Anda di halaman 1dari 152

PENYUSUNAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT

KABUPATEN MAMASA

STUDI PEMETAAN KOMODITAS UNGGULAN KABUPATEN MAMASA


PROVINSI SULAWESI BARAT

Kerjasama:

PUSAT STUDI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN (PSP3-IPB)

Dengan

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)

KABUPATEN MAMASA

TAHUN 2014
PENYUSUNAN PERENCANAAN
PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT
KABUPATEN MAMASA
STUDI PEMETAAN KOMODITAS UNGGULAN KABUPATEN
MAMASA PROVINSI SULAWESI BARAT

Tim Penyusun:
Dr. Baba Barus
Dr. Supijatno
Dr. Salundik
Dr. Sofyan Sjaf
Andi S. Putra, M.Si
La Ode S. Iman, M.Si
Turasih, S. KPm
Sri Anom Amongjati, S. KPm

Desain dan layout:


Adi Candra Berampu, S. KPm

Kerjasama:

PUSAT STUDI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN (PSP3-IPB)

Dengan

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN (BAPPEDA) KABUPATEN MAMASA


RINGKASAN

Saat ini Pemerintah Kabupaten Mamasa, yang merupakan kabupaten konservasi,


ingin mengembangkan ekonomi masyarakat perdesaan berbasis keunggulan komoditas lokal.
Berbagai komoditas pertanian, peternakan dan perikanan ditemukan di wilayah ini dengan
tingkat kemajuan yang berbeda. Kriteria yang dipakai untuk pencarian komoditas unggulan
adalah komoditas yang dapat menjadi basis, mempunyai kestabilan dari sisi permintaan dan
berkembang, mempunyai sejarah dan atau mudah diterima serta dikembangkan masyarakat,
ada prospek ekonomi, serta didukung oleh lingkungan fisik. Selain itu lokasi yang sesuai dan
tersedia memadai dalam kawasan budidaya, serta dapat didukung oleh infrastruktur yang
sudah ada atau akan dikembangkan.
Hasil studi menunjukkan bahwa kinerja perekonomian Mamasa di Provinsi Sulbar
termasuk rendah karena mempunyai PDRB yang tergolong rendah dibanding kabupaten
lainnya. Secara relatif indek diversitas semua kabupaten masih rendah. Dalam ruang lingkup
Kabupaten Mamasa, secara ekonomi wilayah sektor pertanian pangan dan perkebunan
merupakan sektor basis utama, disusul peternakan dan kehutanan; tetapi dari sisi permintaan
maka beberapa komoditas spesifik yang sudah mantap permintaan dari internal dan eksternal
seperti padi, ternak sapi dan babi, dan kopi. Dari sisi sosial, tanaman padi dan ternak kerbau
menempati tangga teratas, menyusul babi serta tanaman kopi dan aren yang sudah mengakar
dalam kehidupan masyarakat. Berbagai tanaman yang sebenarnya sudah pernah berkembang
dan potensi seperti kakao dan markisa sangat layak dikembangkan karena permintaan dari
eksternal masih tinggi atau permintaan internal tinggi seperti ikan. Semua komoditas ini
mempunyai kesesuaian secara fisik untuk berkembang. Komoditas lain yang layak
dikembangkan seperti sayuran dan buah lain juga baik dikembangkan. Namun, untuk
mengembangkan komoditas ini memerlukan pengelolaan yang instensif yang tidak mudah
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Secara ringkas maka komoditas unggulan prioritas
adalah kopi, padi, ternak kerbau serta ternak babi.Komoditas unggulan prioritas lainnya
adalah tanaman rumput useng, ikan, kakao, markisa dan hortikultura sayur dan buah.
Dari perpektif kebijakan, semua komoditas ini dianggap penting dan akan
dikembangkan tetapi jika diletakkan dalam perspektif kesesuaian lahan dan ruang, ternyata
sebagian besar Mamasa merupakan kawasan lindung dan merupakan daerah berbukit dan
bergunung. Daerah budidaya dominan juga dilakokasikan untuk hutan. Oleh karena itu untuk
pengembangan komoditas tertentu akan terbatas dan mempunyai kesesuaian lahan kelas
marginal (kelas S3) dengan produksi terbatas, kemudian disusul kawasan perkebunan dan
sawah secara memadai. Untuk daerah perkebunan maka penghambat terbesar adalah lereng
dan tingkat erosi tinggi, dan kesuburan tanah dari rendah-sedang. Daerah relatif luas untuk
sawah cenderung merupakan daerah lembah, dan pada saat bersamaan dijadikan daerah
perikanan. Sejauh ini pengembangan dominan di daerah lembah, dan masih terbatas di
daerah berlereng, walaupun potensi air sangat besar
Temuan di lapangan menunjukkan hampir semua komoditas yang dianggap penting
atau menjadi unggulan masih dikelola secara tradisional seperti tanpa adanya penerapan
sistem pengelolaan tanaman pertanian yang baik, atau tidak ada pengelolaan peternakan atau
perikanan yang baik. Tanaman yang sudah diberikan input pupuk terbatas atau benih yang
baik adalah padi sawah, sedangkan untuk komoditas lain seperti kopi,kakao, markisa, rumput
useng, semuanya tanpa input dan pengelolaan juga tidak ada. Sedangkan peternakan juga
hanya diberikan input pakan terbatas baik untuk ternak babi maupun kerbau. Secara

Studi Pemetaan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa iii


ekonomis, masyarakat yang membudidayakan komoditas unggulan mempunyai keuntungan
tidak besar, karena produktivitasnya termasuk rendah-sedang. Potensi membuat produktivitas
tinggi masih dapat dilakukan.
Secara spasial daerah komoditas utama yang ditemukan tidak ada yang menunjukkan
pola pengelompokan secara nyata, tetapi menyebar di lokasi terpisah dan untuk tanaman
lahan kering cenderung bercampur dan dikenali sebagai kebun campuran atau bisa juga
sebagai daerah perhutan-tanian. Kenampakan seperti kopi cenderung menyebar di dekat
permukiman.Sedangkan daerah yang secara mantap terlihat di lapangan adalah sawah, dan
pada peta juga relatif bisa teridentifikasi.
Dari sisi potensi dan pengembangan, daerah yang dianggap sesuai untuk tanaman
kopi arabika dominan pada kelas marjinal (S3) dengan pembatas dominan erosi, kedalaman
tanah dan ketersediaan air. Hanya sebagian kecil yang berkelas cukup sesuai (S2). Sedangkan
untuk pengembangan kopi robusta maka pembatas utama adalah tekstur dan erosi dan
dominan pada kelas marjinal (S3). Kesesuaian lahan untuk kakao juga relatif mirif. Secara
khusus untuk padang pengembalaan, maka luasannya juga terbatas; tetapi daerah yang sesuai
juga belum dimanfaatkan.
Komoditas penting lain adalah padi, yang di lapangan sangat nyata kenampakannya
terletak di daerah lembah. Hampir semua wilayah pemukiman mempunyai daerah
persawahan.pembatas pengembangan dominan adalah kelerengan, sedangkan solum
walaupun dnagkal, tetapi masih dapat dikembangkan asal ketersediaan air memadai.
Secara sosial dan kelembagaan maka tanaman utama yang dianggap penting adalah
padi sawah, sedangkan tanaman lahan kering khususnya tahunan seperti kopi, kakao atau
lainnya. Selain tanaman padi, maka ternak juga menduduki posisi tinggi khususnya kerbau
dan babi.
Di Mamasa dikenal istilah Metena yaitu suatu bentuk kegiatan gotong-royong yang
biasanya dilakukan oleh orang yang selesai membangun sawah baru, dan pada tahap
penyelesaiannya agar dapat ditanami. Pemilik lahan akan memanggil warga satu kampung
serta sanak saudara untuk datang membantunya. Tidak ada imbalan dalam sistem Metena ini,
pemilik lahan hanya cukup menyediakan makanan. Metena tidak hanya untuk pekerjaan di
bidang pertanian dan perkebunan, tetapi juga biasa dilakukan untuk membangun rumah
khususnya pada saat mengangkut kayu bahan bangunan dari hutan.
Ekonomi rumah tangga orang Mamasa bertumpu pada komoditi ekspor dan komoditi
subsisten. Komoditi ekspor berada di luar desa dan ditopang oleh usaha kopi yang
dibudidayakan pada lahan kering. Sementara komoditi subsisten (berada di dalam desa)
ditopang oleh usaha pertanian lahan basah (padi sawah), lahan kering (umbi-umbian dan
tanaman perkebunan seperti kopi dan kakao), dan ternak babi atau kerbau. Orientasi
budidaya komoditas oleh masyarakat Mamasa memperlihatkan berlangsungnya hubungan
tenurial, konsumsi, distribusi dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Mamasa.
Dari sisi relasi gender di Mamasa terjadi pembagian peran dan tanggungjawab antara
laki-laki dan perempuan dengan mengikuti tradisi setempat. Laki-laki bertanggung jawab
utama dalam mencari nafkah dan melakukan pekerjaan berat, perempuan bertanggung jawab
dalam urusan rumahtangga dan melakukan pekerjaan ringan ketika bekerjasama di kebun
maupun sawah. Relasi gender ini terwujud dalam kelompok kerjasama dalam aktivitas
pertanian kebun maupun sawah, yaitu dalam bentuk pertukaran atau arisan tenaga kerja (laki-
laki dan perempuan).

Studi Pemetaan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa iv


Setelah ditemukan komoditas unggulan dan berbagai permasalahan teknis dan
sosialnya, maka disusun minimal 4 program utama yaitu perbaikan dalam kebijakan penataan
ruang, program terkiat dengan teknis budidaya dan pengolahan hasil, program pengembangan
kapasitas kelembagaan sosial dan ekonomi dan pengembangangan kapasitas Sumberdaya
manusia.
Program terkait dengan kebijakan penataaan ruang perlu dilakukan mengingat daerah
Mamasa merupakan daerah dominan kawasan lindung, dan daerah yang direncanakan
sebagai kawasan budidaya juga menuntut pola pemanfaatan yang tidak intensif karena
daerahnya cenderung berlereng dan solum tanah miskin. Daerah yang datar sudah terpakai
semua menjadi daerah persawahan. Perubahan kawasan juga masih diperlukan karena data
yang dipakai untuk perencanaan ruang masih belum memadai. Data yang dipakai dalam
kajian ini sudah dilengkapi data kuantitatif pada lokasi yang dianggap potensial.
Program terkait dengan teknis budidaya untuk semua komoditas unggulan harus
dilakukan dan juga pengembangan sistem pengelolaan pasca panen. Hal ini berlaku untuk
pertanian, perkebunan dan peternakan, serta perikanan. Khusus untuk komoditas perkebunan,
peremajaan atau introduksi variates yang baru perlukan dilakukan karena tanaman yang ada
di lapangan cenderung sudah tua.
Sedangkan untuk pengembangan kapasitas kelembagaan sosial dan ekonomi maka
diperlukan pengembangan partisipasi masyarakat dan antar desa, dan dalam lingkup kawasan.
Dalam hal ini disarankan 3 pendekatan yang dilakukan yaitu strategi bonding (penekanan
pada participatory rural appraisal), bridging (participatory learning and action), dan
creating (dari tahap sebelumnya dan dilanjutkan dengan inisiatif dari masysrakat) yang
mempunyai penekanan spesifik.

Studi Pemetaan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa v


KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya Laporan Akhir “Studi Pemetaan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa” ini
dapat diselesaikan. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama ntara Pusat Studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan (PSP3 – LPPM) – Institut Pertanian Bogor dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Mamasa.

Hasil studi ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui beragam
pendekatan untuk menghasilkan rekomendasi penentuan komoditas unggulan dalam rangka
pengembangan ekonomi Kabupaten Mamasa. Penentuan komoditas unggulan ini dilakukan
melalui penggalian potensi lokal Kabupaten Mamasa dengan menganalisa hal-hal yang terkait
dengan potensi fisik, tata ruang, keragaan ekonomi, potensi komoditas utama, dan kondisi sosial
kelembagaan di Kabupaten Mamasa. Hasil studi dan rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi
panduan pengembangan kebijakan pemerintah Kabupaten Mamasa, khususnya dalam konteks
pengembangan ekonomi dengan basis pemanfaatan sumber daya lokal.

Terimakasih

Bogor, Agustus 2014

Tim Penyusun

Studi Pemetaan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa vi


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ii
RINGKASAN iii
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xiii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran 2
1.3. Batasan Studi 2

BAB II GAMBARAN UMUM 3


2.1. Gambaran Umum Lokasi 3
2.2. Aspek Kependudukan Kabupaten Mamasa 3
2.3. Aspek Pendidikan Kabupaten Mamasa 5
2.4. Aspek Ketenagakerjaan di Kabupaten Mamasa 5
2.5. Aspek Kesehatan Kabupaten Mamasa 7
2.6. Aspek Ekonomi Pertanian 8
2.7. Aspek Infrastruktur 12
2.8. Aspek Fisik Terkait Tanah di Kabupaten Mamasa 15
2.8.1. Satuan Lahan 15
2.8.2. Bahan Induk 20
2.8.3. Kelerengan 23
2.8.4. Penggunaan Lahan 26

BAB III METODOLOGI DAN PENDEKATAN 29


3.1. Analisis Ekonomi Wilayah 29
3.1.1. Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah (Location Quotient 29
Analysis)
3.1.2. Analisis Keunggulan Kompetitif Wilayah (shift-share analysis) 30
3.1.3. Analisis Perkembangan Wilayah (Entropy) 32
3.2. Analisis Ruang 33
3.2.1. Perencanaan Pemanfaatan Ruang 33
3.2.2. Implementasi Penggunaan Ruang 33

vii
3.3. Analisis Sumberdaya Fisik 34
3.3.1. Pengambilan Sampel/Contoh Tanah 34
3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan 35
3.3.3. Analisis Areal yang Berpotensi Untuk Pengembangan Komoditas 36
Unggulan
3.4. Analisis Keragaan Komoditas (Budidaya, Pengelolaan dan Usaha) 36
3.4.1. Pertanian 36
3.4.2. Peternakan 37
3.5. Analisis Sosial dan Kelembagaan 38
3.6. Analisis Komoditas Unggulan 39
3.6.1. Analisis Komoditas Unggulan Secara Fisik 39
3.6.2. Penentuan Komoditas Unggulan 40
3.7. Pengembangan program 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 42


4.1. Gambaran Makro Ekonomi Wilayah 42
4.1.1 Kinerja Perekonomian Wilayah 44
4.1.2. Perkembangan Struktur Ekonomi Wilayah 45
4.1.3 Sektor Unggulan Komparatif Dan Kompetitif 46
4.1.4. Pentingnya Sektor Pertanian dalam Pembangunan dikaitkan dengan
Perencanaaan Pembangunan Kabupaten Mamasa 50
4.2. Perencanaan Pemanfaatan Ruang dan Implementasi 54
4.2.1. Perencanaan Pemanfaatan 54
4.2.2. Implementasi Penggunaan Ruang 57
4.3. Karakteristik Fisik dan Potensi Lahan 58
4.3.1. Validasi lapangan Tingkat Kesuburan Tanah 58
4.3.2. Kesesuaian Lahan 65
4.3.3. Lahan Potensial untuk Pengembangan Komoditas Unggulan 82
4.4. Keragaan Komoditas Utama 87
4.4.1. Tanaman Kopi 87
4.4.2. Tanaman Kakao 89
4.4.3. Tanaman Padi 91
4.4.4. Tanaman Lainnya 93
4.4.5 Peternakan 95
4.5. Keragaman Sosial dan Kelembagaan 107
4.5.1. Aspek Kebudayaan di Kabupaten Mamasa 107
4.5.2. Struktur Nafkah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Lokal di 108
Kabupaten Mamasa
4.5.3. Agraria dan Ragam Persoalannya di Kabupaten Mamasa 110
4.5.4. Gender dan Perannya Dalam Aktivitas Ekonomi 112

viii
4.6.Komoditas Unggulan 117

BAB V PENGEMBANGAN PROGRAM 121


5.1. Program Terkait Kebijakan dan Alokasi Ruang 121
5.1.1 Daerah Hutan Lindung 122
5.1.2. Daerah Sempadan Sungai 122
5.1.3. Daerah Hutan Produksi 123
5.1.4. Daerah Perkebunan 123
5.1.5. Daerah Pertanian 124
5.1.6. Daerah Peternakan 125
5.2. Program Pengembangan Kapasitas Teknis (terkait pengelolaan, budidaya,
dan pasca panen) 125
5.2.1. Tanaman Kopi 125
5.2.2. Tanaman Kakao 127
5.2.3. Padi Sawah 129
5.2.4. Rumput Useng 129
5.2.5. Aren 130
5.2.6. Markisa 131
5.2.7. Peternakan 132
5.3. Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan 133
5.4. Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia 135

BAB VI PENUTUP 137

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jumlah penduduk laki-laki, penduduk perempuan, total penduduk, dan
sex ratio di Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013 4
Tabel 2.2. Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan oleh Penduduk Laki-laki dan
Perempuan di Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2012 5
Tabel 2.3. Jumlah laki-laki dan perempuan bekerja dan pengangguran terbuka di
Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2013 6
Tabel 2.4. Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Dokter, dan Jumlah Bidan di Kabupaten
Mamasa Tahun 2007-2012 8
Tabel 2.5. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah
Tangga Petani Gurem Menurut Kecamatan Tahun 2003 dan 2013 10
Tabel 2.6. Jumlah Usaha Pertanian menurut Subsektor dan Pelaku Usaha Tahun
2003 dan 2013 11
Tabel 2.7. Ragam Karakteristik Fisik Lahan Kabupaten Mamasa 14
Tabel 2.8. Satuan Peta Lahan Kabupaten Mamasa 16
Tabel 2.9. Sebaran Bahan Induk di wilayah Kabupaten Mamasa 21
Tabel 2.10. Sebaran Jenis Tanah di wilayah Kabupaten Mamasa 23
Tabel 2.11. Sebaran Jenis Tanah di wilayah Kabupaten Mamasa 24
Tabel 2.12. Sebaran Penggunaan lahan Kabupaten Mamasa 27
Tabel 3.1. Nilai Asumsi Produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP) 38
Tabel 4.1. Persentase Nilai PDRB per Sektor Tahun 2010 dan Nilai Indeks
Diversitas di Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat 45
Tabel 4.2. Hasil Analisis LQ di Level Sektor Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi
Barat 47
Tabel 4.3. Hasil Analisis LQ di Level Sub Sektor Kabupaten/Kota Provinsi
Sulawesi Barat 47
Tabel 4.4. Hasil Shift Share Analysis Kabupaten Mamasa 49
Tabel 4.5. Kontribusi Sub Sektor terhadap Total PDRB Kabupaten Mamasa Tahun
2005-2011 51
Tabel 4.6. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kab Mamasa Tahun 2010 – 2029 54
Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Fisik di Lokasi Pengambilan Sampel Tanah 59
Tabel 4.8. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Arabika Kabupaten Mamasa,
Berdasarkan sebaran alokasi kesesuaian lahan 67
Tabel 4.9. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Robusta Kabupaten Mamasa, Berdasarkan 70
sebaran alokasi kesesuaian lahan
Tabel 4.10. Luas Kesesuaian Lahan kakao berdasarkan sebaran alokasi penggunaan 75
lahan Kabupaten Mamasa

x
Tabel 4.11. Luas Kesesuaian Lahan penggembalaan berdasarkan sebaran alokasi 76
penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
Tabel 4.12. Luas Kesesuaian Lahan Padi Sawah 2-3x tanam berdasarkan sebaran 78
alokasi penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
Tabel 4.13. Luas Kesesuaian Lahan Sawah Tadah hujan berdasarkan sebaran alokasi 80
penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
Tabel 4.14. Luas Alokasi Lahan Tersedia untuk Komoditas Unggulan di Kabupaten 82
Mamasa
Tabel 4.15. Sebaran Alokasi Lahan Tersedia Potensial Unggulan per Kecamatan 84
Tabel 4.16. Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Babi di Kabupaten Mamasa Tahun
2012 (ekor) 95
Tabel 4.17. LQ 96
Tabel 4.18. Luas Panen, Produksi Padi dan Jerami Padi Sawah dan Padi Ladang di
Kab Mamasa 2012 101
Tabel 4.19. Jumlah Luas Panen, Produksi jagung dan Jerami Jagung di kabupaten
Mamasa Tahun 2012 102
Tabel 4.20. Limbah Tanaman Pangan, Perkebunan dan Pengolahan Hasil Pertanian 103
sebagai Bahan Pakan Konsentrat
Tabel 4.21. Produksi Dedak Padi di Kabupaten Mamasa Tahun 2012 104
Tabel 4.22. Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar di Kabupaten Mamasa Tahun 2012 106
Tabel 4.23. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalam Aktivitas Ekonomi, Rumahtangga, dan Sosial di Kab. Mamasa 113
Tabel 4.24. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalam usahatani padi sawah, kebun kakao dan Kopi di Kab. Mamasa 114
Tabel 4.25. Pembagian Kerja dan Tanggungjawab antara Laki-laki dan Perempuan
dalam Rumahtangga dan Sosial diKabupaten Mamasa 115
Tabel 4.26. Akses Terhadap Asset (Sumberdaya) antara Laki-laki dan Perempuandi
Kabupaten Mamasa 116
Tabel 4.27. Relasi kuasa dalam pengambilan keputusan terhadap asset (sumberdaya)
antara laki-laki dan perempuan di Kabupaten Mamasa 117
Tabel 4.28. Prioritas komoditas unggulan lokal berdasarkan berbagai parameter 120
Tabel 5.1. Program-program kebijakan dan perencanaan yang diusulkan 121
Tabel 5.2. Indikasi Program Pengembangan Tanaman Kopi 127
Tabel 5.3. Indikasi Program Pengembangan Tanaman Kakao 128
Tabel 5.4. Program dan Indikasi Program Pengembangan Tanaman Padi 129
Tabel 5.5. Program dan Indikasi Program Pengembangan Rumput Useng 130
Tabel 5.6. Program dan Indikasi Program Pengembangan Tanaman Aren 131
Tabel 5.7. Usulan Program bagi pengembangan Ternak di Kabupaten Mamasa 133

xi
Tabel 5.8. Indikasi Program Pembangunan Mamasa Untuk Mendukung Pengembangan
Komoditi Unggulan 135

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Perbandingan Jumlah Laki-laki dan Perempuan di Kabupetan


Mamasa Tahun 2009-2013 4
Gambar 2.2. Perbandingan jumlah bekerja dan pengangguran terbuka
penduduk laki-laki dan perempuan di Kabupaten Mamasa tahun
2009-2013 7
Gambar 2.3. Perbandingan Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan
Petani Gurem, Tahun 2013 9
Gambar 2.4. Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Pertanian di Kabupaten
Mamasa Menurut Subsektor, Tahun 2003 dan 2013 12
Gambar 2.5. Bentuk Lahan Perbukitan di Kabupaten Mamasa 18
Gambar 2.6. Peta Sebaran Spasial Satuan Lahan Wilayah Kabupaten Mamasa
Sulawesi Barat 19
Gambar 2.7. Penampang melintang Formasi Walanea, pembentukan batuan
bagian barat dan timur (Gert-]an Bartstra, 1977) 20
Gambar 2.8. Menunjukan penampang melintang formasi tersier tua (van
Bemmelen, 1949) 21
Gambar 2.9. Peta Sebaran Spasial Bahan Induk Wilayah Kabupaten Mamasa,
Sulawesi Barat 22
Gambar 2.10. Ilustrasi karakteritik lahan berdasarkan beda ketinggian dan
tingkat kelerengan terhadap ragam aktivitas penggunaan lahan 24
Gambar 2.11. Peta Sebaran Spasial Kelerengan di Wilayah Kabupaten
Mamasa, Sulawesi Barat 25
Gambar 2.12. Peta Sebaran Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Mamasa,
Sulawesi Barat 28
Gambar 4.1. Grafik Nilai PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat
tahun 2012 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (juta rupiah) 42
Gambar 4.2. Grafik Nilai PDRB/Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Barat tahun 2012 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (juta
rupiah/kapita) 43
Gambar 4.3. Grafik Nilai PDRB/luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi
Sulawesi Barat tahun 2012 Berdasarkan Harga Konstan Tahun
2000 44
Gambar 4.4. Kontribusi Sektor PDRB terhadap Total PDRB Mamasa Tahun
2012 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 50
Gambar 4.5. Grafik Kontribusi PDRB Sektor Pertanian Terhadap Total
PDRB Mamasa Tahun 2012Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2000 51

xiii
Gambar 4.6. Grafik Kontribusi PDRB setiap Sub sektor Pertanian Terhadap
Sektor Pertanian Mamasa Tahun 2005-2011 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 52
Gambar 4.7. Kenampakan perencanaan pemanfaatan ruang di
Kabupaten Mamasa 55
Gambar 4.8. Foto lokasi pengamatan lapangan site#01, Kecamatan Nosu 60
Gambar 4.9. Foto lokasi pengamatan lapangan site#02, Kecamatan Nosu 61
Gambar 4.10. Foto lokasi pengamatan lapangan site#03, Kampung Paladan,
Kecamatan Rante Bulahan Timur 63
Gambar 4.11. Foto lokasi pengamatan lapangan site#04, Desa Rante Palada
Kecamatan Bambang 64
Gambar 4.12. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Arabika di Kabupaten
Mamasa 68
Gambar 4.13. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Robusta di Kabupaten
Mamasa 71
Gambar 4.14. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kakao di Kabupaten Mamasa 74
Gambar 4.15. Sebaran spasial kesesuaian lahan Penggembalaan di Kabupaten
Mamasa 77
Gambar 4.16. Sebaran spasial kesesuaian lahan Padi Sawah 2-3x Tanam di
Kabupaten Mamasa 79
Gambar 4.17. Sebaran spasial kesesuaian lahan Padi Tadah hujan di Kabupaten
Mamasa 81
Gambar 4.18. Sebaran spasial Lahan Tersedia Aktual untuk Pengembangan
Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa 83
Gambar 4.19. Sebaran spasial Lahan Tersedia Potensial untuk Pengembangan 86
Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Untuk pengembangan ekonomi masyarakat terutama di perdesaan sebaiknya berbasis


keunggulan komoditas yang spesifik di lokasi tersebut, yang bisa dilihat dari keberadaan
komoditas yang ada atau potensi dikembangkan, dan juga mempunyai kecenderungan
berkembang atau relatif stabil. Selain itu komoditas tertentu yang perlu dikembangkan
adalah komoditas yang bersifat strategis seperti pangan utama secara lokal atau dapat
berkontribusi ke wilayah lain atau secara nasional.

Kabupaten Mamasa, mempunyai karakter lingkungan spesifik dan juga sudah


berkembang berbagai komoditas. Tetapi saat ini ini masih diperlukan penentuan prioritas
terkait dengan komoditas yang layak dikembangkan, dan juga tersedia dalam ruang seperti
diamanatkan dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, atau
kalau untuk pangan, maka terkait dengan perlindungan lahan utama (Undang-undang nomor
41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Tanah Pertanian Pangan Berkelanjutan).

Kabupaten Mamasa akan menyusun Perencanaan Pengembangan Ekonomi


Masyarakat sejalan dengan prioritas RPJMD dan RPJPD Kabupaten Mamasa untuk
Mewujudkan kemandirian ekonomi berbasis ekonomi kerakyatan dan pembangunan
berkelanjutan.

Berbasis ekonomi kerakyatan mengandung pengertian bahwa kemandirian ekonomi


pemerintah daerah didukung oleh tangguhnya ekonomi masyarakat, yang dapat dilakukan
melalui peningkatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pemberdayaan ekonomi
masyarakat dimaksudkan untuk menggali potensi kemandirian dan pengembangan ekonomi
strategis dalam pengelolaan Sumber Daya Alam secara adil dan berkelanjutan. Dengan
berbasis ekonomi kerakyatan, diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai atau
meningkat. Sedangkan prinsip dari pembangunan berkelanjutan merupakan upaya untuk
memenuhi kebutuhan generasi sekarang dengan pemanfaatan Sumber Daya Alam yang
tersedia tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Misi pertama ini
sejalan dengan skala prioritas RPJMD ke-3 (2014 - 2018) yang terdapat dalam RPJPD

1
Mamasa (2005 - 2025) yaitu kondisi terus berkembangnya UMKM dan Koperasi yang
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Misi pertama
ini mencinta-citakan terwujudnya pemerintahan dan masyarakat yang mandiri, berdikari dan
tidak bergantung pada pemerintah atau pihak lain.

1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran


Maksud dan Tujuan Penyusunan Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat
ada lah untuk komoditas unggulan yang berbasis dari kesesuaian fisik (daya dukung fisik)
dan tersedia secara ruang, secara ekonomi menguntung atau berpotensi menguntungkan, yang
diterima secara sosial-budaya, dan sejalan dengan kebijakan pemerintah. Data ini selanjutnya
dapat dijadikan acuan pengembangan program yang dapat diletakkan dalam ruang dan
mendukung RPJMD dan RTRW.

Target dan sasaran yang ingin dicapai adalah terbentuknya bahan atau data yang
dipakai dalam perencanaan yang dapat menjadi acuan bagi perumusan program dan
penentuan kebijakan dalam rangka perencanaan strategis di bidang pertanian, peternakan,
kehutanan, industri dari komoditas alami, budaya (kepariwisataan) dan sebagainya dalam
rangka mengetahui komoditas-komoditas yang cocok dan dapat dikembangkan pada setiap
wilayah/kecamatan di Kabupaten Mamasa.

1.3. Batasan Studi

Dalam penyusunan hasil penelitian terhadap rancangan pengembangan komoditas di


Kabupaten Mamasa, maka analisa yang dilakukan adalah pembahasan dan analisa terkait
pada aspek-aspek pendukung untuk menentukan kelayakan suatu komoditas untuk dapat
dikembangkan baik dalam segi pemanfaatan ruang, karakteristik fisik, keragaan pengunaan
lahan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Selian pembahasan dan analisa terkait aspek
pendukung, maka akan dipaparkan terkait pola pengembangan yang tepat pada setiap potensi
komoditas terkait serta mebuat sebuah kesimpulan terkait komoditas yang layak untuk dapat
dikembangkan.

2
BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1. Gambaran Umum Lokasi

Mamasa merupakan satu dari lima kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat dengan
wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, sebelah barat dengan
Kabupaten Majene, sebelah timur dengan Provinsi Sulawesi Selatan, dan sebelah selatan
dengan Kabupaten Polewali Mandar. Kabupaten Mamasa terbentuk berdasarkan UU No.11
Tahun 2002 yang berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang
Polewali Mandar). Berdasarkan data Mamasa Dalam Angka tahun 2013 diketahui letak
astronomis Kabupaten Mamasa berada pada 2 039’216” LS dan 3019’288” LS serta
11900’216” BT dan 119038’144” BT. Luas Kabupaten pada tahun 2012 adalah 3.005,88 km 2
yang terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu: Sumarorong, Messawa, Pana, Nosu, Tabang,
Mamasa, Tanduk Kalua, Balla, Sesenapadang, Tawalian, Mambi, Bambang, Rantebulan
Timur, Mehalaan, Aralle, Buntu Malangka, dan Tabulahan. Kecamatan Tabulahan
merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Mamasa dengan luas wilayah sebesar 513,95
km2atau 17,10 persen dari seluruh wilayah Kabupaten Mamasa (Mamasa Dalam Angka,
2013).
Akses menuju Kabupaten Mamasa dari Makassar dengan menggunakan jalur darat
dapat dilakukan melalui Parepare, Pinrang, dan Polewali. Kondisi jalan ketika keluar dari
Polewali menuju Mamasa mendaki dan rusak arah sehingga jarak tempuh 90 km memerlukan
waktu sekitar 4-5 jam perjalanan. Kondisi jalanan yang rusak saat ini masih sama seperti
tahun 1970 sebagai mana ditulis dalam buku Buijs (2006). Akses ke Mamasa saat ini juga
sudah bisa dilakukan via jalur udara dengan pesawat dari Makassar ke Bandara Sumarorong
di Mamasa.

2.2. Aspek Kependudukan Kabupaten Mamasa

Berdasarkan olahan data Mamasa Dalam Angka tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan
2013 diketahui bahwa perbandingan antara penduduk laki-laki da perempuan cukup
proporsional dengan sex ratio berturut-turut tahun 2009-2012 sebesar 103 dan pada tahun
2013 adalah 102. Jumlah penduduk di Kabupaten Mamasa dalam kurun waktu lima tahun

3
terakhir terus bertambah. Pada tahun 2009 jumlah penduduknya sebanyak 123.309 jiwa,
tahun 2010 sebanyak 126.134 jiwa, kemudian bertambah cukup drastis menjadi 140.082 jiwa,
pada tahun 2012 jumlah penduduknya sebanyak 142.416, dan pada 2013 sebanyak 146.292
jiwa. Penduduk Mamasa menyumbang sebesar 0,062% dari total penduduk Indonesia.
Selengkapnya mengenai jumlah penduduk Mamasa dalam kurun waktu 5 tahun tersaji pada
Tabel 2.1. Gambaran perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan terdapat pada
Gambar 2.1.

Tabel 2.1. Jumlah penduduk laki-laki, penduduk perempuan, total penduduk, dan sex
ratiodi Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013
2009 2010 2011 2012 2013

Laki-laki 63464 63882 71089 72272 74001

Perempuan 61845 62252 68993 70144 72291

Jumlah 125309 126134 140082 142416 146292

Sex Ratio 103 103 103 103 102

Sumber: Mamasa Dalam Angka 2009, 2010, 2011, 2012, 2013

160000

140000

120000
Jumah Penduduk

100000

80000 Laki-laki
Perempuan
60000
Jumlah
40000

20000

0
2009 2010 2011 2012 2013
Tahun

Sumber: Mamasa Dalam Angka 2009, 2010, 2011, 2012, 2013


Gambar 2.1. Perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan di Kabupetan Mamasa
tahun 2009-2013
2.3. Aspek Pendidikan Kabupaten Mamasa

4
Daya saing sumberdaya manusia dapat ditentukan oleh kualitas pendidikannya.
Berdasarkan data Mamasa Dalam Angka diketahui bahwa tingkat pendidikan yang
ditamatkan oleh penduduk Mamasa baik laki-laki dan perempuan semakin banyak dilihat dari
tahun 2009 hingga 2012. Tren ini dilihat berdasarkan jumlah tamatan pendidikan tinggi dari
diploma dan S1 ke atas yang semakin meningkat. Dengan tingkat pendidikan yang semakin
baik, Kabupaten Mamasa optimis untuk mencapai pembangunan yang lebih baik.

Tabel 2.2. Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan oleh Penduduk Laki-laki dan
Perempuan di Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2012

Tingkat 2009 2010 2011 2012

Pendidikan yang L P L P L P L P

Ditamatkan

Tidak/belum 16.480 16.077 8.809 10.269 6.319 7.504 13.110 15.493

pernah sekolah

SD/ Sederajat 13.905 14.346 21.768 21.484 26.461 26.137 11.398 12.569

SLTP/ Sederajat 7.601 7.208 8.182 8.562 8.358 9.281 8.124 7.537

SLTA/ Sederajat 6.310 6.041 7.243 5.761 8.608 7.093 9.600 8.764

Diploma 629 955 1.194 932 868 1.061 778 1 384

S1 ke atas 831 422 1.496 896 2.576 1.037 2.391 1 777

Jumlah 45.756 45.050 48.692 47.904 53.190 52.113 45.401 47 524

Sumber: Mamasa Dalam Angka, 2009,2010, 2011, 2012

2.4. Aspek Ketenagakerjaan di Kabupaten Mamasa

Salah satu aset bagi pembangunan daerah adalah sumberdaya manusia yang produktif.
Aset tersebut di Kabupaten Mamasa terdiri dari perempuan dan laki-laki, baik yang bekerja
maupun para pengangguran terbuka, keseluruhannya termasuk dalam kategori usia produktif.
Berdasarkan data dari tahun 2009-2013 diketahui bahwa jumlah penduduk yang bekerja
meningkat pada tahun 2010 yaitu sebanyak 77.872 jiwa, sebelumnya di tahun 2009 berjumlah
73.024 jiwa. Jumlah tersebut turun pada tersebut turun pada tahun 2011 menjadi 65.377 jiwa,
tahun 2012 sebanyak 53.545 jiwa, dan kembali naik pada tahun 2013 menjadi 67.299 jiwa.
Untuk jumlah pengangguran terbuka dapat dikatakan bahwa jumlah dan potensi
pengangguran terbuka bagi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.

5
Tabel 2.3. Jumlah laki-laki dan perempuan bekerja dan pengangguran terbuka di
Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013
Bekerja Pengangguran Terbuka

2009 Laki-laki 42212 973

Perempuan 30812 1013

Jumlah 73024 1986

2010 Laki-laki 44382 584

Perempuan 33490 999

Jumlah 77872 1583

2011 Laki-laki 36779 452

Perempuan 28598 969

Jumlah 65377 1421

2012 Laki-laki 37089 625

Perempuan 16456 321

Jumlah 53545 946

2013 Laki-laki 37183 859

Perempuan 30116 1486

Jumlah 67299 2345

Sumber: Data Mamasa dala Angka Tahun 2009,2010, 2011 2012, dan 2013

6
90000

80000

70000

60000

50000

40000 Bekerja
30000 Pengangguran Terbuka

20000

10000

Jumlah
Jumlah

Jumlah

Jumlah

Jumlah
P

L
P

P
L

2009 2010 2011 2012 L 2013

Sumber: Data Mamasa dala Angka Tahun 2009,2010, 2011 2012, dan 2013

Gambar 2.2. Perbandingan jumlah bekerja dan pengangguran terbuka penduduk


laki-laki dan perempuan di Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013

2.5. Aspek Kesehatan Kabupaten Mamasa

Pada tahun 2007-2012 tercatat bahwa di Kabupaten Mamasa terdapat 1 rumah sakit
umum dan 1 rumah sakit swasta. Jumlah dokter umum yang tercatat di Kabupaten Mamasa
hingga pada tahun 2008 sebanyak 11 orang, dan bidan sebanyak 34 orang. Jumlah dokter
umum yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga pada tahun 2009 sebanyak 10 orang, dan
bidan sebanyak 67 orang. Jumlah dokter umum yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga
pada tahun 2010 sebanyak 15 orang, dan bidan sebanyak 104 orang. Jumlah dokter umum
yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga pada tahun 2011 sebanyak sembilan orang, dan
bidan sebanyak 62 orang. Jumlah dokter yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga pada
tahun 2012 sebanyak 18 orang yang terdiri dari dokter umum 16 orang dan 2 dokter gigi,
serta ada bidan sebanyak 63 orang.

Tabel 2.4. Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Dokter, dan Jumlah Bidan di Kabupaten
Mamasa Tahun 2007-2012

7
Tahun Jumlah Rumah Sakit Jumlah Dokter Jumlah Bidan

Umum Swasta Umum Gigi

2007-2008 1 1 11 - 34

2009 1 1 10 67

2010 1 1 15 104

2011 1 1 9 62

2012 1 1 16 2 63

Sumber: Mamasa Dalam Angka Tahun 2009, 2010, 2011, 2012, 2013

2.6. Aspek Ekonomi (Pertanian)

Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013 menunjukkan bahwa usaha pertanian di


Kabupaten Mamasa didominasi oleh rumah tangga. Jumlah rumah tangga usaha pertanian
di Kabupaten Mamasa Tahun 2013 tercatat sebanyak 27.431 rumah tangga. Kecamatan
Mamasa tercatat sebagai kecamatan dengan jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak
di tahun 2013, yaitu sebanyak 2.944 rumah tangga.

Rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan ternyata mendominasi rumah tangga
usaha pertanian di Kabupaten Mamasa. Dari sebanyak 27.431 rumah tangga usaha pertanian
di Kabupaten Mamasa, sebesar 99,95% merupakan rumah tangga usaha pertanian pengguna
lahan (27.418 rumah tangga). Sedangkan rumah tangga usaha pertanian bukan pengguna
lahan hanya sebesar 0,05%, atau sebanyak 13 rumah tangga.

8
Sumber: Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Mamasa

Gambar 2.3. Perbandingan rumah tangga pertanian pengguna lahan dan petani gurem
tahun 2013

Rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok
besar, yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian yang menguasai
kurang dari 5.000 m2 lahan) dan rumah tangga petani non gurem (rumah tangga usaha
pertanian yang menguasai lebih dari atau sama dengan 5.000 m2 lahan). Hasil ST2013
menunjukkan bahwa rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan masih didominasi oleh
rumah tangga petani gurem. Dari sebanyak 27.418 rumah tangga pertanian pengguna lahan di
Kabupaten Mamasa, sebesar 53,35 persen (14.628 rumah tangga) merupakan rumah tangga
petani gurem. Sedangkan rumah tangga petani non gurem tercatat sebesar 46,65 persen, atau
sebanyak 12.790 rumah tangga.

9
Tabel 2.5. Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan dan rumah tangga
petani gurem menurut kecamatan tahun 2003 dan 2013

No Kecamatan Rumah Tangga Usaha Rumah Tangga Petani Gurem


Pertanian Pengguna Lahan

2003 2013 2003 2013


1 Sumarorong 1848 1.964 258 895

2 Mesawa 1655 1.684 159 577

3 Pana 1794 1.870 602 907

4 Nosu 954 977 635 828

5 Tabang 1192 1.182 142 647

6 Mamasa 2802 2.943 1.513 2.053

7 Tanduk Kalua 2097 1.752 476 880

8 Balla 1358 1.335 301 861

9 Seserapadang 1614 1.539 977 1.141

10 Tawalian 855 1.260 299 901

11 Mambi 282 1.653 17 890

12 Bambang 1882 2.352 1.183 1.948

13 Rantebulahan Timur 835 1.071 445 549

14 Mehalaan 562 831 120 284

15 Aralle - 1.415 - 286

16 Buntu Malangka 115 1.314 53 620

17 Tabulahan 1811 2.276 342 361

Jumlah 21.656 27.418 7.522 14.628

Sumber: Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Mamasa


*Untuk tahun 2003 di Kecamatan Mambi, Bambang, Mehalaan, Aralle, dan Buntu Malangka tidak
semua terdata karena kondisinya tidak kondusif

Subsektor Tanaman Pangan terlihat mendominasi usaha pertanian di Kabupaten


Mamasa. ST2013 mencatat bahwa jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak di

10
Kabupaten Mamasa adalah di Subsektor Tanaman Pangan, Subsektor Peternakan dan
Subsektor Perkebunan. Jumlah rumah tangga usaha pertanian Subsektor Tanaman Pangan
adalah sebanyak 23.619 rumah tangga dan jumlah rumah tangga usaha pertanian Subsektor
Peternakan adalah sebanyak 20.692 rumah tangga. Sedangkan rumah tangga usaha pertanian
Subsektor Perkebunan ada sebanyak 20.681 rumah tangga.

Subsektor Jasa Pertanian ternyata merupakan subsektor yang memilki jumlah rumah
tangga usaha pertanian paling sedikit, diikuti oleh Subsektor Perikanan. Jumlah rumah tangga
usaha pertanian Subsektor Jasa Pertanian pada tahun 2013 tercatat sebanyak 749 rumah
tangga, sedangkan jumlah rumah tangga usaha pertanian Subsektor Perikanan tercatat
sebanyak 2.947 rumah tangga. Peningkatan pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha
pertanian tertinggi antara tahun 2003 sampai tahun 2013 terjadi di Subsektor Peternakan,
yang mengalami pertumbuhan sebesar 61,72 persen. Sedangkan pada periode yang sama,
Subsektor Perikanan mengalami pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha pertanian paling
rendah, yaitu tercatat sebesar 1.232 rumah tangga.

Tabel 2.6. Jumlah usaha pertanian menurut subsektor dan pelaku usaha tahun 2003
dan 2013
No Sektor/Subsektor Rumah Tangga Usaha Pertanian (RT)

2003 2013
1 Tanaman Pangan 19.245 23.619
Padi 16.081 21.436
Palawija 10.839 8.495
2 Hortikultura 6.080 4.825
3 Perkebunan 19.089 20.681
4 Peternakan 12.795 20.692
5 Perikanan 1.715 2.947
Budidaya Ikan 1.620 2.941
Penangkapan Ikan 97 12
6 Kehutanan 4.095 5.365
7 Jasa Pertanian 5.153 749

Sumber: Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Mamasa

11
Sumber: Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Mamasa

Gambar 2.4. Perbandingan jumlah rumah tangga pertanian di Kabupaten Mamasa


Menurut Subsektor tahun 2003 dan 2013

2.7. Aspek Infrastruktur

Pengembangan wilayah pada dasarnya bukan merupakan pembangunan sentra-sentra


produksi. Pembangunan wilayah merupakan instrumen untuk mewujudkan wilayah yang
produktif, nyaman untuk ditinggali, memiliki kelengkapan infrastruktur yang memadai, dan
dapat memberikan kesejahteraan bagi penduduk yang tinggal di adalamnya. Dengan
demikian wilayah tersebut harus memiliki aktivitas ekonomi yang mensejahterakan rakyat,
infrastruktur yang mudah diakses, dan kondisi lingkungan yang nyaman. Dengan demikian
tidak hanya sistem produksinya saja yang perlu dikembangkan tetapi sistem permukiman dan
sistem lingkungan juga harus menjadi perhatian. Pengembangan Kabupaten Mamasa sudah
seharusnya menggunakan konsep ini. Artinya keluaran utama dari aktivitas ekonomi yang
dijalankan adalah untuk membangun kesejahteraan rakyat, infrastruktur yang dibangun harus
diarahkan untuk memfasilitasi perkembangan aktivitas ekonomi lokal, dan kondisi
lingkungan sebagai sistem pendukung kehidupan harus dijaga dengan baik.

Sebagai salah satu penunjang kegiatan sosial ekonomi, keberadaan jalan dibutuhkan
sebagai pendukung pergerakan orang dan distribusi barang serta jasa di pusat-pusat kegiatan
perekonomian, perdagangan dan produksi yang akan dikembangkan. Selain jalan dibutuhkan
terminal angkutan umum yang belum dimanfaatkan secara optimal. Keberadaan terminal
yang dapat digunakan sebagai angkutan barang dan tempat transit pengangkutan barang.
Pergerakan angkutan darat yang relatif rendah di Kabupaten Mamasa ini menunjukkan bahwa

12
sarana angkutan umum yang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan luas wilayah yang
harus dilayani, keterbatasan jaringan akses ke wilayah lain/sentra produksi baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.

Dari sisi jaringan telekomunikasi di Kabupaten Mamasa, menggunakan berupa


fasilitas telepon seluler dengan sedikit penetrasi fasilitas telepon dari PT Telkom. Kondisi
jaringan telekomunikasi seluler tersebut tidak lepas dari kekuatan sinyal dari BTS (base
transmitter station) yang melingkupi kawasan yang dilayani. Kekuatan sinyal seluler yang
dapat diterima dengan handset secara keseluruhan dalam kondisi kekuatan sedang bahkan di
sebagian besar lainnya masih terjadi ketiadaan sinyal (blank spot). Pengembangan
telekomunikasi dengan kondisi persaingan antar operator memberikan keuntungan terhadap
pembangunan infrastruktur komunikasi. Pertumbuhan ekonomi wilayah akan memicu
kompetisi di kalangan operator telekomunikasi seluler untuk mengembangkan jangkauan
kekuatan persinyalan.

Produksi listrik yang dihasilkan oleh PLN belum dapat memenuhi kebutuhan listrik
secara keseluruhan termasuk pemenuhan kebutuhan pengembangan. Pemenuhan kebutuhan
masih didominasi oleh kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sosial. Pelayanan listrik
sangat dibutuhkan dalam mendukung kegiatan industri. Untuk itu, peningkatan produksi-pun
harus dilakukan agar pelayanan kepada masyarakat akan semakin baik. Potensi meningkatnya
kegiatan sosial ekonomi dalam waktu 5 tahun kedepan, memerlukan kebutuhan listrik sejalan
dengan bertambahnya jumlah dan aktifitas perekonomian penduduk.

Kualitas dan karakteristik fisik lahan menjelaskan informasi mengenai kondisi


keragaan fisik lahan yang berperan dalam menentukan ragam pemanfataan yang dapat
dikelola berdasarkan kemampuan fisiknya. Kemampaun fisik wilayah diukur atas dasar
parameter fisik yang mampu dikenali baik secara fisik aktual lapangan maupun hasil
pengamatan laboratorium.Keragaan informasi tersebut pada bagian ini menjelaskan struktur
fisik sumberdaya lahan, yang menjelaskan hubungan faktor pembentuk tanah terhadap
kemampuan dan tingkat kesuburan lahan. Kabupaten Mamasa, dalam perkembangan
geostratologi, terbentuk pada masa quarter-tektonik, dari pengaruh pertemuan lempeng
Eurasia di sebelah barat, lempeng pasifik di Timur dan lempeng Australia sebelah selatan
(Gorsel ,2013). Gambaran sifat fisik lahan di dataran zona tengah meliputi zona Palu dan
Zona Poso pada garis struktur lempeng Tawalean termasuk dalam wilayah Mamuju-Mamasa
dan sekitarnya, terbentuk dari pengaruh pergeseran dan perubahan dari pengaruh pertemuan

13
pada tiga lempeng, sehingga dominan diwilayah selatan barat sulawesi tengah ke selatan,
dominan tanahnya terbentuk dari batuan granudiorit, sebagian lahan terbentuk dari pengaruh
volkanik dibagian selatan barat struktur Tawalean, yang diketahui saat ini dijumpai barisan
pengunungan yang memanjang dari utara ke selatan, hal ini dijumpainya barisan pegunungan
di sisi barat Mamasa dan selatan Mamuju. Sementara pada bagian tengah sampai timur
sebagian lahan terbentuk dari campuran volkan dengan batuan kapur (limestone) akibat
proses asimilasi yang eksesif dari pengaruh terbentuknya zona Kolonadale di bagian timur.
Itulah sebabnya pada bagian timur terbentuk tanah-tanah dengan struktur perbukitan lipatan
dominan dan masif.Karakteristik terbentuknya pola tipe tanah di wilayah Kabupaten Mamasa
terbentuk sebagai pengaruh dari proses stratologi batuan yang memberikan informasi
perbedaan tipologi fisik tanah dengan berbagai parameternya. Keragaan fisik lahan pada
bagian ini dicermati berdasarkan perbedaan karakteristik bahan induk, bentuk relief/landform
dan topografi/kemiringan lereng, sedangkan faktor iklim yang cenderung seragam karena
proses interpolasi dan dukungan data yang minim.

Tabel 2.7. Ragam Karakteristik Fisik Lahan Kabupaten Mamasa


Lereng Luas Persen
SPL Landform Bahan Induk Relief Jenis Tanah
(%) (Ha) (%)
Dataran banjir sungai Typic
1 Aluvium Agak datar 1-3 13,241.8 4.4
meander Fluvaquents
Typic
2 Dataran koluvial Aluvium Agak datar 1-3 9,346.0 3.1
Endoaquepts
Fluventic
3 Dataran koluvial Aluvium Berombak 3-8 843.7 0.3
Eutrudepts
Granit dan
4 Intrusi volkan Bergelombang 8-15 Typic Dystrudepts 2,380.9 0.8
granodiorit
5 Perbukitan volkan tua Andesit-basalt Berbukit kecil 15-25 Typic Dystrudepts 9,809.2 3.3
Granit dan
6 Intrusi volkan Berbukit kecil 15-25 Typic Dystrudepts 4,976.6 1.7
granodiorit
7 Perbukitan tektonik Batupasir, batuliat Berbukit 25-40 Typic Dystrudepts 18,753.2 6.2
8 Perbukitan tektonik Batuan metamorfik Berbukit 25-40 Typic Hapludults 25,120.4 8.4
9 Perbukitan volkan tua Andesit-basalt Berbukit 25-40 Typic Dystrudepts 13,553.0 4.5
Typic Dystrudepts
Granit dan
10 Intrusi volkan Bergunung >40 asosiasi 147,293.4 49.0
granodiorit
Dystropepts
11 Pegunungan volkan Andesit-basalt Bergunung >40 Typic Dystropepts 33,834.7 11.3
12 Pegunungan volkan Dasit-andesit Bergunung >40 Typic Dystropepts 21,435.0 7.1
300,588.0 100.0
Sumber : Analisis tim, data bersumber dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian,2009

Berdasarkan pola hubungan informasi diatas, maka secara umum lokasi di wilayah
Kabupaten Mamasa, bila ditinjau berdasarkan toposekuen horisontal dari barat ke timur

14
diperoleh sebaran karakteritik fisik lahan diawali dari pembentukan intrusi volkan diwilayah
barisan pegunungan sampai pegunungan volkan dengan pengaruh bahan induk granudiorit
dan dominan andesit basaltik, pada wilayah perbukitan, dijumpai pengaruh volkan tua
dimana bahan induk terbentuk dominan pada batuan metamorfik dan sedikit pengaruh andesit
basaltik. Untuk wilayah berbukit kecil sampai dataran banjir dan meander dipengaruhi oleh
bahan induk aluvium akibat pengaruh pergeseran lempeng dan tumbukan serta pengaruh
aktivitas volkan tua akibat letusan dan sisa pengendapan di kaki gunung menimbulkan bahan
sisa letusan terkumpul di area bawah.

Berdasarkan pertimbangan pola pergeseran dan pembentukan struktur bahan


pembentuknya di Pulau Sulawesi, khususnya di wilayah tengah Sulawesi bagian barat
selatan, maka pembentukan tanah wilayah Kabupaten Mamasa dan sekitarnya, dominan
merupakan tipe tanah Inceptisol dimana merupakan tanah dengan tingkat perkembangan
lanjut atau jenis tanah matang (mature). Bila didetilkan maka kelompok orde tanahnya
dominan Typic Dystropepts, berada pada relief bergunung dengan kelerengan diatas > 40%
dengan luas 202.834 Ha. Tanah dengan tipikal seperti ini memiliki potensi kesuburan yang
relatif cukup baik pada wilayah datar akan memiliki solum tanah yang dalam sementara jika
ditemukan pada wilayah berbukit sampai bergelombang, maka kecenderungan dijumpai tanah
dengan solum tanah yang agak dangkal, peka terhadap aktivitas pengaruh perubahan seperti
erosi. Tipe tanah lain yang dijumpai merupakan tanah dengan tipe Entisol, tanah dimana
perkembangannya yang masih muda, pengaruh aktivitas volkan merupakan bahan dominan
pembentuk tipe tanah ini, sehingga tingkat kesuburuannya pun sangat tinggi karena aktivitas
sedimentasi dari hara disekitar pola aliran sungai.

Beberapa bagian penting karakteristik pendukung lahan akan dijelaskan secara rinci
sesuai kebutuhan pengamatan yang dilakukan pada kajian fisik lingkungan yang dibuat pada
laporan kegiatan.

2.8. Aspek Fisik Terkait Tanah di Kabupaten Mamasa

2.8.1. Satuan Lahan


Satuan lahan dalam kajian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran ruang spasial
karakteristik fisik lahan dominan seragam atau sejenis yang terbentuk dari pengaruh proses
pembentukan unit-unit lahan spesifik dan homogen dari bentuk lahan (landform) berdasarkan
karakteristik lereng, beda tinggi, dan bahan induk yang terbentuk baik alamiah maupun

15
campur tangan manusia (antropogenik). Komposisi sifat tanah dan karakteritik lingkungan
fisik lahan merupakan instrumen utama dalam menilai potensi sumberdaya lahan sesuai
dengan tujuan pengelolaan. Pengembangan basis data unit lahan secara simultan diturunkan
dari unit parameter dan/atau komposisi sifat fisik kimia tanah dan karakteristik fisik
lingkungan lahan atas pertimbangan dasar karakteristik tingkat homogenitas dan
kompleksitas lahan sebagai informasi lokasi setempat (in-situ), maupun pertimbangan unit
dalam wilayah secara makro, sehingga lebih menggambarkan secara utuh lingkup satuan
lahan wilayah tersebut. Pertimbangan atas dasar satuan lahan tersebut, selanjutnya digunakan
untuk menilai kualitas lahan di wilayah Kabupaten Mamasa pada skala informasi 1:50.000,
sesuai dengan komposisi perencanaan ruang.

Berdasarkan komposisi satuan lahan tersebut diatas, maka unit lahan dengan
karakteritik homogen berdasarkan penilaian komposisi karakteristik fisik lahan, maka
diwilayah Kabupaten Mamasa diperoleh 12 satuan peta lahan (SPL) yang ditunjukan pada
Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Satuan Peta Lahan Kabupaten Mamasa


Satuan Cnt_ID Luas Persen
SPL
Lahan Lunit (Ha) (%)
1 Au112.n0 5 13,241.8 4.41
2 Au22.n0 10 9,346.0 3.11
3 Au22.u1 1 843.7 0.28
4 Tqf12.h3 2 18,753.1 6.24
5 Ty12.h3 6 25,120.3 8.36
6 Vab32.c2 1 9,809.2 3.26
7 Vab32.h3 3 13,553.0 4.51
8 Vab33.m3 4 33,834.7 11.26
10 Vg4.r2 1 2,380.9 0.79
11 Vg4.c2 1 4,976.6 1.66
12 Vg4.m3 2 147,293.5 49.00
300,588.0 100.00
Sumber : Analisis tim, 2014

Kelompok satuan lahan di wilayah Kabupaten Mamasa, berdasarkan morfogenesa


tanah terbentuk pada lahan dominan pada kelompok lahan Dataran Aluvial (A), Teras Marin
(T) dan Volkan (V).Masing-masing kelompok lahan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Dataran Aluvial (A)

16
Merupakan wilayah yang terbentuk karena proses fluvial dari bahan-bahan sungai
baru yang berumur muda sampai agak tua (resen/sub-resen), proses koluvial atau gabungan
dari kedua proses tersebut. Biasanya berlapis-lapis dengan tekstur beragam yang dicirikan
oleh adanya kerikil/batu yang bentuknya membulat(rounded). Wilayah kajian dominan
dijumpai kelompok lahan dataran banjir dimana pada bagian lembah sungai yang berbatasan
dengan alur sungai ditemukan bahan endapan dari sungai, akibat aktivitas luapan air pada
waktu banjir.

Makro pembentukan lahan diwilayah studi, ditunjukan oleh keadaan dimana dataran
yang relatif cukup berada diantara perbukitan dan lahan bergelombang terbentuk sebagai
sebab dari pengendapan bahan aluvial oleh pengaruh air dengan dari bahan pembawa lumpur,
pasir dan atau kerikil yang berumur agak tua (sub-resen). Kondisi lahan demikian dijumpai
pada lereng 0-3% dengan beda tinggi /relief datar dan cenderung memiliki pola drainase
dengan aliran yang berlingkar-lingkar dengan kecepatan arus lebih lambat (Au.1.1.2), dan
pada bagian yang lebih tinggi dijumpai memanjang disepanjang kanan-kiri aliran sungai,
terbentuk dari bahan-bahan endapan sungai yang kasar yang menyerupai tanggul sungai
(river Levee) (Au.2.2.1). Komposisi ini dominan dijumpai diwilayah studi tetapi secara
agregat luas hamparan relatif kecil sekitar 7% dari total luas wilayah.

Teras Marin (T)

Merupakan wilayah yang terbentuk karena proses gerakan tektonik dan proses
geomofik sehingga terjadi pengangkatan pada daratan banjir diwilayah bawah dalam jangka
waktu lama. Lahan dengan bentukan seperti demikian, merupakan daerah yang tersusun dari
bahan yang berasal dari pengikisan bahan dari pedalaman yang diendapkan di laut dangkal
dan kemudian terangkat. Pada wilayah studi, kondisi teras marin dijumpai di antara kaki
perbukitan dan dataran aluvial meander, dimana daerah teras cukup tererosi sedang sampai
berat akibat proses litologi. Umum wilayah demikian merupakan daerah peralihan bentuk
dari bahan endapan dan sedimen, pada wilayah datar sampai berombak dengan lerengan 15-
20% dan ketinggian dibawah <500 mdpl.

Pada wilayah kajian, kelompok lahan demikian dijumpai pada daerah berbukit kecil
sampai bergelombang akibat pengaruh intrusi volkan. Lahan demikian dijumpai sekitar 15%
dari luas total wilayah Kabupaten Mamasa, dimana dijumpai tanah Dystropepts, yang
tergolong tanah yang sudah berkembang lanjut, bersolum dalam, bertekstur halus, dan
drainase baik. Lahan dengan karakteristik demikian merupakan lahan dengan potensi

17
kesuburan tanah yang relatif rendah.Pada wilayah studi relatif lahan-lahan di wilayah
perbukitan sudah diusahakan tetapi dominan tidak intensif sehingga vegetasi dominan
kombinasi semak belukar yang ditanami pinus.

Volkan (V)

Kelompok lahan volkan pada wilayah kajian merupakan kelompok dominan, dimana
78% terhadap total luas wilayah menyebar dari dataran, kaki perbukitan sampai daeran
pegunungan. Umumnya bahan pembentuk lahan berasal dari endapan volkanik berupa tufa
masam dan lava volkanik dari proses pengangkatan dan lipatan. Pengaruh volkan tersebut,
dominan terbentuk pada wilayah perbukitan sampai pegunungan dari batuan volkan tua
melalui proses geomorfik dengan kelerengan diatas >30%, dan pada ketinggian diatas >500
mdpl.
Tipikal tanah dominan yang dijumpai pada kelompok lahan ini dibagi kedalam proses
penyebarannya dimana pada kelompok lahan yang terbentuk dari proses intrusi volkan
terbentuk dari volkan muda, sedangkan sebaran tanah daerah lereng atas sampai lereng
bawah dan kaki lereng, dideskripsikan tanah dengan solum dalam sampai sangat dalam,
drainase baik, tekstur sedang sampai agak kasar dominan di lereng atas dan semakin halus ke
lereng bawah. Pada kondisi demikian potensi kesuburan tanah relatif terbatas (sedang sampai
rendah) karena huminitasnya terpengaruh oleh proses erosi akibat interval kelerengan yang
tinggi. Beberapa wilayah pegunungan dijumpai tanah yang terbentuk dari volkan tua (proses
geomorfik) dengan kesuburan yang tinggi. Sebaran spasial satuan lahan diwilayah Kabupaten
Mamasa ditunjukan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.5. Bentuk Lahan Perbukitan di Kabupaten Mamasa

18
Gambar 2.6. Peta Sebaran Spasial Satuan Lahan Wilayah Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat

19
2.8.2. Bahan Induk
Struktur bahan induk di wilayah studi terbentuk sebagai proses geologi yang
terbentuk pada ratusan tahun melalui proses perubahan dan pertemuan lempeng Eurasia,
pasifik dan australia. Struktur batuan diwilayah pulau Sulawesi merupakan batuan yang
terbentuk secara komplek, struktur dominan bahan induk tidak dijumpai di pulau ini, akibat
proses tektonik, proses volkanik dan proses geomorfik. Kabupaten Mamasa memilik bahan
induk yang didominasi oleh batuan granit dan granodiorit yang tersebar merata. Bahan induk
yang berasal dari batuan granit dan granodiorit banyak mengandung mineral silikat. Pada
lahan dengan komposisi batuan pembentuk demikian, berkecenderungan memiliki potensi
kesuburan tanah yang rendah (kurang subur).Tetapi pada bagian lain pada kelompok batuan
dominan juga dijumpai bahan induk yang berasal yang terbentuk dari batuan andesit-basalt
yang kaya mineral basa, yang memiliki potensi kesuburan yang tinggi.Proporsional lahan
dengan asosiasi bahan induk andesit-basalt dominan berada pada bahan induk diwilayah
bergelombang sampai dataran volkan, dan tersebar minor pada lokasi perbukitan kecil dan
wilayah pegunungan.

Gambar 2.7. Penampang melintang Formasi Walanea, pembentukan batuan bagian


barat dan timur (Gert-]an Bartstra, 1977)

20
Pola pemebntukan formasi tawalean, dipengaruhi oleh pola bentukan dari formasi
walanea dimana bagian perbukitan kecil sampai barisan dataran bergelombang dilingkupi dua
punggung pegunungan dari barat ke timur.Proses pembentukan bahan induk juga terbentuk
pada masa tersier tua (upper Terteary), dimana formasi terbentuk dari pengaruh erupsi bahan
basaltik, tufa dan aliran lava.Termasuk dalam formasi volkanik pada ketinggian diatas 1000
mdpl.(Gambar 2.8.) menunjukan penampang melintang formasi tersier tua

Gambar 2.8. Menunjukan penampang melintang formasi tersier tua


(van Bemmelen, 1949)

Pada bagian lain di wilayah studi juga dijumpai bahan induk yang berasal dari proses
endapan yaitu batuan metamorfik, asosiasi batuan pasir dan batuan liat dengan potensi
kesuburan yang lebih baik dari bahan induk batuan granit. Bahan induk tersebut
(metamorfik), terbentuk dari material yang dibawa aliran sungai adalah aluvium tersebar pada
daerah pinggir sungai (dataran banjir, yang cenderung memiliki tanah dengan kesuburan
tanah yang baik).

Sebaran spasial bahan induk di wilayah Kabupaten Mamasa disajikan pada Gambar
2.9. Dan komposisi sebaran berdasarkan proporsi luas lahan di Kabupaten Mamasa tersajikan
pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9. Sebaran Bahan Induk di wilayah Kabupaten Mamasa


Luas Persen
No Bahan Induk Cnt_ID
(Ha) (%)
1 Aluvium 16 23,431.6 7.8
2 Andesit-basalt 8 78,631.9 26.2
3 Batuan metamorfik 6 43,873.5 14.6
Granit dan
6 4 154,651.0 51.4
granodiorit
300,588.0 100.0
Sumber : Analisis tim, 2014, disarikan dari sumber peta tanah

21
Gambar 2.9. Peta Sebaran Spasial Bahan Induk Wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat

22
2.8.3. Kelerengan

Wilayah Kabupaten Mamasa merupakan daerah dengan topografi yang bervariasi,


mulai dari relief datar, berombak, bergelombang hingga curam dan sangat curam.
Kemiringan lahan dominan merupakan areal curam > 40% yang menempati luasan 202.834,7
Hektar atau .Wilayah tersebut merupakan daerah pegunungan volkan.Pegunungan ini terjadi
karena peristiwa geologi berupa lipatan dan sisipan sehingga bentuknya berjalur-jalur
khususnya dari Timur laut ke Barat daya.Dengan kondisi fisiografi dan topografi yang
sedemikian maka pemukiman penduduk lebih banyak dijumpai di wilayah sepanjang sungai
dengan kondisi yang relatif lebih datar sampai bergelombang, walaupun banyak pula
dijumpai lahan lahan curam yang diiris permukaan curamnya, sehingga pada bidang
horizontalnya dijadikan tempat hunian dan tempat bercocok tanam.Areal budidaya tanaman
tersebar pada areal datar (sawah) di lembah dan perbukitan atau pegunungan untuk tanaman
perkebunan.

Kabupaten Mamasa jika diamati, merupakan administratif kabupaten dengan kondisi


wilayah yang berada pada lahan dengan fisiografi dominan perbukitan berlereng.Kondisi
geo-topografis wilayah ini diapit oleh dua punggung pegunungan disisi sebelahan barat dan
timur, dan pada wilayah selatan sampai ke utara, merupakan wilayah dengan ragam
permukaan yang dominan berbukit samapia bergelombang dan pada sebagian wilayah
merupakan dataran koluvial disekitar sungai yang relatif datar.Perkembangan lahan pertanian
intensif khususnya lahan sawah dominan berkembangan pada lokasi ini, sehingga di lokasi
sekitar jalur jalan transportasi utama menuju Kabupaten Mamasa, lahan datar (morfogenesis
tanah koluvial) sekitar sungai merupakan lahan untuk pertanian lahan sawah (tampak pada
Gambar 2.10).

Tabel 2.10. Sebaran Jenis Tanah di wilayah Kabupaten Mamasa

Persen
No Jenis Tanah Luas (Ha)
(%)
1 Fluventic Eutrudepts 843.7 0.3
2 Typic Dystrudepts 163,823.5 54.5
3 Typic Dystropepts 88,212.6 29.3
4 Typic Endoaquepts 9,346.0 3.1
5 Typic Fluvaquents 13,241.8 4.4
6 Typic Hapludults 25,120.3 8.4
300,588.0 100.0
Sumber : Analisis tim, 2014, disarikan dari sumber peta tanah

23
Pegunungan-Perbukitan
(>40%)

Perbukitan kecil-bergelombang
(15-20%)

Dataran aluvial meander


(0-3%)

Dataran aluvial
(0-3%)

Gambar 2.10. Ilustrasi karakteritik lahan berdasarkan beda ketinggian dan tingkat
kelerengan terhadap ragam aktivitas penggunaan lahan

Sebaran spasial tingkat kelerengan di wilayah Kabupaten Mamasa disajikan pada


Gambar 2.11. Dan komposisi sebaran berdasarkan proporsi luas lahan di Kabupaten
Mamasa tersajikan pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11. Sebaran Jenis Tanah di wilayah Kabupaten Mamasa

No Kelas Lereng Luas (Ha) Persen (%)


1 1-3 22,587.9 7.5
2 3-8 843.7 0.3
3 8-15 2,380.9 0.8
4 15-25 14,785.9 4.9
5 25-40 57,426.5 19.1
6 >40 202,563.2 67.4
300,588.0 100.0
Sumber : Analisis tim, 2014, disarikan dari sumber peta tanah

24
Gambar 2.11. Peta Sebaran Spasial Kelerengan di Wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat

25
2.8.4. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan merupakan bentuk pemanfaatan dan atau fungsi dari perwujudan
suatu bentuk penutup lahan. Istilah penggunaan lahan didasari atas fungsi kenampakan
penutup lahan yang menggambarkan fungsi aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan
untuk kehidupan saat ini dan yang akan datang. Kenampakan visual lahan dengan berbagai
fungsi peruntukannya terjadi baik secara alamiah maupun bentuk aktivitas manusia terhadap
lahan bukan alamiah (buatan manusia). Lahan sebagai sumberdaya memiliki kecenderungan
bergerak atau berubah sesuai dengan penggunaan yang dikontrol oleh kemampuan yang
mendatangkan kemanfaatan tertinggi (Barlowe,R., 1986). Dinamika penggunaan lahan
mengikuti prinsip bahwa setiap perubahan dari pemanfaatan yang yang sesuai dari berbagai
penggunaan yang berbeda berubah ke penggunaan lain sesuai dengan kapasitas penggunaan
yang mampu ditampung. Kapasitas ini terkadang salah dimaknakan sehingga banyak terjadi
perubahan penggunaan atau pergantian penggunaan ke penggunaan lain melebihi kapasitas
sehingga yang terjadi kerusakan diakibatkan penggunaan berlebih (Ratcliff et.al, 1949).

Berdasarkan informasi sebaran spasial peta tutupan lahan dan hasil pengamatan
dilapang, bahwa sebaran penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Mamasa dominan
merupakan hutan sekunder seluas 151.978,7 hektar dengan pemanfaatan pertanian
berkecenderungan pemanfaatan lahan kering campuran seluas 109.573 hektar. Karakterisik
wilayah Mamasa yang demikian (sesuai penjelasan stratografi dan proses mofogenesa lahan
pada bagian diatas), menunjukan bahwa penggunaan lahan disarankan tidak pada
pemanfaatan lahan intensif khusus pada lahan perbukitan tengah sampai bawah, dimana lahan
demikian dominan pada wilayah ini.Pola tanam agroforesti, merupakan pola adaptif untuk
wilayah demikian. Potensi lahan dimanfaatan intensif pada lokasi daratan dengan kelerengan
0-3%, sementara diatas 15% pola agroforestri merupakan pilihan optimal, dan pada lahan
diatas 40% wilayah pegunungan dengan formasi graben optimal dimanfaatkan untuk
penggunaan lahan adaptif dataran tinggi. Karakterisitk lahan dengan pola pertanian campuran
secara deskriptif dilapangan adalah lahan usaha pertanian tanaman musiman yang bercampur
dengan jenis vegetasi pinus.Selengkapnya proporsi luas penggunaan lahan pada lokasi studi,
disajikan pada (Tabel 2.12.) dan (Gambar 2.12.).

26
Tabel 2.12. Sebaran Penggunaan lahan Kabupaten Mamasa

Tipe Penggunaan Persen


No Cnt_ID Luas (Ha)
Lahan (%)
1 Awan 18 2,185.7 0.7
2 Hutan Primer 3 1,767.3 0.6
3 Hutan Sekunder 16 152,046.8 50.6
4 Hutan Tanaman 6 660.7 0.2
5 Pemukiman 213 508.4 0.2
Pertanian l. Kering
6 Campur 13 109,622.6 36.5
7 Pertanian Lahan Kering 7 1,189.1 0.4
8 Savana 16 1,323.8 0.4
9 Sawah 58 5,764.9 1.9
10 Semak/Belukar 32 23,677.4 7.9
11 Tanah Terbuka/Kosong 7 173.6 0.1
12 Tubuh Air 80 1,667.8 0.6
300,588.0 100.0
Sumber : Analisis tim, 2014, disarikan dari sumber dokumen RT/RW (draft)
dan update citra Landsat 8, Juni 2014

27
Gambar 2.12. Peta Sebaran Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat

28
BAB III

METODOLOGI DAN PENDEKATAN

3.1 Analisis ekonomi wilayah

3.1.1. Analisis Keunggulan Komparatif Wilayah (Location Quotient Analysis)

Location Quotient merupakan metode analisis yang umum digunakan di bidang


ekonomi geografi. Namun demikian, LQ ini sering juga digunakan di bidang ilmu yang lain.
Blakely (1994) menyatakan bahwa LQ ini merupakan suatu teknik analisis yang digunakan
untuk melengkapi analisis lain yaitu shift share analysis. Secara umum, metode analisis ini
digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Disamping itu, LQ juga
bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat
kecukupan barang/jasa--dari produksi lokal suatu wilayah.

Asumsi, Persamaan dan Interpretasi Hasil

Location Quotient (LQ) merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub
wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas
wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total
aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang
diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif
seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan
produk yang sama. Persamaan dari LQ ini adalah :

LQ 
X IJ
/X I.
IJ
X .J
/X ..

Dimana:
Xij : derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i

Xi. : total aktifitas di wilayah ke-I

X.j : total aktifitas ke-j di semua wilayah

X.. : derajat aktifitas total wilayah

Untuk dapat menginterprestasikan hasil analisis LQ, adalah sebagai berikut :

29
- Jika nilai LQij> 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub
wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan
aktifitas di sub wilayah ke-i.

- Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara
dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-I sama dengan rata-rata total
wilayah.

- Jika nilai LQij< 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil
dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.

3.1.2. Analisis Keunggulan Kompetitif Wilayah (shift-share analysis)

Shift-share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk
memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu
referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur
aktifitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi
(competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas
dalam cakupan wilayah lebih luas.

Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu


sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis
shift-share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu
aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian y.i. : sebab
yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total
wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.

Persamaan

Sebagaimana dijelaskan di atas, dari hasil analisis shift share diperoleh gambaran
kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen
hasil analisis, yaitu :

1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (Komponen share). Komponen ini menyatakan


pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total
wilayah.

30
2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen proportional shift). Komponen ini
menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan
pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika
sektor/aktifitas total dalam wilayah.

3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan


bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan
dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini
menggambarkan dinamika (keunggulan/ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di
sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.

Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut :

 X ..(t1)   X i (t1) X ..   X ij (t1) X 


  1      
( t1) i ( t1)
SSA  X ..  X  X 
 (t 0)   i (t 0) X ..
(t 0)   ij (t 0) X i (t 0) 

a b c

dimana : a = komponen share

b = komponen proportional shift

c = komponen differential shift, dan

X.. = Nilai total aktifitas dalam total wilayah

X.i = Nilai total aktifitas tertentu dalam total wilayah

Xij = Nilai aktifitas tertentu dalam unit wilayah tertentu

t1 = titik tahun akhir

t0 = titik tahun awal

3.1.3. Analisis Perkembangan Wilayah (Entropy)

Perkembangan suatu sistem dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah


komponen sistem serta penyebaran (jangkauan spasial) komponen sistem tersebut. Kedua hal
tersebut pada dasarnya bermakna peningkatan kuantitas komponen serta perluasan hubungan

31
spasial dari komponen di dalam sistem maupun dengan sistem luar. Artinya suatu sistem
dikatakan berkembang jika jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau
aktifitas dari komponen sistem tersebar lebih luas. Sebagai suatu contoh : perkembangan
suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah, misalnya
alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktifitas perekonomian di wilayah tersebut,
semakin luasnya hubungan yang dapat dijalin antara sub wilayah-sub wilayah dalam sistem
tersebut maupun dengan sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini dapat
dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropy.

Prinsip dan Persamaan

Prinsip pengertian indeks entropy ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin
luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah. Artinya wilayah tersebut
semakin berkembang. Persamaan umum entropy ini adalah sebagai berikut:

P 1 i Pr oporsi 
i 1

S   Pi Ln(Pi )

Dimana: Pi adalah peluang yang dihitung dari persamaan: Xi/Xi.


X1 X2 X3 X4 =x

X1/x X2/x =1

Jika tabel terdiri dari baris dan kolom yang cukup banyak seperti tabel berikut:
X11 X21 X31 X41 Xp1
X12

X1q X2q Xpq


Maka, persamaan untuk menghitung peluang titik pada kolom ke-i dan baris ke-j adalah :

Pij=Xij/Xij, dimana: i = 1,2,...,p ; j = 1,2,...,q

Dalam identifikasi tingkat perkembangan sistem dengan konsep entropy ini berlaku
bahwa makin tinggi nilai entropy maka tingkat perkembangan suatu sistem akan semakin
tinggi. Nilai entropy itu sendiri selalu lebih besar atau paling tidak sama dengan 0 (S  0).

32
3.2. Analisis Ruang

3.2.1. Perencanaan Pemanfaatan Ruang


Perencanaan pemanfaataan ruang dianalisis dengan substansi keberadaan perancanaan
yang dilakukan dan kriteria yang dipakai dalam mengalokasikan ruang khususnya terkait
dengan komoditas lokal yang saat ini mendominasi ruang atau potensi pengembangan
pemanfaatan ruang berdasarkan kesesuaian komofditas yang sudah pernah ada atau
komoditas yang mungkin berkembang.
Analisis isi kawasan dilakukan dengan melihat kesesuaian fisik pada penentuan
kawasan Hutan Lindung, Hutan produksi terbatas, hutan produksi konversi, perkebunan,
persawahan, serta pemukiman dan pekarangan.Kajian secara khusus dilakukan untuk daerah
kawasan budidaya khususnya perkebunan dan persawahan.
Selain itu analisis isi juga dilakukan dengan melihat standar minimal ruang tertentu
seperti kawasan berfungsi lundung di suatu wilayah yang menurut normanya harus
mempunyai luas minimal 30 persen suatu wilayah.

3.2.2. Implementasi Penggunaan Ruang


Kajian implementasi pemanfaatan ruang dililhat dari kenyataan lapang yang
menunjukkan penyebaran komoditas/penutupan aktual.Lokasi aktual objek yang dianggap
penting oleh masyarakat seperti kopi, sawah, kakao dan lainnya dilihat kinerja di lapang dan
selanjutnya dengan dikaitkan dengan keadaan lingkungan fisik dan sistem pengelolaan yang
ada.Berbagai kondisi sistem sosial juga dikaitkan dengan keberadaan sistem pengelolaan
komoditas dan lingkungan fisik tersebut.Kajian ini dilakukan dalam kaitan kawasan yang
direncanakan dan hubungannya pada komoditas tertentu.
Selain itu secara kualitatif juga dilihat aktual penggunaan / penutupan lahan yang
diturunkan dari citra satelit.Data dari citra satelit dijadikan menjadi peta penggunaan lahan,
dan diperbaiki dengan data lapang.Data ini dioverlay dengan data rencana tata ruang (draft)
dan dianalisis kesesuaian dan dilihat secara ruang.

3.3. Analisis Sumberdaya Fisik

3.3.1. Pengambilan Sampel/Contoh Tanah

Teknik penentuan titik pengambilan contoh tanah didasarkan pada kombinasi sistem
lahan, peta pola ruang, dan penggunaan lahan. Peta sistem lahan diperoleh dari data Regional

33
Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPoT) Tahun 1980 skala 1 : 250.000,
sedangkan peta pola ruang diperoleh dari data RTRW Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2020
dengan skala 1 : 50.000. Penentuan titik pengamatan dilakukan dengan cara pengolahan data
spasial (overlay beberapa peta) dengan perangkat lunak pemetaan. Hasil dari tumpang susun
informasitersebut diperoleh beberapa titik rencana pengamatan lapang dan pengambilan
sampel/contoh tanah.Pengambilan contoh tanah yang dilakukan dalam kajian ini adalah
contoh tanah komposit. Pengambilan contoh tanah komposit adalah pengambilan contoh
tanah di 4 (empat) lokasi yang berbeda (dalam satu hamparan) dengan penggunaan lahan
yang sama, dan atau berbeda lokasi sesuai dengan tipikal stratum tanah yang dijumpai.
Pengenalan informasi tersebut dirancang sebelum dilakukan pengamatan lapangan.Komposit
tanah selanjutnya dilakukan agar diperoleh satu sampel tanah yang representatif (mewakili)
satuan lahan.

3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan

Analisis yang menggambarkan tingkat kecocokan satu bidang lahan untuk suatu
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau
setelah diadakan perbaikan (improvement), lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut
ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi,
hidrologi, dan atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang
produktif (Djaenudin et al., 2003). Kriteria kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2003),
digunakan untuk proses evaluasi lahan dengan teknik padu-padan informasi atau
mengkombinasikan dan mencocokkan informasi (matching) antara karakteristik lahan dari
setiap Satuan penggunaan Lahan (SPL) dengan persyaratan tumbuh atau kriteria kesesuaian
lahan. Hasil dari analisis kesesuaian lahan akan diperoleh informasi kesesuaian berdasarkan
kondisi aktual lahan.

Struktur klasifikasi kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2003), dibedakan atas dasar
tingkatan informasi tanah dan pemanfaatan sebagai berikut :

Sekuen pada tingkat Ordo. Keadaan dimana kelas kesesuaian lahan ditetapkan secara
global, dan hanya dibedakan pada dua kondisi yaitu potensial sesuai (S) dan lahan yang
tergolong tidak sesuai (N). Makna dari ordo tersebut tentu dibuat dan disesuaikan dengan
pertimbangan karakteritik lingkungan alami termasuk kondisi ekosistem khas dan
pertimbangan strutur dan budaya masyarakat lokal termasuk kearifan lokal masyarakat dalam
beradaptasi dengan alam, jika ordo-S (sesuai) dimaknakan suatu bentang lahan yang dapat

34
digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah
dipertimbangkan, dan ordo-N (tidak sesuai) dimana lahan yang mempunyai kesulitan
(lingkungan fisik) terbatas pemanfaatannya karena penghambat alami dominan.

Pada tingkat sekuen Kelas. Pada level ini, kesesuaian suatu bentang lahan diskemakan pada
tiga kelas, yaitu lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal
(N).Makna dari setiap informasi ditunjukan terhadap pengikat dari faktor yang membatasi
penggunaan, Untuk kelas S1 (sangat sesuai) dimana ahan tidak mempunyai faktor pembatas
sesuai untuk beragam pemanfaatan. Pada timgkatan kelas S2 (cukup sesuai), ditunjukan oleh
keadaan dimana suatu bentang lahan atau lahan tertentu mempunyai faktor pembatas
berpengaruh terhadap upaya peningkatan produktifitas dengan tambahan teknologi input
produksi. Pada kelas S3 (sesuai marginal), dimana suatu lahan mempunyai faktor pembatas
dominan (berat) terhadap upaya peningkatan produktifitas dengan tambahan teknologi input
produksi yang lebih banyak dan modal yang lebih besar. Dan pada tingkatan kelas kesesuaian
N (tidak sesuai), menunjukan bidang lahan yang tidak sesuai (N) karena faktor pembatas
yang sangat berat dan atau sulit diatasi.

Tingkat sekuen Subkelas. Menunjukan suatu kondisi atau keadaan pada tingkatan dimana
pada tingkat subkelas dibedakan atas dasar pertimbangan kualitas dan karakteristik lahan
yang menjadi faktor pembatas terberat. Introduksi untuk meminimumkan faktor pembatas
dilakukan jika suatu bidang lahan berkemampuan untuk bisa dilakukan perbaikan dan
ditingkatkan kelasnya sesuai dengan masukan yang diperlukan.

Tingkat sekuen Unit. Dilakukan pada suatu keadaan dimana tingkatan dalam subkelas
kesesuaian lahan atas dasar sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua
unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas dan
mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkatan subkelas. Unit yang satu berbeda dari
unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan
sering merupakan pembedaan detil dari faktor pembatasnya.

3.3.3. Analisis Areal yang Berpotensi Untuk Pengembangan Komoditas Unggulan

Areal potensial untuk pengembangan komoditas, dikonstruksikan secara spasial


berdasarkan atas kombinasi informasi tingkat kesesuaian dan ketersediaan lahan berdasarkan
pertimbangan kombinasi ruang dari sisi permintaan, penawaran dan kemampuan fisik lahan

35
yang sesuai.Potensi lahan yang dapat dioptimalkan tentu mempertimbangkan aspek legalitas
lahan dari perspetif ruang melalui dokumen rencana tata ruang wilayah (pola ruang)
berdasarkan penetapan fungsi kawasan.Potensial lahan yang sesuai tentu secara ruang
diletakan dalam fungsi kawasan budidaya dengan penggunaan lahan yang mungkin
penggunaannya belum optimal tetapi kesesuaian lahan aktual dapat dilakukan.Penetapan
lahan berpotensi dilakukan teknik spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan
mengkombinasikan ruang informasi attribut sehingga ruang potensial untuk pengembangan
komoditas unggulan. Penilaian potensi lahan pada penelitian ini dibuat dengan kriteria :
(1). Merupakan lahan kawasan budidaya yang sudah ditetapkan dalam RTRW,
(2). Memiliki kelas kesesuaian lahan tingkat sub grup S1, S2, dan S3 dengan pembatas faktor
fisik.
(3). Merupakan arahan pengembangan yang sudah ditetapkan oleh PEMDA,
(4). Penggunaan lahannya berupa lahan pertanian (misalnya : sawah, kebun campuran,
perkebunan, tegalan) atau lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal (ahan terbuka,
semak, belukar dll).

3.4. Analisis Keragaan Komoditas (Budidaya, Pengelolaan dan Usaha)

3.4.1. Pertanian
Analisis keragaan penggunaan lahan dilakukan dengan mengamati kenampakan
aktual komoditas utama di lapang antara lain tanaman kopi, kakao, sawah, hortikultur dan
rumput useng, serta komoditas peternakan seperti kerbau, babi dan potensi perikanan.
Pengamatan aktual dilakukan pada sistem pengelolaan yang mencakup teknis
budidaya, produktivitas, dan analisis biaya input dan output, dan juga potensi pemasaran.
Analisis keragaan ekonomis komoditas ditujukan untuk melihat aktual keuntungan
atau potensi keuntungan yang dapat diperoleh jika dilakukan pengelolaan seperti saat ini, dan
juga kemungkinan peningkatan produktivitas dengan berbagai pengelolaan yang lebih baik
dan memungkinkan diadopsi masyarakat.

3.4.2. Peternakan
Analisis Potensi Penyediaan Hijauan Pakan Ternak Ruminansia

1. Identifikasi Jenis-Jenis Tanaman Pakan

36
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis tanaman makanan ternak
yang tumbuh di padang penggembalaan/kandang umum. Jenis tanaman yang diidentifikasi
adalah tanaman rumput, leguminosa dan gulma (tanaman pengganggu).

2. Metode Penentuan Potensi Hijauan Pakan


Metode yang digunakan untuk menghitung potensi dan pengembangan ternak
ruminansia berdasarkan ketersediaan hijauan pakan adalah metode KPPTR (Kapasitas
Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia, rumus yang digunakan adalah :

(1) KPPTR (Efektif) = Kapasitas Tampung – Populasi Riil


(2) Kapasitas Tampung = Potensi Produksi BK hijauan di suatu
wilayah dibagi dengan (365 hari x 6.29 Kg BK
(3) PMSL (Potensi Maksimum Sumberdaya Lahan)
= a LG + b PR + c R
Keterangan :
a = 0.8 ST/ha
b = 0.5 ST/ha
c = 1.2 ST/ha
LG = Lahan garapan
PR = Padang rumput
R = Rawa
(4) PMKK (Potensi Maksimum Kepala Keluarga ) = d KK
Keterangan : d = 3 ST/ha.
(5) KPPTR (SL) = PMSL – POPULASI RIIL
(6) KPPTR (KK) = PMKK – POPULASI RIIL
(7) KPPTR (E) = KPPTR (SL)
Tabel 3.1. Nilai Asumsi Produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP)

No. Bahan HHSP Produksi % BK % % %


(ton/ha) dikonsumsi TDN Prdd
1. Jerami padi 2.5 92.5 10 41.5 0.6

2. Jerami Jagung 10 80.3 10 45,5 2.0

3. Daun singkong 5 26.0 20 14.9 3.6

4. Daun Ubi jalar 15 20.0 40 11.4 2.0

5. Jerami kedelai 3 88.9 40 38.6 1.1

6. Daun kacang tanah 4 90.0 40 39.7 4.7

37
3. Analisis Potensi Ketersediaan Bahan Pakan Konsentrat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pakan, baik kuantitas, kualitas
serta kontinuitasnya. Analisis data dilakukan dengan melihat sumber-sumber penyediaan
pakan yang berasal dari perkebunan, tanaman pangan serta industri pengolah hasil pertanian.
Data tersebut diolah dengan menghitung konversi dari luas tanam ke potensi penyediaan
limbah baik berupa bahan konsentrat maupun limbah hijauan. Potensi ketersediaan pakan
sumber konsentrat dihitung berdasarkan produksi limbah-limbah pengolahan hasil pertanian
yang dapat dimanfaatkan maupun yang potensial dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Potensi pakan ternak sebanding dengan luasan tanaman pertanian yang diusahakan.

3.5. Analisis Sosial dan Kelembagaan

Analisis Keragaan Sosial dan Kelembagaan di Kabupetan Mamasa dilakukan dengan


pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam (indepth interview). Terdapat empat
fokus analisa keragaan sosial dan kelembagaan di Kabupaten Mamasa yaitu: (1) Struktur
nafkah dalam pengelolaan SDA lokal; (2) Agraria dan ragam persoalannya; (3) Gender dan
perannya dalam aktivitas ekonomi; dan (4) Kelembagaan kawasan dalam perspektif sosial
untuk pengembangan SDA Lokal.
Dalam menganalisa struktur nafkah, terdapat tiga aspek yang menjadi objek analisa
yaitu pola penguasaan aset produksi, sistem penghidupan, sumberdaya alam. Pola
penguasaan aset mengkaji berbagai macam kejadian penambahan dan pengurangan aset yang
dimiliki masyarakat termasuk tumpang tindih penguasaan lahan. Selain itu pola
pengembangan komoditas yang dominan diusahakan rakyat ditujukan untuk menganalisa
sejauh mana aset-aset yang telah ada dimanfaatkan demi kepentingan pengembangan.
Analisa sistem penghidupan masyarakat bertujuan untuk melihat sejauh mana pendapatan
rumah tangga pertanian dan non-pertanian, kepemilikan barang berharga, serta sumber
pemenuhan kebutuhan serta struktur pengeluaran rumah tangga. Adapun terkait sumberdaya
alam dilakukan dengan melihat pemaknaan komoditas oleh masyarakat, manfaat dari
pengusahaannya, dan hambatan-hambatan yang dialami.
Aspek agraria dan persoalan yang terjadi dianalisa dengan melihat aspek-aspek
penguasaan dan pengelolaan lahan, sistem dan mekanisme penguasaan dan pengelolaan, serta
kelembagaan pengelolaan lahan beserta aturan didalamnya. Aspek gender dalam ekonomi

38
rumah tangga melihat pembagian-pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, baik
dalam pembagian kerja dan tanggungjawab pada aktivitas ekonomi (Peternak, pencari
rumput,pedagang, dsb), pembagian berdasarkan komoditas yang dikelola, akses terhadap
sumberdaya (organisasi petani, penyediaan bibit, pelatihan) maupun juga kuasa dalam
membuat keputusan-keputusan penting terhadap masalah aset yang ada di rumah tangga.
Aspek kelembagaan dianalisa dengan mengidentifikasi kelembagaan sosial yang sudah ada
baik itu formal dan non-formal, juga pilar-pilar dalam penguatan kelembagaan untuk
pengembangan komoditas. Identifikasi kelembagaan formal-nonformal dilihat dari
jenis,aktivitas, basis, karakterisitik, serta proyeksi kerjasama suatu kelembagaan beserta
potensinya.

3.6. Analisis Komoditas Unggulan

3.6.1. Analisis Komoditas Unggulan Secara Fisik

Analisis penentuan komoditas unggulan suatu wilayah secara fisik dinilai berdasarkan
atas komposisi karakter lingkungan fisik yang sesuai untuk pengembangan komoditas lokal
yang sesuai. Perencanaan pemanfaatan ruang tentu terkait dengan faktor yang dianggap
utama atau parameter penentu untuk penetapan basis unggulan suatu daerah, dapat dilakukan
dengan cara, (pertama), penetapan atas pertimbangan permintaan dan penawaran dan
(kedua), kombinasi faktor pertama dengan pertimbangan fisik dari tingkat kesesuaian dan
ketersediaan lahan. Analisis sisi penawaran dimaksudkan untuk mengetahui potensi
penawaran dari perspektif riil produksi yang secara tidak langsung juga menggambarkan
preferensi masyarakat dalam mengusahakan suatu komoditas di wilayah penelitian,
sedangkan analisis terkait sisi permintaan ditujukan untuk memahami besaran konsumsi atas
dasar potensi pengembangan khususnya potensi pasar pada wilayah lokal (penelitian)
terhadap lingkup dan atau pada cakupan wilayah yang lebih luas. Kombinasi antara kedua
faktor tersebut diatas dengan kompisisi lahan potensial berdasarkan identifikasi fisik wilayah
potensial merupakan kunci utama dalam penentuan komoditas “unggulan” dimaksud
penelitian ini.

3.6.2. Penentuan Komoditas Unggulan


Penentuan komoditas unggulan dilakukan dengan menggabungkan berbagai
parameter yang dimulai dari kebijakan dan kenyataan di lapangan. Paramater yang dipakai
adalah komoditas dianggap penting dikembangkan dalam Kebijakan Pembangunan Jangka

39
Panjang Pemerintah Daerah (RPJMD), mempunyai keunggulan komparatif, mempunyai
keunggulan kompetitif, adanya prospektif sejarah, komoditas yang adaptif secara sosial,
mempunyai prospek pasar, sesuai secara fisik lingkungan dan sesuai secara infrastruktur.
Suatu komoditas dianggap penting, jika dari sisi kebijakan pembangunan sudah
muncul dalam dokumen perencanaan.Umumnya dalam kebijakan disajikan berbagai
komoditas yang dianggap penting.Komoditas yang dinyatakan dalam dokumen kebijakan
selanjutnya dilihat dari sisi keunggulan komparatif yang dalam hal ini melihat basis tanaman
yang sudah berkembang di suatu wilayah dan secara relatif; dan ditambah dengan keunggulan
kompetitif, yang melihat stabilitas suatu tanaman dalam suatu kurun waktu tertentu.Semakin
stabil atau meningkat keberadaaan suatu komoditas maka sebaik dianggap kompetitif.
Untuk kemudahan pengembangan komoditas maka aspek sejarah dan sudah diadopsi
oleh masyarakat sangat penting.Jika memungkinkan suatu komoditas dianggap unggul jika
masyarakatnya mampu mengelola dan dalam hal ini komoditas tersebut bisa sudah lama
sekali dikelola, sehingga upaya pengembangan berbasis pengetahuan atau teknologi mudah
diaplikasikan. Kondisi lain yang perlu diketahui adalah suatu komoditas adakalanya tidak
berkembang karena kondisi lain yang membuatnya tidak berkembang.
Pertimbangan penting lain adalah dilihat dari sisi fisik dan ekonomi. Pertimbangan
fisik lingkungan, diharapkan komoditas yang dianggap unggul adalah komoditas yang sesuai
untuk lingkungan setempat. Komoditas dan kuantitas wilayah yang sesuai menjadi penting
jika akan dikembangkan suatu komoditas.
Parameter terakhir yang akan dilihat dari pemilihan komoditas unggulan adalah
peluang ekonomi yang akan ditimbulkan komoditas tersebut dalam jangka panjang ataupun
jangka pendek.
Pemilihan komoditas ini dilakukan dengan mencocokan dalam tabulasi dan
selanjutnya dilihat dari perspektif ruang.Dalam hal komoditas yang dianggap unggulan
selanjut diletakkan dalam RTRW.Semakin luas daerah yang sesuai dari sisi fisik dan ruang,
maka potensi pengembangan juga makin besar atau dalam hal ini perbaikan teknologi
pengelolaan dilakukan. Variabel lain yang penting tetapi berlalu untuk seluruh komponen
adalah infrastruktur, tetapi untuk kasus dalam suatu wilayah maka sudah menjadi kewajiban
pemerintah menyesuaikan dengan prioritas pengembangan.
Penentuan akhir suatu komoditas unggulan adalah jika semua persyaratan atau
dominan persyaratan yang disampaikan terpenuhi. Semakin banyak terpenuhi parameter yang
dimaksud, maka semakin mudah pengelolaan yang akan dilakukan.

40
3.7. Pengembangan program

Pengembangan program disusun dengan mensintesiskan semua hasil analisis untuk


keperluan pengembangan komoditas unggulan yang mudah diadopsi masyarakat dan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat dalam jangka pendek dan jangka panjang.

41
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Makro Ekonomi Wilayah

Dalam analisis regional setidaknya terdapat 3 (tiga) butir pokok yang memberikan
gambaran bagaimana posisi setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat. Ketiga poin
tersebut mencakup (1) kinerja perekonomian wilayah, (2) perkembangan struktur ekonomi
wilayah, dan (3) sektor unggulan komparatif dan kompetitif. Ketiga poin tersebut selanjutnya
akan dibahas secara lebih terperinci.

4.1.1 Kinerja Perekonomian Wilayah

Terkait dengan kinerja perekonomian wilayah, ternyata Kabupaten Mamasa memiliki


nilai PDRB relatif rendah dibandingkan Kabupaten Kota lainnya di Provinsi Sulawesi Barat
(Gambar 4.1). Hal ini menunjukkan bahwa secara regional di Provinsi Sulawesi Barat,
Kabupaten Mamasa memberikan kontribusi nilai tambah aktivitas ekonomi yang masih
rendah. Dapat terlihat bahwa proporsi terbesar berada di Kabupaten Polewali Mandar
sebagai kabupaten induk sebelum pemekarandan Kota Mamauju yang secara luas wilayah
merupakan terluas mencapai 47% dari total luas wilayah Sulawesi Barat.

Gambar 4.1. Grafik Nilai PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat tahun
2012 berdasarkan harga konstan tahun 2000 (juta rupiah)

42
Selanjutnya berdasarkan nilai PDRB dibagi jumlah penduduk Kabupaten
Mamasamenempati urutan ke-2. Secara kasat mata hal ini menunjukkan bahwa produktivitas
masyarakat di Kabupaten Mamasa relatif lebih baik dibandingkan dengan 3 (tiga) kabupaten
lainnya (Gambar 4.2).

Nilai PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2012
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (juta rupiah)
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara

Gambar 4.2. Grafik Nilai PDRB/Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat


tahun 2012 berdasarkan harga konstan tahun 2000 (juta rupiah/kapita)

Berikutnya berdasarkan nilai rasio PDRB terhadap luas wilayah, ternyata Kabupaten
Mamasarelatif menempatipada kelompok yang rendah, terdapat kesenjangan yang sangat
tinggi dibandingkan terhadap duawilayah lainnya yaitu: KabupatenMajene dan Polewali
Mandar (Gambar 4.3). Hal ini tidak terlepas dari kondisi wilayah Kabupaten Mamasa yang
topografi berbukit. Berdasarkan hasil survei lapangan, dketahui bahwa luasnya wilayah
Kabupaten Mamasa yang didominasi oleh lahan-lahan dengan topografi perbukitan sehingga
perkembangan permukimannya masih terbatas. Sayangnya lahan-lahan perkebunan,
khususnya kopi dan kakao bersifat tradisional dan industri pengolahan belum mendukung
sehingga nilai tambah yang dapat dihasilkan langsung mengalir ke luar wilayah. Kondisi ini
menunjukkan bahwa sejauh ini Kabupaten Mamasa dalam konteks ekonomi lebih berfungsi
sebagai wilayah produksi. Akibatnya akumulasi nilai tambah yang terjadi di dalam wilayah
relatif kecil, dan produk yang ada langsung mengalir ke luar wilayah.

Berdasarkan data luasan, Kabupaten Mamasa merupakan kabupaten nomor tiga


terluas yaitu 2909,21 Km2 atau kurang lebih mencapai 17% dari luas Provinsi Sulawesi
43
Barat. Karena itu upaya yang ditempuh melalui kebijakan pemekaran wilayah (Mamasa
merupakan kabupaten hasil pemekaran), diharapkan mampu mendorong kapasitas pemerintah
dan masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang sedemikian luas. Meskipun
demikian tetap diperlukan upaya untuk mendorong peningkatan nilai tambah, mengingat
hasil-hasil pertanian khususnya perkebunan umumnya langsung dijual dalam bentuk mentah
dan kurang memberikan multiplier effect bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apabila
nilai tambah dari aktivitas perkebunandapat dinikmati oleh masyarakat maka tingkat
kesejahteraan masyarakat akan dapat lebih meningkat.

Nilai PDRB per Luas wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Barat Tahun
2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (juta rupiah)
900,00
800,00
700,00
600,00
500,00
400,00
300,00
200,00
100,00
0,00
Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara

Gambar 4.3. Grafik Nilai PDRB/luas Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi


Barat tahun 2012 berdasarkan harga konstan tahun 2000

4.1.2. Perkembangan Struktur Ekonomi Wilayah

Perkembangan struktur ekonomi wilayah umumnya dapat ditunjukkan dari komposisi


nilai PDRB tiap sektor. Wilayah-wilayah dengan nilai PDRB yang didominasi oleh beberapa
sektor tertentu saja umumnya merupakan wilayah dengan struktur ekonomi yang kurang
berkembang. Sementara wilayah-wilayah yang memiliki komposisi nilai PDRB antar sektor
yang lebih merata menunjukkan kondisi wilayah yang lebih berkembang.

Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila dalam suatu wilayah terjadi
perkembangan sektor primer (pertanian atau pertambangan), sekunder (industri pengolahan),
dan tersier (jasa) yang merata, maka dapat dinyatakan bahwa telah terjadi keterkaitan antar
sektor dari hulu ke hilir sehingga nilai tambah yang diperoleh akan menjadi lebih maksimal.

44
Dengan keragaan ekonomi yang memiliki tingkat perkembangan yang erat antar sektor maka
dapat dikatakan bahwa struktur ekonomi di wilayah tersebut telah berkembang.

Untuk menghitung perkembangan struktur ekonomi ini digunakan ukuran dalam


bentuk indeks yang dinamakan indeks diversitas entropy. Indeks ini memiliki nilai antara 0
dan 1, dimana nilai indeks mendekati 0 menunjukkan dominasi sektor tertentu dalam
perekonomian atau struktur ekonomi belum berkembang, sementara nilai 1 menunjukkan
perkembangan antar sektor yang lebih merata atau struktur ekonomi telah berkembang.
Secara umum Kabupaten/Kota di Sulawesi Barat relatif belum berkembang. Untuk
Kabupaten Mamasa merupakan nomer dua terendah setelah Kabupaten Mamuju Utara, hal
Ini ditunjukkan oleh indeks diversitas dan struktur ekonomi yang masih didominasi oleh satu
sektor. Sektor tersebut terutama adalah pertanianyang mencapai 54,04% diikuti perdagangan
hotel dan restoran sebesar 9,78%, sektorkonstruksi sebesar 6,16% dan sektor keuangan
sebesar 5,33%. Kontribusi sektor-sektor yang lain ternyata relatif kecil. Namun demikian
akumulasi nilai tambah yang besar pada sektor pertanian tidak besar, hal ini ditunjukkan dari
rendahnya multiplier effect yang diberikan untuk mendorong sektor-sektor lainnya seperti
listrik, gas & air bersih; pengangkutan & komunikasi; keuangan persewaan & jasa perushaan;
dan jasa-jasa termasuk jasa pemerintahan. Secara jelas nilai indeks diversitas dan persentase
nilai PDRB per sektor di masing-masing kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat dapat
dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Persentase Nilai PDRB per sektor tahun 2010 dan Nilai Indeks Diversitas di
Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat
Transportasi dan

N Kabupaten/Kota Indeks
Listrik, Gas dan

Keuangan, Real
Estate dan Jasa
dan Penggalian
Pertambangan

Perdagangan,

Pengangkutan

Perusahaan
Pengolahan

Konstruksi
Air Bersih

Jasa-Jasa
Pertanian

Hotel dan

o Diversitas
Restoran
Industri

1 Majene 45,12 0,72 4,50 0,92 6,28 12,06 5,16 10,69 14,55 0,76

2 Polewali Mandar 45,76 0,33 2,89 0,85 2,69 23,49 2,93 6,03 15,03 0,69

3 Mamasa 54,04 0,73 5,58 0,29 6,16 9,78 2,04 5,33 16,06 0,67

4 Mamuju 46,08 1,82 3,29 0,52 5,62 9,00 3,45 7,17 23,06 0,72

5 Mamuju Utara 39,05 0,61 36,26 0,18 3,65 1,87 3,19 3,96 11,24 0,66

45
Karena itu ke depan harus diupayakan agar nilai tambah yang ada dapat
terakumulasikan di dalam wilayah dengan cara mengembangkan infrastruktur-infrastruktur
penunjang yang dapat menangkap nilai tambah. Sebagai contoh berkembangnya infrastruktur
berupa penyediaan jalan, listrik, air bersih, transportasi khususnya transportasi darat, sarana
pendidikan serta kesehatan akan memberikan nilai tambah. Selain itu dengan mendorong
perkembangan perekonomian misalnya pasar, pertokoan, perbankan, hiburan atau wisata, dan
sebagainya juga akan meningkatkan kemamampuan daerah dalam menangkap nilai tambah
dari para pelaku usaha.

4.1.3 Sektor Unggulan Komparatif dan Kompetitif

Identifikasi mengenai sektor unggulan ini penting untuk mengetahui keunggulan


wilayah Kabupaten Mamasa dibandingkan dengan wilayah Kabupaten/Kota lainnya di
Provini Sulawesi Barat. Sektor unggulan ini akan dapat dijadikan modal dasar untuk
mengembangkan daya saing wilayah Kabupaten Mamasa. Dengan mengembangkan
keunggulan-keunggulan yang dimiliki maka proses pembangunan akan menjadi lebih cepat
dan efisien.
Ada 2 (dua) keunggulan yang akan dianalisa yaitu keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif menunjukkan keunggulan alamiah yang
dimiliki oleh Kabupaten Mamasa yaitu memiliki potensi atau nilai yang lebih menonjol
dibandingkan dengan wilayah Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi Sulawesi Barat.
Sementara keunggulan kompetitif menunjukkan keunggulan yang dimiliki oleh Kabupaten
Mamasa karena kinerja atau daya saingnya yang lebih menonjol. Dalam hal ini identifikasi
terhadap keunggulan komparatif dilakukan melalaui analisa pemusatan (LQ = Location
Quotient), sedangkan identifikasi terhadap keunggulan kompetitif dilakukan melalaui analisis
pergeseran (SSA = Shift Share Analysis).
Berdasarkan hasil analisis pemusatan (LQ) di level sektor, ternyata Kabupaten
Mamasa di lingkup wilayah Provinsi Sulawesi Barathanya memeiliki keunggulan komparatif
di sektor pertanian dan konstruksi yang ditunjukkan dengan nilai LQ lebih dari 1 (Tabel
4.2). Sektor pertanian merupakan sektor dominan di wilayah Kabupaten Mamasa yang
mencapai 54,04 %.

46
Tabel 4.2. Hasil Analisis LQ di Level Sektor Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Barat

Keuangan, Real
No Kabupaten/Kota

Estate dan Jasa


Pertambangan
dan Penggalian

dan Air Bersih

Pengangkutan
Perdagangan,

Transportasi
Listrik, Gas

Perusahaan
Konstruksi
Pengolahan

Jasa-Jasa
Pertanian

Hotel dan
Restoran
Industri

dan
1
Majene 1,00 0,69 0,55 1,62 1,26 0,97 1,50 1,57 0,83

2 Polewali 1,00 0,31 0,33 1,45 0,56 1,79 0,90 0,91 0,97
Mandar

3 Mamasa 1,18 0,68 0,63 0,51 1,28 0,81 0,61 0,78 0,94

4 Mamuju 1,01 2,16 0,41 0,87 1,35 0,72 1,05 1,12 1,29

5 Mamuju Utara 0,84 0,68 4,18 0,23 0,74 0,14 1,01 0,64 0,70
Keterangan : yang berwarna merah menunjukkan pemusatan (nilai LQ > 1)

Kemudian berdasarkan hasil analisis pemusatan (LQ) di level sub sektor, untuk sektor
pertanian ternyata Kabupaten Mamasa memiliki pemusatan di sub sektor (1) tanaman pangan
(2) perkebunan, (3) kehutanan, dan (4) peternakan. Ini menunjukkan bahwa tingginya nilai
tambah sektor pertanian banyak disumbangkan oleh aktivitas keempat subsektor tersebut,
namun sumber daya perikanan kelihatannya belum mampu berperan signifikan. Untuk lebih
jelasnya hasil analisis LQ di level sektor dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil Analisis LQ di Level Sub Sektor Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi
Barat
Wilayah/Subsektor Majene Polewali Mamasa Mamuju Mamuju
Mandar Utara
a. Tanaman Bahan Makanan 0,85 1,16 1,63 1,02 0,29
b. Tanaman Perkebunan 0,90 0,56 1,07 1,12 1,64
c. Peternakan dan Hasil- 1,02 1,58 1,52 0,64 0,15
hasilnya
d. Kehutanan 0,21 1,03 1,00 1,35 0,93
e. Perikanan 1,79 1,74 0,21 0,74 0,08
a. Minyak dan Gas Bumi
b. Pertambangan Bukan Migas
c. Penggalian 0,74 0,35 0,73 2,07 0,65
a. Industri Migas
b. Industri Bukan Migas **) 0,52 0,33 0,65 0,38 4,08

47
Wilayah/Subsektor Majene Polewali Mamasa Mamuju Mamuju
Mandar Utara
a. Listrik 1,60 1,49 0,49 0,83 0,32
b. Gas Kota 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
c. Air Bersih 1,19 0,88 0,95 1,59 0,03
KONSTRUKSI 1,35 0,59 1,33 1,27 0,73
a. Perdagangan Besar & 0,94 1,86 0,78 0,70 0,14
Eceran
b. Hotel 1,39 1,16 0,63 1,20 0,32
c. Restoran 1,41 1,44 1,03 0,88 0,03
a. Pengangkutan 1,58 0,89 0,45 1,05 1,08
b. Komunikasi 1,35 0,94 1,32 1,05 0,49
a. Bank 1,41 1,09 0,66 1,18 0,45
b. Lembaga Keuangan Bukan 1,60 0,52 0,72 1,64 0,45
Bank
c. Jasa Penunjang Keuangan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
d. Real Estat 1,75 0,79 0,92 1,02 0,83
e. Jasa Perusahaan 0,67 1,50 0,42 1,35 0,12
a. Pemerintahan Umum 0,81 0,91 0,94 1,35 0,71
b. Swasta 1,50 1,18 1,35 0,83 0,29
Keterangan : warna merah menunjukkan pemusatan (nilai LQ > 1) khusus
sektorpertaniandiwilayah kajian

Selanjutnya berdasarkan nilai PDRB per sektor tahun 2010 dan 2012 dilakukan Shift
Share Analysis (SSA) untuk mengetahui pergeseran sektoral, sehingga dapat diketahui
keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Kabupaten Mamasa. Dalam analisis SSA dapat
didekomposisi sumber pergeseran sektor ekonomi dapat disebabkan oleh (1) pertumbuhan
total sektor di total wilayah dalam hal ini Provinsi Sulawesi Barat, (2) pertumbuhan sektor
tertentu di total (Provinsi Sulawesi Barat), dan (3) pertumbuhan sektor tertentu di wilayah
tertentu dalam hal ini Kabupaten Mamasa. Komponen 1 dinamakan dengan Regional Share,
komponen kedua dinamakan dengan Proportional Shift, sedangkan komponen 3 dinamakan
Differential Shift.
Suatu sektor di suatu wilayah dinamakan kompetitif jika komponen differential shift-
nya positif. Artinya pergeseran sektor tersebut di wilayah tertentu lebih banyak disumbang
oleh faktor-faktor dari dalam atau internal wilayah itu sendiri. Jika pergeseran sektor tersebut
di wilayah tertentu lebih banyak disumbang oleh faktor-faktor eksternal (memiliki nilai
regional share dan proportional shift yang besar) maka pada saat kondisi eksternalnya
berubah, sektor tersebut juga akan ikut berubah.

48
Berdasarkan hasil analisis SSA, Kabupaten Mamasahanya sektor konstruksi dan
pertambanganyang nilai differential shift-nya positif. Sektor-sektor inilah yang kemungkinan
besar tidak banyak terpengaruh oleh faktor eksternal. Namun untuk sektor tambang yang
utama adalah galian C, subsektor iniberifat sangat lokal, sehingga tidak mampu menciptakan
dampak multiplier effect yang optimal bagi sektor-sektor ekonomi lainnya.
Sementara sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif berdasarkan analisis
LQ khususnya sektor pertanian ternyata pertumbuhannya lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor eksternal. Artinya apabila kondisi eksternal wilayah tidak mendukung maka aktivitas
sektor tersebut di Kabupaten Mamasa akan ikut menurun. Kinerja dari sektor ini lebih banyak
ditentukan oleh kondisi regional dibandingkan dengan kondisi di tingkat lokal. Sehingga
diperlukan upaya bersama di level regional berupa kerjasama antar daerah. Secara jelas hasil
analisis SSA dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Hasil Shift Share Analysis Kabupaten Mamasa

Proportiona

Differential
No Wilayah/ Mamasa Sulbar SSA

Regional

l Shift
Share
Sektor

Shift
2010 2012 2010 2012

1 Pertanian 342.418,95 378.660 2.243.733,57 2.636.840,00 0,22 -0,35 -0,07 -0,20


2 Pertambangan 3.891,04 5.100 44.123,86 52.590,00 0,22 -0,33 0,12 0,01
dan
Penggalian
3 Industri 32.785,88 39.080 417.088,85 515.220,00 0,22 -0,28 -0,04 -0,11
Pengolahan
4 Listrik, Gas 1.462,91 2.010 23.108,25 33.660,00 0,22 -0,06 -0,08 0,07
dan Air Bersih
5 Konstruksi 36.964,09 43.140 220.873,18 263.820,00 0,22 -0,33 -0,03 -0,14
6 Perdagangan, 61.217,91 68.520 602.011,87 729.330,00 0,22 -0,31 -0,09 -0,18
Hotel dan
Restoran
7 Transportasi 12.071,29 14.290 162.574,84 189.880,00 0,22 -0,35 0,02 -0,12
dan
Pengangkutan
8 Keuangan, 34.738,59 37.360 329.287,26 376.060,00 0,22 -0,38 -0,07 -0,23
Real Estate
dan Jasa
Perusahaan
9 Jasa-Jasa 86.631,03 112.520 701.507,81 972.960,00 0,22 -0,13 -0,09 -0,01
Keterangan: warna merah menunjukkan sektor-sektor yang memiliki daya saing rendah
diwilayah kajian

49
4.1.4. Pentingnya Sektor Pertanian dalam Pembangunan Dikaitkan dengan
Perencanaaan Pembangunan Kabupaten Mamasa

Penguatan keterkaitan antar wilayah perlu mempertimbangkan struktur ekonomi


wilayah terutama dari segi sektor penyumbang PDRB, sektor pendorong pertumbuhan
ekonomi dan sektor penyerap tenaga kerja. Jika dilihat secara sektoral, sektor pertanian
memiliki kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Kabupaten Mamasa dan juga
tenaga kerja di sektor tersebut, namun penting dilihat bagaimana keungguan komperatif dan
kompetitif sektor tersebut. Seperti yang telah dijelaskan diatas, walaupun sektor pertanian
memiliki keungglan komperatif namun memiliki daya saing yang lemah. Kegiatan
pertanianini memberikan kontribusi lebih dari 50% dari total PDRB Kabupaten Mamasa
(Gambar4.4).

Kontribusi Sektor PDRB terhadap Total PDRB Mamasa Tahun 2012 Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 2000
60% 54,04
50
40
30
20 16,06
9,78
10 5,58 6,16 5,33
0,73 0,29 2,04
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9

Keterangan: 6. Perdagangan, hotel dan restoran


1. Pertanian 7. Tansportasi dan komunikasi
2.Pertambangandan penggalian 8. Keuangan, real estate dan jasa
3. Industri Pengolahan perusahaan
4. Listrik, gas dan air bersih 9. Jasa-jasa
5. Konstruksi

Gambar 4.4. Kontribusi Sektor PDRB terhadap Total PDRB Mamasa tahun 2012 atas
dasar harga konstan tahun 2000

Selanjutnya pada Gambar 4.5 berikut menunjukkan kontribusi sektor pertanian dari
tahun 2005-2012, terlihat kontribusi sektor ini yang semakin menurun terhadap total PDRB,
namun masih mendominasi lebih dari 50%, begitu juga kontribusi setiap subsektornya

50
terhadap total PDRB yang fluktuatif antar subsektor (Tabel 4.5). Di satu sisi Kabupaten
Mamasa memiliki potensi pertanian yang sangat baik namun belum memberikan dampak
multiplier effect yang optimal bagi sektor-sektor ekonomi lainnya..

Kontribusi PDRB Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB Mamasa


% Tahun 2005-2012
64,00

62,00 62,46
61,36
60,00 60,34
59,78 59,38
58,00

56,00 55,93
54,75
54,00 54,04

52,00

50,00

48,00
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Gambar 4.5. Grafik Kontribusi PDRB Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB
Mamasa Tahun 2012Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Tabel 4.5. Kontribusi Sub Sektor terhadap Total PDRB Kabupaten Mamasa
Tahun 2005-2011

Subsektor Pertanian Kontribusi Terhadap Total PDRB (%)

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

a. Tanaman Bahan Makanan 30,15 29,45 28,90 30,01 30,73 29,22 27,67

b. Tanaman Perkebunan 26,52 26,15 25,71 23,99 22,70 21,13 21,61

c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 3,87 3,84 3,84 3,93 4,13 3,59 3,50

d. Kehutanan 0,53 0,57 0,57 0,57 0,55 0,65 0,64

e. Perikanan 1,39 1,35 1,32 1,29 1,26 1,34 1,33

51
Jika diurai lebih lanjut bagaimana kontribusi masing-masing subsektor pertanian
terhadap sektor pertanian,sub sektor tanaman pangan dan sub sektor perkebunanyang
merupakan kontribusi terbesar, sementara ketiga subsektor lainnya cenderung stabil rendah
(Gambar 4.6). Namun demikian khusus subsektor perikanan berdasarkan kondisi
dilapangan, sumber air dan kondisi lingkungan yang masih baik sangat prospektif untuk
dikembangkan karena memiliki keungglan alamiah, tinggal bagaimana memperkenalkan
teknolgi budidaya air tawar yang sesuai dengan karakteristik alam yang dimiliki Kabupaten
Mamasa. Sub sektor perikanan ini diyakini merupakan salah satu sektor yang diproyeksikan
akan mengalami peningkatan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat.

Kontribusi PDRB Sub sektor Pertanian Terhadap Sektor Pertanian


Kabupaten Mamasa Tahun 2005-2011
60,00

51,75 52,24
50,00 48,27
50,20 49,46
47,99 47,90 Tanaman
42,62 42,61 Pangan
42,46 Perkebunan
40,00 40,12
38,23 38,64
37,78
Peternakan
30,00 Kehutanan

Perikanan
20,00

6,20 6,27 6,36 6,57 6,96 6,42 6,25


10,00
2,22 0,85 2,20 0,92 2,19 0,94 2,16 0,95 2,13 0,93 2,40 1,16 2,38 1,14
0,00
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 4.6. Grafik Kontribusi PDRB setiap Sub sektor Pertanian Terhadap Sektor
Pertanian Mamasa Tahun 2005-2011 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas perlu upaya pembangunan yang memiliki
basis sumberdaya yangpotensial untuk dikembangakan. Keadaan ini menuntut arah
pembangunan yang mempertimbangkan penggunaan sumberdaya lokal yang memberikan
efek pengganda yang besar bagi serapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, kesejahteraan
masyarakat, didukung ketersediaan sumber daya, dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan
konsep pembangunan berkelanjutan yakni mempertimbangkan dukungan aspek sosial,

52
ekonomi dan lingkungan. Dengan prinsip dasar demikian, maka sektor pertanian dalam arti
luas khususnya harus didorong untuk berkembang dengan menciptakan melalui
pengembangan agroindustri.

Ke depan diharapkan dapat terus memberikan andil yang besar dalam pembentukan
fondasi ekonomi daerah yang kuat melalui keterlibatan masyarakat/rakyat kecil dengan
berciri ekonomi kerakyatan yaitu dengan mengembangkan pendekatan pembangunan yang
melibatkan kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat setempat dalam bentuk
pengelolaan secara bersama (co-management) berbasis masyarakat sehingga dapat
menggerakkan ekonomi riil daerah yang dinamis. Dengan kata lain masyarakat adalah
pelaku utama pembangunan di kabupaten Mamasa.

Hal ini sejalan jika kita lihat dalam Dokumen RPJP arah, tahapan, dan prioritas
pembangunan jangka panjang Kabupaten Mamasa tahun 2005-2025. Tahapan dan skala
prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah, dimana
tahun 2013 – 2018 merupakanberkelanjutan RPJMD ke 1 dan 2 ditujukan untuk lebih
memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan
percepatan pembangunan dan roda perekonomian daerah dipacu melalui penerapan sistem
agrobisnis dan agroindustri berlandaskan sumberdaya lokal.Dalam Dokumen RPJMD
Kabupaten Mamasa Tahun 2013-2018 tersebut dimana untuk mengukur keberhasilan
pembangunan daerah periode 2013-2018 maka ditetapkan indikator kinerja sasaran,
diantaranya pada tujuan-1 : Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merata bagi seluruh
masyarakat. Dimana pada indikator kinerja sasaran;Untuk mengukur keberhasilan
pencapaian sasaran, maka ditetapkan sejumlah indikator kinerja berdasarkan sasaran, sebagai
berikut:

a. Berkembangannya komoditas unggulan yang kompetitif utamanya bidang


pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
b. Meningkatnyaproduksi dan kualitas produksi di bidang pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan.
c. Terwujudnya sistem ekonomi kerakyatan dan pertumbuhan dunia usaha

53
4.2. Perencanaan Pemanfaatan Ruang dan implementasi

4.2.1. Perencanaan Pemanfaatan

Berdasarkan Draft Perencanaan Ruang Kabupaten Mamasa yang sedang disusun


untuk 2010-2029 terdapat Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Secara keruangan,
daerah dominan adalah kawasan lindung berupa Hutan Lindung dan daerah yang luasnya
kecil adalah Kawasan Sempadan Sungai. Sedangkan Kawasan Budidaya terbesar adalah
Hutan Produksi Terbatas dan Kawasan Perkebunan. Kawasan selanjutnya yang penting
adalah Kawasan Pertanian. Kawasan yang luasannya relatif kecil adalah Pemukimancdan
Pekarangan (Gambar 4.7. dan Tabel 4.6.)

Tabel 4.6. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kab Mamasa Tahun 2010 – 2029
No Jenis Penggunaan Luas (ha) Persen

1 Hutan Lindung 150,177 49.96

2 Hutan Produksi terbatas 48,676 16.19

3 Perkebunan 47,254 15.72

4 Persawahan 35,978 11.97

5 Permukiman dan Pekarangan 18,466 6.14

6 Hutan Produksi Konversi 36 0.01

Jumlah 300,587 100.00

54
Gambar 4.7. Kenampakan perencanaan pemanfaatan ruang di Kabupaten Mamasa

55
Dari dokumen draft RTRW dinyatakan bahwa penentuan fungsi kawasan ini sudah
menggunakan peraturan secara legal dan pertimbangan fisik lingkungan. Untuk kawasan
berfungsi lindung di bawahnya dipergunakan kriteria seperti a) kemiringan lereng >45 % dan
tanahnya peka terhadap erosi (Regosol, Litosol, Organosol, Gley dan Renzina) pada
kemiringan di atas 15 % (>15 %); b) Unit lahan yang memiliki registrasi sebagai hutan
lindung; c) Kawasan yang mempunyai skor lebih dari 175 menurut SK Mentan
No.837/KPTS/Um/11/1980; dan d) kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas 2000
meter atau lebih di atas permukan laut. Kriteria-kriteria ini kalau diterapkan maka daerah
berfungsi lindung akan lebih banyaknya khususnya akibat kelerengan yang lebih besar dari
45%. Demikian juga jika dilakukan penggabungan dengan pendekatan kebencanaan
khususnya potensi longsor, maka diduga daerah yang disarankan pengelolaannya sangat
terbatas akan semakin luas.

Sedangkan kawasan perlindungan setempat diterapkan untuk daerah sempadan sungai


baik yang besar maupun kecil, dan juga untuk sempadan mata air. Kriteria yang
dipergunakan antara lain: a) Sempadan sungai untuk kategori sungai besar yaitu Sungai
Mamasa ditetapkan 100 meter di kiri kanan sungai yang berada di luar permukiman; b)
Sempadan sungai untuk kategori sungai kecil/anak sungai ditetapkan 50 meter di kiri dan
kanan sungai yang di luar permukiman dan c) Sempadan sungai di kawasan permukiman
berupa daerah sepanjang sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jaringan jalan
inspeksi ditetapkan sempadannya antar 10-15 meter. Persyaratan yang kritis disini adalah
adanya kriteria di luar permukiman, yang bermakna mengijinkan adanya pemukiman di
daerah sempadan; dan hal ini perlu diantisipasi ke depan.

Selain itu, di perencanaannya disusun juga Kawasan Lindung Spiritual dan Kearifan
Lokal, yang meliputi a) bangunan Rumah Adat yang tersebar di beberapa wilayah; b)
bangunan Gereja Peninggalan Kolonial;.dan c) lokasi prosesi adat yang terdapat di semua
wilayah kecamatan.
Sedangkan untuk kawasan Budidaya, maka perhatian utama diarahkan ke daerah
perkebunan dan pertanian (lahan basah dan lahan kering). Daerah perkebunan yang
direncanakan berdasarkan kriteria di luar kawasan lindung berdasarkan kriteria kehutanan
dengan skor <125; dan secara teknis dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan.
Sedangkan kriteria untuk daerah pertanian khususnya lahan basah diarahkan pada daerah
berlereng <40%, ketinggian <1000 meter; kedalaman efektif lapisan atas >30 cm dan curah
hujan tinggi. Kemudian kriteria untuk pertanian lahan kering, antara lain: Ketinggian< 1000

56
m dan kelerengan< 40%; kedalaman efektif lapisan tanah atas> 30 cm; dan curah hujan
antara 1500 – 4000 mm per tahun.

4.2.2. Implementasi penggunaan ruang


Dari sisi perencanaan, khususnya untuk keperluan komoditas unggulan, maka wilayah
perencanaan perkebunan dan pertanian perlu diperhatikan. Secara spasial, daerah perkebunan
mendominasi, sedangkan wilayah pertanian dominan di bagian lereng bawah atau lembah
perbukitan, dan di berbagai lokasi yang terkait dengan tanaman pangan (sawah).
Daerah perkebunan yang dimaksudkan dalam draft perencanaan tata ruang ini dari sisi
kriteria kelerengan lereng <40 persen, kelihatannya perlu bagi lebih detil mengingat lereng
berkategori di atas 25 persen sebenarnya secara normal tidak disarankan untuk tanaman
perkebunan terutama yang bersifat intensif. Jika dikembangkan tanaman perkebunan bersifat
tidak intensif pengelolaannya, seperti tanaman yang tidak memerlukan pengolahan lahan
seperti alpukat, dan lainnya. Kemudian persyarakatan tanah harus bersolum di atas 30 cm,
juga perlu dievaluasi kembali. Sehingga ini ukuran kemiringan lahan perkebunan yang
disarankan adalah jika kemiringan lereng kurang dari 25 persen. Dalam hal ini tanaman
lahan kering setahun juga sebenarnya masih dapat dikembangkan, seperti jagung, kedelai,
dan seterusnya.
Jika dilihat dari kesesuaian iklim, maka daerah yang disebut sesuai untuk perkebunan
jika dilihat di lapangan, maka tanaman dominan adalah kopi, dan pada daerah tertentu yang
berelevasi di daerah 800 m dpl, maka tanaman kakao juga masih baik. Di daerah berelevasi
tinggi ini tanaman hortikultur juga dapat berkembang baik seperti cabe, tomat, markisa, dll
tetapi tanaman ini umumnya bersifat intensif, sehingga tidak ditemukan dalam luasan besar.
tanaman markisa pernah berkembang, tetapi setelah harga pasar tidak mendukung, akhirnya
tanaman ini juga menghilang atau tidak berkembang Menurut penutusan pihak pemerintah
Kabupaten Mamasa, industri pengolahnya yang berada di Malino membuat biaya transportasi
terlalu mahal.
Untuk daerah yang disarankan sebagai daerah pertanian, maka asumi dalam draft
RTRW yang diduga dipakai untuk tanaman padi dan setahun. Tanaman padi yang ditemukan
di wilayah ini spesifik dataran tinggi dan umumnya berada di lahan datar basah. Di lapangan
daerah sawah yng terletak di daerah lereng tidak banyak. Potensi pengembangan sawah di
daerah berlereng relatif besar, karena dukungan air secara potensial sangat besar.

57
Jika dilihat kriteria daerah pertanian seperti lahan sawah yang ada dalam dokumen
adalah daerah berlerang <40 persen, dan solum dalam. Kedua kriteria ini kelihatannya perlu
dimodifikasi. Untuk membuat teras sawah tidak disarankan pada kemiringan lereng lebih dari
15 persen, karena potensi adanya longsor. Sedangkan untuk kedalaman solum, tidak menjadi
masalah untuk kedalaman solum tanah kurang dari 30 cm. Tetapi pertimbangan penting
adalah upaya menekan potensi daerah longsor jika suatu lahan berlereng akan dijadikan
sawah. Karakter arah lapisan bahan induk dapat dijadikan sebagai acuan. Pada daerah yang
lapisan tanahnya sejajar dengan bidang luncur dan atau lapisan kemiringan lereng, maka
tidak disarankan dibuat teras sawah berlereng.
Sedangkan untuk pengembangan lahan kering setahun, selain dapat dilakukan di
lahan datar, maka juga dapat dikembangkan di lahan berlereng. Dalam hal ini mengingat
sebagian tanah yang ada mempunyai kesuburan tanah rendah, maka pemilihan tanaman lahan
kering yang tidak membutuhkan pupuk tinggi perlu diperhatikan. Pengembangan bahan
pakan yang bersumber dari tanaman pertanian perlu dikembangkan, seperti ubi jalar atau
lainnya yang mungkin berpotensi di wilayah ini. Tanaman seperti rumput useng adalah salah
satu contoh yang belum diphami secara baik pengelolaannya.
Sebagai catatan penting, mengingat sumberdaya air relatif besar dan belum
dimanfaatkan, maka ada baiknya pengembangan pemanfaatan potensi tersebut perlu
dikemabgnkan. Pengembangan perikanan yang diintegrasikan dengan sawah adalah salah
bentuk, yang dikombinasikan dengan pengembangan energi listrik mikrol Pengembangan
pertanian lahan kering, juga memerlukan air yang memadai.

4.3. Karakteristik Fisik dan Potensi Lahan


4.3.1. Validasi lapangan Tingkat Kesuburan Tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk mengupdate informasi data tanah yang
sudah ada, diharapkan bisa menambah informasi baru yang dibutuhkan dalam penyusunan
rencana pengembangan lahan. Pengambilan sampel tanah dilakukan di empat lokasi titik
yang mewakili keragaman yang ada di wilayah kajian. Berikut ini hasil identifikasi keempat
titik sampel tanah di wilayah kajian:

58
Tabel 4.7. Hasil pengamatan fisik di lokasi pengambilan sampel tanah
Lokasi sampel Relief Kemiringan Tebal Ordo tanah
(%) solum
Kecamatan Nosu Bukit 45 15 Entisols
Kecamatan Nosu Agak 3 34 Inseptisols
datar
Kecamatan Bukit 40 28 Inseptisols
Rantebulahan
Kecamatan Bukit 5 35 Inseptisols
Bambang
Sumber : Hasil survei lapangan Tim, Mei 2014

Berdasarkan hasil pengamatan lapang di lokasi pengambilan 4 sampel tanah secara


umum, yang tergambar pada peta sebaran tanah wilayah kajian sudah terverifikasi dengan
baik. Namun dari sampel yang diambil di Kecamatan Nosu ditemukan jenis tanah berordo
Entisols, di lokasi relief perbukitan yang bersolum dangkal pada lereng curam (> 40%).
Sementara bila melihat peta sebaran jenis tanah, tanah berordo entisol hanya ditemui pada
relief agak datar (1-3%). Hal ini bisa saja terjadi karena sebaran tanah yang tergambar di
peta merupakan jenis tanah yang dominan di wilayah kajian. Jenis tanah Entisols lebih
dominan tersebar di areal dataran banjir, sedangkan di daerah lereng curam di perbukitan atau
pegunungan pada wilayah kajian kurang dominan dan cenderung tipe tanah yang sudah
mengalami pelapukan lanjut atau dominan tanah tua yang terbentuk dalam jangka waktu
lama.
Sebagai gambaran informasi lapangan untuk memudahkan dalam mengenali informasi
lapangan wilayah studi berikut gambaran deskriptif sebaran tipe tanah yang dijumpai
dilapangan. Pengamatan yang berlokasi di Kecamatan Nosu.

59
Surveyor : Selamet K. Lokasi : Batu papan Kec. Nosu
No. Pemboran : 472 Tanggal : 04/06/2014
Route : Kec. Nosu Fisiografi : Perbukitan Lereng Tengah
Relief Makro : Perbukitan Drainase : Baik
Mikro : Berlereng Vegetasi : Kopi
Lereng arah : Timur Pertumbuhan : Baik
Panjang : 150 m Koordinat X : 119,49151°
% : 45 % Koordinat Y : 03.14246°
Horizon : A Sub Surface : B
\ Epipedon : - Klasifikasi : Entisols

Horizon Dalam (cm) Warna


Tekstur Konsistensi pH Struktur tanah
Lempung
A 0-15 10 YR 4/4 Gembur 5 Granural
berpasir
Pasir
C 15-65 10 YR 5/6 Lepas
berlempung
Foto lapangan untuk masing-masing lokasi pengamatan dan gambaran umum sekitar
lokasi tampak pada gambar berikut,

Gambar 4.8. Foto lokasi pengamatan lapangan site#01, Kecamatan Nosu

60
Pengamatan lokasi kedua, dilakukan juga di Kecamatan Nosu pada lokasi yang relatif
datar, sedangkan pada pengamatan pertama dilakukan pada daerah perbukitan yang
berlereng. Deskripsi informasi pengamatan kedua terdeskripsikan sebagai berikut,

Surveyor : Selamet K. Lokasi : Batu papan Kec. Nosu


No. Pemboran : 473 Tanggal : 04/06/2014
Route : Kec. Nosu Fisiografi : Perbukitan Lereng bawah
Relief Makro : Lembah perbukitan Drainase : Baik
Mikro : Datar Vegetasi : Kopi arabika
Lereng arah : Barat Pertumbuhan : Baik
Panjang: 200 m Koordinat X : 119.48230°
% : 3% Koordinat Y : 03.13847°
Horizon :A Sub Surface : B
Epipedon : Kambik Klasifikasi : Inceptisols

Horizon Dalam (cm) Warna Tekstur Konsistensi pH Struktur tanah


A Foto lapangan
0-15 pada10lokasi
YR 4/3 pengamatan
Lempung keduaGembur
dan gambaran5 umumGranural
sekitar lokasi
Lempung
tampakB pada gambar
15-34berikut,10 YR 6/4 Agak teguh 5 Bergumpal
berpasir

Gambar 13 . Foto lokasi pengamatan lapangan site#02, Kecamatan Nosu

Gambar 4.9. Foto lokasi pengamatan lapangan site#02, Kecamatan Nosu


61
Pengamatan lokasi ketiga, dilakukan juga di Kecamatan Rantebulahan Timur, pada
lokasi perbukitan yang berlereng. Informasi pengamatan lokasi ketiga terdeskripsikan sebagai
berikut:

Surveyor : Selamet K. Lokasi : Paladan, Rante Bulahan Timur


No. Pemboran : 474 Tanggal : 05/06/2014
Route : Rante Bulahan- Mambi Fisiografi : Perbukitan
Relief Makro : Perbukitan berlereng Drainase : Baik
Mikro : lereng Vegetasi : Kakao, Kopi
Lereng arah : Timur Pertumbuhan : Baik
Panjang : 70 m Koordinat X : 119.23345°
% : 40 % Koordinat Y : 02.98933°
Horizon :A Sub Surface : B
Epipedon : Kambik Klasifikasi : Inceptisols

Horizon Dalam (cm) Warna Tekstur Konsistensi pH Struktur tanah


Lempung
A 0-10 10 YR 4/4 Gembur 5 Granural
berpasir
Lempung
B 10-28 10 YR 4/5 Agak lepas 5 Gumpal
berpasir

Foto lapangan pada lokasi pengamatan kedua dan gambaran umum sekitar lokasi tampak
pada Gambar 4.10.

62
Gambar 4.10. Foto lokasi pengamatan lapangan site#03, Kampung Paladan,
Kecamatan Rante Bulahan Timur

Pengamatan lokasi keempat, dilakukan juga di Desa Rante Palada Kecamatan


Bambang pada fisiografi perbukitan lereng bawah, pada pengamatan di lakukan pada areal
lahan datar. Informasi pengamatan lokasi ketiga terdeskripsikan sebagai berikut,
Surveyor : Selamet K. Lokasi : Rante Palada Kec. Bambang
No. Pemboran : 476 Tanggal : 05/06/2014
Route : Mambi-Kec. Bambang Fisiografi : Perbukitan lereng bawah
Relief Makro : Perbukitan Drainase : Baik
Mikro : Berombak Vegetasi : Kakao
Lereng arah : Barat Pertumbuhan : Baik
Panjang: 100 m Koordinat X : 119.20573°
% : 5% Koordinat Y : 02.95548°
Horizon :A Sub Surface : B
Epipedon : Kambik Klasifikasi : Inceptisols

Horizon Dalam (cm) Warna Tekstur Konsistensi pH Struktur tanah


Lempung
A 0-18 2,5 YR 4/4 Gembur 5 Granural
berpasir
Lempung
B 18-35 2,5 YR 5/6 Agak teguh 5 Gumpal
berpasir
63
Gambar 4.11. Foto lokasi pengamatan lapangan site#04, Desa Rante Palada
Kecamatan Bambang

64
4.3.2. Kesesuaian Lahan

Penilaian tingkat kesesuaian lahan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran ruang


komoditas terpilih sesuai dengan karakteristik lahannya apakah secara agronomis dan
lingkungan mendukung untuk pertumbuhannya. Hasil dari penilaian ini haruslah dapat
memberikan pemahaman mengenai hubungan keterkaitan antara karakteristik lahan dan
penggunaannya, serta memberikan perbandingan dan alternatif penggunaan yang dapat
diharapkan dalam proses perencanaan.

Beberapa karakteritik lahan dengan parameter utama penilaian meliputi (1) Temperatur
udara menggambarkan variasi suhu udara, nantinya berkesesuaian dengan komoditas
pertanian yang diusahakan, (2) Ketersediaan air diketahui dari dinamika curah hujan tahunan
pada masa pertumbuhan, lama bulan kering dan kelembaban, (3) Ketersediaan drainase untuk
pengelolaan lahan pertanian, (4) Komposisi media perakaran yang menggambarkan
komposisi tekstur, bahan kasar dalam tanah dan kedalaman efektif tanah, (5) Rerensi hara
yang menggambarkan kemampuan tanaman dalam menyerap hara yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan, daya serap tanaman pada tingkat kejenuhan konsentrasi basa terkait dengan
kemampuan menyerap dan melepaskan unsur hara mikro dan bahan berbahaya dalam tanah,
(6) Toksisitas, berupa salinitas, (7) Bahan sulfidik, menggambarkan bahan-bahan sulfidik
yang terakumulasi sebagai tanah atau sedimen yang jenuh, yang mendorong terbentuknya
senyawa besi dan alumunium sebagai bahan beracun jika etrakumulasi lebih dalam tanah, (8)
Bahan banjir menggambarkan tingkat aktivitas air berlebih dalam tanah menjadi air jenuh
(banjir) yang diukur melalui kedalaman, lama waktu kejadian air jenuh di lahan, dan tingkat
bahaya banjir. Keseluruhan parameter fisik terukur tersebut dinilai atas dasar komposisi
sebaran lahan yang diamati serta kebutuhan lahan komoditas pertanian sesuai dengan lokasi
pengembangan tertentu yang dirancang. Penilaian kesesuaian lahan, selain variabel
karakteristik fisik diatas perlu diketahui pula parameter yang menjadi faktor pembatas lahan
diusahakan. Faktor lahan yang cenderung menjadi pembatas antara lain kemampuan tanaman
dalam menyerap hara tanah (nr), kandungan bahan beracun dalam tanah (jerapan toksisitas)
(xc), kejadian genangan dan atau akibat banjir (fh) dan beda tinggi permukaan yang besar
(kelerengan) (le).
Keseluruhan faktor dan variabel yang digunakan dalam mengukur kualitas lahan untuk
menilai kesesuaian lahan pertanian baik secara agronomi maupun potensi pengembangan
kedepan. Pendekatan penilaian tersebut dilakukan berdasarkan pilihan tanaman yang telah

65
dianalisis berdasarkan pertimbangan preferensi tanaman yang sudah ada, atau perkembangan
dari pilihan masyarakat dan aktual lahan berdasarkan pertimbangan fisik lahan. Bagian
dibawah, menunjukan komoditas terpilih dengan dekripsi sebagai berikut.

1. Komoditas Kopi Arabika

Salah satu unggulan pertanian di Kabupaten Mamasa adalah Kopi, Jenis kopi arabika
berkembang dan cukup besar tersebar di wilayah Mamasa. Jika ditelaah, maka tanaman ini
baik ditanam pada kondisi tanah bertekstur halus, dengan ketinggian tempat diatas 700 mdpl,
pada drainase baik, dan pH tanah berkisar 5-6. Berdasarkan pengamatan lapang, tanaman ini
tumbuh dan berkembang diusahakan masyarakat pada daerah berlereng, dengan kisaran
antara 15 sampai 40%, dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung.

Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk kopi arabika, kelas kesesuaian lahan
di lokasi penelitian adalah S2 (sesuai bersyarat), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai).
Faktor pembatas lahan yang dominan adalah kelerengan dengan tingkat bahaya erosi
dominan (eh), kombinasi bahaya erosi akibat kelerengan tinggi (eh), ketersediaan air (wa)
dan media perakaran (rc). Kondisi tersebut terjadi sebagai efek dari pola tanam yang masif
oleh masyarakat pada lokasi lahan yang berbukit dan bergunung dengan kelerangan dominan
diatas 15%. Kondisi bentuk lahan dimana sebagian besar lahan merupakan areal lahan
bergelombang dominan perbukitan dan bergunung, upaya perbaikan dan peningkatan
kemampuan fisiografi lahan terbatas dikarenakan bentuk lahan yang secara relatif sulit untuk
diubah, sementara upaya peningkatan dengan keterbatasan lahan dilakukan melalui
menggunaan model-model pengelolaan konservasi dengan mulsa atau pembukaan lahan tidak
secara langsung dibuka dengan membersihkan lahan dari kayu alaminya, sehingga tanaman
alami menjadi pelindung pada lahan lokasi tanam. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman kopi
arabika di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.12.
Hasil penetapakan kelas kesesuaian lahan tersebut diperoleh informasi bahwa sebagai
besar lahan untuk usaha pengelolaan tanaman kopi arabika dominan terkendala oleh kondisi
fisik wilayah dimana sekitar 84,5% lahan tidak sesuai (N) dengan pembatas dominan
kelerengan dengan bahaya erosi (eh), media perakaran (rc) dan ketersediaan air (wa) pada
beberapa lokasi yang sudah terbuka. Sementara lahan sesuai (S) sekitar 15,5% dengan
pembatas relayif sama tetapi pengelolaan lahan dapat ditingkatkan dengan meminimumkan
faktor pembatas terhadap pola pengelolaan baik dengan teknik konservasi maupun teknologi
pengelolaan ramah terhadap lingkungan atau pengaturan sistem tanaman dengan pola

66
agroforestri pada lahan-lahan areal kawasan konservasi atau pada areal peruntukan hutan
seperti ditunjukan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Arabika Kabupaten Mamasa Berdasarkan
sebaran alokasi kesesuaian lahan
Kesesuaian
No Lahan Kopi Luas (Ha) Persen (%)
Arabika
1 Ne 128,733.0 42.8
2 Nr 639.6 0.2
3 Nr.e 78,000.2 25.9
4 Nt.w 6,741.0 2.2
5 Nt.w.e 6,546.9 2.2
6 Nw 14,087.1 4.7
7 Nw.e 19,256.9 6.4
8 S2w 225.8 0.1
9 S3e 1,194.6 0.4
10 S3w 4,273.6 1.4
11 S3w.e 36,860.8 12.3
12 S3w.r 4,028.5 1.3
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis tim, 2014

67
Gambar 4.12. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Arabika di Kabupaten Mamasa

68
2. Komoditas Kopi Robusta

Salah satu unggulan pertanian di Kabupaten Mamasa adalah Kopi dengan jenis kopi
robusta yang telah berkembang dan tersebar di wilayah Kabupaten Mamasa. Hasil telaah
pada jenis tanaman ini, menunjukkan baik ditanam pada kondisi tanah bertekstur halus,
dengan ketinggian diatas 700 mdpl, pada drainase baik, dan pH tanah berkisar 5-6.
Berdasarkan pengamatan lapang, tanaman ini tumbuh dan berkembang diusahakan
masyarakat pada daerah berlereng, dengan kisaran antara 15 sampai 40%, dimanfaatkan
sebagai tanaman pelindung.

Analisis kesesuaian lahan untuk kopi robusta, penilaian kesesuaian lahan di lokasi studi
dominan sesuai bersyarat (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Tingkat kesesuaian
lahan dibatasi oleh pengaruh faktor kelerengan dengan tingkat bahaya erosi dominan atau
kombinasi bahaya erosi akibat kelerengan tinggi (eh), ketersediaan air (wa) dan media
perakaran (rc). Kondisi tersebut terjadi sebagai efek dari pola tanam yang masif oleh
masyarakat pada lokasi lahan yang berbukit dan bergunung dengan kelerangan dominan
diatas 15%. Kondisi bentuk lahan dimana sebagian besar lahan merupakan areal lahan
bergelombang dominan perbukitan dan bergunung, upaya perbaikan dan peningkatan
kemampuan fisiografi lahan terbatas dikarenakan bentuk lahan yang secara relatif sulit untuk
diubah, sementara upaya peningkatan dengan keterbatasan lahan dilakukan melalui
pemanfaatan model pengelolaan konservasi dengan mulsa dan atau pembukaan lahan tidak
secara langsung dibuka dengan membersihkan lahan dari kayu alaminya, tetapi diharapkan
kayu alami menjadi pelindung pada lahan lokasi tanam. Peta kesesuaian lahan untuk
tanaman kopi robusta di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.13.

Hasil penetapakan kelas kesesuaian lahan tersebut diperoleh informasi bahwa sebagai
besar lahan untuk usaha pengelolaan tanaman kopi arabika dominan terkendala oleh kondisi
fisik wilayah dimana sekitar 87% lahan tidak sesuai (N) dengan pembatas dominan
kelerengan dengan bahaya erosi (eh), media perakaran (rc) dan ketersediaan air (wa) pada
beberapa lokasi yang sudah terbuka. Sementara lahan sesuai (S) sekitar 12,7% dengan
pembatas relatif sama tetapi pengelolaan lahan dapat ditingkatkan dengan meminimumkan
faktor pembatas terhadap pola pengelolaan baik dengan teknik konservasi maupun teknologi
pengelolaan ramah terhadap lingkungan atau pengaturan sistem tanaman dengan pola
agroforestri pada lahan-lahan areal kawasan konservasi atau pada areal peruntukan hutan.

69
Tabel proporsional alokasi kesesuaian lahan tanaman kopia robusta ditunjukan pada Tabel
4.9.

Tabel 4.9. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Robusta Kabupaten Mamasa, Berdasarkan
sebaran alokasi kesesuaian lahan

Kesesuaian
Luas Persen
No Lahan Kopi
(Ha) (Ha)
Robusta
1 Ne 90,392.5 30.1
2 Nr 639.6 0.2
3 Nr.e 78,000.2 25.9
4 Nt 29,070.6 9.7
5 Nt.e 64,144.3 21.3
6 S2t.w 225.8 0.1
7 S2t.w.e 123.7 0.0
8 S3e 1,306.8 0.4
9 S3r 4,028.5 1.3
10 S3t 3,713.7 1.2
11 S3t.e 22,640.4 7.5
12 S3t.w 2,367.6 0.8
13 S3t.w.r.e 3,934.4 1.3
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis tim, 2014

70
Gambar 4.13. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Robusta di Kabupaten Mamasa

71
3. Komoditas Kakao

Tanaman kakao, merupakan salah satu tanaman khas daerah dataran tinggi sangat
berkembangan di Mamasa, mampu tumbuh dengan temperatur ekstrim dan pada kondisi
tanah dengan kelembaban diatas 40% dan atau variasinya. Wilayah Kabupaten Mamasa,
wilayah dengan kelembaban udara rendah berpotensi untuk pengembangan komoditas ini.
Kemampuan wilayah ini memiliki kandungan bahan organik dan kelembaban tanah
tinggi.Dengan mengamati fisiografi lahan dan pola pembentukan struktur bahan pembentuk
tanah, maka kakao di wilayah Mamasa juga berkembang dan dapat diusahakan masyarakat
karena sesuai secara fisik. Berdasarkan pola tumbuh atas dasar karakteristik tanah, maka
tanaman kakao, tumbuh baik pada kondisi tanah bertekstur halus, dengan ketinggian tempat
diatas 1.000 mdpl, pada drainase baik sampai sedang, pada kelembaban diatas 25-30oC dan
pH tanah berkisar 5-6. Berdasarkan pengamatan lapang, secara umum pola tanam kakao
menyerupai pola tanam yang diusahakan pada tanaman kopi arabika dan robusta, dimana
ditanam masyarakat pada daerah berlereng, dengan kisaran antara 15 sampai 40%,
dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk kakao, kelas kesesuaian lahan di
lokasi penelitian adalah S2 (sesuai bersyarat), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai).
Faktor pembatas lahan yang dominan adalah kelerengan dengan tingkat bahaya erosi
dominan (eh), kombinasi bahaya erosi akibat kelerengan tinggi (eh), ketersediaan air (wa),
temperatur (tc) dan media perakaran (rc). Kondisi tersebut terjadi sebagai efek dari pola
tanam yang masif oleh masyarakat pada lokasi lahan yang berbukit dan bergunung dengan
kelerangan dominan diatas 15%. Kondisi bentuk lahan dimana sebagian besar lahan
merupakan areal lahan bergelombang dominan perbukitan dan bergunung, menyebabkan
lahan-lahan usaha lambat laun mengalami penurunan kualitas tanah atau terdegradasi secara
gradual, Upaya perbaikan dan peningkatan kemampuan fisiografi lahan terbatas dikarenakan
bentuk lahan yang secara relatif sulit untuk diubah, sementara daya elastisitas tanah terbatas
dan lambat laun berkurang kualitasnya, upaya pengembalian dan peningkatan dengan
keterbatasan lahan dapat dilakukan melalui menggunaan model-model pengelolaan dengan
teknik konservasi mulsa atau pembukaan lahan dengan tetap mempertahankan tanaman
alami, dan tanaman usaha sebagai tanaman sela sehingga tanaman alami menjadi pelindung
pada lahan lokasi tanam. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 4.14.

72
73
Gambar 4.14. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kakao di Kabupaten Mamasa

74
Hasil penetapakan kelas kesesuaian lahan tersebut diperoleh informasi bahwa sebagai
besar lahan untuk usaha pengelolaan tanaman kopi arabika dominan terkendala oleh kondisi
fisik wilayah dimana sekitar 87% lahan tidak sesuai (N) dengan pembatas dominan
kelerengan dengan bahaya erosi (eh), media perakaran (rc) dan ketersediaan air (wa) pada
beberapa lokasi yang sudah terbuka. Sementara lahan sesuai (S) sekitar 12,7% dengan
pembatas relatif sama tetapi pengelolaan lahan dapat ditingkatkan dengan meminimumkan
faktor pembatas terhadap pola pengelolaan baik dengan teknik konservasi maupun teknologi
pengelolaan ramah terhadap lingkungan atau pengaturan sistem tanaman dengan pola
agroforestri pada lahan-lahan areal kawasan konservasi atau pada areal peruntukan hutan
seperti ditunjukan pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Luas Kesesuaian Lahan Kakao Kabupaten Mamasa, Berdasarkan


sebaran alokasi kesesuaian lahan
Kesesuaian
No Luas (Ha) Persen (%)
Lahan Kakao
1 Ne 58,631.0 19.5
2 Nr.e 78,000.2 25.9
3 Nt 36,017.0 12.0
4 Nt.e 113,284.4 37.7
5 S2t 3,531.7 1.2
6 S2t.w 225.8 0.1
7 S2t.w.e 123.7 0.0
8 S3e 2,171.8 0.7
9 S3r 4,668.1 1.6
10 S3w.e 3,934.4 1.3
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis, 2014

75
4. Penggembalaan (Pasture)

Penggembalaan secara umum di Kabupaten Mamasa masih memiliki daya tampung


yang besar. Pola pemanfaatan lahan untuk usaha pengembalaan secara khusus didasrkan pada
beberapa pertimbangan fisik, antara lain kemampuan fisik lahan baik fisiografis dengan satu
hamparan bentang lahan yang luas, tekstur tanah yang halus, temperatur berkisar 20-30oC.
Wilayah Kabupaten Mamasa, pemanfaatan lahan untuk khusus penggembalaan tidak secara
luas dilakukan, tetapi beberapa pemilik ternak secara intensif mengusahakan hanya siftnya
subsisten. Perlunya pengembalaan ini dinilai untuk suatu proses dalam mendapatkan pakan
ternak dengan kualitas maka, areal penggembalaan dengan curah hujan sedang-tinggi lahan
dengan kelerengan dibawah 15% pada bentuk lahan berombak bergelombang dengan usaha
input produksi sedang. Peta kesesuaian lahan untuk penggembalaan di lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 4.15.

Pola sebaran spasial kelas kesesuaian lahan untuk penggembalaan, pada lokasi
penelitian menunjukan pola umum sesuai marjinal, yang mampu ditingkatkan menjadi lahan-
lahan sesuai produktif dengan melakukan perbaikan-perbaikan pada beberapa aspek fisik
lahan dan pemanfaatan teknologi lahan yang adaptif seperti pembuatan teras sesuai dengan
tipe dan asosiasi bentuk lahan dan tidak searah kontur yang dikombinasikan dengan teknik
konservasi lahan. Tabel 4.11 menunjukan informasi pola sebaran spasial luas kesesuaian
lahan untuk penggembalaan.

Tabel 4.11. Luas Kesesuaian Lahan Penggembalaan Kabupaten Mamasa, Berdasarkan


sebaran alokasi kesesuaian lahan

Kesesuaian Lahan Luas Persen


No
Penggembalaan (Ha) (%)
1 Ne 278,189.3 92.5
2 Nr 2,282.0 0.8
3 S2e 7,560.2 2.5
4 S2t 2,549.5 0.8
5 S3e 123.7 0.0
6 S3r 1,075.9 0.4
7 S3r.e 225.8 0.1
8 S3t 6,877.8 2.3
9 S3t.e 1,703.8 0.6
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis, 2014

76
Gambar 4.15. Sebaran spasial kesesuaian lahan Penggembalaan di Kabupaten Mamasa

77
5. Komoditas Padi Sawah 2-3x Tanam

Padi sawah merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa. Tanaman
padi secara umum menunjukan tingkat status masyarakat, Padangan dari sisi budaya lokal
sampai saat ini masih menjadi faktor utama dalam status sosial masyarakat di Kabupaten
Mamasa. Sebagian besar lahan usaha secara umum diusahakan tidak dalam pengelolaan
dalam skala luas, disampiang lahan potensial juga terbatas.. lahan aktual yang saat ini
diusahakan berada pada lembah-lembah dekat dengan jaringan yang membelah sungai
Mamasa.

Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah
menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan didominasi oleh kelas N (tidak sesuai). dan
sekitar 3,4% lahan kelas S (sesuai marjinal). Faktor pembatas lahan yang dominan adalah
media perakaran (rc) dan bahaya erosi (eh). Pembatas tersebut muncul disebabkan beberapa
lokasi pengamatan lapangan cenderung memiliki kedalaman tanah yang relatif dangkal
(kurang lebih 20 cm) dan kemiringan lereng yang cukup curam (15-30% bahkan lebih). Hasil
analisis kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah selengkapnya disajikan pada Tabel
4.12., sedangkan peta kesesuaian lahannya disajikan pada Gambar 4.16.

Tabel 12. Luas Kesesuaian Lahan Padi sawah 2-3x tanam Kabupaten Mamasa,
Berdasarkan sebaran alokasi kesesuaian lahan

Kesesuaian Lahan
Luas Persen
No Padi Sawah 2-3x
(Ha) (%)
tanam
1 Ne 142,312.4 47.3
2 Nr.e 78,000.6 25.9
3 Nt 6,741.0 2.2
4 Nt.e 60,644.6 20.2
5 Nte 1,703.8 0.6
6 S3re 4,028.5 1.3
7 S3t 7,157.1 2.4
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis, 2014

78
Gambar 4.16. Sebaran spasial kesesuaian lahan padi sawah 2-3 kali tanam di Kabupaten Mamasa

79
6. Komoditas Padi Tadah Hujan

Padi sawah tadah hujan salah satu komoditas pertanian yang juga banyak diuasakan
oleh sebagian masyarakat di Kabupaten Mamasa. Secara umum komoditas ini berkembang
pada lahan yang sesuai juga untuk tanaman tahuan seperti kopi, dan kakao. Diusahakan pada
lahan dengan kelerengan yang bervariasi atau pada lahan hamparan yang luas sesuai dengan
kondisi wilayah dan kebiasaan masyarakat bertanam.

Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah
menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan didominasi oleh kelas N (tidak sesuai) dengan
sebaran mencapai 93,5% dan sekitar 6,4% lahan kelas S (sesuai marjinal). Faktor pembatas
lahan yang dominan adalah media perakaran (rc), 80 elative 80re dan kelembaban (tc) dan
bahaya erosi (eh). Pembatas tersebut muncul disebabkan beberapa lokasi pengamatan
lapangan cenderung memiliki kedalaman tanah yang 80 elative dangkal (kurang lebih 20 cm)
dan kemiringan lereng yang cukup curam (15-30% bahkan lebih). Hasil analisis kesesuaian
lahan untuk komoditas padi sawah selengkapnya disajikan pada Tabel 4.13, sedangkan peta
kesesuaian lahannya disajikan pada Gambar 4.17.

Tabel 4.13. Luas Kesesuaian Lahan Padi Tadah Hujan Kabupaten Mamasa,
Berdasarkan sebaran alokasi kesesuaian lahan

Kesesuaian Lahan Padi Persen


No Luas (Ha)
Tadah Hujan (%)
K1 Ne 212,062.6 70.5
2 Nt 6,741.0 2.2
3 Nt.e 62,348.4 20.7
4 S2t.r.e 4,028.5 1.3
5 S3e 123.7 0.0
6 S3r.e 225.8 0.1
7 S3t 6,720.7 2.2
8 S3t.e 8,337.2 2.8
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis, 2014

80
Gambar 4.17. Sebaran spasial kesesuaian lahan padi tadah hujan di Kabupaten Mamasa

81
4.3.3. Lahan Potensial untuk Pengembangan Komoditas Unggulan

Penentuan areal yang berpotensi bagi pengembangan komoditas unggulan ini


mempertimbangkan beberapa aspek, antara lain: 1). Lahan yang berupa kawasan budidaya
berdasarkan dokumen pola dalam RTRW Kabupaten Mamasa, 2). Memiliki kelas kesesuaian
lahan komoditas unggulan yang sesuai (kelas kesesuaian lahan S1, S2, dan S3), 3). Lahan
yang berdasarkan peta penggunaan lahannya berupa areal pertanian (bukan sawah) maupun
lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal, 4). Lahan yang diperuntukkan untuk
pengembangan yang sudah menjadi kebijakan Pemerintah Daerah, misalnya kawasan
agropolitan. Penetapan lahan berpotensi untuk pengembangan komoditas unggulan dilakukan
dengan teknik analisis sistem informasi geografi (spatial analysis) dalam mengetahui pola
sebaran luas lahan dan distribusi ruang tersedia yang menjadi areal lahan potensial.
Lahan potensial tersedia untuk pengembangan komoditas unggulan pada wilayah
Kabupaten Mamasa areal pengembangan sekitar 26.466 hektar atau sekitar 8% dari total luas
wilayah. Pengembangan lahan potensial ini tentu sudah mempehitungkan alokasi ruang
pemanfaatan lahan sesuai kemampuan aktualnya. Berdasarkan atas komposisi lahan tersedia
tersebut, maka luas lahan yang tersedia untuk pengembangan komoditas unggulan tersedia
lahan yang ditunjukan pada Tabel 4.14. Sebaran spasial lahan tersedia sebagai gambaran atas
ruang untuk pengelolaan komoditas unggulan disajikan pada Gambar 4.18.

Tabel 4.14. Luas Alokasi Lahan Tersedia untuk Komoditas Unggulan Kabupaten
Mamasa
Luas Persen
No Komoditas
(Ha) (%)
1 Padi Sawah 2-3x Tanam 7,730.40 29.2
2 Kopi Arabika 7,058.50 26.7
3 Kopi Arabika, Kopi Robusta 6,238.30 23.6
4 Kopi Arabika, Kopi Robusta, 369.3
Kakao 1.4
5 Kopi Arabika, Kopi Robusta, 2,495.40
Kakao, Padi Tadah Hujan, Pasture 9.4
6 Kopi Arabika, Kopi Robusta, 99.8
Kakao, Pasture 0.4
7 Kakao, Kopi Robusta 1,980.60 7.5
8 Penggembalaan (Pasture) 494.2 1.9
26,466.50 100.0
Sumber : Hasil analisis tim, 2014

82
Gambar 4.18. Sebaran spasial lahan tersedia aktual untuk pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa

83
Hasil analisis ketersedian lahan potensial untuk pengembangan komoditas unggulan
dalam lingkup wilayah kecamatan di Kabupaten Mamasa, maka terdapat 8 (delapan) pola
komoditas hasil kombinasi pemanfaatn lahan dari 6 komoditas unggulan yang diusahakan.
Gambaran pola sebaran ruang kecamatan untuk masing-masing komoditas unggulan
disajikan pada Tabel 4.15 dan sebaran spasial lahan potensial tersedia untuk pengembangan
komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa dapat dilihat pada Gambar 4.19.

Tabel 4.15. Sebaran Alokasi Lahan Tersedia Potensial Unggulan per Kecamatan

Luas Persen
No Komoditas Ibukota Kecamatan
(Ha) (%)
1. Padi Sawah 2-3x Tanam
1 Padi Sawah 2-3x Tanam Minake TANDUK KALUA 42.6 0.6
2 Padi Sawah 2-3x Tanam Mamasa MAMASA 0.3 0.0
3 Padi Sawah 2-3x Tanam Nosu NOSU 0.0 0.0
4 Padi Sawah 2-3x Tanam Messawa MESSAWA 516.0 6.7
5 Padi Sawah 2-3x Tanam Sumarorong SUMARORONG 1,344.9 17.4
6 Padi Sawah 2-3x Tanam Sodangan BUNTU MALANGKA 68.2 0.9
7 Padi Sawah 2-3x Tanam Mambi MAMBI 354.1 4.6
8 Padi Sawah 2-3x Tanam Pana PANA 473.1 6.1
9 Padi Sawah 2-3x Tanam Tabang TABANG 59.7 0.8
10 Padi Sawah 2-3x Tanam Mamasa MAMASA 377.9 4.9
11 Padi Sawah 2-3x Tanam Tawalian TAWALIAN 207.1 2.7
12 Padi Sawah 2-3x Tanam Orobua SESEAN PADANG 447.0 5.8
13 Padi Sawah 2-3x Tanam Balla BALLA 33.4 0.4
14 Padi Sawah 2-3x Tanam Nosu NOSU 538.7 7.0
15 Padi Sawah 2-3x Tanam Messawa MESSAWA 428.3 5.5
16 Padi Sawah 2-3x Tanam Sumarorong SUMARORONG 792.2 10.2
17 Padi Sawah 2-3x Tanam Lakahang TABULAHAN 417.9 5.4
RANTEBULAHAN
18 Padi Sawah 2-3x Tanam Keppe 26.0 0.3
TIMUR
19 Padi Sawah 2-3x Tanam Lemo BAMBANG 576.0 7.5
20 Padi Sawah 2-3x Tanam Sodangan BUNTU MALANGKA 555.8 7.2
21 Padi Sawah 2-3x Tanam Aralle ARALLE 471.2 6.1
7,730.4
2. Kopi Arabika
1 Kopi Arabika Mambi MAMBI 135.0 1.9
2 Kopi Arabika Lakahang TABULAHAN 417.6 5.9
3 Kopi Arabika Lemo BAMBANG 2,994.0 42.4
4 Kopi Arabika Sodangan BUNTU MALANGKA 2,245.4 31.8
5 Kopi Arabika Aralle ARALLE 1,266.4 17.9
7,058.5

84
Lanjutan Tabel 4. 15.
Luas Persen
No Komoditas Ibukota Kecamatan
(Ha) (%)
3. Kopi Arabika, Kopi Robusta
1 Kopi Arabica, Kopi Robusta Tabang TABANG 1,041.7 16.7
2 Kopi Arabica, Kopi Robusta Minake TANDUK KALUA 1,289.5 20.7
3 Kopi Arabica, Kopi Robusta Nosu NOSU 1,378.4 22.1
4 Kopi Arabica, Kopi Robusta Messawa MESSAWA 0.1 0.0
5 Kopi Arabica, Kopi Robusta Sumarorong SUMARORONG 2,528.5 40.5
6,238.3 23.6
4. Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao
1 Kopi Arabica, Kopi Robusta, Kakao Pana PANA 203.5 55.1
2 Kopi Arabica, Kopi Robusta, Kakao Tabang TABANG 65.4 17.7
3 Kopi Arabica, Kopi Robusta, Kakao Mamasa MAMASA 100.4 27.2
369.3 1.4
5. Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao, Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
1 Tabang TABANG 76.9 3.1
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
2 Minake TANDUK KALUA 89.6 3.6
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
3 Mamasa MAMASA 777.7 31.2
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
4 Nosu NOSU 592.9 23.8
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
5 Tabang TABANG 332.4 13.3
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
6 Mamasa MAMASA 625.8 25.1
Padi Tadah Hujan, Pasture
2,495.4 9.4
6. Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
1 Pana PANA 99.8 100.0
Pasture
99.8 0.4
7. Kakao, Kopi Robusta
1 Kakao, Kopi Robusta Nosu NOSU 548.4 27.7
2 Kakao, Kopi Robusta Tabang TABANG 8.4 0.4
3 Kakao, Kopi Robusta Lakahang TABULAHAN 1,423.8 71.9
1,980.6 7.5
8. Penggembalaan (Pasture)
1 Pasture Nosu NOSU 126.6 25.6
2 Pasture Nosu NOSU 1.0 0.2
3 Pasture Mamasa MAMASA 366.6 74.2
494.2 1.9
26,466.5
Sumber : Hasil analisis tim, 2014

85
Gambar 4.19. Sebaran Spasial Lahan Tersedia Potensial Untuk Pengembangan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa

86
4.4. Keragaan Komoditas Utama

4.4.1. Tanaman Kopi

Pada tahun 2012 luas areal tanaman kopi robusta dan arabika di Kabupaten Mamasa
mencapai 7 143 ha dan 11 983 ha. Untuk kopi robusta terdiri atas tanaman belum
menghasilkan (TBM) 1 494 ha dan tanaman menghasilkan seluas 2 997 ha. Selain itu
terdapat penanaman kopi robusta yang baru ditanam yang mencapai 685 ha. Tanaman kopi
robusta ditanam hampir di semua kecamatan di Kabupaten Mamasa. Untuk kopi arabika
terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) 2 959 ha dan tanaman menghasilkan seluas
4 825 ha. Selain itu terdapat penanaman kopi arabika yang baru ditanam yang mencapai 1
108 ha. Tanaman kopi arabika banyak ditanam di kecamatan Nosu dan Sumarorong.

Produksi yang dihasilkan pada tahun 2012 mencapai 7 143 ton kopi robusta dengan
jumlah petani mencapai 14 945 kepala keluarga. Sedangkan produksi kopi arabika mencapai
11 983 ton dengan jumlah petani yang terlibat mencapai 20 980 kepala keluarga. Tingkat
produktivitas ini masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tanaman (pemangkasan dan
pola panen yang tepat) yang lebih baik serta peningkatan produksi melalui penanaman
tanaman baru seperti yang sudah terjadi. Selain itu sistem tata niaga juga perlu mendapat
perhatian yang seksama agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik.

Tanaman kopi sudah lama dikenal oleh masyarakat di kabupaten Mamasa terutama
pada desa-desa yang terletak di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut.
Tanaman kopi sudah ada sebelum tahun 1980 dengan jenis kopi yang banyak ditanam adalah
kopi robusta dan arabika terutama di kecamatan Nosu.

Di Kabupaten Mamasa, tanaman kopi saat ini sudah terdesak oleh tanaman kakao
terutama di Kecamatan Bambang dan Mambi. Hal ini disebabkan oleh tingkat produktivitas
yang semakin berkurang dan harga jual yang kurang menarik jika dibandingkan dengan
tanaman kakao. Luas areal kopi yang dimiliki setiap kepala keluarga bervariasi antara 0,25
sampai 1 hektar.

Bibit kopi diperoleh dari pembibitan kopi yang dibuat sendiri oleh petani. Benih kopi
dipilih dari buah kopi masak (berwarna merah) dari tanaman-tanaman kopi yang berproduksi
baik. Buah kopi terpilih dikupas kulit buahnya dan langsung disemaikan di bedangan dengan
jarak tanam kurang lebih 10 cm x 10 cm. Bibit dipelihara di bedengan selama 1 tahun sampai

87
bibit siap ditanam. Pemeliharaan yang utama yang dilakukan di pembibitan adalah
penyiraman.

Bibit tanaman yang berumur 1 tahun atau lebih (dengan tinggi bibit sekitar 30-40 cm)
dipindahkan dari pembibitan ke lokasi penanaman. Kondisi bibit pada saat pemindahan
adalah bibit tanpa media tanah. Jadi merupakan tanaman muda dengan akar tanpa media
tumbuh. Kondisi ini sebenarnya kurang baik untuk pertumbuhan tanaman selanjutnya karena
tanaman (bibit) sempat mengalami stress. Bibit ditanam di lapang dengan jarak tanam kira-
kira 2 m x 2 m, walaupun banyak juga petani yang menanaman kopi tanpa jarak tanam yang
teratur. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman kurang lebih satu mata cangkul (30-40 cm)
dengan lebar lubang 20-30 cm. Bibit ditanam sebatas leher akar dan tanah di sekitar bibit
dipadatkan.

Pemeliharaan yang umum dilakukan oleh petani kopi adalah pengendalian gulma,
sedangkan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pemangkasan cabang tidak
pernah dilakukan. Untuk itu pengendalian gulma dilakukan secara manual saja.

Selain itu pengelolaan cabang yang belum diketahui oleh petani juga menyebabkan
tajuk tanaman kopi pada tanaman yang sudah cukup tua terlalu rapat. Pengelolaan cabang
pada tanaman kopi sepertinya tidak diketahui oleh petani kopi hampir di semua kecamatan.
Hal ini terlihat dari cabang yang tidak teratur dan padat. Pada tanaman yang tua, cabang
buah hanya ada di bagian atas tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa petani kopi di
kabupaten Mamasa belum pernah mendapatkan penyuluhan teknik budidaya kopi yang baik.

Tanaman kopi pada umumnya sudah mulai berbuah pada umur dua tahun setelah
tanam. Produksi buah kopi yang dihasilkan oleh petani sangat bervariasi tergantung dari
tingkat kesuburan tanah dan kegiatan pemeliharaan (pengendalian gulma) yang dilakukan
oleh petani. Dalam satu tahun, petani kopi panen sebanyak 2 (dua) kali. Buah kopi yang
telah dipetik, selanjutnya digiling (menggunakan alat giling sederhana) untuk melepas kulit
buahnya. Biji basah yang telah digiling selanjutnya dijemur.

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa petani kopi, produksi buah
kopi yang dihasilkan per hektarnya berkisar antara 300 sampai 500 kg biji kopi kering. .
Tingkat produktivitas kopi yang dihasilkan oleh petani kopi ini masih kurang baik karena
tingkat produktivitas kopi nasional hanya sekitar 700 kg biji kering/ha/tahun.

88
4.4.2. Tanaman Kakao

Pada tahun 2012 luas areal tanaman kakao di Kabupaten Mamasa mencapai 18 445 ha
yang terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) 4 934 ha dan tanaman menghasilkan
seluas 13 511 ha. Selain itu terdapat penanaman kakao yang baru ditanam yang mencapai 2
474 ha. Tanaman kakao ditanam hampir di semua kecamatan di Kabupaten Mamasa, kecuali
di Kecamatan Nosu. Produksi yang dihasilkan pada tahun 2012 mencapai 12 693 ton dengan
jumlah petani mencapai 16 950 kepala keluarga. Tingkat produktivitas ini masih dapat
ditingkatkan melalui pengelolaan tanaman (pemangkasan, sambung samping dan pola panen
yang tepat) yang lebih baik serta peningkatan produksi melalui penanaman tanaman baru
seperti yang sudah terjadi. Selain itu sistem tata niaga juga perlu mendapat perhatian yang
seksama agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik.

Tanaman kakao yang banyak ditemui hampir di semua Kecamatan Kabupaten


Mamasa dengan luas yang bervariasi antar kecamatan. Tanaman kakao ini banyak ditanam
pada lahan-lahan di sekitar desa atau pada hutan milik desa. Lahan ini pada umumnya
memiliki kemiringan yang cukup besar. Kondisi ini tentunya akan menyulitkan kegiatan
pemeliharaan dan panen. Tanaman kakao ini pada umumnya sudah tua, percabangan yang
tidak terawat dan tingkat pemeliharaan tanaman yang seadanya sehingga tingkat
produktivitasnya masih rendah.

Tanaman kakao yang ada di kecamatan Bambang, Mambi, Nosu dan Pana
diperkirakan mulai diusahakan sejak tahun 1998. Awal bibit kakao ini berasal dari Poliwali
Mandar. Bibit diperoleh dari buah kakao masak yang dibawa warga untuk ditanam di lahan
miliki masing-masing. Sebenarnya di lahan masyarakat pada waktu itu sudah ada tanaman
kopi yang sebelumnya sudah diusahakan terlebih dahulu. Kondisi produksi dan harga kopi
yang kurang menarik menyebabkan masyarakat mengganti tanaman kopinya dengan tanaman
kakao. Pada saat ini tanaman kopi juga masih diusahakan oleh masyarakat terutuama yang
ditinggal di dataran yang lebih tinggi Kecamatan Nosu.

Varietas kakao yang banyak digunakan adalah varietas lokal yang tidak diketahui
asal-usulnya. Bahan tanam yang digunakan oleh petani kakao di kecamatan Bambang, Nosu
dan Pana pada umumnya berasal dari biji buah kakao tanaman sendiri yang dianggap baik.
Buah kakao yang digunakan untuk diambil biji dipilih yang sudah masak (kulit berwarna
kuning). Selanjutnya buah dibelah dan diambil bijinya dan dicuci untuk menghilangkan
lendirnya. Benih dikering-anginkan selama sehari dan langsung disemaikan di bedengan.

89
Setelah benih berkecambah dan tumbuh sampai menghasilkan beberapa pasang daun dengan
tinggi kurang lebih 30 cm, bibit dipindahkan ke lapang.

Jarak tanam yang digunakan tidak tentu, bahkan cenderung tidak teratur. Kira-kira
jarak tanam yang umum digunakan sekitar 3 m x 3 m sampai 4 m x 4 m. Lubang tanam
dibuat sedalam mata cangkul dan bibit yang diambil dari bedengan pembibitan ditanam pada
lubang tanam tersebut. Pada umumnya bibit ditanam pada saat musim hujan. Masing-
masing kepala keluarga memiliki kebun kakao kurang lebih 0,25 sampai 1 ha.

Petani kakao di Kabupaten Mamasa pada umumnya tidak melakukan pemeliharaan


tanaman kakao secara khusus. Pemeliharaan yang umum dilakukan adalah pengendalian
gulma secara manual (dibabat) dengan frekuensi 1-2 kali dalam setahun. Pemupukan dan
pembentukan cabang (pemangkasan) tidak pernah dilakukan sehingga tanaman kakao
tumbuh meninggi dengan jumlah cabang yang agak rapat. Kondisi ini menyababkan tanaman
kakao rentan terhadap serangan hama dan penyakit.

Penyakit yang banyak ditemukan adalah serangan busuk buah sedangkan hamanya
adalah Helopelthis dan penggerek buah kakao. Busuk buah menjadikan buah tidak dapat
berkembang, berwarna hitam dan busuk. Sedangkan serangan hama menyebabkan buah
kakao berbintik-bintik hitam dan biji di dalam buah menjadi lengket.

Tanaman kakao pada umumnya dipanen 2 (dua) kali dalam setahun yaitu pada
bulan Juni dan Desember. Buah kakao yang telah masak dipanen dengan cara dipetik atau
dipotong tangkai buahnya. Buah kakao ini dikumpulkan di kebun sampai jumlah tertentu
(40-50 buah) untuk selanjutnya dibelah sekaligus. Biji kakao basah yang sudah terkumpul
dibawa pulang untuk dijemur di sekitar pekarangan rumah. Penjemuran dilakukan dengan
menggunakan alas tikar atau karung goni. Jika cuaca cerah, biji kakao akan kering setelah
dijemur 4-5 hari. Karena penjemuran dilakukan di sekitar pekarangan rumah dan tidak di
pinggir jalan, maka biji kakao kering yang dihasilkan cukup bersih.

Tingkat produktivitas kakao diperkirakan mencapai 300 sampai 500 kg biji kakao
kering/ha/tahun. Tingkat produktivitas ini masih di bawah rata-rata tingkat produktivitas
kakao nasional yang mencapai 900 kg biji kering/ha/tahun. Masyarakat pada umumnya
menjual hasil kakaonya ini di pasar terdekat, seperti untuk di kecamatan Bambang terdapat
pasar di desa Rante Palado atau di kecamatan Pana ada pasar di desa Datu Baringan. Harga
jual biji kakao kering berkisar antara Rp 16 000 sampai 18 000/kg biji kering.

90
Pada saat ini di kecamatan Bambang, Nosu dan Pana telah dilakukan usaha-usaha
peningkatan produksi tanaman kakao melalui kegiatan Gernas Kakao. Pada tahun 2012
gernas kakao di kabupaten Mamasa ini dilakukan dengan membagi-bagikan bibit hasil
perbanyakan secara kultur jaringan (Somatik Embriogenesis/SE) kepada anggota kelompok
petani. Walaupun belum semua mendapatkan bantuan, setiap anggota mendapatkan 250 bibit
kakao SE. Pada tahun 2013 ini kegiatan Gernas Kakao memperkenalkan peremajaan
tanaman kakao tua dengan metode sambung samping. Entres kakao Klon unggul S1 dan S2
dibagikan kepada petani kakao yang sebelumnya sudah diberi pelatihan cara menyambung.
Program ini kurang berjalan dengan baik karena tidak adanya pendampingan teknis setelah
bibit kakao di tanam di lapangan, selain itu kondisi entres untuk sambung samping yang
sampai ke petani tidak seluruhnya masih dalam kondisi baik. Hal ini tentu akan
mempengaruhi keberhasilan tumbuh tunas yang disambung pada tanaman induknya.

4.4.3. Tanaman Padi

Lahan untuk tanaman padi di Kabupaten Mamasa pada tahun 2012 seluas 13 817 ha
yang terdiri atas lahan sawah seluas 13 489 ha dan lahan sawah tadah hujan seluas 328 ha.
Pada tahun 2012 luas panen padi sawah mencapai 20 907 ha dengan produksi mencapai 81
439 ton (produktivitas 3,9 ton/ha). Hal ini menunjukkan bahwa lahan sawah di Kabupaten
Mamasa sudah dapat ditanamani hampir 2 kali dalam satu tahun. Untuk padi ladang, pada
tahun 2012 luas areal panen mencapai 1 050 ha dengan produksi mencapai 3 660 ton
(produktivitas 3,5 ton/ha).

Padi sawah merupakan komoditas penting di Kabupaten Mamasa. Orientasi


penanaman padi di kabupaten Mamasa masih subsisten, yaitu untuk pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga. Gabah yang telah kering disimpan dan digiling secara bertahap dan
sebagian dijual bila terdapat kelebihan dari yang diperlukan keluarga. Luas areal kepemilikan
sawah berkisar 0,25 ha sampai 0,50 ha.

Padi sawah pada umumnya terdapat di daerah lembah-lembah yang cukup datar
sehingga dapat diolah menjadi sawah. Selain itu daerah ini juga banyak terdapat sungai yang
dapat menjadi sumber air, sehingga petani dapat menanam padi sawah lebih dari satu kali
atau 3 kali dalam dua tahun. Pada dataran yang tinggi, petani hanya dapat menanam sekali
dalam setahun walaupun air juga sangat banyak. Hal ini lebih dikarenakan varietas yang
dapat ditanam di dataran tinggi hanya varietas lokal yang berumur lebih panjang, yaitu sekitar

91
6-7 bulan. Kondisi perumbuhan tanaman padi yang ditanam petani di kabupaten Mamasa
pada umumnya baik.

Pada dataran rendah petani sudah menggunakan varietas unggul baru, walaupun
beberapa petani masih menggunakan unggul lama. Varietas tersebut antara lain Ciliwung,
Ciherang, Impari 16. Pada umumnya varietas ini berumur genjah sehingga dapat ditanam 2
kali dalam setahun. Benih disemaikan kurang lebih 21 hari, kemudian bibit ditanam secara
teratur dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm atau 25 cm x 20 cm. Pada sebagian lahan sawah
yang diusahakan petani, juga dikombinasikan dengan ikan (mina padi). Pada bagian tengah
sawah biasanya dibuat semacam kolam (berbetuk lingkaran) untuk budidaya ikan.

Pemeliharaan padi yang umum dilakukan adalah pengendalian gulma secara manual,
sedangkan pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan. Pemupukan masih dilakukan
oleh beberapa orang petani dengan dosis 50 kg Urea/ha, 60 kg SP36/ha dan 40 kg ZA/ha.
Sebagian besar petani belum melakukan pemupukan pada tanaman padinya. Hal ini
disebabkan sulitnya mendapatkan pupuk di tingkat petani.

Tanaman padi sudah dapat dipanen setelah berumur kurang lebih 4 bulan. Panen
dilakukan dengan menggunakan arit dan selanjutnya gabah dipisahkan dari malai dengan cara
ditebah/dibanting pada para bambu yang sudah dialasi terpal plastik. Tingkat produktivitas
padi sawah di Kabupaten Mamasa berkisar antara 2-2,5 ton/ha. Pada umumnya padi di
Kabuapten Mamasa masih digunakan untuk kebutuhan sendiri. Potensi lahan padi sawah di
dataran rendah masih dapat ditingkatkan melalui penyediaan sarana produksi yang lebih baik.

Untuk dataran tinggi seperti di Kecamatan Pana dan Nosu varietas padi yang
digunakan adalah varietas lokal seperti Barii dan Tanduk yang berumur 6-7 bulan. Teknik
budidaya pada pada dataran tinggi ini hampir sama dengan padi dataran rendah. Pada
umumnya petani juga hanya melakukan pemeliharaan pengendalian gulma saja. Sedangkan
pemupukan masih belum banyak dilakukan. Panen padi dataran tinggi ini dilakukan dengan
menggunakan ketam/ani-ani. Luas kepemilikan sawah pada dataran tinggi ini berkisar antara
0,25 ha sampai 1,0 ha. Tingkat produktivitas padi sawah dataran tinggi ini juga masih
tergolong rendah yaitu sekitar 1 sampai 2 ton/hektar.

92
4.4.4. Tanaman Lainnya

Di Kabupaten Mamasa masih terdapat tanaman pangan dan hortikultur yang


diusahakan oleh petani tetapi masih dalam luasan yang terbatas. Tanaman pangan yang lain
yang diusahakan petani adalah jagung dan ubikayu. Kedua tanaman ini pada tahun 2012
dipanen seluas 420 ha dan 424 ha, dengan tingkat produktivitas jagung mencapai 4,2 ton/ha
dan untuk ubikayu 27,9 ton/ha. Peluang untuk meningkatkan produksi melalui ekstensifikasi
dan intensifikasikasi pada tanaman jagung dan ubikayu masih terbuka lebar.

Tanaman lain yang juga memiliki potensi untuk dikembangkan adalah tanaman
Useng/Janggelan (Mesona palustris) yang merupakan bahan baku untuk pembuatan cincau
hitam. Cincau hitam adalah salah satu jenis jeli yang paling populer di Indonesia, Filipina,
Taiwan, China, dan Korea. Hal ini disebabkan banyaknya kandungan serat larut air yang
terdapat di dalam cincau hitam, sehingga berpotensi untuk mencegah berbagai penyakit
degeneratif akibat gizi lebih. Secara tradisional, cincau hitam dikenal memiliki berbagai
khasiat sebagai obat batuk, obat diare dan lain-lain. Dengan semakin digemarinya cincau
hitam oleh seluruh lapisan masyarakat, maka tanaman janggelan mempunyai nilai ekonomis
yang semakin penting.

Bahan baku utama cincau hitam adalah tanaman Janggelan. Tanaman janggelan
merupakan tanaman perdu. Tinggi tanaman sekitar 30-60 cm dan dapat tumbuh dengan baik
pada ketinggian antara 150-1.800 meter dari permukaan laut seperti di kecamatan
Sumarorong, Nosu dan Pana. Saat ini tanaman Useng belum diusahakan secara intensif
sehingga produksi yang ada masih berpeluang untuk ditingkatkan. Sampai saat ini tanaman
ini belum ada datanya di dinas terkait. Walaupun saat ini sudah penampung tanaman ini di
kecamatan Messawa dengan total produksi kering yang dapat dijual sekitar 2-3 ton/bulan.

Pembudidayaan tanaman janggelan sangat mudah karena tidak memerlukan


pemeliharaan yang khusus. Penanaman dilakukan dengan pola tanam tumpang sari, dengan
tanaman lain, seperti kacang panjang, cabe, kedelai, jagung, dan mentimun. Lahan cukup
diolah dengan mencangkul tipis untuk menghilangkan gulma dan diberi pupuk kandang 5
ton/ha. Bibit diambil dari anakan pada rumpun janggelan yang telah tua dan dibuat lubang
tanam dengan jarak 50 cm x 50 cm dengan setiap lubang ditanami 2 – 3 stek janggelan.
Dengan cara seperti itu diperkirakan setiap hektar diperlukan stek janggelan antara 2,5 – 3
ton. Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan. Pemeliharaan yang umum dilakukan

93
adalah pengendalian gulma secara manual dengan cara mencabut gulma yang ada di sekitar
tanaman. Pengendalian gulma dapat dilakukan sebulan sekali.

Setelah berumur 3-4 bulan dari saat tanam, dilakukan pemanenan pertama dengan
cara memotong sebagian tanaman menggunakan sabit sehingga bagian yang tertinggal dapat
tumbuh kembali. Pada pemanenan yang kedua, semua tanaman dicabut sampai ke akar-
akarnya. Panen terbaik dapat dilakukan pada bulan ketujuh setelah ditanam. Tanaman
janggelan yang telah dipanen selanjutnya dikeringkan dengan cara menghamparkannya di
atas permukaan tanah, hingga warnanya berubah dari hijau menjadi coklat tua. Tanaman
cincau yang telah kering inilah yang merupakan bahan baku utama pembuatan cincau hitam.
Untuk satu hektar lahan diperkirakan akan menghasilkan 7,5 sampai 9 ton basah atau 1,5 ton
kering.

Masalah utama dalam produksi rumput using ini adalah belum adanya penyuluhan
atau bimbingan teknis tentang prospek dan teknik budidaya yang benar. Seperti diketahui
sampai saat ini pangsa pasar dan permintaan tanaman ini cukup tinggi. Sedangkan teknis
budidayanya sangat sederhana dan mudah dilakukan. Oleh karena itu sosialisasi mengenai
peluang usaha rumput using ini perlu dilakukan untuk mendorong petani membudidayakan
tanaman ini.

Beberapa tanaman lain seperti Markisa dan Aren juga memiliki peluang untuk
dikembangkan kembali. Seperti diketahui, tanaman markisa dulu merupakan tanaman yang
bernilai ekonomi cukup tinggi, tetapi dengan tata niaga yang kurang mendukung maka
tanaman ini terus berkurang berkurang produksinya. Pada tahun 2012, tanaman Markisa
masih diusahakan di 9 kecamatan dengan luas penanaman terbesar ada di Kecamatan Nosu,
Mamasa dan Tanduk Kalua. Dari luas 26,5 ha pertanaman markisa dapat dipanen 18 ha
dengan produksi mencapai 200 ton (produktivitas 11,1 ton/ha).

Tanaman aren juga merupakan tanaman yang cukup dikenal di Kabupaten Mamasa,
tanaman ini dapat menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi gula merah atau diambil
buahnya sebagai sumber karbohidrat. Selain untuk produksi tanaman Aren juga dapat
berfungsi sebagai tanaman konservasi pada lahan rawan terhadap longsor.

94
4.4.5 Peternakan

Peternakan merupakan salah satu aspek penting yang dikembangkan di kabupaten


Mamasa, yang dicanangkan dalam pembangunan ekonomi masyarakat Kabupaten Mamasa
yang diarahkan pada percepatan peningkatan populasi dan produksi ternak dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani.

Komoditas ternak unggulan di Kabupaten Mamasa adalah ternak kerbau dan babi,
kemudian ternak sapi potong Tabel 4.16. Dari tabel tersebut terlihat komoditas ternak
kerbau mempunyai populasi tertinggi di kabupaten Mamasa (7235 ekor), kemudian ternak
babi (71184) dan sapi potong (5273 ekor).

Tabel 4.16. Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Babi di Kabupaten Mamasa Tahun
2012 (ekor)
Kecamatan Kerbau Sapi Potong Babi
Sumarorong 628 234 4102
Massawa 311 442 3837
Pana 1015 208 4072
Nosu 749 78 4213
Tabang 371 104 4180
Mamasa 892 141 6179
Tanduk Kalua 352 162 4210
Balla 813 39 4350
Sesenapadang 576 186 3258
Tawallan 299 42 3180
Mambi 96 968 3780
Bambang 445 289 3650
Rantebulahan Timur 86 265 4789
Mehalaan 36 357 4220
Aralle 219 997 3480
Buntu Malangka 376 296 4788
Tabulahan 171 465 4896
TOTAL 7235 5273 71184

Pola pemeliharaan ternak di Kabupaten Mamasa masih bersifat tradisional, dengan


pengetahuan yang di dapat bersifat turun temurun.Ternak lebih banyak dipelihara untuk
kebutuhan ekonomi sebagai tabungan, upacara adat dan pemenuhan gizi.

95
Pada Tabel 4.17 terlihat bahwa populasi Kebau yang tertinggi di kecamatan Nosu,
Mamasa, Balla, Pana dan Sumarorong. Untuk ternak babi populasi tertinggi di kecamatan
Mamasa, Tabulahan, Rantebulahan Timur, Buntu Malangka, dan Sesenapadang. Sedangkan
untuk ternak sapi potong populasi tertinggi di kecamatan Mambi, Massawa, Bambang,
Rantebulahan Timur, dan Sumarorong.

Tabel 4.17. LQ

Kecamatan Kerbau Sapi Potong Babi

Sumarorong 0,10 0,672 0,11


Massawa 0,05 1,270 0,10
Pana 0,17 0,598 0,11
Nosu 0,12 0,224 0,11
Tabang 0,06 0,299 0,11
Mamasa 0,15 0,405 0,16
Tanduk Kalua 0,06 0,466 0,11
Balla 0,13 0,112 0,11
Sesenapadang 0,10 0,535 0,09
Tawallan 0,05 0,121 0,08
Mambi 0,02 2,782 0,10
Bambang 0,07 0,831 0,10
Rantebulahan Timur 0,01 0,762 0,13
Mehalaan 0,01 1,026 0,11
Aralle 0,04 2,865 0,09
Buntu Malangka 0,06 0,851 0,13
Tabulahan 0,03 1,336 0,13

Pola pemeliharaan ternak di Kabupaten Mamasa masih bersifat tradisional, dengan


pengetahuan yang sederhana dan yang diperoleh bersifat turun temurun. Ternak lebih banyak
dipelihara untuk kebutuhan ekonomi sebagai tabungan, upacara adat dan pemenuhan gizi.

96
Ternak Kerbau

Ternak kerbau merupakan salah satu ternak penghasil penghasil daging yang cukup
potensial dijadikan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat,
sebab ternak kerbau selain mudah untuk dipelihara juga memiliki efisiensi yang baik terhadap
pakan berkualitas rendah sehingga sanggup untu memanfaatkan rumput berkualitas rendah
dan menghasilkan berat karkas yang memadai. Ternak kerbau adalah hewan ruminansia yang
bernilai ekonomis tinggi dan mudah beradpatsi dengan lingkungan geografis keras sehingga
memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan.

Kabupaten Mamasa dikenal sebagai salah satu daerah sumber kerbau belang yang
merupakan komoditas penting dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi
masyarakat Kabupaten Mamasa. Masyarakat mengenal empat ketegori pokok jenis kerbau
dipandang dari warnanya. Dari keempat warna kulit dan bulu kerbau tersebut, akan terdapat
warna yang mendekati warna pokoknya dan membedakan nilai kerbau baik secara sosial
maupun ekonomi. Keempat kerbau di Kabupetan Mamasa yaitu:

1. Doti, merupakan kerbau belang yang harganya sekitar Rp 850.000.000,-


2. Bonga, kerbau yang hanya bagian muka sampai kepala berwarna belang, harganya
berkisar sekitar Rp 60.000.000,-
3. Lotong, merupakan kerbau yang berwarna hitam, harganya antara Rp 30.000.000,-
hingga Rp 40.000.000,-
4. Bulan, yaitu kerbau yang bulunya berwarna putih dan kulitnya kemerah-merahan,
kerbai jenis ini dianggap tidak terlalu berharga.

97
Di Kabupaten Mamasa, kerbau belang (Doti) merupakan objek penting dalam acara
adat istiadat penduduk setempat, selalu digunakan pada setiap upacara adat, terutama dalam
acara pernikahan (rambu tu’ka) dan kematian (rambu solo’). Kerbau atau bahasa setempat
disebut tedong atau karembau, memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sosial masyarakat. Kerbau digunakan sebagai alat pertukaran sosial dalam upacara tersebut.
Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi salah satu tolok ukur kekayaan atau kesuksesan
anggota keluarga yang sedang menggelar acara.

Pada upacara adat ini bagi masing-masing


golongan masyarakat berbeda-beda. Bila
bangsawan yang meninggal dunia, maka jumlah
kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara
jauh lebih banyak dibanding untuk mereka yang
bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan,
jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan warga
golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah dengan 50 ekor babi,
dan lama upacara sekitar 3 hari.

Nilai Ekonomi

Pada upacara adat, jumlah kerbau yang dipersembahkan bisa mencapai ratusan ekor
dan menghabiskan dana hingga miliaran rupiah. Kondisi ini menyebabkan harga seekor
kerbau belang jantan yang akan digunakan sebagai persembahan mencapai ratusan juta
rupiah, bergantung pada pola atau tipe belangnya, ukuran/bobot badan.

Selama ini perhatian terhadap pengembangan ternak kerbau cenderung terbatas dan
sedikit terlupakan, karena konsumsi daging kerbau tidak begitu populer di masyarakat dan
kerbau hanya dipelihara sebagai hewan pekerja yang membantu petani menggarap lahan.
Padahal sesungguhnya usaha peternakan kerbau secara intensif akan membawa manfaat besar
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan menjaga keseimbangan ekosistim dengan
mencegah kepunahan spesies kerbau.

Pemeliharaan ternak kerbau belang khususnya di Kecamatan Mamasa masih bersifat


tradisional, oleh sebab itu perlu adanya tatalaksana pemeliharaan yang baik. Tatalaksana
pemeliharaan yang baik dapat mempertahankan dan memperbaiki bahkan akan lebih

98
meningkatkan nilai jual dari ternak tersebut sehingga pendapatan dari petani peternak
menjadi lebih baik. Tedong Doti ini juga harganya jauh lebih mahal dari kerbau biasa.

Sapi

Ternak sapi merupakan komoditas peternakan yang baru beberapa tahun terakhir ini
dikembangkan di kabupaten Mamasa. Bangsa sapi yang banyak dikembangkan adalah sapi
Bali. Penyebaran ternak sapi ini berkaitan dengan pola lahan dan pemanfaatannya serta
sosial budaya masyarakat.

Babi
Sama halnya dengan ternak kerbau, ternak babi juga mempunyai peranan penting
dalam memenuhi kebutuhan protein hewani, sebagai tabungan, dan juga komoditas ternak
yang penting dalam upacara adat di kabupaten Mamasa. Penyebaran ternak babi hampir
merata di seluruh kabupaten Mamasa. Pola penyebaran sangat bergantung dari sosial budaya
dan besaran populasi penduduk. Pemeliharaan ternak babi masih bersifat tradisional
dipelihara di halaman rumah dengan skala kepemilikan 1- 10 ekor. Bangsa babi yang lebih
diinginkan dalam upacara adat adalah babi lokal yang berwarna hitam.

99
Nilai Ekonomi.

Pada upacara adat, jumlah babi yang dipotong mencapai ratusan ekor. Kondisi ini
menyebabkan permintaan akan ternak babi selalu ada. Dengan permintaan ternak babi yang
selalu ada dan tinggi maka nilai ekonomis ternak babi sangat tinggi. Selama ini untuk
memenuhi kebutuhan ternak babi masih didatangkan dari kabupaten sekitar terutama Toraja.
Sebagai contoh untuk ternak babi yang berukuran panjang 80 cm dibeli di Toraja dengan
harga berkisar Rp. 1.250 ribu per ekor, kemudian di jual di mamasa dengan harga Rp 2,500
ribu per ekor.

Pakan

Pakan merupakan faktor utama dalam pemeliharaan ternak. Sumber pakan utama
yang digunakan dalam pemeliharaan ternak ruminansia (kerbau dan sapi) adalah hijauan dan
konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah rumput, lapangan, rumput ungggul (tumput
gajah, rumput raja dan setaria) dan limbah pertanian. Sedangkan untuk pakan ternak babi
yang banyak digunakan adalah sisa-sisa rumah tangga dan limbah pertanian.

Padi.Jerami padi merupakan limbah pertanian yang paling potensial dan terdapat
hampir diseluruh daerah di Indonesia. Jerami padi termasuk salah satu hijauan yang sering
digunakan sebagai sumber pakan hijauan ternak dengan palatabilitas yang cukup baik.
Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah dan apabila diberikan terlalu
banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi
karena kandung nutriennya rendah.

Jerami padi sebagai produk samping tanaman padi tersedia dalam jumlah yang besar
namun demikian pemanfaatannya belum optimal. Hal ini disebabkan karena bahan ini
memiliki nilai nutrisi dan biologis yang rendah. Rataan jumlah jerami padi yang dapat
diperoleh untuk setiap ha adalah 2,5 – 8 ton, Kerbau atau sapi dewasa umumnya diberikan
jerami padi sebanyak 20–30 kg/ekor/hari. Potensi hijauan dari jerami padi dapat dilihat pada
Tabel 4.18.

100
Tabel 4.18. Luas Panen, Produksi Padi dan Jerami Padi Sawah dan Padi Ladang di
Kabupaten Mamasa 2012
Kecamatan Padi Sawah Padi Ladang Total
Produksi
Luas Jerami padi Luas Panen Jerami padi
Jerami padi
Panen (Ton) (Ton) (ton)
Sumarorong 1521 3954,6 0 0 3954,6

Massawa 1655 4303 100 250 4623

Pana 1240 3224 0 0 3224

Nosu 800 2080 0 0 2080

Tabang 834 2168,4 0 0 2168,4

Mamasa 2228 5792,8 25 62,5 5862,8

Tanduk Kalua 1445 3757 0 0 3757

Balla 963 2503,8 0 0 2503,8

Sesenapadang 1819 4729,4 0 0 4729,4

Tawallan 588 1528,8 0 0 1528,8

Mambi 1404 3650,4 150 375 4190,4

Bambang 658 1710,8 25 62,5 1775,8

Rantebulahan 542 1409,2 25 62,5 1484,2

Timur

Mehalaan 1067 2774,2 100 250 3094,2

Aralle 953 2477,8 300 750 3557,8

Buntu Malangka 1402 3645,2 150 375 4185,2

Tabulahan 1693 4401,8 175 437,5 5031,8

TOTAL 20907 125442 1050 2625 129102

Sumber: Kabupaten Mamasa Dalam Angka 2013 * Produksi jerami padi 2,5-8 ton/ha

101
Jagung. Setelah produk utamanya dipanen, tanaman jagung dapat menyediakan
material yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku pakan pengganti hijauan. Beberapa
bahan dari tanaman jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan alternatif
baik sebelum maupun setelah melalui suatu perlakuan/proses pengolahan adalah daun, batang
jagung dan tongkol.

Jumlah produk ikutan tanaman jagung yang dapat diperoleh dari satuan luas tanaman
jagung berkisar antara 2,5–3,4 ton bahan kering per Ha atau 10-40 ton bahan segar per ha.
Jumlah tersebut mampu menyediakan bahan baku pakan sumber serat/pengganti hijauan
untuk sejumlah 1 ST (bobot hidup setara 250 kg, konsumsi bahan kering 3 % bobot hidup)
dalam setahun. (Tabel 4.19) ketersediaan jerami jagung di kabupaten Mamasa.

Tabel 4.19. Jumlah Luas Panen, Produksi jagung dan Jerami Jagung di Kabupaten
Mamasa Tahun 2012
Kecamatan Luas Panen Produksi (ton) Jerami jagung
(Ha) (Ton)
Sumarorong 90 378.0 900
Massawa 60 252.0 600
Pana 15 63.0 150
Nosu 15 54.0 150
Tabang 45 202.5 450
Mamasa 15 57.0 150
Tanduk Kalua 15 64.5 150
Balla 15 60.0 150
Sesenapadang 15 54.0 150
Tawallan 15 57.0 150
Mambi 15 69.0 150
Bambang 15 60.0 150
Rantebulahan Timur 15 60.0 150
Mehalaan 30 132.0 300
Aralle 15 60.0 150
Buntu Malangka 15 60.0 150
Tabulahan 15 64.5 150
TOTAL 420 1747.5 4200
Sumber: Kabupaten Mamasa Dalam Angka 2013 * Jerami jagung10 ton/ha
Produk ikutan tanaman jagung sebelum dipergunakan sebagai bahan baku pakan
sumber serat dapat diolah menjadi hay dan/atau silase, baik dengan ataupun tanpa aplikasi
teknologi bio-proses (fermentasi, amoniasi atau kombinasi perlakuan).

102
Potensi Ketersedian Bahan Pakan Konsentrat

Pemanfaatan bahan pakan lokal produk pertanian ataupun hasil ikutannya dengan
seoptimal mungkin diharapkan dapat mengurangi biaya ransum. Dengan demikian,
diperlukan suatu upaya untuk mencari alternatif sumber bahan pakan yang murah, mudah
didapat kualitasnya baik, serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Namun sering kali
bahan pakan konsentrat lokal harganya justru mahal, sehingga tidak menutup kemungkinan
masuknya bahan lain yang kita perlukan dari luar lokasi selama harganya murah dan mudah
dalam pengadannya serta dapat dijangkau oleh petani/pengguna.

Kebutuhan pakan konsentrat ini tergantung jenis sapi yang dipelihara, untuk sapi-sapi
lokal yang memiliki kemampuan menghasilkan pertambahan bobot badan < 1 kg/hari,
memerlukan pakan konsentrat yang lebih kecil. Lain halnya untuk sapi-sapi peranakan
unggul yang memiliki kemampuan menghasilkan pertambahan bobot badan > 1 kg/hari,
maka memerlukan pakan konsentrat yang lebih tinggi.

Berbagai limbah hasil pertanian baik tanaman pangan maupun perkebunan dapat
dijadikan sebagai sumber bahan pakan konsentrat. Bahan pakan konsentrat yang tersedia
antara lain dedak padi, ampas sagu, kulit buah kakao, ubi kayu, ampas tahu, bungkil kelapa,
dan bungkil inti sawit . Potensi produksi pakan konsentrat diperlihatkan pada Tabel 4.20.

Tabel 4.20. Limbah Tanaman Pangan, Perkebunan dan Pengolahan Hasil Pertanian
sebagai Bahan Pakan Konsentrat
No. Pakan Konsentrat Keterangan
1. Dedak Padi Merupakan limbah penggilingan padi, dapat digunakan
sebagai sumber energi bagi ternak sapi, babi maupun
ayam. Jumlah pemberian pada sapi 2-5 kg/ekor/hari.
3. Ampas Tahu Merupakan limbah industri tahu, dapat dijadikan sumber
protein yang tinggi dan diberikan pada babi dan sapi.
4. Bungkil Kelapa Merupakan hasil pengolahan kopra menjadi minyak
kelapa, merupakan sumber protein yang baik, dapat
digunakan pada sapi.
5. Ubi Kayu Sumber energi bagi ternak babi dan sapi, dapat diberikan
jika dalam kondisi panen berlimpah.
7. Bungkil Sawit Merupakan hasil pengolahan minyak kelapa sawit,
merupakan sumber protein yang baik, dapat digunakan
pada sapi.

103
Dedak Padi.Dedak padi merupakan limbah penggilingan padi yang sangat potensial
sebagai sumber bahan pakan konsentrat bagi ternak sapi. Pemanfaatan dedak sebagai bahan
pakan ternak sudah umum dilakukan, namun penggunaan dedak padi terbanyak pada ayam
dan babi. Penggunaan dedak padi sebagai pakan sapi masih sangat terbatas, beberapa
peternak sudah menggunakan dedak padi tetapi dalam jumlah terbatas. Penggunaan dedak
pada ternak sapi dapat meningatkan pemenuhan kebutuhan energi dan protein.

Berdasarkan(Tabel 4.21.)tampak bahwa potensi produksi dedak padi kabupaten


Mamasa. Jika dedak padi diberikan 4 kg/ekor/hari dalam setahun akan mampu memelihara
sebanyak 40 ekor sapi per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan dedak padi perlu ditambah
atau diambil dari daerah lain yang dekat dengan tempat pengembangan peternakan.

Tabel 4.21. Produksi Dedak Padi di Kabupaten Mamasa Tahun 2012

Kecamatan Padi Sawah Padi Ladang Total


Produksi
Produksi Dedak Produksi Dedak padi
padi padi padi (ton) (Ton) Dedak padi
(ton) (Ton) (ton)

Sumarorong 5930.8 1008,236 0 0 1008,236

Massawa 6786.8 1153,756 320 54,4 1208,156

Pana 4215.0 716,55 0 0 716,55

Nosu 2560.9 435,353 0 0 435,353

Tabang 2919.6 496,332 0 0 496,332

Mamasa 7797.0 1325,49 70 11,9 1337,39

Tanduk Kalua 6211.5 1055,955 0 0 1055,955

Balla 3369.8 572,866 0 0 572,866

Sesenapadang 6365.5 1082,135 0 0 1082,135

Tawallan 2058.9 350,013 0 0 350,013

Mambi 6458.9 1098,013 540 91,8 1189,813

Bambang 2633.7 447,729 65 11,05 458,779

Rantebulahan 2168.8 368,696 75 12,75 381,446


Timur

104
Kecamatan Padi Sawah Padi Ladang Total
Produksi
Produksi Dedak Produksi Dedak padi
padi padi padi (ton) (Ton) Dedak padi
(ton) (Ton) (ton)

Mehalaan 4161.7 707,489 320 54,4 761,889

Aralle 4383.3 745,161 1080 183,6 928,761

Buntu Malangka 6116.8 1039,856 540 91,8 1131,656

Tabulahan 7300.5 1241,085 630 107,1 1348,185

TOTAL 81439.5 13844,72 3660 622,2 14466,92

* Produksi dedak padi dihitung dari 10% produksi gabah giling (ton/tahun)

Ampas Tahu.Ampas tahu yang merupakan limbah industri pembuatan tahu


memiliki kandungan protein yang tinggi dan dapat digunakan sebagai pakan ternak. Ampas
tahu biasanya dimanfaatkan sebagai pakan babi. Walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak,
namun limbah ini dapat dijadikan alternatif sebagai pakan sapi dalam sistem pemeliharaan
yang intensif.

Bungkil Kelapa.Saat ini belum ada industri yang mengolah kopra menjadi minyak
kelapa. Jika ada pengolahan kopra menjadi minyak kelapa akan meningkatkan nilai tambah
serta limbah yang dihasilkan yang berupa bungkil kelapa dapat dijadikan sebagai bahan
pakan ternak sapi.

Pengolahan yang dilakukan masyarakat saat ini masih tradisional dalam skala
rumah tangga. Limbah yang dihasilkan relatif sedikit dan belum dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak.

Ubi Kayu.Ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai pakan kerbau, sapi dan babi.
Penggunaan ubi kayu sebagai pakan ternak perlu dilakukan pengolahan untuk mengatasi
permasalahan kandungan sianida yang tinggi. Tabel 4.22. Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar
di Kabupaten Mamasa Tahun 2012

105
Tabel 4.22. Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar di Kabupaten Mamasa Tahun 2012
Kecamatan Ubi kayu Ubi Jalar
Luas Produksi Jerami Luas Produksi Jerami Ubi
Panen (ton) Ubi kayu Panen (ton) Jalar (ton)
(Ha) (ton) (Ha)
Sumarorong 18 522 90 10 30,0 150
Massawa 20 540 100 20 60,0 300
Pana 20 540 100 20 60,0 300
Nosu 5 130 25 7 19,3 105
Tabang 15 405 75 25 68,8 375
Mamasa 24 624 120 7 21,0 105
Tanduk Kalua 20 560 100 25 68,8 375
Balla 10 260 50 7 19,6 105
Sesenapadang 20 540 100 24 67,2 360
Tawallan 15 405 75 15 41,3 225
Mambi 20 560 100 11 30,3 165
Bambang 10 270 50 11 30,8 165
Rantebulahan 120 3360 600 15 41,3 225
Timur
Mehalaan 25 700 125 13 41,3 195
Aralle 20 560 100 7 21,0 105
Buntu 12 336 60 7 21,0 105
Malangka
Tabulahan 50 1500 250 30 90,0 450
TOTAL 424 11812 2120 256 731,7 3840

106
4.5. Keragaman Sosial dan Kelembagaan

4.5.1. Aspek Kebudayaan di Kabupaten Mamasa

Sebelum Belanda melakukan invasinya di daerah ini, Mamasa sudah memiliki sistem
pemerintahan tradisional yang rapi dan teratur yang disebut Pitu Ulunna Salu, yang berarti
tujuh hulu sungai sebagai lambang atau nama tujuh kepala pemerintahan adat di daerah ini.
Ketujuh kepala adat tersebut adalah: Tabulahan, Mambi, Aralle, Bambang, Rantebulahan,
Matangnga (sekarang dalam wilayah Pemerintahan Kabupetan Polewali Mandar), dan
Tabang (BPS Kab, Mamasa, 2012 : h.6). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
Mamasa dan migrasi warga dari daerah Tana Toraja yang mendiami wilayah Limbong
Kalua’, Tandasau’ dan Tandalangngan, maka terbentuklah gelaran-gelaran adat yang baru,
seperti: Mamasa, Sesena Padang, Osango, Balla, Mala’bo, Banua Sawa, Salu Bue dan
Messawa. Hingga kini semua wilayah tersebut masuk dalam satuan administratif di 17
kecamatan di Mamasa.

Dikenal empat lapisan sosial masyarakat di Kabupaten Mamasa yang dikenal dengan
istilah Tana’, yaitu:

1. Tana’ Bulawan, merupakan status sosial paling tinggi


2. Tana’ Bassi, merupakan lapisan sosial kedua di Mamasa
3. Tana’ Karurung, merupakan lapisan sosial ketiga di Mamasa
4. Tana’ Koa-Koa, sebagai lapisan sosial paling rendah

Dalam pemerintahan Hadat (adat), yang berhak menjadi pemimpin adalah mereka yang
memiliki status sosial tertinggi yaitu Tana’ Bulawan. Namun tidak semua Tana’ Bulawan
adalah pemimpin. Hanya satu orang menjadi pemimpin yang dipilih dari kalangan anggota
keluarga Hadat, kemudian dilantik sebagai Ada’. Kepemimpinan tidak boleh jauh dari silsilah
turuan Ada’ tersebut.
Sistem nilai yang melekat secara kuat pada komunitas (embedded) merupakan tata
nilai yang melindungi relasi sosial pada berbagai level, struktur sosial dan stratifikasi sosial.
Jika terjadi gangguan dan perubahan dalam relasi tersebut maka akan mempengaruhi
berbagai level komunitas. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai sistem pengetahuan lokal
yang mentradisi dan melekat sejak lama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan manusia
(sistem ekonomi maupun sosial) suatu komunitas. Di dalam kearifan lokal, terdapat
mekanisme pengaturan yang disepakati sesama warga (anggota komunitas) yang

107
berlandaskan nilai-nilai yang diakui adat. Kearifan lokal tersebut juga dapat ditransformasi
ke dalam bentuk kelembagaan atau institusi pembangunan warga yang berbasis
pengembangan modal sosial.

Kearifan lokal lain yang dipatuhi oleh warga yaitu istilah tak malo mulelleng kayu
lan tondok kediari pariane, yang bermakna tidak boleh menebang pohon di dalam kampung
sebelum panen padi, sebab tanaman padi membutuhkan air untuk hidup sampai panen yang
berasal dari hutan. Istilah tersebut juga hidup dalam masyarakat ketika memaknai nilai
menjaga hutannya yang melekat dalam kehidupan sosial warga desa.

Selanjutnya, satu hal yang unik ditemukan pada lokasi studi yaitu sistem nilai gotong
royong. Istilah gotong royong ada 2 macam, yaitu Ma’saro dan Bulelenan. Umumnya
Ma’saro yaitu memanggil orang-orang untuk membantu melakukan pekerjaannya, kemudian
diberi upah (disaroi) sesuai standar upah perhari kerja yang berlaku dalam masyarakat.
Sementara istilah Bulelenan lebih banyak digunakan untuk kesepakatan antara dua orang atau
lebih untuk bergiliran saling membantu dalam melaksanakan pekerjaan. Bisa pekerjaan satu
hari, atau dapat juga ditetapkan sekian jam kerja untuk masing-maisng orang.

Kearifan lokal lain yaitu adat terkait lahan ladang dikatakan masih cukup kuat. Sistem
pewarisan sudah ada karena masih cukup banyak lahan untuk dimanfaatkan bagi rumah
tangga baru. Pewarisan baru muncul pada saat pola kebun (kakao & kopi) serta pemanfaatan
sawah muncul kembali. Dalam hal pewarisan kebun (pohon/areal) dan tanah sawah, maka
petani tidak membedakan antara anak pertama dan terakhir, laki-laki dan perempuan,
semuanya dibagi rata pada anak-anaknya untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan
keluarga. Semua rumah tangga hidup saling gotong royong sehingga membentuk
kelembagaan sosial di tingkat warga baik secara formal maupun non-formal.

4.5.2. Struktur Nafkah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Lokal di Kabupaten
Mamasa

Masyarakat Mamasa mempunyai keragaman komoditi pangan yang diusahakan yang


meliputi komoditi pangan seperti padi, jagung, dan sayuran serta komoditi perkebunan yang
meliputi kopi, kakao, dan vanili. Sebagian besar masyarakat juga memiliki ternak terutama
kerbau dan babi. Jenis-jenis komoditi yang dibudidayakan oleh masyarakat Mamasa
dikategorikan berdasarkan orientasinya. Jenis tanaman padi pada umumnya berorientasi

108
subsisten dan jenis tanaman perkebunan berorientasi komersil. Sedangkan ternak bagi
masyarakat Mamasa merupakan simbol kekayaan yang biasanya digunakan untuk kegiatan-
kegiatan adat. Orientasi budidaya komoditas oleh masyarakat Mamasa memperlihatkan
berlangsungnya hubungan tenurial, konsumsi, distribusi dan kebijakan Pemerintah Kabupaten
Mamasa.

Ekonomi rumah tangga orang Mamasa bertumpu pada komoditi ekspor dan komoditi
subsisten. Komoditi ekspor berada di luar desa dan ditopang oleh usaha kopi yang
dibudidayakan pada lahan kering. Sementara komoditi subsisten (berada di dalam desa)
ditopang oleh usaha pertanian lahan basah (padi sawah), lahan kering (umbi-umbian dan
tanaman perkebunan seperti kopi dan kakao), dan ternak babi atau kerbau. Tumpuan ekonomi
rumahtangga tersebut menentukan jenis pemanfaatan lahan bagi kehidupan ekonomi
rumahtangga Orang Mamasa. Lahan basah lebih diorientasikan untuk kebutuhan subsisten
sedangkan lahan kering lebih diorientasikan untuk komersil. Namun demikian, lahan kering
yang berada di sekitar desa juga seringkali digunakan untuk memenuhi kebutuhan subsisten.

Berdasarkan informasi diketahui bahwa pertanian intensif tanaman padi sudah


berlangsung lama semenjak Belanda berada di Mamasa sekitar 1920-an dan saat itulah sistem
pertanian intensif untuk tanaman padi dikenal oleh Orang Mamasa. Sedangkan pertanian
ekstensif berlangsung di luar desa (sekitar kawasan hutan) dengan tumpuan pada pemungutan
hasil hutan seperti madu lebah dan kayu serta budidaya kopi.

Budidaya tanaman kopi oleh warga dilakukan sejak pra-kemerdekaan (1930-an).


Namun demikian, budidaya kopi terhenti ketika harga kopi melemah dan daya tarik kakao
yang menjanjikan menyebabkan warga cenderung lebih memilih menanam kakao. Alhasil,
fenomena “senyapnya kopi, ramainya kakao” menghiasi lokasi studi. Oleh karena itu, di
Mamasa dikenal dua kategori sumber penghidupan warga di lokasi studi yang berbasis
komoditas. Pertama, sumber penghidupan subsisten, yaitu sumber penghidupan yang
bertumpu pada komoditas yang dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, seperti:
ladang dan padi sawah; dan kedua, sumber penghidupan komersial, yaitu sumber
penghidupan berbasisi komoditas komersial yang diperuntukkan untuk memperoleh uang
tunai (cash), yaitu kopi dan kakao.

Selanjutnya, mewabahnya hama-penyakit tanaman cokelat menyebabkan sumber


penghasilan komersial menjadi sirna dan warga kembali kepada sumber penghidupan
subsistennya (khususnya di Bambang). Banyak warga yang memutuskan keluar desa menjadi

109
buruh sebagai sumber penghidupan alternatif untuk menghidupi keluarga di desa. Kehadiran
program Gerakan Nasional (Gernas) kakao tidak memberikan ruang bagi petani sebagai
pelaku program, namun lebih dijadikan objek program yang menyebabkan pola pengetahuan
budidaya kakao tidak melekat dalam kehidupan petani.

Selanjutnya, untuk sumberdaya hutan dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu
Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). BPS Kabupaten Mamasa
(2012:h.164) mencatat luas hutan di Mamasa 198.873 Ha, dimana 76% hutan tersebut masuk
dalam kawasan HL, sisanya sebagai HPT (24%). Dinamika antara pengelolaan sumberdaya
alam (hutan dan air) yang berkelanjutan dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan
kebutuhan ekonomi rumah tangga telah membentuk landscape lahan di lokasi studi sebagai
hasil adaptasi tekanan struktural politik dan ekonomi atas sumberdaya alam di satu sisi dan
konteks sosio-budaya komunitas di sisi lain. Kekuatan aktor dan jaringan politik maupun
ekonomi dalam aktivitas usaha berbasis sumberdaya alam dan terpeliharanya kearifan lokal
turut mewarnai dinamika yang berlangsung.Hutan, sungai, dan perbukitan (gunung) adalah
pencirian landscape di Mamasa. Pemanfaatan sumberdaya lokal merupakan bentuk adaptasi
warga terhadap kondisi alamnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

4.5.3. Agraria dan Ragam Persoalannya di Kabupaten Mamasa

Tingkat kesejahteraan orang Mamasa dapat dilihat dari pengusahaan dan pengelolaan
lahan basah dan lahan kering di Mamasa. Keterkaitan aktivitas pertanian dengan nafkah
hidup orang Mamasa ditandai dengan dua istilah penggunaan lahan untuk usaha pertanian,
yakni lahan basah (persawahan) dan lahan kering (kebun). Umumnya lahan basah
(persawahan) terdapat di dataran rendah atau daerah lembah yang diapit oleh bukit dengan
sumber irigasi dari air sungai. Lahan kering terdapat di dataran tinggi atau perbukitan dengan
komoditas kopi, jagung, sayuran, dan sebagainya. Lahan basah merupakan aset yang
memiliki arti lebih penting dibandingkan dengan lahan kering.

Secara ekonomis lahan basah mampu memproduksi bahan pangan beras sebagai
kebutuhan pangan utama dan jika lahan tersebut dijual memiliki nilai jual yang tingggi.
Secara sosial kepemilikan tanah di lahan basah erat dengan status sosial, kemudahan akses,
kontrol pengelolaan, dan pewarisan. Lahan basah dikuasai oleh golongan ada’, hal ini
menyebabkan transaksi (penjualan/pelepasan) lahan basah di Mamasa sarat makna. Dikenal

110
dua pola transaksi lahan basah yaitu transaksi internal keluarga atau dijual kepada keluarga
dan transaksi eksternal keluarga (dijual kepada orang lain). Transaksi internal keluarga
dilakukan dan diatur di dalam keluarga pemilik lahan basah yang diistilahkan dengan Sibalu’
yao banua. Posisi penjual dan pembeli tidak dibedakan antara laki-laki maupun perempuan.
Penetapan harga penjualan disamakan dengan harga pembelian tanah di awal.

Jika lahan basah hendak dijual ke orang lain tradisinya harus melewati kesepakatan
dengan pemilik awal lahan basah (sitoerang danni). Jika pemilik awal mampu menebus
dengan harga awal, maka lahan basah tersebut wajib diberikan kepada pemilik awal
meskipun pembeli yang lain menawar dengan harga lebih tinggi. Tetapi jika pemilik awal
tidak mampu membeli, maka lahan basah bisa dijual kepada orang lain atas persetujuan
pemilik awal. Seluruh rangkaian proses transaksi disebut tungkasa’ suling, yaitu lahan basah
bisa dijual atau dilepas oleh pemilik awalnya.

Proses pemindahan hak atas lahan basah dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian,
yakni:
1) Sewa’ batalembang adalah pemindahan hak atas lahan basah dari orang tua ke anak
(hak warisan);
2) Rangka’ tolontong adalah pemindahan hak atas lahan basah kepada sesama keluarga
(saudara). Transaksi penjualan ini biasanya harga jual di luar kesepakatan.
3) Tungkasa’ suling adalah pemindahan hak atas lahan basah kepada orang lain melalui
transaksi atau penjualan.

Rumitnya pemindahan hak terhadap lahan basah di Mamasa merupakan bentuk dari
sistem ketahanan sosial (social securitysystem) bagi orang Mamasa. Hal ini diterapkan agar
kepemilikan lahan basah dalam sebuah keluarga tetap dapat dipertahankan, karena nilai
sosialnya yang sedemikian tinggi. Sistem ketahanan sosial ini bermakna sebagai sistem untuk
menopang ekonomi keluarga sekaligus sbagai sistem untuk mempertahankan dan menjaga
status sosial keluarga.

Penguasaan tanah pada lahan kering sifatnya komunal dibandingkan dengan


penguasaan di lahan basah. Akses pengelolaannya lebih ditujukan kepada mereka yang
tergolong pakka (khususnya tana’ koakoa). Posisi ada’ hanya mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan lahan kering tersebut kepada para pakka. Lahan kering hanya dapat digunakan
atau dimanfaatkan selama tenaga para pakka masih kuat, lahan tidak boleh dimiliki atau

111
diwariskan kepada keturunannya, tidak ada upeti yang diserahkan kepada ada’ dari komoditi
yang dihasilkan.

4.5.4. Gender dan Perannya Dalam Aktivitas Ekonomi

Kehidupan sosial ekonomi di kabupaten Mamasa menunjukkan masih kuatnya


integrasi sosial antara kelembagaan adat (kepercayaan), gereja dan pemerintah desa. Relasi
gender berupa pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan masih
mengikuti tradisi setempat. Laki-laki bertanggung jawab utama dalam mencari nafkah dan
melakukan pekerjaan berat, perempuan bertanggung jawab dalam urusan rumahtangga dan
melakukan pekerjaan ringan ketika bekerjasama di kebun maupun sawah. Relasi gender ini
terwujud dalam kelompok kerjasama dalam aktivitas pertanian kebun maupun sawah, yaitu
dalam bentuk pertukaran atau arisan tenaga kerja (laki-laki dan perempuan).

Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas
ekonomi, rumahtangga dan sosial dapat dilihat pada Tabel 4.23. Untuk aktivitas pertanian
padi sawah maupun kebun kakao, maka kerjasama dilakukan antara laki-laki dan perempuan,
baik diantara anggota keluarga maupun kerjasama dengan warga lain (kerabat, tetangga).
Sementara untuk pemeliharaan ternak, terjadi berbagi kerja, dimana ternak besar oleh laki-
laki dan ternak kecil (babi, ayam) oleh perempuan. Meskipun demikian kegiatan mencari
pakan ternak (ubi jalar, pepaya) bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dimana
perempuan dominan dalam pemotongan (mencacah) pakan.

112
Tabel 4.23. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalamAktivitas Ekonomi, Rumahtangga, dan Sosial di Kab. Mamasa

Aktivitas Pembagian Kerja dan Tanggungjawab (Dominan)


Laki-laki Perempuan Bersama
Pekarangan V
Padi Sawah V
Kakao V
Ternak besar V
(sapi/kerbau)
Ternak kecil V
(babi/ayam)
Pencari kayu/rotan V
Nilam/Cengkeh/Seong V
Pedagang pengumpul V
Pengusaha V
penggilingan
Toko/Kios Sembako V
Keg. Reproduktif V
Keg. Sosial V
Sumber: Data Primer

Pembagian kerja dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam usaha tani
padi sawah maupun kebun kakao dan kopi dapat dilihat pada Tabel 4.24. Pembagian kerja
tersebut masih mengikuti pola pekerjaan berat oleh laki-laki dan pekerjaan ringan oleh
perempuan. Saat ini panen padi sudah menggunakan sabit (“sangking”) dan laki-laki ikut
panen padi, namun perempuan tetap dominan dalam kegiatan panen meski harus
menggunakan sabit.

113
Tabel 4.24. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalam usahatani padi sawah, kebun kakao dan kopi di Kab. Mamasa

Aktivitas Pembagian Kerja & Tanggungjawab


(Dominan)
Laki-laki Perempuan Bersama

Produktif: Padi Sawah


Pengolahan Lahan V
Pembibitan V
Penanaman V
Pembersihan rumput V
Panen V
Perontokan padi V
Pengangkutan V
Penjemuran V
Menumbuk gabah menjadi padi V
Produktif: Kakao
Persiapan kebun V
Pengolahan Lahan V
Pembibitan V
Penanaman V
Penanaman pohon pelindung V
Pemangkasan V
Pemetikan (panen) V
Pembelahan (kupas) V
Pengangkutan V
Penjemuran V
Penjualan V
Produktif: Kopi
Pembersihan kebun V
Pengolahan Lahan V
Pembibitan V
Penanaman V
Pembersihan rumput V
Pemangkasan V
Pemetikan (panen) V
Penggilingan/memisah buah V
dan memisah kulit
Pengangkutan V
Penjemuran V
Penjualan V
Sumber: Data Primer

Kegiatan perontokan padi dan pengupasan kulit padi menjadi gabah secara tradisi
dilakukan perempuan dengan alat penumbuk padi. Namun ketika ada teknologi baru,
menggunakan roda sepeda (dros) perontok padi dan mesin penggiling padi, maka laki-laki

114
yang mengambil peran dan tanggung jawab karena membutuhkan tenaga besar.Demikian
pula dalam kegiatan pemanenan hasil kakao, dilakukan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan. Untuk usaha kopi robusta, bila penggilingan dengan mesin (pabrik) dilakukan
oleh laki-laki, namun bila dengan cara tradisional ditumbuk, dilakukan oleh perempuan.
Dalam kegiatan rumahtangga, maka perempuan masih mengambil peran dan tanggung
jawab utama mulai dari memasak sampai mengasuh anak dan membersihkan rumah.
Sementara untuk kegiatan sosial kemasyarakatan terjadi pembagian tugas berikut pada Tabel
4.25. Kegiatan sosial yang berlangsung di warga adalah kebaktian keliling dari rumah ke
rumah dihadiri kaum ibu maupun bapak dan anak. Namun untuk kunjungan ke orang sakit,
meninggal oleh kaum ibu. Dalam hal kerjasama formal, seperti kelompok tani, perempuan
belum memiliki akses pada kelompok tani maupun pada kegiatan penyuluhan dan pelatihan.

Tabel 4.25. Pembagian Kerja dan Tanggungjawab antara Laki-laki dan Perempuan
dalam Rumahtangga dan Sosial diKabupaten Mamasa
Aktivitas Pembagian Kerja & Tanggungjawab (Dominan)
Laki-laki Perempuan Bersama
Reproduktif
Memasak V
Mencuci V
Menyetrika V
Menyiapkan makan V
Memandikan anak V
Menyuapi makan anak V
Menyiapkan baju anak V
Mengasuh anak V
Membersihkan rumah V
Sosial
Kebaktian V
Menghadiri hajatan V
Pertemuan posyandu V
Rapat Adat V
Rapat Desa V
Kerjasama “arisan tenaga” V
Pertemuan kelompok tani V
Sumber: Data Primer

Akses perempun relatif lebih terbatas ke kebun kakao maupun kopi dibandingkan ke
sawah. Demikian pula akses terhadap pasar cenderung perempuan memiliki akses relatif
terbatas karena kondisi infrastruktur jalan yang tidak memungkinkan. Sementara dalam hal
kerjasama pertukaran tenaga kerja untuk aktivitas pertanian, maka baik laki-laki maupun

115
perempuan memiliki akses dalam kerjasama tersebut, dibandingkan dalam kelompok formal
seperti kelompok tani maka cenderung hanya laki-laki saja yang memiliki akses.

Tabel 4.26. Akses Terhadap Asset (Sumberdaya) antara Laki-laki dan Perempuan di
Kabupaten Mamasa

Asset (sumberdaya) Akses (Dominan)


Laki-laki Perempuan Bersama
Lahan: Kebun Kakao V
Pekarangan V
Sawah V
Tenaga kerja (kerjasama) V
Bibit V
Pelatihan dan Penyuluhan V
Kelompok tani V
Organisasi sosial V
Organisasi kekerabatan V
Pasar V
Pendapatan V
Kredit V
Sumber: Data primer

116
Tabel 4.27. Relasi kuasa dalam pengambilan keputusan terhadap asset (sumberdaya)
antara laki-laki dan perempuan di Kabupaten Mamasa

Isu Kontrol (Dominan)


Laki-laki Perempuan Bersama
Lahan Warisan V
Pembelian lahan baru V
Kegiatan di kebun V
Kegiatan di pekarangan V
Kegiatan di sawah V
Tenaga kerja (kelompok) V
Bibit V
Pelatihan dan Penyuluhan V
Kelompok tani V
Organisasi sosial V
Organisasi kekerabatan V
Pemasaran V
Penggunaan pendapatan V
Keputusan kredit V
Sumber: Data Primer

Relasi kuasa dalam pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan dapat
dilihat pada Tabel 4.27. Dalam urusan pengelolaan aktivitas pertanian, baik padi sawah
maupun kebun kakao dan kopi, maka cenderung mengutamakan keluarga (laki-laki dan
perempuan bersama). Misalnya dalam urusan membayar hutang, membeli barang dan
sumbangan pernikahan maka harus musyawarah, namun untuk urusan dapur diputuskan
sendiri oleh perempuan. Sementara untuk kegiatan kelompok formal, seperti kelompok tani,
rapat desa, pelatihan, maka cenderung laki-laki yang dominan memutuskan. Namun untuk
pewarisan, yang dapat diwariskan baik berupa kebun maupun sawah. Pewarisan dilakukan
pada saat anak menikah, dan biasanya dibagi sama antara anak laki-laki maupun perempuan.

4.6. Komoditas Unggulan

Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta


keterpaduan antar pelaku-pelaku (institutions) pembangunan di dalam dan antar wilayah.
Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor-sektor
pembangunan, sehingga setiap program-program pembangunan di dalam kelembagaan
sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.

117
Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan
pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi
sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap
sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian
sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain),
(2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang
berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa
sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya
alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada. Dapat dipahami bahwa di setiap wilayah
selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang
diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.

Pengembangan komoditas unggulan didasarkan pada potensi wilayah dan analisis


komparatif dan kompetitif yang telah dilakukan, dengan tetap mengacu terhadap perencanaan
yang telah ada. Perencanaan yang dijadikan rujukan diantaranya RTRW Kabupaten Mamasa
2010-2025, RPJMD Kabupaten Mamasa 2013 – 2018. Berdasarkan kondisi wilayah, serta
potensi dan permasalahan, yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, dilakukan
penetapan komoditas unggulan pertanian yang akan dikembangkan di Kabupaten Mamasa.
Komoditas unggulan yang ditetapkan meliputi komoditas yang bersifat unggulan secara
ekonomi, strategis, dan prospektif. Pemilihan komoditas tersebut ke depan diharapkan
memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung
terwujud akibat perkembangan komoditi/sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-
sektor lainnya, dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran.

Masing-masing komoditas unggulan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Komoditas Unggulan (ekonomi): Kopi, Kakao, Kerbau dan Babi. Kelompok ini
merupakan komoditas yang telah berkembang di Kabupaten Mamasa dan
memiliki peran besar dalam pembentukan produk domestik regional. Komoditas
unggulan ini mempunyai karakteristik : (1) diminati masyarakat dan sesuai dengan
potensinya, (2) bersifat khas dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat, (3)
permintaan pasar yang tinggi dan kontinyu serta mempunyai manfaat ekonomi
yang tinggi , (4) dari segi teknik budidaya, petani sudah berpengalaman.
2. Komoditas Strategis: Padi sawah dan Padi dataran tinggi. Kelompok ini
merupakan komoditas yang telah berkembang di Kabupaten Mamasa dan
memiliki peran besar dalam pembentukan produk domestik regional, serta

118
mempunyai nilai strategis dalam ketahanan pangan dan stabilitas sosial.
Komoditas strategis mempunyai kriteria: (1) ditanam cukup luas dan hampir ada
di setiap desa, (2) mempunyai nilai ekonomi yang tidak tinggi tetapi memiliki
stataus sosial yang tinggi dalam budaya masyarakat Mamasa dan sebagai upaya
food security
3. Komoditas Prospektif: Perikanan Budidaya dan Tanaman hortikultura dan
lainnya. Kelompok ini merupakan komoditas yang belum berkembang di
Kabupaten Mamasa tetapi memiliki potensi permintaan yang besar, sehingga di
masa datang dapat berperan dalam pembentukan produk domestik regional.
Komoditas prospektif mempunyai kriteria: diusahakan masyarakat pada tempat-
tempat tertentu tetapi mempunyai prospek yang cukup baik karena mempunyai
potensi permintaan yang cukup besar.

Selain itu juga dikembangkan komoditi yang secara sosial dan sejarah telah diterima
dan sudah berkembang selama ini, misalnya markisa dan aren. Komoditi lainnya yaitu;
tanaman useng yang secara cepat (instant) dapat menghasilkan penghasilan dapat dijadikan
sebagai komoditi unggulan prospektif dalam sisi pemasaran yang relatif mudah.
Hasil rekapitulasi komoditas yang dianggap unggul berdasarkan berbagai parameter
yang dibangun disajikan dalam Tabel 4.28. Penentuan prioritas dilakukan berdasarkan
keberadaan di kolom prioritas. Jika semua suatu komoditas muncul pada parameter, maka
komoditas itu adalah unggulan. Ukuran luasan dan juga infrastruktur akan dijadikan sebagai
referensi sebagai pengembangan program atau pengelolaan.
Sebagai informasi, permasalahan infrastruktur dan pengaturan kawasan dianggap
sebagai kondisi yang diperlukan perbaikan atau pengembangannya. Infraststruktur seluruh
wilayah Mamasa termasuk masih harus dikembangkan, sedangkan adanya pengaturan alokasi
ruang atau pengaturan penggunaan juga perlu dilakukan dan berlalu secara menyeluruh
sehingga tidak menjadi bagian spesifik sebagai penentu keunggulan komoditas.

119
Tabel 4.28. Prioritas komoditas unggulan lokal berdasarkan berbagai parameter

Parameter Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 catatan


Kebijakan pertanian,perkebunaan, peternakan, kehutanan Komoditas yang
(RPJMD) dari Perikanan, ada pada
PDRB kebijakan
dianggap penting
Komparatif; jika pertanian,peternakan perkebunaan Perikanan,
ber-LQ >1
Kompetitif; bila padi, ternak Kopi, rumput Kakao, Komoditas paling
nilai paling useng hortikultura stabil diperlukan
tinggi ditinjau sayur dan buah pasar di atau luar
dari stabilitas kabupaten
permintaan
Prospektif padi, aren, kerbau, babi kopi, markisa, rumput useng, Rumput useng
Sejarah (sudah kakao, sapi hortikultura sangat penting
dikenal lama) sayur dan buah sebagai sumber
dana tunai
Komoditas aren, kerbau, babi, padi kopi, rumput kakao, Semua komoditas
Adaptif secara lokal useng markisa, ini sudah ada dan
sosial hortikultura berkembang
buah dan sayur bervariasi
Prospek Pasar kopi, kerbau, babi, hortikultura padi, aren Hanya beberapa
tinggi rumput useng (sayur dan yang sangat tinggi
buah), permintaan pasar
markisa, setempat
kakao
Kesesuaian Fisik kopi, hortikultura buah Padi, kakao, Pasture Semakin luas
adalah kelas S3 dan sayur rumput useng (padang semakin baik
atau lebih baik rumput untuk
sapi dan babi)
Kesesuaian Fisik dianggap sama Dianggap Dianggap Berarti semua
(Infrastruktur)- sebagai buruk sama sebagai sama sebagai wilayah perlu
buruk buruk diperbaiki
infrastruktur
Berada dalam di luar kawasan di luar di kawasan Bila diperlukan
kawasan lindung atau kawasan kehutanan dibuat usulan
pertanian di pola kehutanan lindung atau atau lindung revisi pola ruang
ruang kehutanan
Kesimpulan kopi, kerbau, babi, kakao, hortikultura Pertimbangan
padi, rumput useng markisa, sayur dan pemasukan
perikanan buah, aren, dll sumber ekonomi
tunai penting

120
BAB V

PENGEMBANGAN PROGRAM

Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, maka didapatksan 4 program yang
dengan langkah-langkah ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait program-
program yang dapat dikembangkan. Program-pogram tersebut diantaranya mengorientasikan
pada program kebijakan penataan ruang, program pengembangan kapasitas teknis, program
pengembangan kapasitas kelembagaan, dan program peningkatan Sumber Daya Manusia.

5.1. Program Terkait Kebijakan dan Alokasi Ruang

Berdasarkan kombinasi data tanah dan lereng, iklim, maka disusun satuan lahan yang
baru. Data satuan lahan di luar kawasan lindung, hutan produksi terbatas, disusun kembali.
Sehingga usulan ruang untuk berbagai daerah produktif dapat pertimbangkan untuk
mendetilkan rencana tata ruang atau dalam pembuatan master plan yang lebih detil. Dalam
kajian ini juga ditemukan ketidak-sesuaian antara karakteristik fisik dengan ruang yang
sedang diusulkan (Rencana Tata Ruang Wilayah disusun oleh Provinsi Sulawesi Selatan)
sehingga disampaikan juga usulan perubahan RTRW yang perlu dilakukan. Secara
keseluruhan usulan program disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Program-program kebijakan dan perencanaan yang diusulkan


No Tipe daerah Program
1 Hutan Lindung Penduduk atau pemukiman yang berada di kawasan lindung
(Hutan Lindung) diusulkan untuk segera dilakukan proses
enclave
Pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan hutan lindung yang
disesuaikan dengan daya dukung lingkungan
2 Sempadan Sungai Relokasi penduduk yang tinggal di pinggir sungai tertentu,
mengingat ada kecenderungan perkembangan pemukiman di
pinggir sungai. Situasi ini berpotensi mengganggu potensi
sumberdaya air yang saat ini masih baik dan besar
Pembatasan fasilitas infrastruktur di daerah sempadan sungai.
Pembatasan fasilitas ini akan dapat menekan pertumbuhan
pemukiman di wilayah tersebut
Rekayasa daerah perbukitan tertentu yang tidak mudah longsor
untuk dijadikan daerah pemukiman
3 Hutan Produksi Usulan perubahan hutan produksi tertentu menjadi daerah
berfungsi lindung budidaya mengingat adanya daya dukung fisik

121
No Tipe daerah Program
yang terbatas
Pengembangan komoditas yang menjaga keberadaan air.
Tanaman pinus merupakan tanaman yang kemampuan
menyimpan air terbatas dan rentan kebakaran
4 Perkebunan Pemetaan zonasi tanaman kopi dan pengembangan master plan
Penyusunan master plan wilayah perkebunan non-intensif : kopi,
alpukat, kakao, dll
5 Pertanian Pengembangan rencana induk tanaman lahan kering: rumput
useng, ubi jalar dll
Pengembangan rencana induk lahan basah: potensi air melimpah
Pengembangan rencana induk hortikultura (sayur, buah, bunga)
Pengembangan rencana induk perikanan (zonasi dan lainnya)
6 Peternakan Pengembangan rencana induk peternakan (zonasi dan lainnya)

5.1.1. Daerah Hutan Lindung

Kawasan Hutan Lindung yang sudah dibuat masih perlu perbaikan sehingga sebagian
daerah hutan produksi terbatas juga berubah menjadi daerah dilindungi. Kenyataan di
lapangan, ada daerah hutan produksi sebenarnya tidak tepat dijadikan sebagai daerah
produksi, sehingga diusulkan menjadi daerah berfungsi lindung di kawasan hutan produksi.

Selain itu, daerah tertentu di kawasan hutan lindung atau hutan produksi, sudah ada
aktivitas perduduk yang mungkin sudah bermukim lama atau yang masih baru bermukim.
Untuk penduduk yang sudah bermukim lama, maka disarankan supaya dikaji peluang
menjadi daerah enclave, dan jika layak maka segera diusulkan ke kementrian yang
berwenang untuk perbaikan batas. Jika tidak layak maka perlu dilakukan pengaturan kembali
keberadaan aktivitas tersebut. Untuk penduduk yang baru bermukim di kawasan tersebut juga
perlu segera diatur pemukiman kembali sebelum menjadi masalah besar di masa yang akan
datang.

5.1.2. Daerah Sempadan Sungai

Secara kasat mata penyebaran daerah pemukiman di pinggir Sungai Mamasa banyak
ditemukan. Dalam dokumen perencanaan ruang, kondisi seperti diijinkan dalam kriteria yang
dipakai. Dalam jangka panjang, jika larangan tempat tinggal penduduk di lokasi ini tidak
dijalankan. Maka ada kemungkinan lokasi pemukiman gelap akan semakin banyak. Untuk
menghalangi pertumbuhan ini, selain larangan secara fisik, maka juga dapat diterapkan
pembatasan fasilitas pendukung seperti listrik, air bersih dan lainnya. Mengingat daerah
berlereng datar terbatas, maka perataan daerah berlereng adalah perlu dikembangkan tetapi
122
tentu untuk pendekatan ini perlu pengukuran spesifik tentang kemampuan tanah secara
mekanis sehingga daerah yang diratakan mempunyai potensi rendah menjadi daerah longsor.

5.1.3. Daerah Hutan Produksi

Daerah hutan produksi terbatas di Kabupaten Mamasa, temasuk luas, tetapi diduga
sebagian wilayah ini juga seharusnya menjadi daerah berfungsi lindung, karena saat ini
sangat banyak daerah yang berlereng terjal dan berpotensi longsor. Jika daerah produksi ini
dijadikan daerah berfungsi lindung, maka keterjaminan ketersediaan air makin besar.
Saat ini daerah hutan produksi ditanami dengan pohon pinus.Variasi tanaman selain
pinus perlu dilakukan mengingat tanaman ini rentan terbakar pada musim kemarau dan
kemampuan menyimpan air relatif terbatas. Fakta di lapangan, saat ini tanaman ini juga
dimanfaatkan penduduk sebagai sumber bahan kayu untuk pembangunan rumah atau lainnya.
Dalam hal ini, pemanenan oleh pihak masyarakat dapat menjadi potensi ancaman kalau tidak
direncanakan dengan baik.

5.1.4. Daerah Perkebunan

Mengingat daerah budidaya yang disarankan adalah untuk tanaman perkebunan, dan
hal ini sesuai dengan kondisi kemiringan lahan yang cenderung curam hingga terjal, dengan
variasi tanah berliat atau pasir. Dalam perencanaan ruang, sebagian besar wilayah yang
disarankan sebagai daerah perkebunan ini berada pada elevasi 1000 – 1200 m dpl, maka
pilihan tanaman perkebunan yang paling tepat relatif terbatas. Tanaman yang baik pada
ketinggian ini antara lain kopi, alpukat, apel, kelengkeng, jeruk dan lainnya. Saat ini tanaman
kopi sudah menyebar pada hampir semua daerah pemukiman, sedangkan tanaman seperti
apel, alpukat, kelengkeng, dan lainnya belum berkembang.
Tanaman kakao juga sudah berkembang, tetapi secara fisik lingkungan daerah
tanaman kakao disarankan pada ketinggian lebih rendah. Secara ideal ketinggian yang
direkomendasikan kurang dari ketingggian 600 meter dpl. Pada beberapa lokasi di ketinggian
diatas 1000 meter juga ditemukan tanaman kakao, tetapi secara produksi relatif rendah jika
dibandingkan pada lokasi yang berada pada ketinggian sekitar 700-800 m di atas permukaan
laut.

123
Potensi ke depan untuk pengembangan komoditas perkebunan seperti kopi atau kakao
atau lainnya sebenarnya besar, tetapi mengingat kendala secara sosial besar, maka perlu
pengaturan secara lebih detil lokasi yang akan dikembangkan untuk komoditas spesifik.
Pendekatan dari kesiapan sosial atau potensi ke depan dapat dijadikan acuan. Khusus untuk
tanaman kopi, mengingat secara budaya sudah melekat, maka identifikasi karakter fisik
produk kopi dan juga lingkungan perlu dilakukan secaa detil, sebelum dikembangkan
perencanaan induknya.

5.1.5. Daerah Pertanian

Tanaman padi ditemukan pada hampir semua daerah pemukiman, dan berada pada
daerah lembah. Hamparan sawah yang relatif besar hanya ditemukan di beberapa tempat
seperti di Kecamatan Mamasa, Sumarorong, Bambang dll. Hanya di lokasi tertentu
ditemukan sawah yang dibangun berteras pada daerah berlereng. Dalam luasan hamparan
terbatas, daerah sawah masih memungkikan dikembangkan mengingat sumber air relatif
besar di berbagai tempat. Secara umum hampir semua daerah persawahan mempunyai kolam
ikan yang terletak di bagian tengah sawah. Daerah tambak dalam skala luas sangat terbatas
ditemukan.
Secara lingkungan fisik, daerah Mamasa juga sesuai untuk sebagian tanaman sayuran
dataran tinggi seperti tomat, kentang, cabai dan selanjutnya. Saat ini keberadaan tanaman
kategori ini masih terbatas, dan kendala terbesar terkait dengan aspek sosial. Walaupun
demikian, di lokasi tertentu seperti Kecamatan Messawa, ditemukan tanaman perdu yang
banyak diproduksi di lahan penduduk yaitu rumput useng. Tanaman ini merupakan tanaman
yang berfungsi sebagai bahan baku minuman, yang banyak diekspor ke Cina dan Taiwan.
Dari diskusi dengan pengekspor, diketahui tanaman ini disukai masyarakat karena mudah
memeliharanya dan dapat menjadi sumber pendapatan rutin, walaupun tidak tinggi.
Potensi ke depan untuk pengembangan komoditas sawah / ikan, hortikultur dan buah
sebenarnya besar, tetapi mengingat kendala secara sosial besar, maka perlu pengaturan secara
lebih detil lokasi yang akan dikembangkan untuk komoditas spesifik. Pendekatan dari
kesiapan sosial atau potensi ke depan dapat dijadikan acuan. Alokasi pengembangan untuk
sawah, lahan kering, dan perikanan perlu disusun secara cermat melalui perencanaan induk.
Perencanaan induk yang bersifat pengembangan terintegrasi sangat penting sepertin
mengkombinasikan sawah, ikan, ternak, air dan energi adalah layak diidentifikasi.

124
5.1.6. Daerah Peternakan

Ternak yang mendapat perhatian penduduk yang utama adalah Kerbau, Babi dan
Sapi. Keberadaan kawasan peternakan seperti kerbau dan sapi ditemukan terbatas, walaupun
ternak ini dianggap penting. Selain itu, ternak babi juga dianggap penting, tetapi sistem
pemeliharaan juga masih bersifat terbatas, karena keberadaannya lebih banyak di belakang
rumah, atau di pinggir jalan tertentu. Secara ruang, dianggap pengelolaan ternak saat ini
masih mengandalkan hijauan yang menyebar di berbagai lokasi dan bersifat alami.
Mengingat secara fisik ada ruang untuk menghasilkan pakan ternak atau hijauan ternak, maka
alokasi ruang perlu dilakukan melalui penyusunan dokumen perencanaan induk; yang juga
melihat potensi lahan, tanaman pakan, ternak dan juga air yang melimpah.

5.2. Program Pengembangan Kapasitas Teknis (terkait pengelolaan, budidaya, dan


pasca panen)

5.2.1. Tanaman Kopi

Pengusahaan tanaman kopi oleh petani di Kabupaten Mamasa masih menghadapai


beberapa kendala baik dari segi teknis budidaya, pengolahan dan pemasaran. Selain kendala,
terdapat peluang untuk meningkatkan produksi kopi Kabupaten Mamasa melalui perluasan
areal tanam pada lahan-lahan yang sesuai tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh
karena itu pendekatan yang akan dilakukan dalam program pengembangan tanaman kopi di
Kabupaten Mamasa adalah dengan intensifikasi dan ekstensifikasi.
Program intensifikasi ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman kopi. Hal
ini dapat dilakukan dengan rehabilitasi tanaman kopi yang sudah tua, penggunakaan pupuk
(anorganik dan organik), konservasi tanah dan air, pengelolaan percabangan tanaman kopi,
rotasi dan cara panen yang baik. Untuk kegiatan ini perlu didukung juga dengan adanya
bimbingan teknis dari penyuluh yang ditempatkan di masing-masing kecamatan. Sedangkan
program ekstensifikasi dilakukan dengan penanaman kopi pada lahan baru yang sesuai untuk
pengembangan tanaman kopi. Dari hasil analisis kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di
Kabupaten Mamasa masih terdapat kurang lebih 7 058 ha yang dapat ditanami tanaman kopi
arabika atau robusta.
Kegiatan rehabilitasi tanaman kopi dilakukan pada tanaman kopi yang sudah tua
dengan sistem percabangan yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Pada tahun 2012 luas
areal tanaman kopi (arabika dan robusta) yang tua dan rusak mencapai 5 049 ha. Jika terdapat
125
tanaman kopi tua tetapi masih memiliki sistem percabangan yang baik, maka hanya akan
dilakukan perbaikan sistem percabangan dengan cara pemangkasan selektif sehingga tersisa
cabang-cabang yang masih memiliki potensi berbuah. Sedangkan pada tanaman kopi yang
sudah rusak dapat dilakukan rehabilitasi dengan pemangkasan rejuvinasi, yaitu memotong
batang utama pada ketinggian 30-50 cm di atas permukaan tanah. Pemangkasan dilakukan
pada musim hujan dan pada tanaman yang direhabilitasi diberi pupuk kurang lebih 100 g
Urea, 150 g SP 36 dan 150 g KCl per tanaman. Direncanakan luas areal yang akan
direhabilitasi mencapai 10% dari areal tanaman kopi yang tua dan rusak (sekitar 500 ha).
Pengelolaan cabang tanaman kopi yang baik dan benar dilakukan dengan memberikan
pelatihan (di lapangan) dan penyuluhan. Pelatihan dan penyuluhan dilakukan di tiap
kecamatan yang merupakan sentra produksi kopi. Materi yang akan diberikan berupa
berbagai jenis pangkasan tanaman kopi, seperti : pangkasan bentuk, pangkasan pemeliharaan
dan pemangkasan lepas panen. Dengan demikian diharapkan tanaman kopi di Kabupaten
Mamasa akan menjadi lebih rendah dengan percabangan ke samping (horizontal) yang lebih
banyak dan sehat.
Seperti diketahui, tanaman kopi di Kabupaten Mamasa pada umumnya ditanam pada
daerah-daerah dengan kemiringan yang cukup curam. Oleh karena itu usaha untuk
mempertahankan kesuburan tanah dengan cara mengkonservasi tanah dan air serta
penambahan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman yang ada di sekitar kebun perlu
dilakukan. Untuk konservasi tanah dan air, pada lahan-lahan yang miring yang ditanami kopi
dapat dibuat teras gulud dan rorak. Sisa-sisa tumbuhan hasil pembersihan lahan dimasukan
ke dalam rorak sehingga memudahkan terjadinya proses dekomposisi.
Pada saat ini petani kopi masih memanen kopinya secara tidak selektif. Masih banyak
buah kopi yang berwarna kuning atau bahkan hijau. Tentunya hal ini akan menurunkan mutu
biji kopi yang dihasilkan. Peningkatan mutu hasil olahan ini dapat dilakukan dimulai dengan
pemilihan buah kopi yang merah saja (sudah matang) akan menghasilkan mutu biji kopi yang
baik. Memang perlu juga adanya insentif perbedaan harga jual biji yang berasal dari buah
matang dengan biji yang beasal dari buah kopi yang belum masak. Dengan adanya insentif
harga akan merangsang petani hanya memetik buah kopi yang sudah masak (merah).
Peningkatan mutu biji kopi hasil olahan ini dapat dilakukan dengan pembentukan Unit
Pengolahan di tingkat desa. Selain sebagai unit pengolahan, unit ini juga dapat berperan
dalam kegiatan pemasaran biji kopi yang ada dibawah binaannya.
Perluasan areal tanaman kopi dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan sesuai
untuk tanaman kopi. Diperkirakan lahan ini mencapai 7 058 ha yang menyebar di seluruh
126
kecamatan. Tentunya tidak semua lahan akan digunakan untuk ekstensifikasi tanaman kopi
karena lahan tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan pengembangan tanaman
unggulan yang lain. Untuk ekstensifikasi kopi ini juga direncanakan sekitar 10 dari luas areal
yang sesuai untuk kopi (700 ha). Penyebaran jenis kopi yang akan dikembangkan juga
didasarkan pada proporsi luas jenis kopi yang banyak ditanam di Kabupaten Mamasa yaitu
kopi arabika. Direncanakan dari 700 ha yang akan dikembangkan kira-kira 400 ha
diantaranya adalah kopi arabika, sisanya untuk kopi robusta.
Untuk mendukung kegiatan ekstensifikasi ini perlu juga disediakan bibit unggul kopi.
Beberapa varietas kopi arabika yang dapat digunakan antara lain : Kartika 1, Kartika 2,
Abesiania, S 795, USDA 762, Andungsari dan Sigarar Utang. Sedangkan untuk varietas kopi
robusta dapat digunakan : BP 308, BP 42, BP 234 dan SA 436. Dengan populasi setiap
hektarnya sekitar 1 100 tanaman, maka untuk perluasan areal tanaman kopi di Kabupaten
Mamasa diperlukan bibit kopi sebanyak kurang lebih 770 000 tanaman. Indikasi
pengembangan kopi di Kabupaten Mamasa dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.2. Indikasi Program Pengembangan Tanaman Kopi

Sektor/ Indikasi Program Lokasi Program Luas


Sub Sektor Pengembangan
(Ha)
Budidaya Perluasan areal kopi Semua kecamatan 400
Rehabilitasi tanaman kopi tua Semua Kecamatan 500
Konservasi tanah dan air Sumarorong, Nosu 500
dan Pana
Penyuluhan pengelolaan cabang Semua kecamatan
dan teknik panen
Pasca Pembentukan Unit Pengolahan Semua kecamatan
Panen
Pembentukan kelompok tani Semua kecamatan
elembagaan

5.2.2. Tanaman Kakao

Dari uraian teknik budidaya yang ada saat ini serta kendala yang dihadapi petani
kakao di Kabupaten Mamasa maka ada beberapa kegiatan untuk meningkatkan produktivitas
kakao yaitu : pendampingan teknis budidaya yang berhubungan dengan perbaikan sistem
percabangan, diintroduksi klon-klon kakao baru yang relatif tahan terhadap serangan hama
PBK, seperti klon ICCRI 2 dan ICCRI 4, pemanfaatan kulit buah kakao sebagai sumber
pupuk organik dan perbaikan tanaman kakao melalui pemangkasan dan pembentukan cabang.
127
Untuk percepatan penyebarluasan klon-klon baru dan mendukung peremajaan serta
rehabilitasi tanaman kakao, diperlukan pembibitan kakao klon unggul dan pembangunan
kebun entres di sentra-sentra produksi kakao. Kebun entres ini dapat digunakan untuk
meremajakan tanaman kakao yang sudah tua dengan teknik sambung pucuk.Dengan teknik
tersebut diharapkan tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan
penyakit. Beberapa varietas/klon kakao yang dapat dikembangkan di Kabupaten Mamasa
antara lain : ICCRI 2, ICCRI 4, GC 7, Hibrida, ICS 60 dan TSH 60. Varietas/klon ini
memiliki beberapa keunggulan seperti : produksi tahun kelima dapat mencapai 1,5-3,0
ton/ha/tahun, toleran terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora), penyakit
antraknose (Collectotrisum), dan VSD (Oncobasidium theobromae) dan berdaptasi cukup
luas terhadap ketinggian tempat dan dapat dibudidayakan dari 0-650 m dpl
Kekurangan unsur hara pada tanah dapat diatasi dengan memberian pupuk organik
yang sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan tanaman kakao.Penggunaan pupuk organik
dari limbah buah kakao (kulit buah kakao yang telah terdekomposisi) juga dapat digunakan
untuk meningkatkan bahan organik tanah, sehingga secara bertahap tingkat kesuburan tanah
meningkat.
Walupun saat ini kondisi tanaman kakao masyarakat sudah banyak yang rusak akibat
serangan hama PBK tetapi minat masyarakat untuk menanam kakao masih tetap tinggi. Hal
ini berhubungan dengan peran tanaman kakao sebagai sumber pendapatan utama bagi
sebagian besar masyarakat Kabupaten Mamasa. Oleh karena itu pengembangan tanaman
kakao yang akan dilakukan juga perlu didukung oleh pengembangan sistem yang lainnya,
seperti sarana produksi, unit pengolahan dan pemasaran hasil. Hal ini penting dilakukan agar
proses produksi dapat berjalan dengan baik serta harga jual yang diperoleh juga kompetitif.

Tabel 5.3. Indikasi Program Pengembangan Tanaman Kakao

Sektor/ Indikasi Program Lokasi Program


Sub Sektor
Budidaya Perluasan areal kakao Semua kecamatan
Rehabilitasi tanaman kakao tua Semua Kecamatan
Konservasi tanah dan air dan pemanfaatan Sumarorong, Nosu dan Pana
bahan organik
Penyuluhan pengelolaan cabang dan teknik Semua kecamatan
panen
Pasca Panen Pembentukan Unit Pengolahan dan pemasaran Semua kecamatan
Kelembagaan Pembentukan kelompok tani

128
5.2.3. Padi Sawah
Secara umum padi sawah sudah merupakan komoditas yang paling banyak
diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Mamasa, sehingga secara teknis budidaya
masyarakat sudah mengetahui dengan baik. Walaupun demikian masih ada beberapa hal
yang perlu dikembangkan, antara lain : perluasan areal tanam, introduksi varietas padi yang
baru, pemanfaatan air yang lebih efisien dengan pembangunan jaringan irigasi serta
penggunaan sarana produksi (pupuk) yang lebih baik.

Tabel 5.4. Program dan indikasi program pengembangan tanaman padi


No Program Pengembangan Indikasi Program Lokasi

1 Efisiensi pemanfaatan air Tersedianya jaringan irigasi sawah Tiap kecamatan

2 Perluasan areal tanaman padi Bertambahnya luas areal tanaman padi Tiap kecamatan

3 Penyediaan sarana produksi Tersedianya kios sarana produksi (pupuk Tiap kecamatan
dan benih)
4 Penambahan tenaga penyuluh Betambahan tenaga penyuluh pertanian Tiap kecamatan

5.2.4. Rumput Useng


Seperti diketahui bahwa di beberapa kecamatan sudah ada petani yang mengusahakan
tanaman rumput useng dan sudah ada usaha untuk memasarkan produk rumput useng. Dari
sisi produksi, sebenarnya Kabupaten Mamasa masih memiliki peluang untuk meningkatkan
produksi rumput ini karena tanaman ini tidak menuntut syarat tumbuh yang rumit, sehingga
peluang ini sangat besar untuk dapat dilaksanakan. Selain itu potensi lahan yang dapat
digunakan untuk mengembangkan tanaman ini juga masih tersedia. Oleh karena itu usaha
untuk mensosialisasikan tentang manfaat ekonomi dan teknis budidaya yang baik perlu
dilaksanakan. Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan dan
petak percontohan/demfarm.
Dari sisi kelembagaan perlu juga ditingkatkan peran lembaga pemasaran yang saat ini
sudah ada di masyarakat. Peningkatan ini dapat berupa peningkatan status lembaga
pemasaran yang saat ini masih bersifat perorangan untuk dikembangkan menjadi lembaga
tingkat kecamatan. Selain itu perlu disediakan tenaga pendamping/penyuluh yang berperan
dalam pembimbingan teknis budidaya rumput useng.

129
Tabel 5.5. Program dan Indikasi Program Pengembangan Rumput Useng
No Program Pengembangan Indikasi Program Lokasi Luas (ha)

1 Sosialisasi manfaat Terselenggaranya sosialisasi Sumarorong, -


tanaman rumput useng tanaman rumput useng di beberapa Nosu dan Pana
kecamatan minimal 1 kali
2 Percontohan/demfarm Tersedianya percontohan Kec. 1
teknis budidaya rumput budidaya rumput useng yang baik. Simarorong
useng
3 Pendampingan teknis Tersedianya tenaga penyuluh di Sumarorong, -
budidaya rumput useng tiap kecamatan Nosu dan Pana
4 Peningkatan pangsa pasar Terbentuknya unit pemasaran Kec. Messawa -
rumput useng.

5.2.5. Aren
Tanaman Aren memiliki peluang pasar yang cukup menjanjikan. Hampir semua
bagian tanaman aren memiliki nilai ekomoni yang cukup baik. Daun, tulang daun dan
pelepahnya dapat digunakan untuk atap rumah, sapu lidi dan tutup botol sebagai pengganti
gabus. Sedangkan batangnya dapat digunakan untuk alat-alat rumah tangga atau dijadikan
bahan bangunan. Pada batang tanaman aren juga dapat dihasilkan ijuk yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan. Batang tanaman aren sebenarnya dapat digunakan sebagai sumber
karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan roti, soun, mie dan
campuran pembuatan lem.
Bunga tanaman aren juga dapat menghasilkan cairan gula yang disebut nira dengan
cara memotong (sedikit demi sedikit) tangkai bunga. Nira mengandung zat gula dan dapat
diolah menjadi gula aren atau tuak. Buah aren dapat diolah menjadi bahan makanan seperti
kolang-kaling yang banyak digunakan untuk campuran minuman es, kolak atau dapat juga
dibuat manisan kolang-kaling.
Selain dari sisi ekonomi, tanaman aren juga memiliki fungsi ekologis yang sangat
baik. Tanaman aren memiliki sistem perakaran yang dangkal dan melebar akan sangat
bermanfaat untuk menyimpan air serta mencegah terjadinya erosi tanah. Dengan tajuk yang
lebar dan cukup lebatserta batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat efektif untuk
menahan turunnya air hujan yang langsung ke permukaan tanah. Selain itu pohon aren juga
dapat tumbuh baik pada daerah yang agak miring akan sangat baik untuk mencegah
terjadinya longsor.
Sampai saat ini tanaman aren belum banyak dibudidayakan secara intensif. Padahal
jika dilihat dari sisi ekonominya tanaman ini dapat dijadikan sumber pendapatan masyarakat
yang cukup besar. Oleh karena itu, pengembangan tanaman aren ini harus dimulai dengan

130
program jangka pendek seperti : sosialisasi manfaat tanaman aren sebagai sumber pendapatan
masyarakat serta peran ekologisnya, penyediaan bibit tanaman aren serta pendampingan
teknis budidaya serta percontohan pengusahaan tanaman aren. Untuk jangka menengah perlu
dikembangkan kelembagaan pemasaran dari berbagai produk yang dihasilkan tanaman aren.
Secara rinci program pengembangan tanaman aren jangka pendek yang akan dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 5.6.

Tabel 5.6. Program dan Indikasi Program Pengembangan Tanaman Aren


No Program Pengembangan Indikasi Program Lokasi

1 Sosialisasi manfaat tanaman Terselenggaranya sosialisasi tanaman aren di setiap Tiap


aren kecamatan minimal 1 kali kecamatan
2 Penyediaan bibit tanaman Tersedianya bibit aren sebanyak 500 bibit tiap Tiap
aren kecamatan kecamatan
3 Pendampingan teknis Tersedianya tenaga penyuluh di tiap kecamatan Tiap
budidaya aren kecamatan
4 Percontohan teknis budidaya Terdapat demfarm budidaya aren (1 ha) yang baik. -
aren

Program sosialisasi dilakukan dengan mengadakan penyuluhan mengenai manfaat


dari pengusahaan tanaman aren, baik dari segi ekonomi maupun dari segi ekologinya.
Sosialisai ini dapat dilakukan di tiap kecamatan dengan mengundang beberapa orang
perwakilan dari masing-masing desa. Perwakilan ini juga yang nanti akan mendapat bantuan
bibit dan bimbingan teknis budidaya tanaman aren.
Progran penyediaan bibit tanaman aren dilakukan oleh dinas terkait dengan
menggunakan benih tanaman aren lokal yang memiliki tingkat produksi tinggi. Lokasi
pembibitan yang dipiliah adalah : harus dekat dengan sumber air dan mudah untuk
pendistribusian bibit. Untuk tahun pertama diharapkan pembibitan ini akan menghasilkan
kurang lebih 8 500 bibit. Bibit ini akan dibagikan ke setiap kecamatan sebanyak 500 bibit.
Untuk memberi contoh pengusahaan tanaman aren yang baik dan benar perlu dibuat
petak percontohan (Demfarm). Luas areal demfarm ini cukup sekitar 1 hektar dengan
populasi tanaman sekitar 200 tanaman. Demfarm ini harus dikelola dengan baik sehingga
dapat menjadi percontohan bagi masyarakat yang akan menanam tanaman aren.

5.2.6. Markisa
Seperti diketahui bahwa di beberapa kecamatan masih ada petani yang mengusahakan
tanaman markisa dan sudah ada usaha untuk memasarkan buah markisa. Buah markisa ini

131
pada umumnya dijual di kios/warung di pinggir jalan. Dari sisi produksi, sebenarnya
Kabupaten Mamasa masih memiliki peluang untuk meningkatkan produksi markisa ini
karena tanaman ini tidak menuntut syarat tumbuh yang rumit, sehingga peluang ini sangat
besar untuk dapat dilaksanakan. Selain itu potensi lahan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan tanaman ini juga masih tersedia. Oleh karena itu usaha untuk
mensosialisasikan tentang manfaat ekonomi dan teknis budidaya yang baik perlu
dilaksanakan. Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan dan
petak percontohan/demfarm.
Dari sisi pengolahan hasil, buah markisa sebenarnya dapat diolah untuk menjadi
minuman yang dapat dilakukan pada tingkat rumah tangga atau dalam bentuk Usaha Kecil
dan Menengah. Usaha ini perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual buah markisa
sekaligus untuk mengantisipasi meningkatnya produksi buah markisa karena adanya rencana
perluasan areal tanam tanaman markisa.
Dari sisi kelembagaan perlu juga ditingkatkan peran lembaga pemasaran yang saat ini
sudah ada di masyarakat. Peningkatan ini dapat berupa peningkatan status lembaga
pemasaran yang saat ini masih bersifat perorangan untuk dikembangkan menjadi lembaga
tingkat kecamatan. Selain itu perlu disediakan tenaga pendamping/penyuluh yang berperan
dalam pembimbingan teknis budidaya markisa.

5.2.7. Peternakan

Berdasarkan kajian yang telah dibahas diatas, maka dengan ini dimunculkan beberapa
usulan program yang layak untuk mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak terkait.
Sebagaimana yang ada pada (Tabel 5.7) ditentukan usulan program berdasarkan jenis ternak
yang memiliki minat tinggi didalam masyarakat, diantaranya adalah Ternak Kerbau, Ternak
Sapi Potong, Ternak Babi.

132
Tabel 5.7. Usulan Program bagi pengembangan Ternak di Kabupaten Mamasa
Jenis Ternak Usulan Program Pengembangan Ternak
Ternak 1. Perbaikan manajemen pemeliharaan kerbau
Kerbau 2. Peningkatan kualitas pakan dengan menanam rumput unggul
3. Peningkatan efisiensi reproduksi ternak kerbau
4. Penggunaan konsep pemuliaan yang lebih baik dalam
pengembangan ternak kerbau belang.
Ternak Sapi 1. Perbaikan Manajemen pemeliharaan Sapi Potong
Potong 2. Peningkatan kualitas pakan dengan menanam rumput unggul
3. Peningkatan efisiensi reproduksi ternak sapi potong

Ternak Babi 1. Peningkatan efisiensi reproduksi ternak babi


2. Perbaikan manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan ternak
babi.

5.3. Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan

Persoalan akses yang tidak merata dikarenakan akses yang tidak seimbang terhadap
penguasaan dan pemilikan tanah merupakan fenomena yang umum dihadapi di negara
berkembang. Hal tersebut mengakibatkan berbagai hal seperti kesenjangan sosial juga
dampak lain seperti penggunaan lahan/tanah tidak sesuai dengan peruntukan komoditas yang
tepat. Kondisi tersbeut diperparah dengan lemahnya kontrol sosial dan posisi tawar sebuah
komunitas dalam menentukan komoditas yang akan diproduksinya sesuai dengan sosiokultur
dan agroekologi yang terdapat di wilayahnya. Hal tersebut selanjutnya memberikan dampak
bagi keberlangsungan pola pertanian yang diterapkan, baik yang berorientasi pada
subsistensi, maupun yang komersil.

Pengembangan komoditas yang sesuai dengan kondisi sosiokultural dan wilayah


sangat penting, termasuk di Kabupetan Mamasa.Sebagai kabupaten dengan potensi
sumberdaya alam yang melimpah untuk pertanian maka kabupaten ini layak menjadi salah
satu lumbung pangan dengan komoditas unggulan seperti kopi, kakao, dan padi. Berdasarkan
Sjaf, Luthfi, dan Astuti (2007) Kabupaten Mamasa berpotensi menjadi kabupaten yang
berdaulat pangan. Terdapat tiga alasan mendasar mengenai hal tersebut yaitu: 1) Mamasa
secara administratif merupakan kabupaten baru yang berpeluang melahirkan peraturan daerah
133
tentang kedaulatan pangan; 2) Ditemukannya desa/daerah yang masih mejaga dan
melaksanakan kearifan lokal dari para leluhur berkaitan proses produksi pertanian; 3)
Meskipun potensi sumberdaya alamnya mendukung untuk produksi berbagai jenis tanaman
pangan, namun kenyataannya Mamasa masih mengimpor berbagai jenis komoditas,
khususnya beras.

Upaya pengembangan komoditas di Kabupaten Mamasa perlu mempertimbangkan


kearifan lokal dan juga kerjasama antardesa.Pengembangan komoditas harus
mempertimbangkan kerjasama desa-desa dalam lingkup kawasan dengan mempertimbangkan
kesamaan ekologi.Pengembangan kawasan tersebut dapat dikembangkan dalam tiga tahapan
strategi yaitu strategi bonding, bridging, dan creating strategy. Tiga strategi tersebut
dilakukan secara bertahap sebagai berikut:

a) Tahap 1: Strategi Bonding dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan PRA


(Participatory Rural Appraisal) yang lebih mengedepankan pemahaman masyarakat
pedesaan tentang kondisi dan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka dapat
membuat rencana kegiatan dan tindak lanjut yang harus dilakukan. Tahapan bonding
ini menguatkan pemahaman masyarakat terhadap berbagai potensi yang bisa menjadi
pendukung pelaksanaan pembangunan di kawasan di Kabupaten Mamasa.
b) Tahap 2: Strategi Bridging dilaksanakan dengan menitikberatkan pada pendekatan
PLA (Participatory Learning and Action). Melalui strategi bridging masyarakat
diharapkan mampu menentukan skala prioritas dan solusi terhadap permasalahan
pembangunan yang dihadapi dan mampu membuat solusi yang dikerjasamakan antar
desa dalam satu kawasan. Pada tahun kedua ini, peserta pelatihan membuat rencana
kerja tindak lanjut (RKTL) yang dikerjasamakan antar desa dalam basis kawasan
secara bersama-sama sehingga terbangun suatu kesamaan persepsi bersama terhadap
pengelolaan sebuah kawasan perdesaan.
c) Tahap 3: Strategi Creating diawali dengan evaluasi partisipatif terhadap aktifitas yang
telah dilaksanakan dua tahun sebelumnya dan kemudian menyambungkan inisiatif
masyarakat dengan program pembangunan yang ada di tingkat daerah. Dalam setiap
tahapan selalu dilakukan koordinasi antara masyarakat dengan Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) guna menyambungkan proses yang telah dilakukan oleh
masyarakat dengan program yang telah ditetapkan di tingkatdaerah.

134
5.4. Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia

Pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa dapat berjalan dengan


baik jika didukung dengan sumberdaya manusia yang mumpuni. Oleh karenanya diajukan
beberapa program peningkatan kapasitas SDM sebagai berikut:

1. Program pelatihan kewirausahaan


2. Program pelatihan manajemen pemasaran komoditas
3. Program pelatihan keterampilan teknis budidaya dan pasca panen (pengolahan)

Program-program peningkatan kapasitas sumberdaya manusia tersebut juga perlu


didukung dengan program pembangunan dan pengembangan dari pemerintah Kabupaten
Mamasa untuk dapat mengoptimalkan upaya pengembangan komoditas unggulan. Hal
tersebut menjadi pendorong pengembangan ekonomi wilayah yang berbasis sumberdaya
lokal.

Tabel 5.8. Indikasi Program Pembangunan Mamasa Untuk Mendukung Pengembangan


Komoditi Unggulan

No. Sektor/ Program Lokasi Program Sumber Dana Pengelola


Program Pembangunan Pembangunan Pembangunan
dan
Pengembangan

I. Prasarana dan Sarana Transportasi


Jaringan Jalan & Jembatan
a. Pembangunan Seluruh Penghubung APBN/APBD Dinas PU
dan Peningkatan antar Kecamatan di
Kapasitas jalan Kabupaten Mamasa
b. Pembangunan Sepanjang Jalan Primer APBD Dinas PU
bahu jalan dan dan Sekunder
saluran drainase
c. Perkerasan Penghubung antar Desa APBD Dinas PU
jalan tanah di Setiap Kecamatan
d. Pembangunan Kabupaten Swasta/APBD Dinas PU
jembatan

II. Sistem Jaringan Prasarana Energi


a. Pembangunan Pusat Pengembangan SWASTA PLN/SWASTA
Pembangkit Industri
Listrik
b. Pembangunan Wilayah Kabupaten dan APBN/APBD/ PLN/Dinas
Jaringan Jaringan menuju SWASTA Sumber Daya
distribusi Listrik Kabuapten Perbatasan dan Energi
III. Sistem Jaringan Prasarana Sumberdaya Air

135
No. Sektor/ Program Lokasi Program Sumber Dana Pengelola
Program Pembangunan Pembangunan Pembangunan
dan
Pengembangan

a. Peningkatan Kabupaten SWASTA/


dan APBD
pembangunan PDAM
Kapasitas
PDAM
b. Pembangunan Kecamatan
Instalasi Air CSR/ APBD
Bersih Mikro PDAM
Hidro

IV. Sistem Jaringan Prasarana Telekomunikasi


a. Penambahan Semua Kecamatan SWASTA Perusahaan
BTS (Base Telekomunikasi
transmiter
station) dengan
area tangkap
yang lebih luas
b. Peningkatan Semua Kecamatan SWASTA Perusahaan
Kekuatan Telekomunikasi
Persinyalan
Telekomunikasi
V Jaringan Prasarana Lainnya
Pembangunan& Lokasi TPA Kabupaten APBD/SWASTA Dinas
pengembangan Kebersihan
pengelolaan
sampah
Pembangunan Sepanjang Jalan Primer APBD Dinas PU
Jaringan dan Sekunder
Drainase
Pembangunan Kawasan Perkotaan APBD/SWASTA Dinas PU
kawasan
Perkantoran

136
BAB VI

PENUTUP

• Dari kajian sudah dihasilkan komoditas unggulan kabupaten Mamasa yaitu kopi, padi,
kakao, rumput useng, markisa, kerbau, babi, perikanan dan tanaman hortikultura. Masih
ada sejumlah komoditas prospek yang akan muncul seiring perkembangan ekonomi.
Lokasi dari komoditas unggulan ini menyebar di berbagai tempat, yang sebagian besar
masih berupa potensi dan masih perlu dikembangkan.

• Hasil kajian sudah menghasilkan data dasar tertentu yang dapat dipakai sebagai bahan
pembuatan berbagai program yang bersifat perencanaan dan tindakan aksi. Program yang
diusulkan terdiri dari Kebijakan dan Alokasi Ruang, Pengembangan Infrastruktur,
Peningkatan Kapasitas Teknis, Peningkatan Kapasitas kelembagaan dan Peningkatan
Kapasitas Sumberdaya Manusia.

• Program utama dalam kebijakan dan alokasi ruang adalah perbaikan perencanaan ruang,
pemantapan alokasi ruang terkait dengan potensi sumberdaya daya dan juga aktual
penggunaan ruang, dan berbagai perencanaan induk untuk komoditas, yang melihat
intergrasi potensi fisik lahan, tanaman, air, energi dan ruang serta dikaitkan dengan
karakter sosial dan budaya.

• Program pengembangan infrastruktur merupakan syarat dasar untuk kegiatan yang


bersifat aksi yang ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah semua komoditas yang
dihasilkan. Saat ini infrastruktur di seluruh kabupaten masih tergolong buruk. Upaya
pengalokasian dana infrastruktur harus diutamakan dan perlu penggalangan pendanaan
dari berbagai sumber.

• Peningkatan kapasitas teknis ditujukan untuk peningkatan kemampuan masyarakat dalam


kegiatan budidaya, pasca panen dan pemasaran komoditas unggulan. Ada perbedaan
tingkat kemajuan teknis budidaya untuk berbagai komoditas unggulan. Selain
peningkatan bersifat teknis, maka upaya ekstensifikasi juga dapat dilakukan dengan
sangat memperhatikan keberadaan kemampuan lahan dan lingkungan fisik

• Peningkatan kapasitas kelembagaan ditujukan untuk pengembangan organisasi


pengelolaan yang mempertimbangkan kearifan lokal dan kerjasama antardesa; dalam

137
lingkup kawasan dengan pertimbangan kesamaan ekologi. Beberapa tahapan dasar
pengembangan perlu dilakukan sesuai dengan tingkat kemajuan kelembagaan yang ada

• Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia ditujukan secara khusus untuk keperluan


pelatihan dan pembuatan percontohan budaya serta pengolahan pasca panen sederhana.
program yang diusulkan adalah pelatihan kewirausahaan, pelatihan manajemen
pemasaran komoditas, pelatihan keterampilan teknis budidaya dan pasca panen
(pengolahan), dan percontohan budidaya dan pengolahan pasca panen.

138

Anda mungkin juga menyukai