Anda di halaman 1dari 18

Nama : Ranny Vincha Widyantika

NIM : 2010021

LAPORAN PENDAHULUAN

ELIMINASI URINE

1. Definisi Eliminasi Urine

a. Komposisi Urine

Kedua ginjal menyaring seluruh volume darah pada tubuh manusia

berkali-kali setiap hari untuk membuang limbah sebagai urin. Karakteristik

urin dapat bervariasi seperti pada Gambar 1 tergantung pada asupan,

jumlah air yang terbuang, asupan nutrisi, dan faktor lainnya. Sel, protein,

dan darah biasanya tidak ditemukan dalam urin. Beberapa karakteristik

seperti warna dan bau adalah gambaran dari keadaan hidrasi tubuh.

Misalnya, jika seseorang berolahraga atau bekerja di luar ruangan dan

banyak berkeringat maka urin akan menjadi lebih gelap dan menghasilkan

sedikit bau. Berbeda dengan orang yang terhidrasi dengan baik akan

memiliki urin berwarna terang atau jernih dengan sedikit bau (University

of Oregon, 2021).
Gambar 1. Karakteristik Urine

Gambar 2. Warna Urine


PH (konsentrasi ion hidrogen) urin dapat bervariasi lebih dari 1000

kali lipat, dari terendah normal 4,5 hingga maksimum 8,0 tergantung pada

tindakan sel-sel spesifik ginjal. Osmolaritas urin adalah jumlah osmol atau

miliosmol per liter cairan (mOsmol/L). Osmolaritas urin berkisar dari yang

terendah 50-100 mOsmol/L sampai setinggi 1200 mOsmol/L H2O. Warna

urin sebagian besar ditentukan oleh produk pemecahan penghancuran sel

darah merah Gambar 2. Heme hemoglobin diubah oleh hati menjadi

bentuk yang larut dalam air yang dapat diekskresikan ke dalam empedu

dan secara tidak langsung ke dalam urin. Pigmen kuning ini adalah

urokrom (University of Oregon, 2021).

University of Oregon (2021) menyatakan warna urin juga dapat

dipengaruhi oleh makanan tertentu seperti bit, beri, dan kacang. Dehidrasi

menghasilkan urin yang lebih gelap dan pekat yang mungkin juga

memiliki sedikit bau amonia. Amonia (NH3) adalah produk sampingan

beracun dari metabolisme protein. Ini terbentuk karena asam amino

dideaminasi oleh hepatosit hati. Itu berarti bahwa gugus amina, NH2,

dikeluarkan dari asam amino saat dipecah. Sebagian besar amonia yang

dihasilkan diubah menjadi urea oleh hepatosit hati. Urea tidak hanya

kurang toksik tetapi juga digunakan untuk membantu pemulihan air

melalui lengkung Henle dan saluran pengumpul untuk mengontrol volume

urin.

Volume urin sangat bervariasi. Kisaran normal adalah satu hingga

dua liter per hari. Ginjal harus menghasilkan volume urin minimal sekitar

400 mL/hari untuk membuang limbah dari tubuh. Output dibawah level ini
mungkin disebabkan oleh dehidrasi berat atau penyakit ginjal. Pengaturan

volume urin mencerminkan pengaturan komposisi urin dan darah seperti

yang dijelaskan di bawah ini. Darah disaring dan filtratnya diubah menjadi

urin dengan laju yang relatif konstan sepanjang hari. Urine disimpan

sampai waktu yang tepat untuk ekskresi. Semua struktur yang terlibat

dalam transportasi dan penyimpanan urin cukup besar untuk dapat dilihat

dengan mata telanjang. Sistem transportasi dan penyimpanan ini tidak

hanya menyimpan limbah, tetapi juga melindungi jaringan dari kerusakan

akibat kisaran pH dan osmolaritas urin yang luas (University of Oregon,

2021).

b. Definisi Eliminasi Urine

Eleminasi atau pembuangan normal urine merupakan kebutuhan dasar

manusia yang harus terpenuhi yang sering dianggap enting oleh

kebanyakan orang. Pada sistem perkemihan yang tidak berfungsi

dengan baik, hal ini bisa menggangu sistem organ yang lainnya.

Seseorang yang mengalami perubahan eleminasi dapat menderita

secara fisik dan psikologis. Anda sebagai perawat harus memahami

dan menunjukkan sikap peka terhadap kebutuhan klien akan eleminari

urine, serta memahami penyebab terjadinya masalah dan berusaha

memberikan bantuan untuk penyelesaian masalah yang bisa diterima

(University of Oregon, 2021).

2. Etiologi Eliminasi Urine

Faktor-faktor yang mempengaruhi individu eliminasi urin Elshamy

(2021):
a. Perubahan di lingkungan pasien: Seperti: fasilitas toilet yang tidak

layak toilet yang tidak bersih atau kurangnya privasi. Rutinitas

rumah sakit mungkin mempengaruhi kebiasaan pasien.

b. Jumlah asupan cairan: Bisa meningkat atau mengurangi jumlah

urin.

c. Asupan obat-obatan: Dapat menyebabkan perubahan warna urin,

atau dapat meningkatkan pengeluaran urin dimasukkan (diuretik).

d. Faktor psikologis: Seperti stres, ketakutan, kecemasan dan faktor

emosional.

e. Kondisi patologis: Seperti demam, kencing manis, infeksi saluran

kemih.

f. Penyakit sistem saraf atau cedera yang dapat menyebabkan

inkontinensia urin.

g. Aktivitas fisik: Seperti imobilitas.

h. Tekanan darah: Tekanan darah rendah (Perdarahan) menyebabkan

rendahnya produksi air seni.

i. Obstruksi: Akan menyebabkan stasis urin. Obstruksi mungkin

karena bawaan cacat, batu, tumor, dll.

j. Pengaruh hormonal: Anti diuretik. Hormon yang disekresikan oleh

lobus posterior kelenjar pituitari dan menekan jumlahnya urin yang

dihasilkan.

Tindakan keperawatan pada pasien dengan inkontinensia urin Elshamy

(2021):

a. Perawatan kulit untuk mencegah iritasi dan kerusakan.


b. Kebersihan pakaian.

c. Sering membalik pasien untuk mencegah ulkus dekubitus.

d. Latihan perineum dan perut.

e. Memperkuat otot perut dengan menggunakannya untuk

membantu inhalasi udara, Pengetatan dan mengendurkan otot

perineum 10 kali (3 kali sehari).

f. Program pelatihan ulang kandung kemih.

g. Menyesuaikan jadwal asupan cairan.

h. Bantuan emosional.

3. Klasifikasi Urine

Urin diklasifikasikan menjadi beberapa jenis menurut Elshamy (2021)

seperti berikut:

a. Hematuria: Adanya darah di air seni.

b. Piuria: Adanya nanah dalam urin.

c. Albuminuria: Adanya albumin dalam urin.

d. Urin pucat: Berarti urin encer mungkin karena untuk asupan cairan

yan berlebihan atau asupan diuretik.

e. Glikosuria: Adanya gula dalam urin.

f. Gips: Adanya protein yang terkoagulasi dari tubulus ginjal

g. Urin gelap: Berarti urin pekat, mungkin karena:

 Dehidrasi, atau asupan cairan yang rendah,

 Adanya pigmen empedu (urobilin atau bilirubin) karena

penyakit hati atau kantong empedu.


 Konsumsi obat-obatan tertentu seperti: antibiotik mengubah

warna urin menjadi oranye atau merah.

 Asupan makanan tertentu, sayuran dan buah-buahan seperti

wortel, bit dan Blackberry.

4. Tanda dan Gejala Urine

Elshamy (2021) adanya masalah pada eliminasi urine ditandai oleh

beberapa tanda seperti::

a. Poliuria: buang air kecil dalam jumlah banyak.

b. Oliguria: Mengeluarkan sedikit air seni. (Kurang dari 600 cc/hari)

c. Anuria atau supresi urin: Total ketidakhadiran atau kekurangan

yang nyata yaitu ketidakhadiran urin keluar dari ginjal.

d. Inkontinensia urin: Tidak disengaja berkemih atau meneteskan urin

terus menerus. Jenis-jenis inkontinensia urin dibagi menjadi empat

yaitu inkontinensia konstan, inkontinensia sesekali, inkontinensia

stres dan nkontinensia overflow.

e. Retensi:Urin dibentuk diginjal, tetapi pasien tidak dapat

mengeluarkannya dari kandung kemihnya. Retensi dikenali dengan

meraba. Distensi kandung kemih di atas simfisis pubis sebagai urin

stagnan di dalamnya. Retensi dengan aliran berlebih: pasien sering

buang air kecil dalam jumlah sedikit tetapi terus mengalami

distensi kandung kemih.

f. Disuria: Kesulitan berkemih atau nyeri saat berkemih.

g. Nokturia: Ini adalah kebutuhan untuk bangun dari tidur untuk

berkemih.
h. Enuresis: Ini adalah kehilangan urin yang tidak disengaja di malam

hari (mengompol). Ini bertahan pada beberapa anak hingga usia 10

tahun atau lebih.

i. Urgensi: Apakah sensasi yang harus dimiliki ruang kosong.

j. Sisa urin: Saat kandung kemih mengosongkan secara normal, ia

mempertahankan sedikit urin.

5. Patofisiologi

Gangguan pada eliminasi sangat beragam dan disebabkan oleh

etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma yang

menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan gangguan dalam

mengkontrol urin/inkontinensia urin (Brunner & Suddarth,2002).Proses

berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu pengisian dan

penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih. Hal ini saling

berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot-otot kandung

kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol oleh sistem

saraf otonom dan somatik. Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf

simpatis terhadap kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan

meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan

oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang

dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih

danproksimal uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang

simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi

oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama


yaitu asetilkholin.. Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan

ke saraf sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan

informasikan ke batangotak. Impuls saraf dari batang otak menghambat

aliran parasimpatis dari pusat kemihsakral spinal. Selama fase

pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliranparasimpatis

sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran

simpatis pada kandung kemih menimbulkan relaksasi padaotot uretra

trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang nervus pudendus untuk

merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya

keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal. Pasien post

operasi dan post partum merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan

retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung

kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri,

epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atautrauma saraf pelvik,

hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada

pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva.

Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan

drainase kandung kemih yang adekuat.


6. Pathway Eliminasi Urine

Gambar 3. Sumber diolah (2021)

Gambar 4. Sumber diolah (2021)


7. Pemeriksaan Penunjang

Kasus Benigna Prostat Hiperplasia

Pemeriksaan Benigna Prostat Hiperplasia menurut Nelvia (2020) adalah

dengan melakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:

a. Laboratorium

1) Urinalisis / Sedimen Urin

Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya

proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin

berguna untuk dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan

sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba

yang diujikan dan dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan

hematuria. Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu

dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya

karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine. Pada

pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai

kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali

telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter

(Cempakaningroem et al, 2015).

2) Pemeriksaan fungsi ginjal

Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada

traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal

akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal

menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering


dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas

menjadi enam kali lebih banyak. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal

ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan

pencitraan pada saluran kemih bagian atas (Cempakaningroem et al,

2015).

3) Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific

tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan

perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:

(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat.

(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek.

(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.

Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada

peradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsy prostat atau TURP),

pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang

makin tua. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia

adalah: a. 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml; b. 50-59 tahun: 0-3,5 ng/ml; c. 60-69

tahun : 0-4,5 ng/ml; d. 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml.

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma

prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma

prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior

daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya

karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi

sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.


Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara

merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan

BPH.

Pada pemeriksaan penunjang pada pasien 1 dan 2 terdapat

pemeriksaan hematologi dan juga pemeriksaan kimia darah. Pada pasien 2

dapat disimpulkan bahwa kadar hemoglogin menurun dengan hasil 12

g/dL. Pasien juga mengalami kadar glukosa yang tidak stabil, dengan hasil

yang naik turun dalam pemeriksaan glukosa darah sewaktu ataupun

glukosa darah puasa. Sedangkan pada pasien 1 dan 2 dapat disimpulkan

dari hasil pemeriksaan USG pada pasien 1 dan 2 adanya kesamaan yaitu

adanya pembesaran prostat adanya kegagalan tubuh dalam system

eliminasi didukung dengan hasil USG.


Gambar 5. Nelvia(2020)

Kasus Hypospadia

Vikaningrum (2020) tidak ada pemeriksaan laboratorium yang

disarankan untuk penegakkan pasti diagnosis Hypospadia. USG Ginjal

disarankan untuk mengetahui adanya anomaly lainnya pada saluran kemih

pada pasien Hypospadia. Karyotyping disarankan pada pasien dengan

ambigu genetalia ataupun cryptochirdism. Beberapa test seperti elektrolit,

hydroxyprogesterone, testosterone, luteinizing hormone, follicle-

stimulating hormone, sex hormone binding globulin, dan beberapa tes

genetic dipertimbangkan apabila memungkinkan.


8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia

Rencana pengobatan bergantung pada penyebab, keparahan

obstruksi, dan kondisi klien (Nelvia, 2000).

a. Observasi

Dilakukan pada klien dengan keluhan ringan, nasehat yang

diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk

mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan

(parasimpatolitik), dan mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan

minum alkohol.

b. Terapi Medikamentosa

1) Penghambat adrenergik a

Obat yang biasa dipakai ialah prazosin, yang berfungsi untuk

mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas

destrusor.

2) Penghambat 5-a-reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride. Golongan obat ini dapat

menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar

akan mengecil.

3) Fitoterapi

a. Terapi Bedah

Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung berat

ringannya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk

terapi bedah, yaitu :


1) Retensio urine berulang.

2) Hematuri

3) Tanda penurunan fungsi ginjal.

4) Infeksi saluran kemih berulang.

5) Tanda-tanda obstruksi berat, yaitu divertikel, hidroureter,

dan hidronefrosis.

6) Ada batu saluran kemih.

Penatalaksanaan Hipospadia

Penatalaksanaan hipospadia adalah dengan jalan pembedahan.

Tujuan prosedur pembedahan pada Hypospadia menurut Vikaningrum

(2020) adalah:

1) Membuat penis yang lurus dengan memperbaiki chordee.

2) Membentuk uretra dan meatusnya yang bermuara pada ujung penis

(Uretroplasti).

3) Untuk mengembalikan aspek normal dari genetalia eskternal

(kosmetik).

Pembedahan dilakukan berdasarkan keadaan malformasinya. Pada

Hypospadiaglanular uretra distal ada yang tidak terbentuk, biasanya tanpa

recurvatum, bentuk seperti ini dapat direkotruksi dengan flap local,

misalnya: prosedur Santanelli, Flip flap, MAGPI (Meatal Advanve and

Glanuloplasty), termasuk preputium plasty (Nurarif & Kusuma, 2015).

9. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi karena eliminasi urine menurut RS

Katolik Budi Rahayu (2021) adalah sebagai berikut:


a. Infeksi ginjal dan saluran kemih

b. Hiperglikemi

c. Trauma

d. Kanker

e. Cedera/tumor/infeksi medula spinalis

f. Neuropati diabetikum

g. Neuropati alkoholik

h. Stroke

i. Parkinson

j. Skeloris multipel

k. Obat alpha adrenergik


Daftar Pustaka

Cempakaningroem, S. D., Kristiyawati, S. P., & Purnomo, S. E. C. (2015).

Tingkat Akurasi Pemeriksaan Bladder Scan Dengan Kateterisasi Intermitten

Pada Pasien Stroke Dengan Retensi Urine. Jurnal Ilmu Keperawatan dan

Kebidanan, 2(3).

Elshamy, Karima. (2021). Eliminations Needs.

https://nurfac.mans.edu.eg/files/%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AD

%D8%A7%D8%B6%D8%B1%D8%A7%D8%AA

%20%D8%A7%D9%84%D8%AF%D8%B1%D8%A7%D8%B3%D9%8A

%D8%A9/Elimination_Needs.pdf. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.

Nelvia, I. (2020). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pre

Operasi Dengan Benigna Prostat Hyperplasia.

RS Katolik Budi Rahayu. (2021). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia.

http://budirahayu.ip-dynamic.com:81/sdki/d-0040-gangguan-eliminasi-urin/.

Diakses tanggal 8 Agustus 2021.

University of Oregon. (2021). Urine Transport and Elimination.

https://open.oregonstate.education/aandp/chapter/25-8-urine-transport-and-

elimination/. Diakses tanggal 8 Agustus 2021.

Vikaningrum, M. (2020). Studi Dokumentasi Gangguan Eliminasi Urin Pada

Pasien An.“M” Dengan Hypospadia Type Coronal Post Chordectomy Dan

Uretroplasty. Akademi Keperawatan YKY Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai