Anda di halaman 1dari 72

i

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Mukositis sering terjadi pada anak-anak dengan leukemia akut. Mukositis


pada anak-anak dengan leukemia akut merupakan lesi inflamasi pada mukosa oral
dan atau pada mukosa gastrointestinal yang disebabkan oleh terapi kanker dosis
tinggi. Mukositis saluran pencernaan mengacu pada ekspresi cedera mukosa di
seluruh kontinum mukosa oral dan gastrointestinal, dari mulut ke anus. 1 Anak-
anak dengan leukemia akut berisiko lebih tinggi mengalami mukositis, yang
membuat mereka lebih rentan mengalami perburukan kondisi dan tidak jarang
menyebabkan kematian. Studi Amador et al pada tahun 2007, menyebutkan
bahwa 45% dari anak-anak dengan leukemia akut mengalami satu kali atau lebih
episode mukositis oral yang disebabkan kemoterapi.2
Mukositis ditandai dengan kerusakan mukosa, dengan manifestasi akibat
rusaknya epitel gastrointestinal dimana keluhan dimulai dengan nyeri telan,
muntah, diare yang berkontribusi terhadap penyerapan nutrisi yang buruk dan
akibatnya, penurunan berat badan pada pasien dengan leukemia akut sampai
dengan menyebabkan kondisi malnutrisi. Hal ini bisa menjadi penyebab
pengurangan dosis kemoterapi yang mengarah ke prognosis yang lebih buruk.
Selain itu, mukositis memiliki dampak yang cukup besar dalam hal ekonomi
karena tingginya biaya tinggi akibat lamanya rawat inap pasien untuk mengelola
gejala karakteristik gangguan ini.2
Penegakan diagnosis mukositis gastrointestinal merupakan suatu hal yang
tidak mudah. Selama ini, biopsi intestinal merupakan baku emas dalam
menegakkan diagnosis mukositis. Namun tindakan ini cukup invasif pada pasien
anak dengan leukemia akut karena terdapat risiko infeksi dan perdarahan yang
tinggi. Oleh karena itu, diperlukan biomarker non-invasif untuk mendiagnosis dan
menilai tingkat keparahan mukositis. Biomarker yang akurat untuk mendiagnosis
mukositis dan menetapkan tingkat keparahan akan memberikan kesempatan untuk
mengevaluasi dan untuk menentukan faktor risiko kejadian. Selain itu, biomarker
ini akan berpotensi meningkatkan tata laksana misalnya penggunaan antibiotik

1
profilaksis atau perubahan diet untuk dukungan nutrisi. Dalam hal ini,
pemeriksaan serum citrulline merupakan biomarker non-invasif pilihan dalam
menegakkan diagnosis mukositis yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.3-5
Berdasarkan penelitian sebelumnya, validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapannya, pada beberapa biomarker yang diteliti menggunakan sampel darah,
sampel tinja, sampel napas, dan sampel urin untuk mendiagnosis mukositis dan
menilai keparahan, dari beberapa biomarker non-invasif, kadar citrulline juga
dapat menjadi sarana yang objektif dan dapat diandalkan untuk menentukan
diagnosis mukositis gastrointestinal dan evaluasi terapi pasien anak post
kemoterapi leukemia akut yang akan dibahas lebih lanjut pada tinjauan
kepustakaan ini.1,2,5

1.1 Tujuan
Tujuan penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk memaparkan lebih
lanjut mengenai kadar citrulline sebagai pemeriksaan biomarker diagnostik non-
invasif mukositis gastrointestinal pada anak-anak dengan leukemia akut.

2
BAB II

MUKOSITIS

2.1 Definisi

Mukositis adalah kerusakan membran mukosa sebagai akibat sekunder dari


terapi kanker, dapat terjadi pada rongga mulut, faring, laring, esophagus, dan area
lain pada saluran gastrointestinal. Hal ini seringkali terjadi pada beberapa hari
setelah pemberian obat kemoterapi, dan dapat menetap sampai satu minggu
setelahnya.6 Mukositis akibat kemoterapi dapat bersifat sangat berat,
menyebabkan berbagai gangguan, diantaranya adalah gangguan fisiologis dan
gangguan fungsional. Gangguan fisiologis antara lain terjadinya lesi, ulserasi,
inflamasi berlebihan, nyeri dan infeksi. Lesi dan ulserasi akibat mukositis dapat
menjadi predisposisi terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus. Hal ini
mengancam kehidupan anak karena dapat menjadi infeksi yang sistemik.
Sementara gangguan fungsional akibat mukositis adalah kesulitan mengunyah,
menelan dan berbicara. Mukositis akibat kemoterapi menyebabkan terjadinya
berbagai konsekuensi. Leukemia akut pada anak dengan mukositis memerlukan
penyesuaian dosis kemoterapi. Hal tersebut akan memperpanjang penatalaksanaan
leukemia. Konsekuensinya, proses perawatan menjadi lebih lama, sehingga akan
meningkatkan biaya dan pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup anak.7
Istilah "mukositis" dan "stomatitis" secara konvensional telah digunakan
secara bergantian untuk membahas perubahan yang terlihat dalam rongga mulut.
Baru-baru ini, ada upaya untuk memperjelas terminologi. Mukositis mengacu
pada proses inflamasi yang melibatkan mukosa membran rongga mulut dan
saluran pencernaan. Stomatitis mengacu pada penyakit radang mulut termasuk
tidak hanya mukosa, tetapi juga gigi-geligi, periapices, dan periodonsium.
Terminologi dalam penggunaan istilah "mukositis saluran pencernaan" untuk
mukositis di rongga mulut dan saluran pencernaan sebagai satu area. Penggunaan
istilah ini secara konsisten di kalangan profesional tenaga kesehatan akan
meningkatkan komunikasi mengenai temuan serta rekomendasi untuk intervensi
yang ditujukan pada pencegahan dan pengobatan dari mukositis.

3
Mukosa oral terdiri dari sel-sel mukosa yang terus membelah secara cepat.
Gangguan dalam pembelahan sel mukosa akibat kemoterapi akan mencetuskan
mukositis. Selanjutnya mukositis akan memberikan berbagai dampak negatif pada
anak.6 Prevalensi mengenai mukositis akibat kemoterapi pada anak masih menjadi
perdebatan, karena saat ini belum ada konsensus mengenai angka insidensi
mukositis akibat kemoterapi. Namun demikian, menurut studi United Kingdom
Children’s Cancer Study Group dan Paediatric Oncology Nurses Forum
(UKCCSG-PONF) tahun 2006, prevalensi terjadinya mukositis akibat kemoterapi
diperkirakan mencapai 30-40% dalam setiap siklusnya. Literatur lain dari Cancer
Care Nova Stovia (CCNS) tahun 2008, mengatakan bahwa angka prevalensi
mukositis lebih besar lagi, yaitu sekitar 45- 80%.8
Tingkat keparahan mukositis tergantung pada berbagai faktor, termasuk
dosis obat, interval dosis, volume jaringan yang dirawat dan jenis radiasi. Faktor-
faktor lain adalah paparan sebelum kemoterapi, kemoterapi bersamaan, dan
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus atau kondisi vaskular. Pada
kebanyakan pasien penyembuhan terjadi dua atau tiga minggu setelah akhir
radioterapi fraksinasi konvensional maupun kemoterapi.9

2.2 Faktor Risiko dan Etiologi

Beberapa faktor yang dapat berkontribusi dalam meningkatkan terjadinya


mukositis oral terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang
berhubungan dengan pasien sendiri, dan faktor risiko yang berhubungan dengan
terapi. Faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, meliputi umur dan jenis
kelamin. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sonis dan Fey (2002) dalam
Gupta (2013), populasi anak-anak juga memiliki risiko lebih tinggi karena
proliferasi jaringan epitel sel anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa. Pada
usia anak memiliki sel epitel yang lebih sensitif mengalami toksisitas, dan
keganasan hematologi dapat menyebabkan mielosupresi yang memicu terjadinya
mukositis oral. Secara keseluruhan berdasarkan jenis kelamin, perempuan
memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan laki-laki, terutama bila mereka
mendapatkan kemoterapi jenis 5 Fluorouracil (FU). Terkait dengan faktor risiko
yang berhubungan dengan terapi yang diperoleh, mukositis oral dipengaruhi oleh

4
agen kemoterapi, dosis kemoterapi, intensitas pengulangan terapi. Agen
kemoterapi yang paling sering terkait dengan mukositis adalah antimetabolit yang
meliputi etoposide, 5 FU, dan methotrexate Obat ini sangat sering diberikan pada
pasien kanker darah dan nasofaring. Anak yang mendapat terapi dengan dosis
lebih besar, seperti pada anak yang resisten terhadap pengobatan akan lebih rentan
mengalami mukositis. Kemoterapi yang dilakukan dalam waktu yang lama,
seperti pada anak yang mengalami relaps juga meningkatkan risiko terjadinya
mukositis. Selain itu pasien yang mendapat kombinasi terapi juga memiliki risiko
lebih tinggi mengalami mukositis dibandingkan dengan terapi tunggal. 10
Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada perencanaan
terapi yang perlu mempertimbangkan pengurangan dosis, penundaan, bahkan
penghentian kemoterapi. Kondisi ini juga dapat memperparah infeksi yang dapat
mengancam nyawa, khususnya bila pasien jatuh dalam kondisi neutropenia.
Faktor risiko lainnya yang berkontribusi menyebabkan terjadinya mukositis oral
pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus Herpes Simpleks dan
pengobatannya seperti penggunaan acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir
(Valtrex), pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, dan pasien yang
mengalami penurunan produksi saliva serta pH saliva. 11,12
Adanya penurunan produksi dan pH saliva tersebut juga merupakan efek
samping dari kemoterapi yang diberikan. Status gizi juga mempengaruhi
terjadinya mukositis. Pada asupan glukosa dan protein yang tinggi, serta
malnutrisi kekurangan protein berkontribusi menyebabkan mukosa mulut kering
sehingga meningkatkan risiko terjadinya iritasi dan penurunan pertumbuhan sel-
sel epitel mukosa.7,13 Hal ini juga dipertegas dengan penelitian yang dilakukan
oleh Peterson dan Carrielo (2004) yang menyatakan bahwa anak dengan status
gizi kurang atau gizi buruk lebih berisiko mengalami mukositis, namun penelitian
lain yang dilakukan oleh Robien et al. (2004), anak dengan Body Mass Index
(BMI) yang lebih tinggi, seperti gizi normal, overweight, dan obesitas lebih
berisiko mengalami mukositis dibandingkan dengan anak yang memiliki Body
Mass Index rendah, yaitu pada pasien kurus dan sangat kurus. 14
Penyebab mukositis adalah konsekuensi dari dua mekanisme utama:
toksisitas langsung karena pengobatan dan proses myelosupresi yang dihasilkan

5
dari terapi. Faktor – faktor tersebut menyebabkan berkurangnya pembaruan sel
pada lapisan epitel basal sebagai akibat dari kemoterapi dan radioterapi;
penggantian sel desquamated yang memadai menjadi tidak mencukupi. Kinetika
sel awalnya didefinisikan sebagai sensitivitas jaringan normal terhadap terapi anti
kanker. Sel-sel orofaringeal, usus dan sumsum tulang membelah dengan cepat dan
lebih sensitif terhadap radiasi dan kemoterapi dibandingkan dengan sel-sel yang
membagi sel-sel yang lebih lambat dan tua di organ tubuh lain. Baik radiasi dan
kemoterapi menyebabkan kematian sel dengan mengganggu pertumbuhan dan
mekanisme diferensiasi mereka. Pembelahan sel lebih sensitif terhadap efek terapi
antikanker. Sel-sel dalam mukosa mulut memiliki tingkat mitosis, pembaruan sel
dan maturasi epitel yang tinggi. Mukosa ini, dengan demikian, rentan terhadap
efek samping kemoterapi. Efek non-spesifik dari obat sitotoksik yang digunakan
dalam terapi mengurangi laju reepitelisasi yang menyebabkan atrofi otot, ulkus
mukosa dan inflamasi lokal atau difus. Beberapa penelitian telah melaporkan
terapi anti kanker yang berisiko tinggi terjadinya mukositis. 15,16
Kemoterapi
Meskipun obat kemoterapi yang berbeda dapat menargetkan mekanisme
kerja yang berbeda dari siklus sel atau metabolisme, efeknya pada morfologi usus
konsisten dan ditandai oleh penurunan panjang ruang crypt usus, pemendekan dan
mengalami fusi vili, enterosit hiperplasia dan peningkatan apoptosis. Usus kecil
paling sering terkena. Kesamaan aspek patogenesis mukositis juga dicatat,
meskipun kurangnya titik akhir studi yang seragam menghambat beberapa
perbandingan di berbagai kelas dan agen spesifik. Peran sitokin proinflamasi telah
disarankan oleh sejumlah studi dari 5-FU, metotreksat dan irinotecan15 di mana
TNF, IL-1β, dan IL-6 tingkat semua meningkat sebelum perubahan jaringan. 10

Demikian juga, protein yang terkait dengan regulasi apoptosis (mis., Bcl-2)
dipengaruhi oleh berbagai agen sitotoksik.4 Demikian juga, mukositis yang
diinduksi irinotecan dikaitkan dengan aktivasi caspases, p53 dan downregulation
dari jalur PI3K / Akt, aktivasi jalur MAPK dan PKC.13Anatomi spesifik usus kecil
dan besar berkontribusi pada pembentukan mukositis sebagai ‘downstream event’.
Misalnya, pengurangan jumlah sel goblet dan hipersekresi musin kemungkinan
berkontribusi pada perkembangan diare. Beberapa bukti menunjukkan bahwa

6
mukositis gastrointestinal dapat bermanifestasi dalam dua cara berbeda selama
perawatan irinotecan. Diare onset dini disebabkan oleh aktivasi sistem
parasimpatis yang mengarah ke sindrom kolinergik oleh penghambatan
asetilkolinesterase atau pelepasan sejumlah besar asetilkolin. Di sisi lain, diare
dengan onset lambat tampaknya bersifat multifaktorial dengan sitokin dan efek
toksik yang dimediasi peradangan pada mukosa serta perubahan motilitas. (1) (16)
Regimen kemoterapi yang paling sering dilaporkan memiliki risiko diare tingkat
3-4 (onset lambat).

Tabel 1. Regimen Kemoterapi Berisiko Tinggi Mukositis


Sumber : Sonis, S. T. A biological approach to mukositis. J. Support Oncol. 2, 21-32

Agen Mukositis Gastrointestinal


Diare grade III - IV
5-fluorouracil (bolus) 32%
irinotecan + leucovorin + 5- 25 – 28%
fluorouracil (IFL)

irinotecan + capecitabine 26%


(XELIRI)
Irinotectan 16% -22%

irinotecan + leucovorin + 5- 11-14%


fluoruracil (bolus) terapi
kombinasi (FOLFIRI)

terapi kombinasi docetaxel + 14%


capecitabine

5-fluorouracil (Continuing 6%-13%


infusion)
Capecitabine 11%
Docetaxel atau Paclitaxel 4%

7
Radioterapi
Demikian juga, perkembangan mukositis pada kemoterapi yang
dikaitkan dengan pengurangan musin. Dalam hal radiasi, kerusakan sinyal
pada tingkat sel dan jaringan terjadi dalam beberapa detik setelah terpapar.
Sementara urutan biologis mirip dengan yang dijelaskan di atas, jadwal
dosis radiasi difraksinasi memastikan sinyal kerusakan dan tumpang tindih
yang terus menerus dan perubahan jaringan. Dalam kasus saluran
pencernaan bagian atas dan mukosa dubur, gejala yang terkait dengan
perubahan atrofi (rasa terbakar dan nyeri sedang) mulai segera setelah
akhir minggu pertama dosis ketika pasien biasanya menerima radiasi 10
Gy. Ulserasi dicatat antara minggu kedua dan ketiga pengobatan dan
menjadi berdekatan dan sangat menyakitkan (sehingga membatasi fungsi)
pada dosis radiasi kumulatif 30-40 Gy. Lesi bertahan hingga 6 minggu
setelah radioterapi selesai. 10

2.3 Patogenesis
Proses kemoterapi dan radioterapi menyebabkan sel basal dari
mukosa oral menjadi lebih rentan rusak. Dinding sel epitel tersebut akan
rapuh sehingga rentan untuk terjadi infeksi dan ulserasi. Kerusakan itu
akan meluas ke daerah oropharyngeal cavity dan traktus gastrointestinal.
Selain mukosa oral yang merupakan area tersering yang terkena
efek toksisitas, mukositis juga dapat mengenai esophagus, duodenum,
ileum, jejunum, colon, dan rektum. Mekanisme mukositis yang terjadi juga
hampir sama seperti mukosa oral, tetapi kerusakan permukaan mukosa
yang ditimbulkan lebih agresif daripada mukositis oral. Selain itu,
meskipun jarang terjadi, terapi dari karsinoma ovarium dan nasofaringeal
juga dapat menyebabkan mukositis vagina dan nasal. 19

8
Gambar 1. Patobiologi Mukositis
Sumber : Sonis, S. T. A biological approach to mukositis. J. Support Oncol. 2, 21-32

Secara umum, patofisiologi mukositis dibagi menjadi 5 fase: 20


1. Inisiasi kerusakan jaringan
Radiasi dan atau kemoterapi akan merangsang kerusakan sel yang akan
menyebabkan kematian dari sel basal epitel. Reactive Oxygen Species
(ROS, radikal bebas) akan terbentuk dan menyebabkan inisiasi mucosal
injury.
2. Regulasi inflamasi melalui sinyal messenger.
Selain menyebabkan kematian sel, radikal bebas juga mengaktifkan
second messenger yang mentransmisi sinyal dari reseptor di permukaan sel
menuju ke dalam sel. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya regulasi
mediator inflamasi sitokin, kerusakan jaringan, dan kematian sel.
3. Signaling dan amplification
Regulasi dari mediator sitokin proinflamasi seperti Tumor necrosis factor-
alpha (TNF-a) yang dihasilkan oleh makrofag menyebabkan perlukaan sel
mukosa dan juga mengaktifkan jalur molekular yang mengakibatkan
perlukaan mukosa.
4. Ulserasi dan inflamasi.

9
Adanya infiltrasi sel-sel inflamasi yang signifikan dihubungkan dengan
terjadinya ulserasi mukosa. Produksi dari sitokin pro inflamasi juga
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder.
5. Proses penyembuhan (healing)
Fase ini ditandai dengan proliferasi epitel dan diferensiasi sel dan jaringan
yang akan membentuk integritas sel-sel epitel.
Mekanisme terjadinya mukositis oral akibat kemoterapi dapat
terjadi secara langsung (direct mucosatoxicity) dan tidak langsung
(indirect mucosatoxicity). Kerusakan langsung mukosa terjadi bila
kemoterapi secara langsung menyerang sel epitel yang mengalami
pembelahan sehingga sel tersebut berhenti membelah dan menyebabkan
atropi jaringan yang berakhir pada ulserasi, sedangkan kerusakan tidak
langsung pada mukosa terjadi bila kemoterapi menyebabkan penekanan
pada sistem imun pasien (imunosupresi) yang dapat meningkatkan risiko
infeksi di rongga mulut yang pada akhirnya mencetuskan mukositis oral.
Beberapa studi menunjukkan bahwa patofisiologi dari mukositis oral
sangatlah kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi pada sel
epitel, bahkan dapat mencapai submukosa dan matriks ekstrasellular,
disertai dengan aktivitas dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β,
dan IL-6. Berbagai faktor lain berinterferensi pada proses ini, seperti
mikroorganisme oral, status imunitas pasien, trauma lokal, dan kondisi
oral hygiene pasien. Lebih jauh lagi, terdapat suatu kemungkinan adanya
polimorfisme pada respon inflamasi, yang dapat membuat individu lebih
rentan terhadap mukositis dibandingkan dengan individu lainnya. 10

10
Gambar 2. Patogenesis Mukositis
Sumber : Justyna, et.al (2014) Plasma Citrulline Level As A Biomarker For Cancer
Therapy- Induced Small Bowel Mucosal Damage.

Proses terjadinya mukositis oral meliputi 5 fase, fase awal adalah


fase inisiasi yang merupakan fase awal kontaknya agen kemoterapi dengan
sel mukosa yang membawa radikal bebas. Fase berikutnya merupakan
proses transkripsi dari nuclear factor kappaB (NFkB) yang mengaktivasi
mediator proinflamatori seperti interleukin (IL)-1 beta dan tumor necrosis
factor (TNF alpha). IL-1beta dapat meningkatkan konsentrasi agen
kemoterapi pada sel yang diserang dan TNF-alpha dapat menyebabkan
kerusakan jaringan. Fase ketiga adalah respon terhadap stimulasi mediator
proinflamatori, seperti adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang
menyebabkan udema pada mukosa, atropi, dan akhirnya mengalami fase
ulserasi. Fase ulserasi merupakan fase mulai timbulnya lesi. Pada fase ini
akan terjadi kolonisasi bakteri maupun organisme patogen lainnya, seperti
Candida albicans pada ulserasi yang terjadi, dan kemudian mengarah pada
infeksi sekunder. Kondisi ini diperparah dengan adanya kondisi
neutropenia sehingga tidak mampu melawan kolonisasi bakteri yang
terbentuk. Bakteri akan mengeluarkan endotoksin yang akan menstimulasi
IL-1 dan TNF-alpha lebih banyak lagi. Pada fase ini, pasien akan

11
mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti terbakar pada mukosa
oral. Ulserasi juga diperberat dengan adanya mikrotrauma yang terjadi
pada saat pasien membuka mulut, makan, mengunyah, dan berbicara. 13,21
Fase terakhir adalah fase penyembuhan, yaitu adanya proliferasi sel
dan reepitelisasi pada ulkus sehingga mukosa akan kembali normal.
Perbaikan jaringan juga disertai dengan peningkatan leukosit, khususnya
neutrophil untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Fase penyembuhan
berlangsung selama kurang lebih 12-16 hari tergantung dari kecepatan
proliferasi atau epitelisasi jaringan, perbaikan sistem hematopoetik, dan
ada tidaknya faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka seperti proses
infeksi dan iritasi mekanik 10,11,16
Pemahaman saat ini tentang patogenesis mukositis gastrointestinal
sebagian besar didasarkan pada teori tahapan lima fase dari mukositis oral.
Fase pertama adalah fase inisiasi, diikuti oleh fase kedua dengan respons
kerusakan primer. Pada fase ketiga ada sistem umpan balik positif, dengan
penguatan sinyal kerusakan primer yang diduga karena kemoterapi. Yang
paling simtomatik adalah fase keempat, fase ulserasi, di mana mukositis
menjadi relevan secara klinis. Fase terakhir mukositis adalah resolusi
sendiri ketika kemoterapi dihentikan. Model lima fase ini telah diadaptasi
untuk mukositis GI, meskipun telah disarankan untuk menjadi lebih
kompleks karena epitel kolumnar, persimpangan yang rapat, mikrobiota
yang lebih bervariasi, dan fungsi yang berbeda di berbagai bagian usus
halus. Telah dikemukakan oleh beberapa penulis bahwa ada interaksi
antara mikrobiota dan pengembangan mukositis, tetapi tidak ada bukti
ilmiah untuk pernyataan ini.15,21,22

12
Gambar 3. Hipotesis Untuk Pengembangan Mukositis Usus Yang Diinduksi
Irinotecan.
Sumber : Irinotecan- and 5-fluorouracil-induced intestinal mucositis: insights into
pathogenesis and therapeutic perspectives.

Irinotecan dan SN-38 menginduksi kematian sel apoptosis melalui


generasi oksigen reaktif spesies, yang mengaktifkan inflammasome dan
pemrosesan proIL-1 yang bergantung pada caspase1, pro-IL-18, dan pro-
IL-33 menjadi sitokin matang. Ini sitokin menginduksi sel penduduk untuk
mengekspresikan COX-2 dan iNOS, yang mengarah pada konsekuensinya
produksi prostaglandin dan oksida nitrat dan menghasilkan kerusakan
usus. Selain itu, DAMP dan PAMP merangsang TLR untuk mengaktifkan
MyD88 dan NF-κB, yang pada aktifkan ekspresi sitokin proinflamasi
seperti IL-1, IL-18, dan IL-33. Sitokin ini berkontribusi terhadap produksi
kemokin dan perekrutan neutrofil dan menguatkan generasi spesies
oksigen reaktif dan cedera usus. 18
Inisiasi mukositis dipicu oleh stres oksidatif dan pembentukan
spesies oksigen reaktif (ROS), kerusakan DNA langsung dan non-DNA,
dan aktivasi respon imun bawaan. Peristiwa-peristiwa ini mengikuti
pelepasan molekul-molekul pola molekul terkait kerusakan endogen dari
sel-sel yang terluka dari lapisan epitel basal, submukosa, dan endotelium.
Berdasarkan lintasan aktivasi gen dan analisis jalur, jelas bahwa kaskade

13
biologis awal terjadi dalam beberapa detik dari penghinaan yang
merangsang. Setelah inisiasi, ROS dan respon imun bawaan semakin
merusak membran sel, merangsang makrofag dan mengaktifkan beberapa
faktor transkripsi di mana faktor nuklir NF-κB berperan penting. Setelah
diaktifkan, ekspresi gen yang dimediasi NF-κB menghasilkan lonjakan
banyak sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin (IL) -6 dan IL-1β dan cyclooxygenase-2 (COX- 2). Regulasi
gen-gen lain menyebabkan ekspresi molekul adhesi dan angiogenesis.10
Lebih mendalam, up - regulasi TNF-α dapat mengaktifkan jalur
caspase dan menghasilkan umpan balik pada NF-κB untuk memperkuat
responsnya dan memulai jalur protein kinase teraktivasi mitogen (MAPK),
yang mengarah pada aktivasi pensinyalan kinase N terminal-c Jun ( JNK)
dimana kerusakan fibronektin menyebabkan aktivasi makrofag. NF-κB
jalur independen seperti jalur ceramide juga dapat berperan, menghasilkan
apoptosis sel submukosa dan epitel basal yang menyebabkan ulserasi
mukosa (fase ulseratif) dan perubahan atrofi. Studi terbaru
mengkonfirmasi keterlibatan deregulasi ekspresi metalloproteinases
(MMPs) dalam patobiologi mukositis. Tiga fase pertama dengan cepat
menyebabkan apoptosis epitel sel induk. Dalam kasus epitel bertingkat
(misalnya traktus aerodigestif bagian atas dan mukosa rektum), hilangnya
pembaruan menyebabkan atrofi dan kemudian ulserasi. Dari sudut
pandang klinis, mukosa di atasnya tampak pada awalnya normal meskipun
terjadi kekacauan biologis di bawahnya. Dalam kasus kemoterapi bolus ,
waktu antara cedera sel basal awal dan perubahan mukosa klinis yang
penting (eritema dan penipisan) membutuhkan waktu sekitar 4 hari
mengalami ulserasi terjadi segera setelahnya. Sebaliknya, konsekuensi dari
kerusakan seluler pada vili usus hampir segera dengan bukti klinis enteritis
menjadi jelas dalam 24-48 jam setelah kemoterapi. 14,16
Kolonisasi bakteri pada lesi non-intestinal sedikit tertinggal dari
perkembangan ulkus. Namun, pada saat itu, peningkatan besar dalam
beban bakteri terlihat. Dalam kasus pasien yang menerima kemoterapi, hal
ini terjadi pada saat pasien paling tidak mampu menangani infeksi

14
potensial karena secara kasar berbanding terbalik dengan perjalanan
leukopenia. Kolonisasi ulkus juga menghasilkan pelepasan produk dinding
sel bakteri dan produksi sitokin. Penyembuhan umumnya terjadi secara
spontan dan ditandai oleh proliferasi, migrasi, dan diferensiasi epitel yang
dirangsang oleh matriks ekstraseluler.4,10 Setelah fase penyembuhan,
mukosa mulut kembali normal, meskipun pasien memiliki risiko
peningkatan episode mukositis di masa depan karena sisa angiogenesis.
Diare pada mukositis akibat kemoterapi golongan fluorouracil dan
irinotecan , disebabkan oleh kerusakan akut pada mukosa usus, yang
menyebabkan hilangnya epitel. Fluorouracil menginduksi penangkapan
mitosis sel crypt, yang mengarah pada peningkatan rasio sel crypt
secretory yang belum matang terhadap enterosit vili matang. Peningkatan
volume cairan yang meninggalkan intestinal melebihi kapasitas serap
kolon yang menyebabkan diare yang signifikan secara klinis. Irinotecan
menghasilkan perubahan mukosa yang berhubungan dengan apoptosis,
seperti vakuolisasi epitel dan hiperplasia sel goblet, menunjukkan
hipersekresi musin. Perubahan-perubahan ini muncul terkait dengan
akumulasi metabolit aktif dari irinotecan, SN-38, di mukosa usus. Hingga
50 persen pasien yang diobati dengan TKI mengalami diare. Diperkirakan
diare terjadi melalui berbagai mekanisme. Peningkatan sekresi klorida
yang disebabkan oleh disregulasi jalur pensinyalan EGFR, kerusakan crypt
kolon, dismotilitas usus, dan perubahan mikrobiota usus telah diusulkan.
Antibodi monoklonal yang melepaskan penindasan yang diinduksi kanker
pada sistem kekebalan tubuh, seperti ipilimumab, antibodi manusia untuk
antigen terkait limfosit T sitotoksik T (CTLA-4), menyebabkan kolitis
autoimun. Kolitis difus, segmental, atau bercak terlihat pada kolonoskopi.
Secara histologis, infiltrat inflamasi akut dan kronis nonspesifik, kriptitis,
dan kripto abses dicatat. Perforasi kolon (kurang dari 1 persen) dan
kematian pada 5 persen pasien telah dilaporkan. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal anti-CD20 yang digunakan untuk mengobati limfoma sel-B,
dapat menyebabkan kolitis ulseratif baru atau eksaserbasi kolitis yang
sudah ada sebelumnya. 3,8

15
2.4 Gejala Klinis

Mukositis gastrointestinal dapat memengaruhi daerah manapun


dari saluran pencernaan dan dapat muncul dengan spektrum luas
manifestasi klinis sesuai dengan area yang terlibat. Manifestasi klinis
mukositis oral pertama adalah eritema dari satu atau lebih situs mukosa
yang dapat bergerak (contoh : mukosa bukal atau labial, lidah ventral,
lantai mulut atau langit-langit lunak). Lesi biasanya berkembang menjadi
ulserasi yang menyakitkan yang sering ditutupi oleh pseudomembran dan
disertai dengan odynophagia, disfagia, malnutrisi, dan penurunan berat
(14)
badan.
Gangguan mukosa menyeluruh dapat dikaitkan dengan kolonisasi
mikroba yang dapat tetap terlokalisasi atau disebarluaskan, terutama pada
pasien dengan neutropenia berat.18 Mukositis oral biasanya sembuh sendiri
dan tergantung pada perawatan antikanker. Di antara pasien yang
menerima kemoterapi, tanda-tanda pertama muncul segera setelah
pemberian dan biasanya memuncak pada sekitar hari 7-14 untuk
sepenuhnya pulih dalam minggu berikutnya. Di sisi lain, mukositis yang
diinduksi RT biasanya berkembang selama minggu kedua atau ketiga
pengobatan dan sering bertahan sampai 2-4 minggu setelah dosis terakhir.
10,15
Sedikit data yang ada untuk secara akurat mengkarakterisasi
perjalanan mukositis esofagus atau lambung. Akibatnya, gejala seperti
nyeri, disfagia, dispepsia, mual, dan muntah sering dikaitkan dengan
gastroesophageal reflux atau candidosis, yang menyebabkan meremehkan
4,14
mukositis pada saluran cerna bagian atas.
Onset mukositis usus yang berhubungan dengan pemberian
kemoterapi (enteritis) cenderung akut (biasanya dalam 24-48 jam setelah
pengobatan) dan dapat timbul diare, konstipasi, nyeri perut, mual, muntah,
dan anoreksia. Dalam beberapa kasus kekurangan gizi, dehidrasi, infeksi,
dan sepsis juga dapat terjadi.5,18

16
Selain itu, baik mukositis oral dan mukosistis gastrointestinal dapat
menyebabkan manifestasi klinis sistemik seperti anoreksia, malabsorpsi,
penurunan berat badan, anemia, kelelahan, dan sepsis. Dalam lanskap ini,
mukositis yang diinduksi oleh terapi yang ditargetkan, seperti mIAS,
pantas disebutkan secara khusus dan mewakili masalah yang muncul
dengan karakteristik yang berbeda. Menurut pedoman ESMO istilah
stomatitis lebih tepat dan harus digunakan untuk menunjukkan peradangan
mukosa yang berhubungan dengan obat baru ini. 4,14,15
Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri,
sensasi seperti terbakar, sulit untuk membuka mulutnya, dan kesulitan
memasukkan makanan atau minuman melalui mulut, dan sulit untuk
berbicara. Lesi dapat terjadi bilateral, di bagian ventral atau lateral dari
lidah, mukosa labial, bagian dasar mulut, palatum mole, dan area
orofaringeal. Penyembuhan spontan mukositis oral (mulai dari timbulnya
eritema sampai perbaikan jaringan), tanpa pembentukan scar atau jaringan
ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu. Beberapa pasien yang
mendapatkan radiasi atau kemoterapi, terkadang juga mengalami
trombositopenia, sehingga terkadang ditemukan perdarahan pada ulserasi
mukositis oral. Pasien mukositis oral juga menunjukkan adanya penurunan
produksi saliva sehingga lidah menjadi kering. Hal ini menyebabkan lidah
mengalami penurunan fungsi pengecapan sehingga penderita mengeluhkan
mengenai pengecapan yang dirasa berbeda, bahkan tidak dapat mengecap
rasa, serta menurunkan nafsu makan. Derajat keparahan dari mukositis
oral tergantung pada dosis terapi, fraksi dari dosis agen kemoterapi,
volume dari jaringan yang terkena paparan agen kemoterapi, status nutrisi,
tipe dari radiasi, riwayat paparan dengan kombinasi radioterapi dan
kemoterapi, adanya penyakit sistemik sepeti diabetes melitus dan kelainan
vaskuler. Untuk kepentingan klinis dan penelitian, oleh WHO dan NCI
dibuat suatu pembagian derajat mukositis dengan kriteria yang sudah
terstandarisasi sebagai berikut:

17
Tabel 2.Derajat Mukositis Menurut WHO dan NCI
Sumber : Sri Mulatsih, Sri Astuti, Yuliani Purwantika, Julie Christine.
Kejadian dan Tata Laksana Mukositis pada Pasien Keganasan di RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta, Yogyakarta : Sari Pediatri, 2008, Vol. 10.

Dampak dari mukositis ini menyebabkan kondisi nyeri yang cukup


signifikan yang dapat mempengaruhi fungsi dan toleransi pemberian terapi
pada kasus leukemia akut. Akibat yang tidak kalah penting yaitu
ketidakmampuan untuk menoleransi masukan makanan dan minuman
(nutrisi) serta kesulitan untuk berbicara.2 Selain itu, karena terbukanya
dinding sel epitel mukosa akan menyebabkan risiko terjadi infeksi semakin
besar. Hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup
penderita dan akan menyebabkan penurunan dosis pemberian kemoterapi
dan radioterapi.Pasien dengan mukositis oral disertai neutropenia akan
berisiko empat kali lebih tinggi mengalami sepstisemia daripada pasien
yang hanya mengalami kondisi neutropenia. Selain itu, mukositis
diperparah dengan kondisi nausea dan munat yang dapat terjadi selama
fase pengobatan. Kemoterapi dan radioterapi dapat berefek pada
kemampuan sel untuk mereproduksi dan menyembuhkan sel epitel dari
mukosa oral. Akibatnya, durasi mukositis akan berlangsung lebih lama dan
justru cenderung meningkatkan risiko infeksi sekunder.Karena hal
tersebut, maka masa rawat inap pasien dengan otomatis akan diperpanjang
untuk keperluan pemberian total parenteral nutrition (TPN), analgesia
intravena, dan antibiotik intravena yang berdampak akhir terhadap
peningkatan cost of treatment. 15

18
Gejala klinis mungkin serupa pada orang dewasa maupun anak-
anak yang mengalami mukositis gastrointestinal. Pasien mengalami mual,
muntah, sakit perut dan diare. Telah disarankan bahwa diare yang
disebabkan oleh kemoterapi adalah multifaktorial dan kombinasi dari
osmotik, sekretori dan diare eksudatif. Meskipun mekanismenya masih
belum jelas, beberapa faktor kemungkinan terlibat: motilitas usus yang
berubah dengan akibatnya mengurangi waktu transit dan mengurangi
penyerapan air, mengubah transportasi cairan, perubahan mikrobiota, dan
fermentasi. Mukositis gastrointestinal dapat secara signifikan
mempengaruhi status gizi. Pertama, asupan nutrisi selama mukositis
gastrointestinal sangat berkurang. Kedua, ada kekurangan intake cairan
karena muntah dan diare. Akhirnya, penyerapan nutrisi dan pencernaan
berubah. Kombinasi ini menyebabkan penurunan berat badan dan
kekurangan gizi. Dengan demikian, dukungan nutrisi sangat penting
selama mukositis gastrointestinal. Pada pasien onkologi pediatrik, asupan
nutrisi yang cukup bahkan lebih penting daripada pada orang dewasa,
karena diperlukan untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan
selama perawatan kemoterapi. Selain itu, kekurangan gizi pada anak-anak
dengan kanker telah dikaitkan dengan pengurangan dosis kemoterapi atau
keterlambatan siklus kemoterapi. Konsekuensi lain dari mukositis
gastrointestinal adalah peningkatan risiko terkena infeksi. Para pasien
sudah beresiko mengembangkan infeksi, karena perubahan dalam respon
imun yang disebabkan oleh dosis tinggi agen kemoterapi. Karena
mukositis gastrointestinal, memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengalami bakteremia atau sepsis, karena kerusakan pada mukosa yang
merupakan port d’entry untuk beberapa mikroorganisme. Karena
konsekuensi yang disebutkan di atas, pasien dengan mukositis
gastrointestinal dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu yang lebih lama
dan berdampak pada kesulitan ekonomi. Akhirnya, berkurangnya asupan
nutrisi, keadaan umum melemah dan meningkatnya durasi rawat inap
semua mempengaruhi kualitas hidup.16 Selain itu, gejala dan konsekuensi
mukositis gastrointestinal akhirnya menyebabkan penundaan siklus

19
kemoterapi berikutnya, pengurangan dosis atau bahkan penghentian
rejimen, yang akhirnya mempengaruhi kelangsungan hidup. 1
Diare pada pasien keganasan hematologi memiliki karakteristik
gejala klinis dengan keadaan lebih lemah dan dalam beberapa kasus,
mengancam jiwa. Temuan pada pasien tersebut termasuk volume cairan
tubuh, gagal ginjal, dan gangguan elektrolit seperti asidosis metabolik dan
tergantung pada asupan air, hiponatremia (peningkatan asupan air yang
tidak dapat diekskresikan karena stimulus hipovolemik untuk melepaskan
hormon antidiuretik) atau hipernatremia (kekurangan air) asupan untuk
mengganti kerugian). Diagnosis diare yang diinduksi kemoterapi dimulai
dengan frekuensi BAB untuk menentukan tingkat keparahan sesuai dengan
nilai (baru-baru ini diperbarui National Cancer Institute Tabel 3). Volume
dan durasi diare juga harus ditentukan, dan riwayatnya harus mencakup
pertanyaan tentang makanan atau obat-obatan yang mungkin memainkan
peran kontribusi. 24
Tabel 3. Tingkat Keparahan Gejala Klinis Diare Yang Diinduksi
Kemoterapi National Cancer Instrument (NCI)
Sumber : Laila M Sherief, Mohamed R Beshir, Naglaa Mohamed Kamal, Maha K Gohar,
Ghada K Gohar. 2012. Diarrhea in neutropenic children with cancer: An Egyptian center
experience, with emphasis on neutropenic enterocolitis. Indian Journal of Medical and
Pediatric Oncology Vol. 23.

Toksisitas Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4


Diare Peningkatan Peningkatan Peningkatan Mengancam
BAB < BAB 4 – 6x/ > 7x BAB/ jiwa. Indikasi
4x/hari hari hari terus butuh
menerus dan perawatan
butuh rawat intensive.
inap.

Diare adalah gejala umum dan sering tidak jelas pada pasien dengan
leukemia akut setelah kemoterapi intensif. Dalam sebuah penelitian, diamati
total 55 pasien yang menderita diare pada pasien keganasan hematologi saat
menjalani terapi. Semua pasien bersifat neutropenik dan sedang menjalani

20
kemoterapi. Dari jumlah tersebut, hanya 15 (27,3%) kultur tinja pasien
menumbuhkan bakteri patogen. Tersisa 30 kultur tinja tidak menumbuhkan
bakteri patogen. Pengamatan ini menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari
pasien yang mengalami gejala sugestif diare, menderita diare bakteri. Sisa
dari pasien memiliki etiologi lain. Persentase ini lebih tinggi dari sebelumnya
dilaporkan oleh Gorschlu¨ter et al. (17,7%) . Perbedaan pada hasil penelitian
ini mungkin, karena subjek penelitian ini hanya pasien leukemia akut dengan
neutropenia dan diamati untuk gejala infeksi pencernaan. Leukemia myeloid
akut lebih umum daripada keganasan hematologi lainnya keganasan diare
yang disebabkan bakteri. Hasil serupa juga diamati dalam penelitian oleh
Aksoy et al. yang mengamati pasien dengan neutropenia enterocolitis
mengalami diare sebagai salah satu gejalanya. Tetapi dalam penelitian ini,
hanya ada dua pasien dengan AML dan sebagian besar kasus adalah ALL,
perbedaan hasil penelitian ini karena mungkin terdapat variasi lokasi
geografis yang berbeda pada subjek peneliti. 11
Dalam sebuah penelitian yang mendeskripsikan karateristik gejala
klinis diare pada pasien keganasan hematologi. Gejala yang sering dikeluhkan
adalah BAB cair tanpa ada darah dan lendir. Gejala lainnya yaitu muntah
disertai nyeri di seluruh lapang perut juga di keluhkan pada sebagian besar
pasien dengan keganasan hematologi.12

21
Gambar 4. Gejala Klinis Diare Pada Pasien Leukemia
Sumber : Laila M Sherief, Mohamed R Beshir, Naglaa Mohamed Kamal, Maha K Gohar, Ghada
K Gohar. 2012. Diarrhea in neutropenic children with cancer: An Egyptian center experience,
with emphasis on neutropenic enterocolitis. Indian Journal of Medical and Pediatric Oncology
Vol. 23.

2.5 Diagnosis

Diagnosis dan penilaian tingkat keparahan mukositis gastrointestinal pada


anak penting untuk dilakukan berikan perawatan suportif yang dibutuhkan.
Namun demikian, bukti obyektif atas kondisi dan tingkat keparahannya masih
menjadi tantangan, karena kurangnya alat diagnostik standar emas. Kemungkinan
alat diagnostik pada anak-anak dapat dibagi menjadi skala penilaian dan
biomarker. 20
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada evaluasi pasien dengan
mukositis gastrointestinal dimulai dengan anamnesis untuk menentukan tingkat
keparahan berdasarkan nilai NCI CTCAE (tabel 1). Volume dan durasi diare juga
harus ditentukan, dan riwayat harus mencakup pertanyaan mengenai makanan
atau obat yang mungkin memainkan peran kontribusi (yang biasanya dihindari
pada pasien dengan mukositis gastrointestinal ). Inisiasi baru-baru ini dari pompa
proton inhibitor, agen anti inflamasi nonsteroid, antibiotik, atau obat pencahar dan
/ atau pelunak feses (misalnya, untuk mencegah sembelit yang diinduksi opioid)
semuanya dapat menyebabkan atau berkontribusi pada diare.19 Karena mukositis
yang disebabkan oleh kemoterapi dapat menyebabkan defisiensi laktase
sementara, konsumsi makanan yang mengandung susu dapat menjadi pemicu
penting bagi diare dan harus secara spesifik ditanyakan. Juga harus dipahami
bahwa faktor-faktor lain dapat berkontribusi terhadap diare pada pasien kanker
yang diobati dengan kemoterapi, dan anamnesis harus diarahkan untuk
mengeksplorasi kemungkinan infeksi usus (misalnya, Clostridioides [sebelumnya
Clostridium] sulit, terutama pada pasien dengan C. sebelumnya. infeksi yang
sulit), terapi radiasi abdominopelvis, reseksi usus sebelumnya, malabsorpsi,
asupan pencahar berlebih atau pemanis buatan, dan impaksi tinja. Pasien yang
menderita anoreksia, perut kembung atau sakit, dan sering buang air besar atau
lunak, tidak seperti diare encer, mungkin mengalami diare melimpah (yaitu,

22
buang air besar di sekitar tinja yang terkena). Kehadiran demam, pusing, atau
sakit perut harus meningkatkan kekhawatiran terhadap kemungkinan komplikasi,
seperti sepsis atau obstruksi usus. Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan
untuk menilai tanda-tanda penurunan volume (misalnya, turgor kulit berkurang,
hipotensi, yang mungkin terutama ortostatik, dan tekanan vena jugularis rendah)
serta tanda – tanda infeksi.11
Skala penilaian
Ada skala penilaian mukositis gastrointestinal klinis yang berbeda. Yang
paling umum digunakan skala gejala untuk efek samping adalah skala kriteria
NCI-CTCAE versi 4.0. Rentang skala ini dari 1 - 5, berdasarkan rasa sakit;
intervensi medis, seperti pemberian susu melalui nasogastric tube dan dukungan
nutrisi parenteral; dan activity daily living (ADL). Skala penilaian klinis lainnya
adalah harian skor usus, berkisar antara 0 - 20. Ini adalah skor penjumlahan
berdasarkan frekuensi muntah dan diare, dan terjadinya mual, keluhan perut,
inkontinensia fekal dan volume diare. 24
Skala penilaian bersifat subyektif dan berdasarkan pada gejala, intervensi
dan activity daily living (ADL). Gejala seperti muntah, diare dan nyeri, dapat
memiliki beberapa penyebab berbeda dan mungkin tidak telah tentu disebabkan
oleh mukositis gastrointestinal. Selain itu, obat pereda nyeri memengaruhi gejala
seperti nyeri dan diare, tanpa mengubah keparahan mukositis gastrointestinal.
Apalagi itu skala penilaian yang ada untuk mencetak dan mengukur tingkat
keparahan mukositis gastrointestinal belum pernah terjadi divalidasi untuk anak-
anak muda. Pada anak kecil gejalanya seperti inkontinensia fekal dan nyeri
memiliki penggunaan terbatas, karena inkontinensia terkait usia non-patologis dan
kemampuan yang lebih rendah anak kecil mengekspresikan tingkat rasa sakitnya.
Skala National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse
Events (NCI-CTCAE) didasarkan pada intervensi seperti penggunaan nasogastric
tube, dukungan nutrisi parenteral dan rawat inap, tetapi intervensi ini sering
ditunjukkan juga pada anak-anak yang dirawat karena kanker tanpa mukositis
gastrointestinal. Selanjutnya, perawatan diri terbatas dalam ADL dalam kriteria
NCI-CTCAE telah dinilai sebagai mukositis GI tingkat tiga, meskipun perawatan
mandiri pada ADL terbatas pada anak-anak karena tahap perkembangan mereka.

23
Demikian penilaian skala mungkin bukan metode yang paling akurat untuk
mendiagnosis mukositis gastrointestinal pada anak-anak.25
Instrumen milik World Health Organization (WHO) adalah kriteria yang
paling sering digunakan saat ini. Penilaian dan evaluasi klinis mukositis masih
menimbulkan tantangan dalam praktik klinis karena kurangnya kriteria diagnostik
standar yang ditetapkan oleh studi terkontrol. Secara singkat, Skala Toksisitas
Oral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengukur komponen anatomis,
simtomatik, dan fungsional mukositits oral. Tingkat keparahan kondisi ini dinilai
dengan skala dari 0 (tidak ada mukositis oral) hingga 4 (pasien yang
membutuhkan TPN). 10,21

Gambar 5. Kriteria asesmen klinis stomatitis menurut WHO


Sumber : J, Patrick. Coding For Mukositis. SlideShare. [Online] 9 2005, 30. [Cited: 11
16, 2019.] https://www.slideshare.net/drluis1977/mukositis-oral.

Kriteria Toksisitas WHO untuk Stomatitis


Grade 0: Tidak ada gejala
Grade 1: Nyeri, eritema
Grade 2: Eritema, ulser, pasien masih bisa menelan makanan diet
makanan padat
Grade 3: Ulser eritema meluas, pasien tidak bisa menelan diet makanan
padat
Grade 4: Mukositis meluas sehingga proses mencerna makanan tidak
memungkinkan

24
Grade 2 merupakan batasan mukositis ulseratif, sedangkan grade 3
merupakan batasan severe mukositis. (15)

Oral Mukositis Index (OMI)


Oral Mukositis Index (OMI) mempertimbangkan tingkat
keparahan mukositis oral dalam hal eritema, ulserasi, atrofi dan edema
masing-masing dinilai pada skala dari 0 hingga 3 (0 = tidak ada, 3 =
parah). OMI telah terbukti konsisten secara internal dengan uji-ulangan
tinggi dan reliabilitas antar penilai dan menunjukkan bukti kuat validitas
konstruk. 15
Oral Mukositis Assessment Scale (OMAS)
Skala Oral Mukositis Assessment Scale (OMAS) telah terbukti sangat
dapat digunakan di antara pengamat dan akurat dalam elemen pencatatan
terkait dengan mukositis oral. OMAS memberikan penilaian obyektif
terhadap mukositis oral dan juga merupakan prediktor signifikan terhadap
hasil penting pada pasien yang ditransplantasikan. Skor tersebut
memperkirakan keberadaan dan ukuran ulserasi atau pseudomembran
(skor 0 hingga 3; 0 = tidak ada lesi; 1 = lesi <1cm2; 2 = lesi 1cm2 hingga
3cm2; 3 = lesi> 3cm2) dan eritema (skor 0 hingga 2; 0 = tidak ada; 1 =
tidak parah; 2 = parah) di bibir atas dan bawah, pipi kanan dan kiri, lidah
ventral dan lateral kanan dan kiri, lantai mulut, langit-langit lunak dan
langit-langit keras. (15) Evaluasi mukositis gastrointestinal bergantung pada
keberadaan dan frekuensi tanda dan / atau gejala, diare (volume dan
frekuensi evakuasi) dan timbulnya komplikasi. Instrumen utama yang
digunakan untuk menilai mukositis gastrointestinal telah dijelaskan
menyajikan kriteria National Cancer Instrument (NCI) / Common Toxicity
Criteria (CTC) untuk menilai diare terkait mukositis. Aspek penting dalam
penatalaksanaan pasien ini, terutama pasien dengan mukositis oral, adalah
penilaian nyeri secara teratur. 15

25
2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Pemeriksaan Radiologis

Pencitraan radiografi biasanya tidak diperlukan pada kebanyakan


pasien dengan mukositis. Namun, untuk pasien yang mengalami demam,
tanda peritoneum, atau diare berdarah, pencitraan perut (paling sering
dikomputasi dengan tomografi (CT-scan). Hal ini menjadi penting untuk
mengidentifikasi komplikasi potensial, seperti perforasi usus, abses, atau
enterokolitis neutropenik, atau untuk mengesampingkan penyebab diare
yang tidak berhubungan dengan kemoterapi (misalnya, iskemia usus).
Konsultasi bedah mungkin juga diperlukan dalam kasus ini. Foto polos
abdomen, yang dapat mendokumentasikan luasnya tinja, berguna dalam
kasus diare yang diduga meluap. Endoskopi pada kasus diare terkait
kemoterapi tidak diindikasikan pada sebagian besar kasus tetapi harus
dipertimbangkan untuk kasus refraktori dan untuk pasien yang mengalami
diare kronis (yaitu, diare yang bertahan sepanjang seluruh siklus
kemoterapi) atau diare berdarah. Telah disepakati standar emas diagnostik
pada mukositis ialah biopsi pada gastrointestinal namun, endoskopi
invasive bisa menyakitkan mukosa gastrointestinal terlebih lagi, tes ini
tidak disukai pada pasien dengan kekebalan tubuh karena ada risiko tinggi
infeksi dan perdarahan. Jaringan mukosa gastrointestinal rentan selama
mukositis. Oleh karena itu, praktik klinis memerlukan tes lain untuk
mendiagnosis dan menilai tingkat keparahan mukositis.14

2.6.2 Pemeriksaan Laboratorium


Biomarker akan sangat berguna dalam penilaian obyektif dan
pengukuran mukositis gastrointestinal yang diinduksi pada anak-anak.
Namun, sampai saat ini tidak ada biomarker standar emas untuk mukositis
gastrointestinal. Sebagai biomarker yang memungkinkan, breath test
sukrosa 13-C telah terbukti non-invasif menilai status usus kecil pada
anak-anak. Tetapi kerugian utama dari tes ini adalah kerangka waktu dan
peralatan khusus yang diperlukan untuk analisis. Sampel nafas diperlukan
setiap 15 menit selama 2 jam, beberapa kali selama masuk. Selain itu, tes

26
ini sangat invasif untuk anak-anak yang sakit parah dan sulit untuk anak-
anak. Biomarker opsional lain adalah plasma citrulline. Plasma citrulline
adalah asam amino yang disintesis hampir secara eksklusif oleh enterosit
dari usus kecil, oleh karena itu penanda yang dapat diandalkan massa
enterosit. Citrulline plasma telah berkorelasi secara signifikan dengan
panjang villus di Indonesia studi praklinis dalam model tikus mukositis
gastrointestinal yang diinduksi methotrexate. Selain itu, dalam praklinis
studi penurunan citrulline telah berkorelasi dengan atrofi mukosa
independent asupan nutrisi. Selanjutnya, dalam beberapa studi klinis pada
orang dewasa terjadi penurunan plasma citrulline telah berkorelasi dengan
tingkat keparahan mukositis gastrointestinal dan konsentrasi citrulline
yang rendah dikaitkan dengan bakteremia. Selain itu, citrulline telah
terbukti menjadi penanda untuk mukositis gastrointestinal yang diinduksi
kemoterapi pada pasien kanker anak. Dalam penelitian ini, citrulline
dibandingkan dengan skala penilaian mukositis NCI-CTCAE
gastrointestinal, skor usus harian, plasma interleukin-8, fecal interleukin-
8, fecal calprotectin dan tes penyerapan gula, pada anak-anak pasien
kanker dengan mukositis gastrointestinal. Dari semua parameter ini,
citrulline plasma terbukti memiliki korelasi terkuat dengan kriteria NCI-
CTCAE dan skor usus harian, dan itu mungkin terdeteksi mukositis
gastrointestinal bahkan subklinis. Lebih lanjut, satu laporan
menyimpulkan bahwa skala penilaian berbasis citrulline harus
dipertimbangkan untuk mengukur dan memantau gastrointestinal pada
orang dewasa. Dengan demikian, plasma citrulline adalah alat diagnostik
yang memungkinkan untuk mukositis gastrointestinal.5,26
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien
Mukositis
Sumber : Dorothy M. K. The Combination of Oral and Small Intestinal Mukositis,
Pediatrics and Biomarkers. 2006

Pemeriksaan Keuntungan Kerugian


Biopsi intestinal Gold standart Hanya bisa diakses
pada proximal dan
Perspektif visual distal dari intestinal
pada mukosa usus
Hanya merefleksikan
daerah yang dibiopsi

27
Risiko tinggi pada
pasien dengan
leukemia
Permebialitas intestinal Tes simple dan non Tidak dapat
invasive mendeskripsikan
secara jelas fungsi dari
Pasien tidak usus
merasa nyeri
Pasien diharuskan
Pasien mencerna minum selama tes
gula yang tidak
dicerna tubuh
H2BT Pemeriksaan nafas Hasil bias akibat
sederhana penggunaan antibiotic
Tanpa radioactive dan tergantung bakteri
di kolon yang
memproduksi H2
Serum Citrulline Biomarker yang Belum bisa
cocok untuk diimplementasikan
intestinal pada seluruh fasilitas
kesehatan

Pengambilan sampel
hanya pada waktu
tertentu
13 – C Lactose Breath Pemeriksaan nafas Hasil bias pada gen
sederhana tertentu serta pasien
Tanpa radioactive dengan intoleransi
laktosa

Tes skrining dengan metode non-invasif adalah yang ideal pada


kasus mukositis ada beberapa alternatif, 13-C Sucrose Breath (SBT)
adalah salah satu yang lebih baik dan telah memperoleh popularitas di atas
uji permeabilitas gula (yang menilai luas permukaan vili dan integritas
sambungan yang rapat) dan serum citrulline (yang menilai massa usus
kecil) karena kemudahan administrasi dan kurangnya invasif. Uji
diagnostik endoskopi tidak dapat diterima secara rutin. Tes permeabilitas
gula telah dikritik karena tidak memberikan indikasi yang jelas kapasitas
serap atau tingkat kerusakan dalam saluran pencernaan. Namun, itu dapat
membedakan atrofi vili dari persimpangan ketat dan juga memiliki
komponen kuantitatif. Keuntungan lain dari tes ini adalah dapat
mengoreksi diri untuk mengubah waktu transit yang diubah. Namun,
mengumpulkan urin dari kemoterapi pasien sulit, seperti kinerja akurat
kromatografi cair tekanan tinggi (HPLC) dan mungkin sudah benar

28
digantikan oleh SBT. SBT pertama kali terbukti menjadi indikator yang
dapat diandalkan kerusakan usus kecil setelah pemberian metotreksat pada
tikus Sprague Dawley, sebelum terbukti menjadi alat yang efektif untuk
menyaring calon obat antikanker untuk efek samping pada usus, dan
memeriksa potensi kemanjuran dari anti-mucotoxics yang baru
dikembangkan. Namun, SBT, juga hanya mengukur aktivitas sucrase,
meskipun ini adalah penanda yang baik untuk fungsi usus kecil, dan telah
berkorelasi dengan kerusakan histologis.23

Gambar 6. Gambaran Histologi Mukositis


Sumber : Patrick J. Coding For IntestinalMucositis. Springer.2015:331

Gambar 6 menunjukkan adanya proses inflamasi dan penipisan


mukosa usus setelah terpapar oleh agen kemoterapi yang secara
mikroskopis, tampak secara luas sel-sel radang.

2.7 Terapi

Pedoman manajemen mukositis oral dan gastrointestinal


dirangkum di bawah ini, sebagaimana dikembangkan oleh Kelompok
Studi Mukositis Multinational Association of Supportive Care in Cancer/
International Society of Oral Oncology (MASCC/ISOO). 3

29
2.7.1 Pedoman Terapi Mukositis Oral

Manajemen terapi dari mukositis dibagi menjadi beberapa bagian,


yaitu dukungan nutrisi, pain control, dekontaminasi oral, perawatan mulut
kering, manajemen perdarahan oral, dan intervensi terapi untuk mukositis
oral itu sendiri.9
Pain control
Gejala utama mukositis oral yaitu nyeri. Keluhan nyeri ini akan
mempengaruhi masukan nutrisi, perawatan mulut, dan kualitas hidup
penderita. Beberapa center menggunakan saline mouth rinses, ice chips,
dan mouthrinses topical yang mengandung lidocaine 2%. Beberapa produk
ada yang menggabungkan antara kandungan lidocaine dan
diphenhydramine. Anestesi topikal tersebut dapat menghilangkan rasa
nyeri dalam jangka pendek. Selain lidocaine, beberapa tempat juga
menggunakan produk analgesik sistemik, seperti opioid untuk mengurangi
rasa nyeri. Guideline MASC/ISOO merekomendasikan penggunaan
morfin sebagai analgesic untuk meredakan rasa nyeri pada pasien yang
akan melakukan transplantasi sel hematopoetik.3

Nutritional support
Kemampuan intake makanan secara peroral sangat penting. Diet
makanan padat, makanan dengan proses sekali kunyah, dapat berupa
daging, gandum, pasta, buah, dan sayur. Diet makanan cair, makanan yang
tidak perlu dikunyah, dapat berupa pudding, yoghurt, mashed potatoes.
Bila tidak ada intake makanan peroral dapat menggunakan feeding tube.
(14)
Diet lunak dan cair pada dasarnya merupakan diet yang mudah
ditoleransi pada pasien dengan mukositis oral. Pada pasien yang akan
melakukan transplantasi sel hematopoetik, nutrisi diberikan melalui total
parenteral nutrition.14

30
Gambar 7. Algoritma oral intake
Sumber : Sri Mulatsih, Sri Astuti, Yuliani Purwantika, Julie Christine.
Kejadian dan Tata Laksana Mukositis pada Pasien Keganasan di RSUP
Dr. Sardjito, Yogyakarta, Yogyakarta : Sari Pediatri, 2008, Vol. 10.

Dekontaminasi oral
Pengembangan multidisiplin dan evaluasi protokol perawatan
mulut yang mencakup penggunaan sering obat kumur oral tanpa obat (mis.
Pembilasan mulut salin 4-6 kali / hari) direkomendasikan. Edukasi pasien
dan tenaga kesehatan dalam penggunaan protokol tersebut
direkomendasikan untuk mengurangi keparahan mukositis oral dari
kemoterapi dan / atau terapi radiasi.17
• Obat kumur berbasis alkohol harus dihindari.
• Pengembangan interdisipliner protokol perawatan mulut yang sistematis
disarankan. Sebagai bagian dari protokol, penggunaan sikat gigi lunak
yang diganti secara teratur juga disarankan konsisten dengan praktik klinis
yang baik. Beberapa studi mengungkapkan bahwa maintenans higienitas
mulut yang baik dapat mengurangi derajat keparahan mukositis oral.
Lebih jauh lagi, dekontaminasi oral dapat mengurangi infeksi dari
pathogen oportunistik di mulut. Karena itu, fungsi lain dekontaminasi oral,
yaitu untuk mengurangi risiko sepsis sistemik dari pathogen residen
maupun oprtunistik di mulut. Guideline MASC/ISOO merekomendasikan

31
penggunaan perawatan mulut secara standar termasuk sikat gigi dengan
sikat yang halus dengan menggunakan pasta gigi yang tidak mengandung
bahan alcohol. Tidak direkomendasikan penggunaan Chlorhexidine
mouthrinse, Nystatin rinse, dan Acyclovir untuk mencegah mukositis oral.
24

Perawatan mulut kering


Pasien yang sedang menjalani kemoterapi rentan terjadi xerostomia
dan hiposalivasi yang akan menyebabkan terjadinya inflamasi jaringan dan
meningkatkan risiko infeksi lokal. Beberapa hal yang dapat dilakukan,
yaitu mengkonsumsi air sesering mungkin, mengunyah permen karet tanpa
gula untuk menstimulasi pengeluaran saliva, dan gunakan agen kolinergik
bila memungkinkan. 24
Manajemen perdarahan
Pada pasien dengan kondisi trombositopenia karena kemoterapi
dosis tinggi, perdarahan dapat terjadi melalui luka ulserasi dari mukositis
oral. Agen intraoral lokal untuk mencegah perdarahan dapat menggunakan
obat hemostatic topikal seperti fibrin glue atau gelatin sponge. Pada pasien
dengan jumlah trombosit dibawah 20000 memerlukan tranfusi trombosit
karena risiko tinggi perdarahan internal spontan. 24

Intervensi terapi
- Cryotherapy
- Agen antiinflamasi
- Antioksidan
- Low-level laser therapy

2.7.2 Pedoman Terapi Mukositis Gastrointestinal


Pain control
Penatalaksanaan nyeri untuk mengatasi gejala utama mukositis
gastrointestinal adalah nyeri perut. Tidak ada pedoman khusus untuk
penatalaksanaan nyeri akibat mukositis gastrointestinal. WHO
memberikan pedoman untuk penggunaan analgesia pada anak-anak
dengan rasa sakit karena penyakit medis, di mana strategi dua langkah

32
telah direkomendasikan daripada strategi tiga langkah yang sebelumnya
digunakan. Pada langkah pertama untuk nyeri ringan, paracetamol atau
ibuprofen direkomendasikan. Namun, karena obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) berpotensi menyebabkan trombopati pada pasien leukemia, yang
sudah berisiko tinggi terhadap trombositopenia, penggunaan ibuprofen dan
NSAID lain mungkin tidak disukai dalam kasus ini. Pada langkah kedua,
untuk nyeri sedang hingga berat, opioid yang kuat seperti morfin
direkomendasikan. Namun demikian, bahkan morfin tidak menyebabkan
pereda nyeri total pada beberapa anak yang menderita mukositis
gastrointestinal. Dalam review retrospektif dari episode berturut-turut
mukositis pada anak-anak, morfin mengelola nyeri tidak cukup pada 26%,
dan anak-anak membutuhkan terapi ketamin. Kombinasi ketamin dan
pengobatan morfin meningkatkan manajemen nyeri pada anak-anak
dengan mukositis. Selain itu, dalam perbandingan double-blind pada anak-
anak dengan nyeri mukositis, morfin tidak lebih unggul dari pethidine dan
menyebabkan lebih banyak sembelit. Dengan demikian, manajemen nyeri
akibat mukositis gastrointestinal pada anak-anak masih kontroversial.
16,20,25

Manajemen diare
Dua agen terapi saat ini sedang digunakan untuk diare yang
disebabkan oleh kemoterapi, dengan atau tanpa mukositis gastrointestinal.
Secara umum pada orang dewasa, loperamide telah menjadi agen terapi
pilihan pertama, meskipun kemanjuran keseluruhan loperamide relatif
minimal dan bahkan pengobatan dosis tinggi dengan loperamide dalam
banyak kasus tidak efektif. Octreotide juga merupakan obat potensial
untuk mengurangi diare dan telah direkomendasikan pada orang dewasa
jika loperamide gagal mengendalikan diare. Octreotide telah terbukti
efektif dengan cepat, bahkan jika diberikan sebagai pengobatan lini kedua
pada orang dewasa. Pada anak-anak dengan diare yang diinduksi
kemoterapi, tidak secara spesifik selama mukositis GI, octreotide
menyebabkan 92% respons lengkap dengan hanya sedikit efek samping,
meskipun dalam jangka panjang, kemungkinan respons lengkap lebih

33
rendah. Sayangnya, belum ada penelitian mengenai manajemen diare
terutama difokuskan pada anak-anak yang menderita mukositis
gastrointestinal. 16,20,25
Nutrition Support
Berbagai metode dukungan nutrisi telah digunakan dalam
perawatan anak-anak dengan kanker. Dukungan nutrisi yang diberikan
sebagai nutrisi enteral (EN) dan nutrisi parenteral (PN) keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam ulasan nutrisi secara
sistematis. Sayangnya, belum ada konsistensi dalam praktik klinis
mengenai dukungan nutrisi pada anak-anak dengan kanker. Pada orang
dewasa selama perawatan onkologi non-bedah, masyarakat nutrisi
Amerika dan Eropa merekomendasikan EN sebagai langkah pertama
dalam dukungan nutrisi dalam saluran pencernaan yang berfungsi. Selain
itu, pada anak-anak dengan usus yang tidak terpengaruh dan berfungsi,
EN adalah cara yang lebih disukai dalam pemberian nutrisi. PN
ditunjukkan jika nutrisi oral atau EN tidak mencukupi. Sayangnya, anak-
anak dengan mukositis gastrointestinal saluran pencernaan yang tidak
terpengaruh. Karena kerusakan pada usus anak-anak dengan mukositis
gastrointestinal, patut dipertanyakan apakah dukungan nutrisi melalui
rute enteral efektif. Untuk EN, fungsi usus selama mukositis
gastrointestinal sangat menentukan kemampuan untuk mencapai tujuan
dukungan nutrisi. Pada anak-anak telah ditunjukkan bahwa kemoterapi
mengurangi penyerapan laktosa. Namun, itu tidak mempengaruhi
pengambilan leusin asam amino dalam usus selama mukositis
gastrointestinal. Belum ada studi klinis lain tentang pencernaan dan
penyerapan nutrisi selama mukositis gastrointestinal. Sayangnya, belum
ada konsistensi dalam praktik klinis mengenai dukungan nutrisi pada
anak-anak dengan kanker.7,28 Pada orang dewasa selama perawatan
onkologi non-bedah, masyarakat nutrisi Amerika dan Eropa
merekomendasikan nutrisi enteral sebagai langkah pertama dalam
dukungan nutrisi dalam saluran pencernaan yang berfungsi. Selain itu,
pada anak-anak dengan usus yang tidak terpengaruh dan berfungsi, EN

34
adalah cara yang lebih disukai dalam pemberian nutrisi. PN ditunjukkan
jika nutrisi oral atau EN tidak mencukupi. Sayangnya, anak-anak dengan
mukositis GI tidak memiliki saluran pencernaan yang tidak terpengaruh.
Karena kerusakan pada usus anak-anak dengan mukositis GI, patut
dipertanyakan apakah dukungan nutrisi melalui rute enteral efektif.
Untuk EN, fungsi usus selama mukositis GI sangat menentukan
kemampuan untuk mencapai tujuan dukungan nutrisi. Pada anak-anak
telah ditunjukkan bahwa kemoterapi mengurangi penyerapan laktosa.
Namun, itu tidak mempengaruhi pengambilan leusin asam amino dalam
usus selama mukositis gastrointestinal. Belum ada studi klinis lain
tentang pencernaan dan penyerapan nutrisi selama mukositis
gastrointestinal. 16,20,25

35
BAB III

BIOMARKER MUKOSITIS PADA ALL

Mukositis gastrointestinal adalah reaksi inflamasi kompleks pada selaput


lendir yang terjadi akibat efek samping dari kemoterapi dan radioterapi. Saat ini,
skala penilaian digunakan untuk mendiagnosis mukositis. Namun, biomarker
yang digunakan untuk mendiagnosis mukositis serta menetapkan tingkat
keparahan secara objektif akan sangat berguna. Ini akan memberikan kesempatan
untuk mengevaluasi penyakit, untuk menentukan faktor risiko dan kejadian, dan
itu akan memungkinkan untuk penelitian lanjutan. Selain itu, biomarker ini dapat
meningkatkan manajemen klinis untuk pasien. Dalam ulasan ini, kami meninjau
studi tentang biomarker potensial dalam sampel darah dan sampel tinja, dan tes
16
potensial dalam sampel napas dan sampel urin. Kami menyertakan biomarker
dan tes yang dipelajari dalam model hewan dan / atau dalam uji klinis, dan
mendiskusikan validitas, akurasi diagnostik, dan penerapannya.

3.1 Definisi Biomarker

Terminologi biomarker digunakan secara luas dengan berbagai definisi. Salah


satu definisi kerja biomarker ialah karakteristik yang secara objektif dapat diukur
dan dievaulasi sebagai indikator proses biologi normal, proses patogen , respon
terapi farmakologis maupun intervensif. Pada definisi lain biomarker merupakan
komponen biologis yang dapat diukur dan diidentifikasi yang berguna untuk
pencegahan, diagnosis, prognosis dan evaulasi terapi pada penyakit. Pada ulasan
ini biomarker sebagai diagnosis mukositis dan untuk menentukan tingkat
keparahan dari mukositis. Biomarker ini harus mudah diakses, non-invasif, dan
ditentukan secara berurutan. Ini berarti bahwa biomarker harus hadir dalam tubuh
manusia tanpa menambahkan sesuatu dari luar tubuh untuk mengukur respons.
Kami menafsirkannya penggunaan pengganti yang harus diberikan kepada pasien
dengan cara apa pun lebih sebagai tes untuk menentukan tingkat keparahan
kerusakan dari mukosa gastrointestinal. Ulasan ini mencari informasi tentang
biomarker, yang sebenarnya ada dalam tubuh, untuk mengevaluasi kegunaan tes
biomarker dalam diagnosis suatu penyakit, tiga aspek harus dimasukkan.

36
Pertama, validitas biomarker atau tes menunjukkan jika hasilnya sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit dan apakah itu terklasifikasi dapat mengukur pasien
dengan benar. Kedua, akurasi diagnostik menentukan kemungkinan bahwa pasien
dengan tes biomarker dengan hasil positif memiliki penyakit, dan kemungkinan
bahwa pasien dengan tes biomarker normal memiliki penyakit. Terakhir, tes
biomarker harus dapat digunakan secara layak dan biaya efektif pada klinis. Oleh
karena itu, dalam ulasan ini menilai semua biomarker dan tes untuk mukositis
pada tiga poin: validitas, akurasi diagnostik, dan aplikasi dalam klinis. Meskipun
ini kontoversial karena tidak adanya gold standar dalam diagnostik dan evaulasi
mukositits. 16

3.2 Biomarker dengan Sampel Darah


3.2.1 Citrulline

Salah satu biomarker potensial paling signifikan untuk mukositis


adalah citrulline dalam sampel darah, dapat diukur dalam serum dan plasma.
Intestinal adalah sumber utama untuk jumlah citrulline hadir dalam sirkulasi
darah. Citrulline adalah asam amino non-protein, disintesis hampir secara
eksklusif oleh enterosit dari usus kecil. Ini disintesis dalam enterocyte dari
glutamine, dan hanya dilepaskan dalam sirkulasi sebagai bentuk masked arginin,
untuk memotong penyerapan arginin oleh hati, dan dikonversi kembali menjadi
arginin di ginjal. Faktanya, citrulline adalah produk perantara dari metabolisme
asam amino. Crenn et al., Menunjukkan kadar citrulline berkorelasi dengan
panjang usus kecil, dan itu merupakan biomarker potensial dari massa enterosit
usus kecil pada pasien dengan penyakit celiac.
Lebih dari 500 pasien menderita beberapa penyakit intestinal, kadar
citrulline dalam plasma menunjukkan sebagai biomarker untuk massa enterosit
dengan mencerminkan kapasitas penyerapan usus kecil. Terakhir, citrulline
terbukti tidak dipengaruhi oleh inflamasi atau oleh asupan gizi, karena pola makan
dengan sumber citrulline yang buruk. Sayangnya, kadar citrulline tidak dapat
digunakan sebagai biomarker dalam kasus gagal ginjal jika creatinine clearance
di bawah 50 ml / menit, karena ini meningkatkan kadar citrulline dalam darah
(secara klinis praktek, mungkin bersihan kreatinin di bawah 30 ml / menit relevan,

37
pengalaman pribadi). Citrulline dapat diukur secara akurat dalam volume kecil,
bahkan dalam 30 μl. Ini diukur dengan pertukaran ion otomatis kromatografi.
Selama mukositis, itu massa enterosit menurun secara signifikan. Karena itu,
citrulline diharapkan menurun selama mukositis, yang mewakili massa enterosit
dan dengan demikian, kapasitas absorbsi selama mukositis. Oleh karena itu,
beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan plasma atau serum
citrulline sebagai penanda yang mungkin untuk mukositis.16,26
Dalam studi praklinis, ditunjukkan bahwa plasma citrulline berkorelasi
signifikan dengan panjang vili dalam model tikus mukositis yang diinduksi
methotrexate. Selanjutnya, studi praklinis menunjukkan bahwa penggunaan
plasma citrulline berhubungan dengan mukositis yang diinduksi radiasi pada tikus
dan tikus. Terlebih lagi, plasma citrulline berkorelasi dengan pencernaan dan
penyerapan laktosa dan asam lemak selama mukositis pada tikus. Salah satu studi
klinis pertama tentang kemungkinan plasma citrulline sebagai biomarker
ditentukan oleh Blijlevens et al., Itu menunjukkan bahwa kadar serum citrulline
yang rendah berhubungan dengan cedera penghalang mukosa yang parah, diukur
dengan skor usus harian dan tes permeabilitas gula, pada pasien yang menerima
16
transplantasi sel induk hematopoietic. Selain itu, juga ditentukan bahwa kadar
serum citrulline menurun selama radioterapi, berkorelasi dengan keamanan
mukositis, sehingga juga cocok dalam mukositis yang diinduksi radioterapi. Pada
tahun 2009, plasma citrulline dibandingkan dengan beberapa metode lain untuk
mendiagnosis mukositis, seperti skala skor mukositis NCI-CTCAE, skor daily
gut, plasma interleukin-8, interleukin-8 fecal, interleukin-8 fecal, calprotectin
tinja, dan uji penyerapan gula pada pasien kanker dengan mukositis GI usia anak.
Para penulis menunjukkan bahwa dari semua parameter, plasma
citrulline berkorelasi paling kuat dengan skor usus harian dan skala NCI-CTCAE,
dan mungkin bahkan dapat mendeteksi mukositis jika tidak secara klinis terbuka.
Pada 2013, Van der Velden dan rekannya menyelidiki penggunaan plasma
citrulline sebagai kemungkinan biomarker untuk mukositis pada pasien dewasa
yang menerima transplantasi sel induk hematopoietik. Mereka menyimpulkan
bahwa plasma citrulline adalah biomarker yang paling kuat, berguna dalam
pengambilan keputusan klinis, untuk intervensi terapi atau dukungan nutrisi.

38
Dalam studi percontohan lain, penulis juga menunjukkan bahwa serum citrulline
menurun setelah rejimen pengkondisian untuk HSCT pada pasien dewasa karena
kerusakan usus. Sebuah studi yang lebih baru menentukan nilai citrulline sebagai
biomarker pada pasien anak yang menerima HSCT. Mereka menyimpulkan
bahwa serum citrulline berkorelasi dengan fungsi gastrointestinal, ditentukan
dengan kombinasi skor mukositis oral, sitokin pro-inflamasi, asupan oral,
perubahan berat badan, dan penyakit graft-versus-host, pada anak-anak yang
menjalani HSCT. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa ulasan tentang
biomarker untuk mukositis diterbitkan. Ulasan yang lebih rinci tentang citrulline
sebagai biomarker untuk mukositis diterbitkan pada tahun 2014 oleh Barzal et al.
Kami menyimpulkan bahwa citrulline adalah biomarker mukositis, berdasarkan
pada pengalaman di atas. Ini berkorelasi dengan keparahan mukositis dan
terdeteksi secara berurutan; oleh karena itu, penerapan dan validitas citrulline
tampaknya baik. Namun, kami tidak dapat menarik kesimpulan tentang akurasi
diagnostik, karena diperlukan lebih banyak penelitian untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. 16,26
3.2.2 Sitokin
Dalam patofisiologi mukositis, yang belum sepenuhnya dijelaskan,
sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL1-beta, dan IL-6 adalah penting.
Peningkatan kadar sitokin ditentukan selama mukositis pada model hewan dan uji
klinis. Karena itu, sitokin ini juga merupakan biomarker yang kuat untuk
mukositis. Sitokin proinflamasi ini mewakili bagian inflamasi patofisiologi
mukositis.16 Salah satu perhatian utama untuk penggunaan sitokin sebagai
biomarker adalah bahwa penentuan sitokin selama mukositis sangat tergantung
pada waktu. Namun, Bowen et al. ditentukan dalam studi percontohan pada
pasien dengan kanker kerongkongan, diobati dengan kemoterapi dan radioterapi,
nilai gen proinflamasi sebagai nilai prediktif. Mereka menyimpulkan bahwa
mRNA TNF-α secara konsisten meningkat pada pasien yang menderita toksisitas
gastrointestinal. Namun, ini hanya ukuran sampel kecil dalam kelompok pasien
tertentu, dan terlebih lagi, mereka mempelajari toksisitas gastrointestinal secara
umum, yang salah satunya adalah mukositis. Selanjutnya, pada pasien kanker
pediatrik, interleukin-8 (IL-8) hanya berkorelasi dengan skor usus harian dan

39
skala NCI-CTCAE pada pasien dengan neutropenia demam. Selanjutnya, seperti
yang ditunjukkan dalam penelitian lain, IL-8 efektif untuk menentukan demam
neutropenia. Oleh karena itu, IL-8 mungkin berguna dalam menentukan infeksi
secara umum. Mukositis adalah faktor risiko terserang demam; Namun,
neutropenia demam dapat diinduksi oleh infeksi lain. Pentingnya neutrofil dalam
inisiasi mukositis tidak diketahui. Terlebih lagi, demam sering muncul selama
cedera sawar mukosa dengan atau tanpa infeksi, karena fakta bahwa ada respons
imun terlepas dari adanya patogen mikroba tertentu. Dengan demikian, secara
umum, pasien dengan mukositis sebagian besar adalah pasien kompleks dengan
neutropenia, demam, dan penyebab peradangan lainnya, misalnya penyakit graft-
versus-host. Ini memberikan keuntungan paling penting dari penggunaan sitokin
ini sebagai biomarker; sitokin tidak spesifik untuk mukositis, tetapi mungkin
mencerminkan adanya peradangan pada tubuh. Karena terlalu banyak pengaruh
mekanisme lain, validitas dan akurasi diagnostik rendah; sitokin adalah penanda
non-spesifik untuk peradangan. Oleh karena itu, sitokin inflamasi seperti TNF-α
tampaknya tidak cocok sebagai biomarker untuk mukositis, menurut definisi
biomarker yang disebutkan di atas. 5,16

3.2.3 Protein C-reaktif

Protein C-reaktif (CRP) digunakan dalam praktik klinis karena


protein fase akut meningkat jika terjadi peradangan. Selama mukositis, ada
peradangan di usus, yang menunjukkan peningkatan CRP dalam darah. Namun,
Miedema et al. menetapkan bahwa CRP meningkat hanya lambat setelah
timbulnya demam dan menyimpulkan bahwa itu adalah penanda terlambat untuk
demam neutropenia. Ini mungkin juga merupakan kasus mukositis. Selain itu,
seperti yang telah disebutkan untuk siklus pro-inflamasi, validitas dan akurasi
diagnostik CRP rendah, karena juga dipengaruhi oleh banyak mekanisme
inflamasi lain yang sering hadir pada pasien yang menderita mukositis, seperti
infeksi. Oleh karena itu, CRP mungkin bukan biomarker yang berharga untuk
mukositis. 26

40
3.2.4 Protein pengikat asam lemak usus dan protein pengikat asam ileum-
empedu

Protein pengikat asam lemak usus (I-FABP), protein enterosit sitosol


endogen, dan protein pengikat asam empedu ileal (I-BABP), hadir dalam
enterosit, keduanya dilepaskan oleh sekarat enterosit matang dan oleh karena itu
kemungkinan penanda hilangnya enterosit pada kelompok kecil usus. I-FABP
telah terbukti sebagai penanda plasma yang berguna untuk cedera usus yang
ditunjukkan dalam sampel jaringan manusia dan sampel darah. Selain itu, I-FABP
telah terbukti sebagai penanda sistem yang mungkin untuk penyakit Crohn. Pada
tahun 2009, Derikx dan kolega menunjukkan pada pasien yang menerima regimen
pengkondisian untuk HSCT bahwa citrulline dalam kombinasi dengan I-FABP
dan I-BABP mungkin menilai tidak hanya massa enterocyte tetapi juga pergantian
enterocyte di usus kecil. Tidak ada penelitian lebih lanjut dengan I-FABP atau I-
BABP pada percobaan hewan lain atau uji klinis selama mukositis telah
dilakukan. Oleh karena itu, tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik mengenai
validitas, akurasi diagnostik, dan penerapan. Sehubungan dengan definisi
biomarker untuk mukositis, penanda ini perlu penelitian lebih lanjut untuk
menarik kesimpulan apa pun; namun, protein ini mungkin berpotensi
bermanfaat.16

3.3 Biomarker dalam sampel feses

3.3.1 Protein penanda granulosit

Calprotectin dan calgranulin feses (S100A12) adalah protein


penanda granulosit yang merupakan penanda kemungkinan peradangan usus.
Calprotectin dalam sampel feses telah digunakan dalam banyak penyakit terkait
peradangan di usus. Dalam uji klinis dengan banyak pasien dengan beberapa
gangguan inflamasi usus, ditunjukkan bahwa kadar calprotectin tinja meningkat
dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Calgranulin feses (S100A12) memiliki
juga telah terbukti menjadi penanda penyakit radang usus. Oleh karena itu, protein
penanda granulosit tampaknya menjadi penanda andal dari peradangan usus.
Selama mukositis, memang ada peradangan di usus. Namun, berbeda dengan

41
model hewan, selama mukositis diinduksi kemoterapi pada manusia, sering ada
neutropenia; tidak ada gelombang sel myeloid. Karena ada neutropenia pada
sebagian besar pasien yang menderita mukositis, calprotectin dan calgranulin
tidak akan meningkat pada pasien ini. Ini telah ditunjukkan dalam sebuah
penelitian kecil dengan pasien kanker pediatrik, di mana calprotectin fecal tidak
terdeteksi dalam sebagian besar sampel, mungkin karena fakta bahwa pasien ini
adalah neutropenik. Oleh karena itu, selama mukositis yang diinduksi kemoterapi,
calprotectin dan calgranulin mungkin bukan biomarker yang berguna. Namun,
protein penanda granulosit telah terbukti menjadi penanda yang mungkin selama
kerusakan mukosa yang diinduksi radiasi pada tikus. Pasien yang menerima
radiasi dan menderita kerusakan mukosa seringkali bukan neutropenia; oleh
karena itu, calprotectin atau calgranulin memang mungkin menjadi biomarker
yang mungkin untuk pasien spesifik ini. Oleh karena itu, untuk biomarker ini,
harus ada pembagian antara mukositis yang diinduksi radiasi dan mukositis yang
diinduksi kemoterapi. Saat ini, tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik mengenai
validitas, akurasi diagnostik, dan penerapannya. Calprotectin tinja atau
calgranulin tinja mungkin merupakan biomarker untuk mukositis yang diinduksi
radiasi, tetapi kami membutuhkan uji klinis untuk menarik kesimpulan apa pun.
16,27

3.3.2 Rasio fecal DNA manusia / total DNA

Kemungkinan biomarker lain dalam sampel tinja adalah rasio DNA


tinja manusia / DNA total. Dengan rasio ini, hilangnya enterosit dapat diukur.
Rasio ini dipelajari sebagai kemungkinan biomarker pada pasien kanker anak
yang menderita mukositis. Van Vliet et al. tidak menunjukkan peningkatan yang
signifikan dalam rasio selama mukositis; Namun, rasio DNA tinja tidak
berkorelasi dengan kriteria DGS dan NCI-CTCAE pada pasien kanker anak. Jadi
rasio DNA manusia tinja / DNA total mungkin menunjukkan hilangnya enterosit
selama mukositis; Namun, belum ada penelitian lebih lanjut yang dilakukan.
Rasio DNA tinja adalah penanda yang mungkin untuk mukositis, tetapi tidak ada
kesimpulan yang dapat ditarik mengenai validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapan tanpa penelitian lebih lanjut.16

42
3.4 Biomarker dalam sampel urine dan sampel nafas

3.4.1 Tes permeabilitas glukosa

Tes permeabilitas glukosa dikembangkan untuk menguji fungsi


sawar usus menggunakan metode non-invasif. Untuk tes ini, pasien harus menelan
larutan hipertonik dengan monosakarida, seperti L-rhamnose, dan disakarida,
seperti laktulosa, gula yang tidak dimetabolisme. Monosakarida mewakili rute
serapan transelular, dan disakarida mewakili rute paraselular penyerapan. Glukosa
ini hampir tidak berubah diekskresikan dalam urin. Oleh karena itu, kadar urin
yang diukur mewakili permeabilitas usus, di mana monosakarida mewakili area
permukaan absorpsi dan disakarida mewakili permeabilitas tight junction dari
intestinal. Pada pasien HSCT dewasa, tes permeabilitas gula ini menunjukkan
bahwa pasien ini memiliki permeabilitas usus abnormal untuk kedua gula. Dalam
penelitian lain, tes permeabilitas gula menunjukkan penurunan gula dalam urin.
Namun, untuk tes permeabilitas gula, pengumpulan urin selama beberapa jam
diperlukan. Van vliet et al. termasuk tes permeabilitas gula dalam uji klinis pada
pasien kanker anak untuk membandingkan beberapa tes dan biomarker untuk
mukositis. Namun, asupan gula dan pengumpulan urin bermasalah pada pasien
kanker anak karena muntah dan diare parah. Sebelumnya dalam ulasan tentang
biomarker non-invasif untuk mukositis, telah disimpulkan bahwa tes
permeabilitas gula dapat menggambarkan fungsi penghalang, tetapi tidak perlu
menentukan kapasitas penyerapan usus kecil. Tidak ada penelitian baru yang
dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Tes ini mungkin berpotensi untuk
menentukan fungsi penghalang usus kecil selama mukositis. Namun, ini bukan
biomarker, menurut definisi yang disebutkan di atas, tetapi mungkin tes yang
mungkin berguna untuk menunjukkan efek gula yang dicerna. Saat ini, tidak ada
kesimpulan yang dapat ditarik mengenai validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapan. 16,27

43
3.4.2 Tes napas hydrogen

Tes napas hidrogen didasarkan pada prinsip bahwa gula di usus


kecil mengalami malabsorpsi dalam usus yang rusak. Hal ini menyebabkan
peningkatan jumlah gula di usus besar yang dimetabolisme oleh bakteri penghasil
hidrogen. Hidrogen ini mencapai, melalui aliran darah, paru-paru dan kedaluwarsa
dalam napas. Oleh karena itu, usus yang rusak secara teoritis akan meningkatkan
hidrogen dalam napas. Namun, tes ini tidak hanya hasil dari malabsorpsi gula di
usus kecil, tetapi juga merupakan hasil dari keberadaan bakteri tertentu di usus
besar seperti yang disebutkan dalam laporan lain. Selain itu, tes napas hidrogen
sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Selama
mukositis, bakteri dalam usus diubah oleh banyak faktor seperti diet dan obat-
obatan, terutama antibiotik. Selain itu, bakteri dapat mempengaruhi semua fase
patofisiologi mukositik. Oleh karena itu, tes napas hidrogen memiliki validitas
rendah dan akurasi diagnostik, dan mungkin bukan tes yang cocok untuk
mukositis gastrointestinal.16,26,27

3.4.3 Tes 13-C lactose

Untuk tes 13C lactose, laktosa harus dicerna dan ini akan dicerna
di usus kecil oleh laktase, kemudian dimetabolisme di hati dan kadaluarsa melalui
nafas. Tes napas 13-C lactose dikombinasikan dengan tes napas hidrogen terbukti
lebih efektif untuk menentukan kerusakan mukosa daripada tes napas hidrogen
saja. Namun, untuk tes napas 13-C laktosa, laktase usus adalah faktor yang paling
penting, dan telah ditunjukkan bahwa banyak orang yang biasanya memiliki
aktivitas laktase rendah. Oleh karena itu, tes napas laktosa 13c bukanlah penanda
yang cocok untuk mukositis, karena validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapannya semuanya rendah. 26,27

3.4.4 Tes napas sukrosa

Salah satu tes yang mungkin adalah tes napas 13C-sukrosa (SBT).
Untuk SBT, pasien harus menelan 13C sukrosa. Ini akan dicerna di usus dengan
sucrase, di hati dimetabolisme, dan akhirnya berakhir pada napas. Oleh karena itu,

44
SBT tampaknya menjadi penanda yang mungkin untuk enzim pencernaan dan
enterosit di usus kecil, indikator untuk fungsi usus kecil. Mukositis adalah
mekanisme yang kompleks, tetapi salah satu fitur yang jelas adalah atrofi vili di
usus kecil, dengan akibatnya area penyerapan menurun dan penurunan jumlah
enzim pencernaan. Oleh karena itu, SBT adalah tes potensial untuk menentukan
tingkat keparahan mukositis dan akan menunjukkan penurunan jumlah 13CO2
dalam napas kadaluarsa jika ada kerusakan pada usus. Beberapa penelitian dalam
model hewan telah menunjukkan bahwa SBT adalah penanda yang mungkin
untuk mukositis. Tooley et al. melakukan uji klinis kecil pada pasien kanker anak,
dan menyimpulkan bahwa SBT kemungkinan non-invasif merusak kerusakan
usus. Namun, ini adalah ukuran sampel kecil. Selain itu, sejauh ini, ini adalah
satu-satunya uji klinis yang dilakukan dengan SBT selama mukositis. Untuk
mengukur SBT, sampel napas harus diambil setiap 15 menit selama beberapa jam,
beberapa kali selama masuk. Ini untuk pasien kanker anak yang benar-benar
invasif dan sulit untuk anak-anak yang sangat muda. Namun, tes ini layak pada
anak-anak dengan diare, tidak terkait pengobatan kanker, di mana nilai SBT
secara signifikan menurun dibandingkan dengan kontrol yang sehat, menunjukkan
penurunan kapasitas penyerapan.14 Pengetahuan saat ini menunjukkan validitas
yang menjanjikan, akurasi diagnostik yang tidak diketahui, dan temuan yang
saling bertentangan terkait penerapannya. Oleh karena itu, lebih banyak uji klinis
diperlukan untuk menarik kesimpulan tentang validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapan SBT ini selama mukositis dan dengan demikian untuk menentukan
apakah ini merupakan tes potensial untuk mendiagnosis mukositis. 26,27

45
Gambar 8. Biomarker Mukositis Gastrointestinal
Sumber : N. S. S. Kuiken, E. H. H. M. Rings, N. M. A. Blijlevens, and Wim J. E. Biomarkers
and non-invasive tests for gastrointestinal mukositis.. Gronigen : NICB, 2017 . doi:
10.1007/s00520-017-3752-2.

Dalam ulasan ini, kami memiliki pandangan kritis, berdasarkan validitas,


akurasi diagnostik, dan penerapannya, pada beberapa biomarker yang diteliti dan
tes untuk mendiagnosis mukositis dan menilai keparahan. Seperti yang disebutkan
di atas, kami membuat divisi dalam bio-markers, yang sebenarnya ada dalam
tubuh, dan tes, yang membutuhkan pemberian segala jenis substrat kepada pasien
sebelum pengukuran. Pada awalnya, kita dapat menyimpulkan bahwa biomarker
potensial dalam sampel darah seperti sitokin dan CRP tidak cukup spesifik untuk
mukositis, karena ada terlalu banyak pengaruh mekanisme inflamasi lainnya
seperti infeksi; oleh karena itu, parameter ini mungkin tidak berguna sebagai
biomarker untuk mukositis, sesuai dengan ulasan sebelumnya tentang biomarker.
Sebaliknya, penanda I-FABP dan I-BABP dalam sampel darah memang
berpotensi biomarker menarik karena dilepaskan oleh sekarat enterosit matang;

46
oleh karena itu, I-FABP dan I-BABP adalah penanda potensial dari hilangnya
enterosit di usus kecil. Namun, penentuan penanda ini mungkin sangat tergantung
pada waktu dan hanya bernilai jika dikombinasikan dengan biomarker lain seperti
citrulline misalnya, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan. Selanjutnya, dalam
sampel darah, plasma citrulline menurut pendapat kami adalah salah satu
biomarker yang paling menjanjikan. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa citrulline dapat diukur pada model hewan, pasien dewasa, dan pasien anak.
Ini mudah dideteksi, diukur secara berurutan, dan bahkan mungkin mendeteksi
mukositis jika tidak secara klinis terbuka. Selain sampel darah, penggunaan
sampel tinja untuk mengukur biomarker menarik karena non-invasif bagi pasien.
Kita dapat menyimpulkan bahwa biomarker dalam tinja, seperti calprotectin dan
calgranulin, menjanjikan untuk mendeteksi peradangan in-testinal, tetapi mungkin
tidak berguna pada pasien neutropenia. Namun, selama mukositis yang dipicu
radiasi, mereka memang menjanjikan dan penelitian lebih lanjut diperlukan.
Selanjutnya, rasio DNA manusia tinja / total DNA juga menarik dan penelitian
lebih lanjut diperlukan. Namun, sangat memakan waktu untuk menentukan rasio
ini dan karena itu mungkin kurang bermanfaat sebagai biomarker pada fase klinis
akut.16,26,27
Kesimpulannya, mukositis masih sulit untuk didiagnosis, karena biopsi standar
emas dari intestinal tidak opsional. Banyak metode yang berbeda untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan keparahan mukositis pada orang dewasa
dan pengaturan onkologi klinis saat ini digunakan. Ini membuat setiap
perbandingan tentang diagnosis dan dengan demikian tentang risiko, kejadian, dan
tingkat keparahan yang menantang. Selain itu, apa saja parameter dalam
percobaan klinis atau percobaan hewan untuk menjawab pertanyaan apakah
pencegahan atau terapi efektif. Kami membutuhkan biomarker atau tes untuk
dapat mendiagnosis mukositis dalam pengaturan klinis dan dengan demikian
menentukan keparahannya. Kedua, kita membutuhkan biomarker atau tes untuk
meningkatkan percobaan pada hewan dan uji klinis untuk wawasan baru dalam
strategi pencegahan dan terapi. Jika kita memiliki metode standar untuk
mendiagnosis mukositis, kita dapat benar-benar membandingkan studi untuk
kejadian dan tingkat keparahan mukositis dalam beberapa pengaturan klinis yang

47
berbeda. Terlebih lagi, dalam uji klinis, kami dapat mempelajari pencegahan atau
pengobatan pada pasien yang kami yakin mereka memiliki mukositis yang
ditentukan oleh standar biomarker atau tes. Dengan cara ini, kami tidak
mempelajari intervensi pada populasi lengkap, yang akan mencegah perawatan
yang tidak perlu pada pasien yang tidak akan mengalami mukositis. Mungkin ini
tidak akan mungkin dengan hanya satu biomarker; kita mungkin membutuhkan
kombinasi biomarker atau tes. Kami menyimpulkan bahwa plasma citrulline
tampaknya menjadi salah satu biomarker yang paling menjanjikan hingga saat ini,
dan kami menyarankan untuk menggunakan biomarker ini dalam uji klinis dan
percobaan hewan di masa depan. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk
menemukan kombinasi biomarker atau tes untuk menentukan mukositis non-
invasif, berurutan dan tingkat keparahannya.26,27

48
BAB IV

PENELITIAN CITRULLINE SEBAGAI BIOMARKER MUKOSITIS

4.1 Penelitian Citrulline Sebagai Biomarker Mukositis

Citrulline adalah asam amino non-protein, dan pada kandungan plasma


manusia sebagian besar berasal dari jumlah yang diproduksi dalam enterosit usus
halus. Kondisi klinis tertentu telah diidentifikasi di mana citrulline telah
digunakan sebagai penanda fungsi usus. Namun, tidak jelas apakah kadar
citrulline mencerminkan fungsi usus (terutama absorbsi), massa enterosit, atau
keduanya, dengan penggunaannya saat ini masih kontroversial. Karenanya,
metabolisme citrulline yang unik, tinjauan sistematis ini bertujuan untuk
menjawab apakah citrulline adalah indikator keberhasilan massa enterocyte dan
fungsi absorbsi enterosit usus dan kondisi klinis apa itu telah digunakan sebagai
penanda. Dalam ulasan ini akan dijabarkan beberapa penelitian sebelumnya
30
terkait citrulline serum sebagai biomarker pada mukositis. Citrulline, produk
akhir nitrogen dari metabolisme glutamin dalam enterosit, adalah biomarker andal
kecil massa enterosit usus. Kadar citrulline serum menurun secara signifikan pada
pasien yang menerima kemoterapi intensif. Kerusakan usus dinilai dengan uji
citrulline telah diamati 1 - 2 minggu lebih awal dari kerusakan usus dinilai melalui
tes permeabilitas gula. Baru-baru ini, van Vliet et al. menunjukkan plasma
citrulline mungkin menjadi parameter yang baik untuk cedera sawar mukosa.
Dalam penelitian ini, kadar plasma citrulline menurun secara signifikan setelah
kemoterapi; Namun, penurunan itu lebih lambat dari yang diamati dengan tes
permeabilitas gula. Pada hari ketiga pasca kemoterapi, rasio laktulosa-manitol
meningkat, dan tingkat plasma citrulline menurun pada keenam hari pasca
kemoterapi. Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa konsentrasi citrulline dalam
serum dan plasma menentukan tingkat kerusakan gastrointestinal dalam kondisi
yang disertai dengan kegagalan usus. Konsentrasi citrulline mencerminkan massa
enterocyte dan tidak dipengaruhi oleh inflamasi. Kadar citrulline juga telah
terbukti menjadi sarana yang objektif, dapat direproduksi dan dapat diandalkan
untuk menentukan mukositis gastrointestinal pada diagnostik dan evaulasi terapi
pasien post kemoterapi leukemia akut. 1,42

49
Dengan tingkat citrulline rendah berkorelasi dengan skor klinis toksisitas
usus termasuk diare dan bahkan tampaknya lebih dapat diandalkan karena volume
feses per kali diare dan frekuensi diare dipengaruhi oleh asupan oral dan
penggunaan obat-obatan seperti analgesik opioid. Selain itu, tingkat citrulline
terkait dengan terjadinya bakteremia, respons inflamasi pasca terapi kanker, serta
GvHD akut. Citrulline mungkin juga berguna sebagai prediktor inflamasi karena
penurunannya biasanya mendahului peningkatan protein C-reaktif (CRP).26
Enteropati mukosa akut dapat menyebabkan hilangnya enterosit secara
signifikan. Empat belas studi digunakan dalam meta analisis dalam kategori ini
yang termasuk kasus pasien telah menerima kemoterapi keganasan hematologi.
Pada umumnya citrulline menurun pada fase awal pengobatan dan kemudian
meningkat saat gastrointestinal awal toksisitas terkait dengan pengobatan
tampaknya berpengaruh. Penurunan citrulline terkait dengan dosis pengobatan
yang lebih tinggi dan biasanya berkorelasi terbalik dengan tingkat keparahan
toksisitas gastrointestinal. Meta-analisis dilakukan pada hasil ini sejak 14 studi
diidentifikasi. Model efek acak menunjukkan bahwa kadar citrulline berkorelasi
negatif dengan tingkat keparahan toksisitas gastrointestinal dengan korelasi
sedang -0,41 (95% CI [-0,51, -0,30]); tidak ada heterogenitas (I 2 = 43%, p =
0,04) dan tidak ada bias publikasi (plot saluran simetris, tes Egger p = 0,009,
Begg uji p = 0,102). 26
Pemeriksaan albumin dan citrulline setelah melakukan myeloablative
terhadap enam puluh sembilan pasien menerima regimen pengkondisian
myeloablative untuk mempersiapkan auto transplantasi sel induk hematopoetik
dan pasangan donor terkait transplantasi sel induk hematopoetik. Pola citrulline,
CRP dan albumin ditunjukkan pada awal setelah dimulainya penerimaan rejimen
ada penurunan drastis konsentrasi citrulline dalam serum, yang mencapai tingkat
di bawah 10 umol / L pada hari ke-10. Hal ini disebabkan karena dimulainya
respon inflamasi sistemik yang ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi CRP,
mulai sekitar hari ke 10 –11 dan mencapai 50 mg / L pada hari ke 12. Akibatnya,
penurunan citrulline mendahului respon inflamasi, menunjukkan bahwa
kerusakan mukosa gastrointestinal menginduksi respon inflamasi yang terlihat
setelah menerima rejiman pengkondisian myeloablative. 29

50
Konsentrasi plasma citrulline dianalisis sebagai tanda cedera pada epitel
intestnal. Plasma glutamin merupakan sumber citrulline dianalisis untuk
menyingkirkan malnutrisi sebagai perancu penyebab penurunan yang diharapkan
dalam konsentrasi citrulline. Serum C-reactive protein (CRP), serum
orosomucoid, serum haptoglobin, serum 1-antitrypsin, dan albumin serum diukur
untuk menyelidiki respon inflamasi sistemik yang mempengaruhi. Hemoglobin
serum dinilai untuk kontrol kemungkinan anemia. Konsentrasi Citrulline menurun
15 mol / l (p - 0,001) dari baseline (median, 41 mol / l; standar deviasi [SD], 11)
hingga 5 minggu pengobatan (median, 26 mol / l; SD, 10). Penurunan besar
terjadi antara awal hingga 3 minggu pengobatan (median, 13; p - .001). Glutamin
plasma tidak menunjukkan perubahan signifikan selama pengobatan. Ada
peningkatan yang signifikan di marker inflamasi sistemik — serum orosomucoid
dan serum haptoglobin (p - 0,05) dan serum 1-antitripsin (p - .001). Albumin
serum menurun secara signifikan (p - .001). Ada penurunan yang signifikan
secara statistik (p - .05) di tingkat hemoglobin dari awal (median, 127 g / l; SD,
9,5) hingga 5 minggu (median, 122 g / l; SD, 10). 26,30,31

Tabel 6. Berbagai Hasil Penelitian Citrulline Sebagai Biomarker Non Invasife


Pasien Mukositis
Sumber : Konstantinos F, Alastair F. Citrulline as a marker of intestinal function and absorption in
clinical settings: a systematic review and meta-analysis. London : BMJ Journal, 2017: 347.

No Nama Metode Penelitian Hasil Penelitian


Peneliti
1 Lutgens, Sampel: 32 Penurunan konsentrasi
Granzier penerima serum citrulline yang
Blijlevens transplantasi sel signifikan setelah terapi
16
induk mieloablatif intensif
hematopoietik selama 3 minggu
mengikuti terapi pertama setelah
intensif transplantasi ketika
myeloablative pasien mengalami
selama 3 minggu mukositis oral dan nyata
pertama setelah integritas usus
transplantasi ketika terganggu Pemeriksaan
pasien memiliki intensif terhadap kadar
mukositis oral citrulline plasma dari 12
pasien mengkonfirmasi
bahwa penurunan kadar

51
citrulline berhubungan
dengan timbulnya
mukositis oral dan
integritas usus yang
berubah
2 Lutgens, Sampel: 23 pasien Selama radioterapi
Deutz 41 dipelajari setiap fraksinasi, konsentrasi
minggu selama citrulline menurun
pengobatan dan secara signifikan
dengan interval 2 sebagai fungsi dari dosis
minggu, 3 dan 6 radiasi (p <0,001) dan
bulan setelah volume intestinal yang
pengobatan dengan terlibat (p = 0,001).
kadar citrulline Konsentrasi plasma
plasma pasca citrulline berkorelasi
absorbsi dengan toksisitas klinis
konsentrasi dan selama 3 minggu
penilaian toksisitas terakhir pengobatan.
klinis. Secara keseluruhan,
Keterkaitan antara konsentrasi citrulline
variabel-variabel berkorelasi lebih baik
ini dan korelasi dengan dosis dan
dengan Dosis usus volume radiasi
dan parameter parameter dari penilaian
volume diselidiki toksisitas klinis.
3 Blijlevens, Sampel : 32 pasien Peningkatan signifikan
Donnelly Dengan transplantasi interleukin-8, protein
33
hematopoetik + pengikat lipopolisakarida
terapi dan protein C-reaktif
mieloablative menunjukkan cedera
sawar mukosa yang
diukur dengan integritas
usus, skor mukositis
harian dan serum
konsentrasi citrulline
4 Blijlevens, Desain: Studi pilot Skor usus harian secara
Donnelly prospektif, acak, signifikan lebih rendah
33
double-blinded, untuk kelompok
terkontrol plasebo glutamin pada hari ke 7
nutrisi parenteral pasca transplantasi (p =
yang dilengkapi 0,001) sementara
dengan 0,57 g / kg citrulline lebih rendah
glutamin-dipeptida (p = 0,03) untuk
dalam a kelompok kelompok plasebo pada
homogen dari 32 hari ke 21 pasca
penerima transplantasi.
transplantasi sel Albumin secara
induk alogenik signifikan lebih rendah

52
untuk menentukan pada kelompok plasebo
efeknya pada pada hari 21 pasca
cedera barier transplantasi (32 ± 4 vs
mukosa. Cedera 37 ± 3, p = 0,001)
penghalang mukosa sementara protein C-
diukur dengan tes reaktif lebih tinggi (74 ±
permeabilitas gula, 48 vs 34 ± 38, p =
skor mukositis 0,003)
harian, skor usus
harian, dan
konsentrasi
citrulline
5 Lutgens, Desain: Penelitian Sensitivitas dan
Blijlevens prospektif, 10 spesifisitas lebih baik
27
pasien dengan untuk pengujian
keganasan citrulline dibandingkan
hematologis yang dengan permeabilitas
menerima terapi gula tes Kerusakan usus
myeloablative maksimum dinilai
memiliki toksisitas dengan uji citrulline
usus dinilai dengan diamati 1-2 minggu
gula tes lebih awal dibandingkan
permeabilitas. dengan uji permeabilitas
Konsentrasi serum gula. Citrulline
citrulline juga mengindikasikan
ditentukan dengan pemulihan kerusakan
menggunakan usus pada 3 minggu
serum arsip sampel setelah transplantasi,
sedangkan sebagian
besar gula tes
permeabilitas tetap
abnormal
6 Herbers, 29 pasien dengan Konsentrasi citrulline
Blijlevens melphalan dosis awal adalah 27,6 ± 4,0
30
tinggi 200 mg / m2 μmol / L, dan
untuk konsentrasi citrulline
mempersiapkan menurun dengan cepat
autologous setelah itu mencapai
Transplantasi sel titik terendah rata-rata
induk darah tepi. 6,7 ± 2,7 μmol / L, 12
Sampel plasma dari hari setelah memulai
setiap pasien mulai melphalan. Konsentrasi
sebelum rejimen citrulline, hanya
myeloablative dan meningkat secara
tiga kali seminggu bertahap dan masih
sesudahnya sampai rendah (12 ± 4 μmol /
keluar L) saat dikeluarkan.
Konsentrasi rata-rata

53
citrulline mereka lebih
rendah yaitu 5,5 ± 1,5
μmol / L daripada
pasien tanpa bakteremia
(10,2 ± 3,9 μmol / L)
7 Derikx, Sampel: 34 pasien Pengondisian
Blijlevens dewasa dengan myeloablative
31
keganasan menghasilkan
hematologis penurunan yang
menerima alogenik signifikan dalam serum
transplantasi sel citrulline dengan nadir
induk aktif hari ke 7 pasca
hematopoietik 12 transplantasi; setelah
hari setelah itu, level naik secara
pengkondisian bertahap. Penurunan
myeloablative signifikan protein
dengan rejimen pengikat asam lemak
yang dikenal untuk usus dan protein
menginduksi cedera pengikat asam empedu
penghalang mukosa ileum kadar terjadi sejak
oral dan usus . hari transplantasi hingga
Tingkat serum hari +14.
citrulline, protein
pengikat asam
lemak usus dan
asam empedu ileal-
protein pengikat
diukur pada hari
transplantasi -12, -
6, 0, +7, +14 dan
+21.
8 Van Vliet, Sampel: Anak-anak Cedera penghalang
Tissing42 dengan leukemia mukosa usus yang
myeloid akut dideteksi oleh kriteria
Investigasi: efek samping NCI
berbagai klinis dan ditemukan pada 55%
laboratorium terkait siklus kemoterapi,
cedera penghalang berkorelasi baik dengan
mukosa tes, yang skor usus harian terus
mencerminkan menerus (n = 55, r =
keparahan klinis 0,581; p < 0,001).
(kriteria efek Kehilangan sel usus
samping yang diukur dengan
simptomatik NCI), rasio DNA manusia
setiap hari skor feses / DNA total dan
usus, peradangan plasma citrulline
(plasma dan faecal berkorelasi baik dengan
interleukin-8, faecal kriteria NCI (r = 0,357,

54
calprotectin), p = 0,005; r = -0,482, p
kerugian enterositik <0,001) dan usus harian
(plasma citrulline, skor (r = 0,352, p =
rasio DNA manusia 0,009; r = -0,625, p
feses / DNA total) <0,001). Interleukin-8
dan permeabilitas plasma berkorelasi kuat
usus (tes dengan kadar citrulline
penyerapan gula) plasma (r = -0,627; p
<0,001).
9 Herbers, Sampel dan desain: Regimen yang
Feuth 29 Konsentrasi memasukkan idarubicin
Citrulline menginduksi toksisitas
ditentukan pada usus paling parah. Skor
awal dan pada berdasarkan tingkat
setidaknya sekali citrulline, menggunakan
seminggu setelah ambang keparahan, dan
dimulainya pada area di bawah
kemoterapi kurva timbal balik dapat
myeloablative membedakan antara
sampai 30 hari kerusakan yang
setelah itu di antara disebabkan oleh dosis
94 sel punca tinggi yang berbeda
hematopoietik rejimen kemoterapi.
alogenik atau
autologus penerima
transplantasi.
Kerusakan mukosa
usus dijelaskan oleh
tingkat citrulline
pada masing-
masing hari,
berdasarkan
ambang batas yang
berbeda dari
citrulline
menunjukkan
keparahan atrofi
vili, atau
berdasarkan area di
bawah kurva
menggunakan nilai
timbal balik 10 /
citrulline.
10 Van der Sampel: Analisis Dalam 5 rejimen
Velden, retrospektif pada myeloablative ada pola
Herbers 30 163 penerima yang mencolok dari
transplantasi sel respon inflamasi yang
induk data telah bertepatan dengan

55
dikumpulkan secara terjadinya kerusakan
prospektif pada usus parah. Ini kontras
kerusakan usus dengan respon inflamasi
(citrulline), sederhana yang terlihat
peradangan (protein dalam rejimen non-
C-reaktif), dan myeloablative di mana
jumlah neutrofil. usus kerusakan terbatas.
Enam Dengan analisis model
pengkondisian campuran linier, tingkat
regimen berbeda kerusakan usus
dipelajari; 5 diperlihatkan penentu
myeloablative dan terpenting respon
1 non- inflamasi, dan baik
myeloablative. neutropenia dan
Analisis multivariat bakteremia hanya
model linier berdampak kecil.
campuran dan Analisis
analisis AUC mengungkapkan
digunakan untuk korelasi kuat antara
menentukan peran citrulline dan protein C-
kerusakan usus reaktif (r = 0,96).
pada peradangan Kerusakan mukosa usus
pasca SCT. dikaitkan dengan
terjadinya bakteremia
dan acute lung injury
dan mempengaruhi
kinetika penyakit graft-
versus-host akut
11 Vokurka, Rata-rata Pasien yang
Svoboda konsentrasi ditransplantasikan vs
34
citrulline awal kelompok kontrol t:
adalah 22,7 μmol / median (IQR) 9,3 (3,62-
L (95% CI 17,7- 15,38) vs 33,3 (26,82-
27,6) pada hari -10, 36,23) μmol / L, p
yang naik ke 7,5 <0,0001. Mukositis usus
μmol / L (95% CI toksik pasca
3,1-18,0, p = 0,017) transplantasi (n = 8, hari
pada hari ke 8 1-22 pasca
setelah transplantasi transplantasi) vs
sel hematopoietik cangkok usus versus
sebelum kembali ke penyakit inang (n = 7,
garis dasar pada hari 43-142) vs. etiologi
hari ke 30. Setelah diare lainnya (n = 3, hari
membahas untuk 120-127): 9.55 (2.95-
tingkat interleukin- 12.03) vs. 5 (3.85-9.05)
6 (1,0% lebih vs. 15.6 (15.45-18.3)
rendah citrulline μmol / L (p <0,05)
per 10%

56
Peningkatan
interleukin-6, p =
0,004), ada
penyakit graft-
versus-host akut
(citrulline 27%
lebih rendah, p =
0,025), dan oral
asupan energi
(2,1% lebih rendah
citrulline per 10%
penurunan asupan
energi, p = 0,018),
bergeser ke hari 10
, kompilasi rata-rata
konsentrasi
citrulline lebih
rendah pada pasien
dengan oral yang
parah mukositis
(6,7 umol / L, 95%
CI 3.4-13.1)
dibandingkan pada
mereka yang tidak
mukositis parah
(11,9 umol / L,
95% CI 5.8 -24,4, p
= 0,003).
Perubahan citrulline
tidak berkorelasi
dengan volume
feses, protein C-
reaktif, nekrosis
tumor factor-alpha,
leptin, atau ghrelin.
12 Gosellin, Sampel: Rata-rata konsentrasi
Feldman Multicentre, studi citrulline awal adalah
35
kohort prospektif 22,7 μmol / L (95% CI
dari 26 anak-anak 17,7-27,6) pada hari -
untuk menentukan 10, yang menurun ke
waktu- terkait titik nadir 7,5 μmol / L
perubahan serum (95% CI 3.1-18.0, p =
citrulline selama sel 0,017) pada hari ke 8
hematopoietik setelah hematopoietik
transplantasi. transplantasi sel
Penanda fungsi sebelum kembali ke
pencernaan garis dasar pada hari ke
termasuk asupan 30.

57
energi oral, emesis, Setelah penyesuaian
volume feses, untuk level interleukin-6
adanya penyakit (1,0% lebih rendah
graft-versus-host, citrulline per 10%
mukositis oral peningkatan interleukin-
tingkat keparahan, 6, p = 0,004), adanya
dan tingkat sitokin penyakit graft-versus-
dan neurohormon host akut (citrulline
diukur. 27% lebih rendah, p =
Konsentrasi serum 0,025), dan oral asupan
citrulline mingguan energi (2,1% lebih
diperoleh dari 10 rendah citrulline per
hari sebelum 30 10% penurunan asupan
hari setelah energi, p = 0,018), titik
transplantasi sel terendah bergeser ke
hematopoietik. hari 10, ketika rata-rata
konsentrasi citrulline
lebih rendah pada
pasien dengan oral yang
parah mukositis (6,7
umol / L, 95% CI 3.4-
13.1) dibandingkan
pada mereka yang tidak
mukositis parah (11,9
umol / L, 95% CI 5.8-
24.4, p = 0,003).
Perubahan citrulline
tidak berkorelasi dengan
volume tinja, protein C-
reaktif, nekrosis tumor
factor-alpha, leptin, atau
ghrelin.
13 Karlik, Tujuan: Untuk Untuk setiap
Kesavan 36
menentukan apakah peningkatan 1 μmol / L
kadar citrulline dalam citrulline,
berkorelasi dengan kemungkinan
penanda klinis mengembangkan
cedera usus pada mukositis adalah 0,88
anak-anak yang (95% CI 0,79-0,99, p =
menjalani 0,036). Kemungkinan
transplantasi terkena diare adalah
alogenik rejimen 0,70 kali lebih sedikit
myeloablative. untuk setiap
peningkatan 1 μmol / L
dalam citrulline (95%
CI = 0,59-0,84, p
<0,0001).

58
Penilaian tes citrulline dari keseluruhan penelitian meta-analisis dengan
berbagai subyek penelitian. Akurasi diagnostik didapatkan nilai sensitivitas
keseluruhan penelitian tes citrulline sebagai biomarker mukositis intestinal
tampaknya memuaskan 80% (95% CI [69% -87%]), spesifisitas adalah 84% (95%
CI [77% -89%]) dan rasio odds diagnostik adalah 20,03. (29)

Gambar 9. Hasil Penelitian Citrulline Sebagai Biomarker Non Invasife Pasien


Mukositis
Sumber : Konstantinos F, Alastair F. Citrulline as a marker of intestinal function and absorption in
clinical settings: a systematic review and meta-analysis. London : BMJ Journal, 2017: 347.

Pada penelitian lainnya tingkat citrulline plasma menunjukan tidak ada


perbedaan yang signifikan antara level plasma citrulline diukur sebelum
kemoterapi dan pada hari ke 3 pasca kemoterapi (15,31 ± 2,72 μmol / L vs. 17,08
± 1,87 μmol / L; p> 0,05). Di Hari ke 6 pasca kemoterapi, level plasma citrulline
menurun secara signifikan dibandingkan dengan yang diukur sebelum kemoterapi
(9,59 ± 2,36 μmol / L vs 17,08 ± 1,87 μmol / L; p <0,05). (26)(30)(31)

4.2 Mekanisme Kerja Pemeriksaan Kadar Citrulline

Cara kerja pemeriksaan kadar plasma citrulline menggunakan analisis


komposisi asam amino mengacu pada teknik analisis yang mengukur konsentrasi
asam amino individu dalam sampel yang diberikan. Tes citrulline tidak secara
rutin dilakukan di laboratorium analisis karena memerlukan resolusi tinggi dengan
teknik khusus. Berbagai metode telah dilaporkan kuantifikasi citrulline. Sebagian
besar dari mereka berbasis pada pemisahan kromatografi, yang biasanya

59
melibatkan derivasi asam amino sebelum atau sesudah. 30 Meskipun serum plasma
dan urin umumnya digunakan sebagai sampel uji, darah lengkap atau eritrosit juga
dilaporkan sebagai sampel potensial untuk evaluasi klinis. Yang terakhir, karena
matriks yang sangat kompleks membutuhkan teknik analitik yang sangat selektif
seperti spektrometri massa. Hozyasz dan rekan kerja (2010) mengusulkan
spektrometri massa pada pengeringan spesimen bercak darah untuk skrining
citrullinemia sebagai kandidat biomarker menjanjikan embriogenesis abnormal.
Profiling asam amino bercak darah kering melalui spektrometri massa juga dapat
digunakan untuk memantau fungsi hasil cangkok setelah transplantasi usus.
Konsentrasi citulline darah dapat menjadi penanda biokimia sederhana untuk
diagnosis dan pemantauan hilangnya enterosit pada penyakit seliaka. Tingkat
plasma atau serum citrulline, diukur dengan pemisahan kromatografi, ideal untuk
penilaian fungsi usus halus. Teknik tersebut menunjukkan selektivitas yang
memadai dan resolusi tinggi. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil atau
interpretasi antara metode analitik menggunakan serum atau plasma untuk
penentuan citrulline.31,32

4.3 Metabolisme Citrulline

Citrulline adalah asam amino langka. Sebagai asam amino nonprotein (non-
proteinogenik), asam amino berfungsi sebagai perantara dalam metabolisme asam
amino protein (proteinogenik) dan dalam siklus urea. Aktivitas metabolisme
citrulline terutama akibat hubungan eratnya dengan metabolisme arginin.
Citrulline adalah prekursor langsung arginin serta metabolit dari transformasi.
Berikut ini adalah transformasi metabolisme parsial allrulline:
1. Jalur metabolisme pertama adalah biosintesis arginin, yang melibatkan
pertukaran sitrulin pada tingkat sistemik. Dalam usus, citrulline disintesis dari
glutamin, glutamat atau prolin dan dilepaskan ke aliran darah untuk diubah
kembali menjadi arginin (oleh ASS dan ASL) di ginjal. Sekitar 60% dari sintesis
arginin bersih pada mamalia dewasa terjadi di ginjal, di mana citrulline diekstraksi
dari darah dan dikonversi menjadi arginin. Dalam jalur ini, sitrulin yang
bersirkulasi adalah bentuk arginin bertopeng untuk menghindari penyerapan dan
metabolisme hati oleh arginase. Proses sintesis arginin pada orang dewasa

60
melibatkan sumbu usus-ginjal. Namun, banyak jaringan dan tipe sel lain juga
mengandung ASS dan ASL untuk menghasilkan arginin dari sitrulin. 21,22
2. Jalur kedua adalah siklus arginin-sitrulin-nitrat oksida (NO). Pada sebagian
besar jaringan penghasil NO, citrulline didaur ulang secara lokal menjadi arginin
oleh ASS untuk meningkat ketersediaan arginin untuk produksi NO. 21,22
3. Jalur ketiga terjadi di hati, di mana citrulline disintesis oleh OCT dari ornithine
dan dimetabolisme oleh ASS dalam siklus urea. Namun, ada perbedaan dalam
jalur metabolisme citrulline antara orang dewasa mamalia dan neonatus. Mamalia
muda termasuk bayi prematur memiliki persyaratan yang sangat tinggi untuk
arginin. Pada usia muda, arginin adalah asam amino esensial untuk pertumbuhan
dan perkembangan opal, dan oleh karena itu harus disediakan dalam makanan.
Pada orang dewasa, arginin adalah asam amino esensial bersyarat. 21,22

Gambar 10. Metabolisme Citrulline


Sumber : Justyna. Plasma Citrulline Level As A Biomarker For Cancer Therapy- Induced
Small Bowel Mucosal Damage. Springer. 2014

4.4 Peran Citrulline Dalam Penilaian Dan Pemantauan Kerusakan Ke


Mukosa Usus Halus
Asam amino citrulline endogen nonprotein disintesis dalam enterosit (sel-
sel epitel usus kecil), adalah penanda yang tidak tergantung pada diet dan status
gizi. Tingkat plasma citrulline normal pada individu sehat berkisar antara 30
hingga 50 μmol / L (40 ± 10 μmol / L). 21
Hubungan antara konsentrasi plasma
citrulline dan massa sel epitel telah ditunjukkan sebelumnya. Studi klinis yang
melibatkan pasien dengan short bowel syndrome, penyakit usus terkait atrofi vili,

61
penyakit Crohn, transplantasi usus kecil telah menunjukkan bahwa kadar
citrulline berkorelasi positif dengan keseluruhan fungsi usus halus. Pada tahun
2000, Crenn et al. menunjukkan tingkat citrulline plasma secara signifikan lebih
rendah pada kelompok pasien dengan sindrom usus pendek daripada pada
kelompok kontrol yang sehat. Short bowel syndrome melibatkan kondisi setelah
reseksi bedah dari sebagian atau seluruh usus kecil. Penyebab paling umum
adalah reseksi bedah karena nekrosis iskemik usus, cedera, atau neoplasma.
Eksklusi fungsional biasanya disebabkan oleh penyakit Crohn, enteropati, atau
cedera usus yang disebabkan oleh kemoterapi dan radioterapi. Seperti organ
lainnya, usus kecil dengan permukaan serapnya yang luas memiliki cadangan
fungsional yang besar. Tidak ada panjang yang ditentukan dari segmen usus yang
direseksi yang akan menentukan perkembangan derajat keparahan sindrom ini.
Biasanya reseksi segmen kecil tidak merusak fungsi usus, sedangkan jika segmen
usus yang tersisa berukuran kurang dari 100 cm, sindrom ini sangat mungkin
untuk berkembang.21 Manifestasi kegagalan fungsional usus tergantung pada
segmen spesifik usus yang diangkat dan sejauh mana reseksi. Segmen yang paling
kritis adalah duodenum, jejunum proksimal, dan area di sekitar katup ileocecal.
Tingkat plasma citrulline pada pasien dengan short bowel syndrome dianggap
sebagai penanda yang dapat diandalkan fungsi mukosa usus kecil. Dalam
penelitian lain, Crenn et al. (2003) menunjukkan korelasi kadar plasma citrulline
dan keparahan dan luasnya atrofi vili pada pasien dengan penyakit celiac dan
pasien dengan penyakit atrofi vili non-celiac. Tingkat citrulline darah <10 μmol /
L dianggap sebagai penanda cedera mukosa usus kecil yang parah dan
berhubungan dengan atrofi total vil, kadar mulai dari 10 hingga 20 μmol / L
berkaitan dengan atrofi vili subtotal, dan kadar> 20 μmol / L mengindikasikan
atrofi parsial. Pada pasien dengan penyakit atrofi vili, kadar citrulline plasma
dianggap sebagai biomarker awal dan dapat diandalkan dari massa enterosit.
Sejak publikasi kedua studi perintis ini, peneliti lain telah menilai manfaat plasma
tingkat trulline sebagai penanda dalam berbagai kondisi yang melibatkan
disfungsi mukosa usus halus, ditunjukkan oleh korelasi dengan residu duodenum-
jejunum panjang dan penyerapan enteral. 19,21

62
Gambar 11. Metabolisme Citrulline
Sumber : Justyna. Plasma Citrulline Level As A Biomarker For Cancer Therapy- Induced
Small Bowel Mucosal Damage. Springer. 2014

Selain itu, ada hubungan erat antara panjang duodenal dan usus kecil dan
kapasitas penyerapan usus kecil. Dalam operasi usus kecil, kadar plasma citrulline
digunakan dalam tindak lanjut implantasi cangkok. Penyakit Crohn melibatkan
peradangan segmental dari semua lapisan dinding usus yang terkena. Lesi
segmental atau lompatan ini dapat melibatkan segmen sistem gastrointestinal dari
mulut ke anus. Studi terbaru telah menunjukkan penurunan kadar sitrulin plasma
pada pasien dengan bentuk parah penyakit Crohn, terutama dalam kasus
keterlibatan usus kecil atau reseksi in-testinal yang luas. Namun, tingkat plasma
(7) (30)
citrulline bukanlah penanda aktivitas penyakit Crohn. Dibutuhkan lebih
banyak penelitian untuk lebih menentukan peran citrulline dalam penyakit ini.
Penyakit usus kecil terkait atrofi vili (dengan penyakit seliaka menjadi etiologi
dominan di negara-negara Barat serta mukositis dan berbagai bentuk enteritis
infeksi) bermanifestasi sebagai gangguan pencernaan dan penyerapan usus, dan
akhirnya – malnutrisi. 31
Pada pasien dengan disfungsi mukosa usus yang luas, konsentrasi
citrulline rendah dan berkorelasi dengan tingkat keparahan dan luasnya atrofi vili.
Dalam kelompok pasien ini, konsentrasi citrulline dapat digunakan sebagai
penanda sederhana dan dapat diandalkan dari pengurangan massa enterosit.
(33)
Pasien dengan penyakit celiac yang tidak diobati memiliki kadar citrulline
plasma yang berkurang secara signifikan yang meningkat dengan cepat setelah

63
pengenalan diet bebas gluten. Ini membuktikan bahwa tingkat citrulline adalah
penanda sensitif dari efek menguntungkan dari diet pada perbaikan usus. Ada
hubungan erat antara struktur usus dan fungsi pada pasien yang terinfeksi HIV.
Pada pasien ini, konsentrasi citrulline <10 μmol / L sangat terkait dengan
kebutuhan nutrisi parenteral, yang mencerminkan kegagalan usus karena
mengurangi massa enterosit. Pasien dengan hanya keterlibatan enterosit ringan
yang disajikan dengan konsentrasi citrulline normal atau hanya sedikit menurun.
21,33

Tingkat citrulline darah <10 μmol / L adalah penanda yang terbentuk dari cedera
mukosa usus kecil yang parah. Penilaian tingkat citrulline reguler membantu
memantau fungsi mukosa usus kecil. Selain itu, kadar citrulline berkorelasi erat
dengan panjang duodenum dan usus kecil serta dengan kapasitas absorpsi in
testinal.31,32,33 Namun, sama pentingnya untuk digaris bawahi, bahwa konsentrasi
citrulline tidak memberikan diagnosis etiologis tetapi hanya biomarker dari
perjalanan penyakit usus yang diharapkan dan prognosis pada enteropati parah
atau kegagalan usus.43

64
BAB V

RINGKASAN

Konsentrasi sitrulin yang telah diteliti muncul sebagai kandidat biomarker


yang inovatif dan menjanjikan untuk penilaian fungsi usus. Sebagai asam amino
yang diekskresikan secara eksklusif oleh enterosit dari mukosa usus, citrulline
berasal dari protein atau produk nutrisi dan merupakan prekursor untuk produksi
arginin di ginjal. Dalam penggunaan klinis, konsentrasi plasma citrulline menjadi
biomarker akurat dari massa metabolik fungsional enterocyte (trofisitas) pada
pasien anak dan dewasa karena korelasinya yang tinggi dengan panjang residu
usus kecil aktif dan fungsional pada penyakit usus (usus pendek, luas enteropati,
toksisitas usus yang diinduksi oleh kemoterapi dan radioterapi).
Saat ini kurangnya tes objektif untuk menilai tingkat atau durasi cedera
mukosa usus akibat pengobatan kanker perlu ditekankan. Evaluasi cedera mukosa
usus didasarkan pada gejala klinis dan bias karena kurangnya validasi atau
pengulangan. Selain itu, para peneliti di bidang ini cenderung menggunakan skala
toksisitas usus yang berbeda. Penilaian fungsional usus tidak dapat ditoleransi
dengan baik. Pemeriksaan invasif, termasuk endoskopi, memiliki risiko
komplikasi yang tinggi. Tingkat plasma citrulline tampaknya merupakan indikator
kuantitatif yang baik untuk fungsi mukosa. Tingkat yang mencapai nilai terendah
setelah kemoterapi dapat mengindikasikan toksisitas usus. Penilaian kadar
plasma citrulline berulang, cukup spesifik dan sensitif, dan memenuhi kriteria
untuk teknik penilaian pilihan untuk evaluasi dan pemantauan mukositis
inteminal. Kesederhanaan metode ini, biayanya yang rendah, dan tidak adanya
kekurangan membuat uji citrulline menjadi pilihan pertama untuk mengukur dan
memantau kerusakan usus terkait pengobatan. Penilaian berbasis sitrulin terhadap
toksisitas usus yang disebabkan oleh kemoterapi / radiasi tampaknya menjadi
parameter objektif untuk memantau salah satu efek samping paling umum dari
pengobatan kanker. Tingkat rendah citrulline yang bersirkulasi berhubungan
dengan kerusakan usus yang parah. Tes plasma citrulline juga dapat membantu
dalam pengembangan pengobatan baru yang efektif untuk mengurangi tanda dan
gejala mukositis gastrointestinal.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Van Vliet MJ, Harmsen HJ, De Bont, ES, Tissing, W. J. The role of
intestinaLmicrobiota in the development and severity of chemotherapy-
induced mucositis. PLoS Pathogens. 2010;6:1-7.

2. Niscola P, Claudio R, Luca C, Laura S, Andrea T, Teresa D, et al.


Mucositis in patients with hematologic malignancies : An Overview.
Rome. Journal of The Stroti Foundation. 2007; 92:222-31.

3. Aksoy DY, Tanriover MD, Uzun O. Diarrhea in neutropenic patients: A


prospective cohort study with emphasis on neutropenic enterocolitis.
Oxford : Annals of Oncology. 2007; 18:6923-7534.

4. Rachel M, Vanesa S, Raquel A, Joel C, Kulmira N. Chemotherapy-


induced constipation and diarrhea: pathophysiology, current and emerging
treatments. Springer. 2016; 7:1-13.

5. Kuiken N, Rings M, Blijlevens N, Wim J. Biomarkers and non-invasive


tests for gastrointestinal mucositis. Springer. 2017; 25:2933-41.

6. Andrea C. Intestinal toxicity during induction chemotherapy with


cytarabine-based regimens in adult acute myeloid leukemia. Italy : The
Hematology Journal. 2003; 4:346-350.

7. Wen, Yuxi. Interactions between gut microbiota and acute childhood


leukemia. Frontiersin. 2019; 10:1-7.

8. Elizabeth. Management of acute chemotherapy-related diarrhea.


UpToDate. 2013; 17-9.

9. Oosterom N. A decrease in vitamin D levels is associated with


methotrexate-induced oral mucositis in children with acute lymphoblastic
leukemia. Springer. 2019; 27:183-90.

10. Madani. Clinical infections and bloodstream isolates associated with fever
in patients undergoing chemotherapy for acute myeloid leukemia.
Infection. 2000; 28:367–73.

11. Aksoy DY, Tanriover MD, Uzun O, Zarakolu P, Ercis S, Ergüven S, Oto
A, et al. Diarrhea in neutropenic patients: a prospective cohort study with
emphasis on neutropenic enterocolitis. Annals of Oncology. 2007; 18:183-
9.

12. Riawati K, Endang W, Djajadiman G. Toksisitas kemoterapi leukemia


limfoblastik akut pada fase induksi dan profilaksis susunan saraf pusat
dengan metotreksat 1 gram. Sari Pediatri. 2007; 9:254-6.

66
13. Bhuta R, Nieder M, Jubelirer T, Ladas EJ. The gut microbiome and
pediatric cancer: current research and gaps in knowledge. PTJNCI
Monographs, Oxford. 2019; 54:169–73.

14. Patrick J. Coding For Mucositis. Springer. 2005; 9:30.

15. Iwamoto T. Clinical application of drug delivery systems in cancer


chemotherapy: Review of the efficacy and side effects of approved drugs.
Biol. Pharm Bull. 2013; 36: 715–718.

16. Smith LC, Bertolotti P, Curran K, Jenkins B. Gastrointestinal side effects


associated with novel therapies in patients with multiple myeloma:
Consensus statement of the IMF nurse leadership board. Clin Journal of
Oncology. 2008; 12:37–52.

17. Stein A, Alexander D . Chemotherapy-induced diarrhea: Pathophysiology,


frequency and guideline-based management. The Advance Medical
Oncology. 2010; 2:51–63.

18. Davila M, Bresalier R.S. Gastrointestinal complications of oncologic


therapy. National Clinical Practice Gastroentero Hepatology. 2008;
5:682–96.

19. Stringer AM. Chemotherapy-induced mucositis: The role of


gastrointestinal microflora and mucins in the luminal environment.
Support Oncology. 2008; 5:259–67.

20. Justyna A, Cezary S, Piotr R, Małgorzata, Elżbieta A. Plasma citrulline


level as a biomarker for cancer therapy-induced small bowel mucosal
damage. Polland : Actabichimica polonica. 2014; 4:615-31.

21. Sonis ST, Elting LS, Keefe D, Peterson DE, Schubert M, Hauer-Jensen M,
et al. Perspectives on cancer therapy-induced mucosal injury. Cancer 100.
2004; 1:1995–2025.

22. Gibson, RJ, Keefe, DM. Cancer chemotherapy-induced diarrhoea and


constipation: Mechanisms of damage and prevention strategies. Support
Care Cancer. 2006; 14:890–900.

23. Maroun JA, Anthony LB, Blais N, Burkes R, Dowden SD, Dranitsaris G,
et al. Prevention and management of chemotherapy-induced diarrhea in
patients with colorectal cancer: A consensus statement by the canadian
working group on chemotherapy. Gastroenterohepatology Jounal. 2007;
14:13-20.

24. Laila M, Mohamed R, Naglaa K, Maha K, Ghada K, Gohar. Diarrhea in


neutropenic children with cancer: An Egyptian center experience, with

67
emphasis on neutropenic enterocolitis. Indian Journal of Medical and
Pediatric Oncology. 2012; 33:95-101.

25. Konstantinos F, Alastair F. Citrulline as a marker of intestinal function and


absorption in clinical settings: a systematic review and meta-analysis. BMJ
Journal. 2017; 6:181-191.

26. Andrea, C. Intestinal toxicity during induction chemotherapy with


cytarabine-based regimens in adult acute myeloid leukemia. The
Hematology Journal. 2007;5:346-50.

27. Hozyasz KK, Szaflarska-Popławska A, Ołtarzewski M, Mazur J, Muller L,


Jablonska E, et al. Whole blood citrulline levels in patients with coeliac
disease. Polland : Pol Merkur Lek. 2006; 20:173–5.

28. Herbers AH, Feuth T, Donnelly JP and Blijlevens NM. Citrulline-based


assessment score: First choice for measuring and monitoring intestinal
failure after high-dose chemotherapy. Annals of oncology : official journal
of the European Society for Medical Oncology / ESMO. 2010; 21:1706-11.

29. Blijlevens NM, Lutgens LC, Schattenberg AV, Donnelly JP. Citrulline: A
potentially simple quantitative marker of intestinal epithelial damage
following myeloablative therapy. Bone Marrow Transplant. 2004;34:193-
6.

30. Van der Velden WJ, Herbers AH, Feuth T, Schaap NP, Donnelly JP and
Blijlevens NM. Intestinal damage determines the inflammatory response
and early complications in patients receiving conditioning for a stem cell
transplantation. PLoS One. 2010; 5: 151-6.

31. Van der Velden WJ, Herbers AH, Bruggemann RJ, Feuth T, Peter
Donnelly J and Blijlevens NM. Citrulline and albumin as biomarkers for
gastrointestinal mucositis in recipients of hematopoietic SCT. Bone
Marrow Transplantation. 2013; 48: 977-81.

32. Lutgens LCHW, Blijlevens NMA, Deutz NEP, Donnelly JP, Lambin P
and de Pauw BE. Monitoring myeloablative therapy-induced small bowel
toxicity by serum citrulline concentration: A comparison with sugar
permeability tests. Cancer. 2005; 103: 191-9.

33. Vokurka S, Svoboda T, Rajdl D. Serum citrulline levels as a marker of


enterocyte function in patients after allogeneic hematopoietic stem cells
transplantation - a pilot study. Medical science monitor : international
medical journal of experimental and clinical research. 2013;19:81-5.

34. Gosselin KB, Feldman HA, Sonis AL. Serum citrulline as a biomarker of
gastrointestinal function during hematopoietic cell transplantation in
children. Journal Pediatric Gastroenterology Nutrition. 2014;58:709-14.

68
35. Karlik JB, Kesavan A, Nieder ML. Plasma citrulline as a biomarker for
enterocyte integrity in pediatric blood and BMT. Bone Marrow
Transplantation. 2014;49:449-50.

36. Brady D, Horn S, Yakkundi S. Plasma citrulline is a potential biomarker


for small bowel toxicity following radiotherapy for prostate cancer.
Radiotherapy and Oncology. 2015;115:366.

37. Kong W, Wang J, Ping X. Biomarkers for assessing mucosal barrier


dysfunction induced by chemotherapy: Identifying a rapid and simple
biomarker. Clinical laboratory. 2015;61:371-8.

38. Hozyasz KK, Oltarzewski M, Lugowska I. Whole blood citrulline


concentrations in newborns with non-syndromic oral clefts : A preliminary
report. Asia Pac J Clinical Nutrition. 2010; 19:217-22.

39. Crenn P, Vahedi K, Lavergne-Slove A. Plasma citrulline: A marker of


enterocyte mass in villous atrophy-associated small bowel disease.
Gastroenterology. 2003; 124:1210– 9.

40. Lutgens LC, Blijlevens NM, Deutz NE, Donnelly JP, Lambin P, de Pauw
BE. Monitoring myeloablative therapy-induced small bowel toxicity by
serum citrulline concentration: A comparison with sugar permeability
tests. Cancer. 2005;103:191-9.

41. Van Vliet MJ, Tissing WJ, Rings EH. Citrulline as a marker for
chemotherapy induced mucosal barrier injury in pediatric patients.
Pediatric Blood Cancer. 2009; 53:1188-94.

42. Kim AR, Cho J, Hsu YJ, Choi MG, Noh JH, Sohn TS. Changes of quality
of life in gastric cancer patients after curative resection: A longitudinal
cohort study in Korea. Ann Surgery. 2012; 256:1008–13.

43. Bjordal JM, Bensadoun RJ, Tunér J, Frigo L, Gjerde K, Lopes-Martins


RA. A systematic review with meta-analysis of the effect of low-level
laser therapy (LLLT) in cancer therapy-induced oral mucositis. Support
Care Cancer. 2011;19:1069–77.

69
70

Anda mungkin juga menyukai