Anda di halaman 1dari 19

2 | Boxinite

FANTASY
FIESTA
2010
ANTOLOGI CERPEN FANTASI TERBAIK

KARYA ANAK BANGSA

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


2 | Boxinite

Daftar Isi

Daftar Isi 2
Boxinite 78

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


78 | Boxinite

Boxinite
R. Mailindra

Meski waktu melaju, ego dan nafsu menaklukkan tak lekang dimakan zaman. Malah cenderung
mengental dan membesar. Ketika dikemas dalam bungkus olahraga hiburan, maka bisnis besarlah yang
muncul. Di Bumi ada tinju, Planet X31 di Galaksi Andromeda punya boxinite, Turbosolerum di
Centaurus-A punya xiatermid. Galaksi boleh terpisah, ras boleh beda, tapi semuanya punya kesamaan.
Menaklukan lawan di atas ring.
Namaku Trey. Tahun 2498 M, di usiaku kedelapan belas, aku petinju amatir di Indonesia. Sayang,
karirku tidak pernah gemilang. Lima tahun setelah mencoba peruntungan, aku pun menggantungkan
sarung tinju. Aku banting stir menjadi slackboy pertandingan boxinite. Entah mengapa boxinite,
pertarungan primitif ala Planet X31, diterima semua galaksi. Aturannya memang mirip sekali dengan tinju
di Bumi. Boleh memukul dua pertiga tubuh bagian atas; dilarang memukul sepertiga bagian bawah, dan
tentu saja diharamkan menendang. Namun, tidak seperti tinju, boxinite membolehkan petarung untuk
melompat dan memukul memakai anggota tubuh mana pun, asal bukan kaki atau bagian tubuh untuk
berjalan. Harus kukatakan demikian karena tidak semua ras mempunyai dua tangan dan dua kaki seperti
manusia. Contohnya para petarung dari X31; mereka punya empat tangan dan dua kaki. Sayang,
keempat tangan itu cuma dua pertiga panjang tangan manusia.

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 79

Meski primitif, rambu keselamatan boxinite tak kalah ketat. Pun, para dokter yang mengawasi sangat
teliti. Ada banyak sebab pertandingan dihentikan. Luka robek di sekitar mata yang beresiko kebutaan
bisa langsung membuat wasit menghentikan pertandingan. Namun, luka di wajah saja biasanya tidak
otomatis menghentikan pertandingan. Semuanya masih tergantung wasit dan dokter. Di sinilah peranku
sebagai slackboy. Kalau petarungku tak terluka, aku bisa santai-santai menonton. Namun begitu ia
„bocor‟, terluka, aku harus segera mengeluarkan ramuan preanelin dan mulai menambal. Wasit dan
dokter tidak akan menghentikan pertandingan jika pendarahan berhenti. Karenanya aku harus kerja
bagus.
Bukan sombong. Kupikir keahlianku menghentikan pendarahan lebih mumpuni daripada
kemampuanku bertarung. Jika kuhitung, dua puluh tahun sudah aku menjadi slackboy, meski kini aku
bukan boy lagi. Ratusan pertandingan telah aku lalui. Semua petarung yang mempekerjakanku adalah
manusia. Kadang ada juga, sih, petarung planet lain yang mengajak, namun selalu aku tolak. Yah, sekali
lagi bukannya sombong, tapi aku tak terlalu kenal struktur biologis mereka.
Aku menambal agar para petarungku bisa terus melihat dan memukul. Ya, akulah sang penyelamat,
yang mampu membuat mereka terus bertarung. Kau tahu, sangking mahirnya menambal, bisa kulihat
binar-binar cinta di mata mereka saat berhasil menghentikan pendarahan. Kalau sudah begitu, kupikir,
kalau aku mau, pantatku pun rela mereka cium jika kuminta sebagai imbalan.
Seperti kubilang tadi, boxinite bisnis besar. Bayaran besar membungkus laga ini. Kau bisa punya apa
saja kalau menang: makanan, energi, dan tentu saja perempuan. Maaf, maksudku betina. Ya, memang

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


80 | Boxinite

bukan betina ras manusia saja yang menarik. Kau tahu, betina dari Planet Xerra tak kalah yahud. Tapi itu
akan kuceritakan lain kali saja.
Aku sangat setia pada petarung yang membayarku. Tak perduli mereka dari mana: Keraton
Indonesia, Republik Thailand Raya, Kesultanan Cina-India, Federasi Arab-Rusia, Kerajaan Amerika-
Atlantik, Konfederasi Jerman-Belanda, semuanya. Aku pernah menjadi slackboy berbagai bangsa;
menemani mereka melawan berbagai ras. Mungkin itu karena aku selalu memegang prinsipku: tak
pernah ikut bertaruh, entah untuk petarungku atau lawannya. Hei, itu membuatku aman. Tak ada yang
bakal menyalahkanku semisal petarungku kalah karena lukanya tak bisa kutambal.
Loyalitas. Itulah yang membuat para pelatih selalu menghubungiku. Seperti halnya hari ini; Stephen,
pelatih asal Konfederasi Jerman-Belanda menghubungiku. Aku kenal lama dengannya, sejak ia masih jadi
petarung.
“August Schiller akan tanding di Jakarta dua minggu lagi, Trey. Sudah kukatakan bayarannya terlalu
kecil. Tapi dia berkeras mengajakmu.”
“Dapat berapa dia?” tanyaku.
“Katanya, sih, lima ribu K-Energi.”
Aku menghitung. Sebagai slackboy aku mendapat 2,5 persen dari bayaran petarung. Itu berarti 125
K-Energi.
“Man, bolak-balik Jakarta Bandung saja butuh paling ngga 50 K-Energi untuk kendaraanku.”
“Yah, terserah saja, Trey. Aku ngga maksa.”
Aku mendehem. Aku tahu Stephen jujur, tak mungkin ngakali aku. Dan, Schiller petarung bagus.

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 81

Usianya baru dua puluh lima tahun, tapi orangnya licik dan pelit. Schiller, seperti Stephen, dari ras
Jerman. Tapi bagiku Schiller terlihat seperti Yahudi, liciknya minta ampun. Dan, siapa yang bisa jamin dia
tidak mengakali Stephen.
“Sorry, Man. Aku ngga bisa terima segitu. Kalau pun dia tanding di Bandung, aku juga ngga mau
dibayar semurah itu.”
Namun, dua hari kemudian aku terima juga pekerjaan itu setelah Schiller menaikkan bayarannya
menjadi 250. Pertandingan di Jakarta itu untuk perbaikan peringkat. Schiller butuh empat kemenangan
lagi sebelum berhak menantang sang juara. Kalau ia berhasil, di sanalah bayarannya baru besar. Bisa
sampai satu juta K-Energi. Kau kalikan saja dengan dua setengah persen. Yah, hitung-hitung penglaris.
Siapa tahu dia akan ajak aku waktu menantang juara nanti. Lagi pula, belum tentu, kan, dia bocor?
Sehari sebelum pertandingan, aku sudah di Jakarta. Namaku sudah terdaftar di Hotel Elliorado—
tempat pertandingan akan berlangsung. Di beberapa sudut hotel kulihat layar hologram tiga dimensi
memamerkan iklan pertandingan.
Schiller vs Gring-X
Gring-X petarung X31. Usianya enam puluh tahun Matahari X1, setara dengan tiga puluh tahun umur
manusia jika dihitung dari perputaran Bumi mengelilingi Matahari Tatasurya. Gring-X penantang kedua.
Ia butuh menang dari Schiller sebelum bisa kembali menantang peringkat satu.
Aku menemui Schiller dan Stephen malamnya. Besok malamnya aku sudah duduk di sudut ring
biru—sudutnya Schiller. Ring boxinite berbentuk persegi delapan. Luasnya satu setengah kali ring tinju

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


82 | Boxinite

Bumi. Pinggiran ring dibatasi tali pengaman setinggi lima meter. Aku memandang sekeliling. Seperti
biasanya ruangan gemerlap oleh lampu-lampu gas protine berwarna-warni. Musik berirama cepat
menggedor ruangan. Malam ini pertandingan dijadwalkan sepuluh ronde, lima menit standard waktu
atom-kronos-3 setiap rondenya. Dan, wasit pertandingan berasal dari Planet Xerra.
Sialan. Meski tidak ada ikatan batin dengan X31, aku tahu wasit ini agak memihak Gring-X. Mudah
ditebak karena Bumi pernah berperang melawan mereka. Dan, perasaan benci itu diturunkan dari
generasi ke generasi di planet itu. Pintar juga promotor pertandingan ini. Schiller cuma dijadikan bahan
untuk menaikkan peringkat Gring-X. Tapi aku yakin, Schiller yang Yahudi-Jerman itu pasti punya akal
yang tak kalah bulusnya.
Ronde pertama dimulai. Meski punya empat tangan, tapi jangkauan Gring-X kalah panjang. Schiller
langsung memanfaatkannya. Ia berputar-putar mencari celah seperti seekor rubah. Meluncurkan jab kiri
dan ketika akan diblok, langsung melontarkan straight kanan. Namun, kelebihan dua tangan membuat
Gring-X berhasil mementahkan pukulan Schiller. Pertandingan berjalan alot. Kalau sudah begini
kesabaran dan stamina yang diadu.
Tiga ronde berjalan. Benar sangat, staminalah yang diadu. Usianya yang lebih tua membuat Gring-X
kedodoran. Perlahan pukulan-pukulan Schiller berhasil menembus pertahanan Gring-X dan menghajar
kepalanya yang bulat dan plontos. Gring-X harus mempertahankan matanya agar tidak babak belur
karena ia cuma punya satu mata. Kalau itu sampai bengkak, pandangannya akan terganggu, dan Schiller
pasti akan menghajarnya habis-habisan.
Di ronde keempat dan kelima pukulan-pukulan Schiller semakin ganas dan banyak yang mendarat

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 83

telak. Itu membuat percaya dirinya membesar. Namun, Gring-X bukanlah petarung kemarin sore. Tak
gampang membuatnya keok.
Mendekati akhir ronde kelima, sebuah pukulan telak mendarat di mata Gring-X. Gring-X jatuh. Wasit
dari Xerra itu langsung memisahkan. Setelah memeriksa ini dan itu beberapa lama, ia menyatakan
pertandingan bisa dilanjutkan. Gring-X masih terhuyung-huyung sewaktu Schiller dengan keganasan
seekor beruang kutub menyerbu. Namun, belum lagi tinjunya meluncur, wasit itu kembali memisahkan,
lalu beduk menggema—tanda ronde berakhir. Schiller memaki. Aku bisa melihat betapa jengkelnya ia
kehilangan kesempatan membuat KO makhluk bertangan empat itu.
Di ronde keenam, entah karena terlalu percaya diri, atau lengah, atau kombinasi bodoh keduanya,
sebuah pukulan menghajar pipi Schiller. Belum lagi ia sadar, dua tangan telah menghantam pelipis kanan
dan pelipis itu langsung robek. Man, Schiller betul-betul balon, gampang benar bocor. Darahnya
langsung mengalir. Schiller mundur dan mencoba menyeka darah yang menutupi pandangannya. Aku
langsung bersiap dengan ramuan preanelin-ku. Untunglah tak lama kemudian beduk berbunyi. Setelah
membersihkan luka Schiller, campuran ramuan itu langsung aku oleskan dengan teliti. Aku merapatkan
luka itu dengan telunjuk dan jempol lalu menekannya dengan kain kasa.
“Kau jaga jarak. Ronde berikut jangan sampai ini kena.”
Schiller cuma mendengus. Tapi ia tahu, aku serius. Obatku butuh setidaknya satu ronde untuk
membekukan lukanya.
Di ronde ketujuh Schiller cuma menari-nari. Ia tak mau terlalu mendekati Gring-X. Ia tahu kalah dua

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


84 | Boxinite

tangan. Rupanya itu membuat kesabaran Gring-X menguap. Mungkin ia pikir Schiller sudah kehabisan
tenaga dan takut bentrok langsung dengannya. Jadi, ia merangsek maju. Ceroboh. Ia masuk perangkap.
Schiller langsung berputar dan menghajar beruntun bahu kanan Gring-X. Gring-X mencoba
menghalaunya dan di situlah kesalahannya. Matanya tanpa perlindungan! Tak membuang kesempatan,
Schiller langsung melontarkan tubuhnya ke depan. Seluruh bobotnya terpusat ke siku kanan dan siku itu
meluncur dan menghantam telak mata Gring-X. Gring-X terlempar, berkedip. Lalu, sebuah jab kiri
menghajar matanya. Gring-X terkapar!
Wasit Xerra keparat itu langsung memisahkan, memberikan perintah kepada Schiller untuk menjauh,
lalu entah mengatakan apa lagi selama tiga puluh detik, sebelum kemudian menghitung. Lambat sekali.
Aku tahu ia memberi waktu agar Gring-X bangkit. Tapi itu tak mungkin. Mau diberi waktu sampai pagi
pun petarung X31 itu tidak akan bangkit. Schiller menang!
Di ruang ganti, setelah membersihkan luka Schiller, aku menagih jatahku yang 250 itu.
“Aduh, Bung. Aku cekak banget. Kau tahu kan, jatahku pun belum cair. Nantilah kalau sudah turun
dari promotor, baru aku bayar. Sumpah!”
Malam itu aku pulang ke Bandung tanpa honor. Kampret. Dasar Yahudi!

***
Setelah malam itu aku sempat bertemu Schiller di beberapa pertandingan. Tapi dia cuek saja, seakan-
akan hutangnya tak pernah ada. Aku tak bisa apa-apa karena tak pernah punya kontrak atau perjanjian
apa pun. Enam bulan kemudian, setelah menang sekali lagi, aku mendengar ia mencampakkan Stephen—

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 85

pelatih yang telah mendidiknya dari awal. Schiller kini hanya butuh dua kemenangan sebelum berhak
menantang juara.
Tak dinyana, setahun kemudian ia meneleponku.
“Dari mana dapat kontakku?”
“Stephen yang kasi, Bung,” jawab Schiller.
Keningku berkerut. Stephen? Masa sih dia masih mau membantu keparat yang telah
mencampakkannya? Namun, aku penasaran juga. Kenapa Stephen masih mau membantunya?
“Kenapa aku?
“Bung, kau yang terbaik di sekitar Jakarta. Tak mungkin kan aku cari gembel pemula di sini? Aku
ingat pertandingan tempo hari. Kalau tidak ada kau, aku mungkin kalah.”
Aku mendengus. “Kau masih hutang 250!”
“Aduh, Bung. Jangan takut. Pasti kubayar!”
”Kau transfer dulu yang 250 itu besok, baru kita bicara bisnis.”
“Aku kirim sekarang, Bung. Jangan takut. So, bisa ke Jakarta minggu depan?”
“Kau dapat berapa?”
“Ah, masih perbaikan peringkat. Pertandingan kecil, bayarannya tidak seberapa?”
“Berapa?” desakku.
“Lima puluh ribu.”
“Benar segitu?”

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


86 | Boxinite

“Sumpah! Promotor sialan itu cuma kasih aku recehan.”


Aku menggosok hidungku. “Baiklah. Tapi kau bayar 1250 itu begitu aku sampai di Jakarta. Kalau kau
tak bayar, aku pulang lagi.”
“Tak masalah, Bung.”
Beberapa jam kemudian, ketika belanja, komunikatorku memberi peringatan adanya transfer 250.
Itu pasti dari Schiller.
Lumayanlah buat nambah-nambah beli alat ini, pikirku sambil menimbang-nimbang alat itu. Alat itu
berbentuk seperti arloji.
“Mari, Pak, saya bantu mencoba,” kata pelayan di depanku sambil memasangkan benda itu di
pergelangan tanganku. Wajahnya sangat cantik. Ia kombinasi semua perempuan cantik di Bumi.
Tubuhnya juga sungguh aduhai. Sayang, pelayan ini artifisial. Dia android.
“Satu lagi digantungkan saja dekat telinga,” lanjutnya sambil memasangkan sebuah earphone di
telinga kiriku.
Beberapa minggu ini pendengaranku mulai terganggu. Butuh usaha keras untuk mendengar orang
bicara. Itu membuatku capek. Untung ada alat ini. Hebat juga barang ini. Setelah kucoba, aku bahkan
bisa mendengar orang yang sedang berbisik sepuluh meter dariku. Canggih!
“Aku ambil ini,” kataku.
“Selamat, Pak. Pilihan anda memang tepat.”
Selamat? Memangnya aku baru menang lotre? Dasar robot.

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 87

***
Dua hari sebelum pertandingan Schiller, aku telah di Jakarta. Seperti biasa namaku sudah terdaftar di
Hotel Elliorado. Tak banyak yang berubah di sini. Hotel ini memang yang termegah. Lima puluh persen
perputaran uang judi Jakarta ada di sini. Kalau melihat sejarah, hotel inilah yang pertama berdiri setelah
bencana besar melanda Jakarta. Di tahun 2112 M, gempa besar menggoncang Jakarta, membuat retakan
besar. Lalu, lumpur dari perut Bumi menyembur tak terbendung. Setahun kemudian, tsunami menyapu.
Alam sedang murka waktu itu. Jutaan manusia jadi korban. Namun, dua ratus tahun kemudian, seorang
konglemerat bernama Elliorado membangun hotel dan kasino di Jakarta yang telah menjadi danau.
Banyak yang menertawakannya. Namun, dua puluh tahun kemudian Jakarta menjelma menjadi salah
satu dari lima kota judi terbesar dunia.
Bencana itu membuat Jakarta menjadi danau alam yang indah. Sengaja aku datang dua hari sebelum
pertandingan untuk menikmatinya. Lumayanlah kerja sambil liburan.
Di kafe hotel aku duduk di pojok—dekat pilar. Dengan begitu bisa kuamati para pengunjung lain.
Namun pilar ini menghalangi pandangan orang melihatku. Juga pencahayaan di sini agak temaram,
membuat suasana nyaman untuk melamun. Tak jauh dariku kulihat dua orang sedang berbisik. Pikiranku
pun melayang kepada Schiller. Rencana apa yang disiapkannya untuk menghidari pembayaran kali ini?
Selagi asyik melamun, kulihat Schiller dan Meyer datang lalu duduk dekat jendela—kira-kira sepuluh
meter dariku. Meyer orang Belanda. Ia pelatih barunya Schiller merangkap manajer. Sebenarnya, kalau
dibanding Stephen, Meyer kalah jauh. Tapi, tampaknya ia berhasil meracuni Schiller. Atau mungkin

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


88 | Boxinite

Schiller yang sangat pelit? Dengan mengambil Meyer, ia bisa memangkas pembagian untuk pelatih. Itu
berarti hemat dua puluh persen.
Melihat mereka ngobrol rasa penasaran menyergapku seperti lalat menyergap kotoran. Aku melihat
pergelangan tanganku dan tersenyum. Pastilah ini rencana Tuhan, pikirku. Langsung saja aku
memperjelas suara mereka.
Kudengar Meyer menjelaskan rencana menghindari pajak satu juta K-Energi seandainya mereka
menang melawan sang juara. Geli sekali mendengarnya. Belum apa-apa sudah buat rencana busuk.
Padahal pertandingan kali ini saja belum tentu dimenangkan. Lalu, aku mendengar rencana untuk
menghindari pajak tiga ratus ribu. Awalnya aku tak mengerti tiga ratus ribu mana yang mereka maksud.
Tapi, setelah mendengar lebih lama, barulah kutahu itu honor pertandingan kali ini. Edan. Tiga ratus ribu
dan dia bilang cuma lima puluh ribu.
Bangsat, kena kibul aku. Sesaat terpikir untuk membatalkan kerja ini. Namun egoku melarangnya.
Biar bagaimana pun aku bekas petinju. Tak kubiarkan orang mempermainkanku.
Aku mengetuk-ngetuk jemariku. Kulihat layar hologram di kanan menampilkan iklan pertandingan
Schiller. Schiller akan melawan Kokrai Hietkamtron dari Thailand. Sepertinya Kokrai sedang ada masalah.
Tiga pertandingan terakhir cuma ia menangkan dengan angka tipis. Itu pun karena promotor
pertandingan berasal dari kubunya. Karenanya mudah ditebak. Kalau kau cuma kalah angka tipis di
pertandingan yang dipromotori lawanmu, sebenarnya kaulah yang menang.
Gambar di layar berubah lagi; kali ini iklan taruhan terkini. Schiller diunggulkan tiga banding satu.
Wajar. Dua pertandingan terakhir ia menangkan KO, padahal promotor berasal dari kubu lawannya.

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 89

Cih, pantas saja dia besar kepala.


Diam sesaat, sekelebat pikiran lewat. Prinsip. Haruskah tetap kupertahankan? Aku mengepalkan
tanganku. Tidak, aku punya harga diri! Saat gemuruh di dadaku memuncak, aku membuka
komunikatorku dan mulai menghubungi seorang teman. Awas kau, Schiller!

***
Ketika bertemu Schiller, dia masih mencoba trik basi.
“Bung, bagaimana kalau kubayar setelah uang dari promotor turun. Sumpah, pasti kubayar!”
katanya.
Aku tersenyum sebijak petapa. “Bagaimana kalau kau hapus namaku di komunikatormu,“ kataku
sambil hendak berdiri.
“Wah, jangan gitu, dong, Bung.”
Dia akhirnya memberikan 1.250 jatahku setelah aku terus menerus tak menanggapi alasannya.

***
Malam harinya, seperti malam-malam sebelum pertandingan, aku mempersiapkan ramuan preanelin-
ku. Komisi boxinite sudah menetapkan bahan-bahan apa saja yang diperbolehkan. Resepku sederhana:
jelly-aqua-fat sebagai pelumas ditambahkan preanelin untuk membekukan darah. Setelah botol dibuka,
preanelin kadaluarsa dalam satu bulan. Kalau sudah kadaluarsa, meski baunya masih sangit, namun sudah

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


90 | Boxinite

tidak dapat membekukan darah lagi. Aku mengambil botol preanelin bekas pertandingan tiga bulan lalu.
Biasanya aku selalu membuka botol baru, namun untuk pertandingan Schiller kali ini aku membuat
pengecualian. Preanelin kadaluarsa itulah yang kupakai sebagai ramuan. Dan, malam ini aku membuat
dua jenis ramuan: satu yang kadaluarsa dan satu yang baru.

***
Pertandingan Schiller melawan Kokrai berlangsung tepat pukul 17.00. Di ronde pertama biasanya
para petarung masih menjajal kekuatan lawannya. Namun Kokrai beda. Ia seperti panser-sentinel yang
siap menggilas segala penghalang. Dengan gaya tarung tinju klasik, ia terus merangsek. Tak ragu bertukar
pukulan.
Schiller menari lincah, mencari celah, sambil terus menarik langkah. Namun saat telah terpojok,
terpaksalah ia mengikuti gaya tarung Kokrai. Di sudut merah, mereka saling menghajar, tak mau
mengalah. Kepala mereka tersentak ke kiri dan kanan seperti sedang di dalam transporter yang digulung
badai matahari. Melayani gaya seperti itu segera saja Schiller yang balon itu bocor. Pelipisnya robek di
akhir ronde pertama.
Setelah membersihkan lukanya, aku memermaknya dengan ramuan kadaluarsa.
“Kau jaga ini!” pesanku.
Namun, strategi Kokrai membuat Schiller tak mampu sepenuhnya menghindari desakan. Di setiap
ronde Schiller harus terpojok di salah satu sudut dan terpaksa melayani barter pukulan. Tak perlu jadi
ahli statistik ulung untuk memperkirakan lukanya akan terus menerus kena hajar.

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 91

Di ronde kelima, wasit berulang kali memisahkan mereka karena luka Schiller. Dan, aku pun berulang
kali memermak Schiller. Kupikir akan sangat mencolok kalau preanelin kadaluarsa terus-terusan kupakai.
Jadilah sesekali kuberi dia yang asli.
Ronde keenam berjalan sangat aneh. Berulang kali kulihat Schiller salah mengukur jarak. Ternyata
preanelin kadaluarsa bisa menyebabkan semacam alergi. Kasus yang sangat langka. Tapi itu kuketahui
nanti; ketika lisensi slackboy-ku dicabut.
Saat jeda ronde ketujuh, keanehan semakin jelas. Schiller tampak seperti kebanyakan menenggak
wiski-sintetis.
“Hei, kau tak apa-apa?” tanyaku.
“Ah, kau urus saja luka sialan ini!” kata Schiller sambil terus mengerjapkan mata.
“Yakin mau terus?”
Schiller meludah. “Kau pikir aku bisa kalah hanya karena luka ini?”
“Ya, urus saja bagianmu,” sambar Meyer. Ia lalu memberikan instruksi kepada Schiller. Aku cuma
mengangkat bahu.
Jelas Schiller mabuk. Aku yakin sekali. Tak mungkin kan ia terus-terusan salah ukur? Atau dia mulai
rabun?
Di ronde berikutnya, Kokrai tak menyia-nyiakan peluang itu. Pukulannya menghambur seperti
peluru: menjotos pelipis, menerjang rahang, dan menghantam mata. Aku berteriak agar Schiller mundur
tapi Meyer malah menghardikku. Akhirnya, setelah tiga menit menghujani Schiller dengan pukulan,

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


92 | Boxinite

Kokrai melompat. Sikunya mengincar ubun-ubun Schiller. Meski mematikan, seharusnya serangan itu
mudah dihindari. Cukup mundur sedikit. Anehnya, Schiller tidak melakukannya. Aku menahan napas.
Apa dia rabun? Aku berteriak, namun peringatanku hanya menggantung di udara karena siku Kokrai
telah menghujam. Schiller terkapar dengan wajah bersimbah darah dan bola mata terguling ke belakang.

***
Lewat tengah malam, aku masih duduk di balkon hotel. Rombongan Schiller telah lama pergi.
Melalui jendela kulihat danau tenang, namun hatiku bergolak. Lalu, komunikatorku memberitahukan
adanya transfer 13.500 K-Energi. Pengirimnya tak dikenal. Meski demikian aku tahu pengirimnya.
Kemarin, sebelum pertandingan, aku menghubungi Stephen—mantan pelatihnya Schiller. Aku juga
mengirimkan lima ribu dan memintanya memasang semuanya untuk kemenangan Kokrai. Stephen tidak
bertanya jadi aku juga tidak perlu menjelaskan. Tiga belas ribu lima ratus itu pastilah kemenangan
taruhanku setelah dipotong pajak.
Aku menutup komunikator lalu menyandarkan tubuhku. Mestinya tak begini. Seharusnya aku bisa
mendapatkannya dari mendukung petarungku. Yah, tapi aku bisa apa. Boxinite permainan
mempertaruhkan uang, ego, dan harga diri.
Dan aku bagian dari permainan ini.



http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra


R. Mailindra | 93

R. Mailindra
Pekerja TI yang menyukai cerita fiksi terutama silat, thriller, dan fantasi. Saat ini
sedang berusaha menyelesaikan novelnya di sela-sela mengurusi aplikasi
perbankan. Pada tahun 2009 penyandang gelar M.Sc in eBusiness ini
berkesempatan mengikuti Bengkel Penulisan Novel yang diselenggarakan Dewan
Kesenian Jakarta. Beragam hal yang dipelajarinya dari dunia tulis-menulis
dituangkan pada blognya yang dapat dilihat secara bebas di
http://mailindra.cerbung.com.

Facebook: http://www.facebook.com/mailindra
Twitter: @mailindra
Google+: https://plus.google.com/+RonnyMailindra

http://mailindra.cerbung.com | Twitter: @mailindra

Anda mungkin juga menyukai