ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
profilaksis atau perubahan diet untuk dukungan nutrisi. Dalam hal ini,
pemeriksaan serum citrulline merupakan biomarker non-invasif pilihan dalam
menegakkan diagnosis mukositis yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.3-5
Berdasarkan penelitian sebelumnya, validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapannya, pada beberapa biomarker yang diteliti menggunakan sampel darah,
sampel tinja, sampel napas, dan sampel urin untuk mendiagnosis mukositis dan
menilai keparahan, dari beberapa biomarker non-invasif, kadar citrulline juga
dapat menjadi sarana yang objektif dan dapat diandalkan untuk menentukan
diagnosis mukositis gastrointestinal dan evaluasi terapi pasien anak post
kemoterapi leukemia akut yang akan dibahas lebih lanjut pada tinjauan
kepustakaan ini.1,2,5
1.1 Tujuan
Tujuan penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk memaparkan lebih
lanjut mengenai kadar citrulline sebagai pemeriksaan biomarker diagnostik non-
invasif mukositis gastrointestinal pada anak-anak dengan leukemia akut.
2
BAB II
MUKOSITIS
2.1 Definisi
3
Mukosa oral terdiri dari sel-sel mukosa yang terus membelah secara cepat.
Gangguan dalam pembelahan sel mukosa akibat kemoterapi akan mencetuskan
mukositis. Selanjutnya mukositis akan memberikan berbagai dampak negatif pada
anak.6 Prevalensi mengenai mukositis akibat kemoterapi pada anak masih menjadi
perdebatan, karena saat ini belum ada konsensus mengenai angka insidensi
mukositis akibat kemoterapi. Namun demikian, menurut studi United Kingdom
Children’s Cancer Study Group dan Paediatric Oncology Nurses Forum
(UKCCSG-PONF) tahun 2006, prevalensi terjadinya mukositis akibat kemoterapi
diperkirakan mencapai 30-40% dalam setiap siklusnya. Literatur lain dari Cancer
Care Nova Stovia (CCNS) tahun 2008, mengatakan bahwa angka prevalensi
mukositis lebih besar lagi, yaitu sekitar 45- 80%.8
Tingkat keparahan mukositis tergantung pada berbagai faktor, termasuk
dosis obat, interval dosis, volume jaringan yang dirawat dan jenis radiasi. Faktor-
faktor lain adalah paparan sebelum kemoterapi, kemoterapi bersamaan, dan
penyakit sistemik seperti diabetes mellitus atau kondisi vaskular. Pada
kebanyakan pasien penyembuhan terjadi dua atau tiga minggu setelah akhir
radioterapi fraksinasi konvensional maupun kemoterapi.9
4
agen kemoterapi, dosis kemoterapi, intensitas pengulangan terapi. Agen
kemoterapi yang paling sering terkait dengan mukositis adalah antimetabolit yang
meliputi etoposide, 5 FU, dan methotrexate Obat ini sangat sering diberikan pada
pasien kanker darah dan nasofaring. Anak yang mendapat terapi dengan dosis
lebih besar, seperti pada anak yang resisten terhadap pengobatan akan lebih rentan
mengalami mukositis. Kemoterapi yang dilakukan dalam waktu yang lama,
seperti pada anak yang mengalami relaps juga meningkatkan risiko terjadinya
mukositis. Selain itu pasien yang mendapat kombinasi terapi juga memiliki risiko
lebih tinggi mengalami mukositis dibandingkan dengan terapi tunggal. 10
Tingkat keparahan mukositis berpengaruh langsung pada perencanaan
terapi yang perlu mempertimbangkan pengurangan dosis, penundaan, bahkan
penghentian kemoterapi. Kondisi ini juga dapat memperparah infeksi yang dapat
mengancam nyawa, khususnya bila pasien jatuh dalam kondisi neutropenia.
Faktor risiko lainnya yang berkontribusi menyebabkan terjadinya mukositis oral
pada pasien, antara lain adalah riwayat terkena Virus Herpes Simpleks dan
pengobatannya seperti penggunaan acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir
(Valtrex), pasien yang mengalami transplantasi sumsum tulang, dan pasien yang
mengalami penurunan produksi saliva serta pH saliva. 11,12
Adanya penurunan produksi dan pH saliva tersebut juga merupakan efek
samping dari kemoterapi yang diberikan. Status gizi juga mempengaruhi
terjadinya mukositis. Pada asupan glukosa dan protein yang tinggi, serta
malnutrisi kekurangan protein berkontribusi menyebabkan mukosa mulut kering
sehingga meningkatkan risiko terjadinya iritasi dan penurunan pertumbuhan sel-
sel epitel mukosa.7,13 Hal ini juga dipertegas dengan penelitian yang dilakukan
oleh Peterson dan Carrielo (2004) yang menyatakan bahwa anak dengan status
gizi kurang atau gizi buruk lebih berisiko mengalami mukositis, namun penelitian
lain yang dilakukan oleh Robien et al. (2004), anak dengan Body Mass Index
(BMI) yang lebih tinggi, seperti gizi normal, overweight, dan obesitas lebih
berisiko mengalami mukositis dibandingkan dengan anak yang memiliki Body
Mass Index rendah, yaitu pada pasien kurus dan sangat kurus. 14
Penyebab mukositis adalah konsekuensi dari dua mekanisme utama:
toksisitas langsung karena pengobatan dan proses myelosupresi yang dihasilkan
5
dari terapi. Faktor – faktor tersebut menyebabkan berkurangnya pembaruan sel
pada lapisan epitel basal sebagai akibat dari kemoterapi dan radioterapi;
penggantian sel desquamated yang memadai menjadi tidak mencukupi. Kinetika
sel awalnya didefinisikan sebagai sensitivitas jaringan normal terhadap terapi anti
kanker. Sel-sel orofaringeal, usus dan sumsum tulang membelah dengan cepat dan
lebih sensitif terhadap radiasi dan kemoterapi dibandingkan dengan sel-sel yang
membagi sel-sel yang lebih lambat dan tua di organ tubuh lain. Baik radiasi dan
kemoterapi menyebabkan kematian sel dengan mengganggu pertumbuhan dan
mekanisme diferensiasi mereka. Pembelahan sel lebih sensitif terhadap efek terapi
antikanker. Sel-sel dalam mukosa mulut memiliki tingkat mitosis, pembaruan sel
dan maturasi epitel yang tinggi. Mukosa ini, dengan demikian, rentan terhadap
efek samping kemoterapi. Efek non-spesifik dari obat sitotoksik yang digunakan
dalam terapi mengurangi laju reepitelisasi yang menyebabkan atrofi otot, ulkus
mukosa dan inflamasi lokal atau difus. Beberapa penelitian telah melaporkan
terapi anti kanker yang berisiko tinggi terjadinya mukositis. 15,16
Kemoterapi
Meskipun obat kemoterapi yang berbeda dapat menargetkan mekanisme
kerja yang berbeda dari siklus sel atau metabolisme, efeknya pada morfologi usus
konsisten dan ditandai oleh penurunan panjang ruang crypt usus, pemendekan dan
mengalami fusi vili, enterosit hiperplasia dan peningkatan apoptosis. Usus kecil
paling sering terkena. Kesamaan aspek patogenesis mukositis juga dicatat,
meskipun kurangnya titik akhir studi yang seragam menghambat beberapa
perbandingan di berbagai kelas dan agen spesifik. Peran sitokin proinflamasi telah
disarankan oleh sejumlah studi dari 5-FU, metotreksat dan irinotecan15 di mana
TNF, IL-1β, dan IL-6 tingkat semua meningkat sebelum perubahan jaringan. 10
Demikian juga, protein yang terkait dengan regulasi apoptosis (mis., Bcl-2)
dipengaruhi oleh berbagai agen sitotoksik.4 Demikian juga, mukositis yang
diinduksi irinotecan dikaitkan dengan aktivasi caspases, p53 dan downregulation
dari jalur PI3K / Akt, aktivasi jalur MAPK dan PKC.13Anatomi spesifik usus kecil
dan besar berkontribusi pada pembentukan mukositis sebagai ‘downstream event’.
Misalnya, pengurangan jumlah sel goblet dan hipersekresi musin kemungkinan
berkontribusi pada perkembangan diare. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
6
mukositis gastrointestinal dapat bermanifestasi dalam dua cara berbeda selama
perawatan irinotecan. Diare onset dini disebabkan oleh aktivasi sistem
parasimpatis yang mengarah ke sindrom kolinergik oleh penghambatan
asetilkolinesterase atau pelepasan sejumlah besar asetilkolin. Di sisi lain, diare
dengan onset lambat tampaknya bersifat multifaktorial dengan sitokin dan efek
toksik yang dimediasi peradangan pada mukosa serta perubahan motilitas. (1) (16)
Regimen kemoterapi yang paling sering dilaporkan memiliki risiko diare tingkat
3-4 (onset lambat).
7
Radioterapi
Demikian juga, perkembangan mukositis pada kemoterapi yang
dikaitkan dengan pengurangan musin. Dalam hal radiasi, kerusakan sinyal
pada tingkat sel dan jaringan terjadi dalam beberapa detik setelah terpapar.
Sementara urutan biologis mirip dengan yang dijelaskan di atas, jadwal
dosis radiasi difraksinasi memastikan sinyal kerusakan dan tumpang tindih
yang terus menerus dan perubahan jaringan. Dalam kasus saluran
pencernaan bagian atas dan mukosa dubur, gejala yang terkait dengan
perubahan atrofi (rasa terbakar dan nyeri sedang) mulai segera setelah
akhir minggu pertama dosis ketika pasien biasanya menerima radiasi 10
Gy. Ulserasi dicatat antara minggu kedua dan ketiga pengobatan dan
menjadi berdekatan dan sangat menyakitkan (sehingga membatasi fungsi)
pada dosis radiasi kumulatif 30-40 Gy. Lesi bertahan hingga 6 minggu
setelah radioterapi selesai. 10
2.3 Patogenesis
Proses kemoterapi dan radioterapi menyebabkan sel basal dari
mukosa oral menjadi lebih rentan rusak. Dinding sel epitel tersebut akan
rapuh sehingga rentan untuk terjadi infeksi dan ulserasi. Kerusakan itu
akan meluas ke daerah oropharyngeal cavity dan traktus gastrointestinal.
Selain mukosa oral yang merupakan area tersering yang terkena
efek toksisitas, mukositis juga dapat mengenai esophagus, duodenum,
ileum, jejunum, colon, dan rektum. Mekanisme mukositis yang terjadi juga
hampir sama seperti mukosa oral, tetapi kerusakan permukaan mukosa
yang ditimbulkan lebih agresif daripada mukositis oral. Selain itu,
meskipun jarang terjadi, terapi dari karsinoma ovarium dan nasofaringeal
juga dapat menyebabkan mukositis vagina dan nasal. 19
8
Gambar 1. Patobiologi Mukositis
Sumber : Sonis, S. T. A biological approach to mukositis. J. Support Oncol. 2, 21-32
9
Adanya infiltrasi sel-sel inflamasi yang signifikan dihubungkan dengan
terjadinya ulserasi mukosa. Produksi dari sitokin pro inflamasi juga
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder.
5. Proses penyembuhan (healing)
Fase ini ditandai dengan proliferasi epitel dan diferensiasi sel dan jaringan
yang akan membentuk integritas sel-sel epitel.
Mekanisme terjadinya mukositis oral akibat kemoterapi dapat
terjadi secara langsung (direct mucosatoxicity) dan tidak langsung
(indirect mucosatoxicity). Kerusakan langsung mukosa terjadi bila
kemoterapi secara langsung menyerang sel epitel yang mengalami
pembelahan sehingga sel tersebut berhenti membelah dan menyebabkan
atropi jaringan yang berakhir pada ulserasi, sedangkan kerusakan tidak
langsung pada mukosa terjadi bila kemoterapi menyebabkan penekanan
pada sistem imun pasien (imunosupresi) yang dapat meningkatkan risiko
infeksi di rongga mulut yang pada akhirnya mencetuskan mukositis oral.
Beberapa studi menunjukkan bahwa patofisiologi dari mukositis oral
sangatlah kompleks, meliputi efek langsung dari agen kemoterapi pada sel
epitel, bahkan dapat mencapai submukosa dan matriks ekstrasellular,
disertai dengan aktivitas dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β,
dan IL-6. Berbagai faktor lain berinterferensi pada proses ini, seperti
mikroorganisme oral, status imunitas pasien, trauma lokal, dan kondisi
oral hygiene pasien. Lebih jauh lagi, terdapat suatu kemungkinan adanya
polimorfisme pada respon inflamasi, yang dapat membuat individu lebih
rentan terhadap mukositis dibandingkan dengan individu lainnya. 10
10
Gambar 2. Patogenesis Mukositis
Sumber : Justyna, et.al (2014) Plasma Citrulline Level As A Biomarker For Cancer
Therapy- Induced Small Bowel Mucosal Damage.
11
mengeluhkan nyeri yang hebat dan sensasi seperti terbakar pada mukosa
oral. Ulserasi juga diperberat dengan adanya mikrotrauma yang terjadi
pada saat pasien membuka mulut, makan, mengunyah, dan berbicara. 13,21
Fase terakhir adalah fase penyembuhan, yaitu adanya proliferasi sel
dan reepitelisasi pada ulkus sehingga mukosa akan kembali normal.
Perbaikan jaringan juga disertai dengan peningkatan leukosit, khususnya
neutrophil untuk mengontrol pertumbuhan bakteri. Fase penyembuhan
berlangsung selama kurang lebih 12-16 hari tergantung dari kecepatan
proliferasi atau epitelisasi jaringan, perbaikan sistem hematopoetik, dan
ada tidaknya faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka seperti proses
infeksi dan iritasi mekanik 10,11,16
Pemahaman saat ini tentang patogenesis mukositis gastrointestinal
sebagian besar didasarkan pada teori tahapan lima fase dari mukositis oral.
Fase pertama adalah fase inisiasi, diikuti oleh fase kedua dengan respons
kerusakan primer. Pada fase ketiga ada sistem umpan balik positif, dengan
penguatan sinyal kerusakan primer yang diduga karena kemoterapi. Yang
paling simtomatik adalah fase keempat, fase ulserasi, di mana mukositis
menjadi relevan secara klinis. Fase terakhir mukositis adalah resolusi
sendiri ketika kemoterapi dihentikan. Model lima fase ini telah diadaptasi
untuk mukositis GI, meskipun telah disarankan untuk menjadi lebih
kompleks karena epitel kolumnar, persimpangan yang rapat, mikrobiota
yang lebih bervariasi, dan fungsi yang berbeda di berbagai bagian usus
halus. Telah dikemukakan oleh beberapa penulis bahwa ada interaksi
antara mikrobiota dan pengembangan mukositis, tetapi tidak ada bukti
ilmiah untuk pernyataan ini.15,21,22
12
Gambar 3. Hipotesis Untuk Pengembangan Mukositis Usus Yang Diinduksi
Irinotecan.
Sumber : Irinotecan- and 5-fluorouracil-induced intestinal mucositis: insights into
pathogenesis and therapeutic perspectives.
13
biologis awal terjadi dalam beberapa detik dari penghinaan yang
merangsang. Setelah inisiasi, ROS dan respon imun bawaan semakin
merusak membran sel, merangsang makrofag dan mengaktifkan beberapa
faktor transkripsi di mana faktor nuklir NF-κB berperan penting. Setelah
diaktifkan, ekspresi gen yang dimediasi NF-κB menghasilkan lonjakan
banyak sitokin pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin (IL) -6 dan IL-1β dan cyclooxygenase-2 (COX- 2). Regulasi
gen-gen lain menyebabkan ekspresi molekul adhesi dan angiogenesis.10
Lebih mendalam, up - regulasi TNF-α dapat mengaktifkan jalur
caspase dan menghasilkan umpan balik pada NF-κB untuk memperkuat
responsnya dan memulai jalur protein kinase teraktivasi mitogen (MAPK),
yang mengarah pada aktivasi pensinyalan kinase N terminal-c Jun ( JNK)
dimana kerusakan fibronektin menyebabkan aktivasi makrofag. NF-κB
jalur independen seperti jalur ceramide juga dapat berperan, menghasilkan
apoptosis sel submukosa dan epitel basal yang menyebabkan ulserasi
mukosa (fase ulseratif) dan perubahan atrofi. Studi terbaru
mengkonfirmasi keterlibatan deregulasi ekspresi metalloproteinases
(MMPs) dalam patobiologi mukositis. Tiga fase pertama dengan cepat
menyebabkan apoptosis epitel sel induk. Dalam kasus epitel bertingkat
(misalnya traktus aerodigestif bagian atas dan mukosa rektum), hilangnya
pembaruan menyebabkan atrofi dan kemudian ulserasi. Dari sudut
pandang klinis, mukosa di atasnya tampak pada awalnya normal meskipun
terjadi kekacauan biologis di bawahnya. Dalam kasus kemoterapi bolus ,
waktu antara cedera sel basal awal dan perubahan mukosa klinis yang
penting (eritema dan penipisan) membutuhkan waktu sekitar 4 hari
mengalami ulserasi terjadi segera setelahnya. Sebaliknya, konsekuensi dari
kerusakan seluler pada vili usus hampir segera dengan bukti klinis enteritis
menjadi jelas dalam 24-48 jam setelah kemoterapi. 14,16
Kolonisasi bakteri pada lesi non-intestinal sedikit tertinggal dari
perkembangan ulkus. Namun, pada saat itu, peningkatan besar dalam
beban bakteri terlihat. Dalam kasus pasien yang menerima kemoterapi, hal
ini terjadi pada saat pasien paling tidak mampu menangani infeksi
14
potensial karena secara kasar berbanding terbalik dengan perjalanan
leukopenia. Kolonisasi ulkus juga menghasilkan pelepasan produk dinding
sel bakteri dan produksi sitokin. Penyembuhan umumnya terjadi secara
spontan dan ditandai oleh proliferasi, migrasi, dan diferensiasi epitel yang
dirangsang oleh matriks ekstraseluler.4,10 Setelah fase penyembuhan,
mukosa mulut kembali normal, meskipun pasien memiliki risiko
peningkatan episode mukositis di masa depan karena sisa angiogenesis.
Diare pada mukositis akibat kemoterapi golongan fluorouracil dan
irinotecan , disebabkan oleh kerusakan akut pada mukosa usus, yang
menyebabkan hilangnya epitel. Fluorouracil menginduksi penangkapan
mitosis sel crypt, yang mengarah pada peningkatan rasio sel crypt
secretory yang belum matang terhadap enterosit vili matang. Peningkatan
volume cairan yang meninggalkan intestinal melebihi kapasitas serap
kolon yang menyebabkan diare yang signifikan secara klinis. Irinotecan
menghasilkan perubahan mukosa yang berhubungan dengan apoptosis,
seperti vakuolisasi epitel dan hiperplasia sel goblet, menunjukkan
hipersekresi musin. Perubahan-perubahan ini muncul terkait dengan
akumulasi metabolit aktif dari irinotecan, SN-38, di mukosa usus. Hingga
50 persen pasien yang diobati dengan TKI mengalami diare. Diperkirakan
diare terjadi melalui berbagai mekanisme. Peningkatan sekresi klorida
yang disebabkan oleh disregulasi jalur pensinyalan EGFR, kerusakan crypt
kolon, dismotilitas usus, dan perubahan mikrobiota usus telah diusulkan.
Antibodi monoklonal yang melepaskan penindasan yang diinduksi kanker
pada sistem kekebalan tubuh, seperti ipilimumab, antibodi manusia untuk
antigen terkait limfosit T sitotoksik T (CTLA-4), menyebabkan kolitis
autoimun. Kolitis difus, segmental, atau bercak terlihat pada kolonoskopi.
Secara histologis, infiltrat inflamasi akut dan kronis nonspesifik, kriptitis,
dan kripto abses dicatat. Perforasi kolon (kurang dari 1 persen) dan
kematian pada 5 persen pasien telah dilaporkan. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal anti-CD20 yang digunakan untuk mengobati limfoma sel-B,
dapat menyebabkan kolitis ulseratif baru atau eksaserbasi kolitis yang
sudah ada sebelumnya. 3,8
15
2.4 Gejala Klinis
16
Selain itu, baik mukositis oral dan mukosistis gastrointestinal dapat
menyebabkan manifestasi klinis sistemik seperti anoreksia, malabsorpsi,
penurunan berat badan, anemia, kelelahan, dan sepsis. Dalam lanskap ini,
mukositis yang diinduksi oleh terapi yang ditargetkan, seperti mIAS,
pantas disebutkan secara khusus dan mewakili masalah yang muncul
dengan karakteristik yang berbeda. Menurut pedoman ESMO istilah
stomatitis lebih tepat dan harus digunakan untuk menunjukkan peradangan
mukosa yang berhubungan dengan obat baru ini. 4,14,15
Pada mukositis oral yang dalam, pasien akan merasakan nyeri,
sensasi seperti terbakar, sulit untuk membuka mulutnya, dan kesulitan
memasukkan makanan atau minuman melalui mulut, dan sulit untuk
berbicara. Lesi dapat terjadi bilateral, di bagian ventral atau lateral dari
lidah, mukosa labial, bagian dasar mulut, palatum mole, dan area
orofaringeal. Penyembuhan spontan mukositis oral (mulai dari timbulnya
eritema sampai perbaikan jaringan), tanpa pembentukan scar atau jaringan
ikat membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu. Beberapa pasien yang
mendapatkan radiasi atau kemoterapi, terkadang juga mengalami
trombositopenia, sehingga terkadang ditemukan perdarahan pada ulserasi
mukositis oral. Pasien mukositis oral juga menunjukkan adanya penurunan
produksi saliva sehingga lidah menjadi kering. Hal ini menyebabkan lidah
mengalami penurunan fungsi pengecapan sehingga penderita mengeluhkan
mengenai pengecapan yang dirasa berbeda, bahkan tidak dapat mengecap
rasa, serta menurunkan nafsu makan. Derajat keparahan dari mukositis
oral tergantung pada dosis terapi, fraksi dari dosis agen kemoterapi,
volume dari jaringan yang terkena paparan agen kemoterapi, status nutrisi,
tipe dari radiasi, riwayat paparan dengan kombinasi radioterapi dan
kemoterapi, adanya penyakit sistemik sepeti diabetes melitus dan kelainan
vaskuler. Untuk kepentingan klinis dan penelitian, oleh WHO dan NCI
dibuat suatu pembagian derajat mukositis dengan kriteria yang sudah
terstandarisasi sebagai berikut:
17
Tabel 2.Derajat Mukositis Menurut WHO dan NCI
Sumber : Sri Mulatsih, Sri Astuti, Yuliani Purwantika, Julie Christine.
Kejadian dan Tata Laksana Mukositis pada Pasien Keganasan di RSUP Dr.
Sardjito, Yogyakarta, Yogyakarta : Sari Pediatri, 2008, Vol. 10.
18
Gejala klinis mungkin serupa pada orang dewasa maupun anak-
anak yang mengalami mukositis gastrointestinal. Pasien mengalami mual,
muntah, sakit perut dan diare. Telah disarankan bahwa diare yang
disebabkan oleh kemoterapi adalah multifaktorial dan kombinasi dari
osmotik, sekretori dan diare eksudatif. Meskipun mekanismenya masih
belum jelas, beberapa faktor kemungkinan terlibat: motilitas usus yang
berubah dengan akibatnya mengurangi waktu transit dan mengurangi
penyerapan air, mengubah transportasi cairan, perubahan mikrobiota, dan
fermentasi. Mukositis gastrointestinal dapat secara signifikan
mempengaruhi status gizi. Pertama, asupan nutrisi selama mukositis
gastrointestinal sangat berkurang. Kedua, ada kekurangan intake cairan
karena muntah dan diare. Akhirnya, penyerapan nutrisi dan pencernaan
berubah. Kombinasi ini menyebabkan penurunan berat badan dan
kekurangan gizi. Dengan demikian, dukungan nutrisi sangat penting
selama mukositis gastrointestinal. Pada pasien onkologi pediatrik, asupan
nutrisi yang cukup bahkan lebih penting daripada pada orang dewasa,
karena diperlukan untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan
selama perawatan kemoterapi. Selain itu, kekurangan gizi pada anak-anak
dengan kanker telah dikaitkan dengan pengurangan dosis kemoterapi atau
keterlambatan siklus kemoterapi. Konsekuensi lain dari mukositis
gastrointestinal adalah peningkatan risiko terkena infeksi. Para pasien
sudah beresiko mengembangkan infeksi, karena perubahan dalam respon
imun yang disebabkan oleh dosis tinggi agen kemoterapi. Karena
mukositis gastrointestinal, memiliki risiko yang lebih besar untuk
mengalami bakteremia atau sepsis, karena kerusakan pada mukosa yang
merupakan port d’entry untuk beberapa mikroorganisme. Karena
konsekuensi yang disebutkan di atas, pasien dengan mukositis
gastrointestinal dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu yang lebih lama
dan berdampak pada kesulitan ekonomi. Akhirnya, berkurangnya asupan
nutrisi, keadaan umum melemah dan meningkatnya durasi rawat inap
semua mempengaruhi kualitas hidup.16 Selain itu, gejala dan konsekuensi
mukositis gastrointestinal akhirnya menyebabkan penundaan siklus
19
kemoterapi berikutnya, pengurangan dosis atau bahkan penghentian
rejimen, yang akhirnya mempengaruhi kelangsungan hidup. 1
Diare pada pasien keganasan hematologi memiliki karakteristik
gejala klinis dengan keadaan lebih lemah dan dalam beberapa kasus,
mengancam jiwa. Temuan pada pasien tersebut termasuk volume cairan
tubuh, gagal ginjal, dan gangguan elektrolit seperti asidosis metabolik dan
tergantung pada asupan air, hiponatremia (peningkatan asupan air yang
tidak dapat diekskresikan karena stimulus hipovolemik untuk melepaskan
hormon antidiuretik) atau hipernatremia (kekurangan air) asupan untuk
mengganti kerugian). Diagnosis diare yang diinduksi kemoterapi dimulai
dengan frekuensi BAB untuk menentukan tingkat keparahan sesuai dengan
nilai (baru-baru ini diperbarui National Cancer Institute Tabel 3). Volume
dan durasi diare juga harus ditentukan, dan riwayatnya harus mencakup
pertanyaan tentang makanan atau obat-obatan yang mungkin memainkan
peran kontribusi. 24
Tabel 3. Tingkat Keparahan Gejala Klinis Diare Yang Diinduksi
Kemoterapi National Cancer Instrument (NCI)
Sumber : Laila M Sherief, Mohamed R Beshir, Naglaa Mohamed Kamal, Maha K Gohar,
Ghada K Gohar. 2012. Diarrhea in neutropenic children with cancer: An Egyptian center
experience, with emphasis on neutropenic enterocolitis. Indian Journal of Medical and
Pediatric Oncology Vol. 23.
Diare adalah gejala umum dan sering tidak jelas pada pasien dengan
leukemia akut setelah kemoterapi intensif. Dalam sebuah penelitian, diamati
total 55 pasien yang menderita diare pada pasien keganasan hematologi saat
menjalani terapi. Semua pasien bersifat neutropenik dan sedang menjalani
20
kemoterapi. Dari jumlah tersebut, hanya 15 (27,3%) kultur tinja pasien
menumbuhkan bakteri patogen. Tersisa 30 kultur tinja tidak menumbuhkan
bakteri patogen. Pengamatan ini menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari
pasien yang mengalami gejala sugestif diare, menderita diare bakteri. Sisa
dari pasien memiliki etiologi lain. Persentase ini lebih tinggi dari sebelumnya
dilaporkan oleh Gorschlu¨ter et al. (17,7%) . Perbedaan pada hasil penelitian
ini mungkin, karena subjek penelitian ini hanya pasien leukemia akut dengan
neutropenia dan diamati untuk gejala infeksi pencernaan. Leukemia myeloid
akut lebih umum daripada keganasan hematologi lainnya keganasan diare
yang disebabkan bakteri. Hasil serupa juga diamati dalam penelitian oleh
Aksoy et al. yang mengamati pasien dengan neutropenia enterocolitis
mengalami diare sebagai salah satu gejalanya. Tetapi dalam penelitian ini,
hanya ada dua pasien dengan AML dan sebagian besar kasus adalah ALL,
perbedaan hasil penelitian ini karena mungkin terdapat variasi lokasi
geografis yang berbeda pada subjek peneliti. 11
Dalam sebuah penelitian yang mendeskripsikan karateristik gejala
klinis diare pada pasien keganasan hematologi. Gejala yang sering dikeluhkan
adalah BAB cair tanpa ada darah dan lendir. Gejala lainnya yaitu muntah
disertai nyeri di seluruh lapang perut juga di keluhkan pada sebagian besar
pasien dengan keganasan hematologi.12
21
Gambar 4. Gejala Klinis Diare Pada Pasien Leukemia
Sumber : Laila M Sherief, Mohamed R Beshir, Naglaa Mohamed Kamal, Maha K Gohar, Ghada
K Gohar. 2012. Diarrhea in neutropenic children with cancer: An Egyptian center experience,
with emphasis on neutropenic enterocolitis. Indian Journal of Medical and Pediatric Oncology
Vol. 23.
2.5 Diagnosis
22
buang air besar di sekitar tinja yang terkena). Kehadiran demam, pusing, atau
sakit perut harus meningkatkan kekhawatiran terhadap kemungkinan komplikasi,
seperti sepsis atau obstruksi usus. Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan
untuk menilai tanda-tanda penurunan volume (misalnya, turgor kulit berkurang,
hipotensi, yang mungkin terutama ortostatik, dan tekanan vena jugularis rendah)
serta tanda – tanda infeksi.11
Skala penilaian
Ada skala penilaian mukositis gastrointestinal klinis yang berbeda. Yang
paling umum digunakan skala gejala untuk efek samping adalah skala kriteria
NCI-CTCAE versi 4.0. Rentang skala ini dari 1 - 5, berdasarkan rasa sakit;
intervensi medis, seperti pemberian susu melalui nasogastric tube dan dukungan
nutrisi parenteral; dan activity daily living (ADL). Skala penilaian klinis lainnya
adalah harian skor usus, berkisar antara 0 - 20. Ini adalah skor penjumlahan
berdasarkan frekuensi muntah dan diare, dan terjadinya mual, keluhan perut,
inkontinensia fekal dan volume diare. 24
Skala penilaian bersifat subyektif dan berdasarkan pada gejala, intervensi
dan activity daily living (ADL). Gejala seperti muntah, diare dan nyeri, dapat
memiliki beberapa penyebab berbeda dan mungkin tidak telah tentu disebabkan
oleh mukositis gastrointestinal. Selain itu, obat pereda nyeri memengaruhi gejala
seperti nyeri dan diare, tanpa mengubah keparahan mukositis gastrointestinal.
Apalagi itu skala penilaian yang ada untuk mencetak dan mengukur tingkat
keparahan mukositis gastrointestinal belum pernah terjadi divalidasi untuk anak-
anak muda. Pada anak kecil gejalanya seperti inkontinensia fekal dan nyeri
memiliki penggunaan terbatas, karena inkontinensia terkait usia non-patologis dan
kemampuan yang lebih rendah anak kecil mengekspresikan tingkat rasa sakitnya.
Skala National Cancer Institute Common Terminology Criteria for Adverse
Events (NCI-CTCAE) didasarkan pada intervensi seperti penggunaan nasogastric
tube, dukungan nutrisi parenteral dan rawat inap, tetapi intervensi ini sering
ditunjukkan juga pada anak-anak yang dirawat karena kanker tanpa mukositis
gastrointestinal. Selanjutnya, perawatan diri terbatas dalam ADL dalam kriteria
NCI-CTCAE telah dinilai sebagai mukositis GI tingkat tiga, meskipun perawatan
mandiri pada ADL terbatas pada anak-anak karena tahap perkembangan mereka.
23
Demikian penilaian skala mungkin bukan metode yang paling akurat untuk
mendiagnosis mukositis gastrointestinal pada anak-anak.25
Instrumen milik World Health Organization (WHO) adalah kriteria yang
paling sering digunakan saat ini. Penilaian dan evaluasi klinis mukositis masih
menimbulkan tantangan dalam praktik klinis karena kurangnya kriteria diagnostik
standar yang ditetapkan oleh studi terkontrol. Secara singkat, Skala Toksisitas
Oral Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengukur komponen anatomis,
simtomatik, dan fungsional mukositits oral. Tingkat keparahan kondisi ini dinilai
dengan skala dari 0 (tidak ada mukositis oral) hingga 4 (pasien yang
membutuhkan TPN). 10,21
24
Grade 2 merupakan batasan mukositis ulseratif, sedangkan grade 3
merupakan batasan severe mukositis. (15)
25
2.6 Pemeriksaan Penunjang
26
ini sangat invasif untuk anak-anak yang sakit parah dan sulit untuk anak-
anak. Biomarker opsional lain adalah plasma citrulline. Plasma citrulline
adalah asam amino yang disintesis hampir secara eksklusif oleh enterosit
dari usus kecil, oleh karena itu penanda yang dapat diandalkan massa
enterosit. Citrulline plasma telah berkorelasi secara signifikan dengan
panjang villus di Indonesia studi praklinis dalam model tikus mukositis
gastrointestinal yang diinduksi methotrexate. Selain itu, dalam praklinis
studi penurunan citrulline telah berkorelasi dengan atrofi mukosa
independent asupan nutrisi. Selanjutnya, dalam beberapa studi klinis pada
orang dewasa terjadi penurunan plasma citrulline telah berkorelasi dengan
tingkat keparahan mukositis gastrointestinal dan konsentrasi citrulline
yang rendah dikaitkan dengan bakteremia. Selain itu, citrulline telah
terbukti menjadi penanda untuk mukositis gastrointestinal yang diinduksi
kemoterapi pada pasien kanker anak. Dalam penelitian ini, citrulline
dibandingkan dengan skala penilaian mukositis NCI-CTCAE
gastrointestinal, skor usus harian, plasma interleukin-8, fecal interleukin-
8, fecal calprotectin dan tes penyerapan gula, pada anak-anak pasien
kanker dengan mukositis gastrointestinal. Dari semua parameter ini,
citrulline plasma terbukti memiliki korelasi terkuat dengan kriteria NCI-
CTCAE dan skor usus harian, dan itu mungkin terdeteksi mukositis
gastrointestinal bahkan subklinis. Lebih lanjut, satu laporan
menyimpulkan bahwa skala penilaian berbasis citrulline harus
dipertimbangkan untuk mengukur dan memantau gastrointestinal pada
orang dewasa. Dengan demikian, plasma citrulline adalah alat diagnostik
yang memungkinkan untuk mukositis gastrointestinal.5,26
Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Pemeriksaan Penunjang Pada Pasien
Mukositis
Sumber : Dorothy M. K. The Combination of Oral and Small Intestinal Mukositis,
Pediatrics and Biomarkers. 2006
27
Risiko tinggi pada
pasien dengan
leukemia
Permebialitas intestinal Tes simple dan non Tidak dapat
invasive mendeskripsikan
secara jelas fungsi dari
Pasien tidak usus
merasa nyeri
Pasien diharuskan
Pasien mencerna minum selama tes
gula yang tidak
dicerna tubuh
H2BT Pemeriksaan nafas Hasil bias akibat
sederhana penggunaan antibiotic
Tanpa radioactive dan tergantung bakteri
di kolon yang
memproduksi H2
Serum Citrulline Biomarker yang Belum bisa
cocok untuk diimplementasikan
intestinal pada seluruh fasilitas
kesehatan
Pengambilan sampel
hanya pada waktu
tertentu
13 – C Lactose Breath Pemeriksaan nafas Hasil bias pada gen
sederhana tertentu serta pasien
Tanpa radioactive dengan intoleransi
laktosa
28
digantikan oleh SBT. SBT pertama kali terbukti menjadi indikator yang
dapat diandalkan kerusakan usus kecil setelah pemberian metotreksat pada
tikus Sprague Dawley, sebelum terbukti menjadi alat yang efektif untuk
menyaring calon obat antikanker untuk efek samping pada usus, dan
memeriksa potensi kemanjuran dari anti-mucotoxics yang baru
dikembangkan. Namun, SBT, juga hanya mengukur aktivitas sucrase,
meskipun ini adalah penanda yang baik untuk fungsi usus kecil, dan telah
berkorelasi dengan kerusakan histologis.23
2.7 Terapi
29
2.7.1 Pedoman Terapi Mukositis Oral
Nutritional support
Kemampuan intake makanan secara peroral sangat penting. Diet
makanan padat, makanan dengan proses sekali kunyah, dapat berupa
daging, gandum, pasta, buah, dan sayur. Diet makanan cair, makanan yang
tidak perlu dikunyah, dapat berupa pudding, yoghurt, mashed potatoes.
Bila tidak ada intake makanan peroral dapat menggunakan feeding tube.
(14)
Diet lunak dan cair pada dasarnya merupakan diet yang mudah
ditoleransi pada pasien dengan mukositis oral. Pada pasien yang akan
melakukan transplantasi sel hematopoetik, nutrisi diberikan melalui total
parenteral nutrition.14
30
Gambar 7. Algoritma oral intake
Sumber : Sri Mulatsih, Sri Astuti, Yuliani Purwantika, Julie Christine.
Kejadian dan Tata Laksana Mukositis pada Pasien Keganasan di RSUP
Dr. Sardjito, Yogyakarta, Yogyakarta : Sari Pediatri, 2008, Vol. 10.
Dekontaminasi oral
Pengembangan multidisiplin dan evaluasi protokol perawatan
mulut yang mencakup penggunaan sering obat kumur oral tanpa obat (mis.
Pembilasan mulut salin 4-6 kali / hari) direkomendasikan. Edukasi pasien
dan tenaga kesehatan dalam penggunaan protokol tersebut
direkomendasikan untuk mengurangi keparahan mukositis oral dari
kemoterapi dan / atau terapi radiasi.17
• Obat kumur berbasis alkohol harus dihindari.
• Pengembangan interdisipliner protokol perawatan mulut yang sistematis
disarankan. Sebagai bagian dari protokol, penggunaan sikat gigi lunak
yang diganti secara teratur juga disarankan konsisten dengan praktik klinis
yang baik. Beberapa studi mengungkapkan bahwa maintenans higienitas
mulut yang baik dapat mengurangi derajat keparahan mukositis oral.
Lebih jauh lagi, dekontaminasi oral dapat mengurangi infeksi dari
pathogen oportunistik di mulut. Karena itu, fungsi lain dekontaminasi oral,
yaitu untuk mengurangi risiko sepsis sistemik dari pathogen residen
maupun oprtunistik di mulut. Guideline MASC/ISOO merekomendasikan
31
penggunaan perawatan mulut secara standar termasuk sikat gigi dengan
sikat yang halus dengan menggunakan pasta gigi yang tidak mengandung
bahan alcohol. Tidak direkomendasikan penggunaan Chlorhexidine
mouthrinse, Nystatin rinse, dan Acyclovir untuk mencegah mukositis oral.
24
Intervensi terapi
- Cryotherapy
- Agen antiinflamasi
- Antioksidan
- Low-level laser therapy
32
telah direkomendasikan daripada strategi tiga langkah yang sebelumnya
digunakan. Pada langkah pertama untuk nyeri ringan, paracetamol atau
ibuprofen direkomendasikan. Namun, karena obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) berpotensi menyebabkan trombopati pada pasien leukemia, yang
sudah berisiko tinggi terhadap trombositopenia, penggunaan ibuprofen dan
NSAID lain mungkin tidak disukai dalam kasus ini. Pada langkah kedua,
untuk nyeri sedang hingga berat, opioid yang kuat seperti morfin
direkomendasikan. Namun demikian, bahkan morfin tidak menyebabkan
pereda nyeri total pada beberapa anak yang menderita mukositis
gastrointestinal. Dalam review retrospektif dari episode berturut-turut
mukositis pada anak-anak, morfin mengelola nyeri tidak cukup pada 26%,
dan anak-anak membutuhkan terapi ketamin. Kombinasi ketamin dan
pengobatan morfin meningkatkan manajemen nyeri pada anak-anak
dengan mukositis. Selain itu, dalam perbandingan double-blind pada anak-
anak dengan nyeri mukositis, morfin tidak lebih unggul dari pethidine dan
menyebabkan lebih banyak sembelit. Dengan demikian, manajemen nyeri
akibat mukositis gastrointestinal pada anak-anak masih kontroversial.
16,20,25
Manajemen diare
Dua agen terapi saat ini sedang digunakan untuk diare yang
disebabkan oleh kemoterapi, dengan atau tanpa mukositis gastrointestinal.
Secara umum pada orang dewasa, loperamide telah menjadi agen terapi
pilihan pertama, meskipun kemanjuran keseluruhan loperamide relatif
minimal dan bahkan pengobatan dosis tinggi dengan loperamide dalam
banyak kasus tidak efektif. Octreotide juga merupakan obat potensial
untuk mengurangi diare dan telah direkomendasikan pada orang dewasa
jika loperamide gagal mengendalikan diare. Octreotide telah terbukti
efektif dengan cepat, bahkan jika diberikan sebagai pengobatan lini kedua
pada orang dewasa. Pada anak-anak dengan diare yang diinduksi
kemoterapi, tidak secara spesifik selama mukositis GI, octreotide
menyebabkan 92% respons lengkap dengan hanya sedikit efek samping,
meskipun dalam jangka panjang, kemungkinan respons lengkap lebih
33
rendah. Sayangnya, belum ada penelitian mengenai manajemen diare
terutama difokuskan pada anak-anak yang menderita mukositis
gastrointestinal. 16,20,25
Nutrition Support
Berbagai metode dukungan nutrisi telah digunakan dalam
perawatan anak-anak dengan kanker. Dukungan nutrisi yang diberikan
sebagai nutrisi enteral (EN) dan nutrisi parenteral (PN) keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam ulasan nutrisi secara
sistematis. Sayangnya, belum ada konsistensi dalam praktik klinis
mengenai dukungan nutrisi pada anak-anak dengan kanker. Pada orang
dewasa selama perawatan onkologi non-bedah, masyarakat nutrisi
Amerika dan Eropa merekomendasikan EN sebagai langkah pertama
dalam dukungan nutrisi dalam saluran pencernaan yang berfungsi. Selain
itu, pada anak-anak dengan usus yang tidak terpengaruh dan berfungsi,
EN adalah cara yang lebih disukai dalam pemberian nutrisi. PN
ditunjukkan jika nutrisi oral atau EN tidak mencukupi. Sayangnya, anak-
anak dengan mukositis gastrointestinal saluran pencernaan yang tidak
terpengaruh. Karena kerusakan pada usus anak-anak dengan mukositis
gastrointestinal, patut dipertanyakan apakah dukungan nutrisi melalui
rute enteral efektif. Untuk EN, fungsi usus selama mukositis
gastrointestinal sangat menentukan kemampuan untuk mencapai tujuan
dukungan nutrisi. Pada anak-anak telah ditunjukkan bahwa kemoterapi
mengurangi penyerapan laktosa. Namun, itu tidak mempengaruhi
pengambilan leusin asam amino dalam usus selama mukositis
gastrointestinal. Belum ada studi klinis lain tentang pencernaan dan
penyerapan nutrisi selama mukositis gastrointestinal. Sayangnya, belum
ada konsistensi dalam praktik klinis mengenai dukungan nutrisi pada
anak-anak dengan kanker.7,28 Pada orang dewasa selama perawatan
onkologi non-bedah, masyarakat nutrisi Amerika dan Eropa
merekomendasikan nutrisi enteral sebagai langkah pertama dalam
dukungan nutrisi dalam saluran pencernaan yang berfungsi. Selain itu,
pada anak-anak dengan usus yang tidak terpengaruh dan berfungsi, EN
34
adalah cara yang lebih disukai dalam pemberian nutrisi. PN ditunjukkan
jika nutrisi oral atau EN tidak mencukupi. Sayangnya, anak-anak dengan
mukositis GI tidak memiliki saluran pencernaan yang tidak terpengaruh.
Karena kerusakan pada usus anak-anak dengan mukositis GI, patut
dipertanyakan apakah dukungan nutrisi melalui rute enteral efektif.
Untuk EN, fungsi usus selama mukositis GI sangat menentukan
kemampuan untuk mencapai tujuan dukungan nutrisi. Pada anak-anak
telah ditunjukkan bahwa kemoterapi mengurangi penyerapan laktosa.
Namun, itu tidak mempengaruhi pengambilan leusin asam amino dalam
usus selama mukositis gastrointestinal. Belum ada studi klinis lain
tentang pencernaan dan penyerapan nutrisi selama mukositis
gastrointestinal. 16,20,25
35
BAB III
36
Pertama, validitas biomarker atau tes menunjukkan jika hasilnya sesuai dengan
tingkat keparahan penyakit dan apakah itu terklasifikasi dapat mengukur pasien
dengan benar. Kedua, akurasi diagnostik menentukan kemungkinan bahwa pasien
dengan tes biomarker dengan hasil positif memiliki penyakit, dan kemungkinan
bahwa pasien dengan tes biomarker normal memiliki penyakit. Terakhir, tes
biomarker harus dapat digunakan secara layak dan biaya efektif pada klinis. Oleh
karena itu, dalam ulasan ini menilai semua biomarker dan tes untuk mukositis
pada tiga poin: validitas, akurasi diagnostik, dan aplikasi dalam klinis. Meskipun
ini kontoversial karena tidak adanya gold standar dalam diagnostik dan evaulasi
mukositits. 16
37
pengalaman pribadi). Citrulline dapat diukur secara akurat dalam volume kecil,
bahkan dalam 30 μl. Ini diukur dengan pertukaran ion otomatis kromatografi.
Selama mukositis, itu massa enterosit menurun secara signifikan. Karena itu,
citrulline diharapkan menurun selama mukositis, yang mewakili massa enterosit
dan dengan demikian, kapasitas absorbsi selama mukositis. Oleh karena itu,
beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan plasma atau serum
citrulline sebagai penanda yang mungkin untuk mukositis.16,26
Dalam studi praklinis, ditunjukkan bahwa plasma citrulline berkorelasi
signifikan dengan panjang vili dalam model tikus mukositis yang diinduksi
methotrexate. Selanjutnya, studi praklinis menunjukkan bahwa penggunaan
plasma citrulline berhubungan dengan mukositis yang diinduksi radiasi pada tikus
dan tikus. Terlebih lagi, plasma citrulline berkorelasi dengan pencernaan dan
penyerapan laktosa dan asam lemak selama mukositis pada tikus. Salah satu studi
klinis pertama tentang kemungkinan plasma citrulline sebagai biomarker
ditentukan oleh Blijlevens et al., Itu menunjukkan bahwa kadar serum citrulline
yang rendah berhubungan dengan cedera penghalang mukosa yang parah, diukur
dengan skor usus harian dan tes permeabilitas gula, pada pasien yang menerima
16
transplantasi sel induk hematopoietic. Selain itu, juga ditentukan bahwa kadar
serum citrulline menurun selama radioterapi, berkorelasi dengan keamanan
mukositis, sehingga juga cocok dalam mukositis yang diinduksi radioterapi. Pada
tahun 2009, plasma citrulline dibandingkan dengan beberapa metode lain untuk
mendiagnosis mukositis, seperti skala skor mukositis NCI-CTCAE, skor daily
gut, plasma interleukin-8, interleukin-8 fecal, interleukin-8 fecal, calprotectin
tinja, dan uji penyerapan gula pada pasien kanker dengan mukositis GI usia anak.
Para penulis menunjukkan bahwa dari semua parameter, plasma
citrulline berkorelasi paling kuat dengan skor usus harian dan skala NCI-CTCAE,
dan mungkin bahkan dapat mendeteksi mukositis jika tidak secara klinis terbuka.
Pada 2013, Van der Velden dan rekannya menyelidiki penggunaan plasma
citrulline sebagai kemungkinan biomarker untuk mukositis pada pasien dewasa
yang menerima transplantasi sel induk hematopoietik. Mereka menyimpulkan
bahwa plasma citrulline adalah biomarker yang paling kuat, berguna dalam
pengambilan keputusan klinis, untuk intervensi terapi atau dukungan nutrisi.
38
Dalam studi percontohan lain, penulis juga menunjukkan bahwa serum citrulline
menurun setelah rejimen pengkondisian untuk HSCT pada pasien dewasa karena
kerusakan usus. Sebuah studi yang lebih baru menentukan nilai citrulline sebagai
biomarker pada pasien anak yang menerima HSCT. Mereka menyimpulkan
bahwa serum citrulline berkorelasi dengan fungsi gastrointestinal, ditentukan
dengan kombinasi skor mukositis oral, sitokin pro-inflamasi, asupan oral,
perubahan berat badan, dan penyakit graft-versus-host, pada anak-anak yang
menjalani HSCT. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa ulasan tentang
biomarker untuk mukositis diterbitkan. Ulasan yang lebih rinci tentang citrulline
sebagai biomarker untuk mukositis diterbitkan pada tahun 2014 oleh Barzal et al.
Kami menyimpulkan bahwa citrulline adalah biomarker mukositis, berdasarkan
pada pengalaman di atas. Ini berkorelasi dengan keparahan mukositis dan
terdeteksi secara berurutan; oleh karena itu, penerapan dan validitas citrulline
tampaknya baik. Namun, kami tidak dapat menarik kesimpulan tentang akurasi
diagnostik, karena diperlukan lebih banyak penelitian untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini. 16,26
3.2.2 Sitokin
Dalam patofisiologi mukositis, yang belum sepenuhnya dijelaskan,
sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL1-beta, dan IL-6 adalah penting.
Peningkatan kadar sitokin ditentukan selama mukositis pada model hewan dan uji
klinis. Karena itu, sitokin ini juga merupakan biomarker yang kuat untuk
mukositis. Sitokin proinflamasi ini mewakili bagian inflamasi patofisiologi
mukositis.16 Salah satu perhatian utama untuk penggunaan sitokin sebagai
biomarker adalah bahwa penentuan sitokin selama mukositis sangat tergantung
pada waktu. Namun, Bowen et al. ditentukan dalam studi percontohan pada
pasien dengan kanker kerongkongan, diobati dengan kemoterapi dan radioterapi,
nilai gen proinflamasi sebagai nilai prediktif. Mereka menyimpulkan bahwa
mRNA TNF-α secara konsisten meningkat pada pasien yang menderita toksisitas
gastrointestinal. Namun, ini hanya ukuran sampel kecil dalam kelompok pasien
tertentu, dan terlebih lagi, mereka mempelajari toksisitas gastrointestinal secara
umum, yang salah satunya adalah mukositis. Selanjutnya, pada pasien kanker
pediatrik, interleukin-8 (IL-8) hanya berkorelasi dengan skor usus harian dan
39
skala NCI-CTCAE pada pasien dengan neutropenia demam. Selanjutnya, seperti
yang ditunjukkan dalam penelitian lain, IL-8 efektif untuk menentukan demam
neutropenia. Oleh karena itu, IL-8 mungkin berguna dalam menentukan infeksi
secara umum. Mukositis adalah faktor risiko terserang demam; Namun,
neutropenia demam dapat diinduksi oleh infeksi lain. Pentingnya neutrofil dalam
inisiasi mukositis tidak diketahui. Terlebih lagi, demam sering muncul selama
cedera sawar mukosa dengan atau tanpa infeksi, karena fakta bahwa ada respons
imun terlepas dari adanya patogen mikroba tertentu. Dengan demikian, secara
umum, pasien dengan mukositis sebagian besar adalah pasien kompleks dengan
neutropenia, demam, dan penyebab peradangan lainnya, misalnya penyakit graft-
versus-host. Ini memberikan keuntungan paling penting dari penggunaan sitokin
ini sebagai biomarker; sitokin tidak spesifik untuk mukositis, tetapi mungkin
mencerminkan adanya peradangan pada tubuh. Karena terlalu banyak pengaruh
mekanisme lain, validitas dan akurasi diagnostik rendah; sitokin adalah penanda
non-spesifik untuk peradangan. Oleh karena itu, sitokin inflamasi seperti TNF-α
tampaknya tidak cocok sebagai biomarker untuk mukositis, menurut definisi
biomarker yang disebutkan di atas. 5,16
40
3.2.4 Protein pengikat asam lemak usus dan protein pengikat asam ileum-
empedu
41
model hewan, selama mukositis diinduksi kemoterapi pada manusia, sering ada
neutropenia; tidak ada gelombang sel myeloid. Karena ada neutropenia pada
sebagian besar pasien yang menderita mukositis, calprotectin dan calgranulin
tidak akan meningkat pada pasien ini. Ini telah ditunjukkan dalam sebuah
penelitian kecil dengan pasien kanker pediatrik, di mana calprotectin fecal tidak
terdeteksi dalam sebagian besar sampel, mungkin karena fakta bahwa pasien ini
adalah neutropenik. Oleh karena itu, selama mukositis yang diinduksi kemoterapi,
calprotectin dan calgranulin mungkin bukan biomarker yang berguna. Namun,
protein penanda granulosit telah terbukti menjadi penanda yang mungkin selama
kerusakan mukosa yang diinduksi radiasi pada tikus. Pasien yang menerima
radiasi dan menderita kerusakan mukosa seringkali bukan neutropenia; oleh
karena itu, calprotectin atau calgranulin memang mungkin menjadi biomarker
yang mungkin untuk pasien spesifik ini. Oleh karena itu, untuk biomarker ini,
harus ada pembagian antara mukositis yang diinduksi radiasi dan mukositis yang
diinduksi kemoterapi. Saat ini, tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik mengenai
validitas, akurasi diagnostik, dan penerapannya. Calprotectin tinja atau
calgranulin tinja mungkin merupakan biomarker untuk mukositis yang diinduksi
radiasi, tetapi kami membutuhkan uji klinis untuk menarik kesimpulan apa pun.
16,27
42
3.4 Biomarker dalam sampel urine dan sampel nafas
43
3.4.2 Tes napas hydrogen
Untuk tes 13C lactose, laktosa harus dicerna dan ini akan dicerna
di usus kecil oleh laktase, kemudian dimetabolisme di hati dan kadaluarsa melalui
nafas. Tes napas 13-C lactose dikombinasikan dengan tes napas hidrogen terbukti
lebih efektif untuk menentukan kerusakan mukosa daripada tes napas hidrogen
saja. Namun, untuk tes napas 13-C laktosa, laktase usus adalah faktor yang paling
penting, dan telah ditunjukkan bahwa banyak orang yang biasanya memiliki
aktivitas laktase rendah. Oleh karena itu, tes napas laktosa 13c bukanlah penanda
yang cocok untuk mukositis, karena validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapannya semuanya rendah. 26,27
Salah satu tes yang mungkin adalah tes napas 13C-sukrosa (SBT).
Untuk SBT, pasien harus menelan 13C sukrosa. Ini akan dicerna di usus dengan
sucrase, di hati dimetabolisme, dan akhirnya berakhir pada napas. Oleh karena itu,
44
SBT tampaknya menjadi penanda yang mungkin untuk enzim pencernaan dan
enterosit di usus kecil, indikator untuk fungsi usus kecil. Mukositis adalah
mekanisme yang kompleks, tetapi salah satu fitur yang jelas adalah atrofi vili di
usus kecil, dengan akibatnya area penyerapan menurun dan penurunan jumlah
enzim pencernaan. Oleh karena itu, SBT adalah tes potensial untuk menentukan
tingkat keparahan mukositis dan akan menunjukkan penurunan jumlah 13CO2
dalam napas kadaluarsa jika ada kerusakan pada usus. Beberapa penelitian dalam
model hewan telah menunjukkan bahwa SBT adalah penanda yang mungkin
untuk mukositis. Tooley et al. melakukan uji klinis kecil pada pasien kanker anak,
dan menyimpulkan bahwa SBT kemungkinan non-invasif merusak kerusakan
usus. Namun, ini adalah ukuran sampel kecil. Selain itu, sejauh ini, ini adalah
satu-satunya uji klinis yang dilakukan dengan SBT selama mukositis. Untuk
mengukur SBT, sampel napas harus diambil setiap 15 menit selama beberapa jam,
beberapa kali selama masuk. Ini untuk pasien kanker anak yang benar-benar
invasif dan sulit untuk anak-anak yang sangat muda. Namun, tes ini layak pada
anak-anak dengan diare, tidak terkait pengobatan kanker, di mana nilai SBT
secara signifikan menurun dibandingkan dengan kontrol yang sehat, menunjukkan
penurunan kapasitas penyerapan.14 Pengetahuan saat ini menunjukkan validitas
yang menjanjikan, akurasi diagnostik yang tidak diketahui, dan temuan yang
saling bertentangan terkait penerapannya. Oleh karena itu, lebih banyak uji klinis
diperlukan untuk menarik kesimpulan tentang validitas, akurasi diagnostik, dan
penerapan SBT ini selama mukositis dan dengan demikian untuk menentukan
apakah ini merupakan tes potensial untuk mendiagnosis mukositis. 26,27
45
Gambar 8. Biomarker Mukositis Gastrointestinal
Sumber : N. S. S. Kuiken, E. H. H. M. Rings, N. M. A. Blijlevens, and Wim J. E. Biomarkers
and non-invasive tests for gastrointestinal mukositis.. Gronigen : NICB, 2017 . doi:
10.1007/s00520-017-3752-2.
46
oleh karena itu, I-FABP dan I-BABP adalah penanda potensial dari hilangnya
enterosit di usus kecil. Namun, penentuan penanda ini mungkin sangat tergantung
pada waktu dan hanya bernilai jika dikombinasikan dengan biomarker lain seperti
citrulline misalnya, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan. Selanjutnya, dalam
sampel darah, plasma citrulline menurut pendapat kami adalah salah satu
biomarker yang paling menjanjikan. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa citrulline dapat diukur pada model hewan, pasien dewasa, dan pasien anak.
Ini mudah dideteksi, diukur secara berurutan, dan bahkan mungkin mendeteksi
mukositis jika tidak secara klinis terbuka. Selain sampel darah, penggunaan
sampel tinja untuk mengukur biomarker menarik karena non-invasif bagi pasien.
Kita dapat menyimpulkan bahwa biomarker dalam tinja, seperti calprotectin dan
calgranulin, menjanjikan untuk mendeteksi peradangan in-testinal, tetapi mungkin
tidak berguna pada pasien neutropenia. Namun, selama mukositis yang dipicu
radiasi, mereka memang menjanjikan dan penelitian lebih lanjut diperlukan.
Selanjutnya, rasio DNA manusia tinja / total DNA juga menarik dan penelitian
lebih lanjut diperlukan. Namun, sangat memakan waktu untuk menentukan rasio
ini dan karena itu mungkin kurang bermanfaat sebagai biomarker pada fase klinis
akut.16,26,27
Kesimpulannya, mukositis masih sulit untuk didiagnosis, karena biopsi standar
emas dari intestinal tidak opsional. Banyak metode yang berbeda untuk
menegakkan diagnosis dan menentukan keparahan mukositis pada orang dewasa
dan pengaturan onkologi klinis saat ini digunakan. Ini membuat setiap
perbandingan tentang diagnosis dan dengan demikian tentang risiko, kejadian, dan
tingkat keparahan yang menantang. Selain itu, apa saja parameter dalam
percobaan klinis atau percobaan hewan untuk menjawab pertanyaan apakah
pencegahan atau terapi efektif. Kami membutuhkan biomarker atau tes untuk
dapat mendiagnosis mukositis dalam pengaturan klinis dan dengan demikian
menentukan keparahannya. Kedua, kita membutuhkan biomarker atau tes untuk
meningkatkan percobaan pada hewan dan uji klinis untuk wawasan baru dalam
strategi pencegahan dan terapi. Jika kita memiliki metode standar untuk
mendiagnosis mukositis, kita dapat benar-benar membandingkan studi untuk
kejadian dan tingkat keparahan mukositis dalam beberapa pengaturan klinis yang
47
berbeda. Terlebih lagi, dalam uji klinis, kami dapat mempelajari pencegahan atau
pengobatan pada pasien yang kami yakin mereka memiliki mukositis yang
ditentukan oleh standar biomarker atau tes. Dengan cara ini, kami tidak
mempelajari intervensi pada populasi lengkap, yang akan mencegah perawatan
yang tidak perlu pada pasien yang tidak akan mengalami mukositis. Mungkin ini
tidak akan mungkin dengan hanya satu biomarker; kita mungkin membutuhkan
kombinasi biomarker atau tes. Kami menyimpulkan bahwa plasma citrulline
tampaknya menjadi salah satu biomarker yang paling menjanjikan hingga saat ini,
dan kami menyarankan untuk menggunakan biomarker ini dalam uji klinis dan
percobaan hewan di masa depan. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk
menemukan kombinasi biomarker atau tes untuk menentukan mukositis non-
invasif, berurutan dan tingkat keparahannya.26,27
48
BAB IV
49
Dengan tingkat citrulline rendah berkorelasi dengan skor klinis toksisitas
usus termasuk diare dan bahkan tampaknya lebih dapat diandalkan karena volume
feses per kali diare dan frekuensi diare dipengaruhi oleh asupan oral dan
penggunaan obat-obatan seperti analgesik opioid. Selain itu, tingkat citrulline
terkait dengan terjadinya bakteremia, respons inflamasi pasca terapi kanker, serta
GvHD akut. Citrulline mungkin juga berguna sebagai prediktor inflamasi karena
penurunannya biasanya mendahului peningkatan protein C-reaktif (CRP).26
Enteropati mukosa akut dapat menyebabkan hilangnya enterosit secara
signifikan. Empat belas studi digunakan dalam meta analisis dalam kategori ini
yang termasuk kasus pasien telah menerima kemoterapi keganasan hematologi.
Pada umumnya citrulline menurun pada fase awal pengobatan dan kemudian
meningkat saat gastrointestinal awal toksisitas terkait dengan pengobatan
tampaknya berpengaruh. Penurunan citrulline terkait dengan dosis pengobatan
yang lebih tinggi dan biasanya berkorelasi terbalik dengan tingkat keparahan
toksisitas gastrointestinal. Meta-analisis dilakukan pada hasil ini sejak 14 studi
diidentifikasi. Model efek acak menunjukkan bahwa kadar citrulline berkorelasi
negatif dengan tingkat keparahan toksisitas gastrointestinal dengan korelasi
sedang -0,41 (95% CI [-0,51, -0,30]); tidak ada heterogenitas (I 2 = 43%, p =
0,04) dan tidak ada bias publikasi (plot saluran simetris, tes Egger p = 0,009,
Begg uji p = 0,102). 26
Pemeriksaan albumin dan citrulline setelah melakukan myeloablative
terhadap enam puluh sembilan pasien menerima regimen pengkondisian
myeloablative untuk mempersiapkan auto transplantasi sel induk hematopoetik
dan pasangan donor terkait transplantasi sel induk hematopoetik. Pola citrulline,
CRP dan albumin ditunjukkan pada awal setelah dimulainya penerimaan rejimen
ada penurunan drastis konsentrasi citrulline dalam serum, yang mencapai tingkat
di bawah 10 umol / L pada hari ke-10. Hal ini disebabkan karena dimulainya
respon inflamasi sistemik yang ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi CRP,
mulai sekitar hari ke 10 –11 dan mencapai 50 mg / L pada hari ke 12. Akibatnya,
penurunan citrulline mendahului respon inflamasi, menunjukkan bahwa
kerusakan mukosa gastrointestinal menginduksi respon inflamasi yang terlihat
setelah menerima rejiman pengkondisian myeloablative. 29
50
Konsentrasi plasma citrulline dianalisis sebagai tanda cedera pada epitel
intestnal. Plasma glutamin merupakan sumber citrulline dianalisis untuk
menyingkirkan malnutrisi sebagai perancu penyebab penurunan yang diharapkan
dalam konsentrasi citrulline. Serum C-reactive protein (CRP), serum
orosomucoid, serum haptoglobin, serum 1-antitrypsin, dan albumin serum diukur
untuk menyelidiki respon inflamasi sistemik yang mempengaruhi. Hemoglobin
serum dinilai untuk kontrol kemungkinan anemia. Konsentrasi Citrulline menurun
15 mol / l (p - 0,001) dari baseline (median, 41 mol / l; standar deviasi [SD], 11)
hingga 5 minggu pengobatan (median, 26 mol / l; SD, 10). Penurunan besar
terjadi antara awal hingga 3 minggu pengobatan (median, 13; p - .001). Glutamin
plasma tidak menunjukkan perubahan signifikan selama pengobatan. Ada
peningkatan yang signifikan di marker inflamasi sistemik — serum orosomucoid
dan serum haptoglobin (p - 0,05) dan serum 1-antitripsin (p - .001). Albumin
serum menurun secara signifikan (p - .001). Ada penurunan yang signifikan
secara statistik (p - .05) di tingkat hemoglobin dari awal (median, 127 g / l; SD,
9,5) hingga 5 minggu (median, 122 g / l; SD, 10). 26,30,31
51
citrulline berhubungan
dengan timbulnya
mukositis oral dan
integritas usus yang
berubah
2 Lutgens, Sampel: 23 pasien Selama radioterapi
Deutz 41 dipelajari setiap fraksinasi, konsentrasi
minggu selama citrulline menurun
pengobatan dan secara signifikan
dengan interval 2 sebagai fungsi dari dosis
minggu, 3 dan 6 radiasi (p <0,001) dan
bulan setelah volume intestinal yang
pengobatan dengan terlibat (p = 0,001).
kadar citrulline Konsentrasi plasma
plasma pasca citrulline berkorelasi
absorbsi dengan toksisitas klinis
konsentrasi dan selama 3 minggu
penilaian toksisitas terakhir pengobatan.
klinis. Secara keseluruhan,
Keterkaitan antara konsentrasi citrulline
variabel-variabel berkorelasi lebih baik
ini dan korelasi dengan dosis dan
dengan Dosis usus volume radiasi
dan parameter parameter dari penilaian
volume diselidiki toksisitas klinis.
3 Blijlevens, Sampel : 32 pasien Peningkatan signifikan
Donnelly Dengan transplantasi interleukin-8, protein
33
hematopoetik + pengikat lipopolisakarida
terapi dan protein C-reaktif
mieloablative menunjukkan cedera
sawar mukosa yang
diukur dengan integritas
usus, skor mukositis
harian dan serum
konsentrasi citrulline
4 Blijlevens, Desain: Studi pilot Skor usus harian secara
Donnelly prospektif, acak, signifikan lebih rendah
33
double-blinded, untuk kelompok
terkontrol plasebo glutamin pada hari ke 7
nutrisi parenteral pasca transplantasi (p =
yang dilengkapi 0,001) sementara
dengan 0,57 g / kg citrulline lebih rendah
glutamin-dipeptida (p = 0,03) untuk
dalam a kelompok kelompok plasebo pada
homogen dari 32 hari ke 21 pasca
penerima transplantasi.
transplantasi sel Albumin secara
induk alogenik signifikan lebih rendah
52
untuk menentukan pada kelompok plasebo
efeknya pada pada hari 21 pasca
cedera barier transplantasi (32 ± 4 vs
mukosa. Cedera 37 ± 3, p = 0,001)
penghalang mukosa sementara protein C-
diukur dengan tes reaktif lebih tinggi (74 ±
permeabilitas gula, 48 vs 34 ± 38, p =
skor mukositis 0,003)
harian, skor usus
harian, dan
konsentrasi
citrulline
5 Lutgens, Desain: Penelitian Sensitivitas dan
Blijlevens prospektif, 10 spesifisitas lebih baik
27
pasien dengan untuk pengujian
keganasan citrulline dibandingkan
hematologis yang dengan permeabilitas
menerima terapi gula tes Kerusakan usus
myeloablative maksimum dinilai
memiliki toksisitas dengan uji citrulline
usus dinilai dengan diamati 1-2 minggu
gula tes lebih awal dibandingkan
permeabilitas. dengan uji permeabilitas
Konsentrasi serum gula. Citrulline
citrulline juga mengindikasikan
ditentukan dengan pemulihan kerusakan
menggunakan usus pada 3 minggu
serum arsip sampel setelah transplantasi,
sedangkan sebagian
besar gula tes
permeabilitas tetap
abnormal
6 Herbers, 29 pasien dengan Konsentrasi citrulline
Blijlevens melphalan dosis awal adalah 27,6 ± 4,0
30
tinggi 200 mg / m2 μmol / L, dan
untuk konsentrasi citrulline
mempersiapkan menurun dengan cepat
autologous setelah itu mencapai
Transplantasi sel titik terendah rata-rata
induk darah tepi. 6,7 ± 2,7 μmol / L, 12
Sampel plasma dari hari setelah memulai
setiap pasien mulai melphalan. Konsentrasi
sebelum rejimen citrulline, hanya
myeloablative dan meningkat secara
tiga kali seminggu bertahap dan masih
sesudahnya sampai rendah (12 ± 4 μmol /
keluar L) saat dikeluarkan.
Konsentrasi rata-rata
53
citrulline mereka lebih
rendah yaitu 5,5 ± 1,5
μmol / L daripada
pasien tanpa bakteremia
(10,2 ± 3,9 μmol / L)
7 Derikx, Sampel: 34 pasien Pengondisian
Blijlevens dewasa dengan myeloablative
31
keganasan menghasilkan
hematologis penurunan yang
menerima alogenik signifikan dalam serum
transplantasi sel citrulline dengan nadir
induk aktif hari ke 7 pasca
hematopoietik 12 transplantasi; setelah
hari setelah itu, level naik secara
pengkondisian bertahap. Penurunan
myeloablative signifikan protein
dengan rejimen pengikat asam lemak
yang dikenal untuk usus dan protein
menginduksi cedera pengikat asam empedu
penghalang mukosa ileum kadar terjadi sejak
oral dan usus . hari transplantasi hingga
Tingkat serum hari +14.
citrulline, protein
pengikat asam
lemak usus dan
asam empedu ileal-
protein pengikat
diukur pada hari
transplantasi -12, -
6, 0, +7, +14 dan
+21.
8 Van Vliet, Sampel: Anak-anak Cedera penghalang
Tissing42 dengan leukemia mukosa usus yang
myeloid akut dideteksi oleh kriteria
Investigasi: efek samping NCI
berbagai klinis dan ditemukan pada 55%
laboratorium terkait siklus kemoterapi,
cedera penghalang berkorelasi baik dengan
mukosa tes, yang skor usus harian terus
mencerminkan menerus (n = 55, r =
keparahan klinis 0,581; p < 0,001).
(kriteria efek Kehilangan sel usus
samping yang diukur dengan
simptomatik NCI), rasio DNA manusia
setiap hari skor feses / DNA total dan
usus, peradangan plasma citrulline
(plasma dan faecal berkorelasi baik dengan
interleukin-8, faecal kriteria NCI (r = 0,357,
54
calprotectin), p = 0,005; r = -0,482, p
kerugian enterositik <0,001) dan usus harian
(plasma citrulline, skor (r = 0,352, p =
rasio DNA manusia 0,009; r = -0,625, p
feses / DNA total) <0,001). Interleukin-8
dan permeabilitas plasma berkorelasi kuat
usus (tes dengan kadar citrulline
penyerapan gula) plasma (r = -0,627; p
<0,001).
9 Herbers, Sampel dan desain: Regimen yang
Feuth 29 Konsentrasi memasukkan idarubicin
Citrulline menginduksi toksisitas
ditentukan pada usus paling parah. Skor
awal dan pada berdasarkan tingkat
setidaknya sekali citrulline, menggunakan
seminggu setelah ambang keparahan, dan
dimulainya pada area di bawah
kemoterapi kurva timbal balik dapat
myeloablative membedakan antara
sampai 30 hari kerusakan yang
setelah itu di antara disebabkan oleh dosis
94 sel punca tinggi yang berbeda
hematopoietik rejimen kemoterapi.
alogenik atau
autologus penerima
transplantasi.
Kerusakan mukosa
usus dijelaskan oleh
tingkat citrulline
pada masing-
masing hari,
berdasarkan
ambang batas yang
berbeda dari
citrulline
menunjukkan
keparahan atrofi
vili, atau
berdasarkan area di
bawah kurva
menggunakan nilai
timbal balik 10 /
citrulline.
10 Van der Sampel: Analisis Dalam 5 rejimen
Velden, retrospektif pada myeloablative ada pola
Herbers 30 163 penerima yang mencolok dari
transplantasi sel respon inflamasi yang
induk data telah bertepatan dengan
55
dikumpulkan secara terjadinya kerusakan
prospektif pada usus parah. Ini kontras
kerusakan usus dengan respon inflamasi
(citrulline), sederhana yang terlihat
peradangan (protein dalam rejimen non-
C-reaktif), dan myeloablative di mana
jumlah neutrofil. usus kerusakan terbatas.
Enam Dengan analisis model
pengkondisian campuran linier, tingkat
regimen berbeda kerusakan usus
dipelajari; 5 diperlihatkan penentu
myeloablative dan terpenting respon
1 non- inflamasi, dan baik
myeloablative. neutropenia dan
Analisis multivariat bakteremia hanya
model linier berdampak kecil.
campuran dan Analisis
analisis AUC mengungkapkan
digunakan untuk korelasi kuat antara
menentukan peran citrulline dan protein C-
kerusakan usus reaktif (r = 0,96).
pada peradangan Kerusakan mukosa usus
pasca SCT. dikaitkan dengan
terjadinya bakteremia
dan acute lung injury
dan mempengaruhi
kinetika penyakit graft-
versus-host akut
11 Vokurka, Rata-rata Pasien yang
Svoboda konsentrasi ditransplantasikan vs
34
citrulline awal kelompok kontrol t:
adalah 22,7 μmol / median (IQR) 9,3 (3,62-
L (95% CI 17,7- 15,38) vs 33,3 (26,82-
27,6) pada hari -10, 36,23) μmol / L, p
yang naik ke 7,5 <0,0001. Mukositis usus
μmol / L (95% CI toksik pasca
3,1-18,0, p = 0,017) transplantasi (n = 8, hari
pada hari ke 8 1-22 pasca
setelah transplantasi transplantasi) vs
sel hematopoietik cangkok usus versus
sebelum kembali ke penyakit inang (n = 7,
garis dasar pada hari 43-142) vs. etiologi
hari ke 30. Setelah diare lainnya (n = 3, hari
membahas untuk 120-127): 9.55 (2.95-
tingkat interleukin- 12.03) vs. 5 (3.85-9.05)
6 (1,0% lebih vs. 15.6 (15.45-18.3)
rendah citrulline μmol / L (p <0,05)
per 10%
56
Peningkatan
interleukin-6, p =
0,004), ada
penyakit graft-
versus-host akut
(citrulline 27%
lebih rendah, p =
0,025), dan oral
asupan energi
(2,1% lebih rendah
citrulline per 10%
penurunan asupan
energi, p = 0,018),
bergeser ke hari 10
, kompilasi rata-rata
konsentrasi
citrulline lebih
rendah pada pasien
dengan oral yang
parah mukositis
(6,7 umol / L, 95%
CI 3.4-13.1)
dibandingkan pada
mereka yang tidak
mukositis parah
(11,9 umol / L,
95% CI 5.8 -24,4, p
= 0,003).
Perubahan citrulline
tidak berkorelasi
dengan volume
feses, protein C-
reaktif, nekrosis
tumor factor-alpha,
leptin, atau ghrelin.
12 Gosellin, Sampel: Rata-rata konsentrasi
Feldman Multicentre, studi citrulline awal adalah
35
kohort prospektif 22,7 μmol / L (95% CI
dari 26 anak-anak 17,7-27,6) pada hari -
untuk menentukan 10, yang menurun ke
waktu- terkait titik nadir 7,5 μmol / L
perubahan serum (95% CI 3.1-18.0, p =
citrulline selama sel 0,017) pada hari ke 8
hematopoietik setelah hematopoietik
transplantasi. transplantasi sel
Penanda fungsi sebelum kembali ke
pencernaan garis dasar pada hari ke
termasuk asupan 30.
57
energi oral, emesis, Setelah penyesuaian
volume feses, untuk level interleukin-6
adanya penyakit (1,0% lebih rendah
graft-versus-host, citrulline per 10%
mukositis oral peningkatan interleukin-
tingkat keparahan, 6, p = 0,004), adanya
dan tingkat sitokin penyakit graft-versus-
dan neurohormon host akut (citrulline
diukur. 27% lebih rendah, p =
Konsentrasi serum 0,025), dan oral asupan
citrulline mingguan energi (2,1% lebih
diperoleh dari 10 rendah citrulline per
hari sebelum 30 10% penurunan asupan
hari setelah energi, p = 0,018), titik
transplantasi sel terendah bergeser ke
hematopoietik. hari 10, ketika rata-rata
konsentrasi citrulline
lebih rendah pada
pasien dengan oral yang
parah mukositis (6,7
umol / L, 95% CI 3.4-
13.1) dibandingkan
pada mereka yang tidak
mukositis parah (11,9
umol / L, 95% CI 5.8-
24.4, p = 0,003).
Perubahan citrulline
tidak berkorelasi dengan
volume tinja, protein C-
reaktif, nekrosis tumor
factor-alpha, leptin, atau
ghrelin.
13 Karlik, Tujuan: Untuk Untuk setiap
Kesavan 36
menentukan apakah peningkatan 1 μmol / L
kadar citrulline dalam citrulline,
berkorelasi dengan kemungkinan
penanda klinis mengembangkan
cedera usus pada mukositis adalah 0,88
anak-anak yang (95% CI 0,79-0,99, p =
menjalani 0,036). Kemungkinan
transplantasi terkena diare adalah
alogenik rejimen 0,70 kali lebih sedikit
myeloablative. untuk setiap
peningkatan 1 μmol / L
dalam citrulline (95%
CI = 0,59-0,84, p
<0,0001).
58
Penilaian tes citrulline dari keseluruhan penelitian meta-analisis dengan
berbagai subyek penelitian. Akurasi diagnostik didapatkan nilai sensitivitas
keseluruhan penelitian tes citrulline sebagai biomarker mukositis intestinal
tampaknya memuaskan 80% (95% CI [69% -87%]), spesifisitas adalah 84% (95%
CI [77% -89%]) dan rasio odds diagnostik adalah 20,03. (29)
59
melibatkan derivasi asam amino sebelum atau sesudah. 30 Meskipun serum plasma
dan urin umumnya digunakan sebagai sampel uji, darah lengkap atau eritrosit juga
dilaporkan sebagai sampel potensial untuk evaluasi klinis. Yang terakhir, karena
matriks yang sangat kompleks membutuhkan teknik analitik yang sangat selektif
seperti spektrometri massa. Hozyasz dan rekan kerja (2010) mengusulkan
spektrometri massa pada pengeringan spesimen bercak darah untuk skrining
citrullinemia sebagai kandidat biomarker menjanjikan embriogenesis abnormal.
Profiling asam amino bercak darah kering melalui spektrometri massa juga dapat
digunakan untuk memantau fungsi hasil cangkok setelah transplantasi usus.
Konsentrasi citulline darah dapat menjadi penanda biokimia sederhana untuk
diagnosis dan pemantauan hilangnya enterosit pada penyakit seliaka. Tingkat
plasma atau serum citrulline, diukur dengan pemisahan kromatografi, ideal untuk
penilaian fungsi usus halus. Teknik tersebut menunjukkan selektivitas yang
memadai dan resolusi tinggi. Tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil atau
interpretasi antara metode analitik menggunakan serum atau plasma untuk
penentuan citrulline.31,32
Citrulline adalah asam amino langka. Sebagai asam amino nonprotein (non-
proteinogenik), asam amino berfungsi sebagai perantara dalam metabolisme asam
amino protein (proteinogenik) dan dalam siklus urea. Aktivitas metabolisme
citrulline terutama akibat hubungan eratnya dengan metabolisme arginin.
Citrulline adalah prekursor langsung arginin serta metabolit dari transformasi.
Berikut ini adalah transformasi metabolisme parsial allrulline:
1. Jalur metabolisme pertama adalah biosintesis arginin, yang melibatkan
pertukaran sitrulin pada tingkat sistemik. Dalam usus, citrulline disintesis dari
glutamin, glutamat atau prolin dan dilepaskan ke aliran darah untuk diubah
kembali menjadi arginin (oleh ASS dan ASL) di ginjal. Sekitar 60% dari sintesis
arginin bersih pada mamalia dewasa terjadi di ginjal, di mana citrulline diekstraksi
dari darah dan dikonversi menjadi arginin. Dalam jalur ini, sitrulin yang
bersirkulasi adalah bentuk arginin bertopeng untuk menghindari penyerapan dan
metabolisme hati oleh arginase. Proses sintesis arginin pada orang dewasa
60
melibatkan sumbu usus-ginjal. Namun, banyak jaringan dan tipe sel lain juga
mengandung ASS dan ASL untuk menghasilkan arginin dari sitrulin. 21,22
2. Jalur kedua adalah siklus arginin-sitrulin-nitrat oksida (NO). Pada sebagian
besar jaringan penghasil NO, citrulline didaur ulang secara lokal menjadi arginin
oleh ASS untuk meningkat ketersediaan arginin untuk produksi NO. 21,22
3. Jalur ketiga terjadi di hati, di mana citrulline disintesis oleh OCT dari ornithine
dan dimetabolisme oleh ASS dalam siklus urea. Namun, ada perbedaan dalam
jalur metabolisme citrulline antara orang dewasa mamalia dan neonatus. Mamalia
muda termasuk bayi prematur memiliki persyaratan yang sangat tinggi untuk
arginin. Pada usia muda, arginin adalah asam amino esensial untuk pertumbuhan
dan perkembangan opal, dan oleh karena itu harus disediakan dalam makanan.
Pada orang dewasa, arginin adalah asam amino esensial bersyarat. 21,22
61
penyakit Crohn, transplantasi usus kecil telah menunjukkan bahwa kadar
citrulline berkorelasi positif dengan keseluruhan fungsi usus halus. Pada tahun
2000, Crenn et al. menunjukkan tingkat citrulline plasma secara signifikan lebih
rendah pada kelompok pasien dengan sindrom usus pendek daripada pada
kelompok kontrol yang sehat. Short bowel syndrome melibatkan kondisi setelah
reseksi bedah dari sebagian atau seluruh usus kecil. Penyebab paling umum
adalah reseksi bedah karena nekrosis iskemik usus, cedera, atau neoplasma.
Eksklusi fungsional biasanya disebabkan oleh penyakit Crohn, enteropati, atau
cedera usus yang disebabkan oleh kemoterapi dan radioterapi. Seperti organ
lainnya, usus kecil dengan permukaan serapnya yang luas memiliki cadangan
fungsional yang besar. Tidak ada panjang yang ditentukan dari segmen usus yang
direseksi yang akan menentukan perkembangan derajat keparahan sindrom ini.
Biasanya reseksi segmen kecil tidak merusak fungsi usus, sedangkan jika segmen
usus yang tersisa berukuran kurang dari 100 cm, sindrom ini sangat mungkin
untuk berkembang.21 Manifestasi kegagalan fungsional usus tergantung pada
segmen spesifik usus yang diangkat dan sejauh mana reseksi. Segmen yang paling
kritis adalah duodenum, jejunum proksimal, dan area di sekitar katup ileocecal.
Tingkat plasma citrulline pada pasien dengan short bowel syndrome dianggap
sebagai penanda yang dapat diandalkan fungsi mukosa usus kecil. Dalam
penelitian lain, Crenn et al. (2003) menunjukkan korelasi kadar plasma citrulline
dan keparahan dan luasnya atrofi vili pada pasien dengan penyakit celiac dan
pasien dengan penyakit atrofi vili non-celiac. Tingkat citrulline darah <10 μmol /
L dianggap sebagai penanda cedera mukosa usus kecil yang parah dan
berhubungan dengan atrofi total vil, kadar mulai dari 10 hingga 20 μmol / L
berkaitan dengan atrofi vili subtotal, dan kadar> 20 μmol / L mengindikasikan
atrofi parsial. Pada pasien dengan penyakit atrofi vili, kadar citrulline plasma
dianggap sebagai biomarker awal dan dapat diandalkan dari massa enterosit.
Sejak publikasi kedua studi perintis ini, peneliti lain telah menilai manfaat plasma
tingkat trulline sebagai penanda dalam berbagai kondisi yang melibatkan
disfungsi mukosa usus halus, ditunjukkan oleh korelasi dengan residu duodenum-
jejunum panjang dan penyerapan enteral. 19,21
62
Gambar 11. Metabolisme Citrulline
Sumber : Justyna. Plasma Citrulline Level As A Biomarker For Cancer Therapy- Induced
Small Bowel Mucosal Damage. Springer. 2014
Selain itu, ada hubungan erat antara panjang duodenal dan usus kecil dan
kapasitas penyerapan usus kecil. Dalam operasi usus kecil, kadar plasma citrulline
digunakan dalam tindak lanjut implantasi cangkok. Penyakit Crohn melibatkan
peradangan segmental dari semua lapisan dinding usus yang terkena. Lesi
segmental atau lompatan ini dapat melibatkan segmen sistem gastrointestinal dari
mulut ke anus. Studi terbaru telah menunjukkan penurunan kadar sitrulin plasma
pada pasien dengan bentuk parah penyakit Crohn, terutama dalam kasus
keterlibatan usus kecil atau reseksi in-testinal yang luas. Namun, tingkat plasma
(7) (30)
citrulline bukanlah penanda aktivitas penyakit Crohn. Dibutuhkan lebih
banyak penelitian untuk lebih menentukan peran citrulline dalam penyakit ini.
Penyakit usus kecil terkait atrofi vili (dengan penyakit seliaka menjadi etiologi
dominan di negara-negara Barat serta mukositis dan berbagai bentuk enteritis
infeksi) bermanifestasi sebagai gangguan pencernaan dan penyerapan usus, dan
akhirnya – malnutrisi. 31
Pada pasien dengan disfungsi mukosa usus yang luas, konsentrasi
citrulline rendah dan berkorelasi dengan tingkat keparahan dan luasnya atrofi vili.
Dalam kelompok pasien ini, konsentrasi citrulline dapat digunakan sebagai
penanda sederhana dan dapat diandalkan dari pengurangan massa enterosit.
(33)
Pasien dengan penyakit celiac yang tidak diobati memiliki kadar citrulline
plasma yang berkurang secara signifikan yang meningkat dengan cepat setelah
63
pengenalan diet bebas gluten. Ini membuktikan bahwa tingkat citrulline adalah
penanda sensitif dari efek menguntungkan dari diet pada perbaikan usus. Ada
hubungan erat antara struktur usus dan fungsi pada pasien yang terinfeksi HIV.
Pada pasien ini, konsentrasi citrulline <10 μmol / L sangat terkait dengan
kebutuhan nutrisi parenteral, yang mencerminkan kegagalan usus karena
mengurangi massa enterosit. Pasien dengan hanya keterlibatan enterosit ringan
yang disajikan dengan konsentrasi citrulline normal atau hanya sedikit menurun.
21,33
Tingkat citrulline darah <10 μmol / L adalah penanda yang terbentuk dari cedera
mukosa usus kecil yang parah. Penilaian tingkat citrulline reguler membantu
memantau fungsi mukosa usus kecil. Selain itu, kadar citrulline berkorelasi erat
dengan panjang duodenum dan usus kecil serta dengan kapasitas absorpsi in
testinal.31,32,33 Namun, sama pentingnya untuk digaris bawahi, bahwa konsentrasi
citrulline tidak memberikan diagnosis etiologis tetapi hanya biomarker dari
perjalanan penyakit usus yang diharapkan dan prognosis pada enteropati parah
atau kegagalan usus.43
64
BAB V
RINGKASAN
65
DAFTAR PUSTAKA
1. Van Vliet MJ, Harmsen HJ, De Bont, ES, Tissing, W. J. The role of
intestinaLmicrobiota in the development and severity of chemotherapy-
induced mucositis. PLoS Pathogens. 2010;6:1-7.
10. Madani. Clinical infections and bloodstream isolates associated with fever
in patients undergoing chemotherapy for acute myeloid leukemia.
Infection. 2000; 28:367–73.
11. Aksoy DY, Tanriover MD, Uzun O, Zarakolu P, Ercis S, Ergüven S, Oto
A, et al. Diarrhea in neutropenic patients: a prospective cohort study with
emphasis on neutropenic enterocolitis. Annals of Oncology. 2007; 18:183-
9.
66
13. Bhuta R, Nieder M, Jubelirer T, Ladas EJ. The gut microbiome and
pediatric cancer: current research and gaps in knowledge. PTJNCI
Monographs, Oxford. 2019; 54:169–73.
21. Sonis ST, Elting LS, Keefe D, Peterson DE, Schubert M, Hauer-Jensen M,
et al. Perspectives on cancer therapy-induced mucosal injury. Cancer 100.
2004; 1:1995–2025.
23. Maroun JA, Anthony LB, Blais N, Burkes R, Dowden SD, Dranitsaris G,
et al. Prevention and management of chemotherapy-induced diarrhea in
patients with colorectal cancer: A consensus statement by the canadian
working group on chemotherapy. Gastroenterohepatology Jounal. 2007;
14:13-20.
67
emphasis on neutropenic enterocolitis. Indian Journal of Medical and
Pediatric Oncology. 2012; 33:95-101.
29. Blijlevens NM, Lutgens LC, Schattenberg AV, Donnelly JP. Citrulline: A
potentially simple quantitative marker of intestinal epithelial damage
following myeloablative therapy. Bone Marrow Transplant. 2004;34:193-
6.
30. Van der Velden WJ, Herbers AH, Feuth T, Schaap NP, Donnelly JP and
Blijlevens NM. Intestinal damage determines the inflammatory response
and early complications in patients receiving conditioning for a stem cell
transplantation. PLoS One. 2010; 5: 151-6.
31. Van der Velden WJ, Herbers AH, Bruggemann RJ, Feuth T, Peter
Donnelly J and Blijlevens NM. Citrulline and albumin as biomarkers for
gastrointestinal mucositis in recipients of hematopoietic SCT. Bone
Marrow Transplantation. 2013; 48: 977-81.
32. Lutgens LCHW, Blijlevens NMA, Deutz NEP, Donnelly JP, Lambin P
and de Pauw BE. Monitoring myeloablative therapy-induced small bowel
toxicity by serum citrulline concentration: A comparison with sugar
permeability tests. Cancer. 2005; 103: 191-9.
34. Gosselin KB, Feldman HA, Sonis AL. Serum citrulline as a biomarker of
gastrointestinal function during hematopoietic cell transplantation in
children. Journal Pediatric Gastroenterology Nutrition. 2014;58:709-14.
68
35. Karlik JB, Kesavan A, Nieder ML. Plasma citrulline as a biomarker for
enterocyte integrity in pediatric blood and BMT. Bone Marrow
Transplantation. 2014;49:449-50.
40. Lutgens LC, Blijlevens NM, Deutz NE, Donnelly JP, Lambin P, de Pauw
BE. Monitoring myeloablative therapy-induced small bowel toxicity by
serum citrulline concentration: A comparison with sugar permeability
tests. Cancer. 2005;103:191-9.
41. Van Vliet MJ, Tissing WJ, Rings EH. Citrulline as a marker for
chemotherapy induced mucosal barrier injury in pediatric patients.
Pediatric Blood Cancer. 2009; 53:1188-94.
42. Kim AR, Cho J, Hsu YJ, Choi MG, Noh JH, Sohn TS. Changes of quality
of life in gastric cancer patients after curative resection: A longitudinal
cohort study in Korea. Ann Surgery. 2012; 256:1008–13.
69
70