Anda di halaman 1dari 11

Perempuan atau Wanita?

Makna Perjuangan di Balik Kata


Diposkan pada 8 Maret 2019

Perempuan dan laki-laki kerjasama saat panen. lokasi: Kampung Ciwaluh

Hari ini, kita menyambut Hari Perempuan Internasional yang diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya.
Kenapa dalam peringatan ini dan juga dalam berbagai gerakan sosial kata yang digunakan adalah
‘perempuan’ dan bukan ‘wanita’? Dalam keseharian, kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ sering dipakai saling
menggantikan dan memiliki pengertian yang relatif sama. Namun dalam gerakan sosial, khususnya
perjuangan kesetaraan jender dan gerakan feminisme, kata ‘perempuan’ yang selalu digunakan, dan
bukannya tanpa alasan. Artikel ini kita akan membahas pilihan dua kata tersebut.

‘Perempuan’ secara etimologis berasal dari kata bahasa Sansekerta pu yang berarti hormat, kehormatan.
Zoetmulder mengatakan dalam (Pudjiastuti, 2009: 5) kata ‘perempuan’ berasal dari kata empu dalam
bahasa Jawa kuno berarti tuan, mulia, hormat. Suyitno menjabarkan bahwa kata empu yang diadopsi ke
dalam Bahasa Indonesia mengalami a ksasi dengan penambahan imbuhan yaitu ‘per’ dan ‘an’  yang
kemudian membentuk kata ‘perempuan’.  (Suyitno, 2015)

‘Wanita’ pun berasal dari kata Sansekerta van yang berarti ingin dan ita yang berarti yang di (dalam
bentuk pasif). Jika disimpulkan lalu menjadi yang diinginkan. Kata tersebut lalu diserap oleh Jawa kuno
menjadi wanita, dipakai terus dalam bahasa Jawa modern, dan diserap kembali oleh Bahasa Indonesia.
(Slametmuljana, 1964).
Perempuan adat sedang panen pare gede (padi lokal)

Menurut Budiman (1992: 72-73), seiring berjalannya waktu ‘perempuan’ mengalami peyorasi atau
penurunan nilai makna. Budiman menjelaskan lebih lanjut bahwa, berkebalikan dengan  ‘perempuan’,
 ‘wanita’ mengalami ameliorasi atau perbaikan nilai makna. Menurut KBBI online, ‘perempuan’ digunakan
dalam sembilan frasa yaitu ‘perempuan geladak’ (pelacur), ‘perempuan jahat’, ‘perempuan jalan’ (pelacur),
‘perempuan jalang’, ‘perempuan jangak’ (cabul), ‘perempuan lacur’, ‘perempuan lecah’ (pelacur),
‘perempuan nakal’, dan ‘perempuan simpanan’; semuanya berasosiasi negatif. Sementara, ‘wanita’
digunakan dalam dua frasa, ‘wanita karir’ dan ‘wanita tuna susila’; satu frasa negatif dan satu frasa positif.
Namun begitu, pada penggunaan kata ‘wanita’ dalam konteks negatif pun, yaitu ‘wanita tuna susila’,
‘wanita’ didekatkan pada frasa yang telah mengalami penghalusan (ameliorasi) sehingga keseluruhan
frasanya menjadi lebih positif dibandingkan -misalnya- dengan ‘wanita amoral’ atau ‘wanita biadab’. Maka
dalam praktik penggunaannya, setidaknya seperti yang tergambar dalam KBBI online,  asosiasi
‘perempuan’ adalah negatif, sementara ‘wanita’   adalah positif. Apa yang terjadi dengan mempositifkan
makna kata ‘wanita’? Dampaknya adalah kondisi sosial kelompok tersebut yang sebenarnya, yang
seringkali tidak positif, menjadi luput dari perhatian dan kesadaran public. Karena pada kenyataanya,
kondisi kehidupan wanita, walaupun telah membaik, namun belum mencapai situasi yang positif, yang
agung, yang memiliki karir, yang berposisi tinggi, sebagaimana rasa yang terkandung dalam penggunaan
kata ‘wanita’ tersebut.
Kegiatan Sarasehan “Suara Perempuan Kasepuhan untuk Kemajuan Penghidupan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak”

Perubahan makna tersebut diduga disebabkan oleh praktik-praktik penggunaannya pada masa Orde
Baru di mana kita mengenal adanya Menteri Urusan Peranan Wanita[1] (Rampung, 2012; Wulandari &
Candria, 2012). Salah satu contohnya adalah penggunaannya dalam program Dharma Wanita di era Orde
Baru yang seakan-akan memberdayakan dan memberi ruang pada perempuan namun tidak demikian jika
dilihat dari Panca Dharma Wanita yang menjadi pilar-pilar utamanya yang justru memposisikan
  perempuan sebagai warga negara kelas dua. Panca Dharma Wanita terdiri dari 5 pilar yaitu “Wanita
sebagai pendamping suami, wanita sebagai ibu penerus keturunan, wanita sebagai pengurus rumah
tangga, wanita sebagai pencari nafkah tambahan, wanita sebagai anggota warga negara” (Wulandari &
Candria, 2012, p. 2). Sementara hubungan ini adalah timbal balik, tidak ada pilar-pilar yang mengatur
peran laki-laki sebagai pasangan dari perempuan. Artinya, berbagai pengaturan yang berlebih dalam
konteks ini hanya dialami oleh perempuan.

Tidak hanya itu, keberadaan Dharma Wanita sebagai organisasi yang beranggotakan isteri dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sudah bermasalah. Ingat juga bahwa ada Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di
era Orde Baru yang merupakan organisasi beranggotakan PNS. Keberadaan kedua organisasi ini secara
bersamaamengumpamakan hanya laki-laki saja yang dapat menjadi PNS. Mengapa organisasi seperti ini
tidak dibuat berbasis keluarga saja? Hal ini menunjuk pada permasalahan yang lebih luas tentang
pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga: laki-laki mencari nafkah – perempuan
melahirkan dan merawat anak dan rumah. “Orde Baru itu menggunakan ideologi peng-ibu-rumah-tangga-
an,” menurut Ratnasari, Pengkaji Jender sekaligus Associate RMI.

Secara pragmatis, penggunaan kata perempuan


yang sudah mengalami peyorasi/penurunan nilai
makna dalam gerakan sosial, pun dalam
keseharian, dimaksudkan untuk selalu
mengingatkan bahwa perempuan masih berada
dalam kondisi yang memprihatinkan. Hal
tersebut diperkuat oleh Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana
Yembise dalam  Sidang Umum International
Council of Women (ICW) ke-35 di Yogyakarta,
pada 14 September 2018. Ia menyebutkan
bahwa perempuan dan anak seringkali
mengalami berbagai kekerasan, baik sik, psikis
dan seksual, serta menjadi korban stereotype,
marginalisasi, subordinasi, dan beban ganda.
Banyak perempuan dianggap hanya pantas
untuk melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan urusan rumah tangga. RMI sendiri dalam
isu pengelolaan sumber daya alam melihat
berbagai bukti bagaimana perempuan tidak
mendapatkan kesempatan dan pengakuan atas
peran mereka dalam mengelola sawah, kebun,
maupun ruang-ruang produksi lain. Penelitian
RMI yang dilakukan oleh Nurhamidah et al
(2017) menunjukkan bahwa dalam satu siklus
bertani mulai dari tahap penyemaian hingga
penyimpanan hasil panen ke leuit/lumbung padi
di wilayah masyarakat adat Kasepuhan Banten
Kidul, misalnya, perempuan berperan dalam 9
tahap dari 14 tahap bertani), dimana 5 tahap di
antaranya dilakukan hanya oleh perempuan dan
4 tahap lainnya dilakukan bersama dengan laki-
laki. Pada waktu-waktu, tertentu, di saat laki-laki
harus bekerja di tempat lain, perempuan
mengerjakan dua tahap lain yang biasanya
dikerjakan laki-laki, yaitu menebas dan
mencangkul. Sekedar perbandingan, penelitian
tersebut juga menunjukkan bahwa laki-laki
mengerjakan jumlah yang sama dengan perempuan, yaitu 5 tahap yang dilakukan oleh laki-laki saja, dan
4 lainnya dikerjakan bersama perempuan. Namun, sangat jarang laki-laki mengerjakan bagian yang sudah
menjadi tugas perempuan saja. Jumlah peran yang sama tersebut lalu hanya memberi otoritas bagi laki-
laki dalam berbagai program pertanian, juga yang mendapat predikat sebagai petani. Sementara,
perempuan acap kali hanya dianggap sebagai pembantu petani, sehingga jarang mendapatkan
kesempatan untuk peningkatan kapasitas mereka dalam bertani maupun dalam pengambilan keputusan
mengenai rencana pengelolaan pertanian mereka.

Melihat penjelasan di atas, jelas bahwa tujuan penggunaan kata ‘perempuan’ adalah untuk tetap
mengingatkan kita bahwa perempuan masih mengalami diskriminasi di berbagai situasi, walaupun
perbaikan-perbaikan sudah terjadi dan dirasakan. Dengan mengingat dan mengakui situasi perempuan
yang masih terdiskriminasi, maka diharapkan berbagai upaya perbaikan terhadapnya terus diupayakan
oleh berbagai pihak. Karena, tanpa mengakui atau mengetahui dengan persis suatu penyakit yang
diderita, tentunya kita tidak bisa mengobati dengan tepat, kan? Walaupun tentu saja, mau mengakui
penyakit yang diderita atau pun tidak merupakan hak prerogratif setiap orang.

Penulis: Siti Marfu’ah dan Wahyubinatara Fernandez

Editor: Mardha Tillah

Sumber:
A. Nurhamidah, N. F. (2017). Tutur Perempuan Adat Perjuangan Hidup Perempuan Kasepuhan di Kabupaten
Lebak dari Masa ke Masa. Bogor: RMI.

Budiman, K. (1992). Subordinasi Perempuan Dalam Bahasa Indonesia. Dalam B. Susanto, Citra Wanita
dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Hakim, L. (2018, September 14). Berita. Dipetik Maret 5, 2019, dari www.antaranews.com:
https://www.antaranews.com/berita/748120/menteri-pppa-sidang-umum-icw-majukan-perempuan

Muljana, S. (1964). Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.

Pudjiastuti, T. (2009, Mei 26-28). Sita Berperasaan Perempuan. Workshop on Old Javanese Ramayana:
Texts, Culture, and History. ANRC, Gonda Foundation, EFEO, KITLV, Jakarta, Indonesia.

Rampung, B. (2012, Juni 4). Wanita atau Perempuan. Dipetik Maret 5, 2019, dari bone-
rampung.blogspot.com: http://bone-rampung.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false-en-us-
x-none_5303.html

Setiawan, E. (2019). Perempuan. Dipetik Maret 06, 2019, dari KBBI Online:
https://kbbi.web.id/perempuan

Setiawan, E. (2019). Wanita. Dipetik Maret 06, 2019, dari KBBI Online: https://kbbi.web.id/wanita

Sudarwati, D. J. (1997). Journal. Dipetik 05 Maret Selasa, 2019, dari www.angel re.com:
http://www.angel re.com/journal/fsulimelight/betina.html

Suyitno, D. N. (2015). Publication. Dipetik 07 Maret, 2019, dari www.researchgate.net:


https://www.researchgate.net/publication/275034845_Perempuan_Wanita_atau_Betina

Wulandari, D., & Candria, M. (2012). Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam
Konteks Critical Discourse Analysis. Seminar Nasional Budaya di Pantai Utara Jawa, (hal. 1-21). Semarang.

[1] Sekedar pembanding, pada masa pemerintahan Gus Dur, yaitu pasca reformasi hingga hari ini, kita
penggunaan kata ‘wanita’ pada kementerian tersebut sudah tidak lagi berlanjut, digantikan dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan (dulu) atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (sekarang)

#PerempuandanPSDA

Diposkan dalam Jender dan Pengelolaan SDA, Kepemimpinan Perempuan dan Pemuda dalam PSDA dan
dilabeli Perempuan atau Wanita. Markahi permalink.
← TNGHS Siap Bekerjasama Dengan Masyarakat Kasepuhan Mengelola Hutan Adat
“Perempuan” or “Wanita: The Meaning of Struggle
Behind a Word →

Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

Nama *

Email *

Situs Web

KIRIM KOMENTAR

CARI

Cari …

POS-POS TERBARU

Siaran Pers “KOALISI HUTAN ADAT TOLAK RUU CIPTA KERJA”

Disaring, Kegiatan Relawan 4 Life Di Tengah Pandemi


Pangan Liar Sebagai Alternatif Sumber Makanan

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug Dalam Menjaga Lingkungan

Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

KATEGORI

Advokasi Kebijakan

Agenda

Ekonomi Kerakyatan

Jender dan Pengelolaan SDA

Kampanye Publik

Kebijakan Pengelolaan SDA yang Inklusif

Kepemimpinan Perempuan dan Pemuda dalam PSDA

Kerja RMI

Kertas Kebijakan

Lembar Fakta & Infogra s

Pengelolaan Pengetahuan

Pengorganisasian Masyarakat

Program

Publikasi

Regenerasi Pengelolaan SDA

Relawan

Siaran Pers

Siaran Pers1

Tak Berkategori

KOMENTAR TERBARU
Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial – Relawan for Life pada
Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial

Disaring 1.0: Penyakit Manusia Dan Hewan Liar, Berhubungankah? – Relawan for Life pada Diskusi
Daring Generasi Muda: Disaring 1.0 – Penyakit Manusia dan Hewan Liar, Berhubungankah?

Tahun Baru, Teguran Berulang - Rimbawan Muda Indonesia pada Hak Ruang Hidup – Yang
Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan

Faridpranata pada RAPAT KERJA SATUAN ADAT BANTEN KIDUL (SABAKI)

Selamat Hari Ibu Bumi, Ibu Bangsa – Indri Guli pada Selamat Hari Ibu Bumi, Ibu Bangsa

ARSIP

Juli 2020

Juni 2020

Mei 2020

April 2020

Maret 2020

Februari 2020

Januari 2020

Desember 2019

November 2019

Oktober 2019

September 2019

Agustus 2019

Mei 2019

April 2019

Maret 2019

Februari 2019

Januari 2019

Desember 2018
November 2018

Oktober 2018

September 2018

Agustus 2018

Juli 2018

Juni 2018

Mei 2018

April 2018

Maret 2018

Januari 2018

Desember 2017

November 2017

Oktober 2017

September 2017

Agustus 2017

Juli 2017

Juni 2017

Mei 2017

April 2017

Maret 2017

Februari 2017

Desember 2016

November 2016

Oktober 2016

September 2016

Agustus 2016
Juli 2016

Mei 2016

April 2016

Maret 2016

Februari 2016

Januari 2016

Desember 2015

November 2015

Oktober 2015

September 2015

Agustus 2015

Juli 2015

April 2015

Maret 2015

Februari 2015

Januari 2015

Desember 2014

November 2014

Oktober 2014

September 2014

Juli 2014

Juni 2014

Mei 2014

April 2014

Desember 2013

November 2013
Juli 2013

Maret 2013

rmibogor@indo.net.id +62 251 8311 097

Perumahan Bogor Baru Jl.


Tegallega, Blok C1 No. 12A Bogor   
Tengah 16127
RMI 2019
Website dibuat oleh RMI

Anda mungkin juga menyukai