Anda di halaman 1dari 3

ARIO BUKAN ANAK MUNAFIK

"Bun, hari ini aku ada janji ke rumah temen," kata Ario kepada sang bunda.

"Jam berapa?" balas sang bunda.

"Nanti sore, jam empat. Mau ngerjain tugas."

"Ya boleh, mau berangkat sendiri apa diantar ayah?"

"Berangkat sendiri, bun, Rio kan sudah besar!"

"Iya-iya."

Demikianlah, Ario dengan sangat yakin mengikuti pendiriannya untuk memenuhi perjanjian yang telah
dibuat. Dia selalu diajari: bagaimanapun juga, sekuat tenaga, jangan jadi anak munafik. Bahkan bukan
hanya diajari, dia belajar sendiri.

Ketika untuk pertama kalinya Ario ditantang Tuhan untuk memilih suatu prinsip hidup demi
kelangsungan hidupnya hingga tua, dia memilih suatu kata-kata yang keluar dari guru ngajinya:

“Rasulullah SAW bersabda: Tanda orang munafik tiga; apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji
mengingkari, dan bila dipercaya mengkhianati."

Perjanjian yang dibicarakan dengan ibunya itu, adalah perjanjian dengan beberapa temannya: Fredi,
Rehan, Rizal, dan Dani. Guru Ario memberikan tugas yang cukup sulit jika dikerjakan oleh anak kelas 5
SD.

"Buatlah dua model pengungkit dari tiga jenis pengungkit yang kita pelajari!" kata si guru. Si guru pun
membagi tiga puluh siswa di kelas Ario menjadi enam kelompok, lima orang satu kelompok.

Beruntung Ario mendapatkan rekan tim yang dijuluki "Anak Sultan". Bocah itu adalah Fredi. Dengan ini,
ada dua kemungkinan yang bisa terjadi selama mereka melakukan "kerja kelompok": Fredi sudah
menyiapkan semua bahan yang diperlukan sehingga Ario dan rekan-rekannya bisa langsung beraksi;
atau Fredi sudah memiliki dua model pengungkit yang dimaksud sehingga mereka tidak perlu bekerja
keras, dan bermain banyak hal di rumah Fredi.

Maka dari itu, tim Ario tidak perlu repot-repot mencari bahan-bahan yang diperlukan. Mereka hanya
perlu berpenampilan layak dihadapan keluarga Fredi yang terhormat, kemudian datang ke rumah "besar
nan mewah" si "anak sultan" itu.

Tetapi mengejutkan, semua kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan Ario tidak terpenuhi,


melenceng bak misil yang melewati targetnya. Ketika Ario tiba di rumah "besar nan mewah" itu, dia
dihadang oleh dua orang bodyguard penjaga gerbang.

"Tuan muda lagi pergi. Tugasnya sudah jadi. Besok biar tuan muda yang ngantar ke sekolah. Kamu
pulanglah!" kata salah satu bodyguard.
Disetiap perjanjian dengan kelompok-kelompoknya, Ario selalu menargetkan bisa datang lebih awal dari
yang direncanakan. Dia bangun lebih cepat, mandi lebih cepat, bersiap-siap lebih cepat, dan datang
lebih awal dari teman-temannya. 

Terkadang ketika dia datang ke tempat tujuan perjanjian, dia harus menunggu sangat lama karena
tempat itu—rumah salah satu rekannya yang disepakati digunakan untuk mengerjakan tugas kelompok
—seolah-olah TKP yang tidak boleh dimasuki: gerbang tertutup rapat, pintu dan jendela terkunci, dan
tidak ada orang sama sekali. Dan setelah sekian lama menunggu, si pemilik rumah memberitahu lewat
pesan elektronik yang bisa dilihat Ario di ponselnya, bahwa dia si pemilik rumah sedang tidak ada di
rumah, pergi entah kemana—si pemilik rumah selalu enggan mengatakan tujuannya.

Hal-hal seperti itu sering terjadi. Tak sedikit yang pada akhirnya berakhir seperti yang terjadi Ketika Ario
menjadi rekan Fredi. Hingga Ario mengira hanya para gadis yang selalu serius dan memegang janji.
Untuk itulah Ario selalu mengusulkan untuk menggunakan rumah salah satu dari rekan timnya yang
seorang gadis, dan dia selalu bersikeras.

“Rumahnya Dian saja, lho, enak.”

“Matamu, ibunya galak tau!” respon salah satu rekan tim Ario.

“Gitu-gitu biasanya kita dikasi nasi, lho, enak lagi nasinya.”

“Bener juga tuh, nggak ada yang bisa nolak masakannya ibunya Dian. Nggak pa-pa deh, kita ke
rumahnya Dian aja,” kata rekan timnya yang lain lagi, tidak lain dan tidak bukan adalah Rizal.

Tetapi sudah tentunya, bekerja Bersama seorang gadis, di rumah gadis itu pula, akan menimbulkan
fitnah. Setidaknya barusan kelas lima ini Ario memahami konser tersebut. Maka dari itu, semenjak
duduk di kelas lima ini, dia tidak pernah mengambil seorang gadis sebagai rekan timnya.

Konsequensinya, tidak banyak yang dia kerjakan. Dia tidak pernah sibuk. Begitu ada perjanjian “kerja
kelompok”, dia sekedar datang. Jika kasusnya tidak seperti Fredi yang sedang tidak ada di rumah, maka
waktunya bermain.

Hanya saja opsi kedua nyatanya jarang sekali datang. Teman-teman sekelas Ario seolah-olah sudah
terbiasa untuk tidak ada dirumah setiap sore. Selalu tidak ada, Ario selalu berakhir dengan pulang.

Hingga terbisik di hatinya, tercipta di otaknya, “gimana kalau aku jadi kayak mereka, nggak datang dan
ngelanggar perjanjian.”

Beberapa hari setelah tugas membuat dua model pengungkit itu, guru Bahasa Inggris Ario memberi
tugas lagi untuk membuat suatu drama. Lagi-lagi Ario mendapat tim yang sama, akibat guru Bahasa
Inggris itu memilih tim secara acak. Sama-sama lima anak, sama-sama dengan Fredi. Bedanya adalah
Rehan tergantikan dengan Johan. Maka lagi-lagi perjanjian “kerja kelompok” diadakan di rumah Fredi.

Ario pun menghitung dalam kepalanya, melihat pola yang berlaku, dimana otaknya berkesimpulan
bahwa Fredi tidak akan ada di rumah. Maka Ario tidak memberitahu bundanya dan memilih tidak
berangkat.

Tetapi Sang Bunda ternyata tahu.

“Rio, katanya kamu dapat tugas mbikin drama Bahasa Inggris?” tanya bunda.
“Iya, bun, tapi nggak tahu temen-temen Rio mau ngerjain-nya kapan. Besok di sekolah tak-tanyakan.”

“Pokoknya tetep dikerjakan, ya, tugasnya, Rio! Inggat, Rio nggak boleh jadi anak munafik, tugas dari
guru nggak dikerjakan. Tugas itu amanat juga.”

Dari aplikasi ke teori, otak Ario mencoba menyusun berbagai informasi. Ario adalah anak kelas lima SD,
memiliki otak kelas lima SD, sebuah otak yang hanya bisa berfikir tentang dirinya sendiri. Otak yang
masih diselimuti keegoan. Maka dibutuhkan suatu faktor eksternal untuk memulai evolusi. Perubahan
besar terhadap cara berpikir. Nasehat Sang Bunda-lah faktor eksternal itu, yang membawa otak Ario
menuju suatu pemikiran logika.

“Drama, kan, butuh orang buat bikin, orangnya juga butuh latihan. Nggak ada namanya drama dibuatin
orang tua. Kalau dramanya dibuatin orang tua, yang main nanti, ya, orang tuanya, kan.”

Maka, untuk pertama kalinya, Ario membuat keputusan dan menolak egonya mentah-mentah.

“Nanti sore, Bun! Ini aku baru di SMS sama Fredi,” teriak Ario menarik perhatian Sang Bunda.

“Di rumahnya Fredi lagi? Nanti kamu ke sana sendiri pakai sepeda, ya, ayah mungkin bakalan pulang
malam.”

“Siap, Bun,” kata Ario dengan semangat. Dia mendapatkan hal baru yang jauh lebih bagus dari pada
mainan-mainannya.

Anda mungkin juga menyukai