KROMATOGRAFI GAS
KELOMPOK IV
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “KROMATOGRAFI GAS”.
Salawat dan salam tidak lupa penyusun kirimkan kepada baginda Rasulullah Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju zaman
yang serba modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang
ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
i
iii
2
2
3
2.1 3
6
15
15
23
23
23
24
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa prinsip kromatografi gas?
2. Apa-apa saja komponen-komponen kromatografi gas?
3. Apa kelebihan dan kekurangan kromatografi gas?
4. Bagaimana aplikasi penggunaan kromatografi gas pada proses isolasi?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Adapun gambaran umum dari GC adalah sebagai berikut :
4
Dalam kromatografi gas,fase gerak berupa gas lembam seperti
helium,nitrogen,argon,dan hidrogen digerakkan dengan tekanan melalui pipa yang
berisi fase diam. Tekanan uap atau keatsirian memungkinkan komponen menguap
dan bergerak bersama-sama dengan fase gerak yang berupa gas. Kromatografi gas
merupakan metode yang sangat tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang
sangat rumit. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu
retensi yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu retensi adalah waktu yang
menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom (Gritter, 1991).
Syarat senyawa yang dapat dianalisis dengan GC, yaitu pada suhu
operasional KG (<450˚C) molekul/senyawa dapat berubah fase gas atau uap dan
Tidak terdekomposisi pada suhu tersebut. Syarat gas sebagai fase gerak yaitu
lembam, koefisien difusi gas rendah, kemurnian tinggi, mudah di dapat dan murah,
serta cocok dengan detektor yang dipakai, contoh gas pembawa N2, He, H2, Ar, dll.
Kromatografi gas juga mirip dengan pecahan penyulingan, karena kedua proses
memisahkan komponen dari campuran terutama berdasarkan titik didih (atau tekanan
uap) perbedaan. Namun, pecahan penyulingan biasanya digunakan untuk
memisahkan komponen campuran pada skala besar, sedangkan GC dapat digunakan
pada skala yang lebih kecil (microscale) (Widada, 2000).
5
2.1.3 Jenis Dan Macam Alat GC
Kromatografi gas terdiri dari 2 yaitu:
1. Kromatografi gas–cair (KGC)
Fase diamnya berupa cairan yang diikatkan pada suatu pendukung sehingga
solut akan terlarut dalam fase diam. Partisi komponen cuplikan didasarkan atas
kelarutan uap komponen bersangkutan pada zat cair (fasa diam). Metode ini paling
banyak digunakan karena efisien, serba guna, cepat dan peka (McNair, 2009).
2. Kromatografi gas-padat (KGP)
Fase diamnya berupa padatan dan kadang-kadang berupa polimerik. Pada
kromatografi gas-padat, partisi komponen cuplikan didasarkan atas fenomena
adsorpsi pada permukaan zat padat (fasa diam). Namun KGP jarang digunakan
sehingga pada umumnya yang disebut dengan GC saat ini adalah KGC
(McNair, 2009).
Instrumentasi dalam kromatografi gas telah berevolusi secara terus-menerus
sejak 1954. Bagian-bagian dari instrumen kromatografi gas terdiri atas gas pembawa,
pengatur aliran, sample inlet, kolom, oven (pengatur suhu), detektor, sistem output.
Alur kerja GC adalah sebagai berikut. Gas pembawa yang inert mengalir secara
terus- menerus dari silinder gas ke tempat injeksi, kolom, dan detektor. Laju alir gas
pembawa ini dikendalikan sepenuhnya untuk memastikan waktu retensi yang
konsisten dan untuk meminimalisir pergeseran detektor dan noise. Sample diinjeksi
ke dalam tempat injeksi yang dipanaskan sehingga sampel diuapkan dan dibawa ke
kolom, yang dilapisi dengan lapisan tipis cairan bertitik didih tinggi. Partisi sampel
antara fase gerak dan fase diam dan terpisah menjadi komponen-komponennya
berdasarkan pada kelarutan dalam fase cair dan fasa uap. Setelah melewati kolom,
gas pembawa dan sampel melewati detektor. Bagian ini mengukur kuantitas sampel
dan menghasilkan sinyal elektik. Sinyal ini diterjemahkan oleh sistem data menjadi
kromatogram (McNair, 2009).
6
menyediakan matriks yang sesuai untuk detektor untuk mengukur komponen sampel.
Berikut adalah beberapa gas pembawa yang digunakan untuk beberapa detektor
(McNair, 2009):
Tabel 1. Jenis gas pembawa dan detektornya.
Kemurnian gas pembawa sangat penting karena pengotor seperti oksigen, air dapat
merusak fasa cair dalam kolom. Kolom polyester, polyglicol, dan poliamida
umumnya rentan. Air dalam jumlah kecil juga dapat melepaskan kontaminan dalam
kolom dan menghasilkan “ghostpeak”. Hidrokarbon dalam jumlah kecil dalam gas
pembawa dapat menyebabkan ghostpeak dengan detektor ionisasi sehingga
membatasi kemampuan deteksinya (McNair, 2009).
7
pengaman dan penyaring pada inlet berfungsi untuk menangkal partikulat yang dapat
masuk ke dalam sistem. Diafragma berbahan stainless steel digunakan untuk
mencegah kebocoran dalam sistem (McNair, 2009).
8
a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan
diuapkan dalam injector yang panas dan 100 % sampel masuk menuju kolom.
b. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan diuapkan
dalam injector yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan.
c. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua sampel
diuapkan dalam injector yang panas dan dibawa ke dalam kolom karena katup
pemecah ditutup
d. Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung semprit
dimasukkan langsung ke dalam kolom.
Teknik injeksi langsung ke dalam kolom digunakan untuk senyawa-senyawa
yang mudah menguap. Karena kalau penyuntikannya melalui lubang suntik secara
langsung dikhawatirkan akan terjadi peruraian senyawa tersebut karena suhu yang
tinggi atau pirolisis. Perlu diperhatikan bahwa kita tidak boleh menginjeksikan
cuplikan terlalu banyak, karena GC sangat sensitif. Biasanya jumlah cuplikan yang
diinjeksikan pada waktu kita mengadakan analisa 0,5 -50 ml untuk gas dan 0,2 - 20
ml untuk cairan seperti pada gambar di bawah (McNair, 2009).
9
pendukung dari fase diam yang berfungsi untuk mengikat fase diam tersebut. Padatan
atau “diatomite” berupa tanah diatom yang telah dipanaskan atau dikeringkan
(Pamudji, 2013).
Persyaratan padatan pendukung yang baik:
a. Inert, tidak menyerap cuplikan
b. Kuat, stabil pada suhu tinggi
c. Memiliki luas permukaan yang besar : 1-20 m2/g
d. Permukaan yang teratur, ukuran yang sama, ukuran pori sekitar 10μ
Jika suatu cuplikan dianalisis dengan GC maka pemisahan terjadi pada
kolom. Kolom di dalam GC sering disebut dengan ”jantung GC”. Hal ini disebabkan
karena keberhasilan suatu analisis ditentukan oleh tepat dan tidaknya kolom yang
dipilih serta jenis cuplikan yang akan dianalisis (Pamudji, 2013). Menurut Gritter
(1991), ada 3 jenis kolom pada GC yaitu kolom kemas (packing column), kolom
kapiler (capillary column), dan kolom preparasi (preparative column). Perbandingan
kolom kemas dan kolom kapiler ditunjukkan oleh gambar berikut :
10
(HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M) (Gritter, 1991).
Kolom GC terdiri dari 3 bagian yaitu wadah luar yang terbuat dari logam
(tembaga, baja tahan karat, nikel), gelas atau plastik mislanya teflon dan isi kolom
yang terdiri dari padatan pendukung dan fasa cairan (McNair, 2009).
a. Kolom isian
Fasa stasioner dalam kromatografi gas cair (KGC) adalah cairan, tetapi cairan
itu tidak boleh dibiarkan bergerak – gerak di dalam tabung. Cairan tersebut harus
dimobilisasi, biasanya dalam bentuk satu lapisan tipis dengan luas permukaan besar.
Ini paling lazim dilakukan dengan mengimpregnasi suatu bahan padat dengan fasa
cair sebelum kolom diisi. Padatan tersebut harus bersifat inert secara kimiawi
terhadap zat – zat yang nantinya akan dikromatografikan, stabil pada temperatur
operasi, dan memilki luas permukaan yang besar persatuan berat. Penurunan tekanan
yang dibutuhkan untuk laju alir gas yamg diinginkan harus tidak boleh berlebihan.
Kekuatan mekanis lebih diinginkan agar partikel – partikelnya tidak pecah dan
mengubah distribusi ukuran partikel dengan penanganan. Kebanyakan padatan yang
digunakan sebagai penyangga pada KGC sangat berpori. Adsorben aktif seperti
karbon aktif dan silika gel adalah penyangga padat yang buruk. Bahkan jika dilapisi
dengan lapisan cairan tipis maka padatan ini akan menyerap komponen – komponen
sampel yang menyebabkan pengekoran (tailing). Bahan penyangga padat yang paling
umum adalah tanah diatom. Untuk dapat digunakan sebagai penyangga padatan
maka tanah diatom dijadikan seperti bata dan dipanaskan di dalam tanur kemudian
digerus halus sampai dan disaring dengan ukuran mesh tertentu (McNair, 2009).
11
harus stabil secara termal pada temperatur kolom, dan kecuali dalam kasus – kasus
khusus, cairan itu tidak bereaksi secara kimia dengan komponen – komponen
sampel. Cairan tersebut harus memiliki daya pelarut yang cukup untuk sampel.
Mengingat aturan lama bahwa ”sejenis melarutkan sejenis” , bisa dinyatakan bahwa
secara umum seharusnya ada sedikit kesamaan kimiawi antara zat cair dan zat
terlarut yang dipisahkan (McNair, 2009).
Jumlah cairan yang diberikan pada penyangga padatan adalah penting. Jika
terlalu banyak cairan, zat terlarut akan menghabiskan terlalu banyak waktu berdifusi
ke fasa cair, dan efisiensi pemisahan menjadi berkurang. Terlalu sedikit cairan
menyebabkan zat terlarut berinteraksi dengan padatan itu sendiri., adsorpsi dapat
menyebabkan pengekoran dan tumpang tindihnya pita – pita elusi. Pemuatan cairan
berbeda – beda dengan sifat penyangga padatan, ukuran sampel yang diantisispasi
dan faktor – faktor lain, tetapi umumnya dalam rentang 2 atau 3 sampai sekitar 20%
berat cairan. Biasanya padatan diolah dengan suatu larutan dari cairan yang
diinginkan dalam suatu pelaut yang volatil, dimana pelarut dipindahkan dengan
pemanasan dan selanjutnya dibuang dengan gas pembawa (McNair, 2009).
2.2.5 Oven
Tekanan uap dan kelarutan substansi dalam substansi lain berubah oleh suhu.
Oleh karena itu, ketepatan pengendalian suhu kolom menjadi sangat penting sebab
pemisahan tergantung pada tekanan uap dan kelarutan. Pemilihan suhu isotermal
(konstan) dan suhu terprogram (suhu berubah secara kontinyu) dilakukan dengan
percobaan. Untuk pemisahan sederhana, mode isotermal sudah cukup baik. Hal ini
disebabkan perbedaan antara tekanan uap dan kelarutan dari campuran komponen
sudah cukup mempengaruhi pemisahan yang baik pada suhu yang dipilih. Namun,
untuk campuran yang lebih kompleks, pemisahan yang kompleks membutuhkan suhu
yang bervariasi (Widada, 2000).
12
2.2.6 Detektor
Detektor adalah komponen yang ditempatkan pada ujung kolom GC yang
menganalisis aliran gas yang keluar dan memberikan data kepada perekam data yang
menyajikan hasil kromatogram secara grafik. Detektor menunjukkan dan mengukur
jumlah komponen yang dipisahkan oleh gas pembawa. Alat ini akan mengubah analit
yang telah terpisahkan dan dibawa oleh gas pembawa menjadi sinyal listrik yang
proporsional. Oleh karena itu, alat ini tidak boleh memberikan respon terhadap gas
pembawa yang mengalir pada waktu yang bersamaan. Beberapa detektor yang dapat
digunakan antara lain: detektor hantar bahang (DHB), detektor ionisasi nyala (FID),
detektor tangkap ion, dan lain sebagainya (Adnan, 1997).
A. Macam-macam Detektor
1. Detektor Konduktifitas termal (Thermal Conductivity Detector)
Detektor ini paling banyak digunakan untuk analisis mikrogram. Detektor ini
menggunakan serabut logam yang dipanaskan untuk mendeteksi perubahan
konduktivitas termal dari aliran gas pembawa. Detektor ini peka terhadap hampir
semua komponen yang memiliki daya hantar panas.
2. Detektor Ionisasi Nyala (Foto Ionize Detektor)
Prinsip detektor ini adalah afluen yang keluar dari kolom dicampur dengan
hidrogen dan dibakar di udara dan menghasilkan radikal CH yang selanjutnya
menghasilkan ion CHO+ dalam nyala hidrogen udara. Detektor ini peka terhadap
senyawa yang mengandung hidrokarbon (organik).
3. Detektor Penangkapan Elektron (Electron Capture Detector)
Detektor ini peka terhadap senyawa yang mengandung halogen, karbonil
terkonjugasi, nitro, nitril dan organologam. Akan tetapi, detektor ini tidak peka
terhadap hidrokarbon, alkohol dan keton.
4. Detektor Fotometri Nyala (Flame Photometric Detector)
Detektor ini merupakan fotometer emisi optik yang berfungsi untuk
mendeteksi senyawa-senyawa yang mengandung fosfor atau belerang seperti
pestisida dalam polutan udara.
5. Detektor Termoionik Nyala (Flame Thermionic Detector)
Detektor termoionik nyala merupakan detektor khusus untuk mendeteksi
senyawaan nitrogen dan atau fosfor organik. Prinsipnya adalah pembakaran
13
senyawaan komponen kemudian direaksikan dengan garam Rubidium dan respon
listrik yang dihasilkan akan diperkuat dan dikonversi menjadi satuan tegangan.
Banyak digunakan untuk analisis senyawaan pestisida. Detektor ini sangat selektif
terhadap nitrogen dan fosfor karena adanya elemen aktif diatas aliran kapiler yang
terbakar oleh plasma (1600˚C).
6. Detektor Spektroskopi Massa
Detektor khusus yang dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun
kuantitatif. Prinsip pengukurannya adalah komponen sampel dipecah menjadi bentuk
ion fragmennya (baik secara elektronik maupun kimiawi) lalu ion fragmen tersebut
dilewatkan ke Mass Analyzer untuk memisahkan ion berdasarkan perbedaan
massa/muatan dan selanjutnya diteruskan ke ion detector untuk mendeteksi jumlah
ion yang dihasilkan. Spektrum fragmen yang dihasilkan oleh masing-masing
komponen akan menunjukkan karakteristik yang khas, dan ini digunakan untuk
tujuan identifikasi kualitatif dengan membandingkan dengan database atau library
spektrum yang telah ada.
7. Detektor NPD (Nitrogen Phosphorus Detector)
NPD sering digunakan untuk mendeteksi pestisida, herbisida,
penyalahgunaan obat dan senyawa lainnya. Detektor ini peka terhadap senyawa
nitrogen organik dan fosfor organik.
14
puncak dalam kromatogram menyatakan jumlah komponen penyusun campuran.
Sedangkan luas puncak menyatakan kuantitas komponennya (Gritter, 1991).
15
dengan metode difusi cakram. Dari hasil analisis FTIR dan GC-MS dari isolat
terpenoid, disimpulkan bahwa senyawa terpenoid yang diperoleh dari proses isolasi
rimpang lengkuas merah adalah senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol atau
nerolidol. Isolat terpenoid kemudian diuji aktivitas antibakteri pada konsentrasi 5%,
1%, dan 0,5% dan tidak memberikan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschericia
coli dan Salmonella typhi (Laksono dkk., 2014).
16
didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya sebanyak 3 gram fraksi n-heksana rimpang
lengkuas merah dimasukkan ke dalam kolom. Pemisahan dengan kromatografi
kolom dilakukan dengan cara mengatur aliran eluen yang ditampung dalam setiap
botol vial, aliran eluen dibuat 8 menit / 15 mL setiap vialnya. Selanjutnya vial hasil
kolom dilakukan KLT untuk pengelompokan fraksi berdasarkan pola noda yang
sama kemudian disatukan menjadi fraksi besar. Fraksi-fraksi besar yang didapat
kemudian dilakukan KLT dan disemprot menggunakan pereaksi Libermann-
Burchard. Selanjutnya KLT tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 110 ⁰C
selama 5 menit. Noda dari KLT tersebut selanjutnya dilihat pada lampu UV 365 nm.
Kromatografi preparatif dilakukan terhadap fraksi yang positif terpenoid
untuk mendapatkan isolat terpenoid murni. Sebelumnya dilakukan KLT untuk
menentukan eluen terbaik. Kromatografi preparatif dilakukan dengan plat silika gel
GF254 ukuran 20 cm x 5 cm dengan ketebalan 0,2 cm. Setelah fraksi positif terpenoid
dielusi, dilakukan pengerokan pita-pita dan selanjutnya direndam menggunakan
n-heksana pro analis yang melarutkan isolat terpenoid. Uji kemurnian dilakukan
menggunakan KLT dengan fase gerak berbagai campuran eluen yaitu
kloroform : n-heksana (7 : 3), etil asetat : n-heksana (5 : 3), dan kloroform : n-
heksana (1 : 1). Jika hasil KLT menunjukkan 1 noda maka isolat terpenoid tersebut
dianggap murni.
Analisis FTIR digunakan untuk menentukan gugus fungsi dan Kromatografi
Gas untuk mengetahui tingkat kemurnian serta menggunakan Spektroskopi Massa
untuk mengetahui berat molekul dan pola fragmentasi dari senyawa tersebut. Uji
aktivitas antibakteri terhadap isolat terpenoid menggunakan metode difusi cakram
dengan konsentrasi 5%, 1%, dan 0,5%. Nutrien agar yang telah dibuat kemudian
disterilisasi dalam autoklaf. Nutrien agar yang telah steril diberi supensi bakteri dan
diratakan dengan menggunakan jarum ose. Cakram kertas dicelupkan ke dalam isolat
terpenoid rimpang lengkuas merah diletakan pada permukaan media nutrien agar
yang telah diinokulasikan bakteri dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ⁰C [7].
17
kuning terang. Setelah fraksi tersebut dipekatkan diperoleh sebanyak 4 gram fraksi
n-heksana berwarna coklat kemerahan.
Dari hasil KLT didapatkan bahwa eluen terbaik untuk pemisahan terpenoid
adalah kloroform : n-heksana (10 : 9). Perbandingan eluen tersebut menghasilkan
pemisahan noda yang paling maksimal yaitu didapatkan 7 noda dengan Rf masing-
masing noda antara 0,2 - 0,8. Eluen tersebut digunakan untuk kromatografi kolom
gravitasi. Dari hasil kromatografi kolom diperoleh 220 vial masing-masing vial
dilakukan KLT untuk pengelompokan fraksi besar.
Tabel 1. Hasil pengelompokkan fraksi vial-vial hasil kromatografi kolom
Fraksi Vial Warna
A 5 – 19 Jernih
B 20 – 55 Jernih
C 56 – 98 Jernih
D 99 – 143 Jernih
E 144– 220 Kekuningan
18
baik antara target terpenoid dengan senyawa lain. Setelah mendapatkan eluen terbaik
dilakukan isolasi terpenoid dengan mengerok silika gel pada daerah pita yang positif
terpenoid.
Gambar 3. KLT isolat terpenoid (a) Eluen kloroform : n-heksana (7 : 3); (b) Etil
asetat : n-heksana (5 : 3); (c) Kloroform : n-heksana (1 : 1)
19
Hasil kromatogram GC isolat terpenoid rimpang lengkuas merah ditunjukkan
seperti gambar 4
20
Berat molekul yang dihasilkan dari analisis MS adalah 222 gram/mol,
diprediksikan senyawa isolat terpenoid berdasarkan spektra referensi MS adalah
3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol dengan tingkat kemiripan 96%.
Dari penelitian yang dilakukan Parwata dan Dewi [10] didapatkan senyawa
terpenoid yang ada pada komponen minyak atsiri pada rimpang lengkuas merah
antaralain senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3ol. Sehingga dari kedua
penelitian tersebut memperkuat dugaan bahwa terpenoid yang didapatkan dari
rimpang lengkuas merah adalah 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol.
21
1,6,10-dodekatrien-3-ol yang keluar pada (m/z) : 222, 204, 189, 169, 107, 93, 81, 55,
41, dan 29. Pada spektra m/z 204 menunjukkan lepasnya senyawa H2O dari senyawa
awal. Selanjutnya muncul m/z 189 yang menunjukkan lepasnya CH3. Senyawa
dengan m/z 69 yang merupakan base puncak dari spektra MS dihasilkan dari
pembentukan senyawa (C5H9)+. Selain itu pada pola fragmentasi isolat terpenoid
muncul m/z 169 akibat lepasnya senyawa C 2H4 dari m/z 189. Dari m/z 169
menghasilkan senyawa m/z 93 akibat lepasnya C5H8 dan m/z 107 dari lepasnya C4H6.
Dari m/z 107 menghasilkan fragmen dengan m/z 81 dan m/z 55 dengan lepasnya
C2H2 dan C2H2 berturut-turut. Sedangkan m/z 41 didapat dari lepasnya senyawa C 4H4
dari m/z 93. Pola fragmentasi dari senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol
ditunjukkan seperti pada gambar 3. Senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol
merupakan terpenoid jenis alkohol dengan rumus molekul C15H26O.
Uji antibakteri isolat terpenoid dilakukan terhadap bakteri Eschercia coli dan
Salmonella typhy. Isolat terpenoid yang didapatkan sebanyak 0,04 gram kemudian
dilarutkan ke dalam 4 mL aquades dengan ditambahkan 2 tetes DMSO. Penambahan
DMSO berfungsi agar isolat terpenoid dapat larut sempurna dengan aquades
selanjutnya diuji antibakteri menggunakan metode diffusi cakram terhadap bakteri
Eschercia coli dan Salmonella typhy. Dari hasil pengujian menggunakan metode
diffusi cakram, bahwa tidak ada aktivitas antibakteri dari isolat terpenoid pada
konsentrasi 5%, 1% dan 0,5%. Hal ini ditandai dengan tidak adanya zona bening di
sekeliling cakram atau zona hambatnya 0 mm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat
terpenoid tersebut yaitu senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol pada
konsentrasi 0,5%, 1%, dan 5% tidak memiliki aktivitas antibakteri.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Prinsip utama pemisahan dalam kromatografi gas adalah berdasarkan
perbedaan laju migrasi masing-masing komponen dalam melalui kolom.
Komponen-komponen yang terelusi dikenali (analisa kualitatif) dari nilai
waktu retensinya (tR).
2. Komponen-komponen instrumen kromatografi gas terdiri atas gas pembawa,
pengatur aliran, tempat injeksi, kolom, oven, detektor dan rekorder.
3. Kelebihan utama kromatografi gas adalah waktu analisis yang singkat dan
ketajaman pemisahan yang tinggal, sedangkan kekurangan kromatografi gas
adalah teknik kromatografi gas terbatas untuk zat yang mudah menguap.
4. Dari hasil proses isolasi senyawa terpenoid pada rimpang lengkuas merah
digunakan jenis kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS), diperoleh
isolat terpenoid dengan kemurnian yang tinggi. Senyawa tersebut memiliki
waktu retensi 23,367 menit dengan berat molekul 222 g/mol. Diprediksi
senyawa isolat terpenoid berdasarkan spektra referensi MS adalah 3,7,11-
trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol dengan tingkat kemiripan 96%.
3.2 Saran
Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami meminta saran maupun kritikan yang
membangun, agar kedepannya penulis bisa lebih baik.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M., 1997, Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan, Andi Offset,
Yogyakarta.
Laksono, F.B., Fachriyah, E., dan Kusrini, D., 2014, Isolasi dan Uji Antibakteri
senyawa Terpenoid Ekstrak N-Heksana Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia
purpurata), Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi, 17(2): 37-42.
McNair, H.M., dan Miller, J.M., 2009, Basic Gas Chromatography, John Wiley and
Sons, Inc., New Jersey.
Pamudji, F.D., 2013, Identifikasi Benzo (a) Pyrene, Public ITS, Surabaya.
Widada, B., 2000, Pengenalan Alat Kromatografi Gas, Urania, 7(23): 3-6.
24