance Assessment in Unique Jobs In D.R Ilgen and
E.D Pulakos (eds). The Changing Nature of Job Performance: Implications for Staffing,
Motivation and Development. San Francisco CA; Jossey-Bass

Namayandeh, H., Juhari, R. and Yaacob S.N. 2011, “The effects of job satisfaction and family
satisfaction on work-family conflict and family-work conflict among married female
nurses in Shiraz-Iran”, Asian Social Science, Vol. 7 No. 2, pp. 88-95

Neela, A 2017 Decoding Digital Strategy for Human Resources, https://www.mercer.com/our-


thinking/career/voice-on-talent/decoding-digital-strategy-hr.html

Netemeyer, R.G., Boles, J.S. and McMurrian, R.1996, “Development and validation of work-
family conflicts and work-family conflict scales”, Journal of Applied Psychology, Vol.
81, pp. 400-10.

O’Driscoll, M.P., Brough, P. and Kalliath, T.J. 2004, “Work/family conflict, psychological well-
being, satisfaction, and social support: a longitudinal study in New Zealand”, Equal
Opportunity International, Vol. 23 Nos 1/2, pp. 36-56

Universitas Sumatera Utara


253

Organ, D.W. and Konovsky M. 1989, “Cognitive versus affective determinants of organization
Citizenship behavior”, Journal of Applied Psychology, Vol. 74 No. 1, pp. 157-164

Osman M. Karatepe and Hasan Killic. 2007. Relationships with supervisor support and conflicts in
the work-family interface with selected job outcomes of frontline employees. Tourism
Management 28(1):238-252

Owler, K., & Morrison, R. 2012. A Place to be me, A Place Belong: Defining Fun at work in a
New Zealand Call-Centre. New Zealand Journal of Human Resource Management, 12(1),
22-33.

Owler, K., Morrison, R. & Plester, B. 2010. Does fun work? The complexity of promoting fun at
work . Journal of Management and Organization, 16(3), 338-352.

Pasewark, W.R. and Viator, R.E. 2006, “Sources of work-family conflict in the accounting
profession”, Behavioral Research in Accounting, Vol. 18, pp. 147-65.

Patel, B., and Desai, T. 2013. Effect of Workplace Fun on Employee Morale and Performance.
International Journal of Scientific Research, 2(5), 323-326.

Peluchette, J., & Karl, K. A. 2005. Attitudes toward incorporating fun into the health care
workplace. The Health Care Manager, 24(3), 268 -275.

Plester, B.A., Winquist, J. & Cooper-Thomas, H. 2012.The Fun Paradox. Paper presented at
British Academy of Management conference, Cardiff, Wales, September 11-13, 2012.

Plester, B.A. 2009. Crossing the line: Boundaries of workplace humour and fun. Employee
Relations, 31(6), 584-599.

Plester, B. A. & Orams, M. B. 2008. Send in the clowns: The role of the joker in three New
Zealand IT companies. Humor. International Journal of Humour Research, 21(3), 253-
281.

Plester, B.A., & Sayers, J. G. 2007. Taking the piss: The functions of banter in three IT companies.
Humor. International Journal of Humor Research, 20(2) 157 -187.

Qui˜nones, M.A., Ford, J.K and Techout, M.S.1995. The Relationship Analytic review. Personel
Psychology 48: 887-910 Cognitive Abilities and Information Processing. Journal of
Experimental Psycology General 117. 288-318

Sharma, N. and Singh, V.K. 2016, “Effects of workplace incivility on job satisfaction and turnover
intentions in India”, South Asian Journal of Business Research, Vol. 5 No. 2, pp. 234-249

Rich, B. L., LePine, J. A., & Crawford, E. R. 2010. Job engagement: Antecedents and effects on
job performance. Academy of Management Journal, 53, 617-635.

Rosliza Md. Zani., Shakirah Mohd Saad Mohd Saad and Farh Merican. 2017. The Influence of
Workplace Fun on Job Outcomes: A Study Among Different Generations of
Academicians. E-Academia Journal. 6: 153-166

Ruth, G.A., & Tews, M.J. 2016. Food service industry. In R.A. Brymer, R.A. Brymer, & L.N.
Cain (Eds.), Hospitality: An introduction (pp. 265-275). Dubuque, IA: Kendall Hunt
Publishing.

Universitas Sumatera Utara


254

Sabine Sonnentag and Michael Frese. 2005. Performance Concepts and Performance Theory. In
book: Psychological Management of Individual Performance, pp.1-25

Scott E. Crouter. 2015. Effect on Physical Activity of a Randomized Afterschool Intervention for
Inner City Children in 3rd to 5th Grade. https://doi.org/10.1371/journal

Scott L. Boyar., Allison W. Pearson and Carl P. Maertz. 2005. The effects of work–family conflict
and family–work conflict on nonattendance behaviors. Journal of Business
Research 58(7):919-925

Shantakumary Milroy Christy Mahenthiran Aloysius. 2012. Self Motivation for Achievement and
Its Impact on the Employees? Performance and Satisfaction. Conference Paper in SSRN
Electronic Journal

Sidrah Ashfaq and Manzoor Ahmad Choudhary. 2013. Impact of work-life conflict and work over
load on employee performance in banking sector of Pakistan/ Middle East Journal of
Scientific Research 14(5):688-695

Sonnentag, Sabine dan Frese Michael, 2001. Performance Concept dan Performance Theory.
Psychological Management of Individual Performance: John Wiley & Sons, Ltd.

Spector, P.E., Cooper, C.L., Poelmans, S., Allen, T.D., O’Driscoll, M., Sanchez, J.I., Siu, O.L.,
Dewe, P., Hart, P. and Lu, L. 2004. ‘‘A cross-national comparative study of work-family
stressors, working hours, and well-being: china and Latin America versus the anglo
world’’, Personnel Psychology, Vol. 57 No. 1, pp. 119-42

Spinath, F. M. 2001. “Genetic and environmental influences on achievement motivation and its
covariation with personality and intelligence”In R. Riemann, F. M. Spinath & F.
Ostendorf (Eds.), Personality and Temperament: Genetics, Evolution, and Structure. 11-
25)

Stephan,M., Uzawa,S., Volini,E., Walsh,B & Yoshida, R .2016. Digital HR

Stoeva, A.Z., Chiu, R. and Greenhaus, J.H. 2002, “Negative affectivity, role stress, and work-
family conflict”, Journal of Vocational Behavior, Vol. 60, pp. 1-1

Tayyaba Rashid, Muhammad Imran Malik dan Muhammad Sajjad. 2015. Workplace Fun As
Determinant Of Teachers’ Performance In Pakistani Universities. Vfast Transactions On
Education And Social Sciences. 7. .20-32

Tews, M.J., & Burke-Smalley, L.A. 2017. Enhancing training transfer by promoting accountability
in different work contexts: An integrative framework. In K.G. Brown (Ed.), The
Cambridge handbook of workplace training and employee development. (pp. 201-227).
New York, NY: Cambridge University Press.

Tews, M.J., Michel, J.W., & Bartlett, A. 2012. The Fundamental role of workplace fun in
applicant attraction. Journal of Leadership & Organizational Studies, 19(1), 105-114.

Tews, Micheal; Bartlett, A.L and Micheal J. W. 2012. The Fundamental Role of Work Place Fun
in Applicant Attraction. 2012. Journal of Leadership and Organizational Studies.19: 105-
113 the moderating influence of spousal support and coping behaviors among employed
parents in Hong Kong”, Journal of Vocational Behavior, Vol. 54, pp. 259-78

Toth, J., John, F., Brown, R.B. and Xu, X. 2002, ‘‘Separate family and community realities? An
urban-rural comparison of the association between family life satisfaction and community
satisfaction’’, Community, Work & Family, Vol. 5, pp. 181-202

Universitas Sumatera Utara


255

Ugur Yozgat and Elif Bilginoglu. 2017. Is ‘Workplace Fun’ A New Management Fashion or
Another Passing Fad. Journal of Management, Marketing and Logistics. 447-455

Ulrich, D. 2019. Digital HR: What Is It and What’s Next?, https://www.linkedin.com/pulse/digital-


hr-what-whats-next-dave-ulrich/

Veeck M, Williams P. Fun is good: how to create joy & passion in your workplace & career.2005

Verlinden, N .2018. How Career Pathing can Help You Win Talent and Boost Engagement.
https://www.linkedin.com/in/neelie-verlinden/

Volini,E., Mazor,A., Schaefer,F., Tsuchida,A.,& Walsh, B. 2016. HUma Capital Trends,


https://www2.deloitte.com/us/en/insights/focus/human-capital-trends/2016/changing-role-
of-hr-skills-crisis.html

Volini,E., Occean,P., Stephan,M, Walsh, B .2017. Digital HR: Platforms, people, and work,
https://www2.deloitte.com/us/en/insights/focus/human-capital-trends/2017/digital-
transformation-in-hr.html

Warokka Arie and Febrilia Ika. 2015. Work-Family Conflict and Job Performance: Lesson from a
Southeast Asian Emerging Market. Journal of Southeast Asian Research. 1-14

Warren, S., & Fineman, S. 2007. ‘Don't get me wrong, it’s fun here, but...’ Ambivalence and
paradox in a ‘fun’ work environment. In R. Westwood & C. Rhodes (Eds.), Humour,
work and organisation, (pp. 92 -112). London: Routledge.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai