Hari ini, kita menyambut Hari Perempuan Internasional yang diperingati pada 8 Maret setiap tahunnya.
Kenapa dalam peringatan ini dan juga dalam berbagai gerakan sosial kata yang digunakan adalah
‘perempuan’ dan bukan ‘wanita’? Dalam keseharian, kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ sering dipakai saling
menggantikan dan memiliki pengertian yang relatif sama. Namun dalam gerakan sosial, khususnya
perjuangan kesetaraan jender dan gerakan feminisme, kata ‘perempuan’ yang selalu digunakan, dan
bukannya tanpa alasan. Artikel ini kita akan membahas pilihan dua kata tersebut.
‘Perempuan’ secara etimologis berasal dari kata bahasa Sansekerta pu yang berarti hormat, kehormatan.
Zoetmulder mengatakan dalam (Pudjiastuti, 2009: 5) kata ‘perempuan’ berasal dari kata empu dalam
bahasa Jawa kuno berarti tuan, mulia, hormat. Suyitno menjabarkan bahwa kata empu yang diadopsi ke
dalam Bahasa Indonesia mengalami a ksasi dengan penambahan imbuhan yaitu ‘per’ dan ‘an’ yang
kemudian membentuk kata ‘perempuan’. (Suyitno, 2015)
‘Wanita’ pun berasal dari kata Sansekerta van yang berarti ingin dan ita yang berarti yang di (dalam
bentuk pasif). Jika disimpulkan lalu menjadi yang diinginkan. Kata tersebut lalu diserap oleh Jawa kuno
menjadi wanita, dipakai terus dalam bahasa Jawa modern, dan diserap kembali oleh Bahasa Indonesia.
(Slametmuljana, 1964).
Perempuan adat sedang panen pare gede (padi lokal)
Menurut Budiman (1992: 72-73), seiring berjalannya waktu ‘perempuan’ mengalami peyorasi atau
penurunan nilai makna. Budiman menjelaskan lebih lanjut bahwa, berkebalikan dengan ‘perempuan’,
‘wanita’ mengalami ameliorasi atau perbaikan nilai makna. Menurut KBBI online, ‘perempuan’ digunakan
dalam sembilan frasa yaitu ‘perempuan geladak’ (pelacur), ‘perempuan jahat’, ‘perempuan jalan’ (pelacur),
‘perempuan jalang’, ‘perempuan jangak’ (cabul), ‘perempuan lacur’, ‘perempuan lecah’ (pelacur),
‘perempuan nakal’, dan ‘perempuan simpanan’; semuanya berasosiasi negatif. Sementara, ‘wanita’
digunakan dalam dua frasa, ‘wanita karir’ dan ‘wanita tuna susila’; satu frasa negatif dan satu frasa positif.
Namun begitu, pada penggunaan kata ‘wanita’ dalam konteks negatif pun, yaitu ‘wanita tuna susila’,
‘wanita’ didekatkan pada frasa yang telah mengalami penghalusan (ameliorasi) sehingga keseluruhan
frasanya menjadi lebih positif dibandingkan -misalnya- dengan ‘wanita amoral’ atau ‘wanita biadab’. Maka
dalam praktik penggunaannya, setidaknya seperti yang tergambar dalam KBBI online, asosiasi
‘perempuan’ adalah negatif, sementara ‘wanita’ adalah positif. Apa yang terjadi dengan mempositifkan
makna kata ‘wanita’? Dampaknya adalah kondisi sosial kelompok tersebut yang sebenarnya, yang
seringkali tidak positif, menjadi luput dari perhatian dan kesadaran public. Karena pada kenyataanya,
kondisi kehidupan wanita, walaupun telah membaik, namun belum mencapai situasi yang positif, yang
agung, yang memiliki karir, yang berposisi tinggi, sebagaimana rasa yang terkandung dalam penggunaan
kata ‘wanita’ tersebut.
Kegiatan Sarasehan “Suara Perempuan Kasepuhan untuk Kemajuan Penghidupan Masyarakat Adat di Kabupaten Lebak”
Perubahan makna tersebut diduga disebabkan oleh praktik-praktik penggunaannya pada masa Orde
Baru di mana kita mengenal adanya Menteri Urusan Peranan Wanita[1] (Rampung, 2012; Wulandari &
Candria, 2012). Salah satu contohnya adalah penggunaannya dalam program Dharma Wanita di era Orde
Baru yang seakan-akan memberdayakan dan memberi ruang pada perempuan namun tidak demikian jika
dilihat dari Panca Dharma Wanita yang menjadi pilar-pilar utamanya yang justru memposisikan
perempuan sebagai warga negara kelas dua. Panca Dharma Wanita terdiri dari 5 pilar yaitu “Wanita
sebagai pendamping suami, wanita sebagai ibu penerus keturunan, wanita sebagai pengurus rumah
tangga, wanita sebagai pencari nafkah tambahan, wanita sebagai anggota warga negara” (Wulandari &
Candria, 2012, p. 2). Sementara hubungan ini adalah timbal balik, tidak ada pilar-pilar yang mengatur
peran laki-laki sebagai pasangan dari perempuan. Artinya, berbagai pengaturan yang berlebih dalam
konteks ini hanya dialami oleh perempuan.
Tidak hanya itu, keberadaan Dharma Wanita sebagai organisasi yang beranggotakan isteri dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sudah bermasalah. Ingat juga bahwa ada Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di
era Orde Baru yang merupakan organisasi beranggotakan PNS. Keberadaan kedua organisasi ini secara
bersamaamengumpamakan hanya laki-laki saja yang dapat menjadi PNS. Mengapa organisasi seperti ini
tidak dibuat berbasis keluarga saja? Hal ini menunjuk pada permasalahan yang lebih luas tentang
pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga: laki-laki mencari nafkah – perempuan
melahirkan dan merawat anak dan rumah. “Orde Baru itu menggunakan ideologi peng-ibu-rumah-tangga-
an,” menurut Ratnasari, Pengkaji Jender sekaligus Associate RMI.
Melihat penjelasan di atas, jelas bahwa tujuan penggunaan kata ‘perempuan’ adalah untuk tetap
mengingatkan kita bahwa perempuan masih mengalami diskriminasi di berbagai situasi, walaupun
perbaikan-perbaikan sudah terjadi dan dirasakan. Dengan mengingat dan mengakui situasi perempuan
yang masih terdiskriminasi, maka diharapkan berbagai upaya perbaikan terhadapnya terus diupayakan
oleh berbagai pihak. Karena, tanpa mengakui atau mengetahui dengan persis suatu penyakit yang
diderita, tentunya kita tidak bisa mengobati dengan tepat, kan? Walaupun tentu saja, mau mengakui
penyakit yang diderita atau pun tidak merupakan hak prerogratif setiap orang.
Sumber:
A. Nurhamidah, N. F. (2017). Tutur Perempuan Adat Perjuangan Hidup Perempuan Kasepuhan di Kabupaten
Lebak dari Masa ke Masa. Bogor: RMI.
Budiman, K. (1992). Subordinasi Perempuan Dalam Bahasa Indonesia. Dalam B. Susanto, Citra Wanita
dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Hakim, L. (2018, September 14). Berita. Dipetik Maret 5, 2019, dari www.antaranews.com:
https://www.antaranews.com/berita/748120/menteri-pppa-sidang-umum-icw-majukan-perempuan
Muljana, S. (1964). Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: Balai Pustaka.
Pudjiastuti, T. (2009, Mei 26-28). Sita Berperasaan Perempuan. Workshop on Old Javanese Ramayana:
Texts, Culture, and History. ANRC, Gonda Foundation, EFEO, KITLV, Jakarta, Indonesia.
Rampung, B. (2012, Juni 4). Wanita atau Perempuan. Dipetik Maret 5, 2019, dari bone-
rampung.blogspot.com: http://bone-rampung.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false-en-us-
x-none_5303.html
Setiawan, E. (2019). Perempuan. Dipetik Maret 06, 2019, dari KBBI Online:
https://kbbi.web.id/perempuan
Setiawan, E. (2019). Wanita. Dipetik Maret 06, 2019, dari KBBI Online: https://kbbi.web.id/wanita
Sudarwati, D. J. (1997). Journal. Dipetik 05 Maret Selasa, 2019, dari www.angel re.com:
http://www.angel re.com/journal/fsulimelight/betina.html
Wulandari, D., & Candria, M. (2012). Pemahaman Kader PKK terhadap Panca Dharma Wanita dalam
Konteks Critical Discourse Analysis. Seminar Nasional Budaya di Pantai Utara Jawa, (hal. 1-21). Semarang.
[1] Sekedar pembanding, pada masa pemerintahan Gus Dur, yaitu pasca reformasi hingga hari ini, kita
penggunaan kata ‘wanita’ pada kementerian tersebut sudah tidak lagi berlanjut, digantikan dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan (dulu) atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (sekarang)
#PerempuandanPSDA
Diposkan dalam Jender dan Pengelolaan SDA, Kepemimpinan Perempuan dan Pemuda dalam PSDA dan
dilabeli Perempuan atau Wanita. Markahi permalink.
← TNGHS Siap Bekerjasama Dengan Masyarakat Kasepuhan Mengelola Hutan Adat
“Perempuan” or “Wanita: The Meaning of Struggle
Behind a Word →
Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar
Nama *
Email *
Situs Web
KIRIM KOMENTAR
CARI
Cari …
POS-POS TERBARU
KATEGORI
Advokasi Kebijakan
Agenda
Ekonomi Kerakyatan
Kampanye Publik
Kerja RMI
Kertas Kebijakan
Pengelolaan Pengetahuan
Pengorganisasian Masyarakat
Program
Publikasi
Relawan
Siaran Pers
Siaran Pers1
Tak Berkategori
KOMENTAR TERBARU
Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial – Relawan for Life pada
Memanfaatkan Strategi Buzzer Dalam Kampanye Isu Lingkungan Dan Sosial
Disaring 1.0: Penyakit Manusia Dan Hewan Liar, Berhubungankah? – Relawan for Life pada Diskusi
Daring Generasi Muda: Disaring 1.0 – Penyakit Manusia dan Hewan Liar, Berhubungankah?
Tahun Baru, Teguran Berulang - Rimbawan Muda Indonesia pada Hak Ruang Hidup – Yang
Terampas, Terpinggirkan, dan Terabaikan
Selamat Hari Ibu Bumi, Ibu Bangsa – Indri Guli pada Selamat Hari Ibu Bumi, Ibu Bangsa
ARSIP
Juli 2020
Juni 2020
Mei 2020
April 2020
Maret 2020
Februari 2020
Januari 2020
Desember 2019
November 2019
Oktober 2019
September 2019
Agustus 2019
Mei 2019
April 2019
Maret 2019
Februari 2019
Januari 2019
Desember 2018
November 2018
Oktober 2018
September 2018
Agustus 2018
Juli 2018
Juni 2018
Mei 2018
April 2018
Maret 2018
Januari 2018
Desember 2017
November 2017
Oktober 2017
September 2017
Agustus 2017
Juli 2017
Juni 2017
Mei 2017
April 2017
Maret 2017
Februari 2017
Desember 2016
November 2016
Oktober 2016
September 2016
Agustus 2016
Juli 2016
Mei 2016
April 2016
Maret 2016
Februari 2016
Januari 2016
Desember 2015
November 2015
Oktober 2015
September 2015
Agustus 2015
Juli 2015
April 2015
Maret 2015
Februari 2015
Januari 2015
Desember 2014
November 2014
Oktober 2014
September 2014
Juli 2014
Juni 2014
Mei 2014
April 2014
Desember 2013
November 2013
Juli 2013
Maret 2013