Anda di halaman 1dari 2

Overthinking

00.24 wita…
Masa ada sih anak muda yang tidak overthinking? Kalau ada, coba perkenalkan orangnya.
Aku mau minta tips. Meskipun aku tahu itu tidak akan berguna, karena aku akan tetap
dengan nekad memikirkan apa saja. Ya, aku memang keras kepala.

Overthinking seringnya muncul ketika kita tidak sedang melakukan apa-apa, dan
menghilang begitu saja ketika kita sibuk bekerja. Aku jadi bertanya-tanya, apakah
overthinking termasuk pekerjaan yang harus diselesaikan agar kita bisa tidur nyenyak? Atau
overthinking ada untuk memberikan kita pekerjaan tambahan di waktu luang? Karena
overthinking ini seperti menciptakan masalah untuk diselesaikan sendiri, menghadirkan apa
yang sebenarnya tidak ada, mencemaskan apa yang belum tentu terjadi. Tapi bagusnya,
overthinking bisa membuat kita menjadi lebih berhati-hati dan menyiapkan rencana
antisipasi. Tapi yang kedua, overthinking ini juga bisa menjadi begitu kejam jika berlebihan.
Seringkali, itu membuatku tetap terjaga di jam dua malam. Hantu di sudut kamarpun sampai
lelah menunggu untuk menakutiku dalam mimpi. Karena kalau masih terjaga dan overthink
begini, tentu saja apa yang kupikirkan lebih menakutkan ketimbang “hihihi”nya dari atas
lemari. Hih! siapa yang mau peduli ketika aku sedang sibuk memikirkan “kenapa
orang-orang tidak bisa lepas dari hp ?”

Aku pernah membaca, entah dimana tepatnya aku lupa, bahwa “an overthinker must date a
great communicator (seorang overthinker harus menemukan seorang komunikator yang
hebat sebagai teman)”. Apakah itu berarti semua keresahan si overthinker perlu dibicarakan
kepada si ‘great communicator’ ini? Dan apa yang harus dilakukan oleh si great
communicator? Memberikan advise? Menunjukkan wisdom? Masalahnya, great
communicator bisa jadi hanya pintar bicara saja, ia lebih cocok dengan seorang introvert
menurutku. Karena dia bisa membantu si introvert supaya tidak perlu kesulitan mencari topik
pembicaraan dan bisa menyelamatkan si introvert dari situasi awkward (yang mana
sebenarnya hanya situasi biasa yang tidak bisa mereka kendalikan, dan membuat mereka
saat itu juga ingin terhisap ke tanah dibawah kakinya, atau menenggelamkan diri kedalam
cangkir kopi dihadapannya).
Tapi an overthinker? Mereka butuh solusi dan teman untuk diajak berdiskusi. Meskipun
sebenarnya dalam overthinkingnya pun mereka mencari (atau bahkan sudah menemukan)
solusi. Atau sekedar pendengar yang baik, mungkin cukup. Soalnya pikiran berat itu kalau
dipendam sendiri bisa bikin stress tak terkendali. Tapi dari yang kualami, overthinker paling
berhasil dengan orang yang memiliki pikiran yang kritis dan analitis. Mereka bisa berdiskusi
bersama untuk memecahkan permasalahan. Tapi ya itu beda-beda lagi tergantung sisi lain si
overthinker. Dengan si kritis, si overthinker harus bisa menyampaikan keresahannya dengan
jelas dan tepat sasaran.
Pokoknya kalau bahas overthinking, tidak akan ada habisnya. Solusinya juga tidak pasti.
Overthinking wajar untuk dialami selama masih dalam batasan. Batasannya juga kita sendiri
yang mengetahui. Ketika kita merasa sudah tidak sanggup memikirkannya lagi tapi otak
tetap tidak mau berhenti, lebih baik segera temukan seseorang untuk diajak bicara. Jangan
pernah menahan semuanya sendirian, bisa gila, serius!

Sakit pikiran berdampak pada kesehatan dan kinerja fisik juga. Akui saja ketika kita
overthinking hingga tidak bisa tidur sampai jam empat pagi, kemudian harus sekolah jam
delapan, maka fokus kita akan berkurang. Tenaga juga tidak prima, badan sakit semua.
Pokoknya hawanya gak bersemangat atau kita jadi sensitif. Kadang disertai pusing yang
cukup bikin emosi. Membuatku ingin menarik lepas kepala sendiri. Tapi sayang sekali, kepala
manusia tidak seperti kepala charger yang portabel.

Sakit pikiran ini lebih berbahaya dari sakit fisik gak sih? Sekalipun itu gagal fungsi hati, atau
kanker. Sebab begini, jika organ seseorang diserang penyakit kemudian orang itu tidak bisa
diselamatkan, dia benar-benar “mati” secara harfiah. Ya tubuhnya, ya jiwanya. Tapi orang
yang sakit pikiran sampai parah, dia bahkan hidup tanpa arah tujuan. Terkadang sampai
memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri. Tidak sedikit juga yang melakukan percobaan
bunuh diri, bukan sekali dua kali lagi. Dokter sering bilang, “hati yang gembira adalah obat
paling mujarab” . Sedangkan kalau orang sakit pikiran, memang otomatis imun tubuhnya
juga akan melemah.

Dan tanpa sadar, paragraf yang kutulis sebelum ini adalah apa yang ku “overthinkingkan”
saat menulis cerita tentang overthinking itu sendiri. Ada overthinking di dalam overthinking.
Jika aku tetap terus menulis, ini tidak akan habis. Jadi aku harus memaksakan diri untuk
berhenti.

Anda mungkin juga menyukai