Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK

DISUSUN OLEH
DHIVA MANGGALA ANGGI SAPUTRO
P1337420219119

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PURWOKERTO
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN HAMBATAN MOBILITAS FISIK

A. Laporan Pendahuluan

1. Pengertian

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017 mendefinisikan hambatan mobilitas


fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri. Menurut North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA) hambatan mobilitas fisik atau imobilisasi merupakan suatu
keadaan dimana individu yang mengalami atau berisiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010). Beberapa
sumber juga menyebutkan bahwa hambatan mobilitas fisik merupakan suatu
kondisi yang relatif dimana individu tidak hanya mengalami penurunan
aktivitas dari kebiasaan normalnya kehilangan tetapi juga kemampuan
geraknya secara total (Ernawati, 2012). Kemudian, Widuri (2010) juga
menyebutkan bahwa hambatan mobilitas fisik atau imobilisasi merupakan
keadaan dimana kondisi yang mengganggu pergerakannya, seperti trauma
tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas dan
sebagainya. Selain definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, imobilisasi
atau hambatan mobilitas adalah keterbatasan fisik tubuh baik satu maupun
lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (Nurarif A.H & Kusuma H,
2015).

2. Etiologi

a. Penyebab

Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,


kekakuan otot,ketidakseimbangan, dan masalah psikologis. Penyebab
secara umum:

1) Kelainan postur
2) Gangguan perkembangan otot
3) Kerusakan sistem saraf pusat
4) Trauma langsung pada sistem musculoskeletal dan neuromuscular
5) Kekakuan otot
Kondisi-kondisi yang menyebabkan imobilisasi antara lain:
1) Fall
2) Fracture
3) Stroke
4) Postoperative bed rest
5) Dementia and Depression
6) Instability
7) Hypnotic medicine
8) Impairment of vision
9) Polypharmacy
10) Fear of fall

3. Patofisiologi

Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai


cadangan oksigen. Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat
karena trombus dan embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke
jaringan otak. Kekurangan oksigen pada otak dalam waktu yang lebih
lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Area
nekrotik tersebut disebut infark. Pada awalnya kekurangan oksigen pada
otak akibat henti jantung atau hipotensi maupun hipoksia akibat proses
anemia dan kesukaran untuk bernapas. Stroke karena embolus dapat
akibat dari bekuan darah, udara, palque, ateroma fragmen lemak. Pada
stroke trombosis, otak mengalami iskemia dan infark yang sulit
ditentukan. Edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, dan
kematian pada area luas berpeluang terjadi jika dominan stroke meluas
setelah serangan pertama. Prognosisnya tergantung pada daerah otak yang
terkena dan luasnya saat terkena. Gangguan pasokan aliran darah otak
dapat terjadi di dalam arteri yang membentuk sirkulasi willisi.

Oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark pada daerah


otak karena mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai pada
arteri tersebut. Mungkin proses patologik yang mendasari adalah salah
satu dari berbagai proses yang terjadi dalam pembuluh darah yang
menuju otak. Patologinya berupa penyakit pada pembuluh darah itu
sendiri, seperti arteriosklerosis dan thrombosis, robeknya dinding
pembuluh darah dan peradangan, berkurangnya perfusi akibat gangguan
aliran darah, gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi
berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakarnium, rupture vascular di
dalam jaringan otak atau ruang serebral. Biasanya perdarahan di bagian
dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan
memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari dua
jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan
merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna (Price &
Wilson, 2012). Hemiparesis adalah kelumahan pada salah satu sisi bagian
tubuh. Biasanya diakibatkan oleh adanya lesi saluran kortikospinalis yang
berjalan turun dari kortikal neuron di lobus frontal ke motor neuron sum-
sum tulang belakang dan bertanggungjawab untuk pergerakan otot-otot
tubuh dan anggota tubuh. Pada saluran tersebut melalui beberapa bagian
batang otak, yaitu otak tengah, pons dan medula. Masing-masing saluran
yang melintasi ke sisi berlawanan pada bagian terendah dari medula
membentuk struktur anatomi disebut sebagai piramida dan turun di
sepanjang sisi berlawanan dari sum-sum tulang belakang untuk
memenuhi kontralateral motor neuron, sehingga sebelah sisi otak
mengontrol pergerakan otot dari sisi yang berlawanan dari tubuh dan
dengan demikin gangguan saluran kortikospinalis kanan pada batang otak
atau struktur otak atas menyebabkan hemiparesis pada sisi kiri tubuh
begitu pula sebaliknya (Smeltzer & Bare, 2015).

Di sisi yang lain, lesi pada saluran sum-sum tulang belakang


menyebabkan hemiparesis pada sisi yang sama dari tubuh. Otot pada
wajah juga dikendalikan oleh saluran yang sama. Saluran yang
mengaktifkan wajah (ganglion) dan saraf wajah muncul dari nukleus
mengaktifkan otot-otot wajah selama kontraksi otot wajah. Karena inti
wajah terletak pada pons atas decussation tersebut, lesi pada saluran pons
atau struktur atas menimbulkan hemiparesis pada sisi tubuh yang
berlawanan dan paresis pada sisi yang sama pada wajah yang disebut
dengan hemiparesis kontralateral. Jika wajah pasien tidak terlibat, ini
sangat sugestif dari lesi saluran pada bagian bawah batang otak atau sum-
sum tulang belakang karena sum-sum tulang belakang merupakan
satruktur yang paling kecil, sehingga apabila terjadi lesi tidak hanya
terjadi kelumpuhan di satu sisi, tetapi kedua sisi. Oleh karena itu, lesi
pada sum-sum tulang belakang biasanya dapat menimbulkan kelumpuhan
pada kedua lengan dan kaki (quadriparesis) atau kedua kaki (paraparesis),
(Mardjono & Sidarta, 2010). Pendapat lain juga mengatakan bahwa suplai
oksigen ke otak sangat penting. Apabila terjadi hipoksia, otak akan
mengalami perubahan metabolik, kerusakan permanen, dan kematian sel
otal yang terjadi dalam tiga sampai 10 menit (AHA, 2015). Arteri serebral
dan karotis adalah pembuluh darah yang paling sering terkena serangan
(Guyton & Hall, 2014). Gangguan peredaran darah otak mengakibatkan
cedera otak yang terjadi dalam beberapa mekanisme, yaitu pecahnya
dinding pembuluh darah yang akan mengakibatkan hemoragik, terjadinya
penebalan pembuluh darah yang mengakibatkan penyempitan sehingga
aliran darah tidak adekuat yang menyebabkan iskemik, terjadinya
pembesaran sekelompok atau satu pembuluh darah yang akan menekan
jaringan otak (Smeltzer & Bare, 2015).

Penyempitan pembuluh darah otak bermula dari perubahan aliran


darah dan menajdi stenosis yang cukup hebat sehingga pengurangan
darah drastis dan cepat. Obstruksi pembuluh darah arteri otak akan
mengakibatkan reduksi disuatu area jaringan otak normal sehingga
memiliki peredarah darah yang baik akan membantu suplai darah melalui
jalur anastomis. Perubahan pada bentuk akibat oklusi pembuluh darah
awalnya ialah gelap pada darah vena, dilatasi arteri, penurunan kecepatan
aliran darah (AHA, 2015). Penyumbatan komplit dapat terjadi dalam
beberapa jam. Gejala-gejala dari CVA (Cerebrovascular Accident) akibat
thrombus terjadi selama tidur atau segera setelah bangun tidur. Hal ini
berkaitan pada orangtua aktivitas simpatisnya menurun dan sikap
berbaring menyebabkan menurunnya tekanan darah, yang akan
menimbulkan iskemia otak. Transient Ischemic Attack (TIA) berkaitan
dengan iskemik serebral dengan disfungsi neurologi sementara. Disfungsi
neurologi dapat berupa hilang kesadaran dan hilangnya seluruh fungsi
sensorik dan motorik, atau hanya ada defisit fokal. Defisit paling umum
adalah kelemahan kontralateral wajah, tangan, lengan, dan tungkai,
disfasia sementara dan beberapa gangguan sensorik. Serangan iskemik
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (Widagdo, Suharyanto,
Aryani. 2009).

4. Pathway
5. Manifestasi Klinis

Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut Tim
Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :

a. Tanda dan gejala mayor

Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas


fisik, yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian,
untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot
menurun, dan rentang gerak menurun.

b. Tanda dan gejala minor

Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,


yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa
cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala minor
objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan
terbatas, dan fisik lemah.

NANDA-I (2018) berpendapat bahwa tanda dan gejala dari


gangguan mobilitas fisik, antara lain gangguan sikap berjalan,
penurunan keterampilan motorik halus, penurunan keterampilan
motorik kasar, penurunan rentang gerak, waktu reaksi memanjang,
kesulitan membolak-balik posisi, ketidaknyamanan, melakukan
aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, dispnea setelah
beraktivitas, tremor akibat bergerak, instabilitas postur, gerakan
lambat, gerakan spastik, serta gerakan tidak terkoordinasi.

6. Komplikasi

Pada klien stroke non hemorragik dengan hambatan mobilitas


fisik jika tidak ditangani dapat menyebabkan masalah, diantaranya:
a. Pembekuan darah
Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan
penimbinan cairan, pembengkakan selain itu juga menyebabkan
embolisme paru, yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam suatu
arteri yang mengalir ke paru.

b. Dekubitus

Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat,


sendi kaki, dan tumit bila memar ini tidak dirawat akan menjadi
infeksi

c. Pneumonia

Pasien stroke non hemorragik tidak bisa batuk dan menelan


dengan sempurna, hal ini menyebabkan cairan berkumpul di paru-paru
dan selanjutnya menimbulkan pneumonia.
d. Artrofi dan kekakuan sendi

Hal ini disebabkan karena kurang gerak dan mobilisasi.


Komplikasi lainnnya yaitu:

i. Disritmia
ii. Peningkatan tekanan intra cranial
iii. Kontraktur
iv. Gagal nafas
v. Kematian

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan


masalah gangguan mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan
rentang gerak. Latihan rentang gerak yang dapat diberikan salah satunya
yaitu dengan latihan Range of Motion (ROM) yang merupakan latihan
gerak sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-masing
persendiannya sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif.
Range of Motion (ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan
otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi
dikarenakan pasien tidak dapat melakukannya sendiri yang tentu saja
pasien membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga. Kemudian,
untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang
dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu
mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas
persendian, merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk
(Potter & Perry, 2012).

Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan


mobilitas fisik, antara lain :

a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti


memiringkan pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg,
posisi genu pectoral, posisi dorsal recumbent, dan posisi litotomi.
b. Ambulasi dini, tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini
bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun
dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan yang lainnya.
c. Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, dan kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta
meningkatkan fungsi kardiovaskular.
d. Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.

8. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan menjadi hal yang harus dilakukan selanjutnya.


Pemeriksaan merupakan suatu proses inspeksi tubuh dan sistem tubuh
untuk menentukan ada atau tidaknya penyakit. Pada kasus klien stroke
dengan hambatan mobilitas fisik pemeriksaan laboratorium perlu
dilakukan, adapun pemeriksaan laboratorium tersebut antara lain
pemeriksaan urinalisis, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan kultur.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Anamnesa

1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, tanggal MRS, diagnosa medis
2) Keluhan utama
Pasen mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, serta merasa cemas saat
bergerak.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Obesitas, Hipertensi, hiperlipidemia, kebiasaan merokok,
penyalahgunaan alkohol dan obat, serta pola hidup tidak sehat
(AHA, 2015). Diabetes melitus, apnea tidur, fibrilasi atrium,
dislipidemia dengan penyakit jantung koroner (PJK).
4) Riwayat Kesehatan yang lalu
Seseorang yang pernah mengalami stroke yang dikenal
dengan Transient Ischemic Attack (TIA) juga beresiko tinggi
mengalami stroke. Gangguan jantung, penyakit ginjal, serta
penyakit vaskuler periver perlu dikaji juga karena termasuk faktor
yang menyebabkan stroke.
5) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota
keluarga lain atau riwayat penyakit lain.
6) Pola fungsi kesehatan
Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi dan
metabolisme, pola eliminasi, pola aktivitas dan latihan, pola
istirahat dan tidur, pola kognitif dan persepsi, persepsi diri dan
konsep diri, pola peran hubungan, pola seksual dan reproduksi, pola
koping dan toleransi stress, keyakinan dan kepercayaan.

b. Pengkajian fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe


1) Keadaan umum
Biasanya pasien sadar, terkadang sedikit gelisah
2) Tingkat kesadaran
Biasanya composmentis (dengan GCS 14-15)
3) TTV
a) TD : bisa terjadi hipotensi atau hipertensi
b) N : biasanya terjadi perubahan denyut nadi
c) RR : biasanya pasien sesak
d) S : biasanya terjadi hipotermi atau hipertermi
4) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan.
5) Leher
Tidakada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflej
menelan ada.
6) Muka
Simetris
7) Mata
Biasanya sklera ikhterik, reflek pupil negatif, konjungtiva anemis,
penglihatan berkurang
8) Telinga
Biasanya ada gangguan pendengaran
9) Hidung
Biasanya terjadu gangguan penciuman
10) Mulut dan faring
Biasanya sianosis, mukosa bibir kering, sitomatitis, mengalami
gangguan pengecapan, felkef mengunyah dan menelan buruk, dan
bibir tidak simetris.
11) Thoraks
a) Paru
i) Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan
ii) Palpasi : biasanya fremitus kiri dan kanan
iii) Perkusi : biasanya sonor
iv) Auskultasi : suara napas bisa normal (vesikuler)
atau tidaks normal (seperti ronkhi)
b) Jantung
i) Inspeksi: biasanya iktus tidak terlihat
ii) Palpasi: biasanya ikut teraba di Ric 4
iii) Perkusi: biasanya batas jantung normal
iv) Auskultasi: biasanya bising usus hiperaktif
12) Abdomen
i) Inspeksi: biasanya simetris, tidak ada asites
ii) Palpasi: biasanaya tidak ada pembesaran hepar
iii) Perkusi: biasanya tymphani
iv) Auskultasi: biasanya bising usus hiperaktif
13) Genitalia dan anus
Klien biasanya akan mengalami masalah eliminasu (BAB dan
BAK)
14) Ekstremitas
Lemah anggota gerak dengan kekuatan otot 2 sampai 3, akral
teraba hangat, CRT <2 detik

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan Diagnostik

pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah :


a) CT scan mengidentifikasi area pendarahan
b) MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi lokasi
ischemic (lebih lambat dari pada CT scan).

2) Pemeriksaan laboratorium

a) Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, leukosit, trombosit,


eritrosit. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah pasien
menderita anemia. Sedangkan leukosit untuk melihat sistem
imun pasien. Bila kadar leukosit diatas Normal, berarti ada
penyakit infeksi yang sedang menyerang pasien.

b) Tes kimia darah

Cek darah ini untuk melihat kandungan gula darah kolesterol,


asam urat, dan lain-lain. Apabila kadar gula darah atau
kolesterol berlebih, bisa menjadi pertanda pasien sudah
menderita diabetes dan jantung. Kedua Penyakit ini termasuk
ke dalam salah satu pemicu stroke.

2. Analisa Data

DX Data Fokus Etiologi Problem

1. DS: Pasien mengatakan Penurunan Hambatan


susah menggerakan kaki kekuatan otot Mobilitas Fisik
dan tangan kiri, juga nyeri
saat menggerakan kaki atau
tangan kiri.

DO: Pasien terlihat


berbaring di tempat tidur
dan mengalami kelemahan
ekstremitas kiri

TTV:

TD: 166/96 mmHg


N: 79 x/menit

S: 36°C

RR: 18 x/menit

Skala nyeri:

P: Nyeri saat bergersk

Q: Seperti ditusuk tusuk

R: ekstremitas kiri

S: Skala 3

T: Hilang timbul

2. DS: Pasien mengatakan Kurang kontrol Hambatan


pusing dan tidak bisa tidur situasi Rasa Nyaman
nyenyak selama sakit

DO: Pasien tampak


berbaring di tempat tidur

3. Diagnosa dan Keperawatan


a. Hambatan Mobilitas Fisik berhubungan dengan Penurunan Kekuatan
Otot
b. Hambatan Rasa Nyaman berhubungan dengan Kurang Kontrol
Situasi

4. Intervensi

DIAGNO
NOC NIC RASIONAL
SA

Hambatan Setelah dilakukan tindakan Terapi latihan: Terapi latihan :


mobilitas keperawatan selama 2x24 jam mobilitas sendi mobilitas sendi
fisik diharapkan hambatan
1. Inisiasi 1. Mengetahui
berhubung mobilitas fisik dapat teratasi
pengukuran skemampuan
an dengan dengan kriteria hasil:
kontrol nyeri dan untuk mengontrol
penurunan
Pergerakan sendi: Pasif (0207) sebelum memulai nyeri
kekuatan
latihan sendi
otot Indikat Awal Tujuan
2. Bantu pasien 2. Memposisikan
or
mendapatkan pasien agar nyaan
Jari 2 4
posisi tubuh yang saat dilakukan
(kiri)
optimal untuk latihan
Jempol 2 4 pergerakan sendi
(kiri) pasif 3. Melakukan

Pergela 2 4 3. Lakukan laatihan latihan gerak

ngan ROM pasif atau sendi

tangan ROM dengan dengandibantu

(kiri) bantuan, sesuai oleh orang lain


indikasi 4. Menganjurkan
Siku 2 4
4. Instruksikan keluarga pasien
(kiri)
pasien/keluarga untuk ikut terlibat
Bahu 2 4
cra melakukan cara melakukan
(kiri)
latihan ROM pasif ROM
Pergela 2 4 5. Bantu untuk 5. Melakukan
ngan melakukan latihan dengan
kaki pergerakan sendi memperhatikan
(kiri) yang ritmis dan pasien
Lutut 2 4 teratur sesuai
(kiri) kadar nyeri yang
Panggu 2 4 bisa ditoleransi
l (kiri) Manajamen Nyeri Manajemen Nyeri

Keterangan: 1. Gali bersama 1. Mendiskusikan

1: Deviasi berat pasien faktor- dengan pasien apa


faktor yang dapat yang dapat
2: Deviasi cukup berat menurunkan atau memperburuk

3: Deviasi Sedang memperberat nyeri atau mengurangi


nyeri
4: Deviasi Ringan 2. Memiih tindakan
2. Pilih dan

5: Tidak ada deviasi implementasikan untuk mengatasi


tindakan rasa myeri pada
beragam(misal, pasien
farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal)
untuk
memfasilitasi
penurunan nyeri,
sesuai keutuhan
3. Dorong pasien 3. Menganjurkan
untuk memonitor pasien agar dapat
nyeri dan mengontrol nyeri
menangani nyeri saat timbul dan
dengan tepat cara
menanganinya
4. Ajarkan 4. Memberikan opsi
penggunaan teknik kepada pasien
nonfarmakologi teknik
(seperti relaksasi, pengurangan
terapi musik, nyeri
latihan nafas
dalam, dan
bersamaan dengan
tindakan penurun
rasa nyeri
lainnya).
5. Dukung 5. Menganjurkan
istirahat/tidur yang pasienuntuk
adekuat untuk istirahat yang
membantu cukup agar nyeri
penurunan nyeri. dapat
diminimalisir.
Hambatan Setelah dilakukan tindakan Pengaturan posisi: Pengaturan posisi:
rasa 2x24 jam diharapkan
1. Tempatkan pasien 1. Pasien berada di
nyaman hambatan rasa nyaman dapat
diatas tempat tidur atas tempat tidur
berhubung teratasi denga kriteria hasil;
terapeutik/matras yang telah
an dengan
Status Kenyaman : Lingkungan disediakan oleh
kurang
(2009) rumah sakit
kontrol
2. Dorong pasien 2. Menganjurkan
situasi Indikat
Awal Tujuan untuk terlibat pasien untuk
or
dalam perubahan kooperatif dan
Lingkun 2 4
posisi ikut berpartisipasi
gan
dalam pengaturan
kondusi
posisi tubuh
f untuk
pasien
tidur
3. Posisikan pasien 3. Menganjurkan
Perangk 2 4 untuk terlibat pasien untuk ikut
at kesejajaran tubuh berpartisipasi agar
keselam yang tepat mendapatkan
atan posisi yang
digunak nyaman
an 4. Posisikan pasien 4. Memposisikan
dengan untuk mengurangi pasien dengan
tepat dyspnea posisi semi fowler
Privasi 2 4 atau posisi fowler
Tempat 2 4 5. Dorong latihan 5. Manganjurkan
tidur ROM aktif dan pasienuntuk tetap
yang pasif berlatih ROM
nyaman dengan bantuan

Kontrol 2 4 keluarga

terhadap Terapi Relaksasi: Terapi relaksasi:

suar 1. Ciptakan 1. Menciptakan


ribut lingkungan yang lingkungan yang
Keterangan: tenang dan tanpa kondusif bagi
disraksi dengan pasien
1: sangat terganggu
lampu yang redup
2: banyak terganggu dan suhu
lingkungan yang
3: cukup terganggu
nyaman, jika
4: sedikit terganggu memungkinkan.
2. Dorong klien 2. Menganjurkan
5: tidak terganggu
untuk mengambil pasienuntuk
posisi yang mengambil posisi
nyaman dengan yag nyaman
pakaian longgar dibantu oleh
dan mata tertutup perawat atau
keluarga pasien
3. Dapatkan perilaku 3. Memposisikan
yang menunjukan pasien dengan
terjadinya nyaman agar
relaksasi, pasien dapat
misalnya bernafas melakukan
dalam, menguap, rileksasi dengan
pernafasan perut, maksimal
atau bayangan
yang
menyenangkan.
4. Minta klien untuk 4. Menganjurkan
rileks dan klien untuk rileks
merasakan sensasi dengan posisi
yang terjadi yang nyaman
5. Dorong klien 5. Menganjurkan
untuk mengulang pasien untuk
praktik teknik mengulang teknik
relaksasi, jika relaksasi yang
memungkinkan. sudah
diinformasikan
kepada pasien
dankeluarga
pasien.

5. Evaluasi

Diagnosa 1 : Hambatan mobilitas fisik dapat teratasi


Diagnosa 2 : Hambatan rasa nyaman dapat teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Adha, Sucy Aprillia.2017.ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN MOBILITAS


FISIK PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK DI IRNA C RSSN
BUKIT TINGGI.Palembang
Ambawarti, Respati Fitri. 2014. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta:
Dua Satria Offset
Atoilah, Elang Mohamad & Engkus Kusnadi. 2013. Askep Pada Klien Dengan
Gangguan Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: In Media
Bulechek, Gloria; Butcher, Howard, dkk.2016.Nursing Interventions
Classification (NIC). United Kingdom:Elsevier
Herdinan, Heather T. Diagnosis Keperawatan NANDA-I: Definisi dan Klasifikasi
2018-2020. Jakarta: EGC. 2017.
Moorhead, Sue; Johnson, Marion, dkk.2016.Nursing Outcome Classification
(NOC). United Kingdom:Elsevier
Nurani, Arfiana.2014.Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Kebutuhan Mobilitas dan Aktivitas di Ruang Nakula 1 RSUD
Semarang.Semarang;123dok.com
Wulandari.2018.Ganguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Pasca
Stroke.Depansar:repository.poltekkes-denpasar.ac.id

Anda mungkin juga menyukai