Anda di halaman 1dari 8

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Sapi perah Fries Holland

Sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi, dibandingkan

bangsa-bangsa sapi perah lainya, dengan kadar lemak susu yang rendah rata-rata

3,7%. Mardiningsih (2007) menyatakan bahwa sapi perah yang dipelihara di

Indonesia pada umumnya adalah bangsa Fries Holland (FH) dan keturunannya atau

persilangannya yang dikenal dengan Peranakan Fries Holland (PFH). Sapi perah

FH berasal dari Belanda dengan ciri-ciri khas yaitu warna bulu hitam dengan

bercak-bercak putih pada umumnya, namun juga ada yang berwarna coklat ataupun

merah dengan bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari kaki

berwarna putih, dan tanduk pendek serta menjurus kedepan (Makin, 2011). sapi

Perah Fries Holland telah diternakkan lebih dari 2000 tahun yang lalu dan berasal

dari North Holland dan West Friesland. Menurut sejarahnya bahwa bangsa sapi

Fries Holland berasal dari Bos Taurus yang mendiami daerah beriklim sedang di

dataran Eropa (Hadisutanto, 2008).

Sapi FH termasuk salah satu jenis sapi perah yang banyak dipelihara karena

beberapa faktor keunggulannya. Menurut Dematewewa dkk., (2007) sapi Fries

Holland mempunyai masa laktasi panjang dan produksi susu tinggi, serta

persistensi produksi susu yang baik. Selain itu sapi perah FH juga merupakan jenis

sapi perah yang cocok untuk daerah Indonesia. Namun demikian produksi susu per

ekor per hari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan

dengan produksi susu di negara asalnya (Atabany, dkk., 2008). Sapi FH memiliki

kemampuan berkembang biak yang baik, rata-rata bobot badan sapi


9

FH adalah 750 kg dengan tinggi bahu 139,65 cm. Kemampuan produksi susu sapi

FH lebih tinggi dibandingkan bangsa sapi perah yang lain. Untuk mencapai

produksi yang optimal sapi perah sebaiknya dipelihara di tempat yang bersuhu

rendah. Suhu lingkungan yang optimum untuk sapi perah dewasa berkisar antara 5-

21 º C, sedangkan kelembaban udara yang baik untuk pemeliharaan sapi perah

adalah sebesar 60% dengan kisaran 50%-75% (Adriyani, dkk.,1980).

2.2 Lingkar Dada

Lingkar dada (chest circumference) merupakan ukuran panjang kulit yang

mengelilingi dada, kegunaan lingkar dada pada sapi perah adalah untuk

mengestimasikan bobot badan. Lingkar dada pada hewan yang sedang tumbuh

dapat dikatakan bahwa setiap lingkar dada bertambah 1% maka bobot badan

bertambah lebih kurang 3% (Permadi dan Aryanto, 2011). Lingkar dada ada

hubungan dengan produksi susu, karena mampu menggambarkan kapasitas perut.

Ukuran perut sangat penting untuk menampung pakan berupa hijauan sebagai

prekursor lemak susu (Wahyu, 2009). Aunurohman dan Djatmiko (2002)

menyatakan bahwa lingkar dada dapat digunakan sebagai penduga produksi susu.

Bobot badan sapi perah memiliki korelasi positif dengan produksi susu

(Budimulyati, dkk., 2014). Saputra, dkk., (2013) menyatakan bahwa ukuran lingkar

dada menggambarkan ukuran alat pencernaan dan estimasi bobot badannya.

Semakin besar ukuran ternak, kemampuan mengkonsumsi pakan semakin besar dan

asupan nutrisi untuk produksi susu meningkat. Murti (2014) menyebutkan bahwa

bobot badan sapi dapat dipengaruhi oleh konsumsi pakan berkisar antara 1 - 3%

bobot badan. Menurut Sitorus (1967), sapi perah Fries Holland mempunyai

hubungan antara produksi susu dengan lingkar dada dengan nilai korelasi 0,3,
10

sedangkan menurut Makin, dkk., (1982), nilai korelasi antara lingkar dada dengan

produksi susu pada laktasi pertama yaitu sebesar 0,86 – 0,89. Ukuran lingkar dada

yang besar menentukan produksi susu yang tinggi karena adanya proses

metabolisme yang lebih baik. Lingkar dada yang besar menunjukan pergerakan

yang cepat dan proses keluar masuknya udara lebih besar (Samimowski, 1987).

2.3 Tinggi Pundak

Tinggi pundak adalah jarak tegak lurus dari jarak tertinggi pundak sampai

ke permukaan tanah atau lantai menggunakan tongkat ukur. Tampilan perah

ditunjukkan dengan keadaan pundak yang baik, tajam, dan tinggi. Hal ini di

karenakan badan yang menyudut menunjukan pertulangan yang tampak tanpa

adanya lemak denga daging cukup, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk,

sehingga pakan yang dikonsumsi oleh sapi perah digunakan bukan untuk menjadi

lemak tubuh melainkan untuk produksi susu (Blakely dan Blade, 1998).

Tinggi pundak menentukan besarnya tubuh sapi, semakin tinggi sapi berarti

sapi tersebut termasuk ke dalam sapi yang besar. Menurut Samimowski (1987)

bahwa untuk menentukan besarnya sapi berdasarkan ukuran tinggi pundak, untuk

ukuran kurang dari 100 cm termasuk ukuran sangat kecil, antara 101 – 120 cm

termasuk kecil, antara 121 – 135 cm termasuk medium, antara 136 – 150 cm

termasuk bertubuh besar, dan lebih besar dari 150 cm termasuk sangat besar.

Hubungan antara produksi susu sapi perah Fries Holland dengan tinggi pundak

mempunyai nilai korelasi 0,444 (Sitorus, 1967). Sedangkan menurut Makin, dkk.,

(1982) nilai korelasi yang di dapat antara produksi susu sapi perah Fries Holland

dengan tinggi pundak sebesar 0,14.


11

2.4 Panjang Badan

Panjang badan adalah jarak dari bongkol bahu (tuberositas humeri) sampai

ujung tulang duduk (tuber ischii). Ukuran panjang badan dan lingkar dada erat

kaitannya dengan komponen tubuh, ukuran permukaan, bagian tubuh ternak serta

mempunyai banyak kegunaan karena dapat digunakan dalam penafsiran bobot

badan dan karkas (Santosa, 2008). Panjang badan sapi berkaitan dengan kapasitas

perut yang dimilikinya sehingga apabila sapi mempunyai badan yang lebih panjang,

maka kemampuan dalam mengkonsumsi pakan akan lebih banyak.

Kemampuan dalam mencerna pakan memperlihatkan produksi susu yang

dihasilkan sehingga kemampuan produksi susu tidak dapat dipisahkan dari

kapasitas pencernaan (Kidwell, 1995). Ditinjau dari aspek pakan apabila diinginkan

produksi susu yang maksimal sesuai dengan potensi genetik nya, pemenuhan

nutrien sapi perah yang bersumber dari hijauan dan limbah pertanian saja tidak akan

tercukupi. Oleh karena itu penambahan nutrien selain dari hijauan perlu dilakukan

melalui pemberian pakan konsentrat (Pangestu, dkk., 2003). Hubungan produksi

susu dengan panjang badan mendapatkan nilai korelasi sebesar 0,58 (Sitorus, 1967)

dan sebesar 0,19 (Makin, dkk, 1982).

2.5 Produksi Susu

Susu didefinisikan sebagai suatu sekresi normal dari kelenjar susu hewan

mamalia yang tidak ditambah atau dikurangi komponen-komponen lain. Susu

adalah bahan makanan yang mempunyai kandungan gizi cukup tinggi karena

mengandung zat makanan seperti protein, lemak, karbohidrat yang seimbang, serta

mengandung banyak vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan.

Susu sangat penting dalam kebutuhan sehari–hari, karena mengandung komponen


12

penting yaitu kalsium, protein, dan lemak (Leondro, 2009). Produksi susu sapi FH

mencapai 6.335 liter/laktasi sementara di Indonesia rata-rata produksinya hanya

mencapai 3.660 liter/laktasi (Susilorini, dkk., 2008).

Produksi susu sapi perah sampai saat ini belum mampu memenuhi

kebutuhan susu dalam negeri, sehingga masih mengimport susu sebanyak 60–70%,

belum terpenuhinya kebutuhan susu diakibatkan dari rendahnya produktivitas sapi

perah (Anggraeni, dkk., 2001). Penampilan produksi susu sapi FH dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain faktor keturunan, pakan, pengelolaan, perkandangan,

pemberantasan, pencegahan penyakit, serta faktor lingkungan. Faktor lingkungan

yang cukup dominan dalam mempengaruhi produktivitas ternak adalah iklim

terutama iklim mikro yaitu suhu, kelembaban, radiasi, dan kecepatan angin. Sapi

FH sebagai sapi yang berasal dari iklim subtropis memerlukan suhu yang optimum

untuk mencapai produksi maksimal (Yani dan Purwanto, 2006).

Produksi susu akan terus meningkat dengan bertambahnya umur sapi hingga

berumur 7-8 tahun. Setelah umur tersebut produksi susu akan menurun sedikit demi

sedikit sampai berumur 11-12 tahun. Turunnya hasil susu pada hewan yang sudah

tua disebabkan aktivitas kelenjar-kelenjar ambing sudah berkurang (Sudono, dkk.,

2003). Produksi susu pada seekor sapi dipengaruhi pula oleh ukuran tubuh. Sapi

yang memiliki ukuran badan besar akan menghasilkan susu yang lebih banyak, dari

pada sapi yang berbadan kecil dalam bangsa dan umur yang sama. Hal ini

disebabkan sapi yang berbadan besar akan mengkonsumsi pakan lebih banyak

sehingga menghasilkan susu yang lebih banyak (Sudono, 1999).


13

2.6 Lama Laktasi

Masa laktasi yang pertama dalam kehidupan seekor sapi induk dimulai sejak

mulai beranak. Peristiwa ini akan dialami sebagai suatu siklus berulang dalam

kehidupan hewan betina secara berkesinambungan. Pada saat sapi laktasi

semaksimal mungkin harus dikurangi berbagai kondisi lingkungan yang dapat

menyebabkan terjadinya stres karena cuaca, suara, perlakuan, atau berkurang

kenyamanannya terutama pada saat sapi sedang diperah (Akoso, 2012). Lama

laktasi induk sapi perah umumnya bergantung pada keefisienan reproduksi ternak

sapi tersebut. Ternak sapi perah yang terlambat menjadi bunting menyebabkan

calving interval diperpanjang sehingga lama laktasi menjadi panjang karena induk

sapi perah akan terus diperah selama belum terjadi kebuntingan (Hadisusanto,

2008).

Sapi perah pada umumnya memiliki lama laktasi sekitar 305 hari (8 bulan)

dengan produksi susu semakin meningkat setelah sapi beranak, lama laktasi

sebaiknya tidak dibiarkan terlalu lama, hal ini disebabkan karena setelah mencapai

puncaknya secara otomatis kemampuan berproduksi susu akan terus menurun

(Didin, dkk., 2020). Sapi perah yang laktasi nya lebih singkat atau lebih panjang

dari 10 bulan akan berakibat terhadap produksi susu yang menurun pada laktasi

yang berikutnya (Siregar, 1993). Beberapa faktor yang mempengaruhi lama laktasi

adalah umur sapi yang berkaitan dengan frekuensi laktasi, kondisi sapi saat beranak,

lama masa kering sebelumnya serta kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan

(Sulistyowati, dkk., 2009).


14

2.7 Pakan

Pakan merupakan salah sau faktor yang menentukan kemampuan

berproduksi sapi perah, Tujuan utama pemberian pakan pada sapi perah adalah

menyediakan ransum yang ekonomis, tetapi dapat memenuhi kebutuhan hidup

pokok, kebuntingan, dan produksi susu bagi induk, serta kebutuhan untuk

pertumbuhan bagi ternak muda. Produksi optimal dapat tercapai dengan cara

menyediakan cukup pakan, baik kuantitas maupun kualitasnya, serta terpenuhi nya

kecukupan gizi sesuai dengan kebutuhan ternak.

Pemberian pakan pada sapi yang sedang berproduksi atau sedang laktasi

harus memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi susu, jika jumlah dan mutu

yang diberikan kurang, maka hasil produksi susu tidak akan maksimal. Pemberian

konsentrat agar lebih praktis dianjurkan 50% dari produksi susu, sedangkan hijaun

pemberiannya 10% dari bobot badan. Pemberian pakan hijauan yang berlebihan

dapat menyebabkan peningkatan serat kasar sehingga pakan sulit dicerna,

sebaliknya kurangnya pemberian konsentrat akan menyebabkan kekurangan

konsumsi protein yang dapat menurunkan kinerja reproduksi sapi induk (Sudono,

dkk., 2003).

Hubungan korelasi antara pakan hijauan dengan produksi susu sapi perah

yaitu sebesar 0,920, sedangkan korelasi antara pakan konsentrat dengan produksi

susu sapi perah yaitu sebesar 0,631. Angka ini menunjukan bahwa antara pakan

hijauan dan pakan konsentrat dengan produksi susu sapi memiliki hubungan atau

korelasi sangat kuat, searah dan signifikan (Adinegoro, dkk., 2017). Konsumsi

hijauan wilayah dataran rendah cenderung lebih sedikit dibanding dengan wilayah

dataran tinggi.
15

Kebutuhan nutrien pada sapi laktasi ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 1. Kebutuhan Bahan Kering Pada Sapi Laktasi


Bobot Hidup Produksi Susu*)
(kg) 10 kg 15 kg 20 kg
300 2,75 3,15 3,60
350 2,60 3,00 3,40
400 2,50 2,90 3,30
450 2,40 2,80 3,20
500 2,30 2,70 3,10
*)
Produksi dinyatakan dalam kg air susu berkadar lemak 4%. Nilai kebutuhan
dinyatakan sebagai% dari bobot badan
Sumber: Tanuwiria (2008)

Tabel 2. Kebutuhan TDN Untuk Sapi Laktasi


A. Kebutuhan Hidup Pokok
Bobot (kg) 300 350 400 450 500
Kebutuhan TDN (kg) 2,54 2,85 3,15 3,44 3,72
B. Kebutuhan Produksi
Produksi (Kg 4% FCM) *) 5 10 15 20 25
Kebutuhan TDN (kg) 1,63 3,26 4,89 6,52 8,15
C. Kebutuhan Sapi Bunting Pada Dua Bulan Terakhir Sebelum Melahirkan
Bobot Hidup (kg) 300 350 400 450 500
Kebutuhan TDN (kg) 3,30 3,70 4,10 4,47 4,84
*)
Susu yang dibakukan pada susu berkadar lemak 4%
Sumber : Tanuwiria (2008)

Anda mungkin juga menyukai