DISUSUN OLEH :
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
Makalah/paper ini yang bertujuan sebagai nilai pengganti Ujian Tengah Semester (UTS)
semester VI matakuliah Manajemen Usaha Ternak Perah.
Adapun makalah/paper yang berjudul “Perbandingan Performa Produktif dan
Reproduktif antara Sapi Perah FH dengan Kambing Peranakan Etawa (PE)” menjelaskan tentang
bagaimana Performa produktif dan reproduktif dari ternak perah Sapi FH dengan Kambing PE.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah/paper ini, untuk
itu kami meminta saran dan kritik yang bersifat membangun dari ibu untuk memaksimalkan
penyusunan makalah/paper selanjutnya. Terima kasih.
1.3. Tujuan
a. Mengetahui siklus produksi dan reproduksi Sapi FH
b. Mengetahui siklus produksi dan reproduksi Kambing PE
1.4. Manfaat
Dari tujuan tersebut, dapat mengetahui perbandingan produktivitas dan reproduksi
antara Sapi FH dengan Kambing PE.
Dalam hal ini, factor lingkungan lah yang memegang peranan penting dalam proses
fisiologis tubuh ternak sehingga menurut Sudono,(1990) akan mempengaruhi pula kapasitas
produksi susu. Menurut penelitian Williamson dan Payne, (1993), pada daerah tropis produksi
susu bergantung pada 3 aspek, yaitu 1) Teknik pemeliharaan, 2) Kualitas pakan, 3) ketinggian
tempat sapi dipelihara atau iklim.
Teknik pemeliharaan pada sapi FH penting dilakukan karena kapasitas produksinya akan
mengalami peningkatan dari laktasi pertama ke laktasi selanjutnya hingga umur 6-8 tahun.
Kemudian produksinya akan menurun secara berkala hingga berumur tua. Puncak produksi susu
pada sapi FH biasanya pada laktasi keempat atau kira-kira pada umur 6-7 tahun menurut Larkin
dan Barret, 1994.
Menurut Diwyanto dkk, 2007, kualitas pakan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap
produksi susu yang dihasilkan. Sehingga kualitas serta kuantitas pakan yang diberikan harus
sesuai dengan kebutuhan untuk hidup pokok, produksi susu, pertumbuhan, dan kebuntingan.
Dalam hal ini, iklim akan berpengaruh terhadap nafsu makan dari Sapi FH. Menurut
Sutardi, 1981, jika suhu atau iklim di sekitar lingkungan tinggi akan mengakibatkan penurunan
nafsu makan sapi dan akan mengurangi konsumsi pakan. Selanjutnya, akan menghambat
produksi susu sapi tersebut.
Namun menurut Sudono, 1985, faktor iklim ini masih bisa diatasi dan tak terlalu banyak
berpengaruh apabila sapi perah diberi pakan yang berkualitas tinggi.
Pakan kambing PE sebagian besar hanya rumput saja, sehingga kebutuhan fisiologisnya
masih kurang tercukupi terutama dari sumber energi dan protein. Maka, perlu adanya pasokan
nutrient yang cukup tinggi bagi kambing PE dalam memenuhi keburtuhannya untuk sintesis air
susu. Namun kualitas hijauan yang ada di daerah tropis terbilang rendah sehingga jumlah hijauan
yang dikonsumsi tidak mampu memenuhi kebutuhan energi diluar kebutuhan pokok ternak.
Menurut Makin (1990), kisaran rataan produksi susu sapi perah FH sebesar 7-15
kg/ekor/hari yang dipelihara di daerah tropis termasuk di Indonesia. Menurut Warwick dan
Legates, (1979) terjadinya kisaran produksi susu rata-rata baik di berbagai daerah di Indonesia
ataupun di berbagai negara- negara tropis menunjukan adanya perbedaan kemampuan
berproduksi yang lebih disebabkan atas perbedaan lingkungan dimana sapi perah FH itu
dipelihara.
Menurut Mason, 1977, lama laktasi di negara-negara tropis berkisar antara 184-349 hari.
Menurut Hafez, 1968, sapi FH di daerah tropis masa laktasinya pada umumnya lebih pendek
dibanding dengan sapi FH yang ada di daerah beriklim sedang. Menurut Schmidt dan Van Vleck,
1974, efisiensi reproduksi juga dapat mempengaruhi lama laktasi selain dari faktor iklim dan
Rataan lama kering sapi perah FH ini menunjukan nilai lama kering yang ideal (60-80
hari) yang sudah seharusnya dilaksanakan oleh para peternak. Menurut Makin,(1990) lama
kering yang baik atau ideal adalah antara 60-90 hari sebelum partus lebih pendek dari 60 hari
atau lebih panjang dari 90 hari, maka produksi susu berikutnya akan menurun. Terjadinya variasi
lama kering pada sapi perah FH baik di Indonesia ataupun di negara-negara tropis lainnya
disebabkan selain karena pengaruh iklim setempat dan juga kerana pengaruh tatalaksana yang
kurang baik terutama tatalaksana pemberian pakan, akibatnya waktu periode menjadi lebih lama
atau panjang.
menurut Salisbury dan Van Demark (1961), perkawinan pertama pada sapi perah FH
sebaiknya dilakukan pada kisaran antara 60-80 hari setelah beranak, akan tetapi menurut Makin
(1990) periode waktu yang baik setelah sapi beranak dikawinkan kembali yaitu pada 60-90 hari.
Kisaran masa kosong yang ideal atau optimum pada sapi perah FH yaitu 60-80 hari
setelah beranak atau paling lambat tidak lebih dari 120 hari menurut Touch keny, et.al,(1959)..
Menurut Toelihere (1981), jumlah perkawinan yang normal sampai bunting pada sapi
perah FH adalah antara 1,6-2,0 kali. De Vaccaro (1974) mengemukakan lebih tingginya angka
jumlah perkawinan perkebuntingan di daerah tropis termasuk Indonesia disebabkan karena tata
Lama bunting bangsa sapi perah Eropa yaitu antara 278- 288 hari, dikemukakan oleh
Ensminger,(1980).
Lama waktu selang beranak (Calving Interval) merupakan salah satu tolak ukur efisiensi
reproduksi yang sangat penting. Karena, menurut Banerjee, (1980) dapat dijadikan sebagai
petunjuk keberhasilan dalam peternakan sapi perah. Menurut Bath et al.,(1978), lama selang
beranak yang normal yaitu antara 360-420 hari atau 12-14 bulan.
Menurut Sarwono (2002), induk sudah mampu memproduksi susu dan produksi susunya
sangat beragam, yaitu antara 1,5 sampai 3,7 liter/hari dengan masa laktasi 7 – 10 bulan.
Menurut Peris et al. (1999) bahwa meskipun produksi susu akan meningkat seiring
dengan semakin tinggi umur seekor kambing, belum dapat diketahui sampai sejauh mana faktor
umur tersebut dapat mempengaruhi produksi susu karena kembali pada manajeman
Menurut Sutama, (2007), secara umum produksi susu kambing perah akan meningkat
terus dari awal laktasi hingga mencapai laktasi ketiga yang setara dengan umur 2,5 – 3,5 tahun
dan kemudian akan menurun, dan masih layak untuk dipertahankan hingga ternak berumur 5 – 6
tahun.
Morand-Fehr (1991) yang menyatakan bahwa kambing perah dengan bobot badan yang
lebih besar akan memiliki tingkat produksi susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kambing
dengan bobot badan rendah, sehingga bobot badan secara tidak langsung memiliki pengaruh
terhadap produksi susu yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan bobot badan menentukan
kematangan dan kesiapan sel-sel kelenjar ambing untuk memproduksi susu dan menentukan
ragam produksi susu di awal laktasi. Serta menurut Ramdan (2007) menyatakan bahwa lingkar
dada berkorelasi positif terhadap bobot badan, sehingga semakin besar ambing yang diakibatkan
oleh perkembangan sel sekretori akan menyebabkan bertambahnya bobot badan pada kambing
sehingga meningkatkan produksi susu.
Hasil penelitian dari Legarra dan Ugarte (2005) menunjukkan bahwa pertumbuhan
kelenjar ambing berbanding lurus dengan besarnya ambing, semakin besar ambing maka
semakin banyak jumlah sel sekretori yang digunakan untuk mensintesis susu, nilai korelasi
antara lebar dan dalam ambing dengan jumlah sel sekretori yaitu 0,10 dan 0,27. Kemudian
menurut Lawrence dan Fowler (2002), yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan ambing pada saat sebelum fase kebuntingan berjalan terlambat, namun pada saat
ternak memasuki fase kebuntingan pertumbuhan ambing berjalan sangat cepat dan menurun saat
memasuki fase laktasi.
Menurut Atabany (2013) kambing sebaiknya dikawinkan saat sudah mencapai dewasa
tubuh yakni pada umur 10-12 bulan dengan rataan bobot 30-40 kg. Adapula hasil penelitian lain
yang mendukung untuk umur kawin pertama ternak kambing yakni 10-12 bulan (Pralomkarn,
dkk., 1996). Ketidakseragaman umur kawin pertama kambing betina PE dikarenakan perbedaan
laju tingkat pertumbuhan ternak yang dapat dilihat dari metode pemeliharaan ternak dan
pengalaman peternak.
Dpenelitan Rara, dkk (2011), angka kawin per kebuntingan 1,35 ± 0,5 kali. Semakin
kecil angka kawin per kebuntingan menunjukan keefisienan sistem perkawinan yang dilakukan
oleh para peternak. Angka tersebut dapat dicapai dengan manajemen perkawinan yang tepat
sehingga dapat tercapai keefisienan dalam perkawinan ternak. Pengalaman dan pengetahuan para
peternak merupakan faktor penting lain yang dapat membantu mencapai angka tersebut. Calon
induk jantan maupun betina pun diseleksi dan turut dipelihara dengan baik, sehingga
meningkatkan persentase keberhasilan kebuntingan.
Dari penelitian Atabany (2013) masa kosong induk kambing PE yakni 90 - 120 hari.
Atabany (2013) juga menyatakan bila lama masa kosong melebihi 120 hari pada kambing PE,
betina menunjukan telah terjadi kelainan reproduksi. Penelitian lain juga menunjukan bahwa
Pada kambing PE betina masa kebuntingan mencapai 150 hari atau 5 bulan (Sarwono
2007). Lama bunting yang dikemukakan beberapa ahli lainnya yaitu 144-157 hari menurut Smith
dan Mangkoewidjojo (1988) dan 143-153 hari menurut Davendra dan Burns (1994). Penyebab
keragaman dalam periode bunting ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, keragaman lingkungan
(pakan) dan faktor keturunan.
Hasil penelitian dari Coosly (1984), bahwa selang beranak kambing di daerah tropis pada
kondisi makanan dan tatalaksana yang baik biasanya selang beranak antara 260 sampai dengan
290 hari (8,7 bulan sampai 9,6 bulan). Dan menurut Setiadi dan Sitorus, (1983) pada kambing
PE selang beranak sekitar 269 hari. Nilai koefisien variasi selang beranak induk kambing PE
kecil, yang berarti semakin seragam.
Secara reproduksi kambing mempunyai kemampuan menghasilkan anak 1-4 ekor per
kelahiran (litter size) (Ahmed et al., 1998; Manalu dan Sumaryadi, 1998b; Adriani et al., 2003).
Menurut pernyataan Davendra dan Burns (1994), bahwa induk kambing dianggap produktivitas
tinggi apabila dapat menghasilkan keturunan yang banyak atau lebih dari satu ekor per
kelahirannya. Ditjen Peternakan (1993), juga menyatakan bahwa induk kambing yang mampu
melahirkan anak kembar pada kelahiran pertama ada kecenderungan mengulanginya pada setiap
melahirkan berikutnya. Nilai koefisien variasi jumlah anak per kelahiran cukup besar yang
menandakan bahwa jumlah anak per kelahiran bervariatif. Hal ini disebabkan karena perbedaan
setiap gen induk kambing PE.
Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker and R.D. Appleman. 1978. Dairy Cattle :
Principles, Practises, Problems, Profits. 2nd Ed. Lea and Fabiger,
Philadelphia.
Coosly, J.K. 1984. Role in Meeting Supplies. In Extention Goat Handbook. Printed and
Distributed in Cooperation with the Extention Service. United State
Department of Agriculture. Washington D.C. 587-589.
De Vaccaro, L.P. 1974. Some Aspect of The Performans of European Pure Bred and
Cross Breed Dairy Cattle in The Tropics. Part II. Mortality and Culling Rates
Animal Breed. Abstr., 42 : 93-103.
Ensminger, M. E. 1980. Dairy Cattle Science. 2nd Ed. Interstate Printers and Publisher,
Illinois.
Gurmessa, J. and A. Melaku. 2012. Effect of lactation stage, pregnancy, parity, and age
on yield and major components of raw milk in bred cross holstein frisien
cows. World Journal of Dairy and Food Sciences, vol. 7 (2): 146-149.
Makin, M. 1990. Studi Sifat-Sifat Pertumbuhan Reproduksi Dan Produksi Susu Sapi
Sahiwal Cross (Sahiwal x Fries Holland) di Jawa Barat. Disertasi. Fakultas
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Peris, S., G. Caja and X. Such. 1999. Relationships between udder and milking traits in
murciano-granadina dairy goats. Small Ruminant Research, vol. 33: 171-
179.
Rara, Wenny, S., Suyadi dan M, Nasich. 2011. Penampilan Reproduksi Induk dan
Produksi Anak Lepas Sapih Kambing Peranakan Ettawa (PE) di Peternakan
Rakyat Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang. Jurnal. Universitas
Brawijaya. Malang.
Sulastri. 2005. Perbedaan Performans Sifat-sifat Produksi Susu dan Reproduksi Sapi
Perah FH Pada Berbagai Skala Usaha Peternakan Rakyat. (Suatu Kasus di
Wilayah Kerja KPSBU Lembang Kabupaten Bandung). Skripsi Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Tolihere, M.R. 1981.
Inseminasi Buatan Pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Salisbury, G.W. dan N.L. Van Demarck. 1961. Physiology of reproduction and
Artificial Insemination of Cattle. W.H. Freeman & Co., San Fransisco.
London.
Schmidt, G.H. dan L.D. Van Vleck. 1988. Principles of Dairy Science. W.H. Freeman
& Co., San Fransisco. London.
Warwick, E.J. and Legates. 1979. Breeding and Improvements of Farm Animals. Tata
Mc. Graw Hill Publishing, Co. Ltd., New York.
Widyaninggar, S. 2003. Performans Sifat Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Perah
Fries Holland pada Berbagai Skala Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat.
(Kasus di Wilayah Kerja KUD Sinar Jaya, Kota Bandung). Skripsi Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.