KABUPATEN MAMASA
Kerjasama:
Dengan
KABUPATEN MAMASA
TAHUN 2014
PENYUSUNAN PERENCANAAN
PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT
KABUPATEN MAMASA
STUDI PEMETAAN KOMODITAS UNGGULAN KABUPATEN
MAMASA PROVINSI SULAWESI BARAT
Tim Penyusun:
Dr. Baba Barus
Dr. Supijatno
Dr. Salundik
Dr. Sofyan Sjaf
Andi S. Putra, M.Si
La Ode S. Iman, M.Si
Turasih, S. KPm
Sri Anom Amongjati, S. KPm
Kerjasama:
Dengan
Kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya Laporan Akhir “Studi Pemetaan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa” ini
dapat diselesaikan. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama ntara Pusat Studi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan (PSP3 – LPPM) – Institut Pertanian Bogor dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Mamasa.
Hasil studi ini disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui beragam
pendekatan untuk menghasilkan rekomendasi penentuan komoditas unggulan dalam rangka
pengembangan ekonomi Kabupaten Mamasa. Penentuan komoditas unggulan ini dilakukan
melalui penggalian potensi lokal Kabupaten Mamasa dengan menganalisa hal-hal yang terkait
dengan potensi fisik, tata ruang, keragaan ekonomi, potensi komoditas utama, dan kondisi sosial
kelembagaan di Kabupaten Mamasa. Hasil studi dan rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi
panduan pengembangan kebijakan pemerintah Kabupaten Mamasa, khususnya dalam konteks
pengembangan ekonomi dengan basis pemanfaatan sumber daya lokal.
Terimakasih
Tim Penyusun
HALAMAN JUDUL ii
RINGKASAN iii
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran 2
1.3. Batasan Studi 2
vii
3.3. Analisis Sumberdaya Fisik 34
3.3.1. Pengambilan Sampel/Contoh Tanah 34
3.3.2. Analisis Kesesuaian Lahan 35
3.3.3. Analisis Areal yang Berpotensi Untuk Pengembangan Komoditas 36
Unggulan
3.4. Analisis Keragaan Komoditas (Budidaya, Pengelolaan dan Usaha) 36
3.4.1. Pertanian 36
3.4.2. Peternakan 37
3.5. Analisis Sosial dan Kelembagaan 38
3.6. Analisis Komoditas Unggulan 39
3.6.1. Analisis Komoditas Unggulan Secara Fisik 39
3.6.2. Penentuan Komoditas Unggulan 40
3.7. Pengembangan program 41
viii
4.6.Komoditas Unggulan 117
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Jumlah penduduk laki-laki, penduduk perempuan, total penduduk, dan
sex ratio di Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013 4
Tabel 2.2. Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan oleh Penduduk Laki-laki dan
Perempuan di Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2012 5
Tabel 2.3. Jumlah laki-laki dan perempuan bekerja dan pengangguran terbuka di
Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2013 6
Tabel 2.4. Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Dokter, dan Jumlah Bidan di Kabupaten
Mamasa Tahun 2007-2012 8
Tabel 2.5. Jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah
Tangga Petani Gurem Menurut Kecamatan Tahun 2003 dan 2013 10
Tabel 2.6. Jumlah Usaha Pertanian menurut Subsektor dan Pelaku Usaha Tahun
2003 dan 2013 11
Tabel 2.7. Ragam Karakteristik Fisik Lahan Kabupaten Mamasa 14
Tabel 2.8. Satuan Peta Lahan Kabupaten Mamasa 16
Tabel 2.9. Sebaran Bahan Induk di wilayah Kabupaten Mamasa 21
Tabel 2.10. Sebaran Jenis Tanah di wilayah Kabupaten Mamasa 23
Tabel 2.11. Sebaran Jenis Tanah di wilayah Kabupaten Mamasa 24
Tabel 2.12. Sebaran Penggunaan lahan Kabupaten Mamasa 27
Tabel 3.1. Nilai Asumsi Produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP) 38
Tabel 4.1. Persentase Nilai PDRB per Sektor Tahun 2010 dan Nilai Indeks
Diversitas di Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat 45
Tabel 4.2. Hasil Analisis LQ di Level Sektor Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi
Barat 47
Tabel 4.3. Hasil Analisis LQ di Level Sub Sektor Kabupaten/Kota Provinsi
Sulawesi Barat 47
Tabel 4.4. Hasil Shift Share Analysis Kabupaten Mamasa 49
Tabel 4.5. Kontribusi Sub Sektor terhadap Total PDRB Kabupaten Mamasa Tahun
2005-2011 51
Tabel 4.6. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kab Mamasa Tahun 2010 – 2029 54
Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Fisik di Lokasi Pengambilan Sampel Tanah 59
Tabel 4.8. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Arabika Kabupaten Mamasa,
Berdasarkan sebaran alokasi kesesuaian lahan 67
Tabel 4.9. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Robusta Kabupaten Mamasa, Berdasarkan 70
sebaran alokasi kesesuaian lahan
Tabel 4.10. Luas Kesesuaian Lahan kakao berdasarkan sebaran alokasi penggunaan 75
lahan Kabupaten Mamasa
x
Tabel 4.11. Luas Kesesuaian Lahan penggembalaan berdasarkan sebaran alokasi 76
penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
Tabel 4.12. Luas Kesesuaian Lahan Padi Sawah 2-3x tanam berdasarkan sebaran 78
alokasi penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
Tabel 4.13. Luas Kesesuaian Lahan Sawah Tadah hujan berdasarkan sebaran alokasi 80
penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
Tabel 4.14. Luas Alokasi Lahan Tersedia untuk Komoditas Unggulan di Kabupaten 82
Mamasa
Tabel 4.15. Sebaran Alokasi Lahan Tersedia Potensial Unggulan per Kecamatan 84
Tabel 4.16. Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Babi di Kabupaten Mamasa Tahun
2012 (ekor) 95
Tabel 4.17. LQ 96
Tabel 4.18. Luas Panen, Produksi Padi dan Jerami Padi Sawah dan Padi Ladang di
Kab Mamasa 2012 101
Tabel 4.19. Jumlah Luas Panen, Produksi jagung dan Jerami Jagung di kabupaten
Mamasa Tahun 2012 102
Tabel 4.20. Limbah Tanaman Pangan, Perkebunan dan Pengolahan Hasil Pertanian 103
sebagai Bahan Pakan Konsentrat
Tabel 4.21. Produksi Dedak Padi di Kabupaten Mamasa Tahun 2012 104
Tabel 4.22. Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar di Kabupaten Mamasa Tahun 2012 106
Tabel 4.23. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalam Aktivitas Ekonomi, Rumahtangga, dan Sosial di Kab. Mamasa 113
Tabel 4.24. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalam usahatani padi sawah, kebun kakao dan Kopi di Kab. Mamasa 114
Tabel 4.25. Pembagian Kerja dan Tanggungjawab antara Laki-laki dan Perempuan
dalam Rumahtangga dan Sosial diKabupaten Mamasa 115
Tabel 4.26. Akses Terhadap Asset (Sumberdaya) antara Laki-laki dan Perempuandi
Kabupaten Mamasa 116
Tabel 4.27. Relasi kuasa dalam pengambilan keputusan terhadap asset (sumberdaya)
antara laki-laki dan perempuan di Kabupaten Mamasa 117
Tabel 4.28. Prioritas komoditas unggulan lokal berdasarkan berbagai parameter 120
Tabel 5.1. Program-program kebijakan dan perencanaan yang diusulkan 121
Tabel 5.2. Indikasi Program Pengembangan Tanaman Kopi 127
Tabel 5.3. Indikasi Program Pengembangan Tanaman Kakao 128
Tabel 5.4. Program dan Indikasi Program Pengembangan Tanaman Padi 129
Tabel 5.5. Program dan Indikasi Program Pengembangan Rumput Useng 130
Tabel 5.6. Program dan Indikasi Program Pengembangan Tanaman Aren 131
Tabel 5.7. Usulan Program bagi pengembangan Ternak di Kabupaten Mamasa 133
xi
Tabel 5.8. Indikasi Program Pembangunan Mamasa Untuk Mendukung Pengembangan
Komoditi Unggulan 135
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
Gambar 4.6. Grafik Kontribusi PDRB setiap Sub sektor Pertanian Terhadap
Sektor Pertanian Mamasa Tahun 2005-2011 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 52
Gambar 4.7. Kenampakan perencanaan pemanfaatan ruang di
Kabupaten Mamasa 55
Gambar 4.8. Foto lokasi pengamatan lapangan site#01, Kecamatan Nosu 60
Gambar 4.9. Foto lokasi pengamatan lapangan site#02, Kecamatan Nosu 61
Gambar 4.10. Foto lokasi pengamatan lapangan site#03, Kampung Paladan,
Kecamatan Rante Bulahan Timur 63
Gambar 4.11. Foto lokasi pengamatan lapangan site#04, Desa Rante Palada
Kecamatan Bambang 64
Gambar 4.12. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Arabika di Kabupaten
Mamasa 68
Gambar 4.13. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Robusta di Kabupaten
Mamasa 71
Gambar 4.14. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kakao di Kabupaten Mamasa 74
Gambar 4.15. Sebaran spasial kesesuaian lahan Penggembalaan di Kabupaten
Mamasa 77
Gambar 4.16. Sebaran spasial kesesuaian lahan Padi Sawah 2-3x Tanam di
Kabupaten Mamasa 79
Gambar 4.17. Sebaran spasial kesesuaian lahan Padi Tadah hujan di Kabupaten
Mamasa 81
Gambar 4.18. Sebaran spasial Lahan Tersedia Aktual untuk Pengembangan
Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa 83
Gambar 4.19. Sebaran spasial Lahan Tersedia Potensial untuk Pengembangan 86
Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mamasa (2005 - 2025) yaitu kondisi terus berkembangnya UMKM dan Koperasi yang
mendukung upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Misi pertama
ini mencinta-citakan terwujudnya pemerintahan dan masyarakat yang mandiri, berdikari dan
tidak bergantung pada pemerintah atau pihak lain.
Target dan sasaran yang ingin dicapai adalah terbentuknya bahan atau data yang
dipakai dalam perencanaan yang dapat menjadi acuan bagi perumusan program dan
penentuan kebijakan dalam rangka perencanaan strategis di bidang pertanian, peternakan,
kehutanan, industri dari komoditas alami, budaya (kepariwisataan) dan sebagainya dalam
rangka mengetahui komoditas-komoditas yang cocok dan dapat dikembangkan pada setiap
wilayah/kecamatan di Kabupaten Mamasa.
2
BAB II
GAMBARAN UMUM
Mamasa merupakan satu dari lima kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat dengan
wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mamuju, sebelah barat dengan
Kabupaten Majene, sebelah timur dengan Provinsi Sulawesi Selatan, dan sebelah selatan
dengan Kabupaten Polewali Mandar. Kabupaten Mamasa terbentuk berdasarkan UU No.11
Tahun 2002 yang berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang
Polewali Mandar). Berdasarkan data Mamasa Dalam Angka tahun 2013 diketahui letak
astronomis Kabupaten Mamasa berada pada 2 039’216” LS dan 3019’288” LS serta
11900’216” BT dan 119038’144” BT. Luas Kabupaten pada tahun 2012 adalah 3.005,88 km 2
yang terbagi menjadi 17 kecamatan yaitu: Sumarorong, Messawa, Pana, Nosu, Tabang,
Mamasa, Tanduk Kalua, Balla, Sesenapadang, Tawalian, Mambi, Bambang, Rantebulan
Timur, Mehalaan, Aralle, Buntu Malangka, dan Tabulahan. Kecamatan Tabulahan
merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Mamasa dengan luas wilayah sebesar 513,95
km2atau 17,10 persen dari seluruh wilayah Kabupaten Mamasa (Mamasa Dalam Angka,
2013).
Akses menuju Kabupaten Mamasa dari Makassar dengan menggunakan jalur darat
dapat dilakukan melalui Parepare, Pinrang, dan Polewali. Kondisi jalan ketika keluar dari
Polewali menuju Mamasa mendaki dan rusak arah sehingga jarak tempuh 90 km memerlukan
waktu sekitar 4-5 jam perjalanan. Kondisi jalanan yang rusak saat ini masih sama seperti
tahun 1970 sebagai mana ditulis dalam buku Buijs (2006). Akses ke Mamasa saat ini juga
sudah bisa dilakukan via jalur udara dengan pesawat dari Makassar ke Bandara Sumarorong
di Mamasa.
Berdasarkan olahan data Mamasa Dalam Angka tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan
2013 diketahui bahwa perbandingan antara penduduk laki-laki da perempuan cukup
proporsional dengan sex ratio berturut-turut tahun 2009-2012 sebesar 103 dan pada tahun
2013 adalah 102. Jumlah penduduk di Kabupaten Mamasa dalam kurun waktu lima tahun
3
terakhir terus bertambah. Pada tahun 2009 jumlah penduduknya sebanyak 123.309 jiwa,
tahun 2010 sebanyak 126.134 jiwa, kemudian bertambah cukup drastis menjadi 140.082 jiwa,
pada tahun 2012 jumlah penduduknya sebanyak 142.416, dan pada 2013 sebanyak 146.292
jiwa. Penduduk Mamasa menyumbang sebesar 0,062% dari total penduduk Indonesia.
Selengkapnya mengenai jumlah penduduk Mamasa dalam kurun waktu 5 tahun tersaji pada
Tabel 2.1. Gambaran perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan terdapat pada
Gambar 2.1.
Tabel 2.1. Jumlah penduduk laki-laki, penduduk perempuan, total penduduk, dan sex
ratiodi Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013
2009 2010 2011 2012 2013
160000
140000
120000
Jumah Penduduk
100000
80000 Laki-laki
Perempuan
60000
Jumlah
40000
20000
0
2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
4
Daya saing sumberdaya manusia dapat ditentukan oleh kualitas pendidikannya.
Berdasarkan data Mamasa Dalam Angka diketahui bahwa tingkat pendidikan yang
ditamatkan oleh penduduk Mamasa baik laki-laki dan perempuan semakin banyak dilihat dari
tahun 2009 hingga 2012. Tren ini dilihat berdasarkan jumlah tamatan pendidikan tinggi dari
diploma dan S1 ke atas yang semakin meningkat. Dengan tingkat pendidikan yang semakin
baik, Kabupaten Mamasa optimis untuk mencapai pembangunan yang lebih baik.
Tabel 2.2. Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan oleh Penduduk Laki-laki dan
Perempuan di Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2012
Pendidikan yang L P L P L P L P
Ditamatkan
pernah sekolah
SD/ Sederajat 13.905 14.346 21.768 21.484 26.461 26.137 11.398 12.569
SLTP/ Sederajat 7.601 7.208 8.182 8.562 8.358 9.281 8.124 7.537
SLTA/ Sederajat 6.310 6.041 7.243 5.761 8.608 7.093 9.600 8.764
Salah satu aset bagi pembangunan daerah adalah sumberdaya manusia yang produktif.
Aset tersebut di Kabupaten Mamasa terdiri dari perempuan dan laki-laki, baik yang bekerja
maupun para pengangguran terbuka, keseluruhannya termasuk dalam kategori usia produktif.
Berdasarkan data dari tahun 2009-2013 diketahui bahwa jumlah penduduk yang bekerja
meningkat pada tahun 2010 yaitu sebanyak 77.872 jiwa, sebelumnya di tahun 2009 berjumlah
73.024 jiwa. Jumlah tersebut turun pada tersebut turun pada tahun 2011 menjadi 65.377 jiwa,
tahun 2012 sebanyak 53.545 jiwa, dan kembali naik pada tahun 2013 menjadi 67.299 jiwa.
Untuk jumlah pengangguran terbuka dapat dikatakan bahwa jumlah dan potensi
pengangguran terbuka bagi perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
5
Tabel 2.3. Jumlah laki-laki dan perempuan bekerja dan pengangguran terbuka di
Kabupaten Mamasa tahun 2009-2013
Bekerja Pengangguran Terbuka
Sumber: Data Mamasa dala Angka Tahun 2009,2010, 2011 2012, dan 2013
6
90000
80000
70000
60000
50000
40000 Bekerja
30000 Pengangguran Terbuka
20000
10000
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
P
L
P
P
L
Sumber: Data Mamasa dala Angka Tahun 2009,2010, 2011 2012, dan 2013
Pada tahun 2007-2012 tercatat bahwa di Kabupaten Mamasa terdapat 1 rumah sakit
umum dan 1 rumah sakit swasta. Jumlah dokter umum yang tercatat di Kabupaten Mamasa
hingga pada tahun 2008 sebanyak 11 orang, dan bidan sebanyak 34 orang. Jumlah dokter
umum yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga pada tahun 2009 sebanyak 10 orang, dan
bidan sebanyak 67 orang. Jumlah dokter umum yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga
pada tahun 2010 sebanyak 15 orang, dan bidan sebanyak 104 orang. Jumlah dokter umum
yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga pada tahun 2011 sebanyak sembilan orang, dan
bidan sebanyak 62 orang. Jumlah dokter yang tercatat di Kabupaten Mamasa hingga pada
tahun 2012 sebanyak 18 orang yang terdiri dari dokter umum 16 orang dan 2 dokter gigi,
serta ada bidan sebanyak 63 orang.
Tabel 2.4. Jumlah Rumah Sakit, Jumlah Dokter, dan Jumlah Bidan di Kabupaten
Mamasa Tahun 2007-2012
7
Tahun Jumlah Rumah Sakit Jumlah Dokter Jumlah Bidan
2007-2008 1 1 11 - 34
2009 1 1 10 67
2010 1 1 15 104
2011 1 1 9 62
2012 1 1 16 2 63
Sumber: Mamasa Dalam Angka Tahun 2009, 2010, 2011, 2012, 2013
Rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan ternyata mendominasi rumah tangga
usaha pertanian di Kabupaten Mamasa. Dari sebanyak 27.431 rumah tangga usaha pertanian
di Kabupaten Mamasa, sebesar 99,95% merupakan rumah tangga usaha pertanian pengguna
lahan (27.418 rumah tangga). Sedangkan rumah tangga usaha pertanian bukan pengguna
lahan hanya sebesar 0,05%, atau sebanyak 13 rumah tangga.
8
Sumber: Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Mamasa
Gambar 2.3. Perbandingan rumah tangga pertanian pengguna lahan dan petani gurem
tahun 2013
Rumah tangga pertanian pengguna lahan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok
besar, yaitu rumah tangga petani gurem (rumah tangga usaha pertanian yang menguasai
kurang dari 5.000 m2 lahan) dan rumah tangga petani non gurem (rumah tangga usaha
pertanian yang menguasai lebih dari atau sama dengan 5.000 m2 lahan). Hasil ST2013
menunjukkan bahwa rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan masih didominasi oleh
rumah tangga petani gurem. Dari sebanyak 27.418 rumah tangga pertanian pengguna lahan di
Kabupaten Mamasa, sebesar 53,35 persen (14.628 rumah tangga) merupakan rumah tangga
petani gurem. Sedangkan rumah tangga petani non gurem tercatat sebesar 46,65 persen, atau
sebanyak 12.790 rumah tangga.
9
Tabel 2.5. Jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan dan rumah tangga
petani gurem menurut kecamatan tahun 2003 dan 2013
10
Kabupaten Mamasa adalah di Subsektor Tanaman Pangan, Subsektor Peternakan dan
Subsektor Perkebunan. Jumlah rumah tangga usaha pertanian Subsektor Tanaman Pangan
adalah sebanyak 23.619 rumah tangga dan jumlah rumah tangga usaha pertanian Subsektor
Peternakan adalah sebanyak 20.692 rumah tangga. Sedangkan rumah tangga usaha pertanian
Subsektor Perkebunan ada sebanyak 20.681 rumah tangga.
Subsektor Jasa Pertanian ternyata merupakan subsektor yang memilki jumlah rumah
tangga usaha pertanian paling sedikit, diikuti oleh Subsektor Perikanan. Jumlah rumah tangga
usaha pertanian Subsektor Jasa Pertanian pada tahun 2013 tercatat sebanyak 749 rumah
tangga, sedangkan jumlah rumah tangga usaha pertanian Subsektor Perikanan tercatat
sebanyak 2.947 rumah tangga. Peningkatan pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha
pertanian tertinggi antara tahun 2003 sampai tahun 2013 terjadi di Subsektor Peternakan,
yang mengalami pertumbuhan sebesar 61,72 persen. Sedangkan pada periode yang sama,
Subsektor Perikanan mengalami pertumbuhan jumlah rumah tangga usaha pertanian paling
rendah, yaitu tercatat sebesar 1.232 rumah tangga.
Tabel 2.6. Jumlah usaha pertanian menurut subsektor dan pelaku usaha tahun 2003
dan 2013
No Sektor/Subsektor Rumah Tangga Usaha Pertanian (RT)
2003 2013
1 Tanaman Pangan 19.245 23.619
Padi 16.081 21.436
Palawija 10.839 8.495
2 Hortikultura 6.080 4.825
3 Perkebunan 19.089 20.681
4 Peternakan 12.795 20.692
5 Perikanan 1.715 2.947
Budidaya Ikan 1.620 2.941
Penangkapan Ikan 97 12
6 Kehutanan 4.095 5.365
7 Jasa Pertanian 5.153 749
11
Sumber: Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 Kabupaten Mamasa
Sebagai salah satu penunjang kegiatan sosial ekonomi, keberadaan jalan dibutuhkan
sebagai pendukung pergerakan orang dan distribusi barang serta jasa di pusat-pusat kegiatan
perekonomian, perdagangan dan produksi yang akan dikembangkan. Selain jalan dibutuhkan
terminal angkutan umum yang belum dimanfaatkan secara optimal. Keberadaan terminal
yang dapat digunakan sebagai angkutan barang dan tempat transit pengangkutan barang.
Pergerakan angkutan darat yang relatif rendah di Kabupaten Mamasa ini menunjukkan bahwa
12
sarana angkutan umum yang relatif sangat sedikit dibandingkan dengan luas wilayah yang
harus dilayani, keterbatasan jaringan akses ke wilayah lain/sentra produksi baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Produksi listrik yang dihasilkan oleh PLN belum dapat memenuhi kebutuhan listrik
secara keseluruhan termasuk pemenuhan kebutuhan pengembangan. Pemenuhan kebutuhan
masih didominasi oleh kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan sosial. Pelayanan listrik
sangat dibutuhkan dalam mendukung kegiatan industri. Untuk itu, peningkatan produksi-pun
harus dilakukan agar pelayanan kepada masyarakat akan semakin baik. Potensi meningkatnya
kegiatan sosial ekonomi dalam waktu 5 tahun kedepan, memerlukan kebutuhan listrik sejalan
dengan bertambahnya jumlah dan aktifitas perekonomian penduduk.
13
pada tiga lempeng, sehingga dominan diwilayah selatan barat sulawesi tengah ke selatan,
dominan tanahnya terbentuk dari batuan granudiorit, sebagian lahan terbentuk dari pengaruh
volkanik dibagian selatan barat struktur Tawalean, yang diketahui saat ini dijumpai barisan
pengunungan yang memanjang dari utara ke selatan, hal ini dijumpainya barisan pegunungan
di sisi barat Mamasa dan selatan Mamuju. Sementara pada bagian tengah sampai timur
sebagian lahan terbentuk dari campuran volkan dengan batuan kapur (limestone) akibat
proses asimilasi yang eksesif dari pengaruh terbentuknya zona Kolonadale di bagian timur.
Itulah sebabnya pada bagian timur terbentuk tanah-tanah dengan struktur perbukitan lipatan
dominan dan masif.Karakteristik terbentuknya pola tipe tanah di wilayah Kabupaten Mamasa
terbentuk sebagai pengaruh dari proses stratologi batuan yang memberikan informasi
perbedaan tipologi fisik tanah dengan berbagai parameternya. Keragaan fisik lahan pada
bagian ini dicermati berdasarkan perbedaan karakteristik bahan induk, bentuk relief/landform
dan topografi/kemiringan lereng, sedangkan faktor iklim yang cenderung seragam karena
proses interpolasi dan dukungan data yang minim.
Berdasarkan pola hubungan informasi diatas, maka secara umum lokasi di wilayah
Kabupaten Mamasa, bila ditinjau berdasarkan toposekuen horisontal dari barat ke timur
14
diperoleh sebaran karakteritik fisik lahan diawali dari pembentukan intrusi volkan diwilayah
barisan pegunungan sampai pegunungan volkan dengan pengaruh bahan induk granudiorit
dan dominan andesit basaltik, pada wilayah perbukitan, dijumpai pengaruh volkan tua
dimana bahan induk terbentuk dominan pada batuan metamorfik dan sedikit pengaruh andesit
basaltik. Untuk wilayah berbukit kecil sampai dataran banjir dan meander dipengaruhi oleh
bahan induk aluvium akibat pengaruh pergeseran lempeng dan tumbukan serta pengaruh
aktivitas volkan tua akibat letusan dan sisa pengendapan di kaki gunung menimbulkan bahan
sisa letusan terkumpul di area bawah.
Beberapa bagian penting karakteristik pendukung lahan akan dijelaskan secara rinci
sesuai kebutuhan pengamatan yang dilakukan pada kajian fisik lingkungan yang dibuat pada
laporan kegiatan.
15
campur tangan manusia (antropogenik). Komposisi sifat tanah dan karakteritik lingkungan
fisik lahan merupakan instrumen utama dalam menilai potensi sumberdaya lahan sesuai
dengan tujuan pengelolaan. Pengembangan basis data unit lahan secara simultan diturunkan
dari unit parameter dan/atau komposisi sifat fisik kimia tanah dan karakteristik fisik
lingkungan lahan atas pertimbangan dasar karakteristik tingkat homogenitas dan
kompleksitas lahan sebagai informasi lokasi setempat (in-situ), maupun pertimbangan unit
dalam wilayah secara makro, sehingga lebih menggambarkan secara utuh lingkup satuan
lahan wilayah tersebut. Pertimbangan atas dasar satuan lahan tersebut, selanjutnya digunakan
untuk menilai kualitas lahan di wilayah Kabupaten Mamasa pada skala informasi 1:50.000,
sesuai dengan komposisi perencanaan ruang.
Berdasarkan komposisi satuan lahan tersebut diatas, maka unit lahan dengan
karakteritik homogen berdasarkan penilaian komposisi karakteristik fisik lahan, maka
diwilayah Kabupaten Mamasa diperoleh 12 satuan peta lahan (SPL) yang ditunjukan pada
Tabel 2.8.
16
Merupakan wilayah yang terbentuk karena proses fluvial dari bahan-bahan sungai
baru yang berumur muda sampai agak tua (resen/sub-resen), proses koluvial atau gabungan
dari kedua proses tersebut. Biasanya berlapis-lapis dengan tekstur beragam yang dicirikan
oleh adanya kerikil/batu yang bentuknya membulat(rounded). Wilayah kajian dominan
dijumpai kelompok lahan dataran banjir dimana pada bagian lembah sungai yang berbatasan
dengan alur sungai ditemukan bahan endapan dari sungai, akibat aktivitas luapan air pada
waktu banjir.
Makro pembentukan lahan diwilayah studi, ditunjukan oleh keadaan dimana dataran
yang relatif cukup berada diantara perbukitan dan lahan bergelombang terbentuk sebagai
sebab dari pengendapan bahan aluvial oleh pengaruh air dengan dari bahan pembawa lumpur,
pasir dan atau kerikil yang berumur agak tua (sub-resen). Kondisi lahan demikian dijumpai
pada lereng 0-3% dengan beda tinggi /relief datar dan cenderung memiliki pola drainase
dengan aliran yang berlingkar-lingkar dengan kecepatan arus lebih lambat (Au.1.1.2), dan
pada bagian yang lebih tinggi dijumpai memanjang disepanjang kanan-kiri aliran sungai,
terbentuk dari bahan-bahan endapan sungai yang kasar yang menyerupai tanggul sungai
(river Levee) (Au.2.2.1). Komposisi ini dominan dijumpai diwilayah studi tetapi secara
agregat luas hamparan relatif kecil sekitar 7% dari total luas wilayah.
Merupakan wilayah yang terbentuk karena proses gerakan tektonik dan proses
geomofik sehingga terjadi pengangkatan pada daratan banjir diwilayah bawah dalam jangka
waktu lama. Lahan dengan bentukan seperti demikian, merupakan daerah yang tersusun dari
bahan yang berasal dari pengikisan bahan dari pedalaman yang diendapkan di laut dangkal
dan kemudian terangkat. Pada wilayah studi, kondisi teras marin dijumpai di antara kaki
perbukitan dan dataran aluvial meander, dimana daerah teras cukup tererosi sedang sampai
berat akibat proses litologi. Umum wilayah demikian merupakan daerah peralihan bentuk
dari bahan endapan dan sedimen, pada wilayah datar sampai berombak dengan lerengan 15-
20% dan ketinggian dibawah <500 mdpl.
Pada wilayah kajian, kelompok lahan demikian dijumpai pada daerah berbukit kecil
sampai bergelombang akibat pengaruh intrusi volkan. Lahan demikian dijumpai sekitar 15%
dari luas total wilayah Kabupaten Mamasa, dimana dijumpai tanah Dystropepts, yang
tergolong tanah yang sudah berkembang lanjut, bersolum dalam, bertekstur halus, dan
drainase baik. Lahan dengan karakteristik demikian merupakan lahan dengan potensi
17
kesuburan tanah yang relatif rendah.Pada wilayah studi relatif lahan-lahan di wilayah
perbukitan sudah diusahakan tetapi dominan tidak intensif sehingga vegetasi dominan
kombinasi semak belukar yang ditanami pinus.
Volkan (V)
Kelompok lahan volkan pada wilayah kajian merupakan kelompok dominan, dimana
78% terhadap total luas wilayah menyebar dari dataran, kaki perbukitan sampai daeran
pegunungan. Umumnya bahan pembentuk lahan berasal dari endapan volkanik berupa tufa
masam dan lava volkanik dari proses pengangkatan dan lipatan. Pengaruh volkan tersebut,
dominan terbentuk pada wilayah perbukitan sampai pegunungan dari batuan volkan tua
melalui proses geomorfik dengan kelerengan diatas >30%, dan pada ketinggian diatas >500
mdpl.
Tipikal tanah dominan yang dijumpai pada kelompok lahan ini dibagi kedalam proses
penyebarannya dimana pada kelompok lahan yang terbentuk dari proses intrusi volkan
terbentuk dari volkan muda, sedangkan sebaran tanah daerah lereng atas sampai lereng
bawah dan kaki lereng, dideskripsikan tanah dengan solum dalam sampai sangat dalam,
drainase baik, tekstur sedang sampai agak kasar dominan di lereng atas dan semakin halus ke
lereng bawah. Pada kondisi demikian potensi kesuburan tanah relatif terbatas (sedang sampai
rendah) karena huminitasnya terpengaruh oleh proses erosi akibat interval kelerengan yang
tinggi. Beberapa wilayah pegunungan dijumpai tanah yang terbentuk dari volkan tua (proses
geomorfik) dengan kesuburan yang tinggi. Sebaran spasial satuan lahan diwilayah Kabupaten
Mamasa ditunjukan pada Gambar 2.6.
18
Gambar 2.6. Peta Sebaran Spasial Satuan Lahan Wilayah Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat
19
2.8.2. Bahan Induk
Struktur bahan induk di wilayah studi terbentuk sebagai proses geologi yang
terbentuk pada ratusan tahun melalui proses perubahan dan pertemuan lempeng Eurasia,
pasifik dan australia. Struktur batuan diwilayah pulau Sulawesi merupakan batuan yang
terbentuk secara komplek, struktur dominan bahan induk tidak dijumpai di pulau ini, akibat
proses tektonik, proses volkanik dan proses geomorfik. Kabupaten Mamasa memilik bahan
induk yang didominasi oleh batuan granit dan granodiorit yang tersebar merata. Bahan induk
yang berasal dari batuan granit dan granodiorit banyak mengandung mineral silikat. Pada
lahan dengan komposisi batuan pembentuk demikian, berkecenderungan memiliki potensi
kesuburan tanah yang rendah (kurang subur).Tetapi pada bagian lain pada kelompok batuan
dominan juga dijumpai bahan induk yang berasal yang terbentuk dari batuan andesit-basalt
yang kaya mineral basa, yang memiliki potensi kesuburan yang tinggi.Proporsional lahan
dengan asosiasi bahan induk andesit-basalt dominan berada pada bahan induk diwilayah
bergelombang sampai dataran volkan, dan tersebar minor pada lokasi perbukitan kecil dan
wilayah pegunungan.
20
Pola pemebntukan formasi tawalean, dipengaruhi oleh pola bentukan dari formasi
walanea dimana bagian perbukitan kecil sampai barisan dataran bergelombang dilingkupi dua
punggung pegunungan dari barat ke timur.Proses pembentukan bahan induk juga terbentuk
pada masa tersier tua (upper Terteary), dimana formasi terbentuk dari pengaruh erupsi bahan
basaltik, tufa dan aliran lava.Termasuk dalam formasi volkanik pada ketinggian diatas 1000
mdpl.(Gambar 2.8.) menunjukan penampang melintang formasi tersier tua
Pada bagian lain di wilayah studi juga dijumpai bahan induk yang berasal dari proses
endapan yaitu batuan metamorfik, asosiasi batuan pasir dan batuan liat dengan potensi
kesuburan yang lebih baik dari bahan induk batuan granit. Bahan induk tersebut
(metamorfik), terbentuk dari material yang dibawa aliran sungai adalah aluvium tersebar pada
daerah pinggir sungai (dataran banjir, yang cenderung memiliki tanah dengan kesuburan
tanah yang baik).
Sebaran spasial bahan induk di wilayah Kabupaten Mamasa disajikan pada Gambar
2.9. Dan komposisi sebaran berdasarkan proporsi luas lahan di Kabupaten Mamasa tersajikan
pada Tabel 2.9.
21
Gambar 2.9. Peta Sebaran Spasial Bahan Induk Wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat
22
2.8.3. Kelerengan
Persen
No Jenis Tanah Luas (Ha)
(%)
1 Fluventic Eutrudepts 843.7 0.3
2 Typic Dystrudepts 163,823.5 54.5
3 Typic Dystropepts 88,212.6 29.3
4 Typic Endoaquepts 9,346.0 3.1
5 Typic Fluvaquents 13,241.8 4.4
6 Typic Hapludults 25,120.3 8.4
300,588.0 100.0
Sumber : Analisis tim, 2014, disarikan dari sumber peta tanah
23
Pegunungan-Perbukitan
(>40%)
Perbukitan kecil-bergelombang
(15-20%)
Dataran aluvial
(0-3%)
Gambar 2.10. Ilustrasi karakteritik lahan berdasarkan beda ketinggian dan tingkat
kelerengan terhadap ragam aktivitas penggunaan lahan
24
Gambar 2.11. Peta Sebaran Spasial Kelerengan di Wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat
25
2.8.4. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan merupakan bentuk pemanfaatan dan atau fungsi dari perwujudan
suatu bentuk penutup lahan. Istilah penggunaan lahan didasari atas fungsi kenampakan
penutup lahan yang menggambarkan fungsi aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan
untuk kehidupan saat ini dan yang akan datang. Kenampakan visual lahan dengan berbagai
fungsi peruntukannya terjadi baik secara alamiah maupun bentuk aktivitas manusia terhadap
lahan bukan alamiah (buatan manusia). Lahan sebagai sumberdaya memiliki kecenderungan
bergerak atau berubah sesuai dengan penggunaan yang dikontrol oleh kemampuan yang
mendatangkan kemanfaatan tertinggi (Barlowe,R., 1986). Dinamika penggunaan lahan
mengikuti prinsip bahwa setiap perubahan dari pemanfaatan yang yang sesuai dari berbagai
penggunaan yang berbeda berubah ke penggunaan lain sesuai dengan kapasitas penggunaan
yang mampu ditampung. Kapasitas ini terkadang salah dimaknakan sehingga banyak terjadi
perubahan penggunaan atau pergantian penggunaan ke penggunaan lain melebihi kapasitas
sehingga yang terjadi kerusakan diakibatkan penggunaan berlebih (Ratcliff et.al, 1949).
Berdasarkan informasi sebaran spasial peta tutupan lahan dan hasil pengamatan
dilapang, bahwa sebaran penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Mamasa dominan
merupakan hutan sekunder seluas 151.978,7 hektar dengan pemanfaatan pertanian
berkecenderungan pemanfaatan lahan kering campuran seluas 109.573 hektar. Karakterisik
wilayah Mamasa yang demikian (sesuai penjelasan stratografi dan proses mofogenesa lahan
pada bagian diatas), menunjukan bahwa penggunaan lahan disarankan tidak pada
pemanfaatan lahan intensif khusus pada lahan perbukitan tengah sampai bawah, dimana lahan
demikian dominan pada wilayah ini.Pola tanam agroforesti, merupakan pola adaptif untuk
wilayah demikian. Potensi lahan dimanfaatan intensif pada lokasi daratan dengan kelerengan
0-3%, sementara diatas 15% pola agroforestri merupakan pilihan optimal, dan pada lahan
diatas 40% wilayah pegunungan dengan formasi graben optimal dimanfaatkan untuk
penggunaan lahan adaptif dataran tinggi. Karakterisitk lahan dengan pola pertanian campuran
secara deskriptif dilapangan adalah lahan usaha pertanian tanaman musiman yang bercampur
dengan jenis vegetasi pinus.Selengkapnya proporsi luas penggunaan lahan pada lokasi studi,
disajikan pada (Tabel 2.12.) dan (Gambar 2.12.).
26
Tabel 2.12. Sebaran Penggunaan lahan Kabupaten Mamasa
27
Gambar 2.12. Peta Sebaran Penggunaan Lahan di Wilayah Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat
28
BAB III
Location Quotient (LQ) merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub
wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas
wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total
aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang
diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif
seragam, (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan (3) setiap aktifitas menghasilkan
produk yang sama. Persamaan dari LQ ini adalah :
LQ
X IJ
/X I.
IJ
X .J
/X ..
Dimana:
Xij : derajat aktifitas ke-j di wilayah ke-i
29
- Jika nilai LQij> 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub
wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan
aktifitas di sub wilayah ke-i.
- Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara
dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-I sama dengan rata-rata total
wilayah.
- Jika nilai LQij< 1, maka sub wilayah ke-I tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil
dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah.
Shift-share analysis merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk
memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu
referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur
aktifitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi
(competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas
dalam cakupan wilayah lebih luas.
Persamaan
Sebagaimana dijelaskan di atas, dari hasil analisis shift share diperoleh gambaran
kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen
hasil analisis, yaitu :
30
2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen proportional shift). Komponen ini
menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan
pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika
sektor/aktifitas total dalam wilayah.
a b c
31
spasial dari komponen di dalam sistem maupun dengan sistem luar. Artinya suatu sistem
dikatakan berkembang jika jumlah dari komponen/aktifitas sistem tersebut bertambah atau
aktifitas dari komponen sistem tersebar lebih luas. Sebagai suatu contoh : perkembangan
suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah, misalnya
alternatif sumber pendapatan wilayah dan aktifitas perekonomian di wilayah tersebut,
semakin luasnya hubungan yang dapat dijalin antara sub wilayah-sub wilayah dalam sistem
tersebut maupun dengan sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktifitas ini dapat
dianalisis dengan menghitung indeks diversifikasi dengan konsep entropy.
Prinsip pengertian indeks entropy ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin
luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropy wilayah. Artinya wilayah tersebut
semakin berkembang. Persamaan umum entropy ini adalah sebagai berikut:
P 1 i Pr oporsi
i 1
S Pi Ln(Pi )
X1/x X2/x =1
Jika tabel terdiri dari baris dan kolom yang cukup banyak seperti tabel berikut:
X11 X21 X31 X41 Xp1
X12
Dalam identifikasi tingkat perkembangan sistem dengan konsep entropy ini berlaku
bahwa makin tinggi nilai entropy maka tingkat perkembangan suatu sistem akan semakin
tinggi. Nilai entropy itu sendiri selalu lebih besar atau paling tidak sama dengan 0 (S 0).
32
3.2. Analisis Ruang
Teknik penentuan titik pengambilan contoh tanah didasarkan pada kombinasi sistem
lahan, peta pola ruang, dan penggunaan lahan. Peta sistem lahan diperoleh dari data Regional
33
Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPoT) Tahun 1980 skala 1 : 250.000,
sedangkan peta pola ruang diperoleh dari data RTRW Kabupaten Mamasa Tahun 2009-2020
dengan skala 1 : 50.000. Penentuan titik pengamatan dilakukan dengan cara pengolahan data
spasial (overlay beberapa peta) dengan perangkat lunak pemetaan. Hasil dari tumpang susun
informasitersebut diperoleh beberapa titik rencana pengamatan lapang dan pengambilan
sampel/contoh tanah.Pengambilan contoh tanah yang dilakukan dalam kajian ini adalah
contoh tanah komposit. Pengambilan contoh tanah komposit adalah pengambilan contoh
tanah di 4 (empat) lokasi yang berbeda (dalam satu hamparan) dengan penggunaan lahan
yang sama, dan atau berbeda lokasi sesuai dengan tipikal stratum tanah yang dijumpai.
Pengenalan informasi tersebut dirancang sebelum dilakukan pengamatan lapangan.Komposit
tanah selanjutnya dilakukan agar diperoleh satu sampel tanah yang representatif (mewakili)
satuan lahan.
Analisis yang menggambarkan tingkat kecocokan satu bidang lahan untuk suatu
penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau
setelah diadakan perbaikan (improvement), lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut
ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi,
hidrologi, dan atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang
produktif (Djaenudin et al., 2003). Kriteria kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2003),
digunakan untuk proses evaluasi lahan dengan teknik padu-padan informasi atau
mengkombinasikan dan mencocokkan informasi (matching) antara karakteristik lahan dari
setiap Satuan penggunaan Lahan (SPL) dengan persyaratan tumbuh atau kriteria kesesuaian
lahan. Hasil dari analisis kesesuaian lahan akan diperoleh informasi kesesuaian berdasarkan
kondisi aktual lahan.
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan (Djaenudin et al., 2003), dibedakan atas dasar
tingkatan informasi tanah dan pemanfaatan sebagai berikut :
Sekuen pada tingkat Ordo. Keadaan dimana kelas kesesuaian lahan ditetapkan secara
global, dan hanya dibedakan pada dua kondisi yaitu potensial sesuai (S) dan lahan yang
tergolong tidak sesuai (N). Makna dari ordo tersebut tentu dibuat dan disesuaikan dengan
pertimbangan karakteritik lingkungan alami termasuk kondisi ekosistem khas dan
pertimbangan strutur dan budaya masyarakat lokal termasuk kearifan lokal masyarakat dalam
beradaptasi dengan alam, jika ordo-S (sesuai) dimaknakan suatu bentang lahan yang dapat
34
digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah
dipertimbangkan, dan ordo-N (tidak sesuai) dimana lahan yang mempunyai kesulitan
(lingkungan fisik) terbatas pemanfaatannya karena penghambat alami dominan.
Pada tingkat sekuen Kelas. Pada level ini, kesesuaian suatu bentang lahan diskemakan pada
tiga kelas, yaitu lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal
(N).Makna dari setiap informasi ditunjukan terhadap pengikat dari faktor yang membatasi
penggunaan, Untuk kelas S1 (sangat sesuai) dimana ahan tidak mempunyai faktor pembatas
sesuai untuk beragam pemanfaatan. Pada timgkatan kelas S2 (cukup sesuai), ditunjukan oleh
keadaan dimana suatu bentang lahan atau lahan tertentu mempunyai faktor pembatas
berpengaruh terhadap upaya peningkatan produktifitas dengan tambahan teknologi input
produksi. Pada kelas S3 (sesuai marginal), dimana suatu lahan mempunyai faktor pembatas
dominan (berat) terhadap upaya peningkatan produktifitas dengan tambahan teknologi input
produksi yang lebih banyak dan modal yang lebih besar. Dan pada tingkatan kelas kesesuaian
N (tidak sesuai), menunjukan bidang lahan yang tidak sesuai (N) karena faktor pembatas
yang sangat berat dan atau sulit diatasi.
Tingkat sekuen Subkelas. Menunjukan suatu kondisi atau keadaan pada tingkatan dimana
pada tingkat subkelas dibedakan atas dasar pertimbangan kualitas dan karakteristik lahan
yang menjadi faktor pembatas terberat. Introduksi untuk meminimumkan faktor pembatas
dilakukan jika suatu bidang lahan berkemampuan untuk bisa dilakukan perbaikan dan
ditingkatkan kelasnya sesuai dengan masukan yang diperlukan.
Tingkat sekuen Unit. Dilakukan pada suatu keadaan dimana tingkatan dalam subkelas
kesesuaian lahan atas dasar sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua
unit yang berada dalam satu subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas dan
mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkatan subkelas. Unit yang satu berbeda dari
unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan
sering merupakan pembedaan detil dari faktor pembatasnya.
35
yang sesuai.Potensi lahan yang dapat dioptimalkan tentu mempertimbangkan aspek legalitas
lahan dari perspetif ruang melalui dokumen rencana tata ruang wilayah (pola ruang)
berdasarkan penetapan fungsi kawasan.Potensial lahan yang sesuai tentu secara ruang
diletakan dalam fungsi kawasan budidaya dengan penggunaan lahan yang mungkin
penggunaannya belum optimal tetapi kesesuaian lahan aktual dapat dilakukan.Penetapan
lahan berpotensi dilakukan teknik spasial dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan
mengkombinasikan ruang informasi attribut sehingga ruang potensial untuk pengembangan
komoditas unggulan. Penilaian potensi lahan pada penelitian ini dibuat dengan kriteria :
(1). Merupakan lahan kawasan budidaya yang sudah ditetapkan dalam RTRW,
(2). Memiliki kelas kesesuaian lahan tingkat sub grup S1, S2, dan S3 dengan pembatas faktor
fisik.
(3). Merupakan arahan pengembangan yang sudah ditetapkan oleh PEMDA,
(4). Penggunaan lahannya berupa lahan pertanian (misalnya : sawah, kebun campuran,
perkebunan, tegalan) atau lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal (ahan terbuka,
semak, belukar dll).
3.4.1. Pertanian
Analisis keragaan penggunaan lahan dilakukan dengan mengamati kenampakan
aktual komoditas utama di lapang antara lain tanaman kopi, kakao, sawah, hortikultur dan
rumput useng, serta komoditas peternakan seperti kerbau, babi dan potensi perikanan.
Pengamatan aktual dilakukan pada sistem pengelolaan yang mencakup teknis
budidaya, produktivitas, dan analisis biaya input dan output, dan juga potensi pemasaran.
Analisis keragaan ekonomis komoditas ditujukan untuk melihat aktual keuntungan
atau potensi keuntungan yang dapat diperoleh jika dilakukan pengelolaan seperti saat ini, dan
juga kemungkinan peningkatan produktivitas dengan berbagai pengelolaan yang lebih baik
dan memungkinkan diadopsi masyarakat.
3.4.2. Peternakan
Analisis Potensi Penyediaan Hijauan Pakan Ternak Ruminansia
36
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis tanaman makanan ternak
yang tumbuh di padang penggembalaan/kandang umum. Jenis tanaman yang diidentifikasi
adalah tanaman rumput, leguminosa dan gulma (tanaman pengganggu).
37
3. Analisis Potensi Ketersediaan Bahan Pakan Konsentrat
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan pakan, baik kuantitas, kualitas
serta kontinuitasnya. Analisis data dilakukan dengan melihat sumber-sumber penyediaan
pakan yang berasal dari perkebunan, tanaman pangan serta industri pengolah hasil pertanian.
Data tersebut diolah dengan menghitung konversi dari luas tanam ke potensi penyediaan
limbah baik berupa bahan konsentrat maupun limbah hijauan. Potensi ketersediaan pakan
sumber konsentrat dihitung berdasarkan produksi limbah-limbah pengolahan hasil pertanian
yang dapat dimanfaatkan maupun yang potensial dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Potensi pakan ternak sebanding dengan luasan tanaman pertanian yang diusahakan.
38
rumah tangga melihat pembagian-pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, baik
dalam pembagian kerja dan tanggungjawab pada aktivitas ekonomi (Peternak, pencari
rumput,pedagang, dsb), pembagian berdasarkan komoditas yang dikelola, akses terhadap
sumberdaya (organisasi petani, penyediaan bibit, pelatihan) maupun juga kuasa dalam
membuat keputusan-keputusan penting terhadap masalah aset yang ada di rumah tangga.
Aspek kelembagaan dianalisa dengan mengidentifikasi kelembagaan sosial yang sudah ada
baik itu formal dan non-formal, juga pilar-pilar dalam penguatan kelembagaan untuk
pengembangan komoditas. Identifikasi kelembagaan formal-nonformal dilihat dari
jenis,aktivitas, basis, karakterisitik, serta proyeksi kerjasama suatu kelembagaan beserta
potensinya.
Analisis penentuan komoditas unggulan suatu wilayah secara fisik dinilai berdasarkan
atas komposisi karakter lingkungan fisik yang sesuai untuk pengembangan komoditas lokal
yang sesuai. Perencanaan pemanfaatan ruang tentu terkait dengan faktor yang dianggap
utama atau parameter penentu untuk penetapan basis unggulan suatu daerah, dapat dilakukan
dengan cara, (pertama), penetapan atas pertimbangan permintaan dan penawaran dan
(kedua), kombinasi faktor pertama dengan pertimbangan fisik dari tingkat kesesuaian dan
ketersediaan lahan. Analisis sisi penawaran dimaksudkan untuk mengetahui potensi
penawaran dari perspektif riil produksi yang secara tidak langsung juga menggambarkan
preferensi masyarakat dalam mengusahakan suatu komoditas di wilayah penelitian,
sedangkan analisis terkait sisi permintaan ditujukan untuk memahami besaran konsumsi atas
dasar potensi pengembangan khususnya potensi pasar pada wilayah lokal (penelitian)
terhadap lingkup dan atau pada cakupan wilayah yang lebih luas. Kombinasi antara kedua
faktor tersebut diatas dengan kompisisi lahan potensial berdasarkan identifikasi fisik wilayah
potensial merupakan kunci utama dalam penentuan komoditas “unggulan” dimaksud
penelitian ini.
39
Panjang Pemerintah Daerah (RPJMD), mempunyai keunggulan komparatif, mempunyai
keunggulan kompetitif, adanya prospektif sejarah, komoditas yang adaptif secara sosial,
mempunyai prospek pasar, sesuai secara fisik lingkungan dan sesuai secara infrastruktur.
Suatu komoditas dianggap penting, jika dari sisi kebijakan pembangunan sudah
muncul dalam dokumen perencanaan.Umumnya dalam kebijakan disajikan berbagai
komoditas yang dianggap penting.Komoditas yang dinyatakan dalam dokumen kebijakan
selanjutnya dilihat dari sisi keunggulan komparatif yang dalam hal ini melihat basis tanaman
yang sudah berkembang di suatu wilayah dan secara relatif; dan ditambah dengan keunggulan
kompetitif, yang melihat stabilitas suatu tanaman dalam suatu kurun waktu tertentu.Semakin
stabil atau meningkat keberadaaan suatu komoditas maka sebaik dianggap kompetitif.
Untuk kemudahan pengembangan komoditas maka aspek sejarah dan sudah diadopsi
oleh masyarakat sangat penting.Jika memungkinkan suatu komoditas dianggap unggul jika
masyarakatnya mampu mengelola dan dalam hal ini komoditas tersebut bisa sudah lama
sekali dikelola, sehingga upaya pengembangan berbasis pengetahuan atau teknologi mudah
diaplikasikan. Kondisi lain yang perlu diketahui adalah suatu komoditas adakalanya tidak
berkembang karena kondisi lain yang membuatnya tidak berkembang.
Pertimbangan penting lain adalah dilihat dari sisi fisik dan ekonomi. Pertimbangan
fisik lingkungan, diharapkan komoditas yang dianggap unggul adalah komoditas yang sesuai
untuk lingkungan setempat. Komoditas dan kuantitas wilayah yang sesuai menjadi penting
jika akan dikembangkan suatu komoditas.
Parameter terakhir yang akan dilihat dari pemilihan komoditas unggulan adalah
peluang ekonomi yang akan ditimbulkan komoditas tersebut dalam jangka panjang ataupun
jangka pendek.
Pemilihan komoditas ini dilakukan dengan mencocokan dalam tabulasi dan
selanjutnya dilihat dari perspektif ruang.Dalam hal komoditas yang dianggap unggulan
selanjut diletakkan dalam RTRW.Semakin luas daerah yang sesuai dari sisi fisik dan ruang,
maka potensi pengembangan juga makin besar atau dalam hal ini perbaikan teknologi
pengelolaan dilakukan. Variabel lain yang penting tetapi berlalu untuk seluruh komponen
adalah infrastruktur, tetapi untuk kasus dalam suatu wilayah maka sudah menjadi kewajiban
pemerintah menyesuaikan dengan prioritas pengembangan.
Penentuan akhir suatu komoditas unggulan adalah jika semua persyaratan atau
dominan persyaratan yang disampaikan terpenuhi. Semakin banyak terpenuhi parameter yang
dimaksud, maka semakin mudah pengelolaan yang akan dilakukan.
40
3.7. Pengembangan program
41
BAB IV
Dalam analisis regional setidaknya terdapat 3 (tiga) butir pokok yang memberikan
gambaran bagaimana posisi setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat. Ketiga poin
tersebut mencakup (1) kinerja perekonomian wilayah, (2) perkembangan struktur ekonomi
wilayah, dan (3) sektor unggulan komparatif dan kompetitif. Ketiga poin tersebut selanjutnya
akan dibahas secara lebih terperinci.
Gambar 4.1. Grafik Nilai PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat tahun
2012 berdasarkan harga konstan tahun 2000 (juta rupiah)
42
Selanjutnya berdasarkan nilai PDRB dibagi jumlah penduduk Kabupaten
Mamasamenempati urutan ke-2. Secara kasat mata hal ini menunjukkan bahwa produktivitas
masyarakat di Kabupaten Mamasa relatif lebih baik dibandingkan dengan 3 (tiga) kabupaten
lainnya (Gambar 4.2).
Nilai PDRB per Kapita Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2012
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (juta rupiah)
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara
Berikutnya berdasarkan nilai rasio PDRB terhadap luas wilayah, ternyata Kabupaten
Mamasarelatif menempatipada kelompok yang rendah, terdapat kesenjangan yang sangat
tinggi dibandingkan terhadap duawilayah lainnya yaitu: KabupatenMajene dan Polewali
Mandar (Gambar 4.3). Hal ini tidak terlepas dari kondisi wilayah Kabupaten Mamasa yang
topografi berbukit. Berdasarkan hasil survei lapangan, dketahui bahwa luasnya wilayah
Kabupaten Mamasa yang didominasi oleh lahan-lahan dengan topografi perbukitan sehingga
perkembangan permukimannya masih terbatas. Sayangnya lahan-lahan perkebunan,
khususnya kopi dan kakao bersifat tradisional dan industri pengolahan belum mendukung
sehingga nilai tambah yang dapat dihasilkan langsung mengalir ke luar wilayah. Kondisi ini
menunjukkan bahwa sejauh ini Kabupaten Mamasa dalam konteks ekonomi lebih berfungsi
sebagai wilayah produksi. Akibatnya akumulasi nilai tambah yang terjadi di dalam wilayah
relatif kecil, dan produk yang ada langsung mengalir ke luar wilayah.
Nilai PDRB per Luas wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Barat Tahun
2012 Atas Dasar Harga Konstan 2000 (juta rupiah)
900,00
800,00
700,00
600,00
500,00
400,00
300,00
200,00
100,00
0,00
Majene Polewali Mandar Mamasa Mamuju Mamuju Utara
Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa apabila dalam suatu wilayah terjadi
perkembangan sektor primer (pertanian atau pertambangan), sekunder (industri pengolahan),
dan tersier (jasa) yang merata, maka dapat dinyatakan bahwa telah terjadi keterkaitan antar
sektor dari hulu ke hilir sehingga nilai tambah yang diperoleh akan menjadi lebih maksimal.
44
Dengan keragaan ekonomi yang memiliki tingkat perkembangan yang erat antar sektor maka
dapat dikatakan bahwa struktur ekonomi di wilayah tersebut telah berkembang.
Tabel 4.1. Persentase Nilai PDRB per sektor tahun 2010 dan Nilai Indeks Diversitas di
Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Barat
Transportasi dan
N Kabupaten/Kota Indeks
Listrik, Gas dan
Keuangan, Real
Estate dan Jasa
dan Penggalian
Pertambangan
Perdagangan,
Pengangkutan
Perusahaan
Pengolahan
Konstruksi
Air Bersih
Jasa-Jasa
Pertanian
Hotel dan
o Diversitas
Restoran
Industri
1 Majene 45,12 0,72 4,50 0,92 6,28 12,06 5,16 10,69 14,55 0,76
2 Polewali Mandar 45,76 0,33 2,89 0,85 2,69 23,49 2,93 6,03 15,03 0,69
3 Mamasa 54,04 0,73 5,58 0,29 6,16 9,78 2,04 5,33 16,06 0,67
4 Mamuju 46,08 1,82 3,29 0,52 5,62 9,00 3,45 7,17 23,06 0,72
5 Mamuju Utara 39,05 0,61 36,26 0,18 3,65 1,87 3,19 3,96 11,24 0,66
45
Karena itu ke depan harus diupayakan agar nilai tambah yang ada dapat
terakumulasikan di dalam wilayah dengan cara mengembangkan infrastruktur-infrastruktur
penunjang yang dapat menangkap nilai tambah. Sebagai contoh berkembangnya infrastruktur
berupa penyediaan jalan, listrik, air bersih, transportasi khususnya transportasi darat, sarana
pendidikan serta kesehatan akan memberikan nilai tambah. Selain itu dengan mendorong
perkembangan perekonomian misalnya pasar, pertokoan, perbankan, hiburan atau wisata, dan
sebagainya juga akan meningkatkan kemamampuan daerah dalam menangkap nilai tambah
dari para pelaku usaha.
46
Tabel 4.2. Hasil Analisis LQ di Level Sektor Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Barat
Keuangan, Real
No Kabupaten/Kota
Pengangkutan
Perdagangan,
Transportasi
Listrik, Gas
Perusahaan
Konstruksi
Pengolahan
Jasa-Jasa
Pertanian
Hotel dan
Restoran
Industri
dan
1
Majene 1,00 0,69 0,55 1,62 1,26 0,97 1,50 1,57 0,83
2 Polewali 1,00 0,31 0,33 1,45 0,56 1,79 0,90 0,91 0,97
Mandar
3 Mamasa 1,18 0,68 0,63 0,51 1,28 0,81 0,61 0,78 0,94
4 Mamuju 1,01 2,16 0,41 0,87 1,35 0,72 1,05 1,12 1,29
5 Mamuju Utara 0,84 0,68 4,18 0,23 0,74 0,14 1,01 0,64 0,70
Keterangan : yang berwarna merah menunjukkan pemusatan (nilai LQ > 1)
Kemudian berdasarkan hasil analisis pemusatan (LQ) di level sub sektor, untuk sektor
pertanian ternyata Kabupaten Mamasa memiliki pemusatan di sub sektor (1) tanaman pangan
(2) perkebunan, (3) kehutanan, dan (4) peternakan. Ini menunjukkan bahwa tingginya nilai
tambah sektor pertanian banyak disumbangkan oleh aktivitas keempat subsektor tersebut,
namun sumber daya perikanan kelihatannya belum mampu berperan signifikan. Untuk lebih
jelasnya hasil analisis LQ di level sektor dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Hasil Analisis LQ di Level Sub Sektor Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi
Barat
Wilayah/Subsektor Majene Polewali Mamasa Mamuju Mamuju
Mandar Utara
a. Tanaman Bahan Makanan 0,85 1,16 1,63 1,02 0,29
b. Tanaman Perkebunan 0,90 0,56 1,07 1,12 1,64
c. Peternakan dan Hasil- 1,02 1,58 1,52 0,64 0,15
hasilnya
d. Kehutanan 0,21 1,03 1,00 1,35 0,93
e. Perikanan 1,79 1,74 0,21 0,74 0,08
a. Minyak dan Gas Bumi
b. Pertambangan Bukan Migas
c. Penggalian 0,74 0,35 0,73 2,07 0,65
a. Industri Migas
b. Industri Bukan Migas **) 0,52 0,33 0,65 0,38 4,08
47
Wilayah/Subsektor Majene Polewali Mamasa Mamuju Mamuju
Mandar Utara
a. Listrik 1,60 1,49 0,49 0,83 0,32
b. Gas Kota 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
c. Air Bersih 1,19 0,88 0,95 1,59 0,03
KONSTRUKSI 1,35 0,59 1,33 1,27 0,73
a. Perdagangan Besar & 0,94 1,86 0,78 0,70 0,14
Eceran
b. Hotel 1,39 1,16 0,63 1,20 0,32
c. Restoran 1,41 1,44 1,03 0,88 0,03
a. Pengangkutan 1,58 0,89 0,45 1,05 1,08
b. Komunikasi 1,35 0,94 1,32 1,05 0,49
a. Bank 1,41 1,09 0,66 1,18 0,45
b. Lembaga Keuangan Bukan 1,60 0,52 0,72 1,64 0,45
Bank
c. Jasa Penunjang Keuangan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
d. Real Estat 1,75 0,79 0,92 1,02 0,83
e. Jasa Perusahaan 0,67 1,50 0,42 1,35 0,12
a. Pemerintahan Umum 0,81 0,91 0,94 1,35 0,71
b. Swasta 1,50 1,18 1,35 0,83 0,29
Keterangan : warna merah menunjukkan pemusatan (nilai LQ > 1) khusus
sektorpertaniandiwilayah kajian
Selanjutnya berdasarkan nilai PDRB per sektor tahun 2010 dan 2012 dilakukan Shift
Share Analysis (SSA) untuk mengetahui pergeseran sektoral, sehingga dapat diketahui
keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh Kabupaten Mamasa. Dalam analisis SSA dapat
didekomposisi sumber pergeseran sektor ekonomi dapat disebabkan oleh (1) pertumbuhan
total sektor di total wilayah dalam hal ini Provinsi Sulawesi Barat, (2) pertumbuhan sektor
tertentu di total (Provinsi Sulawesi Barat), dan (3) pertumbuhan sektor tertentu di wilayah
tertentu dalam hal ini Kabupaten Mamasa. Komponen 1 dinamakan dengan Regional Share,
komponen kedua dinamakan dengan Proportional Shift, sedangkan komponen 3 dinamakan
Differential Shift.
Suatu sektor di suatu wilayah dinamakan kompetitif jika komponen differential shift-
nya positif. Artinya pergeseran sektor tersebut di wilayah tertentu lebih banyak disumbang
oleh faktor-faktor dari dalam atau internal wilayah itu sendiri. Jika pergeseran sektor tersebut
di wilayah tertentu lebih banyak disumbang oleh faktor-faktor eksternal (memiliki nilai
regional share dan proportional shift yang besar) maka pada saat kondisi eksternalnya
berubah, sektor tersebut juga akan ikut berubah.
48
Berdasarkan hasil analisis SSA, Kabupaten Mamasahanya sektor konstruksi dan
pertambanganyang nilai differential shift-nya positif. Sektor-sektor inilah yang kemungkinan
besar tidak banyak terpengaruh oleh faktor eksternal. Namun untuk sektor tambang yang
utama adalah galian C, subsektor iniberifat sangat lokal, sehingga tidak mampu menciptakan
dampak multiplier effect yang optimal bagi sektor-sektor ekonomi lainnya.
Sementara sektor-sektor yang memiliki keunggulan komparatif berdasarkan analisis
LQ khususnya sektor pertanian ternyata pertumbuhannya lebih banyak dipengaruhi oleh
faktor eksternal. Artinya apabila kondisi eksternal wilayah tidak mendukung maka aktivitas
sektor tersebut di Kabupaten Mamasa akan ikut menurun. Kinerja dari sektor ini lebih banyak
ditentukan oleh kondisi regional dibandingkan dengan kondisi di tingkat lokal. Sehingga
diperlukan upaya bersama di level regional berupa kerjasama antar daerah. Secara jelas hasil
analisis SSA dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Proportiona
Differential
No Wilayah/ Mamasa Sulbar SSA
Regional
l Shift
Share
Sektor
Shift
2010 2012 2010 2012
49
4.1.4. Pentingnya Sektor Pertanian dalam Pembangunan Dikaitkan dengan
Perencanaaan Pembangunan Kabupaten Mamasa
Kontribusi Sektor PDRB terhadap Total PDRB Mamasa Tahun 2012 Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 2000
60% 54,04
50
40
30
20 16,06
9,78
10 5,58 6,16 5,33
0,73 0,29 2,04
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gambar 4.4. Kontribusi Sektor PDRB terhadap Total PDRB Mamasa tahun 2012 atas
dasar harga konstan tahun 2000
Selanjutnya pada Gambar 4.5 berikut menunjukkan kontribusi sektor pertanian dari
tahun 2005-2012, terlihat kontribusi sektor ini yang semakin menurun terhadap total PDRB,
namun masih mendominasi lebih dari 50%, begitu juga kontribusi setiap subsektornya
50
terhadap total PDRB yang fluktuatif antar subsektor (Tabel 4.5). Di satu sisi Kabupaten
Mamasa memiliki potensi pertanian yang sangat baik namun belum memberikan dampak
multiplier effect yang optimal bagi sektor-sektor ekonomi lainnya..
62,00 62,46
61,36
60,00 60,34
59,78 59,38
58,00
56,00 55,93
54,75
54,00 54,04
52,00
50,00
48,00
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 4.5. Grafik Kontribusi PDRB Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB
Mamasa Tahun 2012Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Tabel 4.5. Kontribusi Sub Sektor terhadap Total PDRB Kabupaten Mamasa
Tahun 2005-2011
Tahun
a. Tanaman Bahan Makanan 30,15 29,45 28,90 30,01 30,73 29,22 27,67
c. Peternakan dan Hasil-hasilnya 3,87 3,84 3,84 3,93 4,13 3,59 3,50
51
Jika diurai lebih lanjut bagaimana kontribusi masing-masing subsektor pertanian
terhadap sektor pertanian,sub sektor tanaman pangan dan sub sektor perkebunanyang
merupakan kontribusi terbesar, sementara ketiga subsektor lainnya cenderung stabil rendah
(Gambar 4.6). Namun demikian khusus subsektor perikanan berdasarkan kondisi
dilapangan, sumber air dan kondisi lingkungan yang masih baik sangat prospektif untuk
dikembangkan karena memiliki keungglan alamiah, tinggal bagaimana memperkenalkan
teknolgi budidaya air tawar yang sesuai dengan karakteristik alam yang dimiliki Kabupaten
Mamasa. Sub sektor perikanan ini diyakini merupakan salah satu sektor yang diproyeksikan
akan mengalami peningkatan kontribusi terhadap ekonomi masyarakat.
51,75 52,24
50,00 48,27
50,20 49,46
47,99 47,90 Tanaman
42,62 42,61 Pangan
42,46 Perkebunan
40,00 40,12
38,23 38,64
37,78
Peternakan
30,00 Kehutanan
Perikanan
20,00
Gambar 4.6. Grafik Kontribusi PDRB setiap Sub sektor Pertanian Terhadap Sektor
Pertanian Mamasa Tahun 2005-2011 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas perlu upaya pembangunan yang memiliki
basis sumberdaya yangpotensial untuk dikembangakan. Keadaan ini menuntut arah
pembangunan yang mempertimbangkan penggunaan sumberdaya lokal yang memberikan
efek pengganda yang besar bagi serapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, kesejahteraan
masyarakat, didukung ketersediaan sumber daya, dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan
konsep pembangunan berkelanjutan yakni mempertimbangkan dukungan aspek sosial,
52
ekonomi dan lingkungan. Dengan prinsip dasar demikian, maka sektor pertanian dalam arti
luas khususnya harus didorong untuk berkembang dengan menciptakan melalui
pengembangan agroindustri.
Ke depan diharapkan dapat terus memberikan andil yang besar dalam pembentukan
fondasi ekonomi daerah yang kuat melalui keterlibatan masyarakat/rakyat kecil dengan
berciri ekonomi kerakyatan yaitu dengan mengembangkan pendekatan pembangunan yang
melibatkan kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat setempat dalam bentuk
pengelolaan secara bersama (co-management) berbasis masyarakat sehingga dapat
menggerakkan ekonomi riil daerah yang dinamis. Dengan kata lain masyarakat adalah
pelaku utama pembangunan di kabupaten Mamasa.
Hal ini sejalan jika kita lihat dalam Dokumen RPJP arah, tahapan, dan prioritas
pembangunan jangka panjang Kabupaten Mamasa tahun 2005-2025. Tahapan dan skala
prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah, dimana
tahun 2013 – 2018 merupakanberkelanjutan RPJMD ke 1 dan 2 ditujukan untuk lebih
memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan
percepatan pembangunan dan roda perekonomian daerah dipacu melalui penerapan sistem
agrobisnis dan agroindustri berlandaskan sumberdaya lokal.Dalam Dokumen RPJMD
Kabupaten Mamasa Tahun 2013-2018 tersebut dimana untuk mengukur keberhasilan
pembangunan daerah periode 2013-2018 maka ditetapkan indikator kinerja sasaran,
diantaranya pada tujuan-1 : Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merata bagi seluruh
masyarakat. Dimana pada indikator kinerja sasaran;Untuk mengukur keberhasilan
pencapaian sasaran, maka ditetapkan sejumlah indikator kinerja berdasarkan sasaran, sebagai
berikut:
53
4.2. Perencanaan Pemanfaatan Ruang dan implementasi
Tabel 4.6. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang di Kab Mamasa Tahun 2010 – 2029
No Jenis Penggunaan Luas (ha) Persen
54
Gambar 4.7. Kenampakan perencanaan pemanfaatan ruang di Kabupaten Mamasa
55
Dari dokumen draft RTRW dinyatakan bahwa penentuan fungsi kawasan ini sudah
menggunakan peraturan secara legal dan pertimbangan fisik lingkungan. Untuk kawasan
berfungsi lindung di bawahnya dipergunakan kriteria seperti a) kemiringan lereng >45 % dan
tanahnya peka terhadap erosi (Regosol, Litosol, Organosol, Gley dan Renzina) pada
kemiringan di atas 15 % (>15 %); b) Unit lahan yang memiliki registrasi sebagai hutan
lindung; c) Kawasan yang mempunyai skor lebih dari 175 menurut SK Mentan
No.837/KPTS/Um/11/1980; dan d) kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas 2000
meter atau lebih di atas permukan laut. Kriteria-kriteria ini kalau diterapkan maka daerah
berfungsi lindung akan lebih banyaknya khususnya akibat kelerengan yang lebih besar dari
45%. Demikian juga jika dilakukan penggabungan dengan pendekatan kebencanaan
khususnya potensi longsor, maka diduga daerah yang disarankan pengelolaannya sangat
terbatas akan semakin luas.
Selain itu, di perencanaannya disusun juga Kawasan Lindung Spiritual dan Kearifan
Lokal, yang meliputi a) bangunan Rumah Adat yang tersebar di beberapa wilayah; b)
bangunan Gereja Peninggalan Kolonial;.dan c) lokasi prosesi adat yang terdapat di semua
wilayah kecamatan.
Sedangkan untuk kawasan Budidaya, maka perhatian utama diarahkan ke daerah
perkebunan dan pertanian (lahan basah dan lahan kering). Daerah perkebunan yang
direncanakan berdasarkan kriteria di luar kawasan lindung berdasarkan kriteria kehutanan
dengan skor <125; dan secara teknis dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan.
Sedangkan kriteria untuk daerah pertanian khususnya lahan basah diarahkan pada daerah
berlereng <40%, ketinggian <1000 meter; kedalaman efektif lapisan atas >30 cm dan curah
hujan tinggi. Kemudian kriteria untuk pertanian lahan kering, antara lain: Ketinggian< 1000
56
m dan kelerengan< 40%; kedalaman efektif lapisan tanah atas> 30 cm; dan curah hujan
antara 1500 – 4000 mm per tahun.
57
Jika dilihat kriteria daerah pertanian seperti lahan sawah yang ada dalam dokumen
adalah daerah berlerang <40 persen, dan solum dalam. Kedua kriteria ini kelihatannya perlu
dimodifikasi. Untuk membuat teras sawah tidak disarankan pada kemiringan lereng lebih dari
15 persen, karena potensi adanya longsor. Sedangkan untuk kedalaman solum, tidak menjadi
masalah untuk kedalaman solum tanah kurang dari 30 cm. Tetapi pertimbangan penting
adalah upaya menekan potensi daerah longsor jika suatu lahan berlereng akan dijadikan
sawah. Karakter arah lapisan bahan induk dapat dijadikan sebagai acuan. Pada daerah yang
lapisan tanahnya sejajar dengan bidang luncur dan atau lapisan kemiringan lereng, maka
tidak disarankan dibuat teras sawah berlereng.
Sedangkan untuk pengembangan lahan kering setahun, selain dapat dilakukan di
lahan datar, maka juga dapat dikembangkan di lahan berlereng. Dalam hal ini mengingat
sebagian tanah yang ada mempunyai kesuburan tanah rendah, maka pemilihan tanaman lahan
kering yang tidak membutuhkan pupuk tinggi perlu diperhatikan. Pengembangan bahan
pakan yang bersumber dari tanaman pertanian perlu dikembangkan, seperti ubi jalar atau
lainnya yang mungkin berpotensi di wilayah ini. Tanaman seperti rumput useng adalah salah
satu contoh yang belum diphami secara baik pengelolaannya.
Sebagai catatan penting, mengingat sumberdaya air relatif besar dan belum
dimanfaatkan, maka ada baiknya pengembangan pemanfaatan potensi tersebut perlu
dikemabgnkan. Pengembangan perikanan yang diintegrasikan dengan sawah adalah salah
bentuk, yang dikombinasikan dengan pengembangan energi listrik mikrol Pengembangan
pertanian lahan kering, juga memerlukan air yang memadai.
58
Tabel 4.7. Hasil pengamatan fisik di lokasi pengambilan sampel tanah
Lokasi sampel Relief Kemiringan Tebal Ordo tanah
(%) solum
Kecamatan Nosu Bukit 45 15 Entisols
Kecamatan Nosu Agak 3 34 Inseptisols
datar
Kecamatan Bukit 40 28 Inseptisols
Rantebulahan
Kecamatan Bukit 5 35 Inseptisols
Bambang
Sumber : Hasil survei lapangan Tim, Mei 2014
59
Surveyor : Selamet K. Lokasi : Batu papan Kec. Nosu
No. Pemboran : 472 Tanggal : 04/06/2014
Route : Kec. Nosu Fisiografi : Perbukitan Lereng Tengah
Relief Makro : Perbukitan Drainase : Baik
Mikro : Berlereng Vegetasi : Kopi
Lereng arah : Timur Pertumbuhan : Baik
Panjang : 150 m Koordinat X : 119,49151°
% : 45 % Koordinat Y : 03.14246°
Horizon : A Sub Surface : B
\ Epipedon : - Klasifikasi : Entisols
60
Pengamatan lokasi kedua, dilakukan juga di Kecamatan Nosu pada lokasi yang relatif
datar, sedangkan pada pengamatan pertama dilakukan pada daerah perbukitan yang
berlereng. Deskripsi informasi pengamatan kedua terdeskripsikan sebagai berikut,
Foto lapangan pada lokasi pengamatan kedua dan gambaran umum sekitar lokasi tampak
pada Gambar 4.10.
62
Gambar 4.10. Foto lokasi pengamatan lapangan site#03, Kampung Paladan,
Kecamatan Rante Bulahan Timur
64
4.3.2. Kesesuaian Lahan
Beberapa karakteritik lahan dengan parameter utama penilaian meliputi (1) Temperatur
udara menggambarkan variasi suhu udara, nantinya berkesesuaian dengan komoditas
pertanian yang diusahakan, (2) Ketersediaan air diketahui dari dinamika curah hujan tahunan
pada masa pertumbuhan, lama bulan kering dan kelembaban, (3) Ketersediaan drainase untuk
pengelolaan lahan pertanian, (4) Komposisi media perakaran yang menggambarkan
komposisi tekstur, bahan kasar dalam tanah dan kedalaman efektif tanah, (5) Rerensi hara
yang menggambarkan kemampuan tanaman dalam menyerap hara yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan, daya serap tanaman pada tingkat kejenuhan konsentrasi basa terkait dengan
kemampuan menyerap dan melepaskan unsur hara mikro dan bahan berbahaya dalam tanah,
(6) Toksisitas, berupa salinitas, (7) Bahan sulfidik, menggambarkan bahan-bahan sulfidik
yang terakumulasi sebagai tanah atau sedimen yang jenuh, yang mendorong terbentuknya
senyawa besi dan alumunium sebagai bahan beracun jika etrakumulasi lebih dalam tanah, (8)
Bahan banjir menggambarkan tingkat aktivitas air berlebih dalam tanah menjadi air jenuh
(banjir) yang diukur melalui kedalaman, lama waktu kejadian air jenuh di lahan, dan tingkat
bahaya banjir. Keseluruhan parameter fisik terukur tersebut dinilai atas dasar komposisi
sebaran lahan yang diamati serta kebutuhan lahan komoditas pertanian sesuai dengan lokasi
pengembangan tertentu yang dirancang. Penilaian kesesuaian lahan, selain variabel
karakteristik fisik diatas perlu diketahui pula parameter yang menjadi faktor pembatas lahan
diusahakan. Faktor lahan yang cenderung menjadi pembatas antara lain kemampuan tanaman
dalam menyerap hara tanah (nr), kandungan bahan beracun dalam tanah (jerapan toksisitas)
(xc), kejadian genangan dan atau akibat banjir (fh) dan beda tinggi permukaan yang besar
(kelerengan) (le).
Keseluruhan faktor dan variabel yang digunakan dalam mengukur kualitas lahan untuk
menilai kesesuaian lahan pertanian baik secara agronomi maupun potensi pengembangan
kedepan. Pendekatan penilaian tersebut dilakukan berdasarkan pilihan tanaman yang telah
65
dianalisis berdasarkan pertimbangan preferensi tanaman yang sudah ada, atau perkembangan
dari pilihan masyarakat dan aktual lahan berdasarkan pertimbangan fisik lahan. Bagian
dibawah, menunjukan komoditas terpilih dengan dekripsi sebagai berikut.
Salah satu unggulan pertanian di Kabupaten Mamasa adalah Kopi, Jenis kopi arabika
berkembang dan cukup besar tersebar di wilayah Mamasa. Jika ditelaah, maka tanaman ini
baik ditanam pada kondisi tanah bertekstur halus, dengan ketinggian tempat diatas 700 mdpl,
pada drainase baik, dan pH tanah berkisar 5-6. Berdasarkan pengamatan lapang, tanaman ini
tumbuh dan berkembang diusahakan masyarakat pada daerah berlereng, dengan kisaran
antara 15 sampai 40%, dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk kopi arabika, kelas kesesuaian lahan
di lokasi penelitian adalah S2 (sesuai bersyarat), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai).
Faktor pembatas lahan yang dominan adalah kelerengan dengan tingkat bahaya erosi
dominan (eh), kombinasi bahaya erosi akibat kelerengan tinggi (eh), ketersediaan air (wa)
dan media perakaran (rc). Kondisi tersebut terjadi sebagai efek dari pola tanam yang masif
oleh masyarakat pada lokasi lahan yang berbukit dan bergunung dengan kelerangan dominan
diatas 15%. Kondisi bentuk lahan dimana sebagian besar lahan merupakan areal lahan
bergelombang dominan perbukitan dan bergunung, upaya perbaikan dan peningkatan
kemampuan fisiografi lahan terbatas dikarenakan bentuk lahan yang secara relatif sulit untuk
diubah, sementara upaya peningkatan dengan keterbatasan lahan dilakukan melalui
menggunaan model-model pengelolaan konservasi dengan mulsa atau pembukaan lahan tidak
secara langsung dibuka dengan membersihkan lahan dari kayu alaminya, sehingga tanaman
alami menjadi pelindung pada lahan lokasi tanam. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman kopi
arabika di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.12.
Hasil penetapakan kelas kesesuaian lahan tersebut diperoleh informasi bahwa sebagai
besar lahan untuk usaha pengelolaan tanaman kopi arabika dominan terkendala oleh kondisi
fisik wilayah dimana sekitar 84,5% lahan tidak sesuai (N) dengan pembatas dominan
kelerengan dengan bahaya erosi (eh), media perakaran (rc) dan ketersediaan air (wa) pada
beberapa lokasi yang sudah terbuka. Sementara lahan sesuai (S) sekitar 15,5% dengan
pembatas relayif sama tetapi pengelolaan lahan dapat ditingkatkan dengan meminimumkan
faktor pembatas terhadap pola pengelolaan baik dengan teknik konservasi maupun teknologi
pengelolaan ramah terhadap lingkungan atau pengaturan sistem tanaman dengan pola
66
agroforestri pada lahan-lahan areal kawasan konservasi atau pada areal peruntukan hutan
seperti ditunjukan pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Arabika Kabupaten Mamasa Berdasarkan
sebaran alokasi kesesuaian lahan
Kesesuaian
No Lahan Kopi Luas (Ha) Persen (%)
Arabika
1 Ne 128,733.0 42.8
2 Nr 639.6 0.2
3 Nr.e 78,000.2 25.9
4 Nt.w 6,741.0 2.2
5 Nt.w.e 6,546.9 2.2
6 Nw 14,087.1 4.7
7 Nw.e 19,256.9 6.4
8 S2w 225.8 0.1
9 S3e 1,194.6 0.4
10 S3w 4,273.6 1.4
11 S3w.e 36,860.8 12.3
12 S3w.r 4,028.5 1.3
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis tim, 2014
67
Gambar 4.12. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Arabika di Kabupaten Mamasa
68
2. Komoditas Kopi Robusta
Salah satu unggulan pertanian di Kabupaten Mamasa adalah Kopi dengan jenis kopi
robusta yang telah berkembang dan tersebar di wilayah Kabupaten Mamasa. Hasil telaah
pada jenis tanaman ini, menunjukkan baik ditanam pada kondisi tanah bertekstur halus,
dengan ketinggian diatas 700 mdpl, pada drainase baik, dan pH tanah berkisar 5-6.
Berdasarkan pengamatan lapang, tanaman ini tumbuh dan berkembang diusahakan
masyarakat pada daerah berlereng, dengan kisaran antara 15 sampai 40%, dimanfaatkan
sebagai tanaman pelindung.
Analisis kesesuaian lahan untuk kopi robusta, penilaian kesesuaian lahan di lokasi studi
dominan sesuai bersyarat (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Tingkat kesesuaian
lahan dibatasi oleh pengaruh faktor kelerengan dengan tingkat bahaya erosi dominan atau
kombinasi bahaya erosi akibat kelerengan tinggi (eh), ketersediaan air (wa) dan media
perakaran (rc). Kondisi tersebut terjadi sebagai efek dari pola tanam yang masif oleh
masyarakat pada lokasi lahan yang berbukit dan bergunung dengan kelerangan dominan
diatas 15%. Kondisi bentuk lahan dimana sebagian besar lahan merupakan areal lahan
bergelombang dominan perbukitan dan bergunung, upaya perbaikan dan peningkatan
kemampuan fisiografi lahan terbatas dikarenakan bentuk lahan yang secara relatif sulit untuk
diubah, sementara upaya peningkatan dengan keterbatasan lahan dilakukan melalui
pemanfaatan model pengelolaan konservasi dengan mulsa dan atau pembukaan lahan tidak
secara langsung dibuka dengan membersihkan lahan dari kayu alaminya, tetapi diharapkan
kayu alami menjadi pelindung pada lahan lokasi tanam. Peta kesesuaian lahan untuk
tanaman kopi robusta di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.13.
Hasil penetapakan kelas kesesuaian lahan tersebut diperoleh informasi bahwa sebagai
besar lahan untuk usaha pengelolaan tanaman kopi arabika dominan terkendala oleh kondisi
fisik wilayah dimana sekitar 87% lahan tidak sesuai (N) dengan pembatas dominan
kelerengan dengan bahaya erosi (eh), media perakaran (rc) dan ketersediaan air (wa) pada
beberapa lokasi yang sudah terbuka. Sementara lahan sesuai (S) sekitar 12,7% dengan
pembatas relatif sama tetapi pengelolaan lahan dapat ditingkatkan dengan meminimumkan
faktor pembatas terhadap pola pengelolaan baik dengan teknik konservasi maupun teknologi
pengelolaan ramah terhadap lingkungan atau pengaturan sistem tanaman dengan pola
agroforestri pada lahan-lahan areal kawasan konservasi atau pada areal peruntukan hutan.
69
Tabel proporsional alokasi kesesuaian lahan tanaman kopia robusta ditunjukan pada Tabel
4.9.
Tabel 4.9. Luas Kesesuaian Lahan Kopi Robusta Kabupaten Mamasa, Berdasarkan
sebaran alokasi kesesuaian lahan
Kesesuaian
Luas Persen
No Lahan Kopi
(Ha) (Ha)
Robusta
1 Ne 90,392.5 30.1
2 Nr 639.6 0.2
3 Nr.e 78,000.2 25.9
4 Nt 29,070.6 9.7
5 Nt.e 64,144.3 21.3
6 S2t.w 225.8 0.1
7 S2t.w.e 123.7 0.0
8 S3e 1,306.8 0.4
9 S3r 4,028.5 1.3
10 S3t 3,713.7 1.2
11 S3t.e 22,640.4 7.5
12 S3t.w 2,367.6 0.8
13 S3t.w.r.e 3,934.4 1.3
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis tim, 2014
70
Gambar 4.13. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kopi Robusta di Kabupaten Mamasa
71
3. Komoditas Kakao
Tanaman kakao, merupakan salah satu tanaman khas daerah dataran tinggi sangat
berkembangan di Mamasa, mampu tumbuh dengan temperatur ekstrim dan pada kondisi
tanah dengan kelembaban diatas 40% dan atau variasinya. Wilayah Kabupaten Mamasa,
wilayah dengan kelembaban udara rendah berpotensi untuk pengembangan komoditas ini.
Kemampuan wilayah ini memiliki kandungan bahan organik dan kelembaban tanah
tinggi.Dengan mengamati fisiografi lahan dan pola pembentukan struktur bahan pembentuk
tanah, maka kakao di wilayah Mamasa juga berkembang dan dapat diusahakan masyarakat
karena sesuai secara fisik. Berdasarkan pola tumbuh atas dasar karakteristik tanah, maka
tanaman kakao, tumbuh baik pada kondisi tanah bertekstur halus, dengan ketinggian tempat
diatas 1.000 mdpl, pada drainase baik sampai sedang, pada kelembaban diatas 25-30oC dan
pH tanah berkisar 5-6. Berdasarkan pengamatan lapang, secara umum pola tanam kakao
menyerupai pola tanam yang diusahakan pada tanaman kopi arabika dan robusta, dimana
ditanam masyarakat pada daerah berlereng, dengan kisaran antara 15 sampai 40%,
dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan untuk kakao, kelas kesesuaian lahan di
lokasi penelitian adalah S2 (sesuai bersyarat), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai).
Faktor pembatas lahan yang dominan adalah kelerengan dengan tingkat bahaya erosi
dominan (eh), kombinasi bahaya erosi akibat kelerengan tinggi (eh), ketersediaan air (wa),
temperatur (tc) dan media perakaran (rc). Kondisi tersebut terjadi sebagai efek dari pola
tanam yang masif oleh masyarakat pada lokasi lahan yang berbukit dan bergunung dengan
kelerangan dominan diatas 15%. Kondisi bentuk lahan dimana sebagian besar lahan
merupakan areal lahan bergelombang dominan perbukitan dan bergunung, menyebabkan
lahan-lahan usaha lambat laun mengalami penurunan kualitas tanah atau terdegradasi secara
gradual, Upaya perbaikan dan peningkatan kemampuan fisiografi lahan terbatas dikarenakan
bentuk lahan yang secara relatif sulit untuk diubah, sementara daya elastisitas tanah terbatas
dan lambat laun berkurang kualitasnya, upaya pengembalian dan peningkatan dengan
keterbatasan lahan dapat dilakukan melalui menggunaan model-model pengelolaan dengan
teknik konservasi mulsa atau pembukaan lahan dengan tetap mempertahankan tanaman
alami, dan tanaman usaha sebagai tanaman sela sehingga tanaman alami menjadi pelindung
pada lahan lokasi tanam. Peta kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 4.14.
72
73
Gambar 4.14. Sebaran spasial kesesuaian lahan Kakao di Kabupaten Mamasa
74
Hasil penetapakan kelas kesesuaian lahan tersebut diperoleh informasi bahwa sebagai
besar lahan untuk usaha pengelolaan tanaman kopi arabika dominan terkendala oleh kondisi
fisik wilayah dimana sekitar 87% lahan tidak sesuai (N) dengan pembatas dominan
kelerengan dengan bahaya erosi (eh), media perakaran (rc) dan ketersediaan air (wa) pada
beberapa lokasi yang sudah terbuka. Sementara lahan sesuai (S) sekitar 12,7% dengan
pembatas relatif sama tetapi pengelolaan lahan dapat ditingkatkan dengan meminimumkan
faktor pembatas terhadap pola pengelolaan baik dengan teknik konservasi maupun teknologi
pengelolaan ramah terhadap lingkungan atau pengaturan sistem tanaman dengan pola
agroforestri pada lahan-lahan areal kawasan konservasi atau pada areal peruntukan hutan
seperti ditunjukan pada Tabel 4.10.
75
4. Penggembalaan (Pasture)
Pola sebaran spasial kelas kesesuaian lahan untuk penggembalaan, pada lokasi
penelitian menunjukan pola umum sesuai marjinal, yang mampu ditingkatkan menjadi lahan-
lahan sesuai produktif dengan melakukan perbaikan-perbaikan pada beberapa aspek fisik
lahan dan pemanfaatan teknologi lahan yang adaptif seperti pembuatan teras sesuai dengan
tipe dan asosiasi bentuk lahan dan tidak searah kontur yang dikombinasikan dengan teknik
konservasi lahan. Tabel 4.11 menunjukan informasi pola sebaran spasial luas kesesuaian
lahan untuk penggembalaan.
76
Gambar 4.15. Sebaran spasial kesesuaian lahan Penggembalaan di Kabupaten Mamasa
77
5. Komoditas Padi Sawah 2-3x Tanam
Padi sawah merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa. Tanaman
padi secara umum menunjukan tingkat status masyarakat, Padangan dari sisi budaya lokal
sampai saat ini masih menjadi faktor utama dalam status sosial masyarakat di Kabupaten
Mamasa. Sebagian besar lahan usaha secara umum diusahakan tidak dalam pengelolaan
dalam skala luas, disampiang lahan potensial juga terbatas.. lahan aktual yang saat ini
diusahakan berada pada lembah-lembah dekat dengan jaringan yang membelah sungai
Mamasa.
Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah
menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan didominasi oleh kelas N (tidak sesuai). dan
sekitar 3,4% lahan kelas S (sesuai marjinal). Faktor pembatas lahan yang dominan adalah
media perakaran (rc) dan bahaya erosi (eh). Pembatas tersebut muncul disebabkan beberapa
lokasi pengamatan lapangan cenderung memiliki kedalaman tanah yang relatif dangkal
(kurang lebih 20 cm) dan kemiringan lereng yang cukup curam (15-30% bahkan lebih). Hasil
analisis kesesuaian lahan untuk komoditas padi sawah selengkapnya disajikan pada Tabel
4.12., sedangkan peta kesesuaian lahannya disajikan pada Gambar 4.16.
Tabel 12. Luas Kesesuaian Lahan Padi sawah 2-3x tanam Kabupaten Mamasa,
Berdasarkan sebaran alokasi kesesuaian lahan
Kesesuaian Lahan
Luas Persen
No Padi Sawah 2-3x
(Ha) (%)
tanam
1 Ne 142,312.4 47.3
2 Nr.e 78,000.6 25.9
3 Nt 6,741.0 2.2
4 Nt.e 60,644.6 20.2
5 Nte 1,703.8 0.6
6 S3re 4,028.5 1.3
7 S3t 7,157.1 2.4
300,588.0 100.0
Sumber : Hasil analisis, 2014
78
Gambar 4.16. Sebaran spasial kesesuaian lahan padi sawah 2-3 kali tanam di Kabupaten Mamasa
79
6. Komoditas Padi Tadah Hujan
Padi sawah tadah hujan salah satu komoditas pertanian yang juga banyak diuasakan
oleh sebagian masyarakat di Kabupaten Mamasa. Secara umum komoditas ini berkembang
pada lahan yang sesuai juga untuk tanaman tahuan seperti kopi, dan kakao. Diusahakan pada
lahan dengan kelerengan yang bervariasi atau pada lahan hamparan yang luas sesuai dengan
kondisi wilayah dan kebiasaan masyarakat bertanam.
Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah
menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan didominasi oleh kelas N (tidak sesuai) dengan
sebaran mencapai 93,5% dan sekitar 6,4% lahan kelas S (sesuai marjinal). Faktor pembatas
lahan yang dominan adalah media perakaran (rc), 80 elative 80re dan kelembaban (tc) dan
bahaya erosi (eh). Pembatas tersebut muncul disebabkan beberapa lokasi pengamatan
lapangan cenderung memiliki kedalaman tanah yang 80 elative dangkal (kurang lebih 20 cm)
dan kemiringan lereng yang cukup curam (15-30% bahkan lebih). Hasil analisis kesesuaian
lahan untuk komoditas padi sawah selengkapnya disajikan pada Tabel 4.13, sedangkan peta
kesesuaian lahannya disajikan pada Gambar 4.17.
Tabel 4.13. Luas Kesesuaian Lahan Padi Tadah Hujan Kabupaten Mamasa,
Berdasarkan sebaran alokasi kesesuaian lahan
80
Gambar 4.17. Sebaran spasial kesesuaian lahan padi tadah hujan di Kabupaten Mamasa
81
4.3.3. Lahan Potensial untuk Pengembangan Komoditas Unggulan
Tabel 4.14. Luas Alokasi Lahan Tersedia untuk Komoditas Unggulan Kabupaten
Mamasa
Luas Persen
No Komoditas
(Ha) (%)
1 Padi Sawah 2-3x Tanam 7,730.40 29.2
2 Kopi Arabika 7,058.50 26.7
3 Kopi Arabika, Kopi Robusta 6,238.30 23.6
4 Kopi Arabika, Kopi Robusta, 369.3
Kakao 1.4
5 Kopi Arabika, Kopi Robusta, 2,495.40
Kakao, Padi Tadah Hujan, Pasture 9.4
6 Kopi Arabika, Kopi Robusta, 99.8
Kakao, Pasture 0.4
7 Kakao, Kopi Robusta 1,980.60 7.5
8 Penggembalaan (Pasture) 494.2 1.9
26,466.50 100.0
Sumber : Hasil analisis tim, 2014
82
Gambar 4.18. Sebaran spasial lahan tersedia aktual untuk pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa
83
Hasil analisis ketersedian lahan potensial untuk pengembangan komoditas unggulan
dalam lingkup wilayah kecamatan di Kabupaten Mamasa, maka terdapat 8 (delapan) pola
komoditas hasil kombinasi pemanfaatn lahan dari 6 komoditas unggulan yang diusahakan.
Gambaran pola sebaran ruang kecamatan untuk masing-masing komoditas unggulan
disajikan pada Tabel 4.15 dan sebaran spasial lahan potensial tersedia untuk pengembangan
komoditas unggulan di Kabupaten Mamasa dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Tabel 4.15. Sebaran Alokasi Lahan Tersedia Potensial Unggulan per Kecamatan
Luas Persen
No Komoditas Ibukota Kecamatan
(Ha) (%)
1. Padi Sawah 2-3x Tanam
1 Padi Sawah 2-3x Tanam Minake TANDUK KALUA 42.6 0.6
2 Padi Sawah 2-3x Tanam Mamasa MAMASA 0.3 0.0
3 Padi Sawah 2-3x Tanam Nosu NOSU 0.0 0.0
4 Padi Sawah 2-3x Tanam Messawa MESSAWA 516.0 6.7
5 Padi Sawah 2-3x Tanam Sumarorong SUMARORONG 1,344.9 17.4
6 Padi Sawah 2-3x Tanam Sodangan BUNTU MALANGKA 68.2 0.9
7 Padi Sawah 2-3x Tanam Mambi MAMBI 354.1 4.6
8 Padi Sawah 2-3x Tanam Pana PANA 473.1 6.1
9 Padi Sawah 2-3x Tanam Tabang TABANG 59.7 0.8
10 Padi Sawah 2-3x Tanam Mamasa MAMASA 377.9 4.9
11 Padi Sawah 2-3x Tanam Tawalian TAWALIAN 207.1 2.7
12 Padi Sawah 2-3x Tanam Orobua SESEAN PADANG 447.0 5.8
13 Padi Sawah 2-3x Tanam Balla BALLA 33.4 0.4
14 Padi Sawah 2-3x Tanam Nosu NOSU 538.7 7.0
15 Padi Sawah 2-3x Tanam Messawa MESSAWA 428.3 5.5
16 Padi Sawah 2-3x Tanam Sumarorong SUMARORONG 792.2 10.2
17 Padi Sawah 2-3x Tanam Lakahang TABULAHAN 417.9 5.4
RANTEBULAHAN
18 Padi Sawah 2-3x Tanam Keppe 26.0 0.3
TIMUR
19 Padi Sawah 2-3x Tanam Lemo BAMBANG 576.0 7.5
20 Padi Sawah 2-3x Tanam Sodangan BUNTU MALANGKA 555.8 7.2
21 Padi Sawah 2-3x Tanam Aralle ARALLE 471.2 6.1
7,730.4
2. Kopi Arabika
1 Kopi Arabika Mambi MAMBI 135.0 1.9
2 Kopi Arabika Lakahang TABULAHAN 417.6 5.9
3 Kopi Arabika Lemo BAMBANG 2,994.0 42.4
4 Kopi Arabika Sodangan BUNTU MALANGKA 2,245.4 31.8
5 Kopi Arabika Aralle ARALLE 1,266.4 17.9
7,058.5
84
Lanjutan Tabel 4. 15.
Luas Persen
No Komoditas Ibukota Kecamatan
(Ha) (%)
3. Kopi Arabika, Kopi Robusta
1 Kopi Arabica, Kopi Robusta Tabang TABANG 1,041.7 16.7
2 Kopi Arabica, Kopi Robusta Minake TANDUK KALUA 1,289.5 20.7
3 Kopi Arabica, Kopi Robusta Nosu NOSU 1,378.4 22.1
4 Kopi Arabica, Kopi Robusta Messawa MESSAWA 0.1 0.0
5 Kopi Arabica, Kopi Robusta Sumarorong SUMARORONG 2,528.5 40.5
6,238.3 23.6
4. Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao
1 Kopi Arabica, Kopi Robusta, Kakao Pana PANA 203.5 55.1
2 Kopi Arabica, Kopi Robusta, Kakao Tabang TABANG 65.4 17.7
3 Kopi Arabica, Kopi Robusta, Kakao Mamasa MAMASA 100.4 27.2
369.3 1.4
5. Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao, Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
1 Tabang TABANG 76.9 3.1
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
2 Minake TANDUK KALUA 89.6 3.6
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
3 Mamasa MAMASA 777.7 31.2
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
4 Nosu NOSU 592.9 23.8
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
5 Tabang TABANG 332.4 13.3
Padi Tadah Hujan, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
6 Mamasa MAMASA 625.8 25.1
Padi Tadah Hujan, Pasture
2,495.4 9.4
6. Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao, Pasture
Kopi Arabika, Kopi Robusta, Kakao,
1 Pana PANA 99.8 100.0
Pasture
99.8 0.4
7. Kakao, Kopi Robusta
1 Kakao, Kopi Robusta Nosu NOSU 548.4 27.7
2 Kakao, Kopi Robusta Tabang TABANG 8.4 0.4
3 Kakao, Kopi Robusta Lakahang TABULAHAN 1,423.8 71.9
1,980.6 7.5
8. Penggembalaan (Pasture)
1 Pasture Nosu NOSU 126.6 25.6
2 Pasture Nosu NOSU 1.0 0.2
3 Pasture Mamasa MAMASA 366.6 74.2
494.2 1.9
26,466.5
Sumber : Hasil analisis tim, 2014
85
Gambar 4.19. Sebaran Spasial Lahan Tersedia Potensial Untuk Pengembangan Komoditas Unggulan di Kabupaten Mamasa
86
4.4. Keragaan Komoditas Utama
Pada tahun 2012 luas areal tanaman kopi robusta dan arabika di Kabupaten Mamasa
mencapai 7 143 ha dan 11 983 ha. Untuk kopi robusta terdiri atas tanaman belum
menghasilkan (TBM) 1 494 ha dan tanaman menghasilkan seluas 2 997 ha. Selain itu
terdapat penanaman kopi robusta yang baru ditanam yang mencapai 685 ha. Tanaman kopi
robusta ditanam hampir di semua kecamatan di Kabupaten Mamasa. Untuk kopi arabika
terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) 2 959 ha dan tanaman menghasilkan seluas
4 825 ha. Selain itu terdapat penanaman kopi arabika yang baru ditanam yang mencapai 1
108 ha. Tanaman kopi arabika banyak ditanam di kecamatan Nosu dan Sumarorong.
Produksi yang dihasilkan pada tahun 2012 mencapai 7 143 ton kopi robusta dengan
jumlah petani mencapai 14 945 kepala keluarga. Sedangkan produksi kopi arabika mencapai
11 983 ton dengan jumlah petani yang terlibat mencapai 20 980 kepala keluarga. Tingkat
produktivitas ini masih dapat ditingkatkan melalui pengelolaan tanaman (pemangkasan dan
pola panen yang tepat) yang lebih baik serta peningkatan produksi melalui penanaman
tanaman baru seperti yang sudah terjadi. Selain itu sistem tata niaga juga perlu mendapat
perhatian yang seksama agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik.
Tanaman kopi sudah lama dikenal oleh masyarakat di kabupaten Mamasa terutama
pada desa-desa yang terletak di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut.
Tanaman kopi sudah ada sebelum tahun 1980 dengan jenis kopi yang banyak ditanam adalah
kopi robusta dan arabika terutama di kecamatan Nosu.
Di Kabupaten Mamasa, tanaman kopi saat ini sudah terdesak oleh tanaman kakao
terutama di Kecamatan Bambang dan Mambi. Hal ini disebabkan oleh tingkat produktivitas
yang semakin berkurang dan harga jual yang kurang menarik jika dibandingkan dengan
tanaman kakao. Luas areal kopi yang dimiliki setiap kepala keluarga bervariasi antara 0,25
sampai 1 hektar.
Bibit kopi diperoleh dari pembibitan kopi yang dibuat sendiri oleh petani. Benih kopi
dipilih dari buah kopi masak (berwarna merah) dari tanaman-tanaman kopi yang berproduksi
baik. Buah kopi terpilih dikupas kulit buahnya dan langsung disemaikan di bedangan dengan
jarak tanam kurang lebih 10 cm x 10 cm. Bibit dipelihara di bedengan selama 1 tahun sampai
87
bibit siap ditanam. Pemeliharaan yang utama yang dilakukan di pembibitan adalah
penyiraman.
Bibit tanaman yang berumur 1 tahun atau lebih (dengan tinggi bibit sekitar 30-40 cm)
dipindahkan dari pembibitan ke lokasi penanaman. Kondisi bibit pada saat pemindahan
adalah bibit tanpa media tanah. Jadi merupakan tanaman muda dengan akar tanpa media
tumbuh. Kondisi ini sebenarnya kurang baik untuk pertumbuhan tanaman selanjutnya karena
tanaman (bibit) sempat mengalami stress. Bibit ditanam di lapang dengan jarak tanam kira-
kira 2 m x 2 m, walaupun banyak juga petani yang menanaman kopi tanpa jarak tanam yang
teratur. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman kurang lebih satu mata cangkul (30-40 cm)
dengan lebar lubang 20-30 cm. Bibit ditanam sebatas leher akar dan tanah di sekitar bibit
dipadatkan.
Pemeliharaan yang umum dilakukan oleh petani kopi adalah pengendalian gulma,
sedangkan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit serta pemangkasan cabang tidak
pernah dilakukan. Untuk itu pengendalian gulma dilakukan secara manual saja.
Selain itu pengelolaan cabang yang belum diketahui oleh petani juga menyebabkan
tajuk tanaman kopi pada tanaman yang sudah cukup tua terlalu rapat. Pengelolaan cabang
pada tanaman kopi sepertinya tidak diketahui oleh petani kopi hampir di semua kecamatan.
Hal ini terlihat dari cabang yang tidak teratur dan padat. Pada tanaman yang tua, cabang
buah hanya ada di bagian atas tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa petani kopi di
kabupaten Mamasa belum pernah mendapatkan penyuluhan teknik budidaya kopi yang baik.
Tanaman kopi pada umumnya sudah mulai berbuah pada umur dua tahun setelah
tanam. Produksi buah kopi yang dihasilkan oleh petani sangat bervariasi tergantung dari
tingkat kesuburan tanah dan kegiatan pemeliharaan (pengendalian gulma) yang dilakukan
oleh petani. Dalam satu tahun, petani kopi panen sebanyak 2 (dua) kali. Buah kopi yang
telah dipetik, selanjutnya digiling (menggunakan alat giling sederhana) untuk melepas kulit
buahnya. Biji basah yang telah digiling selanjutnya dijemur.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa petani kopi, produksi buah
kopi yang dihasilkan per hektarnya berkisar antara 300 sampai 500 kg biji kopi kering. .
Tingkat produktivitas kopi yang dihasilkan oleh petani kopi ini masih kurang baik karena
tingkat produktivitas kopi nasional hanya sekitar 700 kg biji kering/ha/tahun.
88
4.4.2. Tanaman Kakao
Pada tahun 2012 luas areal tanaman kakao di Kabupaten Mamasa mencapai 18 445 ha
yang terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) 4 934 ha dan tanaman menghasilkan
seluas 13 511 ha. Selain itu terdapat penanaman kakao yang baru ditanam yang mencapai 2
474 ha. Tanaman kakao ditanam hampir di semua kecamatan di Kabupaten Mamasa, kecuali
di Kecamatan Nosu. Produksi yang dihasilkan pada tahun 2012 mencapai 12 693 ton dengan
jumlah petani mencapai 16 950 kepala keluarga. Tingkat produktivitas ini masih dapat
ditingkatkan melalui pengelolaan tanaman (pemangkasan, sambung samping dan pola panen
yang tepat) yang lebih baik serta peningkatan produksi melalui penanaman tanaman baru
seperti yang sudah terjadi. Selain itu sistem tata niaga juga perlu mendapat perhatian yang
seksama agar petani memiliki posisi tawar yang lebih baik.
Tanaman kakao yang ada di kecamatan Bambang, Mambi, Nosu dan Pana
diperkirakan mulai diusahakan sejak tahun 1998. Awal bibit kakao ini berasal dari Poliwali
Mandar. Bibit diperoleh dari buah kakao masak yang dibawa warga untuk ditanam di lahan
miliki masing-masing. Sebenarnya di lahan masyarakat pada waktu itu sudah ada tanaman
kopi yang sebelumnya sudah diusahakan terlebih dahulu. Kondisi produksi dan harga kopi
yang kurang menarik menyebabkan masyarakat mengganti tanaman kopinya dengan tanaman
kakao. Pada saat ini tanaman kopi juga masih diusahakan oleh masyarakat terutuama yang
ditinggal di dataran yang lebih tinggi Kecamatan Nosu.
Varietas kakao yang banyak digunakan adalah varietas lokal yang tidak diketahui
asal-usulnya. Bahan tanam yang digunakan oleh petani kakao di kecamatan Bambang, Nosu
dan Pana pada umumnya berasal dari biji buah kakao tanaman sendiri yang dianggap baik.
Buah kakao yang digunakan untuk diambil biji dipilih yang sudah masak (kulit berwarna
kuning). Selanjutnya buah dibelah dan diambil bijinya dan dicuci untuk menghilangkan
lendirnya. Benih dikering-anginkan selama sehari dan langsung disemaikan di bedengan.
89
Setelah benih berkecambah dan tumbuh sampai menghasilkan beberapa pasang daun dengan
tinggi kurang lebih 30 cm, bibit dipindahkan ke lapang.
Jarak tanam yang digunakan tidak tentu, bahkan cenderung tidak teratur. Kira-kira
jarak tanam yang umum digunakan sekitar 3 m x 3 m sampai 4 m x 4 m. Lubang tanam
dibuat sedalam mata cangkul dan bibit yang diambil dari bedengan pembibitan ditanam pada
lubang tanam tersebut. Pada umumnya bibit ditanam pada saat musim hujan. Masing-
masing kepala keluarga memiliki kebun kakao kurang lebih 0,25 sampai 1 ha.
Penyakit yang banyak ditemukan adalah serangan busuk buah sedangkan hamanya
adalah Helopelthis dan penggerek buah kakao. Busuk buah menjadikan buah tidak dapat
berkembang, berwarna hitam dan busuk. Sedangkan serangan hama menyebabkan buah
kakao berbintik-bintik hitam dan biji di dalam buah menjadi lengket.
Tanaman kakao pada umumnya dipanen 2 (dua) kali dalam setahun yaitu pada
bulan Juni dan Desember. Buah kakao yang telah masak dipanen dengan cara dipetik atau
dipotong tangkai buahnya. Buah kakao ini dikumpulkan di kebun sampai jumlah tertentu
(40-50 buah) untuk selanjutnya dibelah sekaligus. Biji kakao basah yang sudah terkumpul
dibawa pulang untuk dijemur di sekitar pekarangan rumah. Penjemuran dilakukan dengan
menggunakan alas tikar atau karung goni. Jika cuaca cerah, biji kakao akan kering setelah
dijemur 4-5 hari. Karena penjemuran dilakukan di sekitar pekarangan rumah dan tidak di
pinggir jalan, maka biji kakao kering yang dihasilkan cukup bersih.
Tingkat produktivitas kakao diperkirakan mencapai 300 sampai 500 kg biji kakao
kering/ha/tahun. Tingkat produktivitas ini masih di bawah rata-rata tingkat produktivitas
kakao nasional yang mencapai 900 kg biji kering/ha/tahun. Masyarakat pada umumnya
menjual hasil kakaonya ini di pasar terdekat, seperti untuk di kecamatan Bambang terdapat
pasar di desa Rante Palado atau di kecamatan Pana ada pasar di desa Datu Baringan. Harga
jual biji kakao kering berkisar antara Rp 16 000 sampai 18 000/kg biji kering.
90
Pada saat ini di kecamatan Bambang, Nosu dan Pana telah dilakukan usaha-usaha
peningkatan produksi tanaman kakao melalui kegiatan Gernas Kakao. Pada tahun 2012
gernas kakao di kabupaten Mamasa ini dilakukan dengan membagi-bagikan bibit hasil
perbanyakan secara kultur jaringan (Somatik Embriogenesis/SE) kepada anggota kelompok
petani. Walaupun belum semua mendapatkan bantuan, setiap anggota mendapatkan 250 bibit
kakao SE. Pada tahun 2013 ini kegiatan Gernas Kakao memperkenalkan peremajaan
tanaman kakao tua dengan metode sambung samping. Entres kakao Klon unggul S1 dan S2
dibagikan kepada petani kakao yang sebelumnya sudah diberi pelatihan cara menyambung.
Program ini kurang berjalan dengan baik karena tidak adanya pendampingan teknis setelah
bibit kakao di tanam di lapangan, selain itu kondisi entres untuk sambung samping yang
sampai ke petani tidak seluruhnya masih dalam kondisi baik. Hal ini tentu akan
mempengaruhi keberhasilan tumbuh tunas yang disambung pada tanaman induknya.
Lahan untuk tanaman padi di Kabupaten Mamasa pada tahun 2012 seluas 13 817 ha
yang terdiri atas lahan sawah seluas 13 489 ha dan lahan sawah tadah hujan seluas 328 ha.
Pada tahun 2012 luas panen padi sawah mencapai 20 907 ha dengan produksi mencapai 81
439 ton (produktivitas 3,9 ton/ha). Hal ini menunjukkan bahwa lahan sawah di Kabupaten
Mamasa sudah dapat ditanamani hampir 2 kali dalam satu tahun. Untuk padi ladang, pada
tahun 2012 luas areal panen mencapai 1 050 ha dengan produksi mencapai 3 660 ton
(produktivitas 3,5 ton/ha).
Padi sawah pada umumnya terdapat di daerah lembah-lembah yang cukup datar
sehingga dapat diolah menjadi sawah. Selain itu daerah ini juga banyak terdapat sungai yang
dapat menjadi sumber air, sehingga petani dapat menanam padi sawah lebih dari satu kali
atau 3 kali dalam dua tahun. Pada dataran yang tinggi, petani hanya dapat menanam sekali
dalam setahun walaupun air juga sangat banyak. Hal ini lebih dikarenakan varietas yang
dapat ditanam di dataran tinggi hanya varietas lokal yang berumur lebih panjang, yaitu sekitar
91
6-7 bulan. Kondisi perumbuhan tanaman padi yang ditanam petani di kabupaten Mamasa
pada umumnya baik.
Pada dataran rendah petani sudah menggunakan varietas unggul baru, walaupun
beberapa petani masih menggunakan unggul lama. Varietas tersebut antara lain Ciliwung,
Ciherang, Impari 16. Pada umumnya varietas ini berumur genjah sehingga dapat ditanam 2
kali dalam setahun. Benih disemaikan kurang lebih 21 hari, kemudian bibit ditanam secara
teratur dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm atau 25 cm x 20 cm. Pada sebagian lahan sawah
yang diusahakan petani, juga dikombinasikan dengan ikan (mina padi). Pada bagian tengah
sawah biasanya dibuat semacam kolam (berbetuk lingkaran) untuk budidaya ikan.
Pemeliharaan padi yang umum dilakukan adalah pengendalian gulma secara manual,
sedangkan pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan. Pemupukan masih dilakukan
oleh beberapa orang petani dengan dosis 50 kg Urea/ha, 60 kg SP36/ha dan 40 kg ZA/ha.
Sebagian besar petani belum melakukan pemupukan pada tanaman padinya. Hal ini
disebabkan sulitnya mendapatkan pupuk di tingkat petani.
Tanaman padi sudah dapat dipanen setelah berumur kurang lebih 4 bulan. Panen
dilakukan dengan menggunakan arit dan selanjutnya gabah dipisahkan dari malai dengan cara
ditebah/dibanting pada para bambu yang sudah dialasi terpal plastik. Tingkat produktivitas
padi sawah di Kabupaten Mamasa berkisar antara 2-2,5 ton/ha. Pada umumnya padi di
Kabuapten Mamasa masih digunakan untuk kebutuhan sendiri. Potensi lahan padi sawah di
dataran rendah masih dapat ditingkatkan melalui penyediaan sarana produksi yang lebih baik.
Untuk dataran tinggi seperti di Kecamatan Pana dan Nosu varietas padi yang
digunakan adalah varietas lokal seperti Barii dan Tanduk yang berumur 6-7 bulan. Teknik
budidaya pada pada dataran tinggi ini hampir sama dengan padi dataran rendah. Pada
umumnya petani juga hanya melakukan pemeliharaan pengendalian gulma saja. Sedangkan
pemupukan masih belum banyak dilakukan. Panen padi dataran tinggi ini dilakukan dengan
menggunakan ketam/ani-ani. Luas kepemilikan sawah pada dataran tinggi ini berkisar antara
0,25 ha sampai 1,0 ha. Tingkat produktivitas padi sawah dataran tinggi ini juga masih
tergolong rendah yaitu sekitar 1 sampai 2 ton/hektar.
92
4.4.4. Tanaman Lainnya
Tanaman lain yang juga memiliki potensi untuk dikembangkan adalah tanaman
Useng/Janggelan (Mesona palustris) yang merupakan bahan baku untuk pembuatan cincau
hitam. Cincau hitam adalah salah satu jenis jeli yang paling populer di Indonesia, Filipina,
Taiwan, China, dan Korea. Hal ini disebabkan banyaknya kandungan serat larut air yang
terdapat di dalam cincau hitam, sehingga berpotensi untuk mencegah berbagai penyakit
degeneratif akibat gizi lebih. Secara tradisional, cincau hitam dikenal memiliki berbagai
khasiat sebagai obat batuk, obat diare dan lain-lain. Dengan semakin digemarinya cincau
hitam oleh seluruh lapisan masyarakat, maka tanaman janggelan mempunyai nilai ekonomis
yang semakin penting.
Bahan baku utama cincau hitam adalah tanaman Janggelan. Tanaman janggelan
merupakan tanaman perdu. Tinggi tanaman sekitar 30-60 cm dan dapat tumbuh dengan baik
pada ketinggian antara 150-1.800 meter dari permukaan laut seperti di kecamatan
Sumarorong, Nosu dan Pana. Saat ini tanaman Useng belum diusahakan secara intensif
sehingga produksi yang ada masih berpeluang untuk ditingkatkan. Sampai saat ini tanaman
ini belum ada datanya di dinas terkait. Walaupun saat ini sudah penampung tanaman ini di
kecamatan Messawa dengan total produksi kering yang dapat dijual sekitar 2-3 ton/bulan.
93
adalah pengendalian gulma secara manual dengan cara mencabut gulma yang ada di sekitar
tanaman. Pengendalian gulma dapat dilakukan sebulan sekali.
Setelah berumur 3-4 bulan dari saat tanam, dilakukan pemanenan pertama dengan
cara memotong sebagian tanaman menggunakan sabit sehingga bagian yang tertinggal dapat
tumbuh kembali. Pada pemanenan yang kedua, semua tanaman dicabut sampai ke akar-
akarnya. Panen terbaik dapat dilakukan pada bulan ketujuh setelah ditanam. Tanaman
janggelan yang telah dipanen selanjutnya dikeringkan dengan cara menghamparkannya di
atas permukaan tanah, hingga warnanya berubah dari hijau menjadi coklat tua. Tanaman
cincau yang telah kering inilah yang merupakan bahan baku utama pembuatan cincau hitam.
Untuk satu hektar lahan diperkirakan akan menghasilkan 7,5 sampai 9 ton basah atau 1,5 ton
kering.
Masalah utama dalam produksi rumput using ini adalah belum adanya penyuluhan
atau bimbingan teknis tentang prospek dan teknik budidaya yang benar. Seperti diketahui
sampai saat ini pangsa pasar dan permintaan tanaman ini cukup tinggi. Sedangkan teknis
budidayanya sangat sederhana dan mudah dilakukan. Oleh karena itu sosialisasi mengenai
peluang usaha rumput using ini perlu dilakukan untuk mendorong petani membudidayakan
tanaman ini.
Beberapa tanaman lain seperti Markisa dan Aren juga memiliki peluang untuk
dikembangkan kembali. Seperti diketahui, tanaman markisa dulu merupakan tanaman yang
bernilai ekonomi cukup tinggi, tetapi dengan tata niaga yang kurang mendukung maka
tanaman ini terus berkurang berkurang produksinya. Pada tahun 2012, tanaman Markisa
masih diusahakan di 9 kecamatan dengan luas penanaman terbesar ada di Kecamatan Nosu,
Mamasa dan Tanduk Kalua. Dari luas 26,5 ha pertanaman markisa dapat dipanen 18 ha
dengan produksi mencapai 200 ton (produktivitas 11,1 ton/ha).
Tanaman aren juga merupakan tanaman yang cukup dikenal di Kabupaten Mamasa,
tanaman ini dapat menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi gula merah atau diambil
buahnya sebagai sumber karbohidrat. Selain untuk produksi tanaman Aren juga dapat
berfungsi sebagai tanaman konservasi pada lahan rawan terhadap longsor.
94
4.4.5 Peternakan
Komoditas ternak unggulan di Kabupaten Mamasa adalah ternak kerbau dan babi,
kemudian ternak sapi potong Tabel 4.16. Dari tabel tersebut terlihat komoditas ternak
kerbau mempunyai populasi tertinggi di kabupaten Mamasa (7235 ekor), kemudian ternak
babi (71184) dan sapi potong (5273 ekor).
Tabel 4.16. Populasi Kerbau, Sapi Potong dan Babi di Kabupaten Mamasa Tahun
2012 (ekor)
Kecamatan Kerbau Sapi Potong Babi
Sumarorong 628 234 4102
Massawa 311 442 3837
Pana 1015 208 4072
Nosu 749 78 4213
Tabang 371 104 4180
Mamasa 892 141 6179
Tanduk Kalua 352 162 4210
Balla 813 39 4350
Sesenapadang 576 186 3258
Tawallan 299 42 3180
Mambi 96 968 3780
Bambang 445 289 3650
Rantebulahan Timur 86 265 4789
Mehalaan 36 357 4220
Aralle 219 997 3480
Buntu Malangka 376 296 4788
Tabulahan 171 465 4896
TOTAL 7235 5273 71184
95
Pada Tabel 4.17 terlihat bahwa populasi Kebau yang tertinggi di kecamatan Nosu,
Mamasa, Balla, Pana dan Sumarorong. Untuk ternak babi populasi tertinggi di kecamatan
Mamasa, Tabulahan, Rantebulahan Timur, Buntu Malangka, dan Sesenapadang. Sedangkan
untuk ternak sapi potong populasi tertinggi di kecamatan Mambi, Massawa, Bambang,
Rantebulahan Timur, dan Sumarorong.
Tabel 4.17. LQ
96
Ternak Kerbau
Ternak kerbau merupakan salah satu ternak penghasil penghasil daging yang cukup
potensial dijadikan sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat,
sebab ternak kerbau selain mudah untuk dipelihara juga memiliki efisiensi yang baik terhadap
pakan berkualitas rendah sehingga sanggup untu memanfaatkan rumput berkualitas rendah
dan menghasilkan berat karkas yang memadai. Ternak kerbau adalah hewan ruminansia yang
bernilai ekonomis tinggi dan mudah beradpatsi dengan lingkungan geografis keras sehingga
memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan.
Kabupaten Mamasa dikenal sebagai salah satu daerah sumber kerbau belang yang
merupakan komoditas penting dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi
masyarakat Kabupaten Mamasa. Masyarakat mengenal empat ketegori pokok jenis kerbau
dipandang dari warnanya. Dari keempat warna kulit dan bulu kerbau tersebut, akan terdapat
warna yang mendekati warna pokoknya dan membedakan nilai kerbau baik secara sosial
maupun ekonomi. Keempat kerbau di Kabupetan Mamasa yaitu:
97
Di Kabupaten Mamasa, kerbau belang (Doti) merupakan objek penting dalam acara
adat istiadat penduduk setempat, selalu digunakan pada setiap upacara adat, terutama dalam
acara pernikahan (rambu tu’ka) dan kematian (rambu solo’). Kerbau atau bahasa setempat
disebut tedong atau karembau, memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sosial masyarakat. Kerbau digunakan sebagai alat pertukaran sosial dalam upacara tersebut.
Jumlah kerbau yang dikorbankan menjadi salah satu tolok ukur kekayaan atau kesuksesan
anggota keluarga yang sedang menggelar acara.
Nilai Ekonomi
Pada upacara adat, jumlah kerbau yang dipersembahkan bisa mencapai ratusan ekor
dan menghabiskan dana hingga miliaran rupiah. Kondisi ini menyebabkan harga seekor
kerbau belang jantan yang akan digunakan sebagai persembahan mencapai ratusan juta
rupiah, bergantung pada pola atau tipe belangnya, ukuran/bobot badan.
Selama ini perhatian terhadap pengembangan ternak kerbau cenderung terbatas dan
sedikit terlupakan, karena konsumsi daging kerbau tidak begitu populer di masyarakat dan
kerbau hanya dipelihara sebagai hewan pekerja yang membantu petani menggarap lahan.
Padahal sesungguhnya usaha peternakan kerbau secara intensif akan membawa manfaat besar
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dan menjaga keseimbangan ekosistim dengan
mencegah kepunahan spesies kerbau.
98
meningkatkan nilai jual dari ternak tersebut sehingga pendapatan dari petani peternak
menjadi lebih baik. Tedong Doti ini juga harganya jauh lebih mahal dari kerbau biasa.
Sapi
Ternak sapi merupakan komoditas peternakan yang baru beberapa tahun terakhir ini
dikembangkan di kabupaten Mamasa. Bangsa sapi yang banyak dikembangkan adalah sapi
Bali. Penyebaran ternak sapi ini berkaitan dengan pola lahan dan pemanfaatannya serta
sosial budaya masyarakat.
Babi
Sama halnya dengan ternak kerbau, ternak babi juga mempunyai peranan penting
dalam memenuhi kebutuhan protein hewani, sebagai tabungan, dan juga komoditas ternak
yang penting dalam upacara adat di kabupaten Mamasa. Penyebaran ternak babi hampir
merata di seluruh kabupaten Mamasa. Pola penyebaran sangat bergantung dari sosial budaya
dan besaran populasi penduduk. Pemeliharaan ternak babi masih bersifat tradisional
dipelihara di halaman rumah dengan skala kepemilikan 1- 10 ekor. Bangsa babi yang lebih
diinginkan dalam upacara adat adalah babi lokal yang berwarna hitam.
99
Nilai Ekonomi.
Pada upacara adat, jumlah babi yang dipotong mencapai ratusan ekor. Kondisi ini
menyebabkan permintaan akan ternak babi selalu ada. Dengan permintaan ternak babi yang
selalu ada dan tinggi maka nilai ekonomis ternak babi sangat tinggi. Selama ini untuk
memenuhi kebutuhan ternak babi masih didatangkan dari kabupaten sekitar terutama Toraja.
Sebagai contoh untuk ternak babi yang berukuran panjang 80 cm dibeli di Toraja dengan
harga berkisar Rp. 1.250 ribu per ekor, kemudian di jual di mamasa dengan harga Rp 2,500
ribu per ekor.
Pakan
Pakan merupakan faktor utama dalam pemeliharaan ternak. Sumber pakan utama
yang digunakan dalam pemeliharaan ternak ruminansia (kerbau dan sapi) adalah hijauan dan
konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah rumput, lapangan, rumput ungggul (tumput
gajah, rumput raja dan setaria) dan limbah pertanian. Sedangkan untuk pakan ternak babi
yang banyak digunakan adalah sisa-sisa rumah tangga dan limbah pertanian.
Padi.Jerami padi merupakan limbah pertanian yang paling potensial dan terdapat
hampir diseluruh daerah di Indonesia. Jerami padi termasuk salah satu hijauan yang sering
digunakan sebagai sumber pakan hijauan ternak dengan palatabilitas yang cukup baik.
Namun, hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah dan apabila diberikan terlalu
banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi
karena kandung nutriennya rendah.
Jerami padi sebagai produk samping tanaman padi tersedia dalam jumlah yang besar
namun demikian pemanfaatannya belum optimal. Hal ini disebabkan karena bahan ini
memiliki nilai nutrisi dan biologis yang rendah. Rataan jumlah jerami padi yang dapat
diperoleh untuk setiap ha adalah 2,5 – 8 ton, Kerbau atau sapi dewasa umumnya diberikan
jerami padi sebanyak 20–30 kg/ekor/hari. Potensi hijauan dari jerami padi dapat dilihat pada
Tabel 4.18.
100
Tabel 4.18. Luas Panen, Produksi Padi dan Jerami Padi Sawah dan Padi Ladang di
Kabupaten Mamasa 2012
Kecamatan Padi Sawah Padi Ladang Total
Produksi
Luas Jerami padi Luas Panen Jerami padi
Jerami padi
Panen (Ton) (Ton) (ton)
Sumarorong 1521 3954,6 0 0 3954,6
Timur
Sumber: Kabupaten Mamasa Dalam Angka 2013 * Produksi jerami padi 2,5-8 ton/ha
101
Jagung. Setelah produk utamanya dipanen, tanaman jagung dapat menyediakan
material yang dapat dipergunakan sebagai bahan baku pakan pengganti hijauan. Beberapa
bahan dari tanaman jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan alternatif
baik sebelum maupun setelah melalui suatu perlakuan/proses pengolahan adalah daun, batang
jagung dan tongkol.
Jumlah produk ikutan tanaman jagung yang dapat diperoleh dari satuan luas tanaman
jagung berkisar antara 2,5–3,4 ton bahan kering per Ha atau 10-40 ton bahan segar per ha.
Jumlah tersebut mampu menyediakan bahan baku pakan sumber serat/pengganti hijauan
untuk sejumlah 1 ST (bobot hidup setara 250 kg, konsumsi bahan kering 3 % bobot hidup)
dalam setahun. (Tabel 4.19) ketersediaan jerami jagung di kabupaten Mamasa.
Tabel 4.19. Jumlah Luas Panen, Produksi jagung dan Jerami Jagung di Kabupaten
Mamasa Tahun 2012
Kecamatan Luas Panen Produksi (ton) Jerami jagung
(Ha) (Ton)
Sumarorong 90 378.0 900
Massawa 60 252.0 600
Pana 15 63.0 150
Nosu 15 54.0 150
Tabang 45 202.5 450
Mamasa 15 57.0 150
Tanduk Kalua 15 64.5 150
Balla 15 60.0 150
Sesenapadang 15 54.0 150
Tawallan 15 57.0 150
Mambi 15 69.0 150
Bambang 15 60.0 150
Rantebulahan Timur 15 60.0 150
Mehalaan 30 132.0 300
Aralle 15 60.0 150
Buntu Malangka 15 60.0 150
Tabulahan 15 64.5 150
TOTAL 420 1747.5 4200
Sumber: Kabupaten Mamasa Dalam Angka 2013 * Jerami jagung10 ton/ha
Produk ikutan tanaman jagung sebelum dipergunakan sebagai bahan baku pakan
sumber serat dapat diolah menjadi hay dan/atau silase, baik dengan ataupun tanpa aplikasi
teknologi bio-proses (fermentasi, amoniasi atau kombinasi perlakuan).
102
Potensi Ketersedian Bahan Pakan Konsentrat
Pemanfaatan bahan pakan lokal produk pertanian ataupun hasil ikutannya dengan
seoptimal mungkin diharapkan dapat mengurangi biaya ransum. Dengan demikian,
diperlukan suatu upaya untuk mencari alternatif sumber bahan pakan yang murah, mudah
didapat kualitasnya baik, serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Namun sering kali
bahan pakan konsentrat lokal harganya justru mahal, sehingga tidak menutup kemungkinan
masuknya bahan lain yang kita perlukan dari luar lokasi selama harganya murah dan mudah
dalam pengadannya serta dapat dijangkau oleh petani/pengguna.
Kebutuhan pakan konsentrat ini tergantung jenis sapi yang dipelihara, untuk sapi-sapi
lokal yang memiliki kemampuan menghasilkan pertambahan bobot badan < 1 kg/hari,
memerlukan pakan konsentrat yang lebih kecil. Lain halnya untuk sapi-sapi peranakan
unggul yang memiliki kemampuan menghasilkan pertambahan bobot badan > 1 kg/hari,
maka memerlukan pakan konsentrat yang lebih tinggi.
Berbagai limbah hasil pertanian baik tanaman pangan maupun perkebunan dapat
dijadikan sebagai sumber bahan pakan konsentrat. Bahan pakan konsentrat yang tersedia
antara lain dedak padi, ampas sagu, kulit buah kakao, ubi kayu, ampas tahu, bungkil kelapa,
dan bungkil inti sawit . Potensi produksi pakan konsentrat diperlihatkan pada Tabel 4.20.
Tabel 4.20. Limbah Tanaman Pangan, Perkebunan dan Pengolahan Hasil Pertanian
sebagai Bahan Pakan Konsentrat
No. Pakan Konsentrat Keterangan
1. Dedak Padi Merupakan limbah penggilingan padi, dapat digunakan
sebagai sumber energi bagi ternak sapi, babi maupun
ayam. Jumlah pemberian pada sapi 2-5 kg/ekor/hari.
3. Ampas Tahu Merupakan limbah industri tahu, dapat dijadikan sumber
protein yang tinggi dan diberikan pada babi dan sapi.
4. Bungkil Kelapa Merupakan hasil pengolahan kopra menjadi minyak
kelapa, merupakan sumber protein yang baik, dapat
digunakan pada sapi.
5. Ubi Kayu Sumber energi bagi ternak babi dan sapi, dapat diberikan
jika dalam kondisi panen berlimpah.
7. Bungkil Sawit Merupakan hasil pengolahan minyak kelapa sawit,
merupakan sumber protein yang baik, dapat digunakan
pada sapi.
103
Dedak Padi.Dedak padi merupakan limbah penggilingan padi yang sangat potensial
sebagai sumber bahan pakan konsentrat bagi ternak sapi. Pemanfaatan dedak sebagai bahan
pakan ternak sudah umum dilakukan, namun penggunaan dedak padi terbanyak pada ayam
dan babi. Penggunaan dedak padi sebagai pakan sapi masih sangat terbatas, beberapa
peternak sudah menggunakan dedak padi tetapi dalam jumlah terbatas. Penggunaan dedak
pada ternak sapi dapat meningatkan pemenuhan kebutuhan energi dan protein.
104
Kecamatan Padi Sawah Padi Ladang Total
Produksi
Produksi Dedak Produksi Dedak padi
padi padi padi (ton) (Ton) Dedak padi
(ton) (Ton) (ton)
* Produksi dedak padi dihitung dari 10% produksi gabah giling (ton/tahun)
Bungkil Kelapa.Saat ini belum ada industri yang mengolah kopra menjadi minyak
kelapa. Jika ada pengolahan kopra menjadi minyak kelapa akan meningkatkan nilai tambah
serta limbah yang dihasilkan yang berupa bungkil kelapa dapat dijadikan sebagai bahan
pakan ternak sapi.
Pengolahan yang dilakukan masyarakat saat ini masih tradisional dalam skala
rumah tangga. Limbah yang dihasilkan relatif sedikit dan belum dapat dimanfaatkan sebagai
pakan ternak.
Ubi Kayu.Ubi kayu dapat dimanfaatkan sebagai pakan kerbau, sapi dan babi.
Penggunaan ubi kayu sebagai pakan ternak perlu dilakukan pengolahan untuk mengatasi
permasalahan kandungan sianida yang tinggi. Tabel 4.22. Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar
di Kabupaten Mamasa Tahun 2012
105
Tabel 4.22. Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar di Kabupaten Mamasa Tahun 2012
Kecamatan Ubi kayu Ubi Jalar
Luas Produksi Jerami Luas Produksi Jerami Ubi
Panen (ton) Ubi kayu Panen (ton) Jalar (ton)
(Ha) (ton) (Ha)
Sumarorong 18 522 90 10 30,0 150
Massawa 20 540 100 20 60,0 300
Pana 20 540 100 20 60,0 300
Nosu 5 130 25 7 19,3 105
Tabang 15 405 75 25 68,8 375
Mamasa 24 624 120 7 21,0 105
Tanduk Kalua 20 560 100 25 68,8 375
Balla 10 260 50 7 19,6 105
Sesenapadang 20 540 100 24 67,2 360
Tawallan 15 405 75 15 41,3 225
Mambi 20 560 100 11 30,3 165
Bambang 10 270 50 11 30,8 165
Rantebulahan 120 3360 600 15 41,3 225
Timur
Mehalaan 25 700 125 13 41,3 195
Aralle 20 560 100 7 21,0 105
Buntu 12 336 60 7 21,0 105
Malangka
Tabulahan 50 1500 250 30 90,0 450
TOTAL 424 11812 2120 256 731,7 3840
106
4.5. Keragaman Sosial dan Kelembagaan
Sebelum Belanda melakukan invasinya di daerah ini, Mamasa sudah memiliki sistem
pemerintahan tradisional yang rapi dan teratur yang disebut Pitu Ulunna Salu, yang berarti
tujuh hulu sungai sebagai lambang atau nama tujuh kepala pemerintahan adat di daerah ini.
Ketujuh kepala adat tersebut adalah: Tabulahan, Mambi, Aralle, Bambang, Rantebulahan,
Matangnga (sekarang dalam wilayah Pemerintahan Kabupetan Polewali Mandar), dan
Tabang (BPS Kab, Mamasa, 2012 : h.6). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
Mamasa dan migrasi warga dari daerah Tana Toraja yang mendiami wilayah Limbong
Kalua’, Tandasau’ dan Tandalangngan, maka terbentuklah gelaran-gelaran adat yang baru,
seperti: Mamasa, Sesena Padang, Osango, Balla, Mala’bo, Banua Sawa, Salu Bue dan
Messawa. Hingga kini semua wilayah tersebut masuk dalam satuan administratif di 17
kecamatan di Mamasa.
Dikenal empat lapisan sosial masyarakat di Kabupaten Mamasa yang dikenal dengan
istilah Tana’, yaitu:
Dalam pemerintahan Hadat (adat), yang berhak menjadi pemimpin adalah mereka yang
memiliki status sosial tertinggi yaitu Tana’ Bulawan. Namun tidak semua Tana’ Bulawan
adalah pemimpin. Hanya satu orang menjadi pemimpin yang dipilih dari kalangan anggota
keluarga Hadat, kemudian dilantik sebagai Ada’. Kepemimpinan tidak boleh jauh dari silsilah
turuan Ada’ tersebut.
Sistem nilai yang melekat secara kuat pada komunitas (embedded) merupakan tata
nilai yang melindungi relasi sosial pada berbagai level, struktur sosial dan stratifikasi sosial.
Jika terjadi gangguan dan perubahan dalam relasi tersebut maka akan mempengaruhi
berbagai level komunitas. Kearifan lokal dapat dimaknai sebagai sistem pengetahuan lokal
yang mentradisi dan melekat sejak lama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan manusia
(sistem ekonomi maupun sosial) suatu komunitas. Di dalam kearifan lokal, terdapat
mekanisme pengaturan yang disepakati sesama warga (anggota komunitas) yang
107
berlandaskan nilai-nilai yang diakui adat. Kearifan lokal tersebut juga dapat ditransformasi
ke dalam bentuk kelembagaan atau institusi pembangunan warga yang berbasis
pengembangan modal sosial.
Kearifan lokal lain yang dipatuhi oleh warga yaitu istilah tak malo mulelleng kayu
lan tondok kediari pariane, yang bermakna tidak boleh menebang pohon di dalam kampung
sebelum panen padi, sebab tanaman padi membutuhkan air untuk hidup sampai panen yang
berasal dari hutan. Istilah tersebut juga hidup dalam masyarakat ketika memaknai nilai
menjaga hutannya yang melekat dalam kehidupan sosial warga desa.
Selanjutnya, satu hal yang unik ditemukan pada lokasi studi yaitu sistem nilai gotong
royong. Istilah gotong royong ada 2 macam, yaitu Ma’saro dan Bulelenan. Umumnya
Ma’saro yaitu memanggil orang-orang untuk membantu melakukan pekerjaannya, kemudian
diberi upah (disaroi) sesuai standar upah perhari kerja yang berlaku dalam masyarakat.
Sementara istilah Bulelenan lebih banyak digunakan untuk kesepakatan antara dua orang atau
lebih untuk bergiliran saling membantu dalam melaksanakan pekerjaan. Bisa pekerjaan satu
hari, atau dapat juga ditetapkan sekian jam kerja untuk masing-maisng orang.
Kearifan lokal lain yaitu adat terkait lahan ladang dikatakan masih cukup kuat. Sistem
pewarisan sudah ada karena masih cukup banyak lahan untuk dimanfaatkan bagi rumah
tangga baru. Pewarisan baru muncul pada saat pola kebun (kakao & kopi) serta pemanfaatan
sawah muncul kembali. Dalam hal pewarisan kebun (pohon/areal) dan tanah sawah, maka
petani tidak membedakan antara anak pertama dan terakhir, laki-laki dan perempuan,
semuanya dibagi rata pada anak-anaknya untuk dikembangkan guna memenuhi kebutuhan
keluarga. Semua rumah tangga hidup saling gotong royong sehingga membentuk
kelembagaan sosial di tingkat warga baik secara formal maupun non-formal.
4.5.2. Struktur Nafkah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Lokal di Kabupaten
Mamasa
108
subsisten dan jenis tanaman perkebunan berorientasi komersil. Sedangkan ternak bagi
masyarakat Mamasa merupakan simbol kekayaan yang biasanya digunakan untuk kegiatan-
kegiatan adat. Orientasi budidaya komoditas oleh masyarakat Mamasa memperlihatkan
berlangsungnya hubungan tenurial, konsumsi, distribusi dan kebijakan Pemerintah Kabupaten
Mamasa.
Ekonomi rumah tangga orang Mamasa bertumpu pada komoditi ekspor dan komoditi
subsisten. Komoditi ekspor berada di luar desa dan ditopang oleh usaha kopi yang
dibudidayakan pada lahan kering. Sementara komoditi subsisten (berada di dalam desa)
ditopang oleh usaha pertanian lahan basah (padi sawah), lahan kering (umbi-umbian dan
tanaman perkebunan seperti kopi dan kakao), dan ternak babi atau kerbau. Tumpuan ekonomi
rumahtangga tersebut menentukan jenis pemanfaatan lahan bagi kehidupan ekonomi
rumahtangga Orang Mamasa. Lahan basah lebih diorientasikan untuk kebutuhan subsisten
sedangkan lahan kering lebih diorientasikan untuk komersil. Namun demikian, lahan kering
yang berada di sekitar desa juga seringkali digunakan untuk memenuhi kebutuhan subsisten.
109
buruh sebagai sumber penghidupan alternatif untuk menghidupi keluarga di desa. Kehadiran
program Gerakan Nasional (Gernas) kakao tidak memberikan ruang bagi petani sebagai
pelaku program, namun lebih dijadikan objek program yang menyebabkan pola pengetahuan
budidaya kakao tidak melekat dalam kehidupan petani.
Selanjutnya, untuk sumberdaya hutan dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu
Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). BPS Kabupaten Mamasa
(2012:h.164) mencatat luas hutan di Mamasa 198.873 Ha, dimana 76% hutan tersebut masuk
dalam kawasan HL, sisanya sebagai HPT (24%). Dinamika antara pengelolaan sumberdaya
alam (hutan dan air) yang berkelanjutan dengan pertumbuhan penduduk dan peningkatan
kebutuhan ekonomi rumah tangga telah membentuk landscape lahan di lokasi studi sebagai
hasil adaptasi tekanan struktural politik dan ekonomi atas sumberdaya alam di satu sisi dan
konteks sosio-budaya komunitas di sisi lain. Kekuatan aktor dan jaringan politik maupun
ekonomi dalam aktivitas usaha berbasis sumberdaya alam dan terpeliharanya kearifan lokal
turut mewarnai dinamika yang berlangsung.Hutan, sungai, dan perbukitan (gunung) adalah
pencirian landscape di Mamasa. Pemanfaatan sumberdaya lokal merupakan bentuk adaptasi
warga terhadap kondisi alamnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Tingkat kesejahteraan orang Mamasa dapat dilihat dari pengusahaan dan pengelolaan
lahan basah dan lahan kering di Mamasa. Keterkaitan aktivitas pertanian dengan nafkah
hidup orang Mamasa ditandai dengan dua istilah penggunaan lahan untuk usaha pertanian,
yakni lahan basah (persawahan) dan lahan kering (kebun). Umumnya lahan basah
(persawahan) terdapat di dataran rendah atau daerah lembah yang diapit oleh bukit dengan
sumber irigasi dari air sungai. Lahan kering terdapat di dataran tinggi atau perbukitan dengan
komoditas kopi, jagung, sayuran, dan sebagainya. Lahan basah merupakan aset yang
memiliki arti lebih penting dibandingkan dengan lahan kering.
Secara ekonomis lahan basah mampu memproduksi bahan pangan beras sebagai
kebutuhan pangan utama dan jika lahan tersebut dijual memiliki nilai jual yang tingggi.
Secara sosial kepemilikan tanah di lahan basah erat dengan status sosial, kemudahan akses,
kontrol pengelolaan, dan pewarisan. Lahan basah dikuasai oleh golongan ada’, hal ini
menyebabkan transaksi (penjualan/pelepasan) lahan basah di Mamasa sarat makna. Dikenal
110
dua pola transaksi lahan basah yaitu transaksi internal keluarga atau dijual kepada keluarga
dan transaksi eksternal keluarga (dijual kepada orang lain). Transaksi internal keluarga
dilakukan dan diatur di dalam keluarga pemilik lahan basah yang diistilahkan dengan Sibalu’
yao banua. Posisi penjual dan pembeli tidak dibedakan antara laki-laki maupun perempuan.
Penetapan harga penjualan disamakan dengan harga pembelian tanah di awal.
Jika lahan basah hendak dijual ke orang lain tradisinya harus melewati kesepakatan
dengan pemilik awal lahan basah (sitoerang danni). Jika pemilik awal mampu menebus
dengan harga awal, maka lahan basah tersebut wajib diberikan kepada pemilik awal
meskipun pembeli yang lain menawar dengan harga lebih tinggi. Tetapi jika pemilik awal
tidak mampu membeli, maka lahan basah bisa dijual kepada orang lain atas persetujuan
pemilik awal. Seluruh rangkaian proses transaksi disebut tungkasa’ suling, yaitu lahan basah
bisa dijual atau dilepas oleh pemilik awalnya.
Proses pemindahan hak atas lahan basah dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian,
yakni:
1) Sewa’ batalembang adalah pemindahan hak atas lahan basah dari orang tua ke anak
(hak warisan);
2) Rangka’ tolontong adalah pemindahan hak atas lahan basah kepada sesama keluarga
(saudara). Transaksi penjualan ini biasanya harga jual di luar kesepakatan.
3) Tungkasa’ suling adalah pemindahan hak atas lahan basah kepada orang lain melalui
transaksi atau penjualan.
Rumitnya pemindahan hak terhadap lahan basah di Mamasa merupakan bentuk dari
sistem ketahanan sosial (social securitysystem) bagi orang Mamasa. Hal ini diterapkan agar
kepemilikan lahan basah dalam sebuah keluarga tetap dapat dipertahankan, karena nilai
sosialnya yang sedemikian tinggi. Sistem ketahanan sosial ini bermakna sebagai sistem untuk
menopang ekonomi keluarga sekaligus sbagai sistem untuk mempertahankan dan menjaga
status sosial keluarga.
111
diwariskan kepada keturunannya, tidak ada upeti yang diserahkan kepada ada’ dari komoditi
yang dihasilkan.
Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan dalam aktivitas
ekonomi, rumahtangga dan sosial dapat dilihat pada Tabel 4.23. Untuk aktivitas pertanian
padi sawah maupun kebun kakao, maka kerjasama dilakukan antara laki-laki dan perempuan,
baik diantara anggota keluarga maupun kerjasama dengan warga lain (kerabat, tetangga).
Sementara untuk pemeliharaan ternak, terjadi berbagi kerja, dimana ternak besar oleh laki-
laki dan ternak kecil (babi, ayam) oleh perempuan. Meskipun demikian kegiatan mencari
pakan ternak (ubi jalar, pepaya) bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dimana
perempuan dominan dalam pemotongan (mencacah) pakan.
112
Tabel 4.23. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalamAktivitas Ekonomi, Rumahtangga, dan Sosial di Kab. Mamasa
Pembagian kerja dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam usaha tani
padi sawah maupun kebun kakao dan kopi dapat dilihat pada Tabel 4.24. Pembagian kerja
tersebut masih mengikuti pola pekerjaan berat oleh laki-laki dan pekerjaan ringan oleh
perempuan. Saat ini panen padi sudah menggunakan sabit (“sangking”) dan laki-laki ikut
panen padi, namun perempuan tetap dominan dalam kegiatan panen meski harus
menggunakan sabit.
113
Tabel 4.24. Pembagian kerja dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
dalam usahatani padi sawah, kebun kakao dan kopi di Kab. Mamasa
Kegiatan perontokan padi dan pengupasan kulit padi menjadi gabah secara tradisi
dilakukan perempuan dengan alat penumbuk padi. Namun ketika ada teknologi baru,
menggunakan roda sepeda (dros) perontok padi dan mesin penggiling padi, maka laki-laki
114
yang mengambil peran dan tanggung jawab karena membutuhkan tenaga besar.Demikian
pula dalam kegiatan pemanenan hasil kakao, dilakukan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan. Untuk usaha kopi robusta, bila penggilingan dengan mesin (pabrik) dilakukan
oleh laki-laki, namun bila dengan cara tradisional ditumbuk, dilakukan oleh perempuan.
Dalam kegiatan rumahtangga, maka perempuan masih mengambil peran dan tanggung
jawab utama mulai dari memasak sampai mengasuh anak dan membersihkan rumah.
Sementara untuk kegiatan sosial kemasyarakatan terjadi pembagian tugas berikut pada Tabel
4.25. Kegiatan sosial yang berlangsung di warga adalah kebaktian keliling dari rumah ke
rumah dihadiri kaum ibu maupun bapak dan anak. Namun untuk kunjungan ke orang sakit,
meninggal oleh kaum ibu. Dalam hal kerjasama formal, seperti kelompok tani, perempuan
belum memiliki akses pada kelompok tani maupun pada kegiatan penyuluhan dan pelatihan.
Tabel 4.25. Pembagian Kerja dan Tanggungjawab antara Laki-laki dan Perempuan
dalam Rumahtangga dan Sosial diKabupaten Mamasa
Aktivitas Pembagian Kerja & Tanggungjawab (Dominan)
Laki-laki Perempuan Bersama
Reproduktif
Memasak V
Mencuci V
Menyetrika V
Menyiapkan makan V
Memandikan anak V
Menyuapi makan anak V
Menyiapkan baju anak V
Mengasuh anak V
Membersihkan rumah V
Sosial
Kebaktian V
Menghadiri hajatan V
Pertemuan posyandu V
Rapat Adat V
Rapat Desa V
Kerjasama “arisan tenaga” V
Pertemuan kelompok tani V
Sumber: Data Primer
Akses perempun relatif lebih terbatas ke kebun kakao maupun kopi dibandingkan ke
sawah. Demikian pula akses terhadap pasar cenderung perempuan memiliki akses relatif
terbatas karena kondisi infrastruktur jalan yang tidak memungkinkan. Sementara dalam hal
kerjasama pertukaran tenaga kerja untuk aktivitas pertanian, maka baik laki-laki maupun
115
perempuan memiliki akses dalam kerjasama tersebut, dibandingkan dalam kelompok formal
seperti kelompok tani maka cenderung hanya laki-laki saja yang memiliki akses.
Tabel 4.26. Akses Terhadap Asset (Sumberdaya) antara Laki-laki dan Perempuan di
Kabupaten Mamasa
116
Tabel 4.27. Relasi kuasa dalam pengambilan keputusan terhadap asset (sumberdaya)
antara laki-laki dan perempuan di Kabupaten Mamasa
Relasi kuasa dalam pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan dapat
dilihat pada Tabel 4.27. Dalam urusan pengelolaan aktivitas pertanian, baik padi sawah
maupun kebun kakao dan kopi, maka cenderung mengutamakan keluarga (laki-laki dan
perempuan bersama). Misalnya dalam urusan membayar hutang, membeli barang dan
sumbangan pernikahan maka harus musyawarah, namun untuk urusan dapur diputuskan
sendiri oleh perempuan. Sementara untuk kegiatan kelompok formal, seperti kelompok tani,
rapat desa, pelatihan, maka cenderung laki-laki yang dominan memutuskan. Namun untuk
pewarisan, yang dapat diwariskan baik berupa kebun maupun sawah. Pewarisan dilakukan
pada saat anak menikah, dan biasanya dibagi sama antara anak laki-laki maupun perempuan.
117
Akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dalam suatu perencanaan
pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi
sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa (1) setiap
sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian
sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain),
(2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang
berbeda-beda, dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa
sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya
alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada. Dapat dipahami bahwa di setiap wilayah
selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang
diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya.
1. Komoditas Unggulan (ekonomi): Kopi, Kakao, Kerbau dan Babi. Kelompok ini
merupakan komoditas yang telah berkembang di Kabupaten Mamasa dan
memiliki peran besar dalam pembentukan produk domestik regional. Komoditas
unggulan ini mempunyai karakteristik : (1) diminati masyarakat dan sesuai dengan
potensinya, (2) bersifat khas dan meningkatkan pendapatan bagi masyarakat, (3)
permintaan pasar yang tinggi dan kontinyu serta mempunyai manfaat ekonomi
yang tinggi , (4) dari segi teknik budidaya, petani sudah berpengalaman.
2. Komoditas Strategis: Padi sawah dan Padi dataran tinggi. Kelompok ini
merupakan komoditas yang telah berkembang di Kabupaten Mamasa dan
memiliki peran besar dalam pembentukan produk domestik regional, serta
118
mempunyai nilai strategis dalam ketahanan pangan dan stabilitas sosial.
Komoditas strategis mempunyai kriteria: (1) ditanam cukup luas dan hampir ada
di setiap desa, (2) mempunyai nilai ekonomi yang tidak tinggi tetapi memiliki
stataus sosial yang tinggi dalam budaya masyarakat Mamasa dan sebagai upaya
food security
3. Komoditas Prospektif: Perikanan Budidaya dan Tanaman hortikultura dan
lainnya. Kelompok ini merupakan komoditas yang belum berkembang di
Kabupaten Mamasa tetapi memiliki potensi permintaan yang besar, sehingga di
masa datang dapat berperan dalam pembentukan produk domestik regional.
Komoditas prospektif mempunyai kriteria: diusahakan masyarakat pada tempat-
tempat tertentu tetapi mempunyai prospek yang cukup baik karena mempunyai
potensi permintaan yang cukup besar.
Selain itu juga dikembangkan komoditi yang secara sosial dan sejarah telah diterima
dan sudah berkembang selama ini, misalnya markisa dan aren. Komoditi lainnya yaitu;
tanaman useng yang secara cepat (instant) dapat menghasilkan penghasilan dapat dijadikan
sebagai komoditi unggulan prospektif dalam sisi pemasaran yang relatif mudah.
Hasil rekapitulasi komoditas yang dianggap unggul berdasarkan berbagai parameter
yang dibangun disajikan dalam Tabel 4.28. Penentuan prioritas dilakukan berdasarkan
keberadaan di kolom prioritas. Jika semua suatu komoditas muncul pada parameter, maka
komoditas itu adalah unggulan. Ukuran luasan dan juga infrastruktur akan dijadikan sebagai
referensi sebagai pengembangan program atau pengelolaan.
Sebagai informasi, permasalahan infrastruktur dan pengaturan kawasan dianggap
sebagai kondisi yang diperlukan perbaikan atau pengembangannya. Infraststruktur seluruh
wilayah Mamasa termasuk masih harus dikembangkan, sedangkan adanya pengaturan alokasi
ruang atau pengaturan penggunaan juga perlu dilakukan dan berlalu secara menyeluruh
sehingga tidak menjadi bagian spesifik sebagai penentu keunggulan komoditas.
119
Tabel 4.28. Prioritas komoditas unggulan lokal berdasarkan berbagai parameter
120
BAB V
PENGEMBANGAN PROGRAM
Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, maka didapatksan 4 program yang
dengan langkah-langkah ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait program-
program yang dapat dikembangkan. Program-pogram tersebut diantaranya mengorientasikan
pada program kebijakan penataan ruang, program pengembangan kapasitas teknis, program
pengembangan kapasitas kelembagaan, dan program peningkatan Sumber Daya Manusia.
Berdasarkan kombinasi data tanah dan lereng, iklim, maka disusun satuan lahan yang
baru. Data satuan lahan di luar kawasan lindung, hutan produksi terbatas, disusun kembali.
Sehingga usulan ruang untuk berbagai daerah produktif dapat pertimbangkan untuk
mendetilkan rencana tata ruang atau dalam pembuatan master plan yang lebih detil. Dalam
kajian ini juga ditemukan ketidak-sesuaian antara karakteristik fisik dengan ruang yang
sedang diusulkan (Rencana Tata Ruang Wilayah disusun oleh Provinsi Sulawesi Selatan)
sehingga disampaikan juga usulan perubahan RTRW yang perlu dilakukan. Secara
keseluruhan usulan program disajikan pada Tabel 5.1.
121
No Tipe daerah Program
yang terbatas
Pengembangan komoditas yang menjaga keberadaan air.
Tanaman pinus merupakan tanaman yang kemampuan
menyimpan air terbatas dan rentan kebakaran
4 Perkebunan Pemetaan zonasi tanaman kopi dan pengembangan master plan
Penyusunan master plan wilayah perkebunan non-intensif : kopi,
alpukat, kakao, dll
5 Pertanian Pengembangan rencana induk tanaman lahan kering: rumput
useng, ubi jalar dll
Pengembangan rencana induk lahan basah: potensi air melimpah
Pengembangan rencana induk hortikultura (sayur, buah, bunga)
Pengembangan rencana induk perikanan (zonasi dan lainnya)
6 Peternakan Pengembangan rencana induk peternakan (zonasi dan lainnya)
Kawasan Hutan Lindung yang sudah dibuat masih perlu perbaikan sehingga sebagian
daerah hutan produksi terbatas juga berubah menjadi daerah dilindungi. Kenyataan di
lapangan, ada daerah hutan produksi sebenarnya tidak tepat dijadikan sebagai daerah
produksi, sehingga diusulkan menjadi daerah berfungsi lindung di kawasan hutan produksi.
Selain itu, daerah tertentu di kawasan hutan lindung atau hutan produksi, sudah ada
aktivitas perduduk yang mungkin sudah bermukim lama atau yang masih baru bermukim.
Untuk penduduk yang sudah bermukim lama, maka disarankan supaya dikaji peluang
menjadi daerah enclave, dan jika layak maka segera diusulkan ke kementrian yang
berwenang untuk perbaikan batas. Jika tidak layak maka perlu dilakukan pengaturan kembali
keberadaan aktivitas tersebut. Untuk penduduk yang baru bermukim di kawasan tersebut juga
perlu segera diatur pemukiman kembali sebelum menjadi masalah besar di masa yang akan
datang.
Secara kasat mata penyebaran daerah pemukiman di pinggir Sungai Mamasa banyak
ditemukan. Dalam dokumen perencanaan ruang, kondisi seperti diijinkan dalam kriteria yang
dipakai. Dalam jangka panjang, jika larangan tempat tinggal penduduk di lokasi ini tidak
dijalankan. Maka ada kemungkinan lokasi pemukiman gelap akan semakin banyak. Untuk
menghalangi pertumbuhan ini, selain larangan secara fisik, maka juga dapat diterapkan
pembatasan fasilitas pendukung seperti listrik, air bersih dan lainnya. Mengingat daerah
berlereng datar terbatas, maka perataan daerah berlereng adalah perlu dikembangkan tetapi
122
tentu untuk pendekatan ini perlu pengukuran spesifik tentang kemampuan tanah secara
mekanis sehingga daerah yang diratakan mempunyai potensi rendah menjadi daerah longsor.
Daerah hutan produksi terbatas di Kabupaten Mamasa, temasuk luas, tetapi diduga
sebagian wilayah ini juga seharusnya menjadi daerah berfungsi lindung, karena saat ini
sangat banyak daerah yang berlereng terjal dan berpotensi longsor. Jika daerah produksi ini
dijadikan daerah berfungsi lindung, maka keterjaminan ketersediaan air makin besar.
Saat ini daerah hutan produksi ditanami dengan pohon pinus.Variasi tanaman selain
pinus perlu dilakukan mengingat tanaman ini rentan terbakar pada musim kemarau dan
kemampuan menyimpan air relatif terbatas. Fakta di lapangan, saat ini tanaman ini juga
dimanfaatkan penduduk sebagai sumber bahan kayu untuk pembangunan rumah atau lainnya.
Dalam hal ini, pemanenan oleh pihak masyarakat dapat menjadi potensi ancaman kalau tidak
direncanakan dengan baik.
Mengingat daerah budidaya yang disarankan adalah untuk tanaman perkebunan, dan
hal ini sesuai dengan kondisi kemiringan lahan yang cenderung curam hingga terjal, dengan
variasi tanah berliat atau pasir. Dalam perencanaan ruang, sebagian besar wilayah yang
disarankan sebagai daerah perkebunan ini berada pada elevasi 1000 – 1200 m dpl, maka
pilihan tanaman perkebunan yang paling tepat relatif terbatas. Tanaman yang baik pada
ketinggian ini antara lain kopi, alpukat, apel, kelengkeng, jeruk dan lainnya. Saat ini tanaman
kopi sudah menyebar pada hampir semua daerah pemukiman, sedangkan tanaman seperti
apel, alpukat, kelengkeng, dan lainnya belum berkembang.
Tanaman kakao juga sudah berkembang, tetapi secara fisik lingkungan daerah
tanaman kakao disarankan pada ketinggian lebih rendah. Secara ideal ketinggian yang
direkomendasikan kurang dari ketingggian 600 meter dpl. Pada beberapa lokasi di ketinggian
diatas 1000 meter juga ditemukan tanaman kakao, tetapi secara produksi relatif rendah jika
dibandingkan pada lokasi yang berada pada ketinggian sekitar 700-800 m di atas permukaan
laut.
123
Potensi ke depan untuk pengembangan komoditas perkebunan seperti kopi atau kakao
atau lainnya sebenarnya besar, tetapi mengingat kendala secara sosial besar, maka perlu
pengaturan secara lebih detil lokasi yang akan dikembangkan untuk komoditas spesifik.
Pendekatan dari kesiapan sosial atau potensi ke depan dapat dijadikan acuan. Khusus untuk
tanaman kopi, mengingat secara budaya sudah melekat, maka identifikasi karakter fisik
produk kopi dan juga lingkungan perlu dilakukan secaa detil, sebelum dikembangkan
perencanaan induknya.
Tanaman padi ditemukan pada hampir semua daerah pemukiman, dan berada pada
daerah lembah. Hamparan sawah yang relatif besar hanya ditemukan di beberapa tempat
seperti di Kecamatan Mamasa, Sumarorong, Bambang dll. Hanya di lokasi tertentu
ditemukan sawah yang dibangun berteras pada daerah berlereng. Dalam luasan hamparan
terbatas, daerah sawah masih memungkikan dikembangkan mengingat sumber air relatif
besar di berbagai tempat. Secara umum hampir semua daerah persawahan mempunyai kolam
ikan yang terletak di bagian tengah sawah. Daerah tambak dalam skala luas sangat terbatas
ditemukan.
Secara lingkungan fisik, daerah Mamasa juga sesuai untuk sebagian tanaman sayuran
dataran tinggi seperti tomat, kentang, cabai dan selanjutnya. Saat ini keberadaan tanaman
kategori ini masih terbatas, dan kendala terbesar terkait dengan aspek sosial. Walaupun
demikian, di lokasi tertentu seperti Kecamatan Messawa, ditemukan tanaman perdu yang
banyak diproduksi di lahan penduduk yaitu rumput useng. Tanaman ini merupakan tanaman
yang berfungsi sebagai bahan baku minuman, yang banyak diekspor ke Cina dan Taiwan.
Dari diskusi dengan pengekspor, diketahui tanaman ini disukai masyarakat karena mudah
memeliharanya dan dapat menjadi sumber pendapatan rutin, walaupun tidak tinggi.
Potensi ke depan untuk pengembangan komoditas sawah / ikan, hortikultur dan buah
sebenarnya besar, tetapi mengingat kendala secara sosial besar, maka perlu pengaturan secara
lebih detil lokasi yang akan dikembangkan untuk komoditas spesifik. Pendekatan dari
kesiapan sosial atau potensi ke depan dapat dijadikan acuan. Alokasi pengembangan untuk
sawah, lahan kering, dan perikanan perlu disusun secara cermat melalui perencanaan induk.
Perencanaan induk yang bersifat pengembangan terintegrasi sangat penting sepertin
mengkombinasikan sawah, ikan, ternak, air dan energi adalah layak diidentifikasi.
124
5.1.6. Daerah Peternakan
Ternak yang mendapat perhatian penduduk yang utama adalah Kerbau, Babi dan
Sapi. Keberadaan kawasan peternakan seperti kerbau dan sapi ditemukan terbatas, walaupun
ternak ini dianggap penting. Selain itu, ternak babi juga dianggap penting, tetapi sistem
pemeliharaan juga masih bersifat terbatas, karena keberadaannya lebih banyak di belakang
rumah, atau di pinggir jalan tertentu. Secara ruang, dianggap pengelolaan ternak saat ini
masih mengandalkan hijauan yang menyebar di berbagai lokasi dan bersifat alami.
Mengingat secara fisik ada ruang untuk menghasilkan pakan ternak atau hijauan ternak, maka
alokasi ruang perlu dilakukan melalui penyusunan dokumen perencanaan induk; yang juga
melihat potensi lahan, tanaman pakan, ternak dan juga air yang melimpah.
Dari uraian teknik budidaya yang ada saat ini serta kendala yang dihadapi petani
kakao di Kabupaten Mamasa maka ada beberapa kegiatan untuk meningkatkan produktivitas
kakao yaitu : pendampingan teknis budidaya yang berhubungan dengan perbaikan sistem
percabangan, diintroduksi klon-klon kakao baru yang relatif tahan terhadap serangan hama
PBK, seperti klon ICCRI 2 dan ICCRI 4, pemanfaatan kulit buah kakao sebagai sumber
pupuk organik dan perbaikan tanaman kakao melalui pemangkasan dan pembentukan cabang.
127
Untuk percepatan penyebarluasan klon-klon baru dan mendukung peremajaan serta
rehabilitasi tanaman kakao, diperlukan pembibitan kakao klon unggul dan pembangunan
kebun entres di sentra-sentra produksi kakao. Kebun entres ini dapat digunakan untuk
meremajakan tanaman kakao yang sudah tua dengan teknik sambung pucuk.Dengan teknik
tersebut diharapkan tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik dan terhindar dari serangan
penyakit. Beberapa varietas/klon kakao yang dapat dikembangkan di Kabupaten Mamasa
antara lain : ICCRI 2, ICCRI 4, GC 7, Hibrida, ICS 60 dan TSH 60. Varietas/klon ini
memiliki beberapa keunggulan seperti : produksi tahun kelima dapat mencapai 1,5-3,0
ton/ha/tahun, toleran terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora), penyakit
antraknose (Collectotrisum), dan VSD (Oncobasidium theobromae) dan berdaptasi cukup
luas terhadap ketinggian tempat dan dapat dibudidayakan dari 0-650 m dpl
Kekurangan unsur hara pada tanah dapat diatasi dengan memberian pupuk organik
yang sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan tanaman kakao.Penggunaan pupuk organik
dari limbah buah kakao (kulit buah kakao yang telah terdekomposisi) juga dapat digunakan
untuk meningkatkan bahan organik tanah, sehingga secara bertahap tingkat kesuburan tanah
meningkat.
Walupun saat ini kondisi tanaman kakao masyarakat sudah banyak yang rusak akibat
serangan hama PBK tetapi minat masyarakat untuk menanam kakao masih tetap tinggi. Hal
ini berhubungan dengan peran tanaman kakao sebagai sumber pendapatan utama bagi
sebagian besar masyarakat Kabupaten Mamasa. Oleh karena itu pengembangan tanaman
kakao yang akan dilakukan juga perlu didukung oleh pengembangan sistem yang lainnya,
seperti sarana produksi, unit pengolahan dan pemasaran hasil. Hal ini penting dilakukan agar
proses produksi dapat berjalan dengan baik serta harga jual yang diperoleh juga kompetitif.
128
5.2.3. Padi Sawah
Secara umum padi sawah sudah merupakan komoditas yang paling banyak
diusahakan oleh masyarakat di Kabupaten Mamasa, sehingga secara teknis budidaya
masyarakat sudah mengetahui dengan baik. Walaupun demikian masih ada beberapa hal
yang perlu dikembangkan, antara lain : perluasan areal tanam, introduksi varietas padi yang
baru, pemanfaatan air yang lebih efisien dengan pembangunan jaringan irigasi serta
penggunaan sarana produksi (pupuk) yang lebih baik.
2 Perluasan areal tanaman padi Bertambahnya luas areal tanaman padi Tiap kecamatan
3 Penyediaan sarana produksi Tersedianya kios sarana produksi (pupuk Tiap kecamatan
dan benih)
4 Penambahan tenaga penyuluh Betambahan tenaga penyuluh pertanian Tiap kecamatan
129
Tabel 5.5. Program dan Indikasi Program Pengembangan Rumput Useng
No Program Pengembangan Indikasi Program Lokasi Luas (ha)
5.2.5. Aren
Tanaman Aren memiliki peluang pasar yang cukup menjanjikan. Hampir semua
bagian tanaman aren memiliki nilai ekomoni yang cukup baik. Daun, tulang daun dan
pelepahnya dapat digunakan untuk atap rumah, sapu lidi dan tutup botol sebagai pengganti
gabus. Sedangkan batangnya dapat digunakan untuk alat-alat rumah tangga atau dijadikan
bahan bangunan. Pada batang tanaman aren juga dapat dihasilkan ijuk yang dapat digunakan
untuk berbagai keperluan. Batang tanaman aren sebenarnya dapat digunakan sebagai sumber
karbohidrat yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan roti, soun, mie dan
campuran pembuatan lem.
Bunga tanaman aren juga dapat menghasilkan cairan gula yang disebut nira dengan
cara memotong (sedikit demi sedikit) tangkai bunga. Nira mengandung zat gula dan dapat
diolah menjadi gula aren atau tuak. Buah aren dapat diolah menjadi bahan makanan seperti
kolang-kaling yang banyak digunakan untuk campuran minuman es, kolak atau dapat juga
dibuat manisan kolang-kaling.
Selain dari sisi ekonomi, tanaman aren juga memiliki fungsi ekologis yang sangat
baik. Tanaman aren memiliki sistem perakaran yang dangkal dan melebar akan sangat
bermanfaat untuk menyimpan air serta mencegah terjadinya erosi tanah. Dengan tajuk yang
lebar dan cukup lebatserta batang yang tertutup dengan lapisan ijuk, akan sangat efektif untuk
menahan turunnya air hujan yang langsung ke permukaan tanah. Selain itu pohon aren juga
dapat tumbuh baik pada daerah yang agak miring akan sangat baik untuk mencegah
terjadinya longsor.
Sampai saat ini tanaman aren belum banyak dibudidayakan secara intensif. Padahal
jika dilihat dari sisi ekonominya tanaman ini dapat dijadikan sumber pendapatan masyarakat
yang cukup besar. Oleh karena itu, pengembangan tanaman aren ini harus dimulai dengan
130
program jangka pendek seperti : sosialisasi manfaat tanaman aren sebagai sumber pendapatan
masyarakat serta peran ekologisnya, penyediaan bibit tanaman aren serta pendampingan
teknis budidaya serta percontohan pengusahaan tanaman aren. Untuk jangka menengah perlu
dikembangkan kelembagaan pemasaran dari berbagai produk yang dihasilkan tanaman aren.
Secara rinci program pengembangan tanaman aren jangka pendek yang akan dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 5.6.
5.2.6. Markisa
Seperti diketahui bahwa di beberapa kecamatan masih ada petani yang mengusahakan
tanaman markisa dan sudah ada usaha untuk memasarkan buah markisa. Buah markisa ini
131
pada umumnya dijual di kios/warung di pinggir jalan. Dari sisi produksi, sebenarnya
Kabupaten Mamasa masih memiliki peluang untuk meningkatkan produksi markisa ini
karena tanaman ini tidak menuntut syarat tumbuh yang rumit, sehingga peluang ini sangat
besar untuk dapat dilaksanakan. Selain itu potensi lahan yang dapat digunakan untuk
mengembangkan tanaman ini juga masih tersedia. Oleh karena itu usaha untuk
mensosialisasikan tentang manfaat ekonomi dan teknis budidaya yang baik perlu
dilaksanakan. Kegiatan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan mengadakan penyuluhan dan
petak percontohan/demfarm.
Dari sisi pengolahan hasil, buah markisa sebenarnya dapat diolah untuk menjadi
minuman yang dapat dilakukan pada tingkat rumah tangga atau dalam bentuk Usaha Kecil
dan Menengah. Usaha ini perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual buah markisa
sekaligus untuk mengantisipasi meningkatnya produksi buah markisa karena adanya rencana
perluasan areal tanam tanaman markisa.
Dari sisi kelembagaan perlu juga ditingkatkan peran lembaga pemasaran yang saat ini
sudah ada di masyarakat. Peningkatan ini dapat berupa peningkatan status lembaga
pemasaran yang saat ini masih bersifat perorangan untuk dikembangkan menjadi lembaga
tingkat kecamatan. Selain itu perlu disediakan tenaga pendamping/penyuluh yang berperan
dalam pembimbingan teknis budidaya markisa.
5.2.7. Peternakan
Berdasarkan kajian yang telah dibahas diatas, maka dengan ini dimunculkan beberapa
usulan program yang layak untuk mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak terkait.
Sebagaimana yang ada pada (Tabel 5.7) ditentukan usulan program berdasarkan jenis ternak
yang memiliki minat tinggi didalam masyarakat, diantaranya adalah Ternak Kerbau, Ternak
Sapi Potong, Ternak Babi.
132
Tabel 5.7. Usulan Program bagi pengembangan Ternak di Kabupaten Mamasa
Jenis Ternak Usulan Program Pengembangan Ternak
Ternak 1. Perbaikan manajemen pemeliharaan kerbau
Kerbau 2. Peningkatan kualitas pakan dengan menanam rumput unggul
3. Peningkatan efisiensi reproduksi ternak kerbau
4. Penggunaan konsep pemuliaan yang lebih baik dalam
pengembangan ternak kerbau belang.
Ternak Sapi 1. Perbaikan Manajemen pemeliharaan Sapi Potong
Potong 2. Peningkatan kualitas pakan dengan menanam rumput unggul
3. Peningkatan efisiensi reproduksi ternak sapi potong
Persoalan akses yang tidak merata dikarenakan akses yang tidak seimbang terhadap
penguasaan dan pemilikan tanah merupakan fenomena yang umum dihadapi di negara
berkembang. Hal tersebut mengakibatkan berbagai hal seperti kesenjangan sosial juga
dampak lain seperti penggunaan lahan/tanah tidak sesuai dengan peruntukan komoditas yang
tepat. Kondisi tersbeut diperparah dengan lemahnya kontrol sosial dan posisi tawar sebuah
komunitas dalam menentukan komoditas yang akan diproduksinya sesuai dengan sosiokultur
dan agroekologi yang terdapat di wilayahnya. Hal tersebut selanjutnya memberikan dampak
bagi keberlangsungan pola pertanian yang diterapkan, baik yang berorientasi pada
subsistensi, maupun yang komersil.
134
5.4. Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia
135
No. Sektor/ Program Lokasi Program Sumber Dana Pengelola
Program Pembangunan Pembangunan Pembangunan
dan
Pengembangan
136
BAB VI
PENUTUP
• Dari kajian sudah dihasilkan komoditas unggulan kabupaten Mamasa yaitu kopi, padi,
kakao, rumput useng, markisa, kerbau, babi, perikanan dan tanaman hortikultura. Masih
ada sejumlah komoditas prospek yang akan muncul seiring perkembangan ekonomi.
Lokasi dari komoditas unggulan ini menyebar di berbagai tempat, yang sebagian besar
masih berupa potensi dan masih perlu dikembangkan.
• Hasil kajian sudah menghasilkan data dasar tertentu yang dapat dipakai sebagai bahan
pembuatan berbagai program yang bersifat perencanaan dan tindakan aksi. Program yang
diusulkan terdiri dari Kebijakan dan Alokasi Ruang, Pengembangan Infrastruktur,
Peningkatan Kapasitas Teknis, Peningkatan Kapasitas kelembagaan dan Peningkatan
Kapasitas Sumberdaya Manusia.
• Program utama dalam kebijakan dan alokasi ruang adalah perbaikan perencanaan ruang,
pemantapan alokasi ruang terkait dengan potensi sumberdaya daya dan juga aktual
penggunaan ruang, dan berbagai perencanaan induk untuk komoditas, yang melihat
intergrasi potensi fisik lahan, tanaman, air, energi dan ruang serta dikaitkan dengan
karakter sosial dan budaya.
137
lingkup kawasan dengan pertimbangan kesamaan ekologi. Beberapa tahapan dasar
pengembangan perlu dilakukan sesuai dengan tingkat kemajuan kelembagaan yang ada
138