MASYARAKAT
MATA KULIAH KRIMINOLOGI
DISUSUN
O
L
E
H
NAMA : SALSHABILLA
NAMIRA PUTRI LUBIS
NIM : 190200135
GRUP : C
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Hubungan Kejahatan,
Penjahat dan Hubungan Masyarakat “ ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Dosen
Drs. Marlina SH., M.Hum pada Mata Kuliah Hukum Adat Lanjutan SIM C. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Hukum Waris Adat bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang
saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
A. Latar Belakang
Kejahatan di samping masalah kemanusiaan juga merupakan masalah sosial, tidak hanya
merupakan masalah bagi masyarakat tertentu, tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh
seluruh masyarakat di dunia. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sulit bagi negara manapun di
dunia untuk dapat melenyapkan kejahatan secara total, sebagaimana Emile Durkheim menyatakan;
kejahatan adalah suatu gejala normal di dalam kehidupan masyarakat yang bercirikan
heterogenitas dan perkembangan sosial, dan oleh karena itu tidak mungkin dapat dimusnahkan
secara tuntas. Akan tetapi jika kita mampu untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan mungkin timbulnya kejahatan atau sebab yang mendorong pelanggaran norma-norma
hukum dalam masyarakat, maka setidaknya kita dapat mengurangi jumlah kejahatan serta
membina para pelanggar norma tersebut. Maka dari itu Makalah ini akan membahasa tentang
Hubungan Kejahatan, Penjahat dan Reaksi Masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
• Hubungan Kejahatan
Apabila model konsesus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dari
nilai-nilai dasar manusia, sebaliknya model pluralis menyadari adanya keanekaragaman
kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan
nilai-nilai. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang
sepakat terhadap struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa
membahayakan kesejahteraan masyarakat. Menurut perspektif tersebut, konflik timbul karena
adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenal asal dan
bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, perspektif konflik
menekankan pada adanya paksaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem hukum
tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai
mekanisme yang diciptakan oleh kelompok politis yang paling berkuasa untuk melindungi dan
mencapai kepentingan-kepentingannya sendiri. hukum bukan saja untuk melayani pencapaian
kepentingan-kepentingan tertentu bagi kelompok yang memiliki kekuasaan, akan tetapi juga
kepentingan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya.
Secara teknik yuridis, istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjukan perbuatan-
perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana, akan tetapi bagi
kriminologi harus ada kebebasan untuk memperluas studinya di luar batasan pengertian yuridis,
bukan saja untuk dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menelusuri apa yang dipandang
sebagai kejahatan, namun juga munculnya pemikiran yang menghasilkan model konflik dalam
pembentukan undang-undang kritis yang menghasilkan model konflik dalam pembentukan
undang-undang sebagiamana disebutkan diatas. Di samping itu, hukum tidak lain merupakan sa`
lah satu norma di antara sistem norma yang lain yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam
bahasa psikoanalisa hanya sebagai suatu tabu di antara tabu-tabu yang lain, yaitu norma agama,
kebiasaan dan moral.
Hubunganya yaitu menganai istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung
banyak arti seperti delik agama, delik terhadap agama, delik yang berhubungan dengan agama
Suatu kebiasaan gejala sosial bisa di katakan bahwa timbulnya kejahatan merupakan
suatu kebiasaan produk yang dihasilkan oleh masyarakat.
Sering dikatakan bahwa kebiasaan merupakan sumber dari hukum dan juga seringkali
kebiasaan kemudian ditarik menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum H.Kontrowicz
memberikan daftar kebiasaan tetapi bukan merupakan hukum yaitu : etiket, kebiasaan saling
memberi hadiah pada kesempatan tertentu, tata cara pemberian selamat, topiktopik pembicaraan
bentuk-bentuk surat, etika profesi, tingkat kebebasan dalam hubungan sosial antar seks dan
sebgainya, misalnya : dalam keadaan tertentu maka kebiasaan saling memberi hadiah, kadang-
kadang dianggap sebagai tindak pidana seperti korupsi perbedaan antara kebiasaan dengan
hukum adalah bahwa kebiasaan terikat pada lapis sosial, kelompok, daerah dan suku bangsa,
sedangkan hukum bersifat nasional.
Pertimbangan tentang baik buruknya suatu hal kemungkinan itu adalah : Suatu perbuatan
adlah kejahatan yang bertentangan dengan moral Contohnya: (Pembunuhan, pencurian,
merupakan kejahatan yang sekaligus bertentangan dengan moral).
• Penjahat
Pengertian Penjahat. Orang yang melakukan tindak kejahatan disebut penjahat. Istilah penjahat
dipakai dalam ilmu krimonologi, sedangkan di dalam hukum pidana, tidak dikenal istilah penjahat. Orang
yang melakukan tindak kejahatan dalam hukum pidana disebut sesuai dengan tingkatannya, yaitu :
Hal tersebut dikarenakan adanya asas "praduga tidak bersalah", sehingga sebelum ada
keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (in kracht), yang bersangkutan belum bisa dinyatakan
sebagai orang yang melakukan tindak kejahatan.
Pengertian penjahat dapat kita tinjau dari berbagai macam aspek diantaranya:
1. Pengertian Penjahat dari Aspek Yuridis Penjahat adalah seseorang yang melanggar
peraturan – peraturan atau undang – undang pidana dan menyatakan bersalah oleh
pengadilan serta dijatuhi hukuman. Selama belum dijatuhi hukuman, maka seseorang
belum dianggap penjahat. Asas ini disebut premsemtium of inocence sebagaimana
termuat dalam pasal 8 Undang – Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
2. Pengertian Penjahat dari Aspek Intelegensia Vollmer sebagai seorang tokoh di bidang
kriminologi mengatakan bahwa penjahat adalah orang yang dilahirkan tolol dan tidak
mempunyai kesempatan untuk mengubah tingkah laku karena baginya tidak dapat
mengendalikan dirinya dari perbuatan – perbuatan anti sosial yang merugikan individu –
individu lainnya.
3. Pengertian Penjahat dari Aspek Ekonomi Parson memberikan batasan bahwa yang
dimaksud dengan penjahat adalah orang yang mengancam kehidupan dan kebahagiaan
orang lain dan membebankan kepentingan ekonominya pada masyarakat di sekelilingnya.
11 Lihat rumusan pasal 8 Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok
Kekuasaan Kehakiman Universitas Sumatera Utara.
4. Pengertian Penjahat dari Aspek Sosial Mabel Elliot mengatakan bahwa penjahat adalah
orang – orang yang gagal dalam menyesuaikan dirinya dengan norma – norma
masyarakat sehingga tingkah lakunya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat.
6. Pengertian Penjahat dari Aspek Filsafat Sokrates mengatakan penjahat adalah orang –
orang yang suka melakukan perbuatan bohong. b Pengertian Kejahatan Dalam Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana tidak ada suatu ketentuan hukum pidana yang
merumuskan pengertian dari kejahatan hanya memberikan perumusan perbuatan
manakah yang dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.
• Reaksi Masyarakat
Reaksi sosial terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan (penjahat) seperti yang telah Kita
pahami bahwa kejahatan adalah suatu perbuatan yang merugikan masyarakat sehingga
terhadapnya diberikan reaksi yang negatif. Kita juga telah pahami bahwa reaksi terhadap
kejahatan dan penjahat, dipandang dari segi pelaksanaannya. dilihat dari segi pencapaian
tujuannya dapat dibagi menjadi dua yakni; Reaksi Represif dan Reaksi Preventif. Karena
berbeda tujuannya maka secara operasionalnya pun akan berbeda, khususnya dari metode
pelaksanaan dan sifat pelaksanaannya.
1. Reaksi Represif
Reaksi represif adalah Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat (formal) yang ditujukan
untuk menyelesaikan kasus atau peristiwa kejahatan yang telah terjadi, guna memulihkan situasi
dengan pertimbangan rasa keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi. CONTOH KASUS;
TEMA (PEMBOBOLAN )
2. Reaksi Preventif
Yang dimaksud dengan reaksi atau tindak preventif adalah tindak pencegahan agar
kejahatan tidak terjadi. Artinya segala tindak-tindak pengamanan dari ancaman kejahatan adalah
prioritas dari reaksi preventif ini. Menyadari pengalaman-pengalaman waktu lalu bahwa
kejahatan adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat maka anggota masyarakat
berupaya untuk mencegah agar perbuatan tersebut tidak dapat terjadi.
Selain reaksi represif dan reaksi preventif ada juga reaksi formal dan reaksi informal,
1. Reaksi Formal
Reaksi formal terhadap kejahatan adalah reaksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan
atas perbuatannya, yakni melanggar hukum pidana, oleh pihak-pihak yang diberi wewenang atau
kekuatan hukum untuk melakukan reaksi tersebut.
Sebagai suatu sistem pengendali kejahatan maka secara rinci, tujuan sistem peradilan
pidana, dengan demikian adalah;
b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta
c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.
Usul Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didukung organisasi masyarakat sipil
salah satunya, Indonesian Corruption Watch (ICW) untuk mengenakan simbol-simbol berupa
pakaian khusus bagi tersangka pelaku korupsi. Hal ini semakin menarik ketika ICW secara
khusus mengusulkan sejumlah rancangan pakaian khusus bagi koruptor tersebut.
Sulit untuk melihat bahwa shaming dalam bentuk "pakaian khusus koruptor" masuk
dalam reintegrative shaming. Tujuannya lebih pada membuat malu itu sendiri dan sebagian
berpendapat untuk membuat jera. Perlu dipahami bahwa keinginan untuk membuat malu dan jera
lebih melihat pada aspek kesalahan dari pelaku atau tidak melihat pada sejauh
mana shaming bermanfaat untuk memulihan konflik.
Namun, hal ini tidak sekaligus berarti reaksi yang diberikan justru melanggar hak-hak
dari para pelaku koruptor. Terlebih lagi bila para koruptor yang dimaksud masih berstatus
sebagai tersangka. Sederhananya, reaksi tetap harus melindungi hak tersangka untuk diduga
tidak bersalah. Bila ini kembali dilihat dengan filosofi pemasyarakatan jelas tidak mendukung
semangat memberikan reaksi formal yang manusiawi dan melindungi HAM.
Ketiga pertimbangan ini perlu diperhatikan dengan baik bila tujuan akhir dari setiap
reaksi formal terhadap kejahatan adalah "meluruskan" kesalahan pelaku dan membuatnya
diterima kembali di masyarakat. Ide "pakaian khusus koruptor" dalam hal ini masih terlalu jauh
dari bermanfaat bagi upaya memerangi korupsi di negeri ini.
Hal yang jauh lebih penting dalam menimbulkan penjeraan ini adalah kepastian bahwa
proses hukum berjalan bagi siapapun yang melakukan korupsi dan kepastian bahwa hakim akan
memberikan hukuman yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Satu penjelasan teoritik tentang peran membuat malu pada pelaku kejahatan untuk tujuan
mengintegrasikan kembali dirinya dengan masyarakat. Penjelasan teoritik tersebut
disebut Reintegrative Shaming. Pelaku kejahatan cukup dibuat malu namun ditujukan untuk
membuat dirinya dan masyarakat sadar atas kesalahan yang telah dilakukan. Dalam konteks
tipologi kejahatan, memang tidak semua jenis kejahatan dapat dipulihkan dengan cara ini.
Berkebalikan dengan reintegrative shaming, ada pula upaya membuat malu yang tidak
ditujukan untuk reintegrasi pelaku, yaitu stigmatisasi. Dalam hal ini pelaku kejahatan cukup
hanya dibuat malu dan lebih jauh dari itu juga menciptakan "rasa sakit" secara psikologis.
Stigmatisasi secara simbolik juga memperlihatkan penolakan masyarakat bagi pelaku kejahatan.
2. Reaksi Informal
Reaksi informal yang dilakukan bukan oleh aparat penegak hukum tetapi oleh warga
masyarakat biasa. Masyarakat biasa di samping telah mendelegasikan haknya kepada aparat
penegak hukum berhak saja bereaksi terhadap kejahatan dan penjahat sebatas mereka tidak
melanggar peraturan yang ada.
Dalam kasanah kriminologi, reaksi informal dari masyarakat itu lebih dikenal sebagai
tindak kontrol sosial informal. Studi-studi memperlakukan beberapa aspek dari kontrol sosial
informal pada tingkat komunitas ketetanggaan yang digunakan untuk membangun tipologi dari
definisi operasional dari kontrol sosial informal. Definisi operasional ditemui dalam dua dimensi
yaitu; bentuk dan tempat.
BAB III
PENUTUP
Dalam menentukan hubungan kejahatan, penjahat dan reaksi masyarakat mana yang
menjadi teori untuk hasil yang maksimal akan dicapai apabila kita dapat menentukan perspektif
mana yang akan digunakan. Penentuan perspektif ini kemudian memberikan patokan kepada kita
dalam usaha penelusuran dan pencarian kebenaran terhadap realita yang ada di dalam
masyarakat (kejahatan dan penyimpangan yang merupakan satu gejala sosial masyarakat).
Karena itu dibutuhkan suatu paradigma berpikir yang akan menuntun ke arah fokus perhatian
suatu masalah sehingga masalah tersebut dapat dikaji secara mendalam
Keterkaitan dan kesesuaian antara hubungan masyarakat, penjahat dan reaksi masyarakat
dengan perspektif dan paradigma yang ada merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak
dapat dipisahkan. Sejatinya, hal ini merupakan elemen-elemen yang membentuk paradigma
tersebut sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap perspektif yang dimiliki
secara jelas dan ilmiah. Ketidakpahaman kita terhadap kesesuaian teori dengan paradigma akan
berdampak kepada hasil pengamatan pengkajian yang keliru dan sulit untuk dipertanggung
jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.ums.ac.id/31460/2/Bab_1.pdf
http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/2923/06bab2_Supandi_10040011087_
skr_2015.pdf?sequence=6&isAllowed=y
https://legalstudies71.blogspot.com/2018/12/pengertian-kejahatan-dan-penanggulangan.html
http://fauzistks.blogspot.com/2011/08/makalah-reaksi-masyarakat-terhadap.html
http://scholar.unand.ac.id/29371/2/BAB%201.pdf
Soekanto, soerjono, et all., kriminologi suatu pengantaar, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1986
halaman 46
Santoso, topo, et all., kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grapindo persada, 2001, halaman 57-79