Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN KRITIS DENGAN ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)


DI RUANG ICU 1 RSUD PASAR MINGGU

DISUSUN OLEH :
VABELLA WIDITIAR
1610711114

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2019
A. Definisi
Adult respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan suatu bentukan dari gagal
napas akut yang ditandai dengan: hipoksemia, penurunan fungsi paru-paru, dispnea,
edema paru-paru bilateral tanpa gagal jantung, dan infiltrate yang menyebar. Selain
itu, ARDS dikenal juga dengan nama ‘noncardiogenic pulmonary edema’, ‘shock
pulmonary’, dan lain-lain.
Adult Respirator Distress Syndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal napas
mendadak yang timbul pada klien dewasa tanpa kelainan paru yang mendasari
sebelumnya. Sulit untuk membuat definisi secara tepat, karena patogenesinya belum
jelas dan terdapat banyak faktor predisposisi seperti syok karena perdarahan, sepsis,
rudapaksa/trauma pada paru atau bagian tubuh lainnya, pankreastitis akut, aspirasi
cairan lambung, intoksikasi heroin, atau metadon (Arif Muttaqin, 2009).

B. Etiologi
Faktor penting penyebab ARDS antara lain :
a) Syock (disebabkan banyak faktor ).
b) Trauma (memar pada paru-paru, fraktur multiple, cidera kepala).
c) Cidera sistem syaraf yang serius, Cidera sistem syaraf yang serius seperti
trauma CVA, tumor, dan peningkatan teknan intra kranial dapat menyebabkan
terangsangnya syaraf simpatis sehingga mengakibatkan vasokonstriksi
sistemik dengan distribusi sejumlah besar volume darah kedalam paru-paru
hal ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatk dan kemudian akan
menyebabkan cidera paru-paru (plum injury).
d) Gangguan metabolisme (pankreatitis, dan uremia).
e) Emboli lemak dan cairan amnion.
f) Infeksi paru-paru difus (bakteri, virus, jamur).
g) Inhalasi gas beracun (rokok, oksigen konsentrasi tinggi, gas klorin, NO2, dan
ozon).
h) Aspirasi (sekresi gastrik , tenggelam dan keracunan hidrokarbon).
i) Menelan obat berlebih dan overdosis narkotik atau non narkotik (heroin,
opioit, aspirin).
j) Kelainan darah (DIC, Tranfusi darah multiple, dan bypass cardiopulmoner).
k) Operasi besar.
l) Renspons imunilogi terhadap antigen pejamu (sysdrom goospasture SLE).

C. Patofisiologi
Terlepas dari awal mula prosesnya, ARDS selalu berhubungan dengan
penambahan cairan dalam paru-paru sehingga membentuk edema paru-paru. Namun
hal ini berbeda dengan edema paru-paru kardiogenik karena tekanan hidrostaltik
kapiler paru-paru tidak meningkat. Awalnya terdapat cidera pada membrane alveola
kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan, makro molekul, dan komponen-
komponen sel darah kedalam ruang interstisial. Seiring dengan bertambah parahnya
penyakit, kebocoran tersebut masuk ke dalam alveoli. Peningkatn permeabilitas
vascular terhadap protein membuat perbedaan hidrostatik yang besar sehingga
peningkatan tekanan kapiler yang ringanpun dapat meningkatkan edema interstisial
dan alveolar. Colaps alveolar terjadi sekunder terhadap efek caira alveolar, terutama
fibrinogennnya yang mengganggu aktvitas surfaktan normal dan Karena
kemungkinan gangguan produksi surfaktan lanjutan oleh cidera pada pneumocyt
granular. Kapasitas pengisian paru-paru menjadi kurang yaitu menjadi kaku karena
edema interstisial dan colaps alveoli.

D. Pathway

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ARDS bervariasi tergantung dari penyebabnya. Pada permulaan
cidera dan selama beberapa jam pertama, pasien mungkin bebas dari gejala-gejala dan
tanda-tanda gangguan pernafasan. Seringkali tanda terdininya adalah peningkatan
frekuensi pernafasan yang segera diikuti dengan dipsnea .
Pengukuran analysis blood gasses (ABGs) lebih dini akan memperlihatkan
peningkatan PO2 meskipun PCO2 menurun, sehingga perbedaan oksigen alveolar
arteri meningkat. Pada stadium dini tersebut pemberian oksigen dengan masker atau
dengan kanula menyebabkan peningkatan bermakna dalam PO2 arteri.
Pada pemeriksaan fisik dapat juga di temukan suara ronchi basahi saat inspirasi
halus, meskipun tidak begitu jelas.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis Sindrom Distres Pernapasan Akut/Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis ARDS pada umumnya dapat ditegakkan bila penyebab
kardiogenik dan etiologi lain yang dapat menyebabkan hipoksemia akut telah
disingkirkan, serta memenuhi Kriteria Berlin. Kriteria Berlin meliputi:
a) Onset akut < 1 minggu atau perburukan gejala respiratorik,
b) Edema paru dibuktikan dengan opasitas bilateral pada foto toraks
c) Rasio PaO2/FiO2 ≤300 pada tekanan ekspiratori positif (PEEP)

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang utama yang dilakukan pada pasien-pasien ARDS adalah
foto rontgen toraks dan analisa gas darah. Pemeriksaan lain juga dapat dilakukan
untuk mencari etiologi, menilai prognosis, dan komplikasi, tetapi tidak spesifik untuk
menegakkan diagnosis ARDS.
a) Radiologi, Foto toraks merupakan pemeriksaan utama yang dapat dengan mudah
dilakukan. Foto toraks dapat membantu menyingkirkan diagnosis penyakit paru
lain, menyingkirkan penyebab kardiologis, serta menegakkan diagnosis ARDS.
Pada ARDS, umumnya ditemukan adanya infiltrat difus bilateral atau unilateral
yang dapat memburuk secara cepat dalam 3 hari. Infiltrat yang ditemukan
umumnya terletak interstisial dan/atau alveolar. Pada tahap awal, infiltrat dapat
ditemukan menyebar hingga ke perifer dan dapat memburuk menjadi infiltrat
difus bilateral dengan penampakan ground glass.
b) CT Scan, CT scan dapat dilakukan hanya apabila foto toraks tidak dapat
menyimpulkan penyebab distress pernapasan. CT scan umumnya lebih sensitif
untuk mendeteksi adanya emfisema interstisial, pneumomediastinum, efusi pleura,
dan limfadenopati mediastinal.
c) Analisa Gas Darah, Analisa gas darah (AGD) pada umumnya dapat
menunjukkan hipoksemia dan alkalosis respiratorik. Kadar PaO2 / FiO2 juga
dapat dinilai melalui analisa gas darah. Pemeriksaan AGD juga dapat dilakukan
dengan cepat, mudah, dan akses yang tersedia dengan baik.
d) Laboratorium, Tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk ARDS. Beberapa
pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
 Darah rutin: dapat ditemukan leukositosis atau leukopenia, terutama bila
terdapat sepsis. Trombositopenia juga dapat ditemukan bila terdapat
koagulasi intravaskular diseminata.
 Fungsi ginjal: fungsi ginjal umumnya menurun bila terdapat komplikasi
pada ARDS akibat adanya iskemia ataupun nekrosis tubular akut
 Fungsi hepar: dapat menurut bila terdapat kerusakan hepatosit atau
kolestasis
 Kultur darah atau sputum: dapat menunjukkan adanya sepsis atau fokus
infeksi. Kultur darah juga dapat membantu menentukan pemberian
antibiotik.
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan adalah brain natriuretic
peptide (BNP) dan sitokin interleukin (IL)-1, IL-6, dan IL-8. BNP <100 pg/ml
dapat menunjukkan adanya ARDS, tetapi BNP tinggi tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan ARDS. IL-1, IL-6, dan IL-8 umumnya juga
ditemukan meningkat pada ARDS.
e) Ekokardiografi, Ekokardiografi transtorakal umumnya digunakan sebagai
metode diagnostik utama, namun ekokardiografi 2-dimensi juga dapat digunakan
menyingkirkan kemungkinan penyebab kardiologis. Bila ditemukan adanya
penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, disfungsi diastolik berat, disfungsi katup
mitral atau aorta berat, shunting foramen ovale maka distress pernapasan
umumnya disebabkan oleh edema paru kardiogenik atau kardiomiopati berat.
f) Bronkoskopi, Bronkoskopi umumnya dilakukan untuk bronchoalveolar lavage
(BAL). Pemeriksaan BAL akan membantu menentukan penyakit paru, seperti
pneumonia eosinofilik akut, pneumonitis, sarcoidosis, atau pneumonia bronkiolitis
obliterans/bronchiolitis obliterans-organizing pneumonia (BOOP), atau lipoid
pneumonia.
g) Biopsi, Biopsi paru dapat dilakukan apabila pemeriksaan secara klinis dan
penunjang lain tidak dapat menyingkirkan kemungkinan lain penyebab
hipoksemia. Pemeriksaan histologis dapat menunjukkan fase ARDS yang sedang
terjadi. Pada fase awal umumnya akan ditemukan kerusakan alveolar difus, edema
interstisial, perdarahan alveolar, formasi membrane hialin, dan kongesti kapiler
pulmonalis. Pada fase proliferatif umumnya ditemukan pertumbuhan sel
pneumosit tipe 2 pada dinding alveolar, fibroblas, miofibroblas, dan disposisi
kolagen interstisial. Pada fase fibrotik, ditemukan penebalan dinding alveolar oleh
jaringan ikat. Infiltrat dan edema sudah tidak ditemukan.

H. Penatalaksanaan
Tidak terdapat terapi spesifik untuk penatalaksanaan Sindrom Distres Pernapasan
Akut/Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Terdapat tiga tujuan utama tata
laksana ARDS:
1. Identifikasi dan manajemen penyebab faktor etiologis
2. Perawatan suportif yang baik
3. Mencegah komplikasi lanjut
Beberapa intervensi yang direkomendasikan dalam tata laksana ARDS berdasarkan
American Thoracic Society/European Society of Intensive Care Medicine/Society of
Critical Care Medicine antara lain adalah:
 Posisi pronasi
 Volume tidal rendah (4-8 ml/kg berat badan)
 PEEP tinggi pada pasien ARDS sedang atau berat
 Tidak menggunakan ventilator osilasi tinggi secara rutin
Penerapan strategi pemberian cairan, nutrisi, dan menjaga tekanan vena sentral tetap
rendah dinilai dapat mempersingkat masa pemakaian ventilasi mekanik.
1. Posisi Pronasi
Memposisikan pasien dalam posisi tengkurap memberikan efek dalam
meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan menurunkan mortalitas. Posisi
pronasi disarankan untuk dilakukan pada pasien ARDS sedang dan berat selama
12 jam per hari atau lebih.
2. Ventilasi Volume Tidal Rendah
Volume tidal rendah (4-8 ml/kg berat badan) sebaiknya dilakukan pada seluruh
pasien ARDS. Rata-rata volume tidal rendah yang digunakan adalah 6 mg/kg
berat badan. Limitasi tekanan inspiratorik plateau < 30cm H2O juga dapat
dilakukan.
3. PEEP
PEEP lebih tinggi (≥ 5 cm H2O) umumnya lebih dianjurkan. Rata-rata PEEP
dapat dimulai pada 16 cm H2O pada pasien ARDS sedang hingga berat
menggunakan metode ventilasi invasif. PEEP dilakukan untuk memperbaiki
oksigenasi, namun metode terbaik untuk melakukan PEEP hingga saat ini masih
kontroversial. Beberapa metode noninvasif yang dapat dipertimbangkan adalah
penggunaan nasal kanula high-flow (50L/menit) dengan blender oksigen, masker
napas (full face mask), atau continuous positive airway pressure (CPAP).
Penggunaan mesin ventilator osilasi tinggi tidak dianjurkan.
4. Ekstra Corporea Membrane Oxygenetion
Extra corporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan metode oksigenasi di
mana pertukaran udara dilakukan di luar tubuh menggunakan mesin. Terapi ini
dikenal juga sebagai bypass jantung-paru. Terapi ini masih kontroversial karena
saat epidemi H1N1, ECMO ditemukan meningkatkan tingkat kesintasan pada
pasien yang tidak bisa mendapat metode ventilasi konvensional. Walau demikian,
penelitian sebelum dan setelah epidemi ini tidak menemukan adanya manfaat
ECMO terhadap ARDS.
5. Managemen Cairan
Manajemen cairan harus dibedakan dengan resusitasi cairan pada tahap awal,
terutama bila terjadi syok. Manajemen cairan dilakukan dengan konservasi cairan
dan menjaga balans negatif. Hal ini dapat mempersingkat durasi penggunaan
ventilator. Albumin dan diuretik dapat dipertimbangkan untuk diberikan. Balans
negatif umumnya dilakukan selama 7 hari pertama. Pemantauan output urin juga
harus dilakukan dengan ketat. Balans negatif juga dapat mengurangi kebutuhan
pasien ARDS akan vasopresor.
6. Terapi Nutrisi
Pemberian nutrisi pada pasien ARDS dapat dilakukan setelah 48-72 jam
mendapatkan ventilasi mekanik. Nutrisi dapat diberikan secara enteral via selang
nasogastrik, kecuali bila terdapat indikasi. Nutrisi yang dapat diberikan sebaiknya
adalah formula rendah karbohidrat tinggi lemak. Pemberian nutrisi terlalu dini,
kalori terlalu tinggi, atau trophic feeding sebaiknya tidak dilakukan karena dapat
meningkatkan mortalitas.
7. Terapi Farmakologi
Tidak terdapat terapi farmakologis yang secara efektif dapat menangani ARDS,
menurunkan mortalitas, ataupun mempersingkat durasi rawat. Beberapa obat yang
dapat dipertimbangkan untuk diberikan adalah:
1) Analgesik atau sedatif
Analgesik atau sedatif umumnya diberikan pada pasien yang mendapatkan
ventilasi mekanik agar lebih nyaman. Agen blokade neuromuskular umumnya
dapat diberikan.
2) Heparin
Heparin berat molekul rendah (LMWH) enoksaparin 40 mg atau 5000 unit
dalteparin atau heparin tidak terfraksi dosisi rendah 5000 unit dapat diberikan
dua kali sehari untuk mencegah tromboemboli bila tidak terdapat
kontraindikasi.
3) Profilaksis Stress Ulcer
Sukralfat 4x1000 mg dapat diberikan per oral atau via selang nasogastrik
(NGT), ranitidine 2x150 mg dapat diberikan per oral/NGT atau 3-4x50 mg
intravena, atau omeprazole 1x40 mg per oral/intravena/per NGT
4) Terapi Farmakologis lain
Terapi farmakologis lain seperti inhalasi nitrit oksida, glukokortikoid,
surfaktan, statin, antiinflamasi nonsteroid, salbuterol, dan antioksidan hingga
saat ini masih kontroversial dan dinilai kurang efektif
8. Penyapihan Ventilator
Penyapihan ventilator pada umumnya dapat dilakukan segera setelah pasien stabil.
Parameter yang harus diperhatikan sebelum memulai penyapihan ventilator
adalah:
 Dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan metode noninvasif
 Hemodinamik stabil
 Ventilasi menit ≤ 15 L
 Positive end-expiratory pressure ≤ 5 cm H2O
 Jalan napas terproteksi
 Tidak terdapat agitas
 Saturasi oksigen ≥ 90%
 Rasio frekuensi napas/volume tidal ≤ 105
 Laju napas ≤ 35 per menit

I. Komplikasi
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), komplikasi yang dapat terjadi pada ARDS adalah :
 Abnormalitas obstruktif terbatas ( keterbatasan aliran udara )
 Defek difusi sedang
 Hipoksemia selama latihan
 Toksisitas oksigen
 Sepsis

J. Prioritas Masalah Keperawatan


Prioritas masalah keperawatan pada klien dengan ARDS menurut Doenges (2001)
adalah sebagai berikut :
1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan
4. Cemas
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Pitoyo C, Uyainah A, Rumende M, Singh G, Amanda A. Acute respiratory distress


syndrome. Ina J CHEST Crit Emerg Med. 2016;3:54–6.

Thompson B, Chambers R, Liu K. Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med.


2017;377:562–72.

Saguil A, Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and Management. Am


Fam Physician. 2012.

Chen W, Ware L. Prognostic factors in the acute respiratory distress syndrome. Clin Transl
Med. 2015;4:23.

Carpenito,Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.EGC. Jakarta.

Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC. Jakarta.

Hudak, Gall0. 1997. Keperawatan Kritis. Pendekatan Holistik.Ed.VI. Vol.I. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai