Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH PENINGKATAN VISKOSITAS MUKUS SERVIKS

TERHADAP MENURUNNYA ANGKA KEBUNTINGAN


PADA SAPI ACEH

Influence Of Increasing The Viscosity Mucus Cervix to The Numbers of


pregnant on Aceh Cattle

M. Yuswar1, Tongku Niswan Siregar2 dan Cut Nila Thasmi2.


1
Program StudiPendidikanDokterHewanFakultasKedokteranHewanUniversitasSyiah Kuala
2
Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala
E-mail: muhamadyuswar@gmail.com

ABSTRACK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh peningkatan viskositas mukus
serviks terhadap menurunnya angka kebuntingan sapi aceh setelah Inseminasi
Buatan (IB). Penelitian ini menggunakan delapan ekor sapi aceh betina dengan
umur 3-7 tahun dan memiliki bobot badan 150-250 kg, sudah pernah beranak, dan
memiliki dua kali siklus reguler. Seluruh sapi yang memiliki Cl disinkronisasi
menggunakan prostaglandin F2 alfa (PGF2α) dengan dosis 25 mg dengan injeksi
tunggal. Pengamatan berahi dilakukan selama 30 menit pada pukul 06.00 dan
18:00 WIB setelah penyuntikan PGF2α terakhir. Sapi dianggap berahi apabila
menunjukkan gejala berahi seperti vulva merah dan bengkak, gelisah, keluarnya
mukus serviks dan menurunnya nafsu makan. Pengambilan sampel dilakukan
pada saat keluarnya mukus serviks yang pertama. Sampel mukus serviks dikoleksi
dengan metode aspirasi menggunakan kateter steril dan disposible syringe 50 ml.
Viskositas mukus serviks delapan ekor sampel sapi menunjukkan konsistensi
yang berbeda-beda yaitu lima ekor sapi memperlihatkan viskositas kental (+++)
dengan persentase kebuntingan 20%, dua ekor sapi dengan viskositas sedang (++)
dengan persentase kebuntingan 50%, dan satu ekor sapi dengan viskositas tipis
atau encer (+) dengan persentase kebuntingan 100%. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan viskositas mukus serviks akan menurunkan persentase kebuntingan
sapi aceh.

ABSTRACK
This study aims to determine the influence of increased cervical mucus
viscosity on decreasing Aceh cattle pregnancy rate after Artificial Insemination
(AI). This study uses eight female Aceh cattle aged 3-7 years and has a body
weight of 150-250 kg, has already given birth, and has two regular cycles. All
cattle that have Cl are synchronized using prostaglandin F2 alpha (PGF 2α) at a
dose of 25 mg with a single injection. Observe observation was carried out for 30
minutes at 06.00 and 18:00 WIB after the last PGF 2α injection. Cattle are
considered lusty if they show symptoms of lust such as red vulva and swelling,
restlessness, cervical mucus discharge and decreased appetite. Sampling was
done at the time of the first cervical mucus discharge. Cervical mucus samples
were collected by aspiration method using a sterile catheter and 50 ml disposible
syringe. Viscosity of cervical mucus eight cattle showed different consistency, ie
five cattle showed thick viscosity (+++) with 20% pregnancy percentage, two
cattle with moderate viscosity (++) with 50% pregnancy percentage, and one
cattle with thin or dilute (+) viscosity with 100% pregnancy percentage. It can be
concluded that increasing viscosity of cervical mucus will reduce the percentage
of Aceh cattle pregnancy.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang dikembangbiakkan di
Indonesia. Sapi banyak dipelihara oleh para peternak dan petani di pedesaan
karena selain potensial untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarga,
ternak sapi juga berperan dalam upaya peningkatan gizi (Silaban dkk., 2012).
Sapi aceh merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh, Bali,
Madura, Pesisir). Sapi Sumba-Ongole (SO) dan Java-Ongole (PO) juga dianggap
sebagai bangsa sapi lokal Indonesia (Abdullah, 2006). Sapi aceh merupakan salah
satu jenis ternak yang banyak dipelihara dan tersebar di Provinsi Aceh. Sapi ini
merupakan hasil persilangan antara sapi lokal (Bos sondaicus) dengan sapi
turunan zebu dari India (Bos indicus) (Basri, 2006).
Khusus untuk provinsi Aceh, ternak sapi mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat karena petani telah biasa memelihara ternak
sebagai sumber protein hewani, tenaga pengolah sawah pertanian, dan tabungan.
Program menjaga kemurnian sapi aceh di Provinsi Aceh untuk memperkaya aset
plasma nutfah nasional masih terus berlanjut hingga masa yang akan datang.
Program ini juga harus disertai dengan upaya peningkatan produktivitas sapi aceh
dan dapat berdampak pada peningkatan nilai ekonomi sapi serta dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat di provinsi Aceh (Umartha, 2005).
Tomaszewska dkk. (1988) yang disitasi Wawo (2014) menyatakan bahwa
aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak. Dapat
dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi.
Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efisiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat
dan efisiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat juga dilihat dari
jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan
anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling),
bobot potong dan pertambahan bobot badan (Wawo, 2014).
Menurut Romjali dkk. (2007) yang disitasi Armansyah dkk. (2011)
walaupun laju pertumbuhannya tidak sebesar sapi silangan, tetapi sapi potong
lokal mampu menunjukkan produktivitas dan efisiensi ekonomi maksimal pada
kondisi terbatas. Menurut laporan FAO (1996) yang disitasi Arum dkk. (2013)
penyebaran sapi aceh terdapat di Aceh dan Sumatera Utara dengan jumlah yang
tidak diketahui sampai saat ini. Namun, dari survei yang sudah dilakukan
diketahui bahwa populasi sapi aceh berada pada posisi yang mengkhawatirkan
dan mengalami penurunan.
Salah satu cara untuk meningkatkan populasi sapi adalah melalui teknik
Inseminasi Buatan (IB). Teknik IB merupakan metode perkawinan paling ideal
untuk meningkatkan populasi ternak, meningkatkan mutu genetika ternak, dan
mempertahankan kemurnian genetika ternak. Hal-hal yang perlu diketahui
sebelum melaksanakan IB di antaranya adalah penentuan waktu berahi sapi betina
dengan tepat (Abidin dkk., 2012).
Tingkat keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu pemilihan sapi
akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi berahi oleh para peternak dan
keterampilan inseminator (Hastuti, 2008). Keberhasilan IB dapat dikarakterisasi
dengan menilai karakteristik dari mukus serviks (Benbia dkk., 2011).
Mukus serviks dihasilkan oleh sel-sel sekretori endoserviks, dimana kualitas
dan kuantitasnya tergantung kepada status hormon gonad selama siklus estrus
(Tsiligianni dkk., 2001). Fungsi utama mukus serviks adalah transportasi
spermatozoa dan sebagai barier terhadap infeksi antimikroba. Mukus serviks
terdiri atas 92-95% air, karbohidrat, asam amino, lipid, dan campuran
makromolekul terlarut seperti protein dan polisakarida (Schumacher, 1970).
Mukus serviks juga mengandung enzim yakni alkalin fosfatase (ALP), laktat
dehidrogenase (LDH) dan α -amylase (Tsiligianni dkk., 2001).
Karakteristik mukus serviks dapat memengaruhi angka konsepsi, seperti
sifat atau karakteristik dan jumlahnya, bervariasi sesuai dengan hormon yang
dominan pada tahap siklus estrus (Bernardi dkk., 2016) dan Lim (2014) Serviks
dan sekresinya memengaruhi kinerja reproduksi. Mukus serviks diproduksi oleh
sel sekretori endoserviks. Evaluasi mukus serviks secara tidak langsung dapat
digunakan sebagai indikator stadium siklus atau status hormonal pada hewan
domestik (Benbia dkk., 2011). Sekresi serviks memegang peran dalam ketahanan
spermatozoa dan transportasi ke rongga uterus (Kumar dkk., 2012).
Mukus serviks memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas
spermatozoa pada saluran reproduksi betina (Modi dkk., 2011). Karakteristik fisik
mukus serviks yang paling penting adalah pH, viskositas, elastisitas dan
kristalisasi (Tsiligianni dkk., 2001). Toelihere (1977) yang disitasi Furqon (2017)
menyatakan bahwa pH mukus serviks berada di antara 6,6-7,5. Peningkatan pH
akan menyebabkan penurunan angka konsepsi pada sapi (peranakan FH),(Furqon,
2017). Sebaliknya, Rizvi dkk. (2009) menyatakan bahwa terjadi peningkatan
jumlah spermatozoa immotil jika pH menurun dari 6,5 menjadi 6,0.
Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara mukus
serviks dengan motilitas spermatozoa (Gaddum-Rosse, 1981; Yousef, 1981).
Ketidakseimbangan hormonal dapat direfleksikan dalam mukus serviks dan
mempunyai konsekuensi terhadap kemampuan penetrasi spermatozoa. Beberapa
perubahan mukus serviks dapat dijadikan penentuan waktu optimal inseminasi
buatan (Tsiligianni dkk., 2000). Mukus serviks yang jernih yang dikeluarkan pada
saat inseminasi buatan mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan angka
konsepsi (Loeffler dkk., 1999). Mukus serviks yang dilepaskan dengan kondisi
yang abnormal akan menekan performa reproduksi (Mahmoudzadeh dkk., 2001).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada mukus juga dapat menjadi faktor
penghambat terjadinya pembuahan. Verma dkk. (2014) melaporkan angka
conception rate pada kerbau murrah berdasarkan viskositas mukus serviks kental;
sedang; dan tipis masing-masing adalah 11,11; 47,54; dan 26,66%. Benardi dkk.
(2016) melaporkan, angka keberhasilan IB pada sapi Holstein berdasarkan tingkat
viskositas mukus serviks adalah 9% pada mukus serviks yang kental, 30% pada
mukus serviks yang sedang, dan 61% pada mukus serviks yang tipis.
Studi untuk menguji fertilitas selama ini didasarkan pada status hormonal
(Thasmi dkk. 2017), pemeriksaan kehadiran embrio (Siregar dkk., 2017 a), dan
infeksi bakteri pada uterus (Rafika, 2016). Metode tersebut relatif lebih sulit,
membutuhkan waktu yang lama, serta biaya yang relatif mahal. Sampai saat ini
belum ada laporan mengenai pengaruh perbedaan viskositas mukus serviks
terhadap persentase kebuntingan sapi aceh, dan pengaruh meningkatnya viskositas
mukus serviks terhadap menurunnya angka kebuntingan pada sapi aceh. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh
peningkatan viskositas mukus serviks terhadap menurunnya angka kebuntingan
pada sapi aceh.
MATERIAL DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di UPT. Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala sebagai tempat pengambilan sampel penelitian.
Pemeriksaan mukus serviks dilakukan di Laboratorium Reproduksi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Penelitian dilakukan pada bulan
Maret sampai dengan April 2018.

Alat dan Bahan Penelitian


Alat yang digunakan meliputi pipet glass steril, kotak penyimpanan mukus
serviks, disposible syringe 50 ml, kateter, kertas label, gun inseminasi buatan (IB),
ember, gunting, plastic sheat, plastic glove, tissue dan alat tulis. Bahan penelitian
yang digunakan adalah sapi aceh fertil, prostaglandin F2α (PGF2α, LutalyseTM,
Pfizer, Belgia), straw beku dan air hangat.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan delapan ekor sapi betina dewasa, umur
3-7 tahun. Bobot badan 150-250 kg, sudah pernah beranak dan minimal telah
mengalami dua kali siklus reguler, memiliki kondisi tubuh sehat yang terdapat
pada UPT. Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.
Sapi yang akan diteliti merupakan sapi aceh yang memiliki kriteria sesuai dengan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2907/Kpts/OT.140/6/2011 Tentang
Penetapan Rumpun Sapi Aceh, yakni warna tubuh dominan merah kecokelatan.
Di sekeliling mata, telinga bagian dalam dan bibir atas berwarna keputih-
putihan, paha belakang berwarna merah beta, pantat berwarna coklat muda, kaki
berwarna keputih-putihan, ekor bagian ujung berwarna hitam, bentuk muka pada
umumnya cekung, bentuk punggung pada umumnya cekung, bentuk tanduk
mengarah ke samping dan melengkung ke atas, bentuk telinga kecil mengarah ke
samping tidak terkulai.

Prosedur Penelitian
Sinkronisasi Berahi
Semua sapi betina disinkronisasi menggunakan hormon PGF2α yang
diinjeksi secara intramuskulus sebanyak 5 ml. Apabila hewannya menunjukkan
gejala berahi maka hewan akan langsung dilakukan IB, hewan yang tidak
menunjukkan gejala berahi pada saat penyuntikkan pertama, maka hewan akan
dilakukan penyuntikkan kedua dengan selang waktu 10-11 hari dihitung dari saat
penyuntikkan pertama (Siregar dkk., 2017 b). Deteksi berahi dilakukan sebanyak
3 kali per hari yaitu pada pagi, siang dan sore hari selama 30 menit. Sapi dianggap
berahi apabila telah muncul tanda-tanda berahi seperti vulva merah dan bengkak,
gelisah, menaiki sapi lain, menurunnya nafsu makan dan keluarnya mukus
serviks.

Deteksi Berahi

Deteksi berahi dilakukan sebanyak tiga kali per hari yaitu pagi (08.00
WIB), siang (12.00 WIB), dan sore (16.00WIB) hari selama 30 menit (Siregar
dkk., 2017 b). Sapi dianggap berahi dengan tanda-tanda berahi primer dan
sekunder seperti menaiki sapi lain, gelisah, vulva merah dan bengkak, keluarnya
mukus serviks, dan penurunan nafsu makan (Ramli dkk., 2016).

Koleksi dan Penilaian Viskositas Mukus Serviks


Koleksi mukus serviks dan IB dilakukan saat keluarnya mukus serviks
pertama yakni sekitar 12-16 jam sejak gejala-gejala berahi awal muncul (vulva
merah, basah, bengkak, gelisah, dan menurunnya nafsu makan). Sebelum
melakukan pengoleksian mukus serviks organ genitalia eksternal seluruh sapi
dibersihkan dengan alkohol 70% dan dikeringkan dengan kapas. Sampel mukus
dikumpulkan dengan metode aspirasi menggunakan kateter steril yang
dihubungkan dengan disposible syringe 50 ml. Kateter dimasukan melalui vagina
yang diikuti dengan palpasi rektal agar mudah mengarahkan kateter masuk ke
serviks atau dekat lipatan vagina. Selanjutnya sampel mukus serviks ditampung
dalam tabung reaksi bervolume (tabung penyimpanan mukus). Pemeriksaan
mukus serviks dilakukan dengan diteteskan sebanyak 2-3 tetes di atas gelas objek
bersih, kemudian gelas objek dimiringkan dengan sudut 45º, viskositas
dikelompokkan ke dalam tiga tingkat konsistensi yang berbeda yaitu kental,
sedang, dan tipis. Kategori kental apabila lendir menggantung tidak putus,
diameter lendir lebar. Kategori sedang apabila lendir menggantung tidak putus,
diameter lendir sedang. Kategori encer apabila lendir menggantung putus,
diameter lendir kecil (Irfan dkk., 2017).

Inseminasi Buatan
Setelah menyiapkan peralatan IB kemudian mengambil straw dari
container nitrogen (N2 cair) dengan menggunakan pinset. Kemudian melakukan
thawing straw dalam air hangat (suhu 37°C) selama 7-18 detik, selanjutnya
mengangkat straw dan dikeringkan menggunakan tissue, kemudian bagian sumbat
straw dimasukkan ke dalam lubang pistolet, bagian klem ujung straw yang di luar
pistolet digunting kemudian dipasangkan plastic sheat dan dieratkan dengan
cincin penguncinya agar bagian ujung straw yang digunting terselubungi secara
sempurna lalu memasukkan tangan kiri yang sudah ada hand glove dan pelicin
melalui rektal untuk memegang bagian serviks, gun IB dimasukkan melalui
vagina dan ujungnya di arahkan ke pintu serviks sampai cicin serviks ketiga
kemudian semen dideposisikan secara perlahan sampai habis lalu gun IB
dikeluarkan secara perlahan.

Pemeriksaan Kebuntingan
Deteksi kebuntingan dilakukan dengan metode non return rate yaitu
dengan mengamati timbulnya fase siklus berahi selanjutnya (18-21 hari) setelah
dilakukan IB, apabila tidak menunjukkan kembali gejala berahi maka hewan akan
dinyatakan positif bunting dan apabila hewan mengalami berahi kembali maka
hewan dinyatakan negatif bunting.

Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengambilan mukus serviks pada


sapi aceh fertil menunjukkan konsistensi yang bervariasi. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini disajikan dalam Tabel 1. Dari hasil pemeriksaan mukus serviks
terhadap delapan ekor sampel sapi menunjukkan konsistensi yang berbeda-beda
yaitu lima ekor sapi memperlihatkan viskositas kental, dua ekor sapi dengan
viskositas sedang, dan satu ekor sapi dengan viskositas tipis atau encer. Perbedaan
viskositas dipengaruhi oleh peningkatan air dan konsentrasi elektrolit dalam
mukus serviks, mengubah glikoprotein dan rasio air yang mengarah ke perubahan
pada sifat mukus serviks, sehingga meningkatkan jumlah mukus serviks, mukus
serviks lebih encer, tembus, tidak kental sehingga memudahkan spermatozoa
untuk melintas menuju ke tempat fertilisasi dibandingkan dengan kuantitas mukus
sedikit yang tidak menguntungkan untuk penetrasi spermatozoa (Rutllant dkk.,
2005).

Tabel 1. Persentase Kebuntingan Sapi Aceh Setelah Inseminasi Buatan pada


Kondisi Viskositas Mukus Serviks yang Berbeda

No Kriteria Mukus Jumlah Jumlah sapi Persentase


sapi (n) bunting kebuntingan
(%)
1. Mukus serviks kental (+ + +) 5 1 20
2. Mukus serviks sedang (+ +) 2 1 50
3. Mukus serviks tipis (+) 1 1 100
Jumlah dan konsistensi lendir akan berubah tergantung fase siklus berahi dan
berubah tergantung pada variasi tingkat hormonal (Verma dkk., 2014). Selama
siklus berahi, perubahan karakteristik fisik lendir servik dapat digunakan untuk
menunjukkan waktu yang optimal untuk melakukan IB (Tsiligianni dkk., 2011).
Proses pembuahan alami umumnya terjadi pada saat hewan dalam keadaan
estrus, yang salah satu tandanya pada hewan betina yaitu adanya pengumpulan
sejumlah mukus di bagian vagina. Mukus estrus ini tampaknya, di samping
sebagai media bagi spermatozoa untuk mencapai tempat pembuahan, juga sebagai
selektor terhadap spermatozoa (Cox dkk., 1997; Hafez dan Hafez, 2000).
Persentase kebuntingan pada viskositas mukus serviks kental; sedang; dan
encer masing-masing adalah 20; 50; dan 100%. Hasil tersebut sesuai dengan
laporan Sukh Deo dan Roy (1971), bahwa tingkat konsepsi yang lebih tinggi
diamati pada sapi yang fertil dengan konsistensi encer (100%). Konsistensi mukus
serviks yang encer meningkatkan kelangsungan transportasi dan kehidupan
spermatozoa. Menurut Mufti dkk. (2010) tingkat konsepsi 47,54% terjadi pada
mukus serviks yang memiliki konsistensi encer sampai konsistensi sedang, yang
menyebabkan meningkatnya migrasi spermatozoa pada saluran reproduksi betina.
Gabungan antara mukoprotein dan penetrasi yang lemah dari sperma akan
menghalangi pergerakan progresif spermatozoa yang menjadi penyebab tingkat
konsepsi lebih rendah pada mukus serviks yang memiliki konsistensi kental.
Dari delapan sampel sapi yang digunakan satu ekor sapi yang
menunjukkan mukus serviks tipis atau encer. Konsistensi encer atau tipis
menyebabkan sel spermatozoa dapat bermigrasi pada saluran reproduksi betina.
Bernardi dkk. (2016) melaporkan bahwa sapi fertil yang menampilkan kondisi
lendir encer dan jernih mempunyai angka kebuntingan sebesar 65% dan sapi
dengan lendir kental diperoleh angka kebuntingan sebesar 40%.
Semakin tipis atau encer mukus serviks semakin cepat penetrasi sel
spermatozoa untuk menuju sel ovum sehingga dapat diperoleh angka kebuntingan
yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Murase dkk. (1990) secara in
vitro, bahwa spermatozoa bergerak secara linier dengan arah goresan lendir estrus.
Pergerakan spermatozoa kemungkinan dipermudah dengan adanya saluran-
saluran dalam lendir yang mudah ditembus dan menuntun spermatozoa untuk
bergerak maju. Keadaan ini terjadi atas pengaruh hormon estrogen pada saat
estrus yang berperanan mengatur makromolekul glikoprotein sehingga jarak antar
molekul lendir estrus menjadi 2-5 µm dan membentuk saluran yang bisa dilalui
oleh spermatozoa (Hafez dan Hafez, 2000).
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peningkatan


viskositas mukus serviks akan menurunkan persentase kebuntingan sapi aceh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.A.N., R.R. Noor., H. Martojo., D.D. Solihin, dan E. Handiwirawan.


2006. Keragaman fenotipik sapi aceh di Nanggroe Aceh Darussalam. J.
Indon. Trop. Anim. Agric. 32(1):11-21.
Abidin, Z., Y.S. Ondho, dan B. Sutiyono. 2012. Penampilan berahi sapi Jawa
berdasarkan Poel 1, Poel 2, dan Poel 3. Anim. Agricult. J. 1(2):86-90.
Armansyah, T., Al-Azhar, dan T.N. Siregar. 2011. Analisis isozim untuk
mengetahui variasi genetik sebagai upaya pemurnian ras sapi aceh.
Jurnal Veteriner. 12(4):254-262.
Arum, W.P., T.N. Siregar, dan J. Melia. 2013. Efek pemberian ekstrak hipofisa
sapi terhadap respons superovulasi sapi aceh. J. Med. Vet. 7(2):71-74.
Basri, H. 2006. Penelusuran Arah Pembibitan Sapi Aceh. Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh.
Benbia, S., A. Kalla., M. Yahia., K. Belhadi, and A. Zidani. 2011. Enzymes
activity in bovine cervical mucus related to the time of ovulation and
insemination. J. Biol. Agricult. Food biotechnol. Engineering.
5(11):664-666.
Bernardi, S., A. Rinaudo, and P. Marini. 2016. Cervical mucus characteristics and
hormonal status at insemination of holstein cows. IJVR. 1(17):45-49.
Cox, J.F, C. Martinez, S. Lagos, F. Saravia and R. Sasmay. 1997. Sperm
migration in cervical mucus in goats. II realtionship with colonization of
the oviduct and fertilization efficiency. Theriogenology 47(1): 254.
Deo, S., Roy, D.J., 1971. Investigations on repeat breeding cows and buffaloes
studies on physical properties of cervical mucus. IndianVet. 48, 479–484.
Diskeswannak Aceh. 2011. Profil Sapi Aceh. Dinas Kesehatan Hewan dan
Peternakan Provinsi Aceh. Banda Aceh.
Diskeswannak Aceh, 2016. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Hewan dan
Peternakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Furqon, A. 2017. Hubungan body condition score (BCS), pH dan kekentalan
sekresi estrus terhadap non return rate (NR) dan conception rate (CR)
pada inseminasi buatan (IB) sapi peranakan Fries Holland. Program
Studi Peternakan Universitas Islam Malang.
Frandson, R.D. 1986. Anatomi dan Fisiologi Ternak. (Diterjemahkan oleh B.
Srigandono dan K. Praseno). Cetakan keempat, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Gaddum-Rosse, P. 1981. Some observations on sperm transport through the
uterotubal junction of the rat. American J. Anat. 160: 333-341.
Hafez, B. and E.S.E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Ed.
Lippincott William and Wilkins. Philadelphia.
Hastuti, D. 2008. Tingkat keberhasilan inseminasi buatan sapi potong ditinjau
dari angka konsepsi dan service per conception. Mediagro. 04(01):12-20.
Ismail, M. 2009. Onset dan intensitas estrus kambing pada umur yang berbeda.
J. Agroland. 16(2):180-186.
Kumar, A, S.Mehrotra, S.S. Dangi, G. Singh, M. Singh, and A.S. Mahla. 2010. Amylase
activity in cervical mucus and serum during estrus in normal and repeat breeder
cattle. Vet. World. 5(8):486-488.
Lim, H., J. Son., H. Yoon., K. Baek., T. Kim., Y. Jung, and E. Kwon. 2014. Physical
properties of estrus mucus in relation to conception rates in dairy cattle. J. Emb.
Trans. 2(29):157-161.
Loeffler, S.H., M.J. de Vries, Y.H. Schukken, A.C. de Zeeuw, A.A. Dijkhuizen, F.M. de
Graaf, and A. Brand. 1999. Use of technician scores for body condition, uterine tone
and uterine discharge in a model with disease and milk production parameters to
predict pregnancy risk at first AI in Holstein dairy cows. Theriogenology 52:1267-
1284.
Lopez-Gatius, F., J. Rutllant., J. Labernia., A. Ibarz., M. Lopez-Bejar, dan Santolaria, P.
1996. Rheological behavior of the vaginal fluid of dairy cows at estrus.
Theriogenology. 46(1):57-63.
Mahmoudzadeh, A.R., M. Tarahomi, and H. Fotoohi. 2001. Effect of abnormal vaginal
discharge at oestrus on conception rate after artificial insemination in cows. Anim.
Sci. 72: 535- 538.
Modi, L.C., B.N. Suthar., H.C. Nakhashi., V.K. Sharma, dan H.H. Panchasara. 2011.
Physical characteristic of estrual cervical mucus and conception rate in repeat
breeder kankrej cattle. IJAVMS. 5(4):416-423.
Mufti, M.M.R., M.K. Alam, M.S. Sarker, A.B. Bostami, and N.G. Das,. 2010. Study on
factors affecting the conception rate in red chittagong cows. Bangladesh. J. Anim.
Sci. 39 (1&2):52-57.
Murase, T., K. Okuda, and K. Sato. 1990. Assessment of bull fertility using mucus
penetration test and a human chorionic gonadotrophin stimulation test.
Theriogenology 34 (5): 801-812.
Rafika, I. 2016. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Gram Negatif pada Uterus Sapi Aceh yang
Mengalami Repeat Breeding. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syah
Kuala. Banda Aceh .
Ramli, M., T.N, Siregar., C.N. Thasmi., Dasrul., S. Wahyuni, dan A. Sayuti. 2016. Hubungan
antara intensitas estrus dengan konsentrasi estradiol pada sapi aceh pada saat
inseminasi. J. Med. Vet. 1(10):27-30.
Rizvi, A.A., M.I. Quraishi., V. Sarkar., C. Dubois., S. Biro, dan J. Mulhall. 2009. The effect
of pH and viscosity on bovine spermatozoa motility under controlled
conditions. Int. Urol. Nephrol. 41(3):523-530.
Roelofs, J., F. Lopez–Gatius., R.H.F. Hunter., F.J.C.M.V. Eerdenburg, dan C. Hanzen.
2010. When is a cow in estrus? Clinical and practical aspects. Theriogenology.
74(3):327–344.
Rutllant, J. M. Lopez-Bejar, and F. Lopez-Gatius. 2005. Ultrastructural and rheological
properties of bovine vaginal fluid and its relation to sperm motility and fertilisation:
a review. Reprod. Domest. Anim. 40: 79-96.
Saurez, S.S., dan Pacey, A.A., 2006. Sperm transport in the female reproductive tract.
Hum. Reprod. 12(1):23-37.
Schumacher, G.F.B. 1970. Biochemistry of cervical mucus. Fert. Steril. 21:697-700.
Silaban, N.L., E. T. Setiatin dan Sutopo. 2012. Tipologi ferning sapi jawa Brebes betina
berdasarkan periode berahi. Anim. Agricult. J. 1(1): 777-788.
Siregar, T.N., F. Wajdi, M. Akmal, Y. Fahrimal, M. Adam, B. Panjaitan, A. Sutriana, R.
Daud, T. Armansyah, N. Meutia. 2017 a. Embryonic death incidents due to heat
stress and effect and therapy with gonadothropin releasing hormone (GnRH) in aceh
cattle. Vet. Med. Zoot. 75(97):70-74.
Siregar, T.N., I. Agustina., D. Masyitah., Al-Azhar., Dasrul., C.N. Thasmi., R. Sulaiman, and
R. Daud. 2017 b. Physical Properties of Cervical Mucus of Repeat Breeder Aceh
Cattle. J. Vet. 3(18):378-382.
Sukh Deo and D.J. Roy. 1971. Investigations on repeat breeding cows and buffaloes-studies
on physical properties of cervical mucus. Indian Vet. J. 48: 479-484.
Thasmi, C.N., T.N. Siregar, S. Wahyuni, D. Aliza, H. Hamdan, B. Panjaitan, N. Asmilia and
H. Husnurrijal. 2017. Estrus performance and steroid level of repeat breeding aceh
cattle synchronized with Pgf2 alfa. Veterinaria. 66(1):36-41.
Toelihere, M.R, 1977, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama, Institut Pertanian
Bogor, Hal: 52-57, 76-85
Tsiligianni, T.H., A. Karagiannidis, P. Brikas, dan P.H. Saratsis. 2000. Enzyme activity in
bovine cervical mucus during spontaneous and induced estrus by progesterone
and/or PGF2α. Canadian J. Vet. Res. 67:189-193.
Tsiligianni, T.H., I.A. Karagiannidis., P. Brikas, and P.H. Saratsis. 2001. Physical properties
of bovine cervical mucus during normal and induced (progesterone and/or PGF 2ά)
estrus. Theriogenology. 55(2): 629-640.
Tsiligianni, T., G. S. Amiridis, E. Dovolou, I. Menegatos, S. Chadio, D. Rizos and A. G.
Adan. 2011. Association Between Physical Properties of Cervical Mucus and
Ovulation Rate in Superovulated Cows. The Canada Journal of Veterinary Research.
75: 248-253.
Umartha, B.A. 2005. Mengenal karakteristik sapi Aceh. Banda Aceh (Indonesia): Balai
Pembibitan Ternak Unggul Press.
Verma, K.K., S. Prasad, A. Kumaresan, T.K. Mohanty, S.S. Layek, T. K.Patbandha, and S.
Chand. 2014. Characterization of physico-chemical properties of cervical mucus in
relation to parity and conception rate in Murah buffaloes. Vet. World. 7(7):467-471.
Wahyudi, L., T. Susilawati, dan N. Isnaini. 2014. Tampilan reproduksi hasil inseminasi
buatan menggunakan semen beku hasil sexing pada sapi persilangan ongole di
peternakan rakyat. J. Ternak Tropika. 1(15):80-88.
Wawo, A.A. 2014. Pengaruh pejantan terhadap tingkat kebuntingan dan berat lahir pada
sapi bali yang dipelihara secara semi-intensif. Skripsi. Jurusan Produksi Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar.
Yousef, A. 1981. Note on the biochemical aspects of bovine cervical mucus. Indian J. Anim.
Sci. 51:1082-1085.

Anda mungkin juga menyukai