Anda di halaman 1dari 16

TUGAS FILSAFAT HUBUNGAN INTERNASIONAL

MAKALAH PARADIGMA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Di susun oleh :
De’ajeng Azzura (10020221044)
Rif’ati Khoridatin Nabila (10020221064)
Muhammad Rhenaldy Ferdiansyah (10020221056)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
Kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Paradigma dalam Ilmu Hubungan
Internasional" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Hubungan Internasional. Selain
itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Paradigma-Paradigma yang ada dalam
Ilmu Hubungan Internasional para pembaca dan juga bagi kami sebagai penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Nur Dina Camelia, S.Sos., M.A. sebagai Dosen
Mata Kuliah Filsafat Hubungan Internasional. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang
membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …….………………………………………………………….…………… i

KATA PENGANTAR …………….………………….……….………………………………… ii

DAFTAR ISI …......……………….……………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………. 1
2.1 Rumusan Masalah …………………………………………………………………… 1
3.1 Tujuan Penulisan …………………………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Paradigma Filsafat Hubungan Internasional ………………….………… 2
2.1 Macam-Macam Paradigma Filsafat Hubungan Internasional …………….………… 3
3.1 Empat Perdebatan Besar (Fase 2 dan 3) ……………………………….….…...……. 4

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan ………………………………………………………….……………… 5

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………....………… 6


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan terakhir ini telah menampilkan kajian hubungan internasional secara lebih
terpusat dan menyeluruh. Satu hal yang sangat menarik adalah perkembangan kajian hubungan
internasional ini diiringi pula dengan perdebatan-perdebatan yang mendasar terhadap dua hal
yang berkaitan satu sama lain, yaitu perdebatan tentang apakah ilmu hubungan internasional
merupakan disiplin ilmu tersendiri atau tidak, dan kedua perdebatan tentang paradigma yang
mendasari perkembangan teori dalam kajian hubungan internasional,Dalam tulisan ini akan
dititikberatkan pada perdebatan kedua dan ketiga.Hal lain yang menarik dalam perdebatan
kedua ini adalah munculnya paradigma-paradigma utama dalam kajian hubungan internasional
yang satu sama lain saling bertentangan. Paradigma-paradigma utama tersebut antara lain adalah
idealime, realisme, behavioralisme, dan strukturalisme yang muncul sejak tahun 1940-an hingga
tahun 1980-an.

1.2 Rumusan Masalah

1.Apa itu Paradigma dalam Hubungan Internasional?


2.Apa saja Macam Paradigma dalam Hubungan Internasional?
3.Apa dan Bagaimana empat perdebatan besar itu?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi Paradigma dalam Hubungan Internasional.


2. Untuk mengetahui Macam Paradigma dalam Hubungan Internasional.
3. Untuk mengetahui Empat Perdebatan Besar itu.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Paradigma atau perspektif adalah cara pandang terhadap sesuatu dan cara pandang terhadap
lingkungan sekitar.Cara pandang terhadap sesuatu dan terhadap lingkungan sekitar ini secara
otomatis akan mempengaruhi cara berpikir dan perilaku.Hubungan Internasional, adalah cabang
dari ilmu politik, merupakan suatu studi tentang persoalan-persoalan luar negeri dan isu-isu
global di antara negara-negara dalam sistem internasional, termasuk peran negara-negara,
organisasi-organisasi antarpemerintah, organisasi-organisasi nonpemerintah atau lembaga
swadaya masyarakat, dan perusahaan-perusahaan multinasional.Jadi dapat
disimpulkan,pengertian Paradigma atau prespektif dalam ilmu Hubungan Internasional adalah
Cara pandang terhadap sesuatu dan cara Pandang terhadap lingkungan Internasional itu
sendiri.Sesuatu disini dapat diartikan dengan para Aktor-aktor HI,yang kemudian mempengaruhi
cara bertindak dan berpikir.

2.2 Macam-Macam Paradigma

A. Paradigma Idealis

Idealisme adalah aliran pemikiran yang terinspirasi dari tokoh politik seperti Plato, Aristoteles,
Cicero, Woodrow Wilson, Dag Hammarskjold, dan Lester Pearson yang dimana mereka percaya
bahwa terdapat nilai moral yang bersifat universal yang harus ditaati dengan didasari keyakinan
dalam kebaikan yang melekat pada diri manusia. Aliran ini mempercayai bahwa moralitas,
organisasi, hukum dan perjanjian akan melawan sifat anarkis internasional. Idealis yang
mempercayai adanya nilai moral serta kebaikan yang melekat pada diri manusia maka manusia
pasti akan berusaha taat dengan nilai-nilai yang ada.
Paradigma Idealis ini muncul atau lahir pasca perang dunia pertama Perang Dunia Pertama
terjadi dari tahun 1914 sampai 1918 jadi di sini lahir sekitar 1918 akhir atau 1919 awal. Apa isi
dari paradigma Idealis? paradigma Idealis bilang bahwa pada dasarnya semuanya ini semua
pihak semua negara ingin yang namanya perdamaian. Karena semua negara ingin yang namanya
perdamaian maka semua negara ini akan berusaha mencapai yang namanya perdamaian
caranya.menurut para ahli salah satu cara untuk mencapai perdamaian adalah dengan membentuk
institusi membentuk organisasi internasional ataupun membentuk lembaga internasional.lembaga
internasional ini isinya adalah atau anggotanya adalah negara-negara yang ada di dunia
ini,negara-negara yang ada di dunia ini bergabung menjadi satu institusi,menjadi satu
lembaga.Lalu dibuatlah rule of Law atau aturan aturan mana yang diperbolehkan dalam sistem
internasional dan mana yang tidak diperbolehkan dalam sistem internasional.

B. Paradigma Realis

Realisme adalah aliran pemikiran yang berasal dari tokoh Thucydides, Niccolo Machiavelli,
Thomas Hobbes, karya-karya dari Hans Morgenthau serta Kenneth Waltz dan Robert Keohane.
Mereka berpendapat bahwa manusia memiliki sifat egois yang mementingkan diri sendiri dan
tidak mengenal adanya pemerintahan internasional.

Paradigma Realisme paradigma yang lahir menjelang terjadinya perang dunia kedua.Dalam
Aliran ini yang namanya perdamaian itu tidak semudah yang diomongin idealis.Jadi realis ini
menganggap bahwa perdamaian itu mahal sekali.Karena mahal maka harus ada yang namanya
balance of power.Balance of power ini adalah kekuatan,Permisalannya kita menggunakan
Amerika.Amerika Adalah negara yang kuat Amerika itu nggak boleh dibiarkan sendiri menurut
paradigma realisme,harus ada negara kuat lainnya untuk mengimbangi kekuasaan Amerika
dengan tujuan Agar Amerika tidak semena-mena.Jika sudah seperti itu,perdamaianakan
terbentuk.
Jadi balance of power ini tujuannya adalah untuk menjaga perdamaian tetap ada. Realis.
Realisme mengklaim bahwa dunia adalah tempat yang berbahaya maka untuk mencegah
dilemma keamanan harus ditingkatkan kekuatan militernya. Kemudian, perilaku moral sangat
beresiko karena dapat merusak kemampuan suatu negara untuk melindungi diri. Selain itu negara
merupakan aktor yang paling penting bagi realis dan bersifat rasional. Mereka berfokus pada
potensi konflik yang terjadi di negara-negara. Sehingga keamanan harus benar-benar di
tingkatkan. Kemudian Realis adalah paradigma yang sangat menganut Power Max Straight atau
kekuasaan adalah segala-galany, siapa yang kuat dia yang berkuasa.

C. Paradigma Tradisionalis

Paradigma Tradisionalis muncul tepat sebelum terjadinya Perang Dunia Kedua perang dunia
kedua dimulai tahun1939-1944/1945.Paradigma tradisional di sini menitikberatkan negara
sebagai unit analisis artinya negara ini adalah objek yang dianalisis.Negara yang dimaksud dari
paradigma tradisionalis ini adalah orang-orang atau sekumpulan manusia.Jadi pada dasarnya
paradigma tradisionalis ini menitikberatkan analisis pada individu pada manusia Yang
berkumpul di dalam satu negara,manusia menjadi objek yang dianalisis karena Manusia itu
memiliki empat hal,yang pertama,value atau nilai-nilai yang diyakini.Yang kedua,punya
kepentingan.Yang ketiga,Manusia punya kebutuhan dan yang keempat punya tendensi atau
punya niat dan punya tujuan.Karena Manusia memiliki empat Hal tersebut,manusia harus di
Analisis.

Dalam Hubungan Internasional Hal yang dianalisis itu bukan manusianya melainkan negaranya,
dengan asumsi negara adalah sekumpulan manusia. karakter manusia, sifat manusia, perilaku
manusia, menggambarkan perilaku negara dan sebaliknya. Selain itu, paradigma tradisional ini
juga sangat menekankan fokus pada aspek aspek historis atau aspek sejarah. Dalam Paradigma
ini di sebutkan bahwa dalam memahami Hubungan Internasional dalam mempelajari Hubungan
Internasional, kita harus lihat fakta-fakta sejarah. Karena sejarah membicarakan tentang masa
lalu, sedangkan masa lalu ini sendiri punya dampak yang signifikan terhadap masa sekarang dan
masa sekarang ini nanti akan menentukan masa depan Seperti apa Jadi alurnya adalah, masa lalu
menentukan masa sekarang, masa sekarang akan menentukan masa depan Seperti apa Jadi untuk
membicarakan konteks masa depan ataupun konteks masa sekarang,titik puncaknya adalah masa
lalu atau paradigma tradisional.
D. Paradigma Behavioralisme

Behavioralisme adalah sebuah pandangan yang berfokus pada perilaku aktor yang sangat
berpengaruh dengan fokus pada perilaku aktor dan respon terhadap suatu masalah dalam
hubungan internasional dan perlu didukung oleh data statistik. perspektif behavioralisme lebih
menitikberatkan pada perilaku pembuat kebijakan. Menurut prinsip/pemikiran behavioralisme,
negara adalah pembuat keputusan politik (decision maker). Dengan kata lain, yang dipahami
negara dalam perspektif behavioralisme adalah sekelompok orang yang bertanggung jawab
mengambil keputusan dalam negara. Dan tindakan pemerintah adalah tindakan yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang bertindak atas nama negara untuk memahami perilaku negara.

Tujuan dari behavioralisme dalam Hubungan Internasional adalah untuk melakukan hal yang
sama pada dunia hubungan internasional, dan tujuan utama mereka adalah untuk mengumpulkan
data empiris tentang hubungan internasional; sebaiknya data dalam jumlah besar; kemudian
dapat digunakan untuk pengukuran, klasifikasi, generalisasi dan akhirnya untuk validasi
hipotesis dalam bentuk pola perilaku yang dijelaskan secara ilmiah. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa behavioralisme, bukanlah teori baru dalam hubungan internasional, tetapi
behavioralisme metode baru dalam mempelajari hubungan internasional.

Contoh studi kasus yang dapat di analisis dengan pendekatan behavioralisme adalah studi kasus
Indonesia dan Australia yang memiliki kerjasama intensif dalam penanggulangan terorisme.
Dimana pemerintah Indonesia berencana untuk mengintensifkan kerjasama dengan Australia
untuk memerangi aksi teroris. Mewakili pemerintah, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri
Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, mengatakan dirinya di daulat menjadi keynote
speaker pada Forum Penanggulangan Pendanaan Terorisme yang digagas Indonesia dan
Australia, yang dihadiri oleh 17 negara peserta. Seperti dilansir berbagai media Australia, Luhut
menyebutkan data tersebut menunjukkan ada ratusan WNI yang telah kembali dari Negara Islam
Irak dan Suriah (ISIS).

Oleh sebab itu inti dari behavioralisme adalah bagaimana menemukan pola perilaku antar aktor
hubungan internasional dan penyebabpenyebabnya. Pada awalnya behavioralisme berawal dari
sebuah aliran dari teori dalam rumpun ilmu ekonomi yang disebut dengan ekonomi
behavioralistik. Sejak tahun 1970-an, disiplin ekonomi ini telah membawa para psikolog,
ekonom, ilmuwan otak, dan lainnya dalam upaya untuk memahami perilaku manusia dengan
lebih baik. Sintesis wawasan dari masing-masing disiplin ini telah memperjelas pemahaman kita
tentang fenomena yang sulit dijelaskan tanpa asumsi behavioralisme.

E. Paradigma Globalis/Strukturalisme

Salah satu paradigma yang ada di dalam studi Hubungan Internasional adalah paradigma
strukturalisme yang juga kadang disebut globalism. Paradigma ini lahir untuk mengkritik
perspektif Marxisme, meskipun sebenarnya perspektif ini juga dipengaruhi oleh ide-ide yang
secara tidak langsung berasal dari pemikiran perspektif Marxisme yang lahir tidak berasal dari
kajian Hubungan Internasional, melainkan berfokus pada ekonomi. Marxisme sendiri adalah
suatu pendekatan kritis yang mempertanyakan pendekatan yang digerakkan oleh kebijakan
utama (Realisme dan Liberalisme) dalam ilmu Hubungan Internasional. Di sisi lain, Marxisme
sekaligus sebagai pendekatan klasik melalui tradisi filosofis dan sosiologis dari nama teorinya,
Karl Marx (1818–1883). Strukturalisme memang memiliki penekanan fokus yang berbeda dari
perspektif Hubungan Internasional sebelumnya seperti Realisme dan Liberalisme, tetapi kajian
mengenai strukturalisme tetap memiliki relevansi dan korelasi yang kuat dengan studi Hubungan
Internasional. Hal inilah yang menyebabkan strukturalis dapat dikategorikan sebagai salah satu
paradigma dalam ilmu Hubungan Internasional. Strukturalisme dianggap sebagai kritikan
terhadap Realisme dan Liberalisme dengan tujuan menciptakan dunia yang lebih adil karena
lahirnya sistem kapitalisme telah membuat pandangan dan paradigma yang tidak adil, Hubungan
ekonomi global yang sekarang ini adalah rancangan sedemikian rupa demi menguntungkan
kelas-kelas sosial tertentu sehingga menciptakan kelas-kelas sosial yang tidak setara. Ketiga
perspektif ini memiliki berbagai persamaan seperti kesamaan antara Strukturalisme dengan
Realisme yaitu terdapat adanya konflik, namun sumber konfliknya berbeda. Dalam Realisme,
konflik dipicu karena “conventional state to state” (bentrokan kepentingan antar negara),
sedangkan dalam Strukturalisme in merupakan konflik adanya penguasaan atau eksploitasi
sumber daya alam. Strukturalisme memiliki kesaman dengan Liberalisme. Karena kedua
pemikiran ini sama-sama mengakui adanya aktor non-negara, namun Strukturalisme
memandangan institusi internasional sebagai kaki-tangan dari kapitalisme.
Paradigma ini menjelaskan bahwa aktor utama dalam perspektif ini terdiri dari negara dan non-
negara yang saling berinteraksi dan juga organisasi non negara, Multinational Corporation
(MNC), serta individu yang berpengaruh. Menurut para globalis, ini ditekankan sehingga
terbentuk suatu struktur Internasional. Beberapa penganut globalis baik dari aliran Marxis
maupun dari non-Marxis telah mendefinisikan karakteristik dari sistem internasional sekarang
sebagai sistem kapitalis. Berbagai aktor global saling menawar, sepakat, dan membangun koalisi
di dalam maupun lintas batas sehingga membangun suatu struktur global yang kompleks.
Strukturalis juga mengawali asumsi bahwa ekonomi adalah sebuah kunci untuk memahami,
kreasi, evolusi, dan fungsi dari sistem dunia ini.

Menurut salah satu pemikir strukturalis, negara dibagi menjadi tiga kelas. Kelas pertama adalah
negara periferi (Negara Pinggiran) yang artinannya Negara dengan pengetahuan dan teknologi
yang paling rendah dan hanya dapat menyediakan barang-barang yang mentah dan langsung
dijual kepada negara lain tanpa diproses unifikasi atau diolah. Kelas yang berikutnya yaitu
negara semi periferi (Negara semi Pinggiran) yang dimana negara dengan kemajuan pengetahuan
dan teknologi kelas menengah dan dapat membeli barang mentah dari negara periferi untuk di
unifikasi atau menjualnya kembali barang produksinya kepada negara yang lain. Terakhir adalah
negara core (Negara Inti) dimana negara yang kuat dengan pengetahuan dan teknologi paling
tinggi dan maju. Negara ini sebagai pengkonsumsi hasil produksi dari negara semi periferi atau
meunifikasi produk dari emiperiferi untuk disempurnakan dan kemudian dijual kembali ke
negara periferi. Paradigma Strukturalis/Globalis termasuk ke dalam teori dalam peristiwa The
Great Debates yang dimana perdebatan dengan nama Inter-Paradigm Debate. Perdebatan metode
antara pemikir Realis, Liberalis dan Globalis dengan inti siapa aktor dalam konteks praktek
hubungan internasional.

2.3 Perdebatan Besar

Dalam Teori Hubungan Internasional, ada yang dikenal dengan istilah GREAT DEBATES, yaitu
merujuk pada pedebatan para teoritisi Hubungan Imternasional. Disiplin Hubungan Internasional
sangat dipengaruhi oleh perjalanan sejarah, namun tidak ada satu ide tunggal yang bisa diterima
secara bersama.

A. Traditionalisme vs Behavioralisme

Apa yang disebut tradisionalisme disini adalah posisi yang mewakili teori yang diperdebatkan
sebelumnya, yaitu realisme dan liberalisme. Akan tetapi, dalam kenyataannya, perdebatan dari
posisi tradisionalisme lebih banyak diwakili oleh kalangan realisme ketimbang liberalisme.
Pemikir tradisionalism yang dimaksud adalah para pemikir idealisme dan para pemikir realisme

Perdebatan kedua ini muncul pada saat banyak munculnya (mantan) akademisi ilmu alam di
Amerika Serikat yang berusaha mengkritik usaha-usaha para tradisionalis untuk menggambarkan
keadaan dunia. Akademisi ilmu alam ini nantinya menduduki posisi para behaviouralis yang
mencoba untuk menerapkan metode ilmu alam ke dalam teori Hubungan Internasional. Menurut
para behaviouralis, metode yang diterapkan para tradisionalis pada saat menggambarkan dunia
tidaklah ilmiah. Kalangan tradisionalis dianggap hanya mengandalkan wisdom literature saat
melihat fenomena hubungan internasional. Tidak dapat dipungkiri, kebanyakan para tradisionalis
juga berasal dari kalangan diplomat, jurnalis dan tokoh hukum yang kemudian mencoba untuk
menuliskan keadaan dunia dengan berdasarkan pengalaman mereka masing-masing. Sehingga
dalam kasus tertentu, subjektifitas bisa masuk ke dalam teori yang mereka buat. Dengan kata
lain, teori hasil karya kalangan tradisionalis tidaklah objektif, yang karenanya tidak scientific.

Behaviouralisme mencoba untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh


tradisionalisme. Behaviouralisme menerapkan metode-metode seperti rational game theory
maupun survei untuk mengetahui bagaimana sebuah negara bertindak dalam hubungan
internasional. Behaviouralisme dalam melakukan penelitian melakukan pengumpulan data-data
historis secara lengkap untuk dianalisis.Pada akhirnya, walaupun dalam beberapa kasus
behaviouralisme mencoba mendiskreditkan tradisionalisme, secara umum hasil penelitian
behaviouralisme menunjukkan bahwa negara-negara bersifat realis. Bedanya mereka
menggunakan pendekatan ilmiah untuk menemukan jawaban terhadap apa yang terjadi di dunia.
Dengan kata lain, behaviouralisme adalah realisme yang scientific.
Perdebatan kedua adalah soal perdebatan tentang cara peneliti meneliti fenomena internasional.
Jika merujuk pada realitas, peristiwa masa lalu seperti phelopenesian war dapat dijadikan contoh.
Pheloponesian war adalah perang antara anthena vs Spartans. Athena yang terkenal dengan
kekuatan para pemikirnya, dapat dikalahkan dengan Spartans yang terkenal dengan agresifitas
militer sebagai kekuatannya. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa dalam kondisi perang,
dibutuhkan physical power dari sekedar philosophical power.

B. Inter-Paradigme Debate (Realisme-Liberalisme-Globalisme)

Perspektif realisme dan liberalisme merupakan perspektif yang fundamental dalam studi
Hubungan Internasional dan memiliki pengaruh yang kuat terhadap bagaimana para akademisi
maupun masyarakat luas dapat menjabarkan fenomena-fenomena dalam sistem internasional.
Perdebatan antara realisme dan liberalisme tidak hanya selesai begitu saja. Namun perdebatan ini
masuk ke tingkatan yang baru yaitu perdebatan neo-liberalisme dan neo-realisme atau Second
Great Debate. Ketika realisme terlalu skeptis dan liberalisme terlalu utopis muncullah perdebatan
neo sebagai pencari titik terang pada perdebatan sebelumnya. Perspektif awal yang saling
bertolak belakang, sekarang tidak lagi berfokus kepada sifat manusia namun lebih condong
kepada sistem internasional, struktur internasional, dan institusi internasional maka dari itu
perdebatan Neo ini sering disebut juga sebagai perdebatan inter-paradigm.

Neo-liberalisme dan neo-realisme pada dasarnya memiliki persepsi dan asumsi yang sama,
keduanya mencoba memahami fenomena yang sama hanya saja dilihat dari sisi koin yang
berbeda. Neo-liberalis muncul diantara tahun 1950 hingga tahun 1970-an dimana sistem
internasional sedang panas-panasnya dengan perdagangan, teknologi, komunikasi dan investasi
yang terjadi di negara liberal barat dan neo-realisme yang gempor-gempornya muncul sekitar
1970-an sebagai pengkritik dari neo-liberalisme tidak hanya itu, turning point pada perdebatan
ini juga ketika meningkatnya insitusi-institusi internasional, terjadi pluralisme di dunia, dan
integrasi yang di Eropa. Pemicu awal perdebatan ini adalah neo-realisme berpendapat bahwa
“aktor hubungan internasional pada akhirnya akan tunduk oleh struktur internasional, dan
kemungkingan besar tidak memiliki pilihan dalam menentukan arah kebijakan negara. Struktur
internasional akan membatasi dalam pengambilan keputusan” (Jackson & Sorensen, 1999: 142-
143). Lalu kedua perspektif tersebut meyakini bahwa sistem internasonal merupakan sistem yang
tidak bisa dipisahkan dari anarki, dimana tidak ada aktor hubungan internasional yang dapat
mengatur bagaimana negara bertindak sehingga keteraturan dalam sistem internasional sulit
dicapai. Itulah pokok awal yang diperdebatkan dalam perdebatan neo.

Dalam perdebatan kaum neo-realis dan neo-liberalis terdapat poin-poin yang menjadi pokok
perdebatan. Pertama adalah kepercayaan dari kaum neo-liberal dan neo-realis bahwa sistem
internasional adalah sebuah anarki yang berarti sistem internasional merupakan sistem dimana
tidak ada aktor hubungan internasional yang dapat mengatur negara secara total. Kedua yaitu
kerjasama dan kemajuan adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi dalam pandangan kedua
perspektif, walaupun kaum neo-realis menganggap hal itu sulit dicapai apabila tidak terjadi
balance of power antar negara. Lalu, keuntungan dalam kerjasama menjadi perhatian bersama
keduanya dan yang membedakan adalah distribusi keuntungan yang diperoleh tiap negara.
Keempat bahwa perbedaan tujuan dari kedua perspektif, Neo-liberalisme menganggap bahwa
kesejahteraan ekonomi sebagai tujuan utama negara sedangkan neo-realis beranggapan survival
merupakan tujuan utama negara.

Berikutnya, tentang pandangan kaum neo-liberal dan neo-realis tentang tindakan negara dalam
menggapai tujuan. Neo-liberal beranggap bahwa tindak negara akan dipengaruhi oleh maksud
dari negara tersebut sehingga tindakan sebuah negara menyesuaikan tujuan sebuah negara,
sedangkan kaum neo-realis beranggapan bahwa negara memiliki suatu ketidaktentuan sehingga
cenderung melihat kemampuan negara lainnya sebagai patokan dalam mengambil tindakan.
Terakhir adalah pandang tentang rezim dan institusi, kaum neo-realis beranggapan sebuah rezim
tidak terlalu dibutuhkan karena mereka beranggapan bahwa dua hal tersebut tidak memiliki
kekuatan yang cukup untuk mengatur sebuah negara, sedang neo-liberalis beranggapan bahwa
rezim dan institusi sangat menentukan peran negara dalam sistem internasional karena negara
akan cenderung bekerja satu sama lain.
Terciptanya Liga Bangsa-Bangsa dan juga kemunculan integrasi di Eropa merupakan simbol
‘kemenangan’ argumen kaum liberal mengenai aspek kerjasama. Realis tidak percaya dengan hal
yang bersifat koorporasi, padahal, koorporasi sangat diperlukan untuk mencapai tujuan negara.
Hal ini akhirnya menggambarkan bagaimana reaksi neorealis dan neoliberalis terhadap institusi
dan rezim. Dalam perdebatan inter-paradigm ini juga terdapat hal-hal yang pokok-pokok yang
ingin dicapai atau sering disebut sebagai gains. Yang pertama adalah neo-liberal menekankan
untuk mencapai kemajuan yang absolut. Sementara kaum neo-realis menekankan pada kemajuan
yang relatif, absolut disini berarti sebuah negara tertarik untuk meningkatkan kekuatan dan
pengaruh mereka, sedangkan relatif berarti negara peduli dengan jumlah kekuatan dan pengaruh
yang didapat dari negara lain. Kedua dalam konteks kepentingan nasional, kaum neo-realis akan
bertanya apa yang didapatkan dari kerjasama internasional tersebut sedangkan neo-liberal akan
bertanya siapa yang akan mendapat lebih dari kerja sama tersebut.

Dari penulisan diatas dapat disimpulkan bahwa perdebatan antar neo-liberalis dengan neo-realis
adalah perdebatan yang berakar dari perdebatan liberalis dan realis. Hal tersebut dapat
dibuktikan dari berbagai asumsi dasar dari kedua perspektif tersebut. Namun tetap ada perbedaan
mendasar diantara keduanya. Neo-realis lebih menekankan struktur sistem internasional dan
kekuatan, sedangkan kaum neo-liberal lebih menekankan mengenai kerja sama dan institusi
sebagai dasar pemikiran mereka. Perdebatan neo-liberalis dengan neo-realis ini bukanlah tentang
siapa yang paling benar dan siapa yang paling tepat, namun perdebatan ini bertujuan mencari
solusi dan memberikan output untuk penstudi HI agar dapat memahami fenomena-fenomena
internasional yang ada kedepannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Tulisan ini telah memberikan gambaran tentang perjalanan paradigma dalam ilmu hubungan
internasional sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki kekhususan tersendiri. Perdebatan
paradigma (The Great Debate) adalah bukti kekuatan Studi Hubungan Internasional dalam
memberikan tawaran berbagai macam teori dalam memahami dan menjelaskan fenomena
hubungan internasional. Paradigma tradisional di sini menitikberatkan negara sebagai unit
analisis artinya negara ini adalah objek yang dianalisis. Negara yang dimaksud dari paradigma
tradisionalis ini adalah orang-orang atau sekumpulan manusia. Jadi pada dasarnya paradigma
tradisionalis ini menitikberatkan analisis pada individu pada manusia Yang berkumpul di dalam
satu negara, manusia menjadi objek yang dianalisis karena Manusia itu memiliki empat hal, yang
pertama, value atau nilai-nilai yang diyakini. Tujuan dari behavioralisme dalam Hubungan
Internasional adalah untuk melakukan hal yang sama pada dunia hubungan internasional, dan
tujuan utama mereka adalah untuk mengumpulkan data empiris tentang hubungan internasional;
sebaiknya data dalam jumlah besar; kemudian dapat digunakan untuk pengukuran, klasifikasi,
generalisasi dan akhirnya untuk validasi hipotesis dalam bentuk pola perilaku yang dijelaskan
secara ilmiah. Perdebatan neo-liberalis dengan neo-realis ini bukanlah tentang siapa yang paling
benar dan siapa yang paling tepat, namun perdebatan ini bertujuan mencari solusi dan
memberikan output untuk penstudi HI agar dapat memahami fenomena-fenomena internasional
yang ada kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Mukti, T. A. (2020). MARXISME (Marxism). In S. McGlinchey (Ed.), Dasar-Dasar Kajian


Teori Hubungan Internasional (hal. 52–55), E-International Relation Publishing.

Djatnika, A. Perkembangan HI: Empat Perdebatan Besar, 1–12.

Saeri, M. (2012). Teori Hubungan Internasional Sebuah Pendekatan Paradigmatik, 3, 13–14.

Dugis, Vinsensio. 2016. Neorealis-neoliberalis. PowerPoint Presentation. Surabaya: Departemen


Hubungan International, Universitas Airlangga, 24 Maret 2003

Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 1999. Pengantar Studi Hubungan International (terj.
Dadan Suryadipura, Introduction to International Relations). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pp.
139-179.

Sil, Radra & Peter J. Katzenstein, (2010), Beyond Paradigm: Analytical Eclecticism in the Study
of World Politics, Palgrave Macmillan.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gremedia, 2005 Ritzer, George. Sosiologi Ilmu
Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT Raja Grafido Persada Jakarta. 2011.

Syamsuar, Zumri Bestado. Paradigma Manusia Surya. Kalimantan Yayasan Insan Cinta, 2003.

Anda mungkin juga menyukai