Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH FITOKIMIA

KROMATOGRAFI GAS

Disusun oleh

Khofifah Wulandari 18330088


Roro Yuniar Zubaidah 18330091
Riska Anggriani 18330092
Safira Nur Ardiani 18330094
Muhammad Furqan 18330097
Esa Yuni Milenia 18330098

Dosen
Dr. Tiah Rachmatiah, M.Si., Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Makalah Fitokimia dengan
topik “KROMATOGRAFI GAS” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun
guna memenuhi mata kuliah Fitokimia di Institut Sains dan Teknologi Nasional
Jakarta. Penulis berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca, khusunya mahasiswa farmasi mengenai bagaimana proses
kromatografi gas
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tiah Rachmatiah, M.Si.,
Apt, selaku dosen mata kuliah Fitokimia. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah
ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, Oktober 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................
DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................
1.3. Tujuan.....................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................
2.1 Pengertian Kromatografi Gas..................................................................................
2.1.1 Prinsip Kromatografi Gas............................................................................
2.1.2 Sistem Peralatan Kromatografi Gas (skema alat)........................................
2.1.3 Fase Gerak pada Kromatigrafi Gas .............................................................
2.1.4 Ruang suntik sampel pada Kromatografi Gas.............................................
2.1.5 Kolom pada Kromatografi Gas....................................................................
2.1.6 Detektor pada Kromatografi Gas.................................................................
2.1.7 Komputer ....................................................................................................
2.1.8 Derivatisasi pada Kromatografi Gas ...........................................................
2.1.9 Penerapan Kromatografi Gas Dalam Bidang Farmasi.................................
2.1.10 Fungsi Kromatografi Gas............................................................................
2.2 Cara kerja Kromatografi Gas...................................................................................
2.3 Kelebihan dan kekurangan Kromatografi Gas........................................................
2.4 Sample yang dapat dianalisis oleh kromatografi gas...............................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................
4.1 Kesimpulan ..............................................................................................................
4.2 Saran.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penemu Kromatografi adalah Tswett yang pada tahun 1903, mencoba
memisahkan pigmen-pigmen dari daun dengan menggunakan suatu kolom yang
berisi kapur (CaSO4). Istilah kromatografi diciptakan oleh Tswett untuk melukiskan
daerah-daerah yang berwarna yang bergerak ke bawah kolom.
Dasar pemisahan secara kromatografi gas ialah penyebaran cuplikan di antara
dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Kromatografi gas merupakan salah satu
cara untuk memisahkan senyawa-senyawa organik. Bila fase diam berupa zat padat,
kita sebut sebagai kromtografi zat padat (KGP). Ini didasarkan pada sifat penyerapan
kemasan kolom untuk memisahkan cuplikan yang dianalisis. Bila fase diam berupa
zat cair, maka disebut kromatografi cair (KGC). Fase cair berupa lapisan tipis pada
zat padat pendukung dan pemisahan didasarkan pada partisi cuplikan yang masuk
kemudian ke luar dari lapisan tipis zat cair
Pada kromatografi gas, fase geraknya berupa gas yang dialirkan ke dalam
kolom dengan tekanan aliran yang sedemikian rupa teratur melewati sistem injektor.
Beberapa mikroliter cuplikan dapat disuntikkan dengan menggunakan jarum suntik
ke injektor. Di dalam injektor cuplikan akan menjadi fase gas dan bersama-sama gas
pembawa masuk ke dalam kolom.
Di dalam kolom senyawa-senyawa cuplikan terpisah satu terhadap yang lain
karena adanya interaksi antara senyawa dan fase diam. Suhu kolom harus dijaga
agar cuplikan tetap berupa gas. Senyawa-senyawa yang mempunyai afinitas rendah
terhadap fase diam akan keluar terlebih dahulu dari kolom dan senyawa yang
mempunyai afinitas yang tinggi akan ke luar.
Analisis minyak tumbuhan dapat dilakukan dengan cara kromatografi. Dua
cara kromatografi utama yang digunakan ialah KLT untuk uji pemurnian minyak
dan kromatografi gas untuk identifikasi asam lemak yang terkandung dalam minyak.
Dengan menggunakan kromatografi gas komponen-komponen dalam minyak dapat
dipisahkan satu sama lain (Harborne, 1987).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan analisis minyak mentah dan minyak
atsiri dalam buah memberikan hasil terbaik menggunakan kromatografi gas baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya
adalah gas dan zat terlarut terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi
sempel antara fase gas bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih
tinggi (tidak mudah menguap) yang terikat pada zat padat penentu zat padat
penyerap. Ide untuk menfraksionasikan gas-gas dengan menginteraksikan terhadap
suatu zat padat atau cairan tidak bergerak melalui suatu aksi selektif terhadap suatu
komponen tertentu, pertama kali disarankan pada tahun 1941. Metode ini menjadi
popular setelah tahun 1955. Pemakaian zat cair sebagai fase diam ternyata lebih
meluas dibandingkan zat padat, sehingga teknik ini kadang kala dikenal sebagai
kromatografi gas-cair.
1.2. Rumusan masalah
1) Apa yang dimaksud dengan kromatografi gas?
2) Apa prinsip dari kromatografi gas ?
3) Bagaimana cara kerja kromatografi gas ?
4) Apa kelebihan dan kelemahan kromatografi gas ?
1.3. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah kromatografi gas yaitu untuk mengetahui cara
memisahkan dan menentukan suatu campuran komponen yang baik secara kualitatif
maupun kuantitatif
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kromatografi Gas


Kromatografi gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan
dan deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatau campuran.
Kromatografi Gas merupakan teknik instrumental yang dikenalkan pertama kali
pada tahun 1950-an, dan saaat ini merupakan alat utama yang digunakan oleh
laboratorium untuk melakukan analisis. Perkembangan teknologi yang signifikan
dalam bidang elektronik, computer, dan kolom telah menghasilkan batas deteksi
yang lebih rendah serta identifikasi senyawa menjadi lebih akurat melalui teknik
analisis dengan resulosi yang meningkat.
2.1.1. Prinsip Kromatografi Gas
Kromatografi Gas merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang
mudah menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang
mengandung fase diam dengan suatu kecepatan yang tergantung pada rasio
distribusinya. Pada umumnya solute akan terelusi berdasarkan pada peningkatan
titik didihnya, kecuali jika ada interaksi khusus antara solute dengan fase diam.
Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa
dikurangi dengan semua interaksi yanag mungkin terjadi antara solut dengan fase
diam. Fase gerak yang berupa gas akan mengelusi solute dari ujung kolom lalu
mengantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada
kisaran50-3500C) bertujuan untuk menjamin bahwa solute akan menguap dank
arenanya akan cepat terelusi.
proses pemisahan campuran menjadi komponen-komponennya dengan
menggunakan gas sebagai fase bergerak yang melewati suatu lapisan serapan
(sorben) yang diam.
jenis kromatografi gas :
A. Kromatografi gas-cair (KGC)
Pada KGC ini, fase diam yang digunakan adalah cairan yang diikat pada
suatu pendukung sehingga solute akan terlarut dalam fase diam. Mekanisme
sorpsi-nya adalah partisi.
B. Kromatografi gas padat (KGP)
Pada KGP ini, digunakan fase diam padatan (kadang-kadang polimerik).
Mekanisme sorpsi-nya adalah adsorpsi
2.1.2 Sistem Peralatan Kromatografi Gas (skema alat)

Gambar 16.1
Diagram skematik peralatan KG
(Sumber : Kealey and Haines, 2002)

Dengan komponen utama adalah: control dan penyediaan gas pembawa; ruang
suntik sampel; kolom yang diletakkan dalam oven yang terkontrol secara
termostatik; sistem deteksi dan pencatat (detector dan recorder); serta computer yang
dilengkapi dengan perangkat pengolah data.

2.1.3 Fase Gerak pada Kromatigrafi Gas


Fase gerak pada KG juga disebut dengan gas pembawa karena tujuan awalnya
adalah untuk membawa solute kekolom, karenanya gas pembawa tidak berpengaruh
pada selektifitas. Syarat gas pembawa adalah: tidak reaktif; murni/ kering karena
kalau tidak murni akan berpengaruh pada detector; dan dapat idimpan dalam tangki
tekanan tinggi (biasamerah untuk hydrogen, dan abu-abu untuk nitrogen).
Gas pembawa biasanya mengandung gas helium, nitrogen, hydrogen, atau
campuran argon dan metana. Pemilihan gas pembawa tergantung pada penggunaan
spesifik danjenis detector yang digunakan. Helium merupakan tipe gas embawa
yang sering digunakan karena memmberikan efesiensi kromatografi yang lebih baik
(mengurangi pelebaran pita). Penggunaan gas dengan berbagai jenis detector
diringkas dalam table 16.1
Table 16.1
Gas pembawa dan pemakaian detector
(sumber : Gritter et al, 1991)

Gas pembawa Detektor


Hydrogen Hantar panas

Helium Hantar panas

Ionisasi nyala

Fotometri nyala

Termoionik

Nitrogen Ionisasi nyala

Tangkap electron

Fotometri nyala

Termionik

Argon Ionisasi nyala

Argon + metana 5% Tangkap electron

Karbon dioksida Hantar panas

Untuk setiap pemisahan dengan KG terdapat kecepatan optimum gas


pembawa yang utamanya tergantung pada diameter kolom. Kecepatan alir gas kira-
kira 50-70 ml/ menit untuk kolom dengan diameter dalam 6 mm, 25-30 ml/ menit
untuk kolom dengan diameter dalam 3 mm, dan 0,2-2 ml/ menit untuk kolom
kapiler. Pada dasarnya, kecepatan alir gas pembawa berbanding lurus dengan
penampang kolom, dan penampang kolom tergantung pada jari-jari pangkat dua
(luas lingkaran ¿ π r 2). Oleh karena itu, jika diameter kolom menjadi 2 kali lebih
besar, maka kecepatan alir gas pembawa pada kolom yang lebih kecil. Sebagai
contoh, jika diperoleh hasil pemisahan yang baik dengan kolom 2 mm pada
kecepatan aliran gas pembawa 20 ml/ menit, maka untuk memperoleh hasil yang
sama dengan kolom 4 mm diperlukan kecepatan alir gas pembawa 80 ml/ menit.
Dengan demikian penggunaan kolom dengan diameter yang kecil akan menghemat
gas pembawa secara signifikan.
Kolom kapiler memakai kecepatan alir gas yang rendah yakni antara 0,2-2
ml/ menit. Pada tekanan tetap, kecepatan alir gas meningkat dengan meningkatnya
suhu (sebagaimana dalam suhu terprogram. Sistem yang baru dan terkendali dengan
mikroprosesor dapat mengoreksi perubahan kecepatan alir gas pembawa yang
disebabkan oleh suhu. Karena kecepatan alir gas pembawa pada kolom kapiler
sangat rendah, maka pada kebanyakan detector ditambah gas tambahan yang
ditambahkan ke dalam efluen setelah keluar dari kolom tetapi belum mencapai
detector. Gas tambahan biasanya sama dengan gas pembawa, meskipun kadangkala
digunakan helium.
Gas pembawa bekerja paling efisien pada kecepatan alir tertentu. Gas
nitrogen akan efisien jika digunakan dengan kecepatan alir ±10 ml/ menit, sementara
helium akan efisien pada kecepatan alir ±40 ml/ menit.
2.1.4 Ruang suntik sampel pada Kromatografi Gas

Komponen KG yang utama selanjutnya adalah ruang suntik atau inlet. Fungsi
dari ruang suntik ini adalah untuk mengantarkan sampel ke dalam aliran gas
pembawa. Berbagai macam jenis inlet dan teknik pengantar sampel telah tersedia.
Penyuntikan sampel dapat dilakukan secara manual atau secara otomatis (yang dapat
menyesuaikan jumlah sampel).
Sampel yang akan di kromatografi dimasukkan ke dalam ruang suntik melalui
gerbang suntik yang biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau
pemisah karet. Ruang suntik harus dipanaskan tersendiri (terpisah dari kolom) dan
biasanya 10-15ºC lebih tinggi daripada suhu kolom maksimum. Jadi seluruh sampel
akan menguap segera setelah sampel disuntikan.
Pada kolom kapiler, sampel yang diperlukan sangat sedikit bahkan sampai
0,01 µl, karenanya berbeda dengan kolom kemas yang memerlukan 1-100 µl
sampel. Karena pengukuran secara akurat sulit dilakukan jika sampel yang
disuntukan terlalu kecil (pada kolom kapiler), maka ditempuh suatu cara untuk
mengecilkan ukuran sampel setelah penyuntikan. Salah satu cara yang dilakukan
adalah dengan menggunakan teknik pemecah suntikan ( split injection) (gambar
16.2). dengan menggunakan pemecah suntikan ini, sampel yang banyaknya
diketahui, seperti basanya, disuntikan kedalam aliran gas pembawa dan sebelum
masuk ke kolom, gas pembawa ini dibagi menjadi 2 aliran. Satu aliran akan masuk
kekolom dan satunya lagi akan dibuang. Aliran relative dalam kedua aliran ini
dikendalikan dengan sejenis penghambat seperti katup jarum pada aliran yang
dibuang. Laju alir di dalam kedua aliran diukur dan ditentukan nisbah (rasio)
pemecahannya. Jika 1 µl sampel dimasukkan ke dalam pemecah aliran yang
mempunyai nisbah pemecah 1:100, maka sebanyak 0,01 µl sampel masuk ke kolom
sedangkan sisanya akan dibuang.
Gambar 16.2.
Diagram skematik lubang injeksi yang dipecah (split injection)
(sumber: Kealey and Haines, 2002)

 Penyiapan sampel dan penyuntikan


Sampel yang ideal dalam kromatografi gas adalah sampel yang hanya
mengandung senyawa yang akan dipisahkan dalam kolom dan dalam banyak hal
juga pelarut yang mudah menguap yang melarutkan sampel tersebut. Walaupun
cairan yang mudah menguap (tidak dalam larutan) serta zat padat yang mudah
menguap dapat langsung disuntikkan, tetapi kebanyakan dilarutkan dulu dalam
pelarut organik baru kemudian disuntikkan. Konsentrasi sampel biasanya berkisar
antara 1-10%. Komponen yang tidak mudah menguap atau tingkat menguapnya
rendah tidak boleh ada dalam sampel, karena komponen ini akan tertinggal di ruang
suntik yang pada akhirnya akan mengurangi kinerja kolom.
Pelarut sampel yang paling umum digunakan adalah hidrokarbon bertitik didih
rendah, etil eter, alkohol, dan keton. Pelarut yang dipilih harus mempunyai sifat
yang berbeda secara nyata dengan sampel yang dianalisis.
Penyuntikan dalam KG dapat dilakukan dengan memakai alat suntik kedap
gas atau sistem penyuntikan yang telah dirancang secara khusus. Kebanyakan
penyuntikan dilakukan dengan menggunakan alat penyuntik mikro.
Dalam kasus tertentu dapat dilakukan penyuntikan langsung le dalam kolom
(on column injection) tanpa melalui lubang penyuntikan. Teknik ini digunakan
untuk senyawa-senyawa yang mudah menguap sehingga kalau penyuntikannya
melalui lubang suntik secara langsung dikhawatirkan akan terjadi peruraian senyawa
mebut karena suhu yang tinggi (pirolisis).
2.1.5 Kolom pada Kromatografi Gas
Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena dalamnya terdapat
fase diam. Oleh karena itu, kolom merupakan komponen sentral pada KG. Ada 2 jenis
kolom pada KG yaitu kolom (packing column) dan kolom kapiler (capillary column).
Gambar penampang kolom kemas dan kolom kapiler dapat dilihat Pada gambar 16.3.
Kolom kemas terdiri atas fase cair (sekurang-kurangnya pada hu kromatografi) yang
tersebar pada permukaan penyangga Tang lembam (inert) yang terdapat dalam tabung yang
relatif besar diameter dalam 1-3 mm). Fase diam hanya dapat dilapiskan saja atau terikat
secara kovalen pada penyangga atau terikat secara kovalen pada penyangga yang
menghasilkan fase terikat. Kolom kapiler jauh lebih kecil (0,02-0,2 mm) dan dinding kapiler
bertindak sebagai penyangga lembam untuk fase diam cair. Fase diam ini dilapiskan pada
dinding kolom atau bahkan dapat bercampur dengan sedikit penyangga lenbam yang sangat
halus untuk memperbesar luas permukaan efektif. Perbedaan kedua kolom ini (kolom kemas
dan kolom kapiler diringkas dalam tabel 16.2.

Tabel 16.2.
Perbandingan kolom kemas dan kolom kapiler
Parameter Kolom kemas Kolom kapiler
Tabung Baja tahan karat Silika (SiO) dengan kemurnian
(stainless steel) yang sangat tinggi (kandungan
logam <1 ppm)
Panjang 1-5 m 5-60 m
diameter dalam 2-4 mm 0,10-0,53 mm
Jumlah lempeng/meter 1000 5000
Total lempeng 5000 300.000
Tebal lapisan film 10 mikron 0,05-1 mikron
Resolusi Rendah Tinggi
Kec. Alir (mL/menit) 10-60 0,5-1,5
Kapasitas 10 µg/puncak <100 µg/puncak
Ketika menggambarkan suatu kolom, seseorang 2 menyatakan panjang kolom (dalam
meter), diameter kolom (dalam milimeter), ketebalan lapisan lapisan diam (dalam
mikrometer), dan jenis diameter fasa, misalkan suatu kolom dapat dinyatakan sebagai
berikut :

Semakin sempit kolom, maka kolom pemisahan semakin besar atau puncak
kromatogram yang dihasilkan semakin tajam. Pada umumnya, seorang analis akan memilih
kolom dengan diameter 0,2 atau yang lebih kecil ketika menganalisis ampel dengan
konsentrasi sekelumit atau ketika seorang analis akan menggunakan komponen yang sangat
kompleks.
A. Kolom kemas
Jenis kolom ini terbuat dari gelas atau logam yang tahan karat atau dari
tembaga dan aluminium. Jenis kolom panjang ini adalah 1-5 meter dengan
diameter dalam 1-4 mm.
Efisiensi Kolom akan meningkat dengan bertambahnya partikel halusnya
fase diam ini. Semakin kecil partikel diameter fase diam, maka efisiensinya
akan meningkat. Ukuran partikel fase diam biasanya berkisar antara 60-80
mesh (250-170 um). Untuk Kromatografi Gas Cair dipakai lapisan tipis pada
padatan pendukung dengan ketebalan 1-10 um, dan fase maksimum diam cair
yang terdapat pada padatan pendukung adalah 10%.
B. Kolom kapiler
Jenis kolom berbeda dengan kolom kemas, dalam hal adanya Tongga pada
bagian dalam kolom yang dalam pipa (tube). Oleh karena itu kolom kapiler
juga disebut "Kolom tubular terbuka". macam jenis lapisan pada kolom kapiler
ini, yaitu: WCOT (Walll rous Layer Open Tube); dan FSOT (Fused Silica Open
Tube). Kolom kapiler sangat banyak dipakai atau lebih masuk oleh para ilmuan. Salah
satu kemungkinan antara kolom kemampuan lain yang memberikan harga jumlah pelat
teori yang sangat besar 300.000 pelat).
Banyak macam bahan kimia yang dipakai sebagai fase antara lain: squalen,
DEGS (Dietilglikol suksinat), OV-17 (phen methyl silicone oil). Semakin tipis lapisan
penyalut sebagai fase diam, maka semakin tinggi suhu operasionalnya. Untuk lapisan
salut 1 µm, suhu operasional dapat mencapai 460 C, sementara itu suhu minimalnya
dapat mencapai - 60 ° C.
Fase diam yang dipakai pada kolom kapiler dapat bersifat non polar, polar, atau
semi polar. Fase diam non polar yang umum digunakan adalah metil polisiloksan (HP-
1; DB-1, SE CPSIL-5) dan fenil 5% -metilpolisiloksan 95% (HP-5; DB-5; SE5 CPSIL-
8). Fase diam semi polar adalah seperti fenil 50% -metil polisiloksan 50% (HP-17;
DB-17; CPSIL-19), sementara itu fae diam yang polar adalah seperti polietilen glikol
(HP-20M; DB-WAX CP-WAX; Carbowax-20M). Jenis fase akan menentukan urutan
elusi komponen-komponen dalam campuran. Seorang analis harus memilih fase diam
yang mampu memainkan komponen-komponen dalam sampel. Contoh fase diam,
berguna untuk analisis senyawa golongan, polaritas, dan suhu maksimum operasi yang
berasal dari diringkas pada tabel 16.3.
Tabel 16.3.
Jenis Fase Diam dan Penggunaannya
(Sumber: Gritter et al, 1991)
Fase diam Polaritas Golongan sampel Suhu maksimun
Squalen non polar hidrokarbon 125◦C
Apiezon L non polar Hidrokarbon, ester, eter 300◦C
Metil silikon non polar Steroid, pestisida, alkaloida , ester 300◦C
Dionil semi polar Semua jenis 170◦C
Dietilenglikolsuksinat polar Ester 200◦C
Carbowax polar Alkohol, amina aromatik, keton 250◦C

 Suhu kolom
KG berdasarkan 2 sifat senyawa yang. yakni senyawa kelarutan cairan tertentu, dan (ii)
tekanan uap nya atau keatsiriannya (titik didih senyawa). Karena tekanan uap berbanding
langsung dengan suhu maka suhu merupakan faktor utama pada KG. Walaupun suhu kolom
dapat berkisar antara 100-400 C, dalam prakteknya beberapa pembatas harus diperhatikan.
Beberapa fase diam menjadi padat pada suhu rendah misalnya Carbowax menjadi padat pada
suhu di bawah 50 ° C dan beberapa silikon seperti gom metil silikon akan menjadi padat pada di
bawah 100 ° C). Selain itu, suhu pemakaian kolom yang mengandung fase diam ini dasar juga
oleh kestabilannya. beberapa fase diam jika digunakan suhu yang terlalu tinggi akan terurai
secara perlahan-lahan. Suhu minimum dan maksimum berbagai jenis fase diam yang lebih
disukai terdapat dalam tabel 16.4.
Tabel 16.4.
Suhu minimum dan maksimum beberapa fase diam pada KG
(Sumber: Gritter et al. 1991)
Fase diam Suhu minimum (C) Suhu maksimum ("C)
Apiezon L 50 255
Metil silikon 0 (untuk gom 100) 300-350
Fenil / metil silikon 0 300
Carbowax (polietilen glikol) 10-30 225
Sanosilikon 0 275
Alkil ftalat 20 225
Decsil Lipolikarboranilena siloksan) 50 450

Pemisahan pada KG dapat dilakukan pada suhu tetap yang biasanya disebut dengan
pemisahan isotermal dan dapat dilakukan dengan menggunakan suhu yang berubah secara
terkendali yang disebut dengan pemisahan Suhu terprogram
Pemisahan isotermal paling baik yang dipakai pada analisis rutin atau jika kita melihat agak
banyak sifat yang akan dipilih Pilihan awal pada pemisahan isotermal ini adalah suhu yang
digunakan beberapa derajat di bawah titik didih komponen campuran utama. Ada 2 hal yang
perlu diperhatikan terkait dengan penggunaan isotermal pemisahan ini, yaitu:
a. terkait demgn pemilihan suhu. Jika suhu yang digunakan terlalu tinggi maka komponen
akan terelusi tanpa terpisah, sementara jika suhu terlalu rendah maka komponen yang
bertitik didih tinggi akan sangat lambat atau bahkan tetap dalam kolom sehingga akan
mengacaukan proses kromatografi selanjutnya, dan
b. terkait dengan proses kromatografi, karena makin lama suatu sampel dalam kolom maka
semakin lebar alas puncaknya. Kedua hal ini dapat diatasi jika digunakan pemisahan
dengan suhu terprogram

Gambar 16.4.
Lima jenis pemrograman suhu (i) linier dengan laju yang kita inginkan. bertahap.
(iii) isotermal yang meningkatkan peningkatan suhu secara linier. (diikuti dengan
isotermal. (v) multilinier. (Sumber: Gritter et al, 1991)

Pemisahan dengan suhu terprogram mempunyai keuntungan yakni mampu meningkatkan


resolusi komponen-komponen suatu campuran yang mempunyai titik didih pada kisaran yang
luas. Disamping itu ,pada suhu terprogram juga mampu mempercepat keseluruhan waktu
analisis, karena senyawa-senvawa titik didih tinggi akan terelusi lebih cepat.
Pemrograman suhu dilakukan dengan suhu dari suhu tertentu ke suhu tertentu yang lain
dengan laju yang diketahui terkendali dalam waktu tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara (gambar16.40), antara lain : (i) linier dengan laju yang kita inginkan, (ii)
bertahap, (iii) isothermal yang diikuti peningkatan suhu secara liner, (iv) linier diikuti dengan
isotermal, (v) multilinier (laju berbeda pada saat yang berlainan). Perubahan suhu ini dapat
dilakukan secara manual. Untuk KG yang dilengkapi dengan computer, hal ini dapat dilakukan
secara otomatis

Gambar 16.5
merupakan kromatogram yang diperoleh dari hasil pemisahan seri n - alkana yang
dilakukan secara isothermal (pada suhu 150 ̊ C; pada gambar a) dan pada suhu
terprogram (pada gambar b).

Pada pemisahan n-alkana diatas secara isothermal (gambar a), heksana (C9) sampai
dekana (C10) tidak terpisah secara sempurna, sementara itu dengan menggunakan suhu
terprogram kesemua seri alkana terpisah secara sempurna.
 Regenerasi kolom
Setelah kolom dipakai dalam jangka waktu seian lama, kemunginan yang
paling sering terjadi adalah penyumbatan kolom. Hal ini sering terjadi pada kolom
kapiler. Akibat dari hal tersebut maka kinerja kolom akan menurun, khususnya
untuk kolom yang fase diamnya adalah fase terikat. Apabila terjadi penyumbatan
pada kolom kapiler atau menurunnya kinerja kolom, maka perlu dilakukan
regenerasi untuk meremajakan atau mengembalikan kinerja kolom pada kondisi
semula.
Ada tiga cara regenerasi kolom yaitu:
a. Pemotongan kolom
Pemotongan kolom biasanya dilakukan jika terjadi penyumbatan pada ujung
depan kolom (terutama kolom kapiler). Komponen-komponen sampel yang tidak
dapat diatsirikan (diuapkan) sering menyumbat kolom pada ujung depannya. Salah
satu tanda adanya penyumbatan pada kolom adalah adanya puncak
kromatogramyang melebar atau berekor. Pengatasan masalah ini yang umum
dilakukan adalah dengan cara memotong kolom kapiler tersebut sepanjang 50 cm
dari ujung depannya. Biasanya pemotongan dikerjakan dengan memakai pemotong
intan yang ujungnya sangat tajam (pensil intan).
b. Pengkondisian (Conditioning)
Pengkondisian ini bersifat untuk memelihara kolom agar waktu hidup (life-
time)-nya cukup lama. Pengkondisian dilakukan lebih kurang 30 menit sebelum
dan sesudah analisis, tergantung pada kontaminasinya. Oleh karena itu, dapat saja
dilakukan pengkondisian lebih dari 30 menit. Suhu yang dipakai pada saat
pengkondisian sebaiknya terprogram dengan kenaikan 5 ̊ C / menit sampai suhu
operasional.
c. Pencucian kolom
Untuk kolom fase terikat sebaiknya dilakukan pencucian dengan memakai
tangki (tabung) pencuci yang dilakukan di luar oven. Yang terbaik untuk dipakai
sebagai larutan pencuci adalah pentana yang dapat dipakai sebagai larutan pencuci
semua jenis kolom. Untuk mencuci material pengotor yang lebih polar dapat juga
dipakai metilen klorida atau metanol.
Setelah proses pencucian maka diusahakan semua cairan pencuci keluar dari
kolom. Pada saat instalasi kembali, kolom yang telah dicuci jangan diubungkan
langsung dengan detector.
2.1.6 Detektor pada Kromatografi Gas
Komponen utama selanjutnya dalam kromatografi gas adalah detektor.
Detektor merupakan perangkat yang diletakkan pada ujung kolom tempat keluar
fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan. Detektor
pada kromatografi adalah suatu sensor elektronik yang berfungsi mengubah sinyal
gas pembawa dan komponen-komponen di dalamnya menjadi sinyal elektronik.
Sinyal elektronik detektor akan sangat berguna untuk analisis kualitatif maupun
kuantitatif terhadap komponen-komponen yang terpisah diantara fase diam dan
fase gerak.
Pada garis besarnya detektor pada KG termasuk detektor diferensial, dalam
arti respons yang keluar dari detektor memberikan relasi yang liner dengan kadar
atau laju aliran massa komponen yang teresolusi. Kromatogram yang merupakan
hasil pemisahan fisik komponen-komponen oleh KG disajikan oleh detektor
sebagai deretan luas puncak terhadap waktu. Waktu tambat tertentu dalam
kromatogram dapat digunakan sebagai data kuantitatif yang keduanya telah
dikonfirmasikan dengan senyawa baku. Akan tetapi apabila kromatografi gas
digabung dengan instrumen yang multipleks misalnya GC/FT-IR/MS,
kromatogram akan disajikan dalam bentuk lain. Beberapa sifat detektor yang
digunakan dalam kromatografi gas ditunjukkan oleh table 16.5.
Table 16.5
Janis-jenis detektor, batas deteksi, jenis sampel-sampelnya dan kecepatan alir gas
pembawa
(sumber: Kealey and Haines, 2002)

Jenis detektor Jenis sampel Batas Kecepatan alir (ml/menit)


detektor Gas H Udara
pembawa
Hantar panas Senyawa 5-100 ng 15-30 - -
umum
Ionisasi nyala Hidrokarbon 10-100 pg 20-60 30-40 200-500
Penangkap Halogen 0,05-1 pg 30-60 - -
electron organic,
pestisida
Nitrogen- Senyawa 0,1-10 g 20-40 1-5 70-100
fosfor nitrogen
organic dan
fosfat organic
Fotometri Senyawa- 10-100 pg 20-40 50-70 60-80
nyala (393 senyawa sulfur
nm)
Fotometri Senyawa- 1-10 pg 20-40 120-170 100-150
nyala ( 526 senyawa
nm) fosfor

fotoionisasi Senyawa- 2 pg 30-40 - -


senyawa yang
terionisasi
dengan UV

Konduktivitas Halogen, N, S 0,5 pg Cl 20-40 80 -


elektrolitik 2 pg S
4 pg N
Fourier Senyawa- 1000 pg 3-10 - -
transform- senyawa
infra red (FT- organic
IR)
Selektif Sesuai untuk 10 pg – 10 0,5-30 - -
massa senyawa ng
apapun
Emisi atom Sesuai untuk 0,1 – 20 pg 60-70 - -
elemen apapun

Berikut akan dijelaskan detektor yang sering digunakan dalam kromatografi gas:

a. Detektor hantar panas (Thermal Conductivity Detector = TCD)


Detektor ini didasarkan bahwa panas dihantarkan pada benda yang suhunya
tinggi ke benda lain di sekelilingnya yang suhunya lebih rendah. Kecepatan
penghantar panas ini tergantung susunan gas yang mengelilinginya. Jadi setiap gas
mempunyai daya hantar panas yang kecepatannya merupakan fungsi dari laju
pergerakan molekul gas yang pada suhu tertentu merupakan fungsi dari berat molekul
gas. Gas yang mempunyai berat molekul rendah mempunyai daya hantar lebih tinggi.
Jika ada komponen/senyawa yang dibawa fase gerak masuk ke dalam detektor, karena
BM senyawa biasanya tinggi maka daya hantar menjadi turun.
Didalam detektor ini (gambar 16.6) dipasang filamen ganda yang dibuat dari
platina atau campuran logam tungsten-thenium yang tahan panas hingga 400 ̊ C (mirip
dengan lampu pijar wolfram). Satu filamen ditempatkan di dalam efluent kolom, dan
satu filamen lagi diletakkan pada aliran fase gerak sebelum memasuki tempat
penyuntikan sampel dan digunakan sebagai pembanding (filament pembanding) pada
suhu yang sama dengan suhu pasa efluen kolom. filamen ini dialiri listrik untuk
memanaskannya. Kedua filamen ini dihubungkan dengan rangkaian listrik yang
disebut jembatan wheatstone, untuk menyeimbangkan arus listrik. Bila molekul
sampel masuk ke dalam detektor, maka sampel akan menurunkan daya hantar panas,
akibatnya filamen menjadi lebih panas (suhu menjadi lebih tinggi) yang menyebabkan
naiknya tahanan sehingga menurunkan arus listrik. Perbedaan arus listrik antara 2
filamen ini dikirimkan ke rekorder atau sistem pengolah data yang kemudian
ditampilkan sebagai kromatogram.
Masalah utama dalam detektor ini adalah bahwa filamen harus dilindungi dari
udara ketika filamen itu panas. Jadi filamen tidak boleh dipanaskan tanpa dialiri gas
pembawa. Banyak instrumen mutakhir yang telah dirancang untuk mengatasi hal ini
artinya filamen hanya dapat dipanasi jika gas pembawa mengalir. Detektor biasanya
dibersihkan dengan melepaskannya dari sistem dan meredamkannya dalam
sederet pelarut seperti dekalin, methanol, air, dan aseton. Setelah pengeringan
(sebelum dipakai), detektor dipanaskan di dalam aliran gas pembawa kromatografi
selama 24 jam.

Secara teoritis detektor ini memberikan keuntungan bahwa komponen yang


dideteksi tidak rusak, sehingga memungkinkan komponen dikumpulkan untuk analisis
lebih lanjut. Detektor hantar panas termasuk detektor konsentrasi, yakni semua
molekul yang melewatinya diukur jumlahnya dan tidak tergantung pada laju aliran
fase gerak.

b. Detektor Ionisasi Nyala (Flame Ionization Detektor = FID)


Pada dasarnya senyawa organik bila dibakar akan terurai menjadi pecahan
sederhana bermuatan positif, biasanya terdiri dari satu karbon (C). Pecahan Ini
meningkatkan adanya hantar di sekitar nyala, tempat yang telah dipasang elektroda,
dan peningkatan daya hantar ini dapat diukur dengan mudah dan direkam. Dengan
demikian gas efluent dari kolom dialirkan kedalam nyala hidrogen yang terbakar di
udara. Sampel yang dibawa oleh gas pembawa mengalir ke dalam nyala dan diuraikan
menjadi ion. Ion ini akan meningkatkan daya hantar dan karenanya akan
meningkatkan arus listrik yang mengalir diantara 2 elektroda. Arus itu selanjutnya
diperkuat di amplifier dan direkam oleh rekorder.
Detektor ionisasi nyala (FID) ini mengukur jumlah atom karbon, dan bukan
jumlah molekul seperti pada TCD. FID pada dasarnya Bersifat umum untuk hampir
semua senyawa organik (senyawa Fluoro tinggi dan karbon disulfida tidak terdeteksi).
Di samping itu, respon FID sangat peka, dan linier ditinjau dari segi ukuran cuplikan,
serta teliti.

Pada pemakaian FID, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama,
kecepatan alir O2 (udara) dan H2. Untuk mempereh tanggapan FID yang optimal
sebaiknya kecepatan aliran H2 ± 30 ml/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua adalah
bahwa suhu FID harus diatas 100°C. Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi
uap air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan (menurun) sensitifitasnya.
Kalau memungkinkan pada selang waktu tertentu dengan pertolongan mekanik, maka
dapat dilakukan pembersihkan bagian atas FID (kolektor) yang mungkin telah dilapisi
berbagai macam kotoran.

c. Detektor tangkap elektron (Electron Capture Detector = ECD)


Detektor ini dilengkapi dengan sumber radio aktif yaitu tririum ( 3H) atau 63Ni
yang ditempatkan diantara dua elektroda (Gambar 16.8). tegangan listrik yang
dipasang antara katoda dan anoda tidak terlalu tinggi, antara 2-100 volt. Dasar kerja
detektor ini adalah: penangkapan elektron oleh senyawa yang mempunyai afinitas
terhadap elektron bebas, yaitu senyawa yang mempunyai unsur-unsur elektronegatif.

Bila fase gerak (gas pembawa N2) masuk ke dalam detektor maka sinar  akan
mengionisasi molekul N2 menjadi ion-ion N2+ dan menghasilkan elektron (bebas)
yang akan bergerak ke anoda dengan lambat. Dengan demikian, di dalam ruangan
detektr terdapat semacam awan elektron bebas yang dengan lambat menuju anoda.
Elektron-elektron yang terkumpul pada anoda akan meghasilkan arus garis dasar
(baseline current) yang steady dan memberikan garis dasar pada kromatogram. Bila
komponen sampel (senyawa dengan unsur elektronegatif) dibawa fase gerak masuk ke
dalam ruang detektor yang dipenuhi awan elektron, maka seyawa ini akan menangkap
elektron sehingga membentuk ion molekul negatif. Ion molekul ini akan dibawa oleh
fase gerak (carrier gas). Akibatnya setiap partikel negatif dibawa keluar detektor,
berarti menyingkirkan satu elektron dari sistem sehingga arus listrik yang steady tadi
akan berkurang. Pengurangan arus ini akan dicatat oleh rekorder sebagai puncak pada
kromatogram.

d. Detektor nitrogen-fosfor (Nitrogen Phosphorous Detector = NPD)

Pada prinsipnya NPD mirip dengan FID, hanya saja fenomena mekanisme nyala
plasma belum jelas. Ada kemungkinan terjadi peristiwa pemadaman (quenching) dari
nyala plasma dan logam alkali oleh nitrogen/fosfor yang berasal dari sampel.
NPD sangat selektif terhadap nitrogen dan fosfor karena adanya elemen aktif
diatas aliran kapiler yang terbakar oleh plasma (1600°C). Elemen aktif merupakan
logam kalium atau rubidium atau cesium yang dilapiskan pada silinder kecil
alumunium. Kegunaan elemen aktif garam metal alkali adalah sebagai sumber ion di
dalam plasma yang bertugas menekan ionisasi hidrokarbon di dalam plasma, akan
tetapi sebaliknya menaikkan ionisasi sampel yang mengandung N atau P.

Efisiensi ionisasi N dan P oleh sumber termoionik tersebut juga dibantu dengan
menekan aliran H2 dan O2 (udara sebagai bahan bakar plasma). Pada proses ini, untuk
mendapatkan efisiensi ionisasi N dan P dipakai laju aliran udara (O 2) ± 70-90
ml/menit dan dipakai laju aliran H2 ± 6 ml/menit. Laju aliran ini sangat dipengaruhi
oleh jenis sampel yang dianalisis.

Beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan apabila memilih NPD pada
KG adalah: pertama, dijaga kontinuitas aliran H2, O2 dan efluen pada laju konstan,
sebab perubahan sedikit laju aliran akan memberikan hasil yang sangat berbeda.
Kedua, dijaga kemurnian segala sesuatu yang menyangkut analisis terhadap
kontaminasi unsur-unsur N dan P. Alat-alat gelas harus betul-betul bersih (sangat
bersih) dan terbebas dari sekelumit bekas deterjen fosfat, dan pembersih gelas dari
asam juga harus dibilas betul-betul dengan air suling. Kalau dipakai pelarut organik
hendaknya sangat dijaga kemurniannya. Hindari pemakaian pelarut yang mengandung
klor atau silan karena akan menurunkan umur hidup (life time) pemakaian detektor
ini. Demikian juga hindarilah pemakaian bahan anti bocor (perekat) yang terbuat dari
fosfat pada detektor, gelas wool pada kolom, lapisan poliamida pada kolom, atau fase
cair yang mengandung nitrogen sebagai fase diam (OV-225 atau XE-60) karena
kesemua hal tersebut akan mengundang derau (noise) yang lebih besar. Gas pengelusi
yang baik adalah helium dengan laju aliran yang umum dipakai 30 ml/menit. NPD
sangat baik dalam analisis dibidang farmasi dan klinik, di samping itu sangat baik
pula untuk mendukung analisis mengenai dampak lingkungan.

e. Detektor fotometri nyala

Detektor fotometri nyala menggunakan prinsip bahwa ketika senyawa yang


mengandug sulfur atau fosfor dibakar dalam nyala hidrogen-oksigen, maka akan
terbentuk spesies-spesies yang tereksitasi yang akan runtuh (decay) dan menghasilkan
suatu emisi kemiluminesen yang spesifik yang dapat diukur pada panjang gelombang
tertentu. Untuk yang mengandung atm S, diukur pada panjang gelombang 393 nm,
sementara yang mengandung fosfor diukur pada panjang gelombang 526 nm.

f. Detektor konduktivitas elektrolitik

Detektor konduktivitas elektrolitik merupakan detektor yang spesifik untuk


mendeteksi senyawa yang mengandung atom sulfur, nitrogen, dan halogen. Detektor
ini tersusun atas tungku (furnace) yang mampu memberikan suhu paling kecil 100°C.
Efluen dari kolom KG akan memasuki tungku lalu diprolisiskan dalam suatu udara
yang kaya hidrogen atau oksigen. Hasil-hasil dari prolisis ini selanjutnya dicampur
dengan pelarut yang sesuai dan menghasilkan suatu larutan yang bersifat konduktif.
Adanya perubahan dalam konduktivitas dimonitor.

g. Detektor foto-ionisasi

Ketika suatu senyawa menyerap energi foton dari suatu lampu UV, maka
senyawa tersebut akan terionisasi. Hal inilah yang menjadi dasar detektor ini.
Senyawa yang terionisasi ini selanjutnya dikumpulkan dan banyaknya arus yang
dihasilkan dimonitor.

Detektor ini dapat digunakan untuk deteksi senyawa-senyawa aromatis, keton,


aldehid, ester, amin, senyawa-senyawa sulfur organik, senyawa-senyawa anorganik
seperti hidrogen sulfida, HI, HCl, klorin, iodium, dan fosfin. Detektor ini akan
tanggap terhadapsemua senyawa yang mempunyai potensial ionisasi pada kisaran
potensial sumber lampu UV atau terhadap senyawa-senyawa yang mempunyai
potensial ionisasi kurang dari 12 eV.
Keuntungan lain detektor ini adalah bahwa pelarut-pelarut umum yang sering
digunakan seperti metanol, kloroform, metilen, klorida, karbon tetraklorida, dan
asetonitril tidak memberikan atau sedikit memberikan tanggapan (respon), jika
digunakan lampu UV yang mempunyai potensial ionisasi 12 eV. Lampu-lampu yang
paling umum digunakan dan tersedia di pasaran adalah lampu dengan potensial
ionisasi 9,5; 10,0; 10,2; 10,9; dan 11,7 eV. Untuk meningkatkan selektifitas detektor,
lampu harus dipilih yang hanya dapat mengionisasi analit yang dituju saja.

h. Detektor spektrometer massa

Spektrometer massa jika digunakan sebagai detektor maka akan mampu


memberikan informasi data struktur kimia senyawa yang tidak diketahui. Dengan
menggunakan spektrometer massa untuk memonitor ion tunggal atau beberapa ion
yang karakteristik dalam analit, maka batas deteksi ion-ion ini akan ditingkatkan .

2.1.7 Komputer Detektor pada Kromatografi Gas


Komponen KG selanjutnya adalah komputer. KG modern meggunakan
komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunaknya (software) untuk digitalisasi
signal detektor dan mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

a. Memfasilitasi setting parameter-parameter instrumen seperti aliran fase gas;


suhu oven dan pemrograman suhu; serta penyuntikan sampel secara otomatis.
b. Menampilkan kromatogram dan informasi-informasi lain dengan
menggunakan grafik berwarna.
c. Merekam data kalibrasi, retensi, serta perhitungan-perhitungan dengan
statistik.
d. Menyimpan data parameter analisis untuk analisis senyawa tertentu

2.1.8 Derivatisasi pada Kromatografi Gas

Derivatisasi merupakan proses kimiawi untuk mengubah suatu senyawa lain


yang mempunyai sifat-sifat yang sesuai untuk dilakukan analisis menggunakan
kromatografi gas. Alasan dilakukannya derivatisasi:

a. Senyawa-senyawa tersebut tidak memugkinkan dilakukan analisis dengan KG


terkait dengan volatilitas dan stabilitasnya.
b. Untuk meningkatkan batas deteksi dan bentuk kromatogram. Beberapa
senyawa tidak menghasilkan bentuk kromatogram yang bagus (misal puncak
kromatogram saling tumpang tindih) atau sampel yang dituju tidak terdeteksi,
karenanya diperlukan derivatisasi sebelum dilakukan analisis dengan KG.
c. Meningkatkan volatilitas, misal senyawa gula. Tujuan utama derivatisasi
adalah untuk menigkatkan volatilitas senyawa-senyawa yang tidak mudah
menguap (non-volatil). Senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah
biasanya tidak mudah menguap karena adanya gaya tarik-menarik inter
molekuler antara gugus-gugus polar, karenanya jika gugus-gugus polar

Ini ditutup dengan cara derivatisasi, maka akan mampu meningkatkan


volatilitas senyawa tersebut secara dramatis
a) Meningkatkan deteksi,misal untuk kolrsterol dan senyawa-senyawa steroid
b) Meningkatkan satbilitas. Beberpa senyawa volatil mengalami dekomposisi
parsial karena panas sehingga diperlukan derivatisasi untuk meningkat kan
stabilitas
c) Meningkatkan batas deteksi pada penggunaan detektor tangkap elektron
(ECD)

Berikut akan diuraikan beberapa cara derivatisasi yang dilakukan pada


kromatografi gas, serta gugus-gugus fungsional bereaksi
a. Esterifikasi
Esterifikasi digunakan untuk membuat derivat gugus karboksil. Contoh
obat yang mengandung gugus ini adalah obat golongan analgesik,
prostalgladin, asam amino, dan obat anti-inflamasi. Pengubahan gugus
karboksil menjadi ester nya akan meningkatkan volatilitas karena akan
menurunkan ikatan hidrogen. Derivatisasi dengan esterifikasi dapat
dilakukan dengan cara esterifikasi fisher biasa dalam asam kuat, menurt
reaksi :

Ester metil paling banyak digunakan, meskipun demikian ester etil,


propil, dan butil juga sering dimanfaatkan untuk derivatisasi. Ester alifatik
yang lebih panjang dibuat dengan tujuan untuk menurunkan volatilitas,
meningkatkan respon detektor, meningkatkan resolusi atau daya pisah dari
bahan penganggu, dan juga meningkatkan resolusi dari senyawa-senyawa
yang mempunyai rumus molekul yang hampir sama. Bahan yang sering
digunakan adalah boron tridlourida atau boron triklorida dengan alkohol
alifatik.
Diazometana biasanya digunakan untuk membuat meti ester, sementara
diazoetan digunakan untuk membuat etil ester. Reaksi yang melibatkan
keduanya untuk esterifikasi berlangsungg secara sempurna dan memberikan
hasil derivat yang tinggi. Kerugiannya adalah bahwa diazometan dan
diazoetan bersifat toksik, mudah meledak, dan harus dibuat baru, serta
sampel harus berada dalam media bebas air. Karena kerumitan ini, maka ke
duanya jarang digunakan untuk analisis rutin dan hanya digunakan untuk
tujuan penelitian.
Ester alkil dibuat dengan tetrametil amonium hidroksida
trimetilanilinium hidroksida atau trimetilinium hidroksida (TMAH) dan
alkali iodida (pelarut dimetil asetamid-metanol) sebelum penyuntikan ke
kolom kromatografi gas, sedangkan ester aril dibuat dari benzil bromida
atau dari pentafluorobenzil bromida.
b. Asilasi
Jika sampel diuji mengandung fenol, alkohol, atau amin primer atau
sekunder maka sering digunakan derivatisasi dengan asilasi yang
merupakan reaksi yang paling umum. Derivatisasi dengan cara ini
dilakukan dengan menggunakan asam asetat anhidrat dan katalis (misalkan
asam asetat, asam p-toluen sulfonat piridin, N-metil amidazol) sebelum
penyuntikan ke kromatografi gas (derivatisasi pra kolom) atau dilakukan
penyuntikan di dalam kolom (pre column derivatization). Asilasi pada
umumnya memberikan bentuk kromatogram yang baik. Trifluoro asetat
(FFA), pen tafluoropropianat (PFP), atau heptafluorobutirat (HFB)
digunakan untuk meningkatkan sensitifitas analisis. umumnya kepekaan
relatif ester terfluoro adalah: pentafluorobenzoil> HFB> PEP >TFA,
dengan beberapa perkecualian. Jika menganalisis ester katekolamin dan
metabolitnya dengan TFA, PFP, dan HFB maka urutan elusinya pada fase
diam yang kurang polar (SE-30) adalah sebagai berikut: TFA lebih cepat
ikut PFP dan yang paling akhir terelusi adalah HFB, sedangkan jika
menggunakan fase diam yang lebih polar (OV-1 atau XE-60) maka derivat
PFP dan HFB akan terelusi sebelum TFA.
Asilasi dlakukan dengan menggunakan perfluoroanhidrida yang murni
atau dalam pelarut, misalkan dalam asetonitril dan etil asetat. Penambahan
amin tersier seperti trimetil amin atau trietil amin akan meningkatkan
reaktifitasnya dan berfungsi sebagai penerima asam
c. Alkilasi
Alkilasi digunakan untuk menderivatisasi alkohol, fenol, amina primer
dan sekunder), imida, dan sulfhidril. Derivat dapat dibuat Jengan sintesis
Wiliamson, yakni alkohol atau fenol ditambah alkil atau benzil halida
dengan adanya basa. Jenis agen penderivat yang digunakan hanya a-
bromo-2,3,4,5,6-pentafluorotoluen.
d. Sililasi
Derivat silil saat ini digunakan untuk menggantikan eter alkil untuk
analisis sampel yang bersifat polar yang tidak mudah menguap, Derivat
yang paling sering dibuat adalah trimetilsilil. urutan reaktifitas pereaksi
sililasi berdasarkan pada pemampuan penyumbang silil adalah sebagai
berikut: trimetilsihilimidazol (TMSIM) > N,O-bis-(trimetilsilli)
trifluoroasetamida(BSTFA) > N,O-bis-(trimetilsilil)-asetamid (BSA) > N-
metil-N-trimetilsililtrisluoroasetamid (MSTFA) > N-trimetilsilildietilamin
(TMSDEA) > N-metil-Ntrimetilsililasetamida (MSTA) >
trimetilklorososilin
Urutan Reakstivitas urutan gugus-gugus penerima silil adalah sebagai
berikut: alkohol> fenol> asam karboksilat> amina> amida. Faktor sterik
sangat penting dalam hal penentuan kecepatan reaksi derivatisasi. Untuk
setiap gugus fungsi, urutan reaktifitasnya adalah: primer> sekunder> tersier.
Derivatisasi dengan cara sililasi mempunyai beberapa keuntungan: eter
silil mudah dibuat untuk banyak gugus fungsi, dapat dilakukan dalam vial
kaca dengan tutup bersekrup yang dilapisi dengan teflon, pereaksi sililasi
sering kali mampu melarutkan sampel (meskipun demikian pelarut-pelarut
seperti piridin, dimetilformamid, asetonitril, tetrahidrofuran, dan kloroform
dapat digunakari untuk melarutkan sampel yang akan diderivatisasi dengan
cara sililasi), derivatisasi sering terjadi dalam suhu kamar.
(akan tetapi gugus fungsional yang sukar diderivatisasi seperti amina
sekunder, alkohol tersier, dan amida perlu dilakukan pemanasan pada suhu
antara 60-150 ° C). Laju reaksi derivatis dapat ditingkatkan dengan
penambahan katalis asam seperti dengan trimetilklorosilan atau dengan
katalis basa seperti piridin. Dilaporkan bahwa 95% derivat trimetilsilil
(TMS) dapat dibuat dengan menggunakan trimetilsililimidazol (TMSIM)
atau dengan N, O-bis- (trimetilsilil) -trifluoroasetamid (BSTA), yang
kadang- kadang ditambah dengan trimetilklorosilan sebagai katalis. Kedua
pereaksi ini (TMSIM dan BSTFA) menunjukkan selektifitas Sebagai
contoh, TMSIM tidak bereaksi dengan gugus amino, sedangkan BSTFA
merupakan pereaksi terpilih untuk gugus amino. Penibuatan TMS dalam
media bebas air lebih reaktif dibanding media yang mengandung air.

Berikut adalah contoh derivatisasi yang digunakan untuk memperbaiki


bentuk puncak pseudoefedrin:

Sirup dekongestan dibasakan dengan amonia dan diekstraksi ke dalam


etil asetat sehingga akan menjamin bahwa semua komponen yang
terekstraksi berada dalam bentuk basa bebasnya dalam bentuk garamnya.
Bentuk basa inilah yang bertanggung jawab pada bagusnya bentuk puncak
kromatografi. Garam-garam atau basa-basa akan terurai karena adanya
panas pada 1ubang suntik KG, sehingga dengan adanya proses ini akan
dapat menyebabkan terjadinya peruraian
Jika ekstrak pada sirup dekongestan di lakukan kromatografi gas secara
langsung, maka kromatogram yang dihasilkan seperti gambar 16.10 (a).
Basa bebas triprolidin dan dekstrometorfan menunjukkan bentuk puncak
yang bagus, akan tetapi pesudoefedrin yang merupakan basa yang lebih
kuat karena adanya gugus hiroksil dan gugus amin memberikan bentuk
yang kurang bagus. hal ini dapat diatasi dengan menutup gugus polar
(gugus hudroksi dan amin) pada pseudoefedrin dengan cara mereaksikan
menggunakan trifluoroasetat anhidrida (TFA). Perlakuan dengan TFA ini
tidak menghasilkan senyawa derivatif terhadap senyawa-senyawa basa
tersier dalam ekstrak (sirup dekongeston) ini. Reagen TFA sangat
bermanfaat karena reagen dalam reaktif dan bertitik didih rendah (40C)
sehingga kelebihan reagen.TEA ini mudah dihilangkan dengan cara
evaporasi sebelum dilakukan kromatografi gas.
e. Kondensasi
Jika sampel yang akan mengandung gugus aldehid atau keton maka
sering kali dilakukan derivatisasi yang tujuan nya adalah untuk mencegah
enolisasi karena terjadinya ikatan hidrogen, meningkatkan resolusi karena
adanya pengganggu, dan meningkatkan sensitifitas deteksi. Reaksi
kondensasi dapat digunakan untuk derivatisasi amin yang mana pereaksinya
mengandung gugus karbonil. Amina primer bereaski dengan keton
membentuk enamin atau bereaksi dengan karbon disulida membentuk
isotiosianat Aseton dan siklobutanon bereaksi dengan primer amin
membentuk enamin yang menghasilkan puncak tunggal dalam KG.
f. Siklisasi
Penutupan gugus polar melalui siklisasi dilakukan pada senyawa yang
mengandung 2 gugus fungsi yang kir a-kira sangat mudah dibuat
heterosiklis beratom 5 atau 6. Beberapa jenis heterosiklis yang terbentuk
adalah: ketal, boronat, triazin, dan fosfit.
Ujung amfoter asam amino dapat dibuat lebih volatil dengan siklisasi
menggunakan diklorotetrafluoroaseton membentuk 2,3-bis-
(klorodifluorometil)-4 -tersubstitusi 1,3-oksazolidin-5-on menurut reaksi:

Asam amino juga bereaksi dengan anhidrida asam atau klorida


membentuk azlakton yang bersifat lebih volatil menurut reaksi

2.1.9 Penerapan Kromatografi Gas Dalam Bidang Farmasi


Kromatografi gas merupakan salah satu teknik analisis yang digunakan dalam
analisis di bidang farmasi sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 16.6
Tabel 16.6
Beberapa penerapan KG dalam bidang farmasi
(Sumber : Adamovies, 1997 : Munson, 1981)
Senyawa Kolom Suhu Derivatisasi Detektor Sampel
Kolom
Sulfadiazin OV-17 5%, 285 Diazometan ECD Hayati
1,82 m × 4
mm i.d
Penisilin G, OV-17 3%, 215 HMDS + FID Sediaan
Penisilin V, 0,61 m × 3 piridin
Penitisilin, mm i.d
Metisilin,
Oksasilin,
Kloksasilin, dan
Dikloksasilin
Kanamisin OV-1 3%, 300 TMSIM + FID Sediaan
1,83 m × 3 piridin
mm i.d
Neomisin OV-1 3%, 290 TMSDEA + FID Sediaan
0,61 m × 3 TMSIM +
mm i.d piridin
Gentamisin OV-1 3%, 240 TMSDEA + FID Sediaan
0,61 m × 3 TMSIM +
mm i.d piridin
Kloramfenikol OV-1 3%, 190 → 270 HMDS + FID Sediaan
1,22 m × 2 TMSC +
mm i.d piridin
Tetrasiklin JX-R 3%, 260 BSA + FID Sediaan
1,85 m × 3 TMSC +
mm i.d piridin
Klindamisin OV-1 3%, 170 TFA + Na- FID Sediaan
0,61 m × 3 karbonat
mm i.d
Eritromisin OV-225 3%, 275 TMSC + FID Sediaan
1,85 m × 3 TMSIM +
mm i.d BSA +
piridin
Griseofulvin OV-17 1%, 245 - FID/ECD Sediaan /
0,914 m × 4 Hayati
mm i.d
Isoniazid OV-17 10%, 300 p-kloroben NP- FID Hayati
2 m × 1,75 zaldehid
mm i.d
Etambutol OV-17 3%, 157 BTSFA FID Hayati
1,80 m × 3
mm i.d
Piperazin Chromosorb 180 → 245 - TC Sediaan
103, 0,45 m
× 3 mm i.d
Tiabendazol OV-101 3%, 230 PentaFluoro ECD Nabati
1,50 m × 3 benzonil
mm i.d klorida
Dietil DC-200 150 - FID Hayati
karbamazin 10%, 30 cm
× 4 mm
Metenamin OV-17 10%, 190 - FID Sediaan
1,83 m × 3
mm i.d
Asam nalidiksat OV-17 10%, 270 TMAH + n- FID Hayati
150 m × 6 butil iodida
mm i.d
Fenazopiridin Deksil 300 258 - FID Sediaan
10%, 1,80 m
× 4 mm i.d
Metronidazol OV-1 3%, 160 BSTFA FID Hayati
1,83 m × 4
mm i.d
Resorsinol OV-210, 70-220 BSA FID Sediaan
25%, 0,60 m
× 3 mm i.d
Amantadin OV-17 3%, 220 Trikloro- ECD Hayati
2 m × 4 mm asetil klorida
i.d
Sitarabin OV-17 3%, 275 Anhidrida NP-FID Hayati
2 m × 4 mm asetat piridin
i.d lalu
diazometan
+ BF3
Siklofosfamid SE-30 3%, 195 HFBA NP-FID Hayati
1,83 m × 2
mm i.d
6-merkapto- SE-30 10%, 135 TMAH FID Hayati
purin 1,5 m × 6,25
mm e.d
Doksorubisin OV-101 3%, 260 Hidrolisis FID Sediaan
0,923 m × 2 asam lalu
mm i.d metoksin +
BSTFA +
TMCS +
TMSIM
Etanol Porapak Q 150 - FID Hayati
1,8 m × 3
mm i.d
Sikopropana, Porapak T 160 → 170 - FID Hayati
dietil eter dan 1,8 m × 3
halotan mm i.d
Oksida nitrit Polipak 2 50 - FID Hayati
0,95 m ×
6,25 mm e.d
Niketamid XE-60 4%; 180 - FID Sediaan
1,8 m × 4
mm i.d
Kafein OV-17 3%, 210 - FID Hayati
1,82 m × 2,5
mm i.d
Teofilin OV-225 5%, 250 Penta Fluoro ECD Hayati
1,21 m × 4 benzoil
mm i.d klorida +
Na-karbonat
Amfetamin dan OV-17 3%, 150 TFA pada FID Hayati
metam-fetamin 1,8 m × 2 kolom 200ºC
mm i.d
Metilfenidat OV-17 3%, 170 TFA MS Hayati
0,90 m × 2
mm i.d
Kokain dan SE-30 3%; 200 BSTFA + FID Hayati
benzoilekgonin 0,90 m × 2 TMCS
mm i.d
Kana binoid SE-30 3%; 230 - FID Hayati
1,83 m × 2
mm i.d
Barbiturat OV-101 2%, 140 Na-karbonat NP- FID Sediaan
1,22 m × 2 dan metil
mm i.d iodida
Glutetimid OV-17 3%, 160 → 220 Dimetil FID Sediaan
1,8 m × 4 formamid
mm i.d
Diazepam, OV-17 3%; 265 - ECD Hayati
oksazepam, 0,90 m ×
flurazepam, 6,25 mm i.d
klordiazepoksid
, dan metabolit
terpilih
Papverin SE-30 30m 225 - FID Hayati
× 0,25 mm
i.d
Tolazolin 197 - FID Sediaan
Asetazolamid OV-17 1,8 215 TMAH ECD Hayati
m × 3 mm
i.d
Furosemid JXR 3%; 1,8 245 Tertaheksil ECD Hayati
m × 2 mm amonium
i.d hidroksida +
metil iodida
Propanolol OV-1 10%; 245 PEPA + ECD Hayati
1,8 m × 2 piridin
mm i.d
Morfin OV-17 3%; 245 PEPA ECD Hayati
1,5 m × 2
mm i.d
Kodein dan Poly A 103 240 Anhidrida FID Hayati
morfin 3%; 0,9 m × asetat
2 mm i.d
Heroin SE-30 3%; 200 → 250 - FID Hayati
1,5 m × 2
mm i.d
Meperidin SP 2250 3%; 215 - FID Hayati
1,5 m × 2
mm
Metadon OV-101 150 → 250 - FID Hayati
1,5%; 1,80
m × 2 mm
i.d
Propoksifen dan OV-17 3%: 180 LiAlH4 FID Hayati
norpropoksifen 1,8 m × 2
mm i.d
Aspirin dan OV-25 3%; 160 HMDS FID Hayati
asam salisilat 1,8 m × 4
mm i.d
Asetaminofen SP 2250 3%; 165 TMAH FID Hayati
san fenasetin 2 m × 2 mm
i.d
Ibuprofen Silar 10C 190 Penta fluoro ECD Hayati
10%; 2,4 m benzil
× 3 m i.d bromida
Fenilbutazon OV-7 3%; 260 TMAH FID Hayati
2,4 m × 3
mm i.d
Oksifenbutazon OV-7 3%; 260 TMAH FID Hayati
1,2 m × 3
mm i.d
Indometasin SE-52 3%; 275 Etil iodida ECD Hayati
1,5 m × 6,25
mm e.d
Prokainamid OV-7 10%; 245 - FID Hayati
0,91 m × 2
mm i.d
Lidokain OV-17 3%; 210 - FID Hayati
1,8 m × 3
mm i.d
Klorpromazin OV-225 5%; 220 - ECD Hayati
1,22 m × 3
mm i.d
Haloperidol OV-17 3%; 285 - NP- FID Hayati
2 m × 4 mm
i.d
Prostaglandin A OV-101 245 Macam- FID Hayati
(PGA), PGB, (WCOT) 40 macam
GD, PGE, PGF, m × 0,27
tromboksan, mm i.d
dan metabolit
Warfarin UCW-98 270 - FID Hayati
3,8%; 1,8 m
× 2,5 mm i.d
Fenileprin QF-1 3%; 150 TFA ECD Hayati
1,8 m × 2
mm i.d
Pseudoefedrin OV-17 3%; 165 - FID Sediaan
dan 2 m × 4 mm
klorfeniramin i.d
Fenilpropanol OV-1 35; 2 230 - NP- FID Hayati
amin dan m × 2,17
klorfeniramin mm i.d
Nikotinamid Carbowax 155 TFA FID Sediaan
20%; 1,5 m
× 1,8 mm i.d
Vitamin A1 OV-1 5%; 230 H2 FID Murni
alkohol dan 1,8 m × 4
vitamin A1 mm i.d
asetat
Vitamin K3 XE-60 5%; 3 190 - FID Murni
m × 3 mm
i.d
Vitamin D dan QF-1 2%; 3 218 → 225 Metiliodida FID Murni
analog m × 3 mm
i.d
Vitamin B6 DC-550 5%; 150 BSTFA FID- Murni
1,8 m × 2
mm i.d
Vitamin E SE-30 5% ; 275 → 285 - FID Sediaan
2,4 m × 3-4
mm i.d
Vitamin C SE-30 5%; 60 → 210 HMDS + FID Sediaan
1,5 m × 2 TMCS makanan
mm i.d
Vitamin B1 (OV-7 3% + 110 BSA FID Sediaan
OV-22 makanan
1,5%); 1,7 m
× 3,2 mm i.d
Hormon seks DEGS 1,7%; 195 BSTFA + FID Hayati
estrogen 2,7 m × 3,5 TMCS
terkonjugasi mm i.d
Testosteron dan OV-17 1%; 230 → 250 PentaFluoro ECD Murni
senyawa 0,45 m × 3 Benzil
sejenis; andros- mm i.d Hidroksil
teron dan amin
progesteron
Prednison dan SP-2250 250 TMSIM MS Hayati
prednisolon 3%; 0,60 m Metoksil
× 2 mm i.d Amin HCl
Keterangan :
i.d = internal diameter (diameter dalam)
e.d = external diameter (diameter luar)
TMSIM = Trimetilsililimidazol
BSTFA = N,O-bis-(trimetilsilil)-trifluroasetamid
BSA = N,O-bis-(trimetilsilil)-asetamid
MSTFA = N-metil-N-trimetilsililtrifluoroasetamid
TMSDEA = N-trimetilsilildietilamin
MSTA = N-metil-N-trimetilsililasetamid
TMCS = Trimetilklorosilan
HMDS = Heksametildisilaza

2.1.10 Fungsi Kromatografi Gas


1) Pemisahan senyawa dalam suatu sample
2) Menghitung kadar senyawa dalam suatu sample
3) Pengujian kemurnian suatu senyawa
4) Identifikasi senyawa yang ada pada suatu sample
5) Menyiapkan suatu senyawa murni dari suatu sample
2.2 Cara kerja Kromatografi Gas
1) Instrumen diperiksa, terutama jika tidak dipakai terus-menerus. Ini dilakukan
untuk mengecek apakah telah dipasang kolom yang tepat, apakah septum
injektor tidak rusak (apakah ada lubang besar atau bocor karena sering
dipakai), apakah sambungan saluran gas kedap, apakah tutup tanur tertutup
rapat, apakah semua bagian listrik bekerja dengan baik, dan apakahdetektor
yang terpasang sesuai.
2) Aliran gas ke kolom dimulai atau disesuaikan. Ini dilakukan dengan membuka
katup utama pada tangki gas dan kemudian memutar katup (diafragma)
sekunder ke sekitar 15 psi dan membuka katup jarum sedikit. Ini
memungkinkan aliran gas yang lambat (2–5 ml)/menit untuk kolom kemas dan
sekitar 0,5 ml/menit untuk kolom kapiler) melewati sistem dan melindungi
kolom dan detektor terhadap perusakan secara oksidasi. Dalam banyak
instrumen modern, aliran gas dapat diatur dengan rotameter atau aliran
otomatis atau pengendali tekanan, atau dapat dimasukkan melalui modul
pengendali berlandas-mikroprosesor. Apa pun jenisnya, sambungan sistem
(terutama sambungan kolom) harus dicek dengan larutan sabun untuk
mengetahui apakah ada yang bocor, atau dengan larutan khusus untuk
mendeteksi kebocoran (SNOOP), atau dapat juga dengan larutan pendeteksi
kebocoran niaga. Lihat di bawah mengenai aliran gas yang lebih terinci.
3) Kolom dipanaskan sampai suhu awal yang dikehendaki. Ini dilakukan, pada
instrumen buatan lama, dengan memutar transformator tegangan peubah yang
mengendalikan gelungan pemanas dalam tanur, ke sekitar 90 V.Jika suhu
mencapai 10-15°C di bawah suhu yang dikehendaki, transformator diputar ke
tegangan (10-50 V) yang akan terus menambah bahang vang cukup untuk
mengimbangi kehilangan bahang. KG yang buatannya lebih baru yang
dilengkapi dengan tombol langsung pengendali suhu lebih mudah dijalankan
dan mengerjakan hal yang sama, tetapi mungkin kelebihan panasnya lebih
kecil. KG yang dikendalikan dengan mikroprosesor, dan suhu yang diinginkan
telah dimasukkan, paling mudah dijalankan, dan pengendalian suhunya paling
teliti. Lihat bagian 2.4 mengenai informasi pemilihan suhu kolom,
pemrograman suhu, dan suhu maksimum.
4) Pemanas yang terpisah untuk injektor dan detektor dijalankan atau
disesuaikan. Suhunya harus sekitar 10-25°C lebih tinggi daripada suhu kolom
akhir. Suhu detektor harus lebih tinggi dari 100°C sehingga air tidak dapat
mengembun jika seandainya terbentuk tidak sengaja atau jika ada air. Lihat
bagian 2.4 mengenai informasi yang lebih banyak.
5) Aliran gas pembawa melalui kolom dinaikkan sampai 25–30 ml/menit untuk
kolom kemas 3 mm (atau 6 mm, tapi lebih jarang) atau sampai laju aliran
optimum jika ini diketahui. Katup diafragma harus dinaikkan agar
menghasilkan tekanan 60–70 psi. Laju aliran ini dipasang dengan cara yang
diuraikan di atas, atau dengan prosedur uji dan penyesuaian dengan
melepaskan kolom dari detektor dan menyambungkannya dengan sukat aliran
gelembung. Jika tidak ada sukat aliran, lihat bagian mengenai gas pembawa
tentang pembuatan sukat aliran secara terinci.
6) Arus ke detektor hanya dijalankan jika gas pembawa mengalir untuk
melindungi kawat pijar. Dalam hal detektor hantar bahang (DHB), detektor
yang paling sederhana, arus disesuaikan menjadi 150-200 mA atau
disesuaikan dengan aliran optimum, jika diketahui. Setelah suhu ruang
detektor stabil (2–3 menit), rangkaian listrik disetimbangkan sehingga pena
berada pada garis alas perekam dalam kertas gaftar. Jika KG dilengkapi
dengan detektor ionisasi nyala (DIN), yaitu detektor yang paling umum
dipakai, diperlukan beberapa pengecekan tambahan. DIN memerlukan
hidrogen untuk nyala, jadi generator hidrogen harus dijalankan dan alirannya
disesuaikan agar sama dengan aliran kolom (25–30 ml/menit). Udara
(oksigen) untuk detektor dialirkan dan diatur supaya alirannya sepuluh kali
aliran kolom. (Aliran optimum sistem dapat dan harus ditentukan dengan
percobaan). Nyala dalam DIN kemudian dapat dipasang dengan menekan
tombol penyala pada KG. Terdengar bunyi jika nyala terpasang. Penstabilan
biasanya terjadi dalam 2–3 menit. Rangkaian listrik detektor diseimbangkan
agar pena perekam berada pada garis alas kertas perekam.
7) Cuplikan disuntikkan. Sedikit cairan (lihat di bawah; hati-hati, jangan terjadi
beban lebih), atau larutan cuplikan dalam pelarut atsiri, ditambah sedikit udara
jika memakai DHB (agar memberikan puncak udara atau untuk menandai
waktu nol), disedot dengan semprit mikro yang dilengkapi dengan jarum
panjang. DIN kadang-kadang memberikan puncak waktu nol karena terjadi
sedikit perubahan aliran ketika cuplikan disuntikkan. Cuplikan dimasukkan ke
dalam kolom dengan menusukkan jarum secara hati-hati menembus septum
gerbang suntik (yang terbuat dari karet sedalam-dalamnya dan segera cuplikan
dikeluarkan dari semprit secepat mungkin. Kemudian semprit dicabut dengan
cepat dan dibersihkan dengan pelarut. KG yang dilengkapi dengan DHB
normal memerlukan sekurang-kurangnya 10 µl cuplikan dan DIN memerlukan
sekitar 1-5 µl.
Tabel ukuran cuplikan dan jenis detektor
Ukuran cuplikan normal Detektor
10-100 µl DHB-normal
1-10 µl DBH-volume kecil
1-10 µl DIN
0.1-5 µl DTE
8) Puncak direkam untuk menghasilkan kromatogram. Ini dilakukan pada
perekam gaftar carik atau sejenis sistem data yang menghasilkan cetakan dan
rajahan setelah pengkromatografian selesai.
2.3 Kelebihan dan kekurangan kromatografi gas
Kelebihan
1) Waktu analisis yang singkat dan ketajaman pemisahan yang tinggal.
2) Dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi
pemisahan yang tinggi.
3) Gas mempunyai vikositas yang rendah.
4) Kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat sehingga
analisis relatif cepat dan sensitifitasnya tinggi.
5) Pemakaian fase cair memungkinkan kita memilih dari sejumlah fase diam
yang sangat beragam yang akan memisahkan hampir segala macam
campuran.
Kekurangan
1) Teknik Kromatografi gas terbatas untuk zat yang mudah menguap
2) Kromatografi gas tidak mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam
jumlah besar. Pemisahan pada tingkat mg mudah dilakukan, pemisahan pada
tingkat gram mungkin dilakukan , tetapi pemisahan dalam tingkat pon atau ton
sukar dilakukan kecuali jika ada metode lain
3) Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap
fase diam dan zat terlarut
2.4 Sample yang dapat dianalisis oleh kromatografi gas
1 Produk Gas Alam
2 Kemurnian Pelarut
3 Asam Lemak
4 Residu Pestisida
5 Polusi Udara
6 Alkohol
7 Steroid
8 Minyak Atsiri
9 Flavor
10 Ganja (mariyuana)

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat-alat dan Bahan
Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini:
1) Alat destilasi air
2) Kromatografi gas spektrometer massa (GC-MS) Aglient type 5975C
3) Vial injeksi
4) Alat-alat gelas
5) Timbangan digital
Bahan
Bahan-bahan yag digunakan selama penelitian ini adalah:
1) Umbi bawang putih
2) Natrium sulfat anhidrat
3) Air suling
4) MTC (Methyl Chloride)
3.2 Metode
3.2.1 Isolasi Minyak Atsiri Dari Bawang Putih Dengan Metode Destilasi Air
1) Sebanyak 500 gram sampel diiris dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat
2) Tambahkan aquadest sampai seluruh sampel terendam sempurna di dalam labu alas bulat
3) Destilasi selama 4-5 jam
4) Minyak atsiri yang diperoleh ditampung dalam corong pisah lalu dipisahkan antara minyak
dengan air
5) Kemudian minyak atsiri yang diperoleh ditambahkan natrium sulfat anhidrat, dikocok dan
didiamkan selama 1 hari
6) Minyak atsiri dipipet dan disimpan dalam vial
7) Minyak yang diperoleh kemudian dianalisis dengan GC-MS
3.2.2 Analisis Minyak Atsiri dengan GC-MS
1) Sampel di injeksi ke dalam septum dengan cara split ijeksi sebanyak 1µL, dengan rasio
perbandingan 5:1
2) Jenis kolom kapiler dengan fase diam non polar, menggunakan kolom kapiler type Aglient
19091S-433 HP-5MS
3) Fase diam Phenyl Methyl Silox dengan suhu kolom 325°C, panjang 29,81 m diameter 250
µm dan ukuran partikel 0,25 µm, gas pembawa Helium dengan laju alir 15 ml/menit
4) Suhu kolom terprogram (Temperatur progamming) dengan suhu awal disesuaikan selama
4 menit, lalu dinaikkan perlahan-lahan dengan kenaikan 10°C/menit sampai suhu 299°C
selama 29,633 menit
5) Detektor menggunakan MS (Massa Spektrometer)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Minyak Atsiri Bawang Putih


Dari hasil destilasi diperoleh minyak atsiri berwarna kuning dan berbau khas bawang putih.
Sebanyak 500 gram umbi bawang putih menghasilkan minyak atsiri sebanyak 0,6 ml.
4.3Analisis Minyak Atsiri Umbi Bawang Putih Dengan Kromatografi Gas
Dari hasil analisis kromatografi gas minyak atsiri umbi bawang putih diperoleh 19 puncak
yang terdeteksi, seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Dari data hasil analisis diperoleh 19 senyawa yang terdeteksi dan memiliki waktu retensi
yang berbeda. Data lengkap untuk setiap senyawa seperti tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Data Hasil Kromatografi Gas
No Waktu Retensi Tinggi Puncak Area Total %
(menit) (mm2)
1 5,439 342706 6918695 1,47
2 6,466 1182955 22369243 4,74
3 9,277 5818689 125207528 26,54
4 9,498 259553 5124608 1,09
5 9,598 315472 5879293 1,25
6 10,227 734290 11911342 2,53
7 10,310 200469 3301454 0,70
8 10,390 3831682 62569536 13,27
9 11,482 1985471 32838320 6,96
10 11,879 2908551 53190039 11,28
11 12,631 3312711 58627600 12,43
12 13,216 766350 12441124 2,64
13 13,630 990425 18344257 3,89
14 13,829 217719 3603527 0,77
15 15,504 356667 6155863 1,31
16 15,784 716854 12021208 2,55
17 15,829 983368 17973697 3,81
18 16,940 179668 4118150 0,88
19 17,095 416450 9190999 1,95
Hasil dari waktu retensi yang didapatkan dipengaruhi oleh kondisi alat yang dipakai
dan penggunaan fase gerak, detektor, kolom, laju alir, suhu terprogram, fase diam dan fase
gerak sangat mempengaruhi hasil analisis. Dengan pengaturan temperatur senyawasenyawa
dalam sampel akan menguap dan akan dibawa oleh gas pembawa (Helium) menuju kolom
(HP-5MS). Zat terlarut akan teradsorpsi pada bagian atas oleh fase diam (Phenyl Methyl
Silox) dan akan merambat dengan laju rambat masingmasing komponen yang sesuai dengan
nilai koefisien partisi komponen tersebut. Komponen-komponen tersebut terelusi sesuai
dengan urutan-urutan makin membesarnya nilai koefisien partisi menuju ke detektor
(MS).Detektor mencatat sederetan sinyal akibat perubahan konsentrasi dan perbedaan laju
elusi. Pada alat pencatat sinyal akan tanpak sebagai kurva antara waktu terhadap komposisi
aliran gas pembawa.
Senyawa Dengan Waktu Retensi 5,439 menit

Dengan waktu retensi 5,439 menit mempunyai M114 diikuti fragmen m/z99, 85,75, 58 dan
45 seperti pada Gambar 3.
Spektrum massa unknown menghasilkan puncak ion molekul M114yang merupakan
berat molekul dari allyl sulfide (C6H10S). m/z 99 (M+) sesuai dengan lepasnya 14 satuan
massa dari M, yaitu lepasnya CH2 yang menghasilkan fragmen [C5H8S]+. m/z 85 (M) sesuai
dengan lepasnya 14 satuan massa dari M, yaitu lepasnya CH2 yang menghasilkan fragmen
[C4H6S]+.m/z 75 (M) sesuai dengan lepasnya 12 satuan massa dari M, yaitu lepasnya C yang
menghasilkan fragmen [C3H6S]+ . m/z 58 (M+) yang sesuai dengan lepasnya 14 satuan
massa dari M, yaitu lepasnya CH2 yang menghasilkan fragmen [C2H4S]+. m/z 45 (M+)
sesuai dengan lepasnya 12 satuan massa dari M, yaitu lepasnya C yang menghasilkan
fragmen [CH4S]+.
Berkas ion dipisah (diresolusi) berdasarkan harga m/z nya. Ion-ion itu direkam pada
alat perekam sebagai spektrum massa harga m/z nya. Intensitas puncak pada spektrum massa
berbanding lurus dengan jumlah ion yang terbentuk.
Dari hasil fragmentasi yang telah dianalisis didapatkan senyawa dengan berat molekul 114
dan diikuti fragmentasi yang sesuai dengan lepasnya ion pada satuan massa dengan
kelimpahan yang sesuai dengan senyawa tersebut (allyl sulfide) dan dibandingan dengan data
library yang ada pada NIST (National Institute of Standards and Technologi). didapatkan
hasil senyawanya yaitu allyl sulfide (C6H10S). Jadi dapat dipastikan senyawa dengan waktu
retensi 5,439 dan memiliki berat molekul 114 adalah allyl sulfide (C6H10S) dengan rumus
bangun seperti pada Gambar 4.

Dengan cara analisis yang sama dapat dilakukan pada senyawa lainnya yang terdapat dalam
lampiran.
No. Waktu Nama Rumus Berat Kadar (%)
Retensi Senyawa Molekul Molekul
1 5,439 Diallyl C6H10S 114,0 1,47
sulfide
2 6,466 Methyl allyl C4H8S2 120,0 4,74
disulfide
3 9,277 Diallyl C6H10S2 146,0 26,54
disulphide
4 9,498 UNK - - 1,09
5 9,589 UNK - - 1,25
6 10,227 Methyl allil C4H8S3 151,9 2,53
trisulfide
7 10,310 Isopulegol C10H18O 154,0 0,70
8 10,390 Citronella C10H18O 154,1 13,27
9 11,482 -citronellol C10H20O 156,1 6,96
10 11,879 Geraniol C10H18O 154,1 11,28
11 12,631 Diallyl C6H10S3 178,0 12,43
trisulfide
12 13,216 Citronelly C12H22O2 198,1 2,64
acetate
13 13,630 Neryl acetate C12H19O2 195,2 3,89
14 13,829 -elemene C15H24 204,1 0,77
15 15,504 -cadinene C15H24 204,2 1,31
16 15,784 Diallyl C6H10S4 209,9 2,55
tetrasulphide
17 15,829 Cyclohexane C15H26O 222,0 3,81
18 16,940 -cadinol C15H26O 222,1 0,88
19 17,095 -cadinol C15H26O 222,2 1,95

Tiap senyawa memiliki waktu retensi dan berat molekul tertentu dengan fragmentasi
pada berkas ion yang dipisah atau diresolusi berdasarkan harga m/z nya. Ion-ion yang
dihasilkan dicatat pada alat perekam dan menghasilkan puncakpuncak fragmentasi sebagai
spektrum massa harga m/z nya. Intensitas puncak pada spectrum massa berbanding lurus
dengan jumlah ion yang terbentuk.
Dari hasil data analisis diatas terdapat 19 senyawa yang dapat terdeteksi, namun
terdapat 2 senyawa yang tidak teridentifikasi yaitu senyawa ke-4 dengan waktu retensi 9,498
menit dan senyawa ke-5 dengan waktu retensi 9,598 menit, karena tidak adanya data base
yang tersedia. Dari ke-19 senyawa diatas diallyl disulphide dengan waktu retensi 9,277 menit
dan dengan berat molekul 146 merupakan senyawa yang memiliki kadar terbanyak di antara
senyawa lainnya, yaitu memiliki kadar 26,539 %.
Pada umumnya komponen terpenting pada umbi bawang putih yang dapat
menghasilkan aromakhas adalah sulfur, dan komponen utama pada bawang putih adalah
diallyl disulfide, dillyl trisulfida dan allyl propyl disulfide.
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Kromatografi gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan
deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatau campuran.
2. Prinsip Kromatografi Gas ada 2 jenis yaitu:
a. Kromatografi gas-cair (KGC)
Pada KGC ini, fase diam yang digunakan adalah cairan yang diikat pada
suatu pendukung sehingga solute akan terlarut dalam fase diam. Mekanisme
sorpsi-nya adalah partisi.
b. Kromatografi gas padat (KGP)
Pada KGP ini, digunakan fase diam padatan (kadang-kadang polimerik).
Mekanisme sorpsi-nya adalah adsorpsi
3. Cara kerja Kromatografi Gas
1) Instrumen diperiksa, terutama jika tidak dipakai terus-menerus.
2) Aliran gas ke kolom dimulai atau disesuaikan.
3) Kolom dipanaskan sampai suhu awal yang dikehendaki.
4) Pemanas yang terpisah untuk injektor dan detektor dijalankan atau
disesuaikan.
5) Aliran gas pembawa melalui kolom dinaikkan sampai 25–30 ml/menit untuk
kolom kemas 3 mm (atau 6 mm, tapi lebih jarang) atau sampai laju aliran
optimum jika ini diketahui.
6) Arus ke detektor hanya dijalankan jika gas pembawa mengalir untuk
melindungi kawat pijar.
7) Cuplikan disuntikkan.
8) Puncak direkam untuk menghasilkan kromatogram.
4. Kelebihan dan kekurangan kromatografi gas
Kelebihan
1) Waktu analisis yang singkat dan ketajaman pemisahan yang tinggal.
2) Dapat menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi
pemisahan yang tinggi.
3) Gas mempunyai vikositas yang rendah.
4) Kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat sehingga
analisis relatif cepat dan sensitifitasnya tinggi.
5) Pemakaian fase cair memungkinkan kita memilih dari sejumlah fase diam
yang sangat beragam yang akan memisahkan hampir segala macam
campuran.
Kekurangan
1) Teknik Kromatografi gas terbatas untuk zat yang mudah menguap.
2) Kromatografi gas tidak mudah dipakai untuk memisahkan campuran dalam
jumlah besar. Pemisahan pada tingkat mg mudah dilakukan, pemisahan pada
tingkat gram mungkin dilakukan , tetapi pemisahan dalam tingkat pon atau ton
sukar dilakukan kecuali jika ada metode lain.
3) Fase gas dibandingkan sebagian besar fase cair tidak bersifat reaktif terhadap
fase diam dan zat terlarut.
4.2 Saran
Demikian makalah ini di susun, tentunya banyak kekurangan baik dalam segi
isi atau penyampaiannya. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Penulis juga berharap kromatografi gas yang telah disajikan dalam bab
pembahasan dapat dijadikan referensi ataupun tambahan wawasan bagi pembaca
sehingga dapat membedakannya dan dapat menerapkannya secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Ibnu Gholib Gandjar,DEA.,Apt , Abdul Rohman, M.Si.,Apt. Kimia Analisis Farmasi


Pengantar Prof. Dr. Sudjadi, M.S., Apt.2008.Yogyakarta.

B.Roz, Bonmati, G. Hagenbach, P. Valentin dan G. Guiochon, J. of Chromatog. Sci. 14


(1976) 367.

Roy J. Gritter, James M. Bobbitt, Arthur E. Schwarting.1991.Pengantar Kromatografi.Edisi


kedua:Bandung.

Modern practice of gas chromatography, R. L. Grob, Wiley Interscience, New York (1977)

Amin, Saeful, dkk. 2014. Analisis Minyak Atsiri Umbi Bawang Putih (Allium sativum Linn.)
Menggunakan Kromatografi Gas Spketrometer Massa. 11(1): 37-45.

Anda mungkin juga menyukai