ABSTRACK
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh peningkatan viskositas mukus
serviks terhadap menurunnya angka kebuntingan sapi aceh setelah Inseminasi
Buatan (IB). Penelitian ini menggunakan delapan ekor sapi aceh betina dengan
umur 3-7 tahun dan memiliki bobot badan 150-250 kg, sudah pernah beranak, dan
memiliki dua kali siklus reguler. Seluruh sapi yang memiliki Cl disinkronisasi
menggunakan prostaglandin F2 alfa (PGF2α) dengan dosis 25 mg dengan injeksi
tunggal. Pengamatan berahi dilakukan selama 30 menit pada pukul 06.00 dan
18:00 WIB setelah penyuntikan PGF2α terakhir. Sapi dianggap berahi apabila
menunjukkan gejala berahi seperti vulva merah dan bengkak, gelisah, keluarnya
mukus serviks dan menurunnya nafsu makan. Pengambilan sampel dilakukan
pada saat keluarnya mukus serviks yang pertama. Sampel mukus serviks dikoleksi
dengan metode aspirasi menggunakan kateter steril dan disposible syringe 50 ml.
Viskositas mukus serviks delapan ekor sampel sapi menunjukkan konsistensi
yang berbeda-beda yaitu lima ekor sapi memperlihatkan viskositas kental (+++)
dengan persentase kebuntingan 20%, dua ekor sapi dengan viskositas sedang (++)
dengan persentase kebuntingan 50%, dan satu ekor sapi dengan viskositas tipis
atau encer (+) dengan persentase kebuntingan 100%. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan viskositas mukus serviks akan menurunkan persentase kebuntingan
sapi aceh.
ABSTRACK
This study aims to determine the influence of increased cervical mucus
viscosity on decreasing Aceh cattle pregnancy rate after Artificial Insemination
(AI). This study uses eight female Aceh cattle aged 3-7 years and has a body
weight of 150-250 kg, has already given birth, and has two regular cycles. All
cattle that have Cl are synchronized using prostaglandin F2 alpha (PGF 2α) at a
dose of 25 mg with a single injection. Observe observation was carried out for 30
minutes at 06.00 and 18:00 WIB after the last PGF 2α injection. Cattle are
considered lusty if they show symptoms of lust such as red vulva and swelling,
restlessness, cervical mucus discharge and decreased appetite. Sampling was
done at the time of the first cervical mucus discharge. Cervical mucus samples
were collected by aspiration method using a sterile catheter and 50 ml disposible
syringe. Viscosity of cervical mucus eight cattle showed different consistency, ie
five cattle showed thick viscosity (+++) with 20% pregnancy percentage, two
cattle with moderate viscosity (++) with 50% pregnancy percentage, and one
cattle with thin or dilute (+) viscosity with 100% pregnancy percentage. It can be
concluded that increasing viscosity of cervical mucus will reduce the percentage
of Aceh cattle pregnancy.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu jenis ternak yang dikembangbiakkan di
Indonesia. Sapi banyak dipelihara oleh para peternak dan petani di pedesaan
karena selain potensial untuk membantu meningkatkan perekonomian keluarga,
ternak sapi juga berperan dalam upaya peningkatan gizi (Silaban dkk., 2012).
Sapi aceh merupakan satu dari empat bangsa sapi asli Indonesia (Aceh, Bali,
Madura, Pesisir). Sapi Sumba-Ongole (SO) dan Java-Ongole (PO) juga dianggap
sebagai bangsa sapi lokal Indonesia (Abdullah, 2006). Sapi aceh merupakan salah
satu jenis ternak yang banyak dipelihara dan tersebar di Provinsi Aceh. Sapi ini
merupakan hasil persilangan antara sapi lokal (Bos sondaicus) dengan sapi
turunan zebu dari India (Bos indicus) (Basri, 2006).
Khusus untuk provinsi Aceh, ternak sapi mempunyai peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat karena petani telah biasa memelihara ternak
sebagai sumber protein hewani, tenaga pengolah sawah pertanian, dan tabungan.
Program menjaga kemurnian sapi aceh di Provinsi Aceh untuk memperkaya aset
plasma nutfah nasional masih terus berlanjut hingga masa yang akan datang.
Program ini juga harus disertai dengan upaya peningkatan produktivitas sapi aceh
dan dapat berdampak pada peningkatan nilai ekonomi sapi serta dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat di provinsi Aceh (Umartha, 2005).
Tomaszewska dkk. (1988) yang disitasi Wawo (2014) menyatakan bahwa
aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak. Dapat
dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi.
Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efisiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat
dan efisiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat juga dilihat dari
jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop), perbandingan
anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling),
bobot potong dan pertambahan bobot badan (Wawo, 2014).
Menurut Romjali dkk. (2007) yang disitasi Armansyah dkk. (2011)
walaupun laju pertumbuhannya tidak sebesar sapi silangan, tetapi sapi potong
lokal mampu menunjukkan produktivitas dan efisiensi ekonomi maksimal pada
kondisi terbatas. Menurut laporan FAO (1996) yang disitasi Arum dkk. (2013)
penyebaran sapi aceh terdapat di Aceh dan Sumatera Utara dengan jumlah yang
tidak diketahui sampai saat ini. Namun, dari survei yang sudah dilakukan
diketahui bahwa populasi sapi aceh berada pada posisi yang mengkhawatirkan
dan mengalami penurunan.
Salah satu cara untuk meningkatkan populasi sapi adalah melalui teknik
Inseminasi Buatan (IB). Teknik IB merupakan metode perkawinan paling ideal
untuk meningkatkan populasi ternak, meningkatkan mutu genetika ternak, dan
mempertahankan kemurnian genetika ternak. Hal-hal yang perlu diketahui
sebelum melaksanakan IB di antaranya adalah penentuan waktu berahi sapi betina
dengan tepat (Abidin dkk., 2012).
Tingkat keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh empat faktor yang saling
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya yaitu pemilihan sapi
akseptor, pengujian kualitas semen, akurasi deteksi berahi oleh para peternak dan
keterampilan inseminator (Hastuti, 2008). Keberhasilan IB dapat dikarakterisasi
dengan menilai karakteristik dari mukus serviks (Benbia dkk., 2011).
Mukus serviks dihasilkan oleh sel-sel sekretori endoserviks, dimana kualitas
dan kuantitasnya tergantung kepada status hormon gonad selama siklus estrus
(Tsiligianni dkk., 2001). Fungsi utama mukus serviks adalah transportasi
spermatozoa dan sebagai barier terhadap infeksi antimikroba. Mukus serviks
terdiri atas 92-95% air, karbohidrat, asam amino, lipid, dan campuran
makromolekul terlarut seperti protein dan polisakarida (Schumacher, 1970).
Mukus serviks juga mengandung enzim yakni alkalin fosfatase (ALP), laktat
dehidrogenase (LDH) dan α -amylase (Tsiligianni dkk., 2001).
Karakteristik mukus serviks dapat memengaruhi angka konsepsi, seperti
sifat atau karakteristik dan jumlahnya, bervariasi sesuai dengan hormon yang
dominan pada tahap siklus estrus (Bernardi dkk., 2016) dan Lim (2014) Serviks
dan sekresinya memengaruhi kinerja reproduksi. Mukus serviks diproduksi oleh
sel sekretori endoserviks. Evaluasi mukus serviks secara tidak langsung dapat
digunakan sebagai indikator stadium siklus atau status hormonal pada hewan
domestik (Benbia dkk., 2011). Sekresi serviks memegang peran dalam ketahanan
spermatozoa dan transportasi ke rongga uterus (Kumar dkk., 2012).
Mukus serviks memiliki pengaruh yang besar terhadap aktivitas
spermatozoa pada saluran reproduksi betina (Modi dkk., 2011). Karakteristik fisik
mukus serviks yang paling penting adalah pH, viskositas, elastisitas dan
kristalisasi (Tsiligianni dkk., 2001). Toelihere (1977) yang disitasi Furqon (2017)
menyatakan bahwa pH mukus serviks berada di antara 6,6-7,5. Peningkatan pH
akan menyebabkan penurunan angka konsepsi pada sapi (peranakan FH),(Furqon,
2017). Sebaliknya, Rizvi dkk. (2009) menyatakan bahwa terjadi peningkatan
jumlah spermatozoa immotil jika pH menurun dari 6,5 menjadi 6,0.
Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara mukus
serviks dengan motilitas spermatozoa (Gaddum-Rosse, 1981; Yousef, 1981).
Ketidakseimbangan hormonal dapat direfleksikan dalam mukus serviks dan
mempunyai konsekuensi terhadap kemampuan penetrasi spermatozoa. Beberapa
perubahan mukus serviks dapat dijadikan penentuan waktu optimal inseminasi
buatan (Tsiligianni dkk., 2000). Mukus serviks yang jernih yang dikeluarkan pada
saat inseminasi buatan mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan angka
konsepsi (Loeffler dkk., 1999). Mukus serviks yang dilepaskan dengan kondisi
yang abnormal akan menekan performa reproduksi (Mahmoudzadeh dkk., 2001).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada mukus juga dapat menjadi faktor
penghambat terjadinya pembuahan. Verma dkk. (2014) melaporkan angka
conception rate pada kerbau murrah berdasarkan viskositas mukus serviks kental;
sedang; dan tipis masing-masing adalah 11,11; 47,54; dan 26,66%. Benardi dkk.
(2016) melaporkan, angka keberhasilan IB pada sapi Holstein berdasarkan tingkat
viskositas mukus serviks adalah 9% pada mukus serviks yang kental, 30% pada
mukus serviks yang sedang, dan 61% pada mukus serviks yang tipis.
Studi untuk menguji fertilitas selama ini didasarkan pada status hormonal
(Thasmi dkk. 2017), pemeriksaan kehadiran embrio (Siregar dkk., 2017 a), dan
infeksi bakteri pada uterus (Rafika, 2016). Metode tersebut relatif lebih sulit,
membutuhkan waktu yang lama, serta biaya yang relatif mahal. Sampai saat ini
belum ada laporan mengenai pengaruh perbedaan viskositas mukus serviks
terhadap persentase kebuntingan sapi aceh, dan pengaruh meningkatnya viskositas
mukus serviks terhadap menurunnya angka kebuntingan pada sapi aceh. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh
peningkatan viskositas mukus serviks terhadap menurunnya angka kebuntingan
pada sapi aceh.
MATERIAL DAN METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan delapan ekor sapi betina dewasa, umur
3-7 tahun. Bobot badan 150-250 kg, sudah pernah beranak dan minimal telah
mengalami dua kali siklus reguler, memiliki kondisi tubuh sehat yang terdapat
pada UPT. Hewan Coba Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala.
Sapi yang akan diteliti merupakan sapi aceh yang memiliki kriteria sesuai dengan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2907/Kpts/OT.140/6/2011 Tentang
Penetapan Rumpun Sapi Aceh, yakni warna tubuh dominan merah kecokelatan.
Di sekeliling mata, telinga bagian dalam dan bibir atas berwarna keputih-
putihan, paha belakang berwarna merah beta, pantat berwarna coklat muda, kaki
berwarna keputih-putihan, ekor bagian ujung berwarna hitam, bentuk muka pada
umumnya cekung, bentuk punggung pada umumnya cekung, bentuk tanduk
mengarah ke samping dan melengkung ke atas, bentuk telinga kecil mengarah ke
samping tidak terkulai.
Prosedur Penelitian
Sinkronisasi Berahi
Semua sapi betina disinkronisasi menggunakan hormon PGF2α yang
diinjeksi secara intramuskulus sebanyak 5 ml. Apabila hewannya menunjukkan
gejala berahi maka hewan akan langsung dilakukan IB, hewan yang tidak
menunjukkan gejala berahi pada saat penyuntikkan pertama, maka hewan akan
dilakukan penyuntikkan kedua dengan selang waktu 10-11 hari dihitung dari saat
penyuntikkan pertama (Siregar dkk., 2017 b). Deteksi berahi dilakukan sebanyak
3 kali per hari yaitu pada pagi, siang dan sore hari selama 30 menit. Sapi dianggap
berahi apabila telah muncul tanda-tanda berahi seperti vulva merah dan bengkak,
gelisah, menaiki sapi lain, menurunnya nafsu makan dan keluarnya mukus
serviks.
Deteksi Berahi
Deteksi berahi dilakukan sebanyak tiga kali per hari yaitu pagi (08.00
WIB), siang (12.00 WIB), dan sore (16.00WIB) hari selama 30 menit (Siregar
dkk., 2017 b). Sapi dianggap berahi dengan tanda-tanda berahi primer dan
sekunder seperti menaiki sapi lain, gelisah, vulva merah dan bengkak, keluarnya
mukus serviks, dan penurunan nafsu makan (Ramli dkk., 2016).
Inseminasi Buatan
Setelah menyiapkan peralatan IB kemudian mengambil straw dari
container nitrogen (N2 cair) dengan menggunakan pinset. Kemudian melakukan
thawing straw dalam air hangat (suhu 37°C) selama 7-18 detik, selanjutnya
mengangkat straw dan dikeringkan menggunakan tissue, kemudian bagian sumbat
straw dimasukkan ke dalam lubang pistolet, bagian klem ujung straw yang di luar
pistolet digunting kemudian dipasangkan plastic sheat dan dieratkan dengan
cincin penguncinya agar bagian ujung straw yang digunting terselubungi secara
sempurna lalu memasukkan tangan kiri yang sudah ada hand glove dan pelicin
melalui rektal untuk memegang bagian serviks, gun IB dimasukkan melalui
vagina dan ujungnya di arahkan ke pintu serviks sampai cicin serviks ketiga
kemudian semen dideposisikan secara perlahan sampai habis lalu gun IB
dikeluarkan secara perlahan.
Pemeriksaan Kebuntingan
Deteksi kebuntingan dilakukan dengan metode non return rate yaitu
dengan mengamati timbulnya fase siklus berahi selanjutnya (18-21 hari) setelah
dilakukan IB, apabila tidak menunjukkan kembali gejala berahi maka hewan akan
dinyatakan positif bunting dan apabila hewan mengalami berahi kembali maka
hewan dinyatakan negatif bunting.
Analisis Data
Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA