Panduan Protokol Indonesia All 2013
Panduan Protokol Indonesia All 2013
I. PENDAHULUAN
Rasionalisasi
1
pada epitel mukosa sehingga penderita berisiko terjadi infeksi bakteri dan atau
jamur.
Infeksi merupakan penyulit utama pada anak-anak dengan leukemia akut dan
menyebabkan kematian. Prevalensi infeksi pada penderita dikarenakan penggunaan
obat sitotoksik, kortikosteroid, antibiotik spektrum luas, lama rawat inap di rumah
sakit, gangguan pada imunitas seluler dan humoral, neutropenia, dan disfungsi
neutrophil.Meskipun didapatkan fakta bahwa infeksi parasit di usus lebih sering dan
masih menjadi masalah di negara berkembang, beberapa penelitian menemukan
bahwa tidak didapatkan infeksi parasit pada anak-anak dengan leukemia selama
pengobatan. Penemuan ini tidak dapat meyingkirkan kemungkinan terjadi infeksi
parasit pada saat diagnosis. Pengobatan dengan mebendazole dapat diindikasikan
sebelum memulai pemberian steroid.
Selain infeksi, malnutrisi juga mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadaphasil pengobatanLLA.Malnutrisi dapat terjadi pada semua fase
pengobatan.Ada beberapa alasan terjadinya penurunan asupan gizi.Salah satunya
karena adanya sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis alfa yang menyebabkan
anoreksia.Efek sitokin pro inflamasi sudah diteliti sebagai penyebab berbagai
fenomena metabolik pada kanker. Penyebab lain turunnya asupan gizi, anoreksia
dan efek pada gastrointestinal adalah kemoterapi dan radioterapi. Kerusakan
mukosa berhubungan dengan dosis obat, dosis obat yang tinggi pada terapi induksi
meningkatkan resiko toksisitas pada mukosa, pola peningkatan dosis, continuous
infusion(versus dosis bolus) dan pengobatan kombinasi kemoterapi.Dosis
kemoterapi yang tinggi sering menyebabkan mukositis oral yang nyeri sehingga
mengurangi asupan gizi sampai beberapa minggu.Efek pengobatan pada
gastrointestinal meliputi esofagitis dan enteritis dengan malabsorpsi dan diare
dimana terjadi peningkatan sensitivitas terhadap rasa pahit; fenomena
menyebabkan berkurangnya asupan gizi dan kesulitan pemberian suplemen
oral.Khan,2006 melaporkan bahwa penggunaan nasogastric tube feedingsangat
bermanfaat.Banyak penelitian melaporkan penderita yang mengalami kemoterapi
dan radioterapi mengkonsumsi jumlah nutrisi yang lebih sedikit, yang berisiko
menyebabkan terjadi keseimbangan energi yang negatif dan kekurangan
mikronutrien.Sebagai contoh, lebih dari 2/3 remaja LLA mengkonsumsi kurang dari
80% kebutuhan diet harian.
2
Demam dan netropenia pada penderita kanker merupakan keadaan gawat darurat
dan membutuhkan evaluasi rawat inap dan pengobatan antibiotik spektrum luas.
Pendekatan yang agresif disarankan karena 60% dari demam netropeniini
disebabkan oleh infeksi bakteri baik dengan atau tanpa bakteriemia.
Meskipun pendekatan ini mengurangi angka kematian, penderita dapat mengalami
efek yang tidak diinginkan seperti toksisitas anti mikroba, infeksi nosokomial,
superinfeksi jamur serta dampak psikologis dan finansial dari pengobatan di rumah
sakit. Santolaya dan kawan-kawan melaporkan pada penelitian prospektif,
multisenter,dengan tujuan mengevaluasi faktor risiko yang berhubungan dengan
infeksi bakterial pada anak-anak dengan kanker, netropeni dan demam. Pendekatan
yang selektif pada anak-anak dengan demam netropenia akan bermanfaat pada
populasi anak dengan kanker dan pada sistem pemeliharaan kesehatan pada
negara berkembang dan maju. Khususnya bagi penderita yang tinggal jauh dari
rumah sakit (perjalanan lebih dari 1 jam), antibiotik oral spektrum luas harus tersedia
di rumah dan harus segera diberikan bila penderita panas (contoh: ciprofloxacin).
Kemoterapi masih menjadi pengobatan satu-satunya penderita anak-anak
dengan LLA meskipun biayanya cukup tinggi.Beberapa negara menyediakan
protokol untuk menghemat biaya dengan tetap mempertimbangkan hasil
pengobatan(Veerman 1996).Pengobatan kemoterapi yang terdiri dari obat sitostatika
memiliki efek samping yang umum dan unik tergantung dari jenis obat.Sebagai
contoh Prednison dan deksametason, merupakan obat sitostatika yang paling murah
dan efektif pada ALL dan limfoma.Kedua obat ini merupakan steroid tetapi
mempunyai efek yang berbeda pada efek anabolik atau muscle building
steroid.Prednison dan deksametason menyebabkan berkurangnya massa otot,
kelemahan dan menyebabkan penumpukan lemak di wajah dan perut serta
menyebabkan hipertensi dan peningkatan kadar gula darah (diabetes). Semua dari
efek ini bersifat sementara dan memerlukan diet khusus, pengobatan diabetes atau
kontrol tekanan darah selama pemberian prednison atau deksametason.Sayangnya,
pengobatan steroid meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi yang serius.
Gejala panas dan nyeri akan berkurang sehingga akan menyulitkan diagnosis. Jika
steroid diberikan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kelemahan
pada tulang dan mudah patah pada tulang pinggul dan tulang belakang. Semua efek
samping ini harus diperhatikan selama fase pemberian kemoterapi.
3
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang saat ini
melakukan revisi terhadap protokol LLA sebelumnya.Sedikit penelitian atau data di
Indonesia yang membahas tentang toksisitas kemoterapi.Data yang ada hanya
terbatas pada angka kematian berkisar 30% tanpa ada penjelasan penyebab
kematian pada anak-anak dengan LLA.Masih ada kemungkinan bahwa kombinasi
steroid dengan daunorubicin pada fase induksi menyebabkan tingginya angka
kematian. Pada beberapa senter menggunakan deksametason dan daunorubicin
pada fase induksi, tetapi di negara berkembang kombinasi ini tidak didukung oleh
pengobatan suportifyang intensif karena keterbatasan sumber daya dan sosio-
ekonomi keluarga. Diperlukan penelitian berkesinambungan untuk menyusun
protokol yang sesuai yang mampu memberikan hasil yang optimal pada penderita
anak dengan LLA di negara berkembang.Jika kita mengacu pada pengalaman
negara maju, mereka menyusun protokol dan mengevaluasi secara rutin sampai
mendapatkan protokol yang terbaik dengan sedikit efek samping dan hasil
pengobatan yang baik.
4
II. TUJUAN
Tujuan pembuatan panduan protokol pengobatan LLA Indonesia 2013 ini adalah :
A. Tujuan umum
1. Menyediakan panduan pengobatanLLA anak di Indonesia.
2. Melakukan evaluasi penggunaan protokol LLA Indonesia 2013
3. Meningkatkan keberhasilan pengobatan penderita LLA anak di Indonesia
B. Tujuan khusus
1. Untuk mengevaluasi hasil pemeriksaan sel blast darah tepi pada hari ke 8 setelah
mulai pengobatan dengan protokol LLA Indonesia 2013 .
2. Mengevaluasi dan menganalis hasil (event free survival rate/EFS) antara
Kelompok Risiko Biasa / standard risk (RB) dan Risiko Tinggi / high risk (RT)
pasien anak dengan LLA yang mendapat pengobatan dengan protokol ini.
4. Mengevaluasi efek samping penggunaan kemoterapi pada berbagai tahap dari
protokol LLA Indonesia 2013 .
5
III. ALUR PENGGUNAAN PROTOKOL LLA INDONESIA-2013
Penilaian respons steroid dilakukan dengan menghitung jumlah sel blast darah tepi
pada hari ke-8. Pada kelompok SR, bila didapatkan jumlah sel blast> 1000/mm3
dikategorikan sebagai steroid poor response maka pasien digolongkan sebagai HR
dan selanjutnya diterapi dengan menggunakan protokol pengobatan HR. Sedangkan
bila blast< 1000/mm3, maka tetap berada sesuai kelompok risiko (steroid good
response)
6
IV. KRITERIA, DEFINISI DAN FOLLOW UP
Kriteria diagnosis
Kriteria Skor
Tidak dimasukkan kriteria bila : a. kriteria Intermedia, b. inti membran regular> 75%
dan , c . <50% besar sel, ukuran yang heterogen memberikan nilai + dan –
Dari definisi tersebut, bila total skor 0 sampai +2 ditetapkan sebagi diagnosis L1,
sedangkan skor -1 sampai -4 adalah L2. Sebagian besar memiliki inti yang
prominent. Vakuola yang prominent banyak terlihat pada L1 dan L2. Saat diagnosis
ditegakkan lakukan komunikasi yang baik, informasi benar dan tepat tentang
penyakit yang diderita pasien kepada orang tua. Edukasi kepada orang tua juga
dilakukan agar paham terhadap kondisi keadaaan sakit yang diderita pasien.
7
Dibutuhkan waktu untuk pemahaman kepada orangtua agar mengijinkan anaknya
untuk memulai terapi
a. Semua kasus LLA harus di registrasi dengan baik, evaluasi faktor risiko , dan
kemudian bandingkan hasil terapi yang kita peroleh dengan hasil terapi yang
ada diliteratur.
Tidak didapatkan infiltrasi sel leukemi pada bagian organ tubuh yang lain.
e. Kambuh/relap (Relapse) :
Lebih dari 20% blast diantara 200 sel inti pada sumsum tulang
o T-cell leukemia
- Lebih dari 1000 sel blast/m3 pada pemeriksaan darah tepi setelah 1 minggu
mulai terapi pada LLA kelompok risiko biasa (RB)
Pasien dengan B-sel leukemia/limfoma (FAB morfologi L-3) harus diterapi dengan
protokol khusus.
- Remisi hematologi jika sel blast ditemukan kurang dari 5% pada sumsum
tulang. Persentase ini dihitung dari 200 sel berinti.
- Remisi komplit :terjadiremisi hematologi dan tidak adanya sel leukemia pada
darah tepi, cairan serebrospinal dan bagian tubuh.
9
V. PENGOBATAN
Untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut karena pengrusakan oleh sel
leukemia selama induksi :
- Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjatanda
sindrom lisis tumor (lihat lampiran hiperleukositosis)
•Catat berat badan guna mengontrol kelebihan cairan, bila perlu beri
furosemid
•Saat pemberian intratekal yang pertama, bila trombosit < 50.000/mm3, beri
transfusikomponen trombosit (lihat lampiran tranfusi darah)
10
•Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan yang disebabkan
karena faktor koagulasi, yang dibuktikan dengan pemanjangan darijalur
intrinsik dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.
-Nutrisi
- Pengendalian infeksi
•Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke dokter
gigi untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi pada
saat sakit dan tiap 6 bulan.
•Konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi
• Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg
selama 3 hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5
mg/kgBB) dapat diberikan pada anak yang baru didiagnosis.
•Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis (dosis 4mg/kg trimethoprim dan 20mg/kg
sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari selama 3 hari per minggu merupakan
rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi dari jerovecii,diberikan segera
setelah selesai fase konsolidasi.
1.Fase Induksi
Prednisone(PRED) :
Jika BMP tertunda hingga 7-10 hari setelah prednisone selesai, harus
diwaspadai terjadinya risiko rebound cell ( hematogones ).
12
RISIKO BIASA
Fase Induksi
Minggu 0 1 2 3 4 5 6
MTX IT
Prednison
Window 40 mg/m2
ww
60/40 mg/m2 po
Blas LCS
BMP
* Bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai denganminggu ke-5 protokol RT
Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan liquor , terapi intratekal hanya
negatif 3x berturut-turut
SIKO TINGGI
13
nduksi
Minggu 0 1 2 3 4 5 6
MTX IT
Prednison
40 mg/m2
60/40 mg/m2 po
Blas LCS
BMP
Vinkristin (VCR) :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam
10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR)intravena :
14
- Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga
akhir minggu ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT
- Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian
dalam 2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT
- Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya
meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda
dengan merk lain dari Asparaginase.
- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m
dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi
dalam syringe, ditambahkan 0,5 – 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak
dikocok agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.
- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20000 IU/m2/dosis.
- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase
reinduksi.
Umur Dosis
1 tahun 8 mg/kali
2 tahun 10mg/kali
≥3 tahun 12mg/kali
15
Beberapa hal yang perlu diingat
1. Luas permukaan tubuh bisa dilihat dari tabel perkiraan permukaan tubuh
berdasarkan dari BB dan TB dari Gehan dan George (lihat appendix-II). Pada
bayi (anak dibawah 1 tahun dengan BB < 10kg), dosis yang diberikan
berdasarkan formula sbb ;
2. Ikutilah protokol secara tepat selam induksi ini. Lekopeni atau trombositopeni
bukan merupakan indikasi untuk mengurangi dosis VCR, deksametason dan L-
Asp pada fase ini. Begitu juga dosis DNR pada risiko tinggi harus diberikan
secara penuh terlepas dari parameter hematologi.
3. Ketika terjadi reaksi alergi terhadap L-Asparaginase (produk dari E-coli), terapi
tetap bisa dilanjutkan dengan L-Asp dari Erwinia Caratova dengan dosis yang
sama atau bisa diberikan antihistamin sebagai profilaksis.
Penggunaan L-asp dihentikan bila terjadi gangguan fungsi hati yang berat,
pankreatitis atau hiperglikemia simtomatis. Jika sudah mencapai nilai normal, L-
Asp bisa dilanjutkan kembali dan dapat diberikan setengah dosis. Jika terjadi
hipofibrinogenemia (<50 mg %), bisa diberi FFP.
4. Setiap akan melakukan tindakan intratekal, hitung trombosit harus lebih dari
50.000/mm3 dan tidak ada perdarahan, serta faal hemostasis normal
16
6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.
-Minggu pertama :
- Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil rendah.
kelebihan cairan .
Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum elektrolit (Na,K,
Ca, P)kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis terapkan
managemensindroma tumor lisis .
- Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek CRP, dan
kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi anal dan
sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien
tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam kemudian cek CRP dan
kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi tapi panas,segera
2.Konsolidasi
RISIKO BIASA
Minggu 8 9 10 11 12
MTX IT
Leukovorin 15 mg/m2/kali
6 MP 50 mg/m2/po
RISIKO TINGGI
18
Minggu 8 9 10 11 12 13
MTX IT
Siklofosfamid
6 MP 50 mg/m2/po
HD-MTX
- Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
•Lekosit ≥ 2000/mm3
•Trombosit ≥ 75000/ mm3
•Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
•Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas nilainormal.
•Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
•Tidak ada infeksi, diare, mucositis
•Tidak ada gangguan kencing
- Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
•Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24 jam
ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.
• Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24 jam,
Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX, diberikan
selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam.
Tanda-tanda toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal,
toksisitas pada liver ( >5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian
19
tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada
saat pemberian HD-MTX.
•Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal liver,
gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan semuanya
ditunda.
•Hindri pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan
penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv
pada 42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.
• Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat
ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat
perut kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan
malam) dan bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama
pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3 bulan.
Umur Dosis
1 tahun 8 mg/kali
2 tahun 10mg/kali
3 ≥tahun 12mg/kali
Cyclophosphamide
- Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan
pemberian Mesna
20
3. Intensifikasi
RISIKO TINGGI
Minggu 14 15 16 17 18
MTX IT
Prednison 40 mg/m2 po
Vincristine :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10
ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
- Selesai intensifikasi, konsul neurologi.
Daunorubicin (DNR)intravena :
Citarabine
- Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.
21
Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3
mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.
MTX i.t
- MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan
pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan
konsolidasi).
4. Rumatan (Maintenance)
- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir
pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18,
dan akan berakhir pada minggu ke 118
- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase
rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas
anak terhadap kemoterapi.
6 MP dan MTX
Deksametason
Catatan Penting :
Indikasi untuk adjusting dosis dan menurunkan dosis 6MP dan MTX
•Setelah 1 minggu jika tidak ada perubahan, 6-MP dan MTX dapat diberikan
dengan dosis separuh.
- Jika nilai lekosit sudah > 2000/mm3, 6-MP dan MTX dimulai dengan dosis
normal dan 2 minggu kemudian dibericotrimoksazol. Ketika nilai lekosit
dibawah 1000/mm3cotrimoksazol dan sitostatika harus dihentikan sampai nilai
lekosit kembali ≥ 2000/mm3.
- Pada infeksi berat atau kecurigaan infeksi berat maka pengobatan fase
rumatan untuk sementara dihentikan.
24
•Gangguan fungsi hati ini sering terjadi selama masa pengobatan.
Sepanjangnilai bilirubin normal, peningkatan nilai SGOT dan SGPT tidak
merubah terapi.
•Pada kasus asimptomatik dengan bilirubin 1.3-2.0 mg/dl dan SGPT 80-150
IU/L dan kondisi klinis baik, maka kemoterapi dapat dilanjutkan tanpa
perhatian khusus.
•Apabila tetap ada gangguan fungsi atau kambuh berulang dalam kurun
waktu 6 bulan ( berarti sitostatika dihentikan beberapa kali) ,lakukan tes
diagnostikpatologi hati.
Catatan :
25
Perubahan obat harus dihindari, misal jika vincristine diberikan secara intratekal,
pasien akan menderita atau meninggal karena mielopati dan deserebrasi.
Vincristine jangan pernah ada di ruang lumbal pungsi.
26
VI. OBAT SITOSTATIKA .
1. Vincristine
2. Deksametason
Bekerja dengan cara mengikat reseptor sel intrasitoplasma , selanjutnya
memblok secara ireversibel fase G1 dan interfase pada sel limfoid. Untuk
mematikan reseptor sel dibutuhkan beberapa hari.Deksametason dapat
menembus sawar darah otak (blood brain barrier) dan efektif pada sistem
saraf pusat.
Efek samping :sebagian besar menunjukkan efek glukokortikoid, sedikit
mineralokortikoid. Mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak.Menambah gluconeogenesis (hiperglikemia) dan katabolisme
protein.Inhibisipadaaksis hypothalamus-pituitary-adrenal.Imunosupresi.
27
adipositas, osteoporosis, sindroma cushing, hipertensi, hiperglikemia,
pseudotumor serebri, miopati.
Penyimpanan dan stabilitas : tablet dan ampul disimpan pada suhu kamar.
Cara pemberian ; oral atau intravena.
3. L-Asparaginase
Efek :split L-Asparagin pada L-Asparaginase dan ammonia.
Efek samping : reaksi alergi, demam, menggigil, mual, muntah, koagulopati,
gangguan fungsi liver, hipobetalipoproteinemia, non-ketosis hiperglikemia.
Peringatan : Pengobatan sebaiknya tidak diinterupsi ( karena risiko
sensibilitas). Jika ternyata tidak dapat dihindari, maka dosisnya dimulai dari
dosis rendah.
Bila diberikan sesaat sebelum atau bersamaan dengan VCR akan
menyebabkan toksisitas meningkat.
L-Asp meningkatkan efek vindesin dan etoposid.
Stabilitas : setelah dilarutkan, L-Asp harus segera digunakan, jumlah yang
tersisa dalam botol harus dibuang.
Dosis L-Asp 6000 – 7500 u/m2; pemberian iv dalam 100 mL cairan diberikan
dalam 1-2 jam (protocol COG)
a. Atau im dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi
b. Atau setelah L-asp diaspirasi dalam syringe, ditambahkan 0,5-1mL lidocain
dalam syringe yang sama (tidak dikocok agar tidak tercampur), kemudian
diberikan i.m perlahan
c. Risiko hipersensitif / anafilaksis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi
pada pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada
fase reinduksi
d. Jika ada trombositopenia dan pemberian i.m., maka berikan terlebih dahulu
transfusi trombosit.
4. Methotrexate
Efek : antifolat antimetabolit (, antagonis asam folat ).
28
Efek samping : anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare, mukositis,
dermatitis, anemia, leukopenia, trombositopenia, gangguan fungsi hati.
Penyimpanan dan stabilitas : vial dan tablet disimpan pada suhu kamar,
terlindung dari cahaya.Jika MTX tablet tidak tersedia dapat diganti MTX iv.
5. 6-Mercaptopurine
Efek : purin antimetabolit.
Efek samping :gangguan fungsi hati, leukopenia, trombositopenia, anoreksia,
mual, muntah, stomatitis, imunosupresi.
Penyimpanan dan stabilitas: tablet disimpan pada suhu kamar.
6. Citarabine
Efek : antimetabolit, antagonis piridin, inhibitor kompetitif polimerase DNA, efek
sitotoksik pada fase G1 siklus sel.
Efek samping : leukopenia, mual, muntah, trombositopenia, demam, stomatitis,
diare, gangguan fungsi hati, imunoseupresi.
Penyimpanan dan stabilitas : botol Ara-C disimpan pada suhu kamar. Setelah
dilarutkan, larutan harus disimpan pada suhu kamar, harus diberikan dalam
waktu 48 jam.
7. Doxorubicin, Daunorubicin
Efek : inhibisi mitosis
Efek samping : mielosupresi, mual, muntah, diare, stomatitis, alopesia, gagal
jantung (decompensatio cordis), kardiomiopati.
Penyimpanan dan stabilitas : vial injeksi disimpan pada suhu kamar, stabil
dalam gelap 48 jam.
8. Cyclophosphamide
Efek samping : mielosupresi, perdarahan sistitis (dicegah dengan pemberian
Mesna), kardiomiopati, SIADH , stomatitis, mual, muntah dan alopesia.
.
29
Penyimpanan dan stabilitas : dalam bentuk tablet dan bubuk injeksi disimpan
pada suhu kamar sebaiknya dalam suhu 25 0C dan tidak lebih dari 300C.
Persiapan : larutkan bubuk dengan sterile water injection atau dekstrose 5%
untuk mencapai konsentrasi 20 mg/ml. Disimpan selama 24 jam pada suhu
kamar atau hingga 6 hari pada suhu 4-10 0C.
30
VII.ANALISIS STATISTIKA
31
Daftar pustaka
32
25. Ribeiro RC, Pui CH. Saving the children –improving childhood cancer treatment in developing
countries. N Engl J Med 2005; 352: 21: 2158-2160.
26. Ugrasena IDG, Sutaryo, Supriadi E, Vroling L, Cloos J, Hooijberg JH, Veerman AJP. High
frequency of the 3R/3R polymorphism in the thymidylate synthease enhancer region in
Indonesian childhood acute lymphoblastic leukemia. Pediatr Indones 2006; 46: 103-1123.
27. Veerman AJP, Sutaryo, Sumadiono. Commentary. Twinning: A regarding scenario for
development of oncology services in transitional countries. Pediatr Blood Cancer 2005; 45:
103-106.
28. Ito C, Evans WE, McNinch L, Coustan-Smith E, Mahmoud H, Pui CH, Campana D.
Comparative cytotoxicity of dexamethasone and prednisolone in childhood acute lymphoblastic
leukemia. J Clin Oncol 1996;14:2370-76.
29. Ahmed SF, Tucker P, Mushtaq T, Wallace AM, William DM, Hughes IA. Short-term effects on
linear growth and bone turnover in children randomized to receive prednisolone or
dexamethasone. Clin Endocrinol 2002;57(2):185-91.
30. Belgaumi AF, Al-Bakrah M, Al-Mahr M, Al-Jefri A, Al-MUsa A, Saleh M, et al. Dexamethasone-
associated toxicity during induction chemotherapy for childhood acute lymphoblastic leukemia
is augmented by concurrent use of daunomycin. Cancer 2003;97(11):2898-903.
31. Ulrike NG, Elvira A, Gudrun F, Dirk S, Rosmarie S, Christiane S, Ralf J. Thromboembolic
events in children with acute lymphoblastic leukemia (BFM protocols): prednisone versus
dexamethasone administration. Blood 2003;101(7):2529-33.
32. Vienna , Murao, Ramos, Oliviera, De-Carvalho, DE-Baltos, et al. Malnutrition as a prognostic
factor in lymphoblastic leukemia: a multivariate analysis. Arch Dis Child 1994; 71(4): 304-310.
33. Pui CH, Sandlund JT, Pei D, Rivera GK, Howard SC, Ribeiro RC, et al. Results of therapy for
acute lymphoblastic leukemia in black and white children. JAMA 2003; 290(15): 2001-2007.
34. Shu XO, Linet MS, Steinburg M, Wen WQ, Buckley JD, Neglia JP, et al. Breats feeding and risk
of childhood leukemia. J Natl Cancer Inst 1999; 91: 1765-1772.
35. Veerman AJ, Hahlen K, Kamps WA, Van Leeuwen EF, De Vaan GA, Solbu G, et al. High cure
rate with a moderately intensive treatment regimen in non-high risk childhood acute
lymphoblastic leukemia. Results of protocol ALL VI from the Dutch Childhood Leukemia Group.
J Clin Oncol 1996;114:911-8.
36. Schwartz CL, Thompson EB, Gelber RD, Young ML, Chilton D, Cohen HJ, Sallon SE.
Improved response with higher corticosteroid dose in children with acute lymphoblastic
leukemia. J Clin Oncol 2001;19:1040-6.
37. Igarashi S, Manabe A, Ohara A, Kumagai M, Saito T, Okimoto Y, et al. No advantage of
dexamethasone over prednisolone for the outcome of standard – and intermediate risk
childhood acute lymphoblastic leukemia in the Tokyo Chldren’s Cancer Study Group L95-14
Protocol. J Clin Oncol 2005;23(27):6489-98.
38. Mitchell CD, Richards SM, Kinsey SE, Lilleymen J, Vora A, Eden TOB. Benefit of
dexamethasone compared with prednisolone for childhood acute lymphoblastic leukemia:
resuls of the UK Medical Research Council ALL97 randomized trial. BJH 2005;129:734-45.
39. Arico M, Valsecchi MG, Conter V, Rizzari C, Pession A, Messina C, et al. Improved outcome in
high-risk childhood acute lymphoblastic leukemia defined by prednisone poor response treated
with double Berlin-Frankfurt-Muenster protocol II. Blood 2002;100:420-6.
40. Bostrom BC, Sensel MS, Harland NS, Gaynon PS, La MK, Johnston LK, et al. Dexamethasone
versus prednisone and daily oral versus weekly intravenous mercaptopurine for patients with
standard risk acute lymphoblastic leukemia: a report from the Children’s Cancer Group. Blood
2003;101:3809-17.
41. Mostert S, Gundy GM, Sutaryo, Sitaresmi MN, Veerman AJ. Influence of socioeconomic status
on childhood acute lymphoblastic leukemia treatment in Indonesia. Pediatrics 2006 Oct 30
42. Aapro M., Crawford J., Kamioner D. Prophylaxis of chemotherapy-induced febrile neutropenia
with granulocyte colony-stimulating factors: where are we now?. Support Care Cancer (2010)
18:529–541
43. Baglin TP., Gray JJ., Marcus RE., Wreghitt TG. Antibiotic resistant fever associated with herpes
simplex virus infection in neutropenic patients with haematological malignancy. J Clin Pathol
1989; 42:1255–8
44. Carcillo J. What’s new in the pediatric intensive care medicine. Pediatr Crit Care Med.
2006;34:S183-190
45. Celkan T., Ozkan A., Apak H., Diren S., Can G., Yuksel L, et al. Bacteremia in childhood
cancer. J Trop Pediatr. 2002;48:373-7
33
46. Danilatou V., Mantadakis E., Galanakis E., Christidou A., Stiakaki E., Kalmanti M. Three cases
of viridans group streptococcal bacteremia in children with febrile neutropenia and literature
review. Scand J Infect Dis. 2003;35:873-6.
47. DeSancho MT., Rand JH. Bleeding and thrombotic complications in critically ill patiensts with
cancer. Crit Care Clin. 2001:17:599-622.
48. Freifeld AG., Bow EJ., Sepkowitz KA., Boeckh MJ., Ito JI., Mullen CA., Raad II., et al.
Clinical Practice Guideline for the Use of Antimicrobial Agents in Neutropenic Patients with
Cancer: 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Practice
Guideline.CID 2011:52 (15 February); e56-93
49. Friese CR. Chemotherapy-induced neutropenia: Important new data to guide nursing
assessment and management. Adv Stud Nurs. 2006;4(2):21-25.
50. Gabay M., Tanzi M. Guidelines for the Management of Febrile Neutropenia. Pharmacy Practice
News. Desember 2009. 9-17
51. Goad KE., Gralnick HR. Coagulation disorders in cancer. Hematol Oncol Clin North Am.
1996;10:457
52. Goldstein B., Giroir B., Randolph A. International Consensus Conference on Pediatric Sepsis.
International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ
dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005;6(1):2–8.
53. Greenberg D., Moser A., Yagupsky P., Peled N., Hofman Y., Kapelushnik J., Leibovitz E.
Microbiological spectrum and susceptibility patterns of pathogens causing bacteraemia in
paediatric febrile neutropenic oncology patients: comparison between two consecutive time
periods with use of different antibiotic treatment protocols. Int J Antimicrob Agents.
2005;25:469-73
54. Hughes WT., Armstrong D., Bodey GP., Bow EJ., Brown AE., Calandra T, et al. Guidelines for
the use of antimicrobial agents in neutropenic patients with cancer. Clin Infect Dis.
2002;34:730-51
55. Jaksic B., Martinelli G., Perez-Oteyza J., Hartman CS., Leonard LB., Tack KJ. Efficacy and
safety of linezolid compared with vancomycin in a randomized, double-blind study of febrile
neutropenic patients with cancer. Clin Infect Dis. 2006;42:597-607.
56. Johnson MJ. Bleeding, clotting, and cancer. Clin Oncol (R Coll Radiol). 1997;9:294-301
57. Lai HP., Hsueh PR., Chen YC., Lee PI., Lu CY., Lu MY, et al. Bacteremia in hematological and
oncological children with febrile neutropenia: experience in a tertiary medical center in Taiwan.
J Microbiol Immunol Infect. 2003;36:197-202.
58. Lehrnbecher T., Phillips R., Alexander S., Alvaro F., Carlesse F., Fisher B. Guideline for the
Management of Fever and Neutropenia in Children With Cancer and/or Undergoing
Hematopoietic Stem-Cell Transplantation. J Clin Oncol 30.1-12
59. Liang DC., Chen SH., Lean SF. Role of granulocyte colonystimulating factor as adjunct therapy
for septicemia in children with acute leukemia. Am J Hematol. 1995;48:76-81.
60. Link H., Böhme A., Cornely OA., Höffken K., Kellner O., Kern WV, et al. Antimicrobial therapy of
unexplained fever in neutropenic patients. Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S105-17.
61. Lucas KG., Brown AE., Armstrong D., Chapman D., Heller G. The identification of febrile,
neutropenic children with neoplasic disease low risk of bacteremia and complications of sepsis.
Cancer. 1996;77:791-9.
62. Lyman GH., Lyman CH., Agboola O, for the ANC Study Group. Risk Models for Predicting
Chemotherapy-Induced Neutropenia. The Oncologist 2005;10:427–437
63. Maschmeyer G., Ostermann H., Wendt S., Richter G. Guidelines of the infectious diseases
working party of the German Society of Hematology and Oncology. Ann Hematol. 2003;82
Suppl 2:S105-17
64. Meckler G., Lindemulder S. Fever and Neutropenia in Pediatric Patients with Cancer. Emerg
Med Clin N Am 27 (2009) 525–544
65. Mendes AVA., Sapolnik R., Mendonça N. New guidelines for the clinical management of
febrile neutropenia and sepsis in pediatric oncology patients.J Pediatr (Rio J). 2007;83(2
Suppl):S54-63
66. Naurois J.D., Novitzky-Basso I, Gill M.J., Marti F.M., Cullen M.H., Roila F. On behalf of the
ESMO Guidelines Working Group. Management of febrile neutropenia: ESMO Clinical Practice
Guidelines. Annals of Oncology 21 (Supplement 5): 2010;v252–v256
67. Renoult E., Buteau C., Turgeon N., Moghrabi A., Duval M., Tapiero B. Is routine chest
radiography necessary for the initial evaluation of fever in neutropenic children with cancer?
Pediatr Blood Cancer. 2004;43:224-8
34
68. Rotstein C., Bow EG., Laverdiere M. Randomized placebo-controlled trial of fluconazole
prophylaxis for neutropenic patients: benefit based on purpose and intensity of cytotoxic
therapy. Clin InfectDis 1999; 28:331–40
69. Ruhnke M., Böhme A., Buchheidt D., Donhuijsen K., Einsele H., Enzensberger R, et al.
Diagnosis of invasive fungal infections in hematoloy and oncology. Guidelines of the Infectious
Diseases Working Party (AGIHO) of the Germany Society of Hematology and Oncology
(DGHO). Ann Hematol. 2003;82 Suppl 2:S141-8.
70. Sachdeva RC., Jefferson LS., Coss-Bu J., Brody BA. Resource consumption and the extent of
futile care in a pediatric intensive care setting. J Pediatr. 1996;128:742-7
71. Santolaya ME., Rabagliati R., Bidart T., Paya E., Guzman AM., Morales R, et al. Consenso
manejo racional del paciente con cáncer, neutropenia y fiebre: rational approach towards the
patient with cancer, fever and neutropenia. Rev Chilena Infectol. 2005;22 Supl 2:S79-S113
72. Segal BH., Almyroudis NG., Battiwalla M., Herbrecht R., Perfect JR., Walsh TJ, et al.
Prevention and early treatment of invasive fungal infection in patients with cancer and
neutropenia and in stem cell transplant recipients in the era of newer broad-spectrum antifungal
agents and diagnostic adjuncts. Clin Infect Dis. 2007;44:402-9.
73. Sharma A., Lokeshwar N. Febrile Neutropenia in Haematological Malignancy. J Postgrad Med.
2005;Vol 51; suppl 1; S42-S48
74. Veyradier A., Jenkins CS., Fressinaud E., Meyer D. Acquired von Willebrand syndrome: from
pathophysiology to management. Thromb Haemost. 2000;84:175-82
75. Winston DJ., Hathorn JW., Schuster MG., Schiller GJ., Territo MC. A multicenter, randomized
trial of fluconazole versus amphotericin B for empiric antifungal therapy of febrile neutropenic
patients with cancer. Am J Med. 2000;108:282-9.
35
36