Anda di halaman 1dari 5

Contoh Kasus

1. Perubahan wilayah Negara


Masalah sengketa perbatasan antar negara merupakan suatu ancaman yang konstan bagi
keamanan dan perdamaian bukan hanya secara nasional tetapi juga meliputi keamanan
dan perdamaian internasional. Karena menyangkut kedaulatan sebuah negara yang
nantinya akan berdampak pada keamanan nasional dan internasional.
 Pulau Sipadan dan Ligitan
Kasus Sipadan dan Ligitan bermula pada 1969 ketika Indonesia dan
Malaysia merundingkan delimitasi batas maritim antara keduanya di Laut
Sulawesi. Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan atas kedua
pulau tesebut namun tidak berhasil mencapai kesepakatan final. Kedua negara
kemudian bersepakat untuk memberi status quo kepada Sipadan dan Ligitan pada
1969 Indonesia dan Malaysia berusaha menyelesaikan masalah terkait kedaulatan
atas Sipadan dan Ligitan pada tahun 1988 hingga 1997 melalui perundingan
namun gagal mencapai kesepakatan. Negosiasi tersebut berawal dari pertemuan
tingkat tinggi antara Presiden Soeharto dari Indonesia dengan Perdana Menteri
Malaysia, Mahathir Mohammad, di Yogyakarta pada Juni 1998.
Pada 1994, Indonesia dan Malaysia juga sempat mencoba membuat
terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan masing-masing untuk
negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk Menteri Sekretaris Negara ketika itu,
Moerdiono, dan Malaysia menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar
Ibrahim untuk mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu
melaksanakan empat pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16 September
1995, lalu di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21 Juli 1996. Setelah
melaksanakan perundingan yang intensif dan alot, kedua perwakilan ini tidak
melihat titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia akan mampu menyelesaikan
sengketa kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan melalui jalur perundingan.
Akhirnya, Presiden Soeharto dan PM Mahathir Mohammad sepakat menyerahkan
proses ajudikasi dengan membawa kasus tersebut ke pihak ketiga.
Malaysia menandatangani kesepakatan khusus untuk membawa kasus Sipadan
dan Ligitan ke Mahkamah Internasional. Kasus Sipadan dan Ligitan memakan
waktu selama lima tahun dalam penyelesaiannya di Mahkamah Internasional
hingga akhirnya Mahkamah Internasional mengumumkan keputusannya pada 17
Desember 2002. Mahkamah Internasional memastikan bahwa Inggris, selaku
penjajah atau pendahulu Malaysia, terbukti telah melakukan penguasaan efektif
terhadap kedua pulau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan dan
pemberlakuan aturan terkait pengumpulan telur penyu dan didirikannya cagar
alam untuk perlindungan burung. Mahkamah Internasional juga memutuskan
bahwa pembangunan mercusuar oleh Inggris di pulau tersebut dianggap cukup
untuk mendukung klaim Malaysia terhadap kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan.
2. Hukum perkawinan
 Kasus Pernikahan Dini
Pernikahan dua anak di Desa Tungkap, Kecamatan Binuang, Kabupaten
Tapin, Kalimantan Selatan akhirnya dibatalkan setelah berlangsung selama
beberapa hari karena dipandang melanggar undang-undang. "Betul dibatalkan
karena tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan dan kita juga sangat tidak
menginginkan terjadi lagi hal-hal seperti ini. Jadi perlu ada perhatian dari
pemerintah, intervensi dari pemerintahlah, baik dari kepolisian maupun dari
pengadilan," kata Bupati Tapin, Gusti Syahrar kepada BBC News Indonesia.
Pemerintah setempat baru mengetahui terjadinya pernikahan bawah umur
ini setelah ramai dibicarakan di media, terutama lewat video yang menjadi viral.
Kedua anak, berumur 15 dan 14 tahun ini dinikahkan siri oleh imam masjid atas
permintaan nenek mereka yang dilaporkan tidak menghendaki terjadinya hal-hal
yang tidak diinginkan, karena hubungan keduanya sudah terlalu dekat. Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan batas usia
menikah ideal adalah 21 tahun, tetapi jika mendapatkan izin orang tua, batas usia
bagi perempuan adalah 16 tahun dan pria 19 tahun.
3. Diskriminasi
Kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia tidak
juga kunjung berakhir. Tidak hanya terus berulang, kasus-kasus ini juga jarang
terselesaikan dengan baik. Terakhir, kasus kekerasan ini terjadi di Solo, Jawa Tengah,
Sabtu (8/8/2020). Tindak kekerasan dan penyerangan di Solo tersebut dilakukan oleh
sekelompok orang pada upacara Midodareni yang diselenggarakan di kediaman
almarhum Segaf Al-Jufri, Jl. Cempaka No. 81, Kp. Mertodranan, Pasar Kliwon, Kota
Surakarta, pada Sabtu, (8/8/2020).
Sekelompok orang tersebut melakukan penyerangan, merusak sejumlah mobil dan
memukul beberapa anggota keluarga yang melakukan upacara Midodareni, sembari
meneriakan bahwa Syiah bukan Islam dan darahnya halal. Sedikit catatan, Midodareni
merupakan tradisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mempersiapkan
hari pernikahan. Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengecam
tindak kekerasan tersebut. Menurutnya, insiden tersebut menambah catatan buruk kasus
intoleransi di Indonesia. Padahal, Presiden RI Joko Widodo pernah menyatakan bahwa
tidak ada tempat bagi tindak intoleransi di Indonesia.
4. Tidak mempunyai surat kelahiran
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait,
mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, terdapat 50 juta
anak Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Hal ini lantaran terbentur masalah
administrasi. Seharusnya, dalam membuat akta kelahiran para orang tua tidak boleh
dibenturkan masalah administrasi karena anak dilahirkan bukan atas kehendaknya
sendiri, sehingga anak tidak boleh menjadi korban administrasi.
“Berdasarkan data BPS, ada 50 juta anak yang belum memiliki akta lahir karena
masih dibenturkan dalam pemenuhan adminitrasi,” tuturnya kepada hukumonline, Jumat
(22/7). Arist menjelaskan permasalahan administrasi tersebut di antaranya tidak ada
perkawinan dan nama. Padahal, saat ini banyak anak yang tidak seperti itu. “Contohnya
kawin siri. Di dalam UU tentang Administrasi Kependudukan, yang dimaksud legal
adalah yang tunduk oleh negara. Kalau tidak ada itu, anak dihukum tidak dapat akta.
Kalau tidak dapat akta itu sapu jagat untuk hak yang seharusnya dia yang dimiliki,” papar
Arist.
Dia juga menyayangkan negara yang masih membiarkan banyak anak belum
memiliki akta kelahiran. Padahal, negara harus bertanggung jawab terhadap hal tesebut.
Soalnya, memiliki akta kelahiran merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non
derogable right). “Merujuk ke konvensi PBB mengenai hak anak yang sudah diratifkikasi
pemerintah Indonesia dinyatakan bahwa akta kelahiran itu adalah bagian dari hak asasi
manusia yang tidak bisa dikurangi. Akta adalah hak yang tidak bisa dikurangi anak
Indonesia harus punya hak itu. Supaya hak itu terpenuhi, jadi kalau ada anak Indonesia
tidak punya akta lahir maka hak-nya tidak dipenuhi oleh negara,” ujarnya.
Menurutnya, akan banyak dampak yang akan diderita oleh seorang anak apabila
tidak memiliki akta. Kalau ada 50 juta anak yang tidak punya, kata Arist, hal itu
merupakan salah satu bentuk pelanggaran negara atas anak. Ketika Negara melakukan
pembiaran terkait hal itu, maka akan terjadi hilanganya hak anak untuk mendapatkan
pelayanan apapun, baik hak kesehatan, pendidikan, dan hak lainnya.
5. Pembatalan kewarganegaraan oleh Negara. Dsb
 AM Hanafi
Hal serupa dialami mantan Menteri Urusan Tenaga Rakyat dan Duta Besar
Indonesia untuk Kuba, AM Hanafi. Pada 1965, Dia harus kehilangan
kewarganegaraannya karena dinilai punya kedekatan dengan Sukarno. Usai
kehilangan status kewarganegaraannya, dia pun menjadi eksil dan meminta suaka
politik kepada pemerintah Prancis. Menteri yang pernah moncer di era Sukarno
ini pun akhirnya menghabiskan masa tuanya di Prancis. Pada 2004, dia meninggal
di sana.
 Tom Iljas
Bukan hanya para tokoh, geger politik 30 September 1965 berefek kepada
para pelajar Indonesia yang sedang belajar di luar negeri. Tom Iljas salah satunya.
Tom saat itu merupakan anggota diaspora Indonesia di Swedia. Tom mendapat
tugas belajar dari pemerintah Sukarno ke Peking Institute of Agricultural
Mechanization, China. Namun, ketika hendak pulang ke Indonesia, paspornya
ditahan imigrasi. Tom kehilangan kewarganegaraannya. Dia dianggap punya
hubungan dengan pemerintah Sukarno. Akhirnya, Tom pun menjadi warga negara
Swedia.

Sumber:

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44900871

https://tirto.id/menilik-situasi-kasus-diskriminasi-terhadap-minoritas-di-indonesia-fXpD
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5792447bd5551/terabaikan--50-juta-anak-
indonesia-tidak-memiliki-akta-kelahiran/

https://news.detik.com/berita/d-4581017/orang-orang-indonesia-yang-dicabut-
kewarganegaraannya-karena-politik

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44900871

Anda mungkin juga menyukai