Anda di halaman 1dari 12

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembelahan sel merupakan proses yang terkonservasi pada seluruh organisme.
Dalam proliferasi sel, kromosom pertama-tama mengalami penggandaan dan kemudian
diikuti dengan pembagian sitoplasma untuk menghasilkan sel anakan. Tahapan
mendasar tersebut dijumpai baik pada sel prokariot maupun eukariot (Margolin 2000).
Proses ini memastikan terbentuknya dua sel baru. Sebagian besar prokariot merupakan
organisme uniseluler (Keim et al. 2004) dan pembelahan sel terjadi melalui proses yang
disebut pembelahan biner (binary fission). dan berkembangbiak secara aseksual.
Pada organisme eukariot, dikenal dua macam pembelahan sel, yakni mitosis dan
meiosis. Pembelahan mitosis menghasilkan dua sel baru dengan kandungan genetik sel
anakan yang identik, sementara pembelahan meiosis menghasilkan empat sel baru yang
masing-masing mengandung setengah jumlah kromosom sel induk (haploid) (Syukur et
al. 2015). Proses ini merupakan proses yang terkonservasi pada semua organisme
eukariot (Criqui dan Genschik 2005) yang melibatkan replikasi kromosom dan
pembagiannya ke dalam sel-sel anakan. Oleh karenanya, perilaku kromosom selama
proses mitosis dan meiosis penting untuk diketahui.

2 PERILAKU KROMOSOM
2.1 Mitosis
Siklus sel terdiri dari serangkaian proses yang dilalui oleh sel dalam tahap
pertumbuhan dan perkembangannya. Secara umum, siklus sel terbagi ke dalam empat
fase, yakni fase M (mitosis), G1, S (sintesis DNA), dan G2 (Gambar 1) (Francis 2009).
Istilah “mitosis” sendiri pertama kali diusulkan oleh Walther Flemming (1882) untuk
menggambarkan proses terbentuknya pasangan benang-benang (Yunani = mitos), yang
Flemming sebut sebagai kromatin, selama proses pembelahan inti sel. Pengertian
mitosis juga mencakup sitokinesis, yakni proses sitoplasma terbagi menjadi dua pada
akhir pembelahan inti sel. Proses pembelahan secara fundamental sama untuk semua sel
somatik (Rieder dan Khodjakov 2003). Proses mitosis sendiri merupakan proses yang
terkonservasi pada semua makhluk hidup eukariot (Criqui dan Genschik 2002).

Gambar 1. Skema siklus sel yang terdiri atas empat fase, yakni mitosis (M), post-mitotic
interphase (G1), sintesis DNA (S-phase), dan post-synthetic phase (G2)
(Franscis 2009).
2

Fase mitosis umumnya hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat, sekitar 5-
10% dari seluruh waktu siklus sel. Sebagian besar siklus sel ada pada interfase, yang
terdiri dari tahap G1, S, dan G2 (Griffiths et al. 2015). Pada interfase, kromosom belum
dapat diamati karena proses kondensasi belum terjadi. Meski demikian, proses-proses
yang berhubungan dengan fungsi kromosom telah berlangsung, seperti transkripsi,
perbaikan dan penggandaan DNA. Pada saat kromosom mulai dapat teramati (mitosis),
kromosom telah mengganda untuk persiapan pembelahan (Yokota et al. 1995).
Berbagai kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dapat menyebabkan
terhambatnya interfase, seperti kurangnya nutrisi, suhu rendah maupun tinggi (Francis
2009).
Fase G1 dalam siklus sel merupakan titik kendali utama pada yeast, hewan, dan
tumbuhan (Cockcroft et al. 2000). Aktivitas cyclin dapat menurun pada kondisi suhu
tinggi (Francis 2009). Pada tahap S terjadi penggandaan jumlah kromosom secara
semikonservatif (Francis 2009), meskipun kromosom sendiri tidak dapat diamati hingga
tahap mitosis (Griffiths et al. 2015). Fase S akan terhenti setelah seluruh kromosom
selesai digandakan (Francis 2009).
Mekanisme dasar siklus sel tumbuhan mirip dengan proses pada yeast dan hewan,
yakni aktivitas cyclin-dependent kinase (CDK). Yeast hanya memiliki satu CDK yang
bertanggung jawab dalam memulai seluruh proses transisi sel. Adapun pada organisme
eukariot multiseluler, CDK telah berkembang menjadi gene families, dimana masing-
masing CDK memiliki fungsi yang berbeda (Criqui dan Genschik 2002). Hinga saat ini,
telah teridentifikasi 152 CDK dari 41 spesies tumbuhan (Francis 2009). CDK tipe A
pada tumbuhan berperan dalam proses transisi G1 ke S dan G2 ke M. Adapun CDK tipe
B diketahui berperan dalam proses transisi G2 ke M, dimana aktivitasnya tercatat
tertinggi pada proses tersebut (Criqui dan Genschik 2002). Penurunan aktivitas kinase
tipe ini menyebabkan hambatan pada transisi G2 ke M (Porceddu et al. 2001).
CDK perlu berasosiasi dengan cyclin, sebuah protein regulator penting, supaya
dapat aktif (Meskiene et al. 1995; Vandepoele et al. 2002; Francis 2009). Cyclin yang
berbeda bekerja pada fase yang berbeda selama siklus sel. Beberapa cyclin disintesis
dan didegradasi bergantung pada tahapan siklus sel, sementara beberapa cyclin yang
lain tetap dalam jumlah yang sama sepanjang siklus sel (Meskiene et al. 1995). Pada sel
hewan, diketahui terdapat dua cyclin tipe A (A1 dan A2) dan tiga cyclin tipe B (B1, B2,
dan B3) (Criqui dan Genschik 2002). Cyclin pada tumbuhan diketahui jauh lebih
kompleks dibanding pada hewan. Dari studi yang dilakukan pada Arabidopsis, terdapat
setidaknya sepuluh cyclin tipe A yang tergolong ke dalam tiga subkelas (A1, A2, dan
A3) dan sembilan cyclin tipe B yang tergolong ke dalam tiga subkelas (B1, B2, dan B3)
(Vandepoele et al. 2002). Cyclin A berperan selama fase S dan G 2; tipe B berperan
dalam transisi G2 ke M; tipe D dan E berperan dalam transisi G1 ke S (Meskiene et al.
1995).
Fase M (mitosis dan sitokinesis) merupakan fase inti dalam siklus sel, meskipun
fase ini hanya memerlukan waktu yang lebih pendek dibanding interfase. Pada fase ini,
sel kembali mengatur seluruh komponen dan mendistribusikannya secara merata ke sel-
sel anakan yang nanti akan terbentuk. Tujuan utama fase ini adalah menjaga keakuratan
segregasi kromosom yang telah digandakan pada fase S sehingga sel-sel baru menerima
jumlah serta salinan yang identik (mitosis) dari genom awal. Secara garis besar, proses
di dalam fase M sangat dipengaruhi oleh mesin sitoskeletal yang menggerakkan
kromosom hasil penggandaan menuju kutub yang sesuai dan membagi sitoplasma
menjadi dua bagian (Alberts et al. 2010).
3

Kromosom yang ditarik mikrotubulus dapat terdistribusi dengan baik dikarenakan


adanya ikatan protein kompleks yang disebut kohesin dan kondensin (Campbell et al.
2017). Keberadaan dua jenis protein ini mampu menjaga kromatid saudara (sister
chromatids) tetap bersama sampai ke ekuator. Gaya tegang yang dihasilkan
antarkeduanya ketika ditarik oleh mikrotubulus mampu menjaga arah pergerakan
kromatid agar menuju kutub yang sesuai. Menjelang akhir fase M, sitoplasma akan
membelah, ditandai dengan mulai terbentukan lempeng sel dari penggabungan vesikel-
vesikel yang berasal dari golgi. Setelah fase M berakhir, sel dapat masuk ke G 1 untuk
persiapan pembelahan lagi, atau ke luar dari siklus pembelahan (G 0), tergantung dari
sinyal dan kondisi lingkungan (Syukur et al. 2015).
Mitosis terdiri dari enam tahapan yang berkesinambungan, yaitu profase,
prometafase, metafase, anafase, telofase, dan sitokinesis. Selama proses mitosis
berlangsung, kromosom dapat diamati karena kromosom berada dalam kondisi
terkondensasi (Tamarin 2002). Lima tahapan awal (profase-telofase) terjadi secara
berurutan dan sitokinesis dimulai sejak anafase hingga telofase berakhir.
2.1.1 Profase
Pada tahap profase, benang-benang kromatin yang telah digandakan mulai
mengalami kondensasi sehingga masing-masing kromosom terdiri dari dua
kromatid saudara yang identik (Gambar 2A-C). Pada fase ini, sentrosom ataupun
mirotubul (pada tumbuhan) mulai bergerak menuju dua kutub yang saling
berlawanan. Mikrotubulus mulai mengelilingi bagian inti sel.
Mikrotubulus dapat memanjang (polimerisasi) dan memendek (depolimerisasi)
sebagai akibat dari hidrolisis guanin trifosfat (GTP) dalam dimer tubulin serta
aktivitas yang berasosiasi dengan protein motor dan regulator terkait.
Mikrotubulus terbentuk dari penambahan ikatan GTP pada setiap tubulin dimer.
GTP terhidrolisis menjadi guanin difosfat (GDP), sebuah proses yang melepaskan
energi. Energi yang dilepaskan kemudian membentuk konformasi seperti lekukan.
Diperkirakan satu protofilamen dapat menghasilkan sampai 5 pN selama
depolimerisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa satu mikrotubulus tunggal (terdiri
dari 13 protofilamen) dapat menghasilkan 65 pN (Grishchuk et al. 2005). Energi
tersebut lebih dari cukup untuk menarik kromosom yang hanya membutuhkan 0,1
pN (Nicklas 1965).
4

Gambar 2. Tahapan mitosis profase (A-C), metafase (D-E), anafase (F), telofase (G),
dan sitokinesis (H); dengan pewarnaan Hoeschst 33342 pada mikroskop
fluorescence, tampak benang gelendong (hijau) dan kromosom (biru)
(Rieder dan Khodjakov 2003).
2.1.2 Prometafase
Prometafase dimulai dengan menghilangnya membran nukleus dan nukleolus.
Mikrotubulus mulai dapat menjangkau dan berikatan dengan kromosom pada
posisi kinetokor. Kinetokor adalah suatu protein kompleks yang melekat pada
sentromer, terletak pada bagian tertentu pada sentromer yang memiliki histon H3
jenis CENP-A. Kinetokor terdiri dari tiga bagian: kinetokor dalam (inner) yang
berinteraksi dengan sentromerik kromatin; kinetokor luar (outer) yang secara
langsung berinteraksi dengan mikrotubulus; dan kinetokor pusat (central) yang
menghubungkan keduanya.
Pada subfase ini, kinetokor berperan menangkap ujung mikrotubulus dan
secara langsung memodulasi perubahan mikrotubulus dengan Ndc80. Ndc80
membantu menstabilkan ujung mikrotubulus (Akiyoshi et al. 2010; Umbreit et al.
2012). Dengan demikian, kinetokor mengendalikan dan memanfaatkan gaya yang
dihasilkan oleh mikrotubulus untuk menarik dan memisahkan kromosom.
2.1.3 Metafase
Selama metafase, sentromer dari semua kromosom berada pada bidang ekuator
(bidang tengah antara dua kutub), dimana pergerakannya dibantu oleh
mikrotubulus sejak prometafase (Gambar 2D-E). Prosesnya dimulai ketika salah
satu kinetokor saudara ditangkap oleh mikrotubulus. Kromosom mulai bergerak
ke arah asal mikrotubulus tersebut. Akan tetapi, pergerakan ini segera terhambat
setelah mikrotubulus dari kutub bersebrangan melekat ke pasangan kinetokor
saudaranya (pada kromosom yang sama). Selanjutnya, akan terjadi proses tarik
menarik ke arah kutub berlawanan hingga akhirnya terjadi keseimbangan dan
kromosom menetap di bidang ekuator (Campbell et al. 2017).
Pada prinsipnya, mikrotubulus dan kinetokor mampu menggerakkan
kromosom ke segala arah. Keterkaitan gerakan kromosom menyebabkan kromatid
saudara secara fisik memberikan kekuatan yang berlawanan dengan mikrotubulus.
Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara dua jenis protein kompleks, yaitu
kohesin dan kondensin, yang juga menjaga agar pasangan kromatid saudara tetap
bersama hingga akhir metafase. (Marston 2014; Hirano 2012).
2.1.4 Anafase
Pada tahap anafase, terjadi pemisahan kromatid saudara dan selanjutnya
masing-masing kromatid saudara bergerak menuju kutub yang saling berlawanan
(Gambar 2F). Pergerakan kromosom pada subfase ini dibantu oleh pemendekan
mikrotubulus kinetokor serta pergerakan kutub ke arah luar sel (Alberts et al.
2010). Ikatan yang terbentuk antara kinetokor dan mikrotubulus dimanfaatkan
oleh kinetokor untuk menggerakan kromosom menuju kutub saat mereka
mempertahankan keterikatan satu sama lain sehingga memberikan gerakan terarah
(Asbury et al. 2011). Interaksi keduanya meningkatkan kontak dengan bagian
ujung dari mikrotulus, menyebabkan kinetokor mampu mengendalikan
mikrotubulus sebagaimana yang telihat pada mikroskop elektron saat pembelahan
sel yeast (Gonen et al. 2012).
5

Segregasi kromosom mensyaratkan agar kinetokor saudara melekat ke


mikrotubulus yang berasal dari kutub spindel yang berlawanan (amphitelic
attachment) sehingga kinetokor saudara dikatakan biorientasi (dua arah
berlawanan). Kinetokor saudara juga dapat menempel pada mikrotubulus dari
kutub yang sama (syntelic attachments). Selain itu, kinetokor tunggal juga dapat
menempel pada mikrotubulus dari kutub yang berlawanan (merotelic attachments)
(Duro dan Marston 2015). Saat mitosis, kinetokor saudara disusun sedemikian
rupa agar kinetokor memiliki dua orientasi sehingga dapat diasumsikan arah
saling berlawanan mendukung pelekatan mikrotubulus dari dua kutub yang
berlawanan (amphitelic). Selanjutnya agar dapat terjadi pembelahan, hubungan
antara keduanya perlu diputus untuk memungkinkan pergerakan kromosom.
Fosforilasi Rec8 subunit kohesin menargetkan adanya pembelahan dengan enzim
separase (Brar et al. 2006; Ishiguro et al. 2010; Katis et al. 2010; Attner et al.
2013).
2.1.5 Telofase
Benang-benang gelendong mulai dibongkar dan membran inti mulai terbentuk
pada setiap kelompok hasil pembelahan kromosom (Gambar 2G). Proses ini
dimulai dengan vesikel-vesikel yang mengelilingi kromosom individu saling
bersatu membentuk membran inti (Walczak et al. 2010). Selama proses ini,
protein pori dan lamina inti yang terfosforilasi pada prometafase kembali
terdefosforilasi untuk digunakan sebagai materi pembentuk membentuk membran
serta lamina inti. Begitu membran inti terbentuk kembali, pori-pori protein
menjadikan membran inti mengembang dan kromosom mitosis terdekondensasi
sehingga transkripsi gen dapat dilanjutkan (Alberts et al. 2010).
2.1.6 Sitokinesis
Pada sel hewan, sitokinesis terjadi akibat aktivitas cincin kontraktil (contractile
ring). Sitokinesis pada sel tumbuhan terjadi melalui adanya pembentukan
lempeng di tengah sel (cell plate) (Gambar 2H) (Tamarin 2002). Dinding sel
mulai dibentuk pada awal telofase. Proses perakitan dipandu oleh struktur yang
disebut fragmoplast, yang terbentuk dari sisa-sisa mikrotubulus interpolar.
Aparatus golgi menghasilkan vesikel berisikan polisakarida dan glikoprotein
sebagai bahan matriks dinding sel. Vesikel-vesikel ini diangkut di sepanjang
mikrotubulus ke fragmoplast dan menyatu membentuk struktur membran dan
membagi sel menjadi dua. Mikrofibril selulosa diletakkan ke dalam matriks untuk
menyelesaikan pembangunan dinding sel baru (Alberts 2010).
Pembelahan sel tumbuhan tidak hanya mencakup karyokinesis dan sitokinesis,
tetapi juga kendali posisi relatif sel anakan terhadap sel-sel di sekitarnya (Stals et al.
1997). Perlunya kontrol ini penting dalam perkembangan sel melalui kendali
pembentukan dinding sel yang ditentukan oleh pre-prophase band (PPB). Mutan
Arabidopsis yang tidak memiliki PPB mengalami kekacauan ekspansi sel, meskipun
tidak terdapat hambatan dalam pola diferensiasi sel (Traas et al. 1995).

2.2 Meiosis
Meiosis merupakan proses penting dalam siklus reproduksi makhluk hidup
seksual (Armstrong dan Jones 2003). Proses ini menghasilkan empat sel gamet haploid
dan sering dikenal pula sebagai pembelahan reduksi. Penurunan jumlah ploidi ini
merupakan akibat dari adanya dua kali pembelahan inti (meiosis I dan meiosis II) dan
6

hanya satu kali penggandaan kromosom (interfase S) (Kleckner 1996; Mercier dan
Grelon 2008). Meiosis dianggap sebagai hasil evolusi dari proses mitosis, meskipun
bukti-bukti sitologis mengenai asal-muasal meiosis belum ditemukan (Wilkins dan
Holliday 2009). Pembelahan meiosis I memisahkan kromosom homolog; meiosis II
terjadi pemisahan antar-kromatid saudara yang menyerupai proses mitosis. Beberapa
proses penting juga terjadi selama interfase meiosis, sama halnya dengan interfase
mitosis, di antaranya modifikasi kromatin dan ekspresi gen-gen meiosis yang diperlukan
untuk kesuksesan pembelahan. Replikasi DNA selama meiosis terjadi pada fase S,
dimana fase ini memiliki durasi yang lebih lama dibanding fase S pada mitosis (Mercier
dan Grelon 2008).
Meski dikatakan sebagai hasil evolusi mitosis, terdapat beberapa hal mendasar
yang berbeda dan tidak ditemukan pada proses mitosis. Setidaknya terdapat empat hal
utama, 1) ada sinapsis atau proses berpasangan antarkromosom homolog; 2) proses
rekombinasi antarkromatid bukan saudara (non-sister chromatids); 3) terjadi penekanan
proses pemisahan kromatid saudara selama meiosis I karena mekanisme kohesi dan
orientasi kinetokor yang berbeda dari proses mitosis sehingga terjadi pemisahan
kromosom homolog pada meiosis I dan pemisahan kromatid saudara pada meiosis II,
dan bukan sebaliknya; dan 4) tidak adanya replikasi kromosom pada pembelahan
meiosis II sehingga terjadi reduksi jumlah kromosom (Mercier dan Grelon 2008;
Wilkins dan Holliday 2009).
Meiosis I dan II terbagi ke dalam lima fase, yakni profase, prometafase, metafase,
anafase, dan telofase. Segregasi kromosom homolog pada meiosis I tergantung pada
proses perpasangan, sinapsis, dan rekombinasi. Meiosis II berfungsi untuk memisahkan
dua kromatid saudara dari setiap kromosom (Armstrong dan Jones 2003).
2.2.1 Profase I
Profase I adalah tahap pertama dalam meiosis. Profase I dibagi ke dalam
subfase leptoten, zigoten, pakiten, diploten, dan diakinesis atas dasar morfologi
kromosom dan hubungan kromosom homolog selama sinapsis (Tsai dan McKee
2011). Pada fase ini terjadi pemutusan utas ganda DNA (DNA double-strand
breaks, DSBs) dan perbaikannya, pindah silang, sinapsis kromosom homolog,
serta kondensasi kromosom (Inagaki et al. 2010).
Leptoten ditandai dengan adanya bentangan kromatin panjang dan kromomer
seperti manik-manik di sepanjang kromatin (Gambar 3A). Pada fase ini, nukleolus
mengisi hampir satu per tiga bagian volume nukleus dan berada di posisi tengah
nukleus. Menjelang akhir leptoten, nukleolus bergerak ke arah tepi menuju
membran inti dan berada di sana selama profase I (Armstrong dan Jones 2003).
7

Gambar 3. Hasil pewarnaan aceto carmine pada tahap meiosis Aloe vera; tahap leptoten
(A), zigoten (B), pakiten (C), diploten (D), diakinesis (E), metafase I (F),
anafase I (G), telofase I (H), profase II (I), metafase II (J), anafase II (K),
telofase II (L), tetrad (M) (Haque dan Ghosh 2013).
Zigoten merupakan tahap dimana mulai terjadinya perpasangan
antarkromosom homolog (Gambar 3B) (Armstrong dan Jones 2003; Page dan
Hawley 2004). Pada tahap ini, benang-benang kromatin mulai dapat diamati
karena adanya kondensasi. Perpasangan kromosom homolog secara bivalen
memungkinkan terjadinya pindah silang (Armstrong dan Jones 2003). Pada akhir
zigoten, kompleks perpasangan (synaptonemal complexes, SCs) mulai terbentuk,
yang memiliki fungsi sebagai pengikat antarkromosom homolog (Hunter dan
Kleckner 2001).
Pada subfase pakiten, kromosom telah jauh leih memendek dibanding pada
subfase sebelumnya (Gambar 3C) (Fransz et al. 1998; Armstrong dan Jones
2003). Proses sinapsis juga telah selesai, ditunjukan dengan adanya struktur
bivalen (Armstrong dan Jones 2003). Struktur perpasangan kromosom dan
diferensiasi kromomer nampak semakin jelas. Dengan menggunakan mikroskop
elektron, dapat diamati SCs pada masing-masing perpasangan homolog (Albini et
al. 1994). Pada akhir pakiten, masing-masing bivalen tampak terpisah satu sama
lain, kecuali pada kromosom yang memiliki NOR (nucleolus organizing region).
Sebagaimana hasil pengamatan pada tahap pakiten Arabidopsis thaliana, NOR
yang terletak subterminal pada lengan pendek kromosom nomor dua dan empat
menyebabkan keduanya terus berdampingan hingga diakinesis (Armstrong dan
Jones 2003).
Selama transisi pakiten ke diploten, terjadi pemisahan bertahap dan progresif
antarpasangan homolog (Gambar 3D). Proses rekombinasi atau pindah silang
terjadi pada subfase diploten ini (Gambar 4) (Tease dan Jones 1978). Pindah
silang merupakan hasil dari pertukaran resiprokal antara kromosom homolog dan
dapat diamati melalui adanya kiasma (jamak: kiasmata) (Borner et al. 2004).
Proses pindah silang ini menyebabkan rekombinasi yang dimulai dengan adanya
aktivivitas endonuklease Spo11 yang bertanggung jawab dalam pembentukan
DSB (Keeney et al. 1997; Romanienko dan Camerini-Otero 1999). Bagian yang
terputus tersebut diperbaiki dengan kromosom homolognya, bukan kromatid
saudara. Proses perbaikan DSB mengarah pada pertukaran gen (penyalinan
informasi genetik dari template perbaikan ke kromosom homolog yang
8

mengalami DSB) Borner et al. 2004). Kromosom yang panjang dapat memiliki
lebih dari dua titik pindah silang (kiasmata) (Tease dan Jones 1978).

Gambar 4. Pewarnaan kromosom Locusta migratoria pada subfase diploten


menunjukkan titik pindah silang (kiasmata); bar = 10 µm (Tease dan Jones
1978).
Pada tahap ini, ikatan SCs mulai terurai saat rekombinasi sudah selesai (Tsai
dan McKee 2011). SCs pada sinapsis kromosom bekerja layaknya resleting yang
mengikat kromosom homolog di sepanjang lengannya. Fungsi SCs selanjutnya
diambil alih oleh keberadaan kiasmata yang menjaga perpasangan homolog
hingga anafase I (Zickler dan Kleckner 1999), sebagaimana yang telah diamati
pada Bombyx mori (Rasmussen 1977). Pada diakinesis, kromosom telah
terkondensasi maksimum (Gambar 3E). Nukleolus dan membran nukleus mulai
menghilang (Page dan Hawley 2004; Tsai dan McKee 2011).
Tabel 1. Hubungan jumlah kromosom, tingkat ploidi, dan kandungan DNA dengan
durasi meiosis pada enam belas spesies tanaman (Bennett 1971).
Durasi Jumlah DNA per sel
Spesies tanaman Ploidi
Meiosis (jam) Kromosom (pikogram)
Triticale 20.75 56 8x 82.7
Antirrhinum majus 24.0 16 2x 5.5
Triticum aestivum 24.0 42 6x 54.3
Haplopappus gracilis 36.0 4 2x 5.5
Rhoeo discolor 48.0 12 2x -
Secale cereale 51.2 14 2x 28.7
Allium cepa 96.0 16 2x 54.0
Ornithogalum virens 72.0 6 2x -
Tradescantia paludosa 126.0 12 2x 59.0
Tulbaghia violacea 130.0 12 2x 58.5
Tradescantia reflexa 144.0 24 2x 118.0
Lilium candidum 168.0 24 2x -
Lilium henryi 170.0 24 2x 100.0
Lilium longiflorum 192.0 24 2x 106.0
Triticum erectum 274.0 10 2x 120.0
Agapanthus umbellatus 300.0 30 2x -
2.2.2 Metafase I - Telofase II
9

Pada saat metafase I, struktur bivalen kromosom homolog berbaris pada


lempeng metafase (Gambar 3F). Pemisahan kromosom homolog terjadi pada
anafase I (Gambar 3G) dengan masing-masing kromatid saudara tetap terhubung
pada sentomer (Tsai dan McKee 2011), diikuti dengan telofase (Gambar 3H).
Telofase I pada kebanyakan organisme, sel induk sudah memiliki dari dua kutub
kromosom tanpa diikuti sitokinesis (Armstrong dan Jones 2003). Proses
pembelahan pada meiosis II tidak berbeda dibandingkan proses mitosis (Ohkura
2015), menghasilkan empat sel haploid (Gambar 3I-M) (Mercier dan Grelon
2008). Sel-sel haploid ini kemudian akan mengalami pembelahan mitosis untuk
dapat menjadi sel gamet fungsional.
Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk memahami proses meiosis secara
lebih mendalam. Berbagai hal telah diketahui mempengaruhi meiosis, seperti pengaruh
suhu, berbagai senyawa kimia, dan radiasi. Namun, pemahaman mengenai lama waktu
meiosis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya belum banyak dipelajari. Frekuensi
dan keberadaan kiasmata dapat secara langsung mempengaruhi lama waktu zigoten dan
pakiten. Durasi meiosis biasanya diukur dari awal leptoten (Bennett 1971).
Pengukuran terhadap durasi meiosis menunjukkan hasil yang bervariasi (Tabel 1).
Dari enam belas spesies tumbuhan yang diamati, lama waktu meiosis berkisar antara 21
jam pada Triticale hingga 300 jam pada Agapanthus umbellatus. Kandungan DNA per
sel dan lamanya meiosis diketahui saling berkorelasi, begitu juga dengan tingkat ploidi
spesies tersebut (Bennett 1971). Namun, Triticale (8x) dan Triticum aestivum (6x)
menunjukkan durasi meiosis yang lebih singkat dibandingkan spesies diploid lainnya.
Jumlah kromosom juga tampaknya tidak mempengaruhi durasi meiosis. Masih
diperlukan banyak studi untuk memahami proses meiosis lebih baik.

3 SIMPULAN
Dikenal dua jenis pembelahan sel pada organisme eukariot, 1) mitosis yang terjadi
pada sel-sel somatik menghasilkan dua sel anakan yang identik dengan sel induk, dan 2)
meiosis yang terjadi pada sel-sel gamet (germ cell) menghasilkan empat sel haploid
akibat adanya dua kali pembelahan inti dan satu kali penggandaan kromosom. Baik
mitosis maupun meiosis dapat dibagi ke dalam empat subfase, yakni profase, metafase,
anafase, telofase, yang kemudian akan diikuti dengan sitokinesis. Telah diketahui
banyak enzim maupun protein yang berperan dalam proses siklus sel ini, dan masih
banyak pula aspek-aspek yang belum terjawab.
10

DAFTAR PUSTAKA

Akiyoshi B, Sarangapani KK, Powers AF, Nelson CR, Reichow SL, Arellano-Santoyo
H, Gonen T, Ranish JA, Asbury CL, Biggins S. 2010. Tension directly stabilizes
reconstituted kinetochore-microtubule attachments. Nature 468: 576-579. doi:
10.1038/nature09594.
Alberts B, Bray D, Hopkin K, Johnson A, Lewis J. 2010. Essential Cell Biology. Ed-3.
USA: Garland Science.
Albini SM. 1994. A karyotype of the Arabidopsis thaliana genome derived from
synaptonemal complex analysis at prophase I of meiosis. Plant J. 5 (5): 665-672.
Armstrong SJ, Jones GH. 2003. Meiotic cytology and chromosome behaviour in wild-
type Arabidopsis thaliana. J Exp Bot. 380 (54): 1-10. doi: 10.1093/jxb/erg034.
Asbury CL, Tien JF, Davis TN. 2011. Kinetochores’ gripping feat: conformational
wave or biased diffusion?. Trends Cell Biol. 21: 38-46. doi:
10.1016/j.tcb.2010.09.003.
Attner MA, Miller MP, Ee LS, Elkin SK, Amon A. 2013. Polo kinase Cdc5 is a central
regulator of meiosis I. Proc Natl Acad Sci. 110: 14278-14283. doi:
10.1073/pnas.1311845110.
Bennett MD. 1971. The duration of meiosis. Proc R Soc Lond B 178: 277-299. doi:
10.1098/rspb.1971.0066.
Borner GV, Kleckner N, Hunter N. 2004. Crossover/noncrossover differentiation,
synaptonemal complex formation, and regulatory surveillance at the
leptotene/zygotene trasition of meiosis. Cell 117: 29-45.
Brar GA, Kiburz BM, Zhang Y, Kim J-E, White F, Amon A. 2006. Rec8
phosphorylation and recombination promote the stepwise loss of cohesins in meiosis.
Nature 441: 532-536. doi: 10.1038/nature04794.
Cockcroft CE, den Boer BGW, Healy JMS, Murray JAH. 2000. Cyclin D control of
growth rate in plants. Nature 405: 575-579.
Criqui MC, Genschik P. 2002. Mitosis in plants: how far we have come at the molecular
level? Curr Opin Plant Biol. 5: 487-493. doi: 10.1016/S1369-5266(02)00297-2.
Duro E, Marston AL. 2015. From equator to pole: splitting chromosomes in mitosis and
meiosis. Genes Dev. 29: 109-122. doi: 10.1101/gad.255554.114.
Francis D. 2009. What’s new in the plant cell cycle? Di dalam: Luttge U, Beyschlag B,
Budel B, Francis D, editor. Progress in Botany vol 70. Berlin (DE): Springer. p33-
49.
Fransz P, Armstrong S, Alonso-Blanco C, Fischer TC, Torres-Ruiz RA, Jones G. 1998.
Cytogenetics for the model system Arabidopsis thaliana. Plant J. 13 (6): 867-876.
Gonen S, Akiyoshi B, Iadanza MG, Shi D, Duggan N, Biggins S, Gonen T. 2012. The
structure of purified kinetochores reveals multiple microtubule-attachment sites. Nat
Struct Mol Biol. 19: 925-929.
Griffiths AJF, Wessler SR, Carroll SB, Doebley J. 2015. Introduction to Genetic
Analysis 11st ed. New York (USA): W.H. Freeman and Company.
Grishchuk EL, Spiridonov IS, Volkov VA, Efremov A,Westermann S et al. 2008.
Different assemblies of the DAM1 complex follow shortening microtubules by
distinct mechanisms. Proc Natl Acad Sci. 105: 6918-6923.
doi: 10.1073/pnas.0801811105.
11

Haque SM, Ghosh B. 2013. High frequency microcloning of Aloe vera and their true-to-
type conformity by molecular cytogenetic assessment of two years old field growing
regenerated plants. Bot Stud. 54: 46.
Hirano T. 2012. Condensins: universal organizers of chromosomes with diverse
functions. Genes Dev. 26: 1659-1678. doi: 10.1101/gad.194746.112.
Hunter N dan Kleckner N. 2001. The single-end invasion: an asymmetric intermediate
at the double-strand break to double-holliday junction transition of meiotic
recombination. Cell 106: 59-70.
Keeney S, Giroux CN, Kleckner N. 1997. Meiosis-specific DNA double-strand breaks
are catalyzed by Spo11, a member of a widely conserved protein family. Cell 88:
375-384. doi: 10.1016/S0092-8674(00)81876-0.
Keim CN, Martins JL, Abreu F, Rosado AS, de Barros HL, Borojevic R, Lins U, Farina
M. 2004. Multicellular life cycle of magnetotactic prokaryotes. FEMS Microbiology
Letter 240: 203-208. doi: 10.1016/j.femsle.2004.09.035.
Inagaki A, Schoenmakers S dan Baarends WM. 2010. DNA double strand break repair,
chromosome synapsis and transcriptional silencing in meiosis. Epigenetics 5: 255-
266. doi: 10.4161/epi.5.4.11518.
Ishiguro T, Tanaka K, Sakuno T, Watanabe Y. 2010. Shugoshin-PP2A counteracts
casein-kinase-1-dependent cleavage of Rec8 by separase. Nat Cell Biol. 12: 500-06.
doi: 10.1038/ncb2052.
Katis VL, Lipp JJ, Imre R, Bogdanova A, Okaz E, Habermann B, Mechtler K, Nasmyth
K, Zachariae W. 2010. Rec8 phosphorylation by casein kinase 1 and Cdc7-Dbf4
kinase regulates cohesin cleavage by separase during meiosis. Dev Cell. 18: 397-409.

doi: 10.1016/j.devcel.2010.01.014.
Klecker N. 1996. Meiosis: How could it work? Proc Natl Acad Sci. 99-8167-8174.
Margolin W. 2000. Themes and variation in prokaryotic cell division. FEMS
Microbiology Reviews 24: 531-548.
Marston AL. 2014. Chromosome segregation in budding yeast: sister chromatid
cohesion and related mechanisms. Genetics. 196: 31-63. doi:
10.1534/genetics.112.145144.
Mercier R, Grelon M. 2008. Meiosis in plants: ten years of gene discovery. Cytogenet
Genome Res. 120: 281-290. doi: 10.1159/000121077.
Meskiene I, Bogre L, Dahi M, Pirck M, Ha DTC, Swoboda I, Heberle-Bors E, Ammerer
G, Hirt H. 1995. cycMs3, a novel B-type alfalfa cyclin gene, is induced in the G 0-to-
G1 transition of the cell cyle. Plant Cell 7: 759-771.
Nicklas RB. 1965. Chromosome velocity during mitosis as a function of chromosome
size and position. J Cell Biol. 25: 119-135.
Ohkura H. 2015. Meiosis: an overview of key differences from mitosis. Cold Spring
Harb Perspect Biol. doi: 10.1101/cshperspect.a015859.
Page SL, Hawley RS. 2004. The genetics and molecular biology of the synaptonemal
complex. Annu. Rev. Cell Dev. Biol. 20: 525-558. doi:
10.1146/annurev.cellbio.19.111301.155141.
Porceddu A, Stals H, Reichheld JP, Segers G, De Veylder L, Barocco RP, Casteels P,
Van Montagu M, Inze D, Mironov V. 2001. A plant-specific cyclin dependent kinase
is involved in the control og G2/M progression in plants. J Biol Chem. 276: 36354-
36360.
12

Rasmussen SW. 1977. The transformation of the synaptonemal complex into the
“elimination chromatin” in Bombyx mori oocytes. Chromosoma (Berl.). 60: 205-221.
Rieder CL, Khodjakov A. 2003. Mitosis through the microscope: advances in seeing
inside live dividing cells. Science 300: 91-96. doi: 10.1126/science.1082177
Romanienko PJ, Camerini-Otero RD. 1999. Cloning, characterization, and localization
of mouse and human SPO11. Genomics 61: 156-169. doi: 10.1016/S1097-
2765(00)00097-6.
Stals H, Bauwens S, Traas J, van Montagu M, Engler G, Inze D. 1995. Plant CDC2 is
not only targeted to the pre-prophase band, but also co-localizes with the spindle,
phragmoplast, and chromosomes. FEBS Letters 418: 229-234.
Syukur M, Sastrosumarjo S, Wahyu Y, Aisyah SI, Sujiprihati S, Yunianti R. 2015.
Sitogenetika Tanaman. Syukur M, Sastrosumarjo S, editor. Ed ke-2. Bogor: IPB Pr.
Tamarin RH. 2002. Principles of Genetics 7th ed. USA: McGraw-Hill, Inc.
Tease C, Jones GH. 1978. Analysis of exchanges in differentially stained meiotic
chromosomes of Locusta migratoria after BrdU-Substitution and FPG staining.
Chromosoma 69: 163-178.
Traas J, Bellini C, Nacry P, Kronenberger J, Bouchez D, Caboche M. 1995. Normal
differentiation patterns in plants lacking microtubular preprophase bands. Nature
375: 676-677.
Tsai JH dan McKee BD. 2011. Homologous pairing and the role of pairing centers in
meiosis. J Cell Sci. 124: 1955-1963. doi:10.1242/jcs.006387.
Umbreit NT, Gestaut DR, Tien JF, Vollmar BS, Gonen T, Asbury CL, Davis TN. 2012.
The Ndc80 kinetochore complex directly modulates microtubule dynamics. Proc
Natl Acad Sci. 109: 16113–16118. doi: 10.1073/pnas.1209615109.
Vandepoele K, Raes J, De Veylder L, Rouze P, Rombauts S, Inze D. 2002. Genome-
wide analysis of core cell cycle genes in Arabidopsis. Plant Cell 14: 903-916.
Walczak CE, Cai S, Khodjakov A. 2010. Mechanisms of chromosome behaviour during
mitosis. Mol Cell Bio. 11: 91-102. doi: 10.1038/nrm2832.
Wilkins AS, Holliday R. 2009. The evolution of meiosis from mitosis. Genetics 181: 3-
12. doi: 10.1534/genetics.108.099762.
Yokota H, van den Engh G, Hearst JE, Sachs RK, Trask BJ. 1995. Evidence for the
organization of chromatin in megabase pair-sized loops arranged along a random
walk path in the human G0/G1 interphase nucleus. J Cell Biol. 130 (6): 1239-1249.
Zickler D, Kleckner N. 1999. Meiotic chromosomes: integrating structure and function.
Annu. Rev. Genet. 33: 603-754.

Anda mungkin juga menyukai