Anda di halaman 1dari 2

http://iaiglobal.or.id/v03/PPL/email_ppl-1123.

html

Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) mengesahkan
tiga Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku efektif pada 1 Januari
2020. PSAK tersebut yakni: PSAK 71 Instrumen Keuangan yang mengadopsi IFRS 9, PSAK
72 Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan yang mengadopsi IFRS 15, dan PSAK 73
Sewa yang mengadopsi IFRS 16. 
Dalam proses penerapannya, tentunya tidak hanya laporan keuangan yang berubah secara
signifikan tetapi juga aspek perpajakan. Sebagai contoh, jika pada PSAK 23 pengakuan
pendapatan berbasis pada perpindahan risiko, pada PSAK 72 pengakuan ini berbasis pada
perpindahan kontrol yang menyebabkan entitas dapat mengakui pendapatannya lebih cepat
atau lebih lambat. Perbedaan pengakuan pendapatan dan beban ini tentu berpengaruh
terhadap perhitungan pajak penghasilan (PPh) badan. Selain itu, penerapan PSAK 71
kemungkinan besar akan meningkatkan cadangan perbankan yang tidak
bisa deductible berdasarkan peraturan perpajakan. Sebagai akibatnya, perbedaan laba
akuntansi dan laba perpajakan akan semakin besar.
Oleh karena itu, melalui pelatihan ini diharapkan peserta mampu memahami aspek
perpajakan yang akan terjadi sebagai dampak dari berlaku efektifnya PSAK 71, PSAK 72 dan
PSAK 73. Sehingga industri dapat mempersiapkan diri dalam pengambilan keputusan bisnis
yang strategis.

RISIKO PENERAPAN PSAK 71, PSAK 72, dan PSAK 73 terhadap

https://news.ddtc.co.id/pengaruh-penerapan-psak-72-terhadap-perpajakan-17279d?
page_y=3578

PSAK 72
PSAK 72 mengatur perlakukan akuntansi terkait pedapatan kontrak dari pelanggan
berdasarkan principle-based approach, di mana perusahaan harus mengandalkan
professional judgment yang dapat memunculkan multitafsir terhadap transaksi berbasis
kontrak. Dengan demikian bisa terjadi perbedaan antara perusahaan dan perpajakan.
PSAK 72 mensyaratkan perusahaan untuk menggunakan estimasi saat penentuan harga
transaksi. Pendapatan harus dicatat sesuai dengan kontrak yang disepakati. Jika di dalam
kontrak terdapat unsur pengembalian barang, maka pendapatan yang dicatat oleh perusahaan
harus memperhitungkan kemungkinan pengembalian barang yang terjadi dalam masa kontrak
tersebut berdasarkan risiko dari kerja sama dengan pelanggan tersebut.
Pengakuan pendapatan dalam perpajakan tidak memperhitungkan pengembalian barang pada
awal pencatatan, namun diberlakukan melalui retur penjualan. Dengan demikian akan
menyebabkan perbedaan waktu dalam pencatatan pendapatan secara komersial dan fiskal.
Pada awal transaksi penjualan, pendapatan yang diakui secata komersial akan lebih kecil
dibandingkan dengan pendapatan yang diakui secara fiskal, sehingga dasar perhitungan
penghasilan kena pajak pada akhir tahun akan mengalami perbedaan antara komersial dan
fiskal. Perbedaan waktu pengakuan pendapatan ini perlu diatasi dengan pembuatan kertas
kerja rekonsiliasi. Perbedaan pengakuan pendapatan ini akan memengaruhi biaya langsung
terkait pendapatan dan harga pokok penjualan. Selain itu kertas kerja rekonsiliasi tidak hanya
digunakan dalam perhitungan PPh tetapi juga diperlukan dalam pelapoan pajak pertambahan
nilai (PPN) sebagai kontrol atas penjualan. Penerapan perubahan kebijakan berdasarkan
PSAK 72 ini bersifat retroaktif, sehingga muncul potensi pengakuan pendapatan secara
berganda.
Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono,
pengurangan potential tax dispute terkait penerapan PSAK 72 dapat dilakukan jika
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan peraturan yang mengacu pada Pasal 17
Peraturan Pemerintah (PP) No. 94/2010. Peraturan pemerintah tersebut merupakan aturan
turunan dari UU PPH sehingga DJP memiliki wewenang untuk memberi penegasan
mengenai penerapan matching principle dan doktrin realisasi. Dengan demikian, penghasilan
dan biaya yang masih bersifat estimasi tidak diperkenankan untuk tujuan PPh.
https://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-psak-72-akan-memicu-sengketa-pajak-
perusahaan-pasca-pelaporan-spt?page=2

Anda mungkin juga menyukai