Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

HIV/AIDS

Disusun Oleh: Kelompok 3

Kelas D1

Herlizha Suryadila : 1804015154

Siti Saudah Rohmat : 1804015288

Bienraudha A. Hanubun : 1704015277

Dosen Pengampu Praktikum

Apt., Nurhasnah, M.Farm.

Tanggal Diskusi Kelompok : 1 November 2021

Tanggal Presentasi Kelompok : 2 November 2021

LABORATORIUM FARMAKOTERAPI

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

JAKARTA

2021
BAB I

KASUS

A. Data dan Informasi Pasien

Identitas Pasien
Nama : An. Aljoko
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 14 tahun
BB/TB : 45 kg/160 cm
Alamat : Jalan Kemayoran, Jakarta Pusat

Riwayat Penyakit
Keluhan saat ini: sakit kepala dan demam.
Diagnosa: HIV
Riwayat penyakit dahulu /lainnya / kondisi khusus: kandidiasis dan TB
Riwayat penyakit keluarga: HIV
Riwayat lingkungan, sosial dan gaya hidup: -
Riwayat pengobatan: pasien patuh minum obat ABC + 3TC + LPV/r (selama
12 bulan)
Riwayat alergi obat: tidak ada
Informasi lain terkait pengobatan: pemeriksaan viral load tanggal 6 Maret
2021 dengan hasil 1300 kopi/ mL

Laporan Hasil Pemeriksaan


Nama: An. Aljoko
Usia: 14 tahun
Berat badan: 45 kg
Tinggi Badan: 160 cm
Alamat: Jalan Kemayoran, Jakarta Pusat
Tanggal Pemeriksaan: 29 Oktober 2021
Hasil Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Tanda Vital
Tekanan darah 120/80 mmg/dL <140/80 mg/dL
Suhu 38oC 36 - 37 oC
Darah
Leukosit 9 x 103/mm3 4-10 x 103/ mm3
Hb 11,0 g/dL 11,0 - 16,0 g/dL
CD4 80 sel/ µL >350 sel/ µL
Viral load 1500 kopi/ mL < 1000 kopi/ mL

B. Terapi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi HIV/AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali
dikenali dalam kohort pria muda homoseksual yang sebelumnya sehat
dengan defisit imunologis baru yang parah, Pneumocystis carinii
(sekarang P. jirovecii) pneumonia (PCP), dan/atau sarkoma Kaposi.
Sebuah retrovirus, human immunodeficiency virus tipe 1 (HIV-1),
adalah penyebab utama AIDS. (Dipiro et al., 2020)
B. Etiologi
HIV adalah virus RNA untai tunggal yang diselimuti dan anggota
dari subfamili retrovirus Lentivirinae (lenti, berarti "lambat").
Lentivirus dicirikan oleh siklus infeksi yang lamban. Ada dua jenis HIV
yang terkait tetapi berbeda: HIV-1 dan HIV-2. HIV-2, sebagian besar
ditemukan di Afrika barat, terdiri dari tujuh garis keturunan filogenetik
yang ditetapkan sebagai subtipe n A sampai G. Empat kelompok HIV-
1 dikenali: M (utama atau mayor), N (non-M, non-O ), O (pencilan), dan
P (menunggu identifikasi kasus lebih lanjut). Grup M, subtipe B,
terutama bertanggung jawab atas epidemi di Amerika Utara dan Eropa
Barat.
Akumulasi bukti menunjukkan bahwa HIV pada manusia adalah
hasil dari transmisi lintas spesies (zoonosis) dari primata yang terinfeksi
simian immunodeficiency virus (SIV). Hubungan filogenetik dan
geografis menunjukkan bahwa HIV-2 muncul dari SIV yang
menginfeksi jelaga mangabey, dan HIV-1 kelompok M dan N muncul
dari SIV, virus yang menginfeksi simpanse (Pan troglodytes
troglodytes). Kelompok O dan P mungkin muncul dari varian SIV yang
menginfeksi gorila liar. Praktik budaya, seperti persiapan dan makan
daging atau memelihara hewan liar sebagai hewan peliharaan, mungkin
telah memungkinkan virus untuk berpindah dari primata ke manusia.
Infeksi HIV pada manusia yang paling awal diketahui telah dilacak ke
Afrika tengah pada tahun 1959, tetapi transmisi lintas spesies mungkin
terjadi pada awal 1900-an. Perubadan modern, pergaulan bebas, dan
penyalahgunaan narkoba telah menyebabkan penyebaran virus yang
cepat di Amerika Serikat. dan di seluruh dunia. (Dipiro et al., 2020)
C. Patofisiologi
Setelah HIV memasuki tubuh manusia, glikoprotein luar (gp160)
pada permukaannya yang terdiri dari dua subunit (gp120 dan gp41),
memiliki afinitas terhadap reseptor CD4, protein yang terdapat pada
permukaan limfosit T-helper, monosit, makrofag, sel dendritik, dan
mikroglia otak. Subunit gp120 bertanggung jawab atas pengikatan CD4.
Setelah pengikatan awal terjadi, hubungan HIV dengan sel ditingkatkan
dengan pengikatan lebih lanjut ke kemokin koreseptor. Dua reseptor
kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah reseptor kemokin
(motif C–C) 5 (CCR5) dan reseptor kemokin (motif C–X–C) 4
(CXCR4). Isolat HIV mungkin mengandung campuran virus yang
menargetkan satu atau yang lain dari koreseptor ini, dan beberapa galur
virus mungkin bersifat tropik ganda (yaitu, dapat menggunakan kedua
koreseptor). Strain HIV yang lebih disukai menggunakan virus CCR5,
R5, adalah makrofag-tropik dan biasanya terlibat dalam sebagian besar
kasus HIV yang ditularkan secara seksual. Strain HIV yang
menargetkan CXCR4, virus X4, adalah sel-T-tropis dan sering dominan
pada tahap akhir penyakit.. Perlekatan CD4 dan koreseptor HIV ke sel
mendorong fusi membran, yang dimediasi oleh gp41, dan akhirnya
internalisasi materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk
replikasi.
Gambar 1. Presentasi klinis utama HIV pada orang dewasa (Dipiro et al.,
2020)

D. Terapi Farmakologi
Beberapa metode intervensi terapeutik telah dievaluasi terhadap
HIV, termasuk obat antiretroviral sistemik untuk penghambatan
langsung replikasi virus kronis atau pencegahan penularan HIV;
vaksinasi; imunomodulator untuk membantu merangsang dan
memulihkan sistem kekebalan tubuh; dan obat antiretroviral topikal atau
virusida (bahan kimia yang menghancurkan virus utuh) untuk mencegah
infeksi HIV. Tiga pendekatan terakhir sedang diselidiki saat ini.
Beberapa pendekatan untuk vaksin HIV sedang dikembangkan,
termasuk virus mati total, vaksinasi subunit dan peptida, vektor hidup
rekombinan, dan pengiriman DNA utuh. Secara historis, kemajuan
vaksin berjalan lambat. Variabilitas genetik pada HIV dan pemahaman
yang baru lahir tentang peran sistem kekebalan dalam menekan replikasi
virus merupakan hambatan yang signifikan untuk pengembangan vaksin
HIV yang efektif dengan kekebalan yang tahan lama dan protektif.
Imunomodulator, seperti aldesleukin (interleukin-2), memberikan
manfaat ringan dalam hal peningkatan sel CD4; namun, aldesleukin juga
dikaitkan dengan toksisitas yang signifikan dan tidak ada manfaat klinis
yang jelas. Jadi, progress tidak pasti untuk pendekatan imunomodulator.
Formulasi obat virucidal atau antiretroviral topikal untuk digunakan
melalui vagina atau dubur untuk mencegah penularan HIV secara
seksual sedang dalam berbagai fase perkembangan. Misalnya, aplikasi
vagina gel tenofovir 1% sebelum dan sesudah hubungan seksual
mengurangi penularan HIV sebesar 39% pada wanita. Penggunaan
cincin dapivirine menghasilkan pengurangan 30% dalam penularan
HIV, yang mengarah pada tinjauan oleh European Medicines Agency
(EMA) untuk pencegahan HIV pada wanita.
Agen Antiretroviral: Pemberian agen antiretroviral secara sistemik
untuk penghambatan langsung replikasi virus telah menjadi strategi
yang paling sukses secara klinis untuk baik pengobatan maupun
profilaksis. Empat kelas umum obat yang digunakan saat ini: entry
inhibitor, reverse transcriptase inhibitor, InSTI, dan HIV PI. Sebagai
aturan, agen yang lebih baru menunjukkan keuntungan yang signifikan
dibandingkan generasi pertama. obat dalam hal farmakokinetik,
tolerabilitas, keamanan, dan kemanjuran. Bagian ini akan menyoroti
keuntungan spesifik dari agen yang lebih baru dibandingkan obat
generasi pertama dan akan memfokuskan diskusi pada agen baru yang
paling sering digunakan saat ini. Informasi obat yang diperbarui tersedia
dalam pedoman DHHS termasuk efek samping umum dan rekomendasi
dosis untuk insufisiensi hati dan ginjal untuk semua obat antiretroviral
Gambar 2. Terapi profilaxis untuk dewasa dan remaja (Dipiro et
al., 2020)
Gambar 3. Algortitma Terapi (RI, 2019)
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Analisis SOAP
Subjektif
Sakit kepala dan demam, pasien patuh minum obat ABC + 3TC + LPV/r
(selama 12 bulan)
Objektif
Suhu 38°C
CD4 80 sel/ µL
Viral load 1500 kopi/ mL
DRP
a. Subtherapeutic dosage
- Frekuensi penggunaan zidovudine kurang
b. Improper drug selection
- Penggunaan obat LPV/r tidak tepat pada lini kedua jika pada lini
pertama telah digunakan
Assesment
- Terapi zidovudine sebaiknya ditambah frekuensi penggunaannya
- LPV/r sebaiknya tidak digunakan pada lini kedua jika telah digunakan
pada lini pertama
Plan
- Rekomendasi: Disarankan agar frekuensi zidovudine ditambah menjadi
- Rekomendasi: Disarankan agar LPV/r tidak digunakan pada lini kedua
karena telah digunakan pada lini pertama. Cukup diberikan EFV pada
lini kedua sebagai pengganti dari LPV/r.
- Monitoring dan evaluasi efek samping pada terapi pasien
- Monitoring dan evaluasi adherence pasien
B. Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi

No RM :5
Rumah Sakit UHAMKA
Nama Pasien : An. Aljoko
Jl. Delima 1 No 1, Jakarta Timur
Tgl Lahir/Umur : 10 tahun
Telphone: (021) 0890909090
Jenis kelamin :
CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI
KLINIK : Bangsal Pediatri

Tanggal/ Profesional Hasil Asesman Instruksi PPA Review dan


Jam Pemberi Pasien dan verifikasi
Asuhan (PPA) Pemberian DPJP
Pelayanan

5 Apoteker: S: Sakit kepala dan 1. Frekuensi terapi Dokter


November demam, pasien zidovudine
2021 patuh minum obat ditambah menjadi
ABC + 3TC + 300mg 2x sehari
Siti Saudah LPV/r (selama 12 Herlizha
2. LPV/r dihentikan
Rohmat bulan) Suryadila
penggunaannya
O: Suhu 38°C, CD4 karena telah
80 sel/ µL, viral digunakan pada lini
load 1500 kopi/ mL pertama

Terapi: 3. Monitoring efek


samping
R/ Zidovudine 300
mg (AZT) No. XXX penggunaan obat

S 2 dd1 tab 4. Monitoring


R/ Lamivudine 150 adherence pasien
mg (3TC) No. LX

S 2 dd1 tab
R/ Efavirenz 600 5. Evaluasi
mg (EFV) No. XXX keberhasilan terapi
S 1 dd1 tab
pasien
A:
6. Disarankan
-Terapi zidovudine
menerapkan terapi
sebaiknya ditambah
untuk mengatasi
frekuensi
gangguan tidur pada
penggunaannya
pasien HIV
-LPV/r sebaiknya
7. Melakukan
tidak digunakan
konseling untuk
pada lini kedua jika
mengatasi depresi
telah digunakan
pada lini pertama

P:

-Rekomendasi:
Disarankan agar
frekuensi
zidovudine
ditambah menjadi

-Rekomendasi:
Disarankan agar
LPV/r tidak
digunakan pada lini
kedua karena telah
digunakan pada lini
pertama. Cukup
diberikan EFV pada
lini kedua sebagai
pengganti dari
LPV/r.
-Monitoring dan
evaluasi efek
samping pada terapi
pasien

-Monitoring dan
evaluasi adherence
pasien

C. Pembahasan
a. Terapi Farmakologi dan DRP
Pada kasus ini, DRP yang ditemukan yaitu frekuensi penggunaan
obat tidak sesuai standar atau tidak mencapai efek terapeutik
(Subtherapeutic dosage) dan pemilihan obat yang tidak tepat (Improper
drug selection).
- Frekuensi Penggunaan Zidovudine
Rekomendasi: Disarankan agar frekuensi pemberian zidovudine
ditambah menjadi 2x sehari.
Gambar 4. Penggunaan Zidovudine (DIH Edition 17th)

Berdasarkan jurnal yang dikemukakan oleh (Ruane, et al., 2004),


dosis maksimal untuk zidovudine adalah 1200mg, kemudian karena
menyebabkan toksisitas (miopati, sitopenia), maka dilakukan pencarian
untuk mengurangi dosis tersebut. Diselidiki frekuensi dosis untuk
menemukan rejimen yang menawarkan kenyamanan optimal untuk
pemberian sendiri. Penggunaan standar yang ditemukan adalah 300mg
2x sehari. Pada penelitian ini, dibandingkan penggunaan zidovudine
600mg/hari dan 300mg/2xsehari. Dilihat dari hasil, penggunaan
zidovudine 300mg 2x sehari lebih baik karena pemberian 600mg/hari
kurang jelas dan lebih lambat untuk dicapai dibanding 300mg 2x sehari.
Gambar 5. Frekuensi Penggunaan Zidovudine (Ruane, et al., 2004)

Gambar 6. Perbandingan Zidovudine 600mg/hari dengan 300mg


2x/hari (Ruane, et al., 2004)

- LPV/r tidak tepat digunakan pada lini kedua jika telah digunakan pada
lini pertama
Rekomendasi: Disarankan agar dihentikan penggunaan LPV/r, cukup
dengan EFV saja.
LPV/r atau lopinavir termasuk pada obat HIV golongan protease
inhibitor, sedangkan EFV atau efavirenz masuk pada golongan NNRTI.
Pada penelitian (Maggiolo, 2009) menyebutkan, terapi menggunakan
efavirenz berperan jika terapi lini pertama gagal. Efavirenz
menggantikan golongan protease inhibitor pada lini kedua. Selain itu
efavirenz memunjukkan kemanjuran virologi yang lebih besar daripada
protease inhibitor (PI) yang dikuatkan, yaitu lopinavir. Selain itu
efavirenz memiliki efek yang lebih kecil pada profil lipid plasma
dibandingkan beberapa PI yang dikuatkan.
Gambar 7. Penggunaan Efavirenz (Maggiolo, 2009)

b. Terapi Non Farmakologi


- Untuk mengatasi gangguan insomnia dapat dilakukan terapi non
farmakologi yaitu: terapi pembatasan tidur, terapi control stimulus,
terapi pencatatan waktu tidur (sleep diary) dan terapi komplementer.
Spyritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan terapi
komplementer yang direkomendasikan (Pujiati & Febita, 2016).
Gambar 8. Terapi Non-Farmakologi Insomnia Pasien HIV (Pujiati
& Febita, 2016)

Sedangkan menurut (Cahyanti & Jamaludin, 2021), pengobatan


insomnia yang dialami pasien HIV dapat dilakukan terapi non
farmakologi yaitu: mengontrol lingkungan sekitar pasien, melakukan
terapi kognitif, menjelang tidur dilakukan kebersihan diri, relaksasi otot
progressive, dan mindfulness meditasi, dimana teknik ini dapat
meningkatkan kulitas tidur yang buruk 10-15%.
Gambar 9. Terapi Non Farmakologi Insomnia Pasien HIV
(Cahyanti & Jamaludin, 2021)

- Terapi konseling untuk mengatasi gejala-gejala yang mengarah pada


depresi.
c. Monitoring dan Evaluasi Terapi Untuk Pasien
Terapi farmakologi dan non-farmakologi yang diberikan kepada
pasien, harus ditinjau kepatuhan atau adherence terapi sebagai
parameter untuk mengetahui keefektifan dari penggunaan obat tersebut.
Selain itu dapat dilakukan Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
yaitu suatu kegiatan pemantauan pada setiap respons terhadap obat yang
merugikan ataupun tidak diharapkan terjadi pada dosis normal yang
digunakan manusia dengan tujuan profilaksis, diagnosis, dan terapi
ataupun memodifikasi fungsi fisiologis (Satibi, Rokhman, & Aditama,
2016). Penggunaan terapi obat pada kasus ini yang perlu diperhatikan
adalah pemakaian zidovudine. Penggunaan zidovudine dengan dosis 1,2
hingga 1,5 g setiap hari mempunyai resiko efek samping yang lebih
besar yaitu ffek samping serius yang paling umum dilaporkan dengan
zidovudine adalah toksisitas hematologis seperti anemia, leukopenia,
dan neutropenia (Martindale 36th Edition).
Gambar 10. Efek Samping Penggunaan Zidovudine (Martindale
36th Edition).

Penggunaan lamivudine mempunyai resika efek samping baik


penggunaan monoterapi atau bersamaan dengan antiretroviral lain yaitu
sakit perut, mual, muntah, diare, sakit kepala, demam, ruam, alopecia,
malaise, insomnia, batuk, gejala hidung, artralgia, dan nyeri
muskuloskeletal. Selain itu adapula kejadian efek samping seperti
pankreatitis, anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Peningkatan
enzim hati dan amilase serum (Martindale 36th Edition).
Gambar 11. Efek Samping Penggunaan Lamivudine (Martindale
36th Edition).
Sedangkan efek samping penggunaan efavirenz yang paling umum,
yaitu ruam kulit dan gangguan psikiatri atau SSP (Martindale 36 th
Edition).
Gambar 12. Efek Samping Penggunaan Efavirenz (Martindale 36th
Edition)
DAFTAR PUSTAKA
Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug
Information Handbook 17th Edition, American PharmacistAssociation.

Cahyanti, L., & Jamaludin. (2021). Mindfulness Meditasi Meningkatkan Kualitas


Tidur Pasien HIV. Cendekia Utama, Vol 10 No 3 Hal 2598-4217.

Dipiro, J. T., Yee, G. C., Posey, L. M., Haines, S. T., Nolin, T. D., & Ellingrod, V.
(2020). Past Editors of Pharmacotherapy.
Maggiolo, F. (2009). Efavirenz: a decade of clinical experience in the treatment of
HIV. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 64, 910-928.

Pujiati, E., & Febita, I. (2016). Pengaruh Spyritual Emotional Freedom Technique
(SEFT) Terhadap Penurunan Tingkat Insomnia Pada Penderita HIV/AIDS
(ODHA). Jurnal Profesi Keperawatan, Vol. 6 No. 1.

Ruane, P. J., M.B, B.Ch, Richmond, G. J., DeJesus, E., Hill-Zabala, C. E., . . .
Shaefer, M. S. (2004). Pharmacodynamic Effects of Zidovudine 600 mg
Once/Day versus 300 mg Twice/Day in Therapy-Naïve Patients Infected
with Human Immunodeficiency Virus. PHARMACOTHERAPY, Volume
24, Number 3.

RI, K. (2019). PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA


LAKSANA HIV. Ayan, 8(5), 55.
Satibi, Rokhman, M. R., & Aditama, H. (2016). Manajemen Apotek. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

Sweetman SC. Martindale. 36th Ed. London: Pharmaceutical Press; 2009


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai