Anda di halaman 1dari 27

Makalah Teknik Laboratorium Kimia Organik

KROMATOGRAFI GAS

KELOMPOK IV

KISWAN SETIAWAN MAJID (H031191015)

AULIA KARIMAH (H031191047)

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “KROMATOGRAFI GAS”.
Salawat dan salam tidak lupa penyusun kirimkan kepada baginda Rasulullah Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan menuju zaman
yang serba modern dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang
ini.

Ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu dalam


penyusunan makalah ini. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Ucapan terima kasih kepada ibu Prof. Dr. Nunuk Hariani S, MS
selaku dosen pengampu yang telah memantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “Teknik
Laboratorium Kimia Organik”.

Penyusun menyadari tidak ada manusia yang sempurna. Penyusunan makalah


ini masih banyak kekurangan serta masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dari para pembaca untuk perbaikan
di masa yang akan datang. Akhir kata, penyusun mohon maaf apabila ada kesalahan
dalam penulisan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Makassar, 20 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

i
iii

2
2
3
2.1 3
6
15
15
23
23
23
24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kromatografi pertama kali diperkenalkan oleh Michael Tswest (1903),
seorang ahli botani Rusia. Tswest menyiapkan kolom yang diisi dengan serbuk
kalsium karbonat, dan kedalamnya dituangkan campuran pigmen tanaman yang
dilarutkan dalam eter. Secara mengejutkan, pigmen memisahkan dan membentuk
lapisan berwarna di sepanjang kolom. Ia menamakan kromatografi pada teknik
pemisahan baru ini, dimana “chroma” berarti warna serta “graphein” yang berarti
tulisan. Kemudian kimiawan dari Swiss Richard Martin Willstätter (1872-1942)
menerapkan teknik ini untuk risetnya yakni untuk pemisahan pigmen klorofil
(Adnan, 1997).
Kromatografi adalah cara pemisahan campuran yang didasarkan atas
perbedaan distribusi dari komponen campuran tersebut diantaranya dua fase, yaitu
fase diam (stationary) dan fase bergerak (mobile). Fase diam dapat berupa zat padat
atau zat cair, sedangkan fase bergerak dapat berupa zat cair atau gas. Dalam
kromatografi fase bergerak dapat berupa gas atau zat cair dan fase diam dapat berupa
zat padat atau zat cair. Kromatografi gas dapat juga dikatakan sebagai suatu teknik analisis
yang mencakup metoda pemisahan dan metoda penentuan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan
atas distribusi deferensial komponen sampel diantara dua fasa. Hal tersebut mengacu
pada beberapa sifat komponen, yaitu (Gritter, 1991):
 Melarut dalam cairan
 Melekat pada permukaan padatan halus
 Bereaksi secara kimia
Sifat-sifat tersebutlah yang dimanfaatkan dalam metode kromatografi ini,
yaitu perbedaan migrasi komponen-komponen di dalam sampel. Pada makalah ini
akan dibahas secara khusus mengenai kromatografi gas yang merupakan salah satu
teknik spektroskopi yang menggunakan prinsip pemisahan campuran berdasarkan
perbedaan kecepatan migrasi komponen-komponen penyusunnya. Kromatografi gas
ditemukan pada tahun 1903 oleh Tswett dan biasa digunakan untuk mengidentifikasi
suatu senyawa yang terdapat pada campuran gas (Adnan, 1997).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa prinsip kromatografi gas?
2. Apa-apa saja komponen-komponen kromatografi gas?
3. Apa kelebihan dan kekurangan kromatografi gas?
4. Bagaimana aplikasi penggunaan kromatografi gas pada proses isolasi?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui prinsip kromatografi gas.
2. Mengetahui komponen-komponen kromatografi gas.
3. Mengetahui kelebihan dan kekurangan kromatografi gas.
4. Mengetahui aplikasi penggunaan kromatografi gas pada proses isolasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Umum Kromatografi Gas (Gas Chromatography)


Secara etimologi, Kromatografi berasal dari bahasa yunani yang berarti
‘warna’ dan ‘tulis’. Kromatografi gas (GC) merupakan jenis kromatografi yang
digunakan dalam kimia organik untuk pemisahan dan analisis, Oleh karena itu,
senyawa- senyawa kimia yang akan dipisahkan haruslah dalam bentuk gas pula. GC
dapat digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau memisahkan
berbagai komponen dari campuran. Kromatologi gas memisahkan suatu campuran
berdasarkan kecepatan migrasinya di dalam fasa diam yang dibawa oleh fasa gerak.
Sedangkan perbedaan migrasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan interaksi
diantara senyawa- senyawa kimia tersebut (di dalam campuran) dengan fasa diam
dan fasa geraknya. Interaksi ini adalah adsorbsi, partisi, penukar ion dan jel permiasi.
Kromatografi gas termasuk dalam salah satu alat analisa (analisa kualitatif dan
analisa kuantitatif), kromatografi gas dijajarkan sebagai cara analisa yang dapat
digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa organic (Gritter, 1991).
Kromatografi gas, berdasarkan fasa gerak dan fasa diamnya merupakan
kromatografi gas-cair. Dimana fasa geraknya berupa gas yang bersifat inert,
sedangkan fasa diamnya  berupa cairan yang inert pula, dapat berupa polimer
ataupun larutan. Kromatografi gas-cair (GLC), atau hanya kromatografi gas (GC),
merupakan jenis kromatografi yang digunakan dalam kimia organik untuk pemisahan
dan analisis. GC dapat digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau
memisahkan berbagai komponen dari campuran. Dalam beberapa situasi, GC
dapat membantu dalam mengidentifikasi sebuah kompleks (McNair, 2009).
Dalam kromatografi gas, fase yang bergerak (mobile phase) adalah sebuah
operator gas, yang biasanya gas murni seperti helium atau yang tidak reaktif seperti
gas nitrogen. Stationary atau fasa diam merupakan tahap mikroskopis lapisan cair
atau polimer yang mendukung gas murni, di dalam bagian dari sistem pipa-pipa kaca
atau logam yang disebut kolom. Instrumen yang digunakan untuk melakukan
kromatografi gas disebut gas chromatograph atau atau aerograph (gas pemisah)
(Gritter, 1991).

3
Adapun gambaran umum dari GC adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Gambaran Umum GC

2.1.1 Dasar Teori Kromatografi Gas


Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan atas
distribusi deferensial diantara dua fasa mengacu pada beberapa sifat komponen
sampel, yaitu (Gritter, 1991):
 Melarut dalam cairan
 Melekat pada permukaan padatan halus
 Bereaksi secara kimia
Sifat-sifat tersebutlah yang dimanfaatkan dalam metode kromatografi ini, yaitu
perbedaan migrasi komponen-komponen di dalam sampel. Pada prinsipnya
pemisahan dalam GC adalah disebabkan oleh perbedaan dalam kemampuan
distribusi analit diantara fase gerak dan fase diam di dalam kolom pada kecepatan
dan waktu yang berbeda (Adnan, 1997).
Dasar pemisahan secara kromatografi gas ialah penyebaran cuplikan diantara
2 fase. Salah satu fase adalah fase diam yang permukaannya nisbi luas dan fase yang
lain adalah gas yang menelusuri fase diam. Bila fasa diam berupa zat padat disebut
sebagai kromatografi gas padat. Ini didasarkan pada penyerapan kemasan kolom
untuk memisahkan cuplikan terutama cuplikan gas. Kemasan kolom yang lazim
dipakai ialah silika gel dan arang. Dan bila fasa diam berupa zat cair disebut
kromatografi gas cair. Fasa cair didapatkan berupa lapisan tipis pada zat padat yang
lembam dan pemisahan didasarkan pada partisi cuplikan yang masuk dan keluar dari
lapisan zat cair ini (McNair, 2009).

4
Dalam kromatografi gas,fase gerak berupa gas lembam seperti
helium,nitrogen,argon,dan hidrogen digerakkan dengan tekanan melalui pipa yang
berisi fase diam. Tekanan uap atau keatsirian memungkinkan komponen menguap
dan bergerak bersama-sama dengan fase gerak yang berupa gas. Kromatografi gas
merupakan metode yang sangat tepat dan cepat untuk memisahkan campuran yang
sangat rumit. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan waktu
retensi yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu retensi adalah waktu yang
menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom (Gritter, 1991).
Syarat senyawa yang dapat dianalisis dengan GC, yaitu pada suhu
operasional KG (<450˚C) molekul/senyawa dapat berubah fase gas atau uap dan
Tidak terdekomposisi pada suhu tersebut. Syarat gas sebagai fase gerak yaitu
lembam, koefisien difusi gas rendah, kemurnian tinggi, mudah di dapat dan murah,
serta cocok dengan detektor yang dipakai, contoh gas pembawa N2, He, H2, Ar, dll.
Kromatografi gas juga mirip dengan pecahan penyulingan, karena kedua proses
memisahkan komponen dari campuran terutama berdasarkan titik didih (atau tekanan
uap) perbedaan. Namun, pecahan penyulingan biasanya digunakan untuk
memisahkan komponen campuran pada skala besar, sedangkan GC dapat digunakan
pada skala yang lebih kecil (microscale) (Widada, 2000).

2.1.2 Prinsip Kromatografi Gas


Kromatografi gas adalah merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut
yang mudah menguap (dan stabil terhaddap panas) bermigrasi melalui kolom yang
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya. Pemisahan pada Kromatografi Gas didasarkan pada titik didih suatu
senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan
fasa diam. Selain itu juga penyebaran cuplikan diantara dua fasa. Salah satu fasa
ialah fasa diam yang permukaannya luas dan fasa yang lain yaitu gas yang mengelusi
fasa diam. Fasa gerak yang berupa gas akan mengelusi solute dari ujung kolom lalu
menghantarkannya ke detector.  Prinsip utama pemisahan dalam kromatografi gas
adalah berdasarkan perbedaan laju migrasi masing-masing komponen dalam melalui
kolom. Komponen-komponen yang terelusi dikenali (analisa kualitatif) dari nilai
waktu retensinya (tR) (Adamovics, 1997).

5
2.1.3 Jenis Dan Macam Alat GC
Kromatografi gas terdiri dari 2 yaitu:
1. Kromatografi gas–cair (KGC)
Fase diamnya berupa cairan yang diikatkan pada suatu pendukung sehingga
solut akan terlarut dalam fase diam. Partisi komponen cuplikan didasarkan atas
kelarutan uap komponen bersangkutan pada zat cair (fasa diam). Metode ini paling
banyak digunakan karena efisien, serba guna, cepat dan peka (McNair, 2009).
2. Kromatografi gas-padat (KGP)
Fase diamnya berupa padatan dan kadang-kadang berupa polimerik. Pada
kromatografi gas-padat, partisi komponen cuplikan didasarkan atas fenomena
adsorpsi pada permukaan zat padat (fasa diam). Namun KGP jarang digunakan
sehingga pada umumnya yang disebut dengan GC saat ini adalah KGC
(McNair, 2009).
Instrumentasi dalam kromatografi gas telah berevolusi secara terus-menerus
sejak 1954. Bagian-bagian dari instrumen kromatografi gas terdiri atas gas pembawa,
pengatur aliran, sample inlet, kolom, oven (pengatur suhu), detektor, sistem output.
Alur kerja GC adalah sebagai berikut. Gas pembawa yang inert mengalir secara
terus- menerus dari silinder gas ke tempat injeksi, kolom, dan detektor. Laju alir gas
pembawa ini dikendalikan sepenuhnya untuk memastikan waktu retensi yang
konsisten dan untuk meminimalisir pergeseran detektor dan noise. Sample diinjeksi
ke dalam tempat injeksi yang dipanaskan sehingga sampel diuapkan dan dibawa ke
kolom, yang dilapisi dengan lapisan tipis cairan bertitik didih tinggi. Partisi sampel
antara fase gerak dan fase diam dan terpisah menjadi komponen-komponennya
berdasarkan pada kelarutan dalam fase cair dan fasa uap. Setelah melewati kolom,
gas pembawa dan sampel melewati detektor. Bagian ini mengukur kuantitas sampel
dan menghasilkan sinyal elektik. Sinyal ini diterjemahkan oleh sistem data menjadi
kromatogram (McNair, 2009).

2.2 Komponen Alat Kromatografi Gas


2.2.1 Gas Pembawa
Fungsi utama gas pembawa adalah membawa sampel melalui kolom. Gas
pembawa ini juga disebut sebagai fasa gerak. Gas pembawa harus bersifat inert dan
tidak berinteraksi secara kimia dengan sampel. Fungsi lain gas pembawa adalah

6
menyediakan matriks yang sesuai untuk detektor untuk mengukur komponen sampel.
Berikut adalah beberapa gas pembawa yang digunakan untuk beberapa detektor
(McNair, 2009):
Tabel 1. Jenis gas pembawa dan detektornya.

Kemurnian gas pembawa sangat penting karena pengotor seperti oksigen, air dapat
merusak fasa cair dalam kolom. Kolom polyester, polyglicol, dan poliamida
umumnya rentan. Air dalam jumlah kecil juga dapat melepaskan kontaminan dalam
kolom dan menghasilkan “ghostpeak”. Hidrokarbon dalam jumlah kecil dalam gas
pembawa dapat menyebabkan ghostpeak dengan detektor ionisasi sehingga
membatasi kemampuan deteksinya (McNair, 2009).

2.2.2 Pengatur Aliran


Pengukuran dan pengatur aliran gas pembawa sangat penting untuk efisiensi
kolom dan analisis kualitatif. Efisiensi kolom bergantung pada laju aliran gas yang
dapat diatur dengan mudah dengan mengubah laju alir hingga nilai plat maksimum
tercapai. Nilai optimumnya adalah 75-90 mL/min untuk kolom kemas berdiameter
luar 0,25 inci; 25 mL/min untuk 0,125 inci; dan 0,75 mL/min untuk kolom kapiler
berdiameter dalam 0,25 μm. Nilai ini hanyalah acuan. Nilai optimum yang
sebenarnya harus ditentukan secara eksperimental (McNair, 2009).
Laju alir yang konstan dan reproducible pada analisis kualitatif harus diatur
agar diperoleh waktu retensi yang memiliki presisi yang tinggi. Hal ini dikarenakan
waktu retensi merupakan parameter yang sangat tepat untuk mengidentifikasi suatu
senyawa. Beberapa senyawa dapat memiliki waktu retensi yang sama tetapi tidak ada
senyawa yang memiliki 2 waktu retensi yang berbeda. Oleh karena itu, waktu retensi
bersifat karakteristik dari pelarut, tetapi tidak khas. Pengaturan aliran yang baik
sangat penting dalam proses identifikasi dengan menggunakan kromatografi gas
(McNair, 2009).
Pengatur aliran pertama adalah regulator yang terhubung dengan tabung gas
pembawa untuk menurunkan tekanan dari 2500 psig menjadi 20-50 psig. Katup

7
pengaman dan penyaring pada inlet berfungsi untuk menangkal partikulat yang dapat
masuk ke dalam sistem. Diafragma berbahan stainless steel digunakan untuk
mencegah kebocoran dalam sistem (McNair, 2009).

2.2.3 Tempat injeksi (injection port)


Dalam kromatografi gas cuplikan harus dalam bentuk fase uap. Gas dan uap
dapat dimasukkan secara langsung. Tetapi kebanyakan senyawa organik berbentuk
cairan dan padatan. Hingga dengan demikian senyawa yang berbentuk cairan dan
padatan pertama-tama harus diuapkan. Ini membutuhkan pemanasan sebelum masuk
dalam kolom (McNair, 2009).
Tempat injeksi dari alat GLC/KGC selalu dipanaskan. Dalam kebanyakan
alat, suhu dari tempat injeksi dapat diatur. Aturan pertama untuk pengaturan suhu ini
adalah batiwa suhu tempat injeksi sekitar 50°C lebih tinggi dari titik didih campuran
dari cuplikan yang mempunyaititik didih yang paling tinggi. Bila kita tidak
mengetahui titik didih komponen dari cuplikan maka kita harus mencoba-coba.
Sebagai tindak lanjut suhu dari tempat injeksi dinaikkan. Jika puncak-puncak yang
diperoleh lebih baik, ini berarti bahwa suhu percobaan pertama terlalu rendah.
Namun demikian suhu tempat injeksi tidak boleh terlalu tinggi, sebab kemungkinan
akan terjadi perubahan karena panas atau penguraian dari senyawa yang akan
dianalisa. Cuplikan dimasukkan ke dalam kolom dengan cara menginjeksikan
melalui tempat injeksi. Hal ini dapat dilakukan dengan pertolongan jarum injeksi
yang sering disebut "a gas tight syringe" (McNair, 2009).
Lubang injeksi didesain untuk memasukkan sampel secara cepat dan efisien.
Desain yang populer terdiri atas saluran gelas yang kecil atau tabung logam yang
dilengkapi dengan septum karet pada satu ujung untuk mengakomodasi injeksi
dengan semprit (syringe). Karena helium (gas pembawa) mengalir melalui tabung,
sejumlah volume cairan yang diinjeksikan (biasanya antara 0,1-3,0 μL) akan segera
diuapkan untuk selanjutnya di bawa menuju kolom. Berbagai macam ukuran semprit
saat ini tersedia di pasaran sehingga injeksi dapat berlangsung secara mudah dan
akurat. Septum karet, setelah dilakukan pemasukan sampel secara berulang, dapat
diganti dengan mudah. Sistem pemasukan sampel (katup untuk mengambil sampel
gas) dan untuk sampel padat juga tersedia di pasaran (McNair, 2009).
Pada dasarnya, ada 4 jenis injector pada kromatografi gas, yaitu (McNair, 2009):

8
a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan
diuapkan dalam injector yang panas dan 100 % sampel masuk menuju kolom.
b. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan diuapkan
dalam injector yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan.
c. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua sampel
diuapkan dalam injector yang panas dan dibawa ke dalam kolom karena katup
pemecah ditutup
d. Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung semprit
dimasukkan langsung ke dalam kolom.
Teknik injeksi langsung ke dalam kolom digunakan untuk senyawa-senyawa
yang mudah menguap. Karena kalau penyuntikannya melalui lubang suntik secara
langsung dikhawatirkan akan terjadi peruraian senyawa tersebut karena suhu yang
tinggi atau pirolisis. Perlu diperhatikan bahwa kita tidak boleh menginjeksikan
cuplikan terlalu banyak, karena GC sangat sensitif. Biasanya jumlah cuplikan yang
diinjeksikan pada waktu kita mengadakan analisa 0,5 -50 ml untuk gas dan 0,2 - 20
ml untuk cairan seperti pada gambar di bawah (McNair, 2009).

Gambar 2. Bagian Injektor GC


2.2.4 Kolom
Kolom berfungsi tempat terjadinya proses pemisahan karena di dalamnya
terdapat fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada GC.
Kolom yang biasa digunakan sangat bermacam-macam dan bentuknya sangat
beragam. Panjang kolom yang digunakan mulai dari 1 m sampai dengan 30 m.
Diameter kolom biasanya antara 0,3 mm hingga 0,5 mm. Isi kolom berupa padatan

9
pendukung dari fase diam yang berfungsi untuk mengikat fase diam tersebut. Padatan
atau “diatomite” berupa tanah diatom yang telah dipanaskan atau dikeringkan
(Pamudji, 2013).
Persyaratan padatan pendukung yang baik:
a. Inert, tidak menyerap cuplikan
b. Kuat, stabil pada suhu tinggi
c. Memiliki luas permukaan yang besar : 1-20 m2/g
d. Permukaan yang teratur, ukuran yang sama, ukuran pori sekitar 10μ
Jika suatu cuplikan dianalisis dengan GC maka pemisahan terjadi pada
kolom. Kolom di dalam GC sering disebut dengan ”jantung GC”. Hal ini disebabkan
karena keberhasilan suatu analisis ditentukan oleh tepat dan tidaknya kolom yang
dipilih serta jenis cuplikan yang akan dianalisis (Pamudji, 2013). Menurut Gritter
(1991), ada 3 jenis kolom pada GC yaitu kolom kemas (packing column), kolom
kapiler (capillary column), dan kolom preparasi (preparative column). Perbandingan
kolom kemas dan kolom kapiler ditunjukkan oleh gambar berikut :

Gambar 3. Kolom Kromatografi Gas


Kolom kemas terbuat dari gelas atau logam yang tahan karat atau dari
tembaga dan aluminium. Panjang kolom jenis ini adalah 1–5 meter dengan diameter
dalam 1-4 mm. Kolom kapiler sangat banyak dipakai karena kolom kapiler
memberikanefisiensi yang tinggi (harga jumlah pelat teori yang sangat besar
> 300.000 pelat). Kolom preparatif digunakan untuk menyiapkan sampel yang murni
dari adanya senyawa tertentu dalam matriks yang kompleks. Fase diam yang dipakai
pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar, atau semi polar. Fase diam non
polar yang paling banyak digunakan adalah metil polisiloksan (HP-1; DB-1; SE-30;
CPSIL-5) dan fenil 5%-metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE-52; CPSIL-8). Fase
diam semi polar adalah seperti fenil 50%-metilpolisiloksan 50% (HP-17; DB-17;
CPSIL-19), sementara itu fase diam yang polar adalah seperti polietilen glikol

10
(HP-20M; DB-WAX; CP-WAX; Carbowax-20M) (Gritter, 1991).
Kolom GC terdiri dari 3 bagian yaitu wadah luar yang terbuat dari logam
(tembaga, baja tahan karat, nikel), gelas atau plastik mislanya teflon dan isi kolom
yang terdiri dari padatan pendukung dan fasa cairan (McNair, 2009).

a. Kolom isian   
Fasa stasioner dalam kromatografi gas cair (KGC) adalah cairan, tetapi cairan
itu tidak boleh dibiarkan bergerak – gerak di dalam tabung. Cairan tersebut harus
dimobilisasi, biasanya dalam bentuk satu lapisan tipis dengan luas permukaan besar.
Ini paling lazim dilakukan dengan mengimpregnasi suatu bahan padat dengan fasa
cair sebelum kolom diisi. Padatan tersebut harus bersifat inert secara kimiawi
terhadap zat – zat yang nantinya akan dikromatografikan, stabil pada temperatur
operasi, dan memilki luas permukaan yang besar persatuan berat. Penurunan tekanan
yang dibutuhkan untuk laju alir gas yamg diinginkan harus tidak boleh berlebihan.
Kekuatan mekanis lebih diinginkan agar partikel – partikelnya tidak pecah dan
mengubah distribusi ukuran partikel dengan penanganan. Kebanyakan padatan yang
digunakan sebagai penyangga pada KGC sangat berpori. Adsorben aktif seperti
karbon aktif dan silika gel adalah penyangga padat yang buruk. Bahkan jika dilapisi
dengan lapisan cairan tipis maka padatan ini akan menyerap komponen – komponen
sampel yang menyebabkan pengekoran (tailing). Bahan penyangga padat yang paling
umum adalah tanah diatom. Untuk dapat digunakan sebagai penyangga padatan
maka tanah diatom dijadikan seperti bata dan dipanaskan di dalam tanur kemudian
digerus halus sampai dan disaring dengan ukuran mesh tertentu (McNair, 2009).

b. Pemilihan fasa cair


        Fasa cair harus dipilih dengan mempertimbangkan masalah pemisahan tertentu.
Cairan tersebut harus memiliki tekanan uap yang sangat rendah pada temperatur
kolom; sebuah petunjuk praktis mengusulkan suatu titik didih sekurang – kurangnya
2000C di atas temperatur di mana cairan akan diberikan. Dua alasan penting untuk
menginginkan volatilitas yang rendah adalah pertama, hilangnya cairan akan
menghancurkan kolom itu, dan kedua, detektor akan memberi respon pada uap fasa
stasioner dengan hasil penyimpangan pada garis dasar perekam dan menurunkan
kepekaan terhadap komponen – komponen sampel yang dianalisis. Jelas, fasa cair

11
harus stabil secara termal pada temperatur kolom, dan kecuali dalam kasus – kasus
khusus, cairan itu tidak bereaksi secara kimia dengan komponen – komponen
sampel. Cairan tersebut harus memiliki daya pelarut yang cukup untuk sampel.
Mengingat aturan lama bahwa ”sejenis melarutkan sejenis” , bisa dinyatakan bahwa
secara umum seharusnya ada sedikit kesamaan kimiawi antara zat cair dan zat
terlarut yang dipisahkan (McNair, 2009).
Jumlah cairan yang diberikan pada penyangga padatan adalah penting. Jika
terlalu banyak cairan, zat terlarut akan menghabiskan terlalu banyak waktu berdifusi
ke fasa cair, dan efisiensi pemisahan menjadi berkurang. Terlalu sedikit cairan
menyebabkan zat terlarut berinteraksi dengan padatan itu sendiri., adsorpsi dapat
menyebabkan pengekoran dan tumpang tindihnya pita – pita elusi. Pemuatan cairan
berbeda – beda dengan sifat penyangga padatan, ukuran sampel yang diantisispasi
dan faktor – faktor lain, tetapi umumnya dalam rentang 2 atau 3 sampai sekitar 20%
berat cairan. Biasanya padatan diolah dengan suatu larutan dari cairan yang
diinginkan dalam suatu pelaut yang volatil, dimana pelarut dipindahkan dengan
pemanasan dan selanjutnya dibuang dengan gas pembawa (McNair, 2009).

Gambar 4. Kolom paking

2.2.5 Oven
Tekanan uap dan kelarutan substansi dalam substansi lain berubah oleh suhu.
Oleh karena itu, ketepatan pengendalian suhu kolom menjadi sangat penting sebab
pemisahan tergantung pada tekanan uap dan kelarutan. Pemilihan suhu isotermal
(konstan) dan suhu terprogram (suhu berubah secara kontinyu) dilakukan dengan
percobaan. Untuk pemisahan sederhana, mode isotermal sudah cukup baik. Hal ini
disebabkan perbedaan antara tekanan uap dan kelarutan dari campuran komponen
sudah cukup mempengaruhi pemisahan yang baik pada suhu yang dipilih. Namun,
untuk campuran yang lebih kompleks, pemisahan yang kompleks membutuhkan suhu
yang bervariasi (Widada, 2000).

12
2.2.6 Detektor
Detektor adalah komponen yang ditempatkan pada ujung kolom GC yang
menganalisis aliran gas yang keluar dan memberikan data kepada perekam data yang
menyajikan hasil kromatogram secara grafik. Detektor menunjukkan dan mengukur
jumlah komponen yang dipisahkan oleh gas pembawa. Alat ini akan mengubah analit
yang telah terpisahkan dan dibawa oleh gas pembawa menjadi sinyal listrik yang
proporsional. Oleh karena itu, alat ini tidak boleh memberikan respon terhadap gas
pembawa yang mengalir pada waktu yang bersamaan. Beberapa detektor yang dapat
digunakan antara lain: detektor hantar bahang (DHB), detektor ionisasi nyala (FID),
detektor tangkap ion, dan lain sebagainya (Adnan, 1997).

A. Macam-macam Detektor
1. Detektor Konduktifitas termal (Thermal Conductivity Detector)
Detektor ini paling banyak digunakan untuk analisis mikrogram. Detektor ini
menggunakan serabut logam yang dipanaskan untuk mendeteksi perubahan
konduktivitas termal dari aliran gas pembawa. Detektor ini peka terhadap hampir
semua komponen yang memiliki daya hantar panas.
2. Detektor Ionisasi Nyala (Foto Ionize Detektor)
Prinsip detektor ini adalah afluen yang keluar dari kolom dicampur dengan
hidrogen dan dibakar di udara dan menghasilkan radikal CH yang selanjutnya
menghasilkan ion CHO+ dalam nyala hidrogen udara. Detektor ini peka terhadap
senyawa yang mengandung hidrokarbon (organik).
3. Detektor Penangkapan Elektron (Electron Capture Detector)
Detektor ini peka terhadap senyawa yang mengandung halogen, karbonil
terkonjugasi, nitro, nitril dan organologam. Akan tetapi, detektor ini tidak peka
terhadap hidrokarbon, alkohol dan keton.
4. Detektor Fotometri Nyala (Flame Photometric Detector)
Detektor ini merupakan fotometer emisi optik yang berfungsi untuk
mendeteksi senyawa-senyawa yang mengandung fosfor atau belerang seperti
pestisida dalam polutan udara.
5. Detektor Termoionik Nyala (Flame Thermionic Detector)
Detektor termoionik nyala merupakan detektor khusus untuk mendeteksi
senyawaan nitrogen dan atau fosfor organik. Prinsipnya adalah pembakaran

13
senyawaan komponen kemudian direaksikan dengan garam Rubidium dan respon
listrik yang dihasilkan akan diperkuat dan dikonversi menjadi satuan tegangan.
Banyak digunakan untuk analisis senyawaan pestisida. Detektor ini sangat selektif
terhadap nitrogen dan fosfor karena adanya elemen aktif diatas aliran kapiler yang
terbakar oleh plasma (1600˚C).
6. Detektor Spektroskopi Massa
Detektor khusus yang dapat digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun
kuantitatif. Prinsip pengukurannya adalah komponen sampel dipecah menjadi bentuk
ion fragmennya (baik secara elektronik maupun kimiawi) lalu ion fragmen tersebut
dilewatkan ke Mass Analyzer untuk memisahkan ion berdasarkan perbedaan
massa/muatan dan selanjutnya diteruskan ke ion detector untuk mendeteksi jumlah
ion yang dihasilkan. Spektrum fragmen yang dihasilkan oleh masing-masing
komponen akan menunjukkan karakteristik yang khas, dan ini digunakan untuk
tujuan identifikasi kualitatif dengan membandingkan dengan database atau library
spektrum yang telah ada.
7. Detektor NPD (Nitrogen Phosphorus Detector)
NPD sering digunakan untuk mendeteksi pestisida, herbisida,
penyalahgunaan obat dan senyawa lainnya. Detektor ini peka terhadap senyawa
nitrogen organik dan fosfor organik.

Gambar 5. Gas pembawa dan detektor


2.2.7 Rekorder
Rekorder berfungsi sebagai pencetak hasil percobaan pada lembaran kertas
berupa kumpulan puncak, yang selanjutnya disebut sebagai kromatogram. Jumlah

14
puncak dalam kromatogram menyatakan jumlah komponen penyusun campuran.
Sedangkan luas puncak menyatakan kuantitas komponennya (Gritter, 1991).

2.3 Kelebihan Dan Kekurangan Kromatografi Gas


A. Kelebihan Kromatografi Gas
Adapun beberapa kelebihan kromatografi gas (Gritter, 1991):
1. Waktu analisis yang singkat dan ketajaman pemisahan yang tinggal.
2. Dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi
pemisahan yang tinggi.
3. Gas mempunyai vikositas yang rendah.
4. Kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat sehingga analisis
relatif cepat dan sensitifitasnya tinggi.
5. Pemakaian fase cair memungkinkan kita memilih dari sejumlah fase diam yang
sangat beragam yang akan memisahkan hampir segala macam campuran.

B. Kekurangan Kromatografi Gas


Adapun beberapa kekurangan kromatografi gas (Gritter, 1991):
1. Teknik Kromatografi gas terbatas untuk zat yang mudah menguap
2. Kromatografi gas tidak mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam
jumlah besar. Pemisahan pada tingkat mg mudah dilakukan, pemisahan pada
tingkat gram mungkin dilakukan, tetapi pemisahan dalam tingkat pon atau ton
sukar dilakukan kecuali jika ada metode lain.
3. Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase
diam dan zat terlarut.

2.4 Contoh Aplikasi Penggunaan Kromatografi Gas


Isolasi dan Uji Antibakteri Senyawa Terpenoid Ekstrak N-Heksana Rimpang
Lengkuas Merah (Alpinia purpurata)
Tanaman lengkuas merah (Alpinia purpurata) merupakan tanaman obat yang
termasuk dalam famili Zingiberacea dan banyak digunakan sebagai tanaman obat
untuk penyakit tenggorokan, rematik, dan sakit kepala. Penelitian ini bertujuan untuk
mengisolasi terpenoid dari rimpang lengkuas merah dan menganalisis hasil
isolasinya menggunakan spektrofotometer FTIR dan GC-MS serta menguji aktivitas
antibakteri senyawa terpenoid dengan menentukan konsentrasi hambat minimum

15
dengan metode difusi cakram. Dari hasil analisis FTIR dan GC-MS dari isolat
terpenoid, disimpulkan bahwa senyawa terpenoid yang diperoleh dari proses isolasi
rimpang lengkuas merah adalah senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol atau
nerolidol. Isolat terpenoid kemudian diuji aktivitas antibakteri pada konsentrasi 5%,
1%, dan 0,5% dan tidak memberikan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschericia
coli dan Salmonella typhi (Laksono dkk., 2014).

2.4.1 Metode Penelitian


Pada penelitian ini alat gelas standar penelitian, corong pemisah, botol vial,
pipet mikro, satu set Kromatografi Lapis Tipis (KLT), satu set kromatografi kolom,
plat kromatografi preparatif, alat pembuat kromatografi preparatif, seperangkat rotary
evaporator, neraca analitis, seperangkat spektrofotometer Fourier Transform
Inframerah, seperangkat alat GC-MS, inkubator, cawan petri, jarum ose, autoklaf,
sentrifuge, shaker. Sampel lengkuas merah, etanol (teknis), n-heksana (pa), n-
heksana (teknis), etil asetat (pa), kloroform (pa), kloroform (teknis), aquades, Nutrien
Agar (NA), pepton, bakteri Eschercia coli, Salmonella typhi, pereaksi Liberman-
Burchard (anhidrida asam asetat dan asam sulfat pekat 3:1), DMSO, serbuk silika gel
GF254, Silika gel 60 G, plat KLT silikia gel GF 254. Semua reagen pro analys
menggunakan reagen dari merck. Sebanyak 5 kg rimpang lengkuas merah
dibersihkan kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Sampel yang telah
kering selanjutnya dihaluskan dengan menggunakann penggiling.
Serbuk rimpang lengkuas merah sebanyak 0,6 kg dimaserasi dengan etanol.
Pelarut diganti setiap 24 jam sekali selama 1 minggu. Selanjutnya ekstrak tersebut
dipekatkan dengan menggunakan rotary eveporator. Setelah didapatkan ekstrak
pekat etanol, dilakukan partisi dengan cara menambahkan n-heksana dengan
perbandingan 1 : 1. Partisi dilakukan sampai warna fraksi n-heksana tetap.
Selanjutnya fraksi n heksana dilakukan pemekatan menggunakan rotary evaporator
sehingga didapatkan ekstrak kental n-heksana. Dilakukan beberapa pemisahan yaitu
dengan kromatografi kolom dan kromatografi preparatif.
Sebelum dilakukan kromatografi kolom terlebih dahulu dilakukan penentuan
eluen terbaik menggunakan KLT dengan fasa diam Silika gel 60 GF254 dan fasa gerak
campuran eluen dengan perbandingan tertentu. Silika gel 60 GF 254 sebanyak 120
gram dibuburkan dengan campuran eluen kemudian dimasukkan ke dalam kolom dan

16
didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya sebanyak 3 gram fraksi n-heksana rimpang
lengkuas merah dimasukkan ke dalam kolom. Pemisahan dengan kromatografi
kolom dilakukan dengan cara mengatur aliran eluen yang ditampung dalam setiap
botol vial, aliran eluen dibuat 8 menit / 15 mL setiap vialnya. Selanjutnya vial hasil
kolom dilakukan KLT untuk pengelompokan fraksi berdasarkan pola noda yang
sama kemudian disatukan menjadi fraksi besar. Fraksi-fraksi besar yang didapat
kemudian dilakukan KLT dan disemprot menggunakan pereaksi Libermann-
Burchard. Selanjutnya KLT tersebut dimasukkan kedalam oven dengan suhu 110 ⁰C
selama 5 menit. Noda dari KLT tersebut selanjutnya dilihat pada lampu UV 365 nm.
Kromatografi preparatif dilakukan terhadap fraksi yang positif terpenoid
untuk mendapatkan isolat terpenoid murni. Sebelumnya dilakukan KLT untuk
menentukan eluen terbaik. Kromatografi preparatif dilakukan dengan plat silika gel
GF254 ukuran 20 cm x 5 cm dengan ketebalan 0,2 cm. Setelah fraksi positif terpenoid
dielusi, dilakukan pengerokan pita-pita dan selanjutnya direndam menggunakan
n-heksana pro analis yang melarutkan isolat terpenoid. Uji kemurnian dilakukan
menggunakan KLT dengan fase gerak berbagai campuran eluen yaitu
kloroform : n-heksana (7 : 3), etil asetat : n-heksana (5 : 3), dan kloroform : n-
heksana (1 : 1). Jika hasil KLT menunjukkan 1 noda maka isolat terpenoid tersebut
dianggap murni.
Analisis FTIR digunakan untuk menentukan gugus fungsi dan Kromatografi
Gas untuk mengetahui tingkat kemurnian serta menggunakan Spektroskopi Massa
untuk mengetahui berat molekul dan pola fragmentasi dari senyawa tersebut. Uji
aktivitas antibakteri terhadap isolat terpenoid menggunakan metode difusi cakram
dengan konsentrasi 5%, 1%, dan 0,5%. Nutrien agar yang telah dibuat kemudian
disterilisasi dalam autoklaf. Nutrien agar yang telah steril diberi supensi bakteri dan
diratakan dengan menggunakan jarum ose. Cakram kertas dicelupkan ke dalam isolat
terpenoid rimpang lengkuas merah diletakan pada permukaan media nutrien agar
yang telah diinokulasikan bakteri dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ⁰C [7].

2.4.2 Hasil Dan Pembahasan


Terpenoid merupakan senyawa non polar sehingga dapat larut dalam n-
heksana dan senyawa lain yang bersifat lebih polar akan tetap di dalam ekstrak
etanol. Cairan yang didapat dari hasil partisi menggunakan n-heksana berwarna

17
kuning terang. Setelah fraksi tersebut dipekatkan diperoleh sebanyak 4 gram fraksi
n-heksana berwarna coklat kemerahan.
Dari hasil KLT didapatkan bahwa eluen terbaik untuk pemisahan terpenoid
adalah kloroform : n-heksana (10 : 9). Perbandingan eluen tersebut menghasilkan
pemisahan noda yang paling maksimal yaitu didapatkan 7 noda dengan Rf masing-
masing noda antara 0,2 - 0,8. Eluen tersebut digunakan untuk kromatografi kolom
gravitasi. Dari hasil kromatografi kolom diperoleh 220 vial masing-masing vial
dilakukan KLT untuk pengelompokan fraksi besar.
Tabel 1. Hasil pengelompokkan fraksi vial-vial hasil kromatografi kolom
Fraksi Vial Warna
A 5 – 19 Jernih
B 20 – 55 Jernih
C 56 – 98 Jernih
D 99 – 143 Jernih
E 144– 220 Kekuningan

Identifikasi terpenoid dilakukan dengan uji Liberrman Burchard terhadap


5 fraksi (A, B, C, D, E) untuk mengetahui adanya terpenoid. Senyawa terpenoid
apabila disemprot dengan reagen Liberrman Burchard akan tampak noda berwarna
ungu apabila dilihat di bawah UV 365 nm.

Gambar 1. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Fraksi A - E dengan eluen Kloroform:


n-hexane 10:9
Pada uji terpenoid dari fraksi E dengan KLT menggunakan eluen kloroform :
n-heksana (10 : 9) didapatkan noda terpenoid berwarna ungu berdekatan dengan
noda lain sehingga apabila tidak dipisahkan, maka noda selain senyawa target yang
akan diambil akan terbawa dan tidak dihasilkan isolat murni. Setelah dilakukan KLT
kembali dengan eluen kloroform : n-heksana (7 : 3) diperoleh hasil pemisahan yang

18
baik antara target terpenoid dengan senyawa lain. Setelah mendapatkan eluen terbaik
dilakukan isolasi terpenoid dengan mengerok silika gel pada daerah pita yang positif
terpenoid.

Gambar 2. Kromatografi Preparatif Fraksi E dengan eluen kloroform : n-heksana


7 : 3 di bawah lampu UV 365 nm
Silika hasil pengerokan kromatografi preparatif selanjutnya dilakukan
perendaman menggunakan n-heksana sehingga didapatkan cairan berwana
kekuningan. Setelah didapat isolat terpenoid selanjutnya dilakukan penentuan tingkat
kemurnian isolat terpenoid melalui uji kemurnian. Uji kemurnian isolat terpenoid
dilakukan dengan menggunakan metode KLT dengan berbagai eluen. Eluen yang
dipakai adalah kloroform : n-heksana (7 : 3), etil asetat : n-heksana (5 : 3), dan
kloroform : n-heksana (1 : 1). Hasil KLT pada uji kemurnian isolat terpenoid dengan
berbagai eluen, setelah disemprot dengan pereaksi Libermann-Burchard didapatkan
satu noda berwarna ungu yang membuktikan bahwa isolat yang diperoleh merupakan
isolat murni.

Gambar 3. KLT isolat terpenoid (a) Eluen kloroform : n-heksana (7 : 3); (b) Etil
asetat : n-heksana (5 : 3); (c) Kloroform : n-heksana (1 : 1)

19
Hasil kromatogram GC isolat terpenoid rimpang lengkuas merah ditunjukkan
seperti gambar 4

Gambar 4. Kromatogram GC Isolat Terpenoid Lengkuas Merah


Dari gambar kromatogram GC tersebut dapat diidentifikasi bahwa isolat
terpenoid dari lengkuas merah memiliki kemurnian tinggi. Hal tersebut dibuktikan
dengan hanya adanya 1 puncak dominan yang memiliki intensitas yang tinggi.
Sehingga dengan kemurnian tinggi tersebut proses isolasi dari terpenoid yang
dilakukan terhadap lengkuas merah (Alpinia purpurata) bisa dinyatakan berhasil.
Senyawa tersebut memiliki waktu retensi 23,367 menit.
Dari hasil analisis menggunakan MS akan diketahui berat molekul yang
dipunyai isolat terpenoid lengkuas merah. Berat molekul dan pola fragmentasi dari
analisis MS dapat mengidentifikasi jenis senyawa dari isolat terpenoid tersebut.
Analisis MS yang dihasilkan spektrogram seperti ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. (a) Spektra MS Senyawa Isolat Terpenoid Rimpang Lengkuas Merah


dan (b) Spektra MS Refferensi Senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol

20
Berat molekul yang dihasilkan dari analisis MS adalah 222 gram/mol,
diprediksikan senyawa isolat terpenoid berdasarkan spektra referensi MS adalah
3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol dengan tingkat kemiripan 96%.
Dari penelitian yang dilakukan Parwata dan Dewi [10] didapatkan senyawa
terpenoid yang ada pada komponen minyak atsiri pada rimpang lengkuas merah
antaralain senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3ol. Sehingga dari kedua
penelitian tersebut memperkuat dugaan bahwa terpenoid yang didapatkan dari
rimpang lengkuas merah adalah 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol.

Gambar 6. Pola Fragmentasi Isolat Terpenoid


Kedua spektra tersebut mempunyai base puncak yang sama yaitu 69. Selain
itu pola fragmentasi dari isolat terpenoid sesuai dengan senyawa 3,7,11-trimetil-

21
1,6,10-dodekatrien-3-ol yang keluar pada (m/z) : 222, 204, 189, 169, 107, 93, 81, 55,
41, dan 29. Pada spektra m/z 204 menunjukkan lepasnya senyawa H2O dari senyawa
awal. Selanjutnya muncul m/z 189 yang menunjukkan lepasnya CH3. Senyawa
dengan m/z 69 yang merupakan base puncak dari spektra MS dihasilkan dari
pembentukan senyawa (C5H9)+. Selain itu pada pola fragmentasi isolat terpenoid
muncul m/z 169 akibat lepasnya senyawa C 2H4 dari m/z 189. Dari m/z 169
menghasilkan senyawa m/z 93 akibat lepasnya C5H8 dan m/z 107 dari lepasnya C4H6.
Dari m/z 107 menghasilkan fragmen dengan m/z 81 dan m/z 55 dengan lepasnya
C2H2 dan C2H2 berturut-turut. Sedangkan m/z 41 didapat dari lepasnya senyawa C 4H4
dari m/z 93. Pola fragmentasi dari senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol
ditunjukkan seperti pada gambar 3. Senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol
merupakan terpenoid jenis alkohol dengan rumus molekul C15H26O.
Uji antibakteri isolat terpenoid dilakukan terhadap bakteri Eschercia coli dan
Salmonella typhy. Isolat terpenoid yang didapatkan sebanyak 0,04 gram kemudian
dilarutkan ke dalam 4 mL aquades dengan ditambahkan 2 tetes DMSO. Penambahan
DMSO berfungsi agar isolat terpenoid dapat larut sempurna dengan aquades
selanjutnya diuji antibakteri menggunakan metode diffusi cakram terhadap bakteri
Eschercia coli dan Salmonella typhy. Dari hasil pengujian menggunakan metode
diffusi cakram, bahwa tidak ada aktivitas antibakteri dari isolat terpenoid pada
konsentrasi 5%, 1% dan 0,5%. Hal ini ditandai dengan tidak adanya zona bening di
sekeliling cakram atau zona hambatnya 0 mm. Hal ini menunjukkan bahwa isolat
terpenoid tersebut yaitu senyawa 3,7,11-trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol pada
konsentrasi 0,5%, 1%, dan 5% tidak memiliki aktivitas antibakteri.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Prinsip utama pemisahan dalam kromatografi gas adalah berdasarkan
perbedaan laju migrasi masing-masing komponen dalam melalui kolom.
Komponen-komponen yang terelusi dikenali (analisa kualitatif) dari nilai
waktu retensinya (tR).
2. Komponen-komponen instrumen kromatografi gas terdiri atas gas pembawa,
pengatur aliran, tempat injeksi, kolom, oven, detektor dan rekorder.
3. Kelebihan utama kromatografi gas adalah waktu analisis yang singkat dan
ketajaman pemisahan yang tinggal, sedangkan kekurangan kromatografi gas
adalah teknik kromatografi gas terbatas untuk zat yang mudah menguap.
4. Dari hasil proses isolasi senyawa terpenoid pada rimpang lengkuas merah
digunakan jenis kromatografi gas-spektroskopi massa (GC-MS), diperoleh
isolat terpenoid dengan kemurnian yang tinggi. Senyawa tersebut memiliki
waktu retensi 23,367 menit dengan berat molekul 222 g/mol. Diprediksi
senyawa isolat terpenoid berdasarkan spektra referensi MS adalah 3,7,11-
trimetil-1,6,10-dodekatrien-3-ol dengan tingkat kemiripan 96%.

3.2 Saran
Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami meminta saran maupun kritikan yang
membangun, agar kedepannya penulis bisa lebih baik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adamovics, J.A,. 1997, Chromatographic Analysis of Pharmaceuticals 2nd Edition,


Marcel Dekker, New York.

Adnan, M., 1997, Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan, Andi Offset,
Yogyakarta.

Gritter, R.J., 1991, Pengantar Kromatografi edisi 2, Penerbit ITB, Bandung.

Laksono, F.B., Fachriyah, E., dan Kusrini, D., 2014, Isolasi dan Uji Antibakteri
senyawa Terpenoid Ekstrak N-Heksana Rimpang Lengkuas Merah (Alpinia
purpurata), Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi, 17(2): 37-42.
McNair, H.M., dan Miller, J.M., 2009, Basic Gas Chromatography, John Wiley and
Sons, Inc., New Jersey.
Pamudji, F.D., 2013, Identifikasi Benzo (a) Pyrene, Public ITS, Surabaya.

Widada, B., 2000, Pengenalan Alat Kromatografi Gas, Urania, 7(23): 3-6.

24

Anda mungkin juga menyukai