Anda di halaman 1dari 21

Bahan Ajar 5.

Menghitung Dimensi Fraktal


Pengantar
Ada beberapa cara menghitung dimensi fraktal yang berupa angka pecahan. Kini
fraktal menjadi bagian dari matematika non-linier. Diharapkan mahasiswa dapat
mencari/ menghitung dimensi fraktal untuk aplikasi ilmu kebumian.

1. Cara menentukan Dimensi Fraktal

Sejak dikemukakan pertama kali oleh Mandelbrot (1967), fraktal telah diaplikasikan
secara luas dalam berbagai bidang ilmu. Perkembangannya begitu luas, dari konsep-
konsep yang murni matematika hingga berbagai aspek keteknikan yang bersifat
empiris.
Secara mendasar dan sederhana, sebuah himpunan fraktal dapat didefinisikan secara
kuantitatif sebagai berikut:

C
Ni  (1)
ri D

dimana: Ni = banyaknya obyek, atau jumlah obyek (yaitu fragmen-fragmen) dengan


karakteristik dimensi linier ri, dan C adalah konstanta proporsionalitas, sedangkan D
adalah dimensi fraktal

Dimensi fraktal dapat berupa bilangan utuh (integer), dimana bilangan ini ekivalen
dengan dimensi Euklidian. Dimensi Euklidian dari sebuah titik yaitu nol, dimensi
sebuah segmen garis yaitu satu, dimensi bentuk kuadrat yaitu dua, dan dimensi sebuah
kubus yaitu tiga. Secara umum, dimensi fraktal bukan sebuah bilangan utuh, tetapi
bilangan pecahan (fraksional), dan hal ini yang menjadi asal mula istilah fraktal
(fraktum).

Persamaan dasar tersebut dapat diubah menjadi bentuk persamaan perpangkatan, Ni =


C.ri-D, dan ini identik dengan y = aXn . Penyelesaian persamaan tersebut (Bird, J.,
2005) yaitu dengan melakukan logaritma berbasis 10 (ataupun logaritma natural, basis
bilangan e) terhadap kedua sisi dari: y = aXn memberikan:

log y = log (aXn)


= log a + log Xn
Sehingga log y = n log X + log a ; dan kita dapat membandingkan dengan bentuk
persamaan garis linier Y = m X + c.
Jadi dengan mengeplot log y secara vertikal melawan log x secara horisontal,
menghasilkan suatu garis lurus, yaitu persamaan y = aXn yang direduksi ke bentuk
linier. Dengan kertas grafik log-log yang tersedia, x dan y dapat diplot secara
langsung tanpa harus menentukan logaritmanya.

Untuk memahami hal ini, kenapa D dikatakan sebagai sebuah fraktal atau dimensi
fraksional, kita mulai dengan sebuah segmen garis dengan satuan panjang.
Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 1
Dalam gambar 1, sebuah segmen garis dengan panjang tertentu, sebagai orde nol,
dibagi menjadi dua bagian pada orde pertama, sehingga nilai r1 = ½ , satu bagian
disisakan (dipertahankan) maka nilai N1=1. Segmen sisa ini kemudian dibagi lagi
menjadi dua bagian sebagai orde kedua, sehingga r2 = ¼, dan satu bagian disisakan
lagi sehingga N2 = 1.
Untuk menentukan nilai D, maka dapat dipakai rumus umum yaitu:

ln( N i 1 / N1 ) log( N i 1 / N i )
D  (2)
ln(ri / ri 1 ) log(ri / ri 1 )

dimana ln adalah logaritma berbasis bilangan e (logaritma natural), dan log adalah
logaritma berbasis bilangan 10. Dalam hampir semua aplikasinya kita akan
memerlukan perbandingan (rasio) logaritma. Dalam hal ini, hasil akan sama jika kita
memakai logaritma berbasis bilangan e , ataupun logaritma berbasis bilangan 10.
Sebagai contoh kita lihat gambar 1 (a), log (N2/N1) = log 1 = 0, log (r1/r2) = log 2, dan
D = 0; merupakan dimensi Euklidian dari sebuah titik. Bentuk ini dapat
dikembangkan ke orde yang lebih tinggi, tetapi pada setiap orde i , dimana i = 1,
2, ........, n ; kita memiliki ln (Ni+1/Ni) = log 1 = 0. Jika ordenya mendekati tak
berhingga, n → ∞ , maka panjang garis yang tersisa akan mendekati bentuk titik, rn →
0. Dengan demikian, dimensi Euklidian dari sebuah titik, yaitu nol, dapat dipenuhi.

Bentuk pada gambar 1(b) merupakan hal yang mirip, kecuali bahwa segmen garisnya
dibagi menjadi tiga bagian untuk orde pertama sehingga r1 = 1/3; satu bagian
disisakan sehingga N1 = 1. Pada orde kedua, r2 = 1/9 , dan kembali N2 = 1. Sehingga,
jika ordenya semakin dinaikan hingga n → ∞ , maka akan menjadi sebuah titik
dengan dimensi D = 0.
Pada gambar 1 (c) segmen garis orde nol dibagi dalam dua bagian tetapi keduanya
tetap digunakan pada orde pertama sehingga r1 = ½ dan N1 = 2. Proses diulang untuk
orde kedua sehingga r2 = ¼ dan N2 = 4. Dari persamaan (2) kita mendapatkan D = log
2/ log 2 = 1. Hal yang sama, untuk gambar 1(d) kita memiliki D = 1; maka dalam
kedua contoh tersebut, dimensi fraktal merupakan dimensi Euklidian dari sebuah
segmen garis.
Hal ini dapat dimengerti karena segmen garis yang ada akan merupakan sebuah
segmen garis dengan panjang tertentu jika proses konstruksi tersebut diulangi.

Akan tetapi, tidak semua konstruksi akan memberi dimensi fraktal bilangan utuh
(integer), seperti dua contoh pada gambar 1.(e) dan 1.(f). Pada contoh gambar 1.(e)
segmen garis orde nol dari panjang tertentu dibagi menjadi tiga bagian pada orde
pertama sehingga r1 = 1/3 ; dua segmen disisakan sehingga N1 = 2. Proses diulangi
untuk orde kedua sehingga r2 = 1/9 dan N2 = 4. dari persamaan (2) maka diperoleh D
= log 2/ log 3 = 0,6309. Hal ini dikenal sebagai himpunan Cantor (Cantor set) dan
sejak lama dikenal oleh ahli matematika sebagai sebuah konstruksi patologis.
Dalam gambar 1(f) orde nol segmen garis dibagi menjadi lima bagian untuk orde
pertama sehingga r1 = 4 ; dimana dua segmen tepi dan satu segmen tengah disisakan,
sehingga N1 = 3. Proses diulang untuk orde kedua sehingga r2 = 1/9 dan N2 = 9. Dari
persamaan (2) maka nilai D = log 3/ log 5 = 0,6826. Kedua contoh tersebut memiliki
dimensi fraktal antara nol dan satu; sehingga merupakan dimensi fraksional

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 2


(pecahan). Konstruksi-konstruksi dapat diperluas agar memberikan sembarang nilai
dimensi fraksional antara nol dan satu, dengan cara seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Ilustrasi pembuatan enam fraktal satu dimensi. Pada orde nol dimulai dengan sebuah
segmen garis dengan satu satuan panjang. Pada orde pertama, segmen dibagi ke dalam
segmen-segmen kecil berukuran sama dengan jumlah bilangan utuh dan sebuah fraksi
atau bagian dari segmen tersebut disisakan atau tetap dipertahankan.

Proses iterasi atau pengulangan seperti ilustrasi Gambar 1 dapat dilakukan sesuai
keinginan, membuat panjang garis yang tersisa menjadi makin pendek. Konstruksi
yang dijelaskan pada Gambar 1 merupakan keberagaman skala (Scale invariant).
Keberagaman skala merupakan kondisi yang diperlukan untuk dapat diterapkannya
persamaan (1), karena tidak ada skala panjang natural yang masuk dalam hubungan
persamaan perpangkatan (fraktal).

Sebagai contoh khusus, kita lihat himpunan Cantor seperti pada Gambar 1(e),
sedangkan iterasi himpunan Cantor sampai orde kelima, i = 5, ditunjukan pada
Gambar 2. Orde pertama himpunan Cantor dipakai sebagai pembangkit (generator)
untuk himpunan-himpunan dengan orde yang lebih besar. Setiap dua segmen garis
yang disisakan pada orde pertama, digantikan oleh suatu pembangkit yang diperkecil
skalanya untuk mendapatkan himpunan orde kedua, dan seterusnya sampai orde yang
lebih tinggi.
Jika dilakukan iterasi sebanyak n kali, maka panjang garis pada iterasi ke-n, rn,
dihubungkan dengan panjang pada iterasi pertama r1, yaitu: rn/r0 = (r1/r0)n. Sehingga,
jika n → ∞, dan rn → 0 , dalam kondisi limit maka himpunan Cantor sebagaimana
pada Gambar 2 dinamakan sebagai suatu “Cantor dust” (debu Cantor), sebuah
himpunan tak berhingga dari titik-titik kluster (menggerombol). Pengulangan iterasi
akan membentuk suatu debu dikenal sebagai curdling .

Penerapan konsep fraktal seperti contoh di atas, dapat juga diterapkan pada sebuah
bujur sangkar. Sederet contoh ditunjukan pada Gambar 3. Dalam setiap kasus, bujur
Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 3
sangkar orde ke nol dibagi menjadi sembilan bujursangkar kecil pada orde pertama,
dimana masing-masing memiliki r1 = 1/3. Pada orde kedua, bujur sangkar yang
disisakan atau tetap dipertahankan, dibagi menjadi sembilan bagian dimana masing-
masing memiliki r2 = 1/9, dan seterusnya.
Pada Gambar 3(a) hanya satu bujursangkar yang disisakan atau dipertahankan,
sehingga N1 = N2 = Nn = 1. Berdasarkan persamaan (2) maka D = 0 , yang merupakan
dimensi Euklidian sebuah titik, dan ini sesuai karena jika n → ∞, maka bujursangkar
yang tersisa akan menjadi sebuah titik.

Gambar 2. Ilustrasi himpunan Cantor yang dilakukan sampai orde kelima. Orde pertama merupakan
pembangkit atau generator, segmen garis lurus pada orde ke-i digantikan oleh generator untuk
mendapatkan himpunan pada orde ke i+1

Pada Gambar 3(b), dua bujur sangkar disisakan untuk orde pertama sehingga r1 = 1/3,
N1 = 2, dan untuk orde kedua r2 = 1/9 dan N2 = 4. Berdasarkan persamaan (2) maka D
= log 2/ log 3 = 0,6309, merupakan hasil yang sama dengan perolehan dari Gambar
1(e).

Hal serupa, dalam Gambar 3(c) tiga bujursangkar disisakan pada orde pertama
sehingga r1 = 1/3, N1 = 3, dan pada orde kedua r2 = 1/9 , N2 = 9; maka nilai D = log
3/ log 3 = 1. Untuk limit n → ∞, bujur sangkar yang tersisa akan membentuk sebuah
garis, seperti ditunjukan pada Gambar 1(d). Yang diperoleh adalah dimensi Euklidian
sebuah garis.

Dalam Gambar 3(d), hanya bagian tengah (atau pusat) dari bujursangkar yang
dihilangkan, sehingga untuk orde pertama r1 = 1/3 , N1 = 8 ; dan pada orde kedua r2 =
1/9, N2 = 64. Dengan demikian, nilai D = log 8/ log 3 = 1,8928. Bentukan ini dikenal
sebagai karpet Sierpinski (Sierpinski carpet).

Dalam Gambar 3(e) semua sembilan bujursangkar disisakan, maka pada orde pertama
r1 = 1/3, N1 = 9, dan pada orde kedua r2 = 1/9, N2 = 81. Berdasarkan persamaan (2)
Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 4
nilai D = log 9/ log 3 = 2. Hasil ini adalah dimensi Euklidian dari sebuah
bujursangkar dan ini sesuai karena jika kita tetap memakai semua blok maka kita
terus mempertahankan unit bujursangkar pada semua orde. Pembuatan secara iterasi
dapat menghasilkan nilai sembarang dimensi fraktal antara 0 dan 2 dan setiap
bentukan merupakan keberagaman skala.

Contoh untuk satu dan dua dimensi diberikan pada Gambar 1 dan 3, serta dapat
diperluas menjadi tiga dimensi. Dua contoh diberikan pada Gambar 4.

Busa Menger (Menger sponge) digambarkan pada Gambar 4(a). Sebuah kubus padat
dengan dimensi satuan tertentu memiliki potongan bujursangkar dengan r1 = 1/3
memotong melalui bagian tengah dari ke enam sisi-sisinya. Jumlah kubus kecil-kecil
(potongannya) ada duapuluh tujuh. Pada orde pertama, enam kubus pada tengah-
tengah setiap sisi diambil, termasuk pula kubus bagian pusat tengahnya. Sehingga,
kubus yang tertinggal atau tetap dipertahankan sebanyak duapuluh, dengan r1 = 1/3
dan N1 = 20.

Gambar 3. Ilustrasi dan kesesuaian fraktal dimana jika kita mempertahankan semua blok, kita dapat
melanjutkan pembuatan fractal dua dimensi. Pada orde nol, dimulai sebuah bujur sangkar
dengan satu satuan luas. Pada orde pertama, luasan bujursangkar dibagi menjadi sembilan
kotak bujursangkar lebih kecil berukuran sama dengan r1 = 1/3 dan satu fraksi kotakan tetap
dipertahankan. Fraktal orde pertama bertindak sebagai generator untuk fractal orde lebih
tinggi. Setiap bujursangkar yang dipertahankan pada orde pertama dibagi menjadi
bujursangkar lebih kecil dengana memakai generator untuk membuat sebuah fraktal orde
kedua. Dua orde pertama dengan r1 = 1/3 dan r2 = 1/9 ditunjukan pada gambar, tetapi
sebenarnya dapat dibuat hingga sebarang orde yang diinginkan. (a) N1 = 1; N2 = 1; D = log 1/
log 3 = 0; (b) N1= 2; N2 = 4; D = log 2/ log 3 = 0,6309 ; (c) N1 = 3, N2 = 9, D = log 3/ log 3 =
1; (d) N1 = 8, N2 = 64, D = log 8/ log 3 = 1,8928 (dikenal sebagai karpet Sierpinski); (e) N1 =
9 , N2 = 81, D = log 9/ log 3 = 2.
Untuk orde kedua, 20 kubus yang masih dipertahankan, dibagi lagi menjadi potongan
kecil-kecil dengan dimensi r2 = 1/3 melalui ke enam sisi-sisinya. Untuk setiap kubus

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 5


maka bagian tengahnya kita hilangkan, termasuk kubus di titik tengah pusatnya.
Dengan demikian, empat ratus kubus dengan r2 = 1/9 akan tersisa dan N2 = 400. Dari
persamaan (2.2) maka diperoleh dimensi fraktalnya, D = log 20/ log 3 = 2.7268.
Bentukan busa Menger ini dapat digunakan sebagai model untuk aliran pada media
porous dengan suatu distribusi porousitas fraktal.

Gambar 4. Ilustrasi dua buah konstruksi fraktal tiga dimensi (a) pada orde pertama unit kubus dibagi
menjadi 27 kubus lebih kecil dengan ukuran sama, dengan r 1 = 1/3 ; dan 20 kubus disisakan
tetap tertinggal sehingga N1 = 20. Pada orde kedua r2 = 1/9 dan 400 dari 729 kubus disisakan
sehingga N2 = 400; D = ln 20/ln 3 = 2.727. Konstruksi ini dikenal sebagai busa Menger. (b)
Pada orde satu, kubus dibagi menjadi delapan kubus-kubus kecil dengan ukuran sama, dengan
r1 = ½. Dua kubus yang berlawanan diagonal dihilangkan sehingga enam kubus tersisa dan N1
= 6. Pada orde kedua r2 = ¼ dan 36 dari 64 kubus disisakan tetap tertingal sehingga N2 = 36;
D = ln 6/ ln 2 = 2.585.

Contoh lain bentukan fraktal tiga dimensi diberikan dalam Gambar 4(b). Disini, unit
kubus kembali dianggap sebagai posisi orde ke- nol. Pada orde pertama, kubus dibagi
menjadi delapan kubus kecil dengan r1 = ½, dan dua kubus kecil yang terletak di
pojok dengan posisi diagonal dihilangkan, sehingga N1 = 6. Pada orde kedua, masing-
masing dari enam kubus yang tetap ada, dibagi kembali menjadi delapan kubus
ukuran sama yang lebih kecil dengan r2 = ¼. Pada setiap kejadian maka dua kubus di
pojok pada posisi saling diagonal kembali dihilangkan, sehingga N2 = 36.

Dari persamaan (2) maka diperoleh D = log 6/ log 2 = 2,585. Kita akan memakai
variasi ini untuk aplikasi lainnya. Hasil bentukan secara iterasi dapat menghasilkan
nilai sembarang dimensi fraktal antara 0 dan 3, dan setiap hasil bentukan akan
merupakan keberagaman skala.
Contoh-contoh tersebut menggambarkan bagaimana konstruksi geometris dapat
memberikan suatu dimensi non-Euklidian, dan berupa pecahan (non-integer). Akan
tetapi, dalam masing-masing kasus, sifat strukturnya tidak kontinyu.
Sebuah contoh bentukan fraktal yang berifat kontinyu yaitu apa yang dikenal sebagai
segitiga Koch (the triadic Koch island) seperti ditunjukan pada Gambar 5

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 6


Pada orde ke-nol, bentukan ini dimulai dengan suatu segitiga sama-sisi dengan tiga
sisinya sebagai unit panjang, N0 = 3, r0 = 1. Pada orde pertama, segitiga sama sisi
mempunyai panjang sisi r1 = 1/3 ditempatkan di tengah-tengah dari setiap sisi segitiga
yang pertama, sehingga sekarang ada 12 sisi, atau N1 = 12.

Konstruksi atau pembentukann bangun ini dilanjutkan ke orde kedua dengan


menempatkan segitiga samasisi dengan panjang r2 = 1/9 pada tengah-tengah dari
setiap sisi segitiga sebelumnya; sehingga ada 48 sisi atau N2 = 48.

Dari persamaan (2) maka kita memiliki D = ln 4/ ln 3. Dimensi fraktalnya adalah


antara satu (dimensi Euklidian sebuah garis) dan dua (dimensi Euklidian sebuah
permukaan). Bentukan bangun ini dapat dilanjutkan hingga orde tak berhingga; sisi-
sisinya merupakan keberagaman skala, dan jika dilihat dari satu sisi maka akan
identik untuk semua skala atau ukuran.

Untuk menghitung atau melakukan kuantifikasi bentuk ini, kita lihat panjang
perimeter (keliling). Panjang perimeter Pi dari suatu bentukan fraktal dirumuskan
dengan:

Pi = riNi (3)

Dimana ri adalah panjang isi pada orde ke-i dan Ni adalah banyaknya sisi. Substitusi
dari persamaan (1) memberikan:

C
Pi  D 1 (4)
ri

Untuk segitiga Koch yang ditunjukan pada Gambar 5 kita memiliki P0 = 3, P1=4, dan
P2 = 16/3 = 5,333. Bila persamaan (4) dibuat dalam logaritma dan disubstitusikan
nilai-nilai ini maka kita dapatkan:

log(Pi 1 / Pi ) log(4 / 3) log 4  log 3 log 4


D  1  1 1  (5)
log(ri / ri 1 ) log 3 log 3 log 3

Ini merupakan hasil yang sama jika kita menggunakan persamaan (2). Perimeter dari
pulau Koch segitiga akan naik jika i menaik. Jika i mendekati tak berhingga, panjang
perimeter juga mendekati tak berhingga, seperti dinyatakan oleh persamaan (4),
karena D >1 (D lebih besar dari satu satuan). Perimeter segitiga Koch bila i→∞
menjadi kontinyu, tetapi tidak dapat dideferensiasi.

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 7


Gambar 5. Bentukan segitiga Koch dimana (a) Suatu segitiga samasisi dengan tiga sisinya merupakan
unit panjang, (b) Tiga segitiga dengan panjang sisi r1 = 1/3 ditempatkan pada tengah-tengah
setiap sisi. Perimeter (keliling) sekarang disusun oleh 12 sisi dan N1=12; (c) Dua belas segitiga
samasisi dengan r2 = 1/9 ditempatkan pada tengah-tengah setiap sisi, sehingga kini perimeter
dibentuk oleh 48 sisi dan N2 = 48; maka D = log 4/ log 3 = 1,26186. Panjang dari perimeter
pada gambar (a) yaitu P0 = 3, pada gambar (b) P1 = 4, dan pada gambar (c) yaitu P2 = 16/3 =
5,333.

2. Fraktal dan Statistik

Segitiga Koch dapat digunakan sebagai sebuah model untuk mengukur garis pantai
daerah bebatuan. Akan tetapi ada perbedaan mendasar. Perbedaan pertama adalah
bahwa keliling (perimeter) dari segitiga Koch bersifat deterministik dan keliling dari
garis pantai bersifat statistik. Keliling dari segitiga Koch memiliki keberagaman skala
yang sifatnya identik pada semua skala. Keliling dari suatu garis pantai bebatuan
secara statistik berbeda untuk skala yang berbeda, tetapi perbedaan itu tidak memiliki
skala tertentu. Sehingga garis pantai bebatuan juga merupakan suatu fraktal yang
bersifat statistik.

Beda kedua antara segitiga Koch dan garis pantai bebatuan yaitu kisaran skala yang
lebih dari sekedar keberagaman skala (sifat fraktal) yang diperluas. Meskipun segitiga
Koch memiliki skala maksimum dari segitiga aslinya, bangunnya dapat diperluas
hingga kisaran skala tak berhingga. Suatu garis pantai pada daerah bebatuan memiliki
skala maksimum dan skala minimum.
Skala maksimum bisa saja 103 sampai 104 km, sebagai ukuran dari kontinen atau
pulau yang dihitung. Skala minimum dapat merupakan skala ukuran butir dari
batuan, katakanlah 1 mm. Sehingga, keberagaman skala dari suatu garis pantai
berbatuan dapat diperluas sampai besaran orde hingga kesembilan. Selain itu,
keberagaman skala dari suatu garis pantai akan menjadi suatu pendekatan saja dalam
keberagaman skala (fraktal-scale invariant), dan dapat terjadi fluktuasi statistik dalam
ukuran sifat fraktalnya. Di lain pihak, segitiga Koch keberagaman skalanya bersifat
pasti (eksak)

Mandelbrot (1967) mengenalkan konsep fraktal dengan menggunakan persamaan (4)


untuk menentukan dimensi fraktal dari pantai barat Inggeris. Panjang garis pantai Pi
ditentukan dari kisaran pengukuran panjang rod ri.(rod adalah batang pengukur,
panjang sekitar 5,2 m) Mandelbrot (1967) memakai ukuran panjang dari garis pantai

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 8


yang diperoleh sebelumnya oleh Richardson (1961). Dengan memakai peta
garispantai, panjang diperoleh dengan memakai pembagi/penyekat beda panjang ri.
Dengan memakai skala peta, panjang garis pantai diplot kontra panjang pembatas
pada kertas log-log. Jika titik-titik data dianggap sebagai suatu garis lurus, hasilnya
adalah suatu fraktal statistik. Hasil untuk pantai barat Inggris disajikan pada Gambar
6. Sebagaimana nampak, data tersebut berkorelasi baik dengan persamaan (4), dengan
nilai D = 1,25. Nampak bahwa garis pantai merupakan suatu fraktal dan secara
statistik menunjukan keberagaman skala untuk cakupan kisaran skala yang dipakai.

Teknik atau cara untuk mendapatkan dimensi fraktal dari sebuah garis pantai, dengan
mudah dapat diperluas menjadi sebarang topografi. Garis kontur pada peta topografi
secara menyeluruh ekivalen dengan garis pantai; Panjang suatu kontur tertentu Pi
diperoleh dengan memakai garis pembagi (divider) dengan panjang berbeda ri.
Hubungan fraktal pada persamaan (4) secara umum merupakan cara pendekatan
terbaik dan dimensi fraktal dapat diperoleh. Seperti ditunjukan pada Gambar 7,
dimensi fraktal dari topografi dengan memakai metode garis pembagi, secara umum
ada dalam kisaran D = 1,20 ± 0,5 tak bergantung pada tatanan tektonik dan umur
geologi.
Topografi, terutama adalah hasil dari proses erosi, akan tetapi, pada topografi
permukaan stadia muda merupakan hasil bentukan dari proses tektonik. Hal ini
tidaklah mengejutkan, karena proses-proses pembentukan topografi merupakan
keberagaman skala dan membentuk topografi fraktal. Suatu hal menarik, apakah
proses erosi dan proses tektonik masing-masing menimbulkan fraktal dengan dimensi
yang mendekati sama. Bruno et.al. (1992, 1994) dan Gaonach et.al (1992)
menunjukan bahwa keliling dar suatu aliran lava basaltik juga merupakan fraktal
dengan D = 1,12 – 1,42 . Detail dari penggunaan metode pembagi diuraikan oleh
Andrle (1992).

Perlu diingat bahwa tidak semua topografi adalah fraktal (Goodchild, 1980), salah
satu contoh yaitu daerah vulkanik muda. Walau sudah dimodifikasi oleh erosi, bentuk
gunungapi tetap saja merupakan bentuk kerucut dan tidak menghasilkan dimensi
fraktal tertentu. Kipas aluvial juga merupakan contoh kenampakan geomorfik non-
fraktal. Morfologi kipas aluvial dapat dimodelkan dengan persamaan panas (Culling
1960), karena persamaan panas berbentuk linier, mencirikan karakteristik panjang
(ataupun waktu) dan tidak dapat memberi solusi yang bersifat keberagaman skala
(fraktal).
Persamaan panas juga dapat dipakai untuk pemodelan elevasi dari perbukitan tengah
samudra (mid-ocean ridges). Morfologi cekungan samudra dapat dimodelkan dengan
berdasarkan sifat tekuk litosfer elastis. Disini, persamaan yang mengontrol tekukan
atau fleksur bersifat linier, menunjukan karakteristik panjang, dan solusinya bukan
keberagaman skala (fraktal). Meskipun demikian, diluar perkecualian itu, sebagian
besar dari topografi bumi dan batimetri laut amat baik dimodelkan dengan statistika
fraktal dan karenanya ada keberagaman skala.

Meskipun metode garis pembagi dipakai pertama kali untuk mendapatkan dimensi
fraktal, hal ini bukan suatu metode yang dapat diterapkan secara umum. Metode
kotak-hitung atau box-counting jauh lebih luas dipakai dalam berbagai hal
dibandingkan metode garis pembagi (Pfeiffer and Obert, 1989). Contohnya, cara itu
dapat dipakai untuk distribusi titik dan cukup mudah diterapkan pada kurva kontinyu.

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 9


Gambar 6. Panjang P dari pantai barat Inggris sebagai fungsi dari panjang r yaitu pengukuran rod; menurut
dari Mandelbrot (1967). Data dikorelasi dengan persamaan (2.4) menggunakan dimensi D =
1,25.

Gambar 7. Panjang P untuk kontur topografi tertentu pada beberapa jalur pegunungan ditentukan
sebagai fungsi dari panjang r dari rod pengukur, (a) kontur 3000 ft dari Cobblestone Mountain
quadrangle, Transverse Ranges, California (D = 1.21); (b) 5400 ft contour of the Tatooh
Buttes quadrangle, Cascade Mountains, Washington (D = 1.21); (c) 10,000 ft contour of the
Byers Peak quadrangle, Rocky Mountains, Colorado (D = 1.15); (d) 1000 ft contour of the
Silver Bay quadrangle, Adirondack Mountains, New York (D = 1.19). Korelasi garis lurus
pada ploting log-log yaitu dengan persamaan (2.4).

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 10


3. Metode kotak hitung (box-counting)

Metode kotak-hitung dapat digunakan untuk menentukan dimensi fraktal dari suatu
garis pantai di daerah bebatuan. Sebagai contoh spesifik, garispantai di Deer Island,
Maine, dimana kotakan disajikan pada Gambar 8(a). Garis pantai dibuat grid bentuk
bujursangkar, grid dengan kotak ukuran berbeda juga dapt digunakan. Jumlah kotak
Ni dengan ukuran ri diperlukan untuk melingkup garis pantai, diplot pada kertas log-
log sebagai fungsi dari ri. Jika didapat suatu korelasi garis lurus, maka persamaan (2)
dapat dipakai untuk mendapatkan dimensi fraktal.

Metode kotak-hitung untuk garis pantai pada gambar 8(a) ditunjukan dalam gambar
8(b) dan 8(c). Area yang dihitamkan merupakan kotak-kotak yang dibutuhkan untuk
melingkup garis pantai. Pada gambar 8(b) kita memerlukan 98 kotak dengan r = 1 km
untuk mencakup garis pantai. Pada gambar 8(c) kita memerlukan 270 kotak dengan r
= 0,5 km untuk mengkover garis pantai. Hasil untuk suatu kisaran dari ukuran
kotakan diberikan pada Gambar 9. Korelasi dengan persamaan (2) menghasilkan D =
1,4.
Hasil tersebut nampak lebih besar dibandingkan nilai yang diperoleh seperti diatas
untuk contoh-contoh lain. Tetapi hal ini karena kekasaran ekstrem garis pantai yang
diambil untuk contoh ini. Bila metode garis pembagi diterapkan pada garis pantai ini,
didapatkan dimensi fraktal yang sama

Distribusi besarnya-ukuran, secara statistik, untuk obyek dalam jumlah besar juga
dapat merupakan fraktal. Contoh spesifik yaitu fragmen-fragmen batuan. Untuk
distribusi fraktal, banyaknya obyek N dengan suatu karakteristik dimensi linier lebih
besar dari r harus memenuhi hubungan persamaan umum :

C
N D (6)
r

dimana D adalah dimensi fraktal. Rumusan ini juga sesuai dipakai untuk hubungan
kumulatif daripada hubungan himpunan, bila hubungan tersebut merupakan sesuatu
yang kontinyu dibandingkan dengan himpunan diskrit. Contoh lain dimana persamaan
(6) dapat diterapkan adalah distribusi frekuensi magnitudo gempabumi.

Sebagai suatu wujud dari fenomena natural, persamaan (6) hanya dapat dipakai untuk
pendekatan, dengan batas atas dan batas bawah untuk kisaran sifat aplikasinya.
Contoh spesifik dari aplikasi persamaan (6) yaitu hubungan empiris oleh Korcak
(1940) untuk sejumlah pulau-pulau di belahan bumi ini. Dengan mengambil panjang
tertentu yang merupakan akar kuadrat dari luasan pulau, dan Mandelbrot (1975)
menyatakan bahwa persamaan (6) adalah bentuk pendekatan yang baik dengan D =
1,30.

Distribusi ukuran dari danau-danau di seluruh dunia diberikan pada Gambar 10


(Meybeck, 1995). Jumlah kumulatif danau, N, dengan luas A lebih besar dari nilai
spesifik yang ditentukan sebagai fungsi dari luasan A dan akar kuadrat dari luas r.
Korelasi bagus diperoleh dengan persamaan (6) menghasilkan D = 1,90. Ada variasi
yang bersifat regional dimana Kent and Wong (1982) menerapkan pendekatan sama
Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 11
untuk jumlah danau di Kanada dan memperoleh korelasi bagus dengan nilai D =
1,55.
Sebagaimana disampaikan, istilah dimensi fraktal mengarah kepada dimensi
faksional atau pecahan. Arti hal ini jelas dalam Gambar 1 – 3; akan tetapi, arti itu bisa
jadi kurang jelas dalam distribusi persamaan-perpangkatan secara statistik. Sejumlah
distribusi persamaan perpangkatan masuk dalam batas-batas yang berkaitan dengan
dimensi fraksional, yaitu 0 < D < 3, sedang lainnya tidak.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah semua distribusi persamaan perpangkatan


yang memenuhi persamaan (1) atau persamaan (6) adalah fraktal. Untuk
menghilangkan keraguan, perlu disepakati untuk pembahasan lebih lanjut, bahwa
semua itu fraktal. Distribusi semacam itu jelas memiliki keberagaman skala, kecuali
jika tidak berasosiasi langsung dengan suatu dimensi fraktal.

Gambar 8. (a) Ilustrasi dari garis pantai bebatuan untuk Deer Island, Maine, quadrangle. (b) Luasan yang
dihitamkan mengandung kotak-kotak bujursangkar dengan r = 1 km yang diperlukan untuk meliput
garis pantai; N = 98. (c) Luasan yang dihitamkan mengandung kotak-kotak bujursangkar dengan r
= 0,5 km yang diperlukan untuk mengkover garis pantai; N = 270.

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 12


Gambar 9. Banyaknya N kotak bujursangkar yang diperlukan untuk meliput garispantai pada Gambar
8(a) sebagai fungsi dari ukuran kotak r. Korelasi dengan persamaan (1) menghasikan D = 1,4.

Gambar 10. Distribusi frekuensi-ukuran dari danau-danau di seluruh dunia. Jumlah kumulatif dari danau N
dengan luas A lebih besar dari nilai spesifik yang ditentukan sebagai suatu fungsi dari luas dan akar
kuadrat luas r. Korelasi garis lurus adalah dengan hubungan fractal (pers. 6) menghasilkan D =
1,90

4. Sekuen Pengendapan

Hubungan antara fraktal yang bersifat statistik dengan yang bersifat deterministik,
dapat digambarkan dengan problem klasik dalam geologi, yaitu pengendapan
sedimen. Berbagai mekanisme berasosiasi dengan pengendapan sedimen, dan hal ini
tentu dipandang sebagai suatu proses geologi yang komplek. Kesenjangan dalam
rekaman sedimen dikenal sebagai basis global, dan kesenjangan ini membentuk batas-
batas waktu geologi, yang tercermin dalam kenampakan ketidakselarasan
(unconformity) lapisan. Tetapi, batas-batas ini muncul pada semua skala waktu dan
dapat ditengarai sebagai periode yang didominasi oleh erosi atau langka akan
pengendapan.

Kita akan membahas sebuah model sederhana, berdasar konsep fraktal, untuk
pengendapan sedimen. Dasar dari model ini adalah bentuk suatu undak-undak atau
tangga, secara popular dikenal sebagai tangga masuk ke rumah setan (devil’s
Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 13
staircase). Tangga tersebut berdasarkan orde tiga himpunan Cantor dari Gambar 2,
dan diberikan pada Gambar 11, yang memiliki dimensi fraktal sama dengan himpunan
Cantor. Dengan menghilangkan sepertiga bagian tengah untuk setiap segmen garis
pada tiap orde, maka masih tertinggal dalam bentuk sebuah segmen horisontal.
Segmen vertical ke arah atas adalah sama stepnya, bergerak dari kiri ke kanan.
Dengan mengambil panjang horisontal sebagai satu satuan, maka ada satu step
horisontal, N1 = 1 dengan panjang r1 = 1 , kemudian dua step horisontal, N2 = 2
dengan panjang r2 = 1/9 , dan kemudian ada empat step horisontal, N3 = 4 dengan
panjang r3 = 1/27 . Jadi dari persamaan (2) kita memiliki D = ln 2/ ln 3 = 0,6309.
Dalam hal ini, ada 24 step dengan r4 = 1/81, tetapi 16 darinya akan terbagi lebih
lanjut jika konstruksi dilanjutkan ke orde yang lebih tinggi. Tangga ini didasarkan
pada himpunan Cantor dan dapat juga diperoleh sebagai bentuk integral himpunan
Cantor dari 0 sampai x.

Tangga rumah ini memiliki kemiripan yang kuat dengan distribusi umur dalam
setumpuk sedimen, periode pengendapan yang cepat diselingi dengan kesenjangan
dalam rekaman sedimen (ketidakselarasan). Untuk model sederhana endapan sedimen
tersebut, kita menganggap bahwa laju pengendapan merupakan suatu konstanta R.
Tanpa pengendapan sedimen, kedalaman air yw akan naik secara linier terhadap waktu
dan akan diberikan dengan yw = Rt. Selanjutnya, kita menganggap bahwa laju pasokan
sedimen cukup untuk menjaga permukaan sedimen pada muka laut. Dengan asumsi
ini dan konstanta laju subsiden R, maka laju pengendapan sediment juga R dan tebal
sediment yaitu ys = Rt.
Dengan model sederhana ini, laju pengendapan dianggap konstan, dan tak ada
kesenjangan (selang waktu) dalam rekaman sedimen. Kita ketahui bahwa sekuen
sedimen yang dicirikan oleh ketidakselarasan (bidang lapisan), mewakili adanya
kesenjangan dalam rekaman sedimen. Suatu ketidakselarasan mencerminkan suatu
periode waktu selama dimana terjadi erosi dan atau suatu periode waktu selama
dimana tidak ada sedimen yang diendapkan.

Gambar 11. Fraktal tangga rumah setan berdasarkan orde tiga himpunan Cantor seperti gambar pada Gb 2.
Ukuran step horisontal ditentukan dengan himpunan Cantor, dan step vertikal sama ukurannya.

Salah satu mekanisme pembangkitan ketidakselarasan sedimen adalah membuat


hipotesa terhadap variasi muka airlaut. Pertama digambarkan bagaimana variasi
harmonis pada muka airlaut dengan waktu yang dapat membangkitkan kesenjangan
(tak selaras) dalam rekaman sedimen. Model ini digambarkan pada Gambar 12. Garis

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 14


lurus putus-putus dalam Gambar 11 (a) memberikan ketebalan sediment ys = Rt
dengan R = 1 mm/th dan tidak ada variasi muka airlaut.
Setelah dua juta tahun, t = 2 Jt-thn, ketebalan sedimen yaitu ys = 2 km. Sekarang
dianggap bahwa variasi pada muka airlaut diberikan oleh:

ySL = ySLO sin(2π / τ0) (7)

dan kita ambil ySLO = 400 m dan τ0 = 2 Juta-tahun. Selama 500.000 tahun pertama,
muka airlaut naik, kemudian selama 1000.000. tahun berikutnya muka airlaut turun,
dan selama akhir 500.000 tahun muka airlaut naik kembali. Jika tidak ada sedimentasi
yang terjadi, kedalaman air selama suatu siklus τ0 , diberikan dengan:

y w  Rt  ySLO sin(2 t /  0 ) (8)

Dan ini adalah bentuk garis pada Gambar 12(a). Kita kembali menganggap bahwa
laju sedimentasi cukup tinggi dimana kedalaman air aktual adalah nol. Pada t = 0 ,
laju subsiden yaitu R = 1 mm/thn, laju kenaikan muka laut adalah 1,26 mm/thn
sehingga laju pengendapan sedimen adalah 2,26 mm/thn. Ketebalan sedimen yang
diendapkan mengikuti kurva solid pada Gambar 12 (a)

Gambar 12. Ilustrasi perkembangan suatu ketidakselarasan selama pengendapan sedimen. (a)
Ketebalan dari sedimen ys pada suatu cekungan ditentukan sebagai fungsi dari waktu t. Garis
putus-putus adalah tebal sedimen dengan tak ada perubahan muka laut dan laju subsiden
konstan R = 1 mm/thn. Jika muka laut bervariasi menurut persamaan (2.7), ketebalan sedimen
ditentukan oleh garis penuh. Dari t =0 sampai t = 792.000 tahun (titik a) pengendapan terjadi
dan ketebalan sedimen diberikan oleh persamaan (2.8). Dari t = 792.000 tahun sampai t =
1.208.000 tahun (titik b) muka laut jatuh lebih cepat dibanding laju subsiden dan terjadi erosi.
Sedimen diendapkan antara t = 577.000 tahun (titik c) dan t = 792.000 tahun (titik a) tererosi,
seperti ditunjukan pada daerah dengan arsiran. Erosi ini menciptakan ketidakselarasan,
gap/kesenjangan dalam rekaman sedimen terakhir dari t = 577.000 tahun (titik c) sampai t =
1.208.000 tahun (titik b) untuk model yang diberikan pada (a), umur dari sedimen τ
ditentukan sebagai fungsi kedalaman y. Ketidakselarasan berkaitan dengan kesenjangan yang
digambarkan pada (a).

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 15


Akan tetapi, pada t = 792.000 thn (titik a), laju muka laut menurun menjadi sama
dengan laju subsiden. Untuk periode 792.000 < t < 1.208.000 thn (titik b) muka laut
menurun lebih cepat dibandingkan laju subsiden. Tanpa ada erosi maka sediment
yang diendapkan lebih awal akan naik di atas muka laut. Kita menganggap, namun,
erosi tersebut relatif cepat sehingga naiknya muka tanah akan terjaga pada posisi
muka laut. Pada t = 1.208.000 thn, 70 meter sediment yang terakumulasi sebelumnya
sudah tererosi.

Hasilnya adalah suatu ketidakselarasan dan suatu selang dalam rekaman sedimen.
Sedimen akan ada di bawah ketidakselarasan yang diendapkan pada t = 577.000 thn
(titik c) dan sediment akan ada di atas ketidakselarasan yang diendapkan pada t =
1.208.000 thn (titik b) sehingga menghasilkan suatu selang (gap) rekaman sediment.
Dari t = 1.208.000 thn sampai t = 2.000.000 thn, muka laut muka laut turun lebih
lambat disbanding laju subsiden atau malah naik sehingga terjadi sedimentasi.
Keseluruhan sekuen pengendapan digambarkan pada Gambar 2.12a.

Pada akhir pengendapan, yaitu saat t = 2 Jt-thn, umur dari sedimen τ ditentukan sebagai
fungsi kedalaman y dalam Gambar 12(b). Umur sedimen pada dasar dari tumpukan, y
= 2km, yaitu τ = 2 Jt-thn. Selang yang digambarkan dalam Gambar 12(a)
menghasilkan ketidakselarasan yang digambarkan pada Gambar 12(b). Umur sedimen
di atas ketidakselarasan yaitu τ = 792.000 thn (titik b) dan umur sedimen di bawah
ketidakselarasan yaitu τ = 1.423.000 thn (titik c).

Variasi harmonis muka airlaut, secara sederhana, akan menghasilkan suatu sekuen
ketidakselarasan yang periodik dengan panjang sama. Namun, hasil pengamatan
menunjukan bahwa variasi muka airlaut mengikuti statistik fraktal (Hsui et.al, 1993)
sehingga wajar jika variasi muka airlaut dapat membangkitkan suatu distribusi
ketidakselarasan yang juga mengikuti statistik fraktal

Model fraktal untuk pengendapan sedimen dikembangkan oleh Plotnick (1986) dan
Korvin, (1992) berdasarkan tangga rumah setan seperti disajikan pada Gambar 11 Kita
melihat tangga rumah yang berasosiasi dengan himpunan Cantor orde kedua.
Umur sedimen dalam model ini ditentukan sebagai suatu fungsi kedalaman seperti dalam
Gambar 13(a). Sedimen tebal delapan kilometer telah terendapkan dalam suatu model
cekungan selama periode 9 juta tahun, sehingga laju rerata (kecepatan) pengendapan yaitu
R = 8 km/ 9 juta tahun = 0,89 mm / tahun.
Akan tetapi, ada ketidakselarasan utama pada kedalaman 4 km. Sedimen di atas
ketidakselarasan ini memiliki umur τ = 3 juta tahun dan sedimen di bawahnya berumur τ
= 6 juta tahun. Dalam pengertian himpunan Cantor, hal ini digambarkan sebagai kolom
vertikal pada Gambar 13(b).
Garis dari unit panjang dibagi menjadi tiga bagian, dan sepertiga bagian tengah
dihilangkan, yang menunjukan periode tanpa pengendapan. Dua bagian yang tersisa
ditempatkan pada posisi atas satu sama lain sebagaimana ditunjukan oleh gambar.
Selama tiga juta tahun pertama pengendapan (separuh bagian bawah dari seksi
pengendapan) dan tiga juta tahun terakhir pengendapan (separuh bagian atas dari
seksi pengendapan) laju rerata pengendapan yaitu R = 4 km/ 3 juta thn = 1.33
mm/thn. Jadi laju pengendapan menaik sedang periode yang ditinjau menurun. Hal ini
ditunjukan dalam Gambar 13 (c) .
Ada juga ketidakselarasan pada kedalaman 2 km. Sedimen di atas ketidakselarasan ini
memiliki umur τ = 1 juta tahun dan di bawah memiliki umur τ = 2 juta tahun. Hal
sama ada ketidakselarasan pada kedalaman 6 km; sedimen di atas ketidakselarasan
Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 16
mempunyai umur τ = 7 juta tahun dan sedimen di bawahnya mempunyai umur τ = 8
juta tahun.
Kemudian, tidak ada tumpukan sedimen dengan umur antara τ = 8 dan 7 juta tahun,
antara τ = 6 dan 3 juta tahun, dan antara τ = 2 dan 1 juta tahun. Diagramnya seperti
disajikan pada Gambar 13(a). Dalam pengertian himpunan Cantor, yaitu pada Gambar
13(b), dua segmen garis yang tersisa dengan panjang 1/3, masing-masing dibagi
menjadi tiga bagian dan bagian tengahnya diambil/ dihilangkan.
Empat buah segmen yang tersisa dengan panjang 1/9 ditempatkan pada atas satu sama
lain sebagaimana ditujukan. Selama periode τ = 9 sampai 8, 7 sampai 6, 3 sampai 2,
dan 1 sampai 0 juta tahun, laju pengendapan R = 2 km/ 1 juta tahun = 2 mm/ tahun.
Laju ini juga sesuai dengan Gambar 13(c). Laju pengendapan jelas mempunyai
ketergantungan perpangkatan untuk panjang interval waktu yang ditinjau.

Gambar 13. Ilustrasi model pengendapan sedimen berdasarkan anaktangga setan yang berasosiasi
dengan set Cantor orde kedua. (a) Umur sedimen τ sebagai suatu fungsi kedalaman y. (b)
Ilustrasi bagaimana set Cantor dipakai untuk konstruksi tumpukan sedimen. (c) laju rerata
pengendapan R sebagai suatu fungsi dari periode τ yang ditinjau.

Hasil yang digambarkan pada Gambar 13 didasarkan pada himpunan Cantor orde-
kedua, tetapi konstruksi dapat diperluas sampai sembarang orde yang dikehendaki dan
hasil perpangkatan yang diberikan dalam Gambar 13(c) akan menjadi semakin
pendek interval waktunya.

Sekarang kita generalisasi determinasi laju pengendapan tersebut, sebagai suatu


fungsi rekaman panjang dan menghubungkan hal itu dengan dimensi fraktal dari
sebuah himpunan. Laju pengendapan Ri untuk sebuah himpunan orde ke- i dinyatakan
dengan:

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 17


L
Ri  i (9)
i

dimana Li adalah ketebalan sedimen yang diendapkan dalam periode τ i. Periode τi


dalam model ini adalah ekivalen dengan panjang segmen garis ri dalam himpunan
fraktal yang digambarkan pada Gambar 1. Untuk contoh yang diberikan pada Gambar
13 kita mempunyai τ0, τ1 = τ0 /3 dan τ2= τ0/ 9. Ketebalan dari sedimen Li dinyatakan
dengan jumlah segmen yang tertinggal pada orde tertentu Ni sehingga,

L
Li  0 (10)
Ni

Untuk contoh yang diberikan dalam Gambar 13 kita mempunyai N1 = 2 dan L1 = L0/2,
dan N2 = 4 dan L2 = L0 /4. Dengan mengingat ekivalensi τi dan ri dalam hubungan
fraktal persamaan (1), kita dapat menuliskan hubungan fraktal:

D
 
N i   0  (11)
 1 

Dengan mengkombinasikan persamaan (9), (10), dan (11) diperoleh hubungan antara
Ri dengan τi sebagai:

D 1 D
L L L    L  
Ri  i  0  0  i  0  0  0  (12)
 i Ni i  0   0   i  0   0 

yang juga dapat dituliskan menjadi:

C
Ri  1 D (13)
i

Laju pengendapan memiliki ketergantungan persamaan perpangkatan untuk interval


waktu dimana terjadi pengendapan. Untuk Ri pada kasus di atas dan diilustrasikan
dalam Gambar 13, kita memiliki D = ln 2/ ln 3 = 0,6309; nilai ini adalah ekspetasi
(perkiraan) karena kita memakai model dimensi fraktal untuk sebuah himpunan
Cantor. Tergantung pada macam himpunan yang dipakai dalam menyusun model
tangga rumah setan untuk suatu sedimentasi, maka akan diperoleh sembarang
dimensi fraktal dengan nilai antara 0 dan 1.

Model pengendapan sedimen yang diberikan di atas adalah deterministik, sedangkan


pengendapan aktual adalah stokastik. Lagipula, model deterministik menggambarkan
bagaimana variasi fraktal pada muka air laut ataupun mekanisme pengendapan fraktal
lainnya dapat memberikan suatu sekuen sedimentasi fraktal. Jelas bahwa tidak semua
kesenjangan dalam rekaman sedimentasi dapat diatributkan dalam level muka air laut.

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 18


Meskipun hal-hal ini jelas membatasi, hal menarik untuk dipertimbangkan adalah data
observasi pada laju pengendapan sedimen. Dalam Gambar 14 laju pengendapan
sedimen fluvial R diberikan sebagai fungsi rentang waktu τ selama terjadi
pengendapan (Sadler and Strauss, 1990). Data ini didasarkan pada 5600 laju
pengendapan yang dideterminasi dalam cekungan sedimen modern dan penampang
stratigrafis purba. Korelasi garis lurus dengan persamaan (13) menghasilkan D =
0,336. Suatu korelasi yang baik dan dapat diterima, diperoleh dan mencakup 8 orde
magnitudo dalam laju pengendapan dan 12 orde magnitudo dalam waktu. Jelas bahwa
korelasi semacam ini hanya bersifat pendekatan karena sifat-sifat kompleks yang
penting tidak dipertimbangkan. Sebagai contoh, mekanisme pengendapan yang
berbeda diharapkan akan mendominasi pada skala waktu yang berbeda. Akan tetapi,
hasil pada Gambar 14 jelas menunjukan episode kuat dari sedimentasi dan suatu
korelasi yang baik dengan statistik perpangkatan (fraktal).

Gardner et al. (1987) telah melakukan korelasi pada perubahan elevasi, dengan
mengukur laju pengangkatan tektonik dan erosi. Dalam kedua kasus tersebut mereka
menemukan korelasi bagus peramaan perpangkatan (fraktal). Snow (1992) telah
menerapkan model tangga rumah setan seperti di atas untuk menjelaskan hasil-hasil
mereka. Untuk pengangkatan (uplift) Gardner et al. (1987) menemukan bahwa laju
pengangkatan Ru berhubungan dengan interval τu dengan:

Ru ~  u 0, 254 (14)

dan dari persamaan (14) didapat D = 0,764. Untuk erosi ini Turcotte (1997) mendapat
kan laju erosi Re terkait dengan interval τe dengan:

Re ~  e 0 ,185 (15)

dan dari persamaan (14) kita mempunyai D = 0,815.

Model anak tangga setan pada sedimentasi telah dapat dilakukan untuk orde yang
makin tinggi dan laju pengendapan akan menaik berdasar hal itu. Juga ketebalan dari
lapisan akan menjadi makin kecil. Dalam batas orde tak berhingga, laju pengendapan
akan menjadi tak berhingga dan ketebalan lapisan akan menjadi nol, dal hal ini sulit
diterima nalar dari sudut pandang fisika.
Sehingga, jika konstruksi matematik dari suatu himpunan Cantor diterapkan pada
suatu problem fisika real, semisal pengendapan sedimen, maka perlu dilakukan
pemotongan model pada orde berhingga. Juga, harus ditekankan bahwa ketebalan
lapisan pada tumpukan sedimen yang aktual akan memiliki suatu distribusi statistik,
dan bukan memiliki ketebalan yang sama sebagaimana dalam pemodelan ini. Hal
tersebut adalah masalah umum bila sebuah model fraktal deterministik (himpunan
Cantor) diaplikasikan pada suatu problem fraktal statistik (lapisan-lapisan endapan
pada suatu tumpukan sedimen).

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 19


τ selama terjadi pengendapan.
Gambar 14. Ketergantungan laju pengendapan sedimen R, rentang waktu
Gambar bulat menunjukan laju pengendapan sedimen fluvial dari cekungan sedimen
modern dan penampang stratigrafis purba (Sadler and Strauss, 1990). Garis lurus
menunjukan korelasi fraktal dari persamaan (14) dengan memakai D = 0,336.

***
Bahan / Pustaka :
Turcotte, D.L., 1997; Fractals and Chaos in Geology, Chapter-2, 2nd ed, Cambridge
University Press, New York, pp6 – 24.
Daftar pustaka yang terkutip pada teks yaitu:
Andrle, R. (1992). Estimating fractal dimension with the divider method in
geomorphology, Geomorph. 5,13 141.
Brown, S. R., Scholz, C. H. & Rundle, J. B. (1991). A simplified spring-block model of
earthquakes, Geophys. Res. Lett. v.18, pp.215-218.
Bruno, B. C., Taylor, G. J., Rowland, S. K. & Baloga, S. M. (1994). Quantifying the
effect of rheology on lava-flow margins using fractal geometry, Bull. Volcan. 56,
pp.193-206.
Bruno, B.C., G.J Taylor, S.K. Rowland, P.G. Lucey, and S.Self, (1992). Lava flows are
fractals, Geophys. Res. Lett. 19, pp.305-308.
Bruno, B. C., Taylor, G. J., Rowland, S. K. & Baloga, S. M. (1994). Quantifying the
effect of rheology on lava-flow margins using fractal geometry, Bull. Volcan. 56,
pp.193-206.
Culling, W. E. H. (1960). Analytical theory of erosion. Jour. Geol. 68, pp336-344.
Gardner, T. W., Jorgensen, D. W., Shuman, C. & Lemieux, C. R. (1987). Geomorphic
and tectonic process rates: Effects of measured time interval, Geology vol.15, pp.259-
61.
Gaonach, H., Lovejoy, S. & Stix, J. (1992). Scale invariance of basaltic lava flows and
their fractal dimensions, Geophys. Res. Lett. V.19, pp.785-88.
Goodchild, M.F.(1980); Fractals and the accuracy of geographical measures, Math. Geol.
12, pp. 85-98.
Hsui, A.T., Rust, K.A. & Klein, G.D.(1993); A fractal analysis of quaternary, Cenozoic-
Mesozoic, and Late Pennsylvanian sea level changes, J. Geophys. Res. Vol.98, no.21,
pp.963-67.
Kent, C. & Wong, J. (1982). An index of littoral zone complexity and its measurement,
Can. J. Fish. Aquat. Sci. 39, pp.847-63.
Korvin, G. (1992). Fractal Models in the Earth Sciences, Elsevier, Amsterdam, 381 p.
Mandelbrot, B.B. (1967). How long is the coast of Britain? Statistical self-similarity and
fractional dimension, Science 156, pp.636-638.

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 20


Mandelbrot, B. B. (1975). Stochastic models for the earth's relief, the shape and the
fractal dimension of the coastlines, and the number-area rule for islands, Proc. Nat.
Acad. Sci. USA 72, pp.3825-3828.
Mandelbrot, B. B. (1982). The Fractal Geometry of Nature, WH.Freeman, San Francisco.
Meybeck, M. (1995). Global distribution of lakes, in: A. Lerman, D. M. Imboden & J. R.
Gat. (eds.), Physics and Chemistry of Lakes, 2nd ed., pp. 1-35, Springer-Verlag,
Berlin.
Pfeiffer, P. & Obert, M. (1989). Fractals: Basic concepts and terminology, in: D. Avnir
(ed); The Fractal Approach to Heterogeneous Chemistry, John Wiley & Sons,
Chichester, pp.11-43
Plotnick, R. E. (1986). A fractal model for the distribution of stratigraphic hiatuses, J.
Geol. 94, pp.885-90.
Richardson, L. F. (1961). The problem of continguity: An appendix of statistics of deadly
quarrels, General Systems Yearbook, no.6, pp.139-87.
Sadler,P.M. & Strauss,D.J. (1990); Estimation of completeness of stratigra-phical
sections using empirical data and theoretical models, J. Geol.Soc. London vol.147,
no.47, pp.1-85.
Snow, R. S. (1992). The Cantor dust model for discontinuity in geomorphic process rates,
Geomorph. 5, pp.185-94.
Turcotte, D. L. (1995). Scaling in geology: Landforms and earthquakes, Proc. Natl. Acad.
Sci. USA, vol.92, pp.6697-6704.

Bahan Ajar 5. Menghitung Dimensi Fraktal 21

Anda mungkin juga menyukai