Anda di halaman 1dari 5

Review Jurnal

Judul : Utilisation of ground bottom ash in concrete


Penulis : N.R. Arun, Punit Singh, Supratic Gupta
Tanggal terbit : 6 Maret 2020
Hail review :
A. Latar Belakang
Berdasarkan data di indian 240 ton abu di produksi dari pembangkit listrik tenaga termal.
40 ton bottom ash dapat dihasilkan didalamnya yang dapat menjadi issue kerusakan
lingkungan air dan tanah. Bottom ash mempunyai ukuran yang besar yang menyerupai
pasir halus. Namun permasalahan pada bottom ash ini dapat di atasi dengan penggilingan.
Penggilingan ini dilakukan untuk mereduksi pori dan meningkatkan kereaktifan dari
bottom ash. Dan jika bottom ash mempunyai sifat pozzolan seperti fly ash, maka akan
membantu dalam pemanfaatannya dan dapat mengurangi permasalahan lingkungan.
Namun saat ini para peneliti menggunakan bottom ash sebagai pengganti aggregat halus.
B. Metode
Untuk mengetahui efek fisik dan kimia dari penggilingan serta mengetahui tentang efek
dari kereaktifan setelah penggilingan, maka bottom ash di giling berdasarkan interval
waktu penggilingan yaitu 1 jam (BA1), 2 jam (BA2), dan 4 jam (BA4). Penggilingan
menggunakan alat los angeles abration dengan 6 kg dalam sekali giling. Hasil penggilingan
dibandingkan dengan bottom ash yang tidak digiling (BA0), fly ash (FA) dan semen (CC).
1. Particle Size Distribution (PSD)
Bottom ash yang tidak digiling menggunakan ayakan mekanis dan yang digiling
menggunakan Laser Granulometry. Kurva PSD pada BA0 mengikuti kurva PSD pada
pasir ke sisi yang lebih halus. Sedangkan BA1 menyerupai FA serta BA4 menyerupai
CC yang dapat menjadi campuran beton yang akan mengisi ronggo antara semen.
Namun pada BA1 juga dapat digunakan pada campuran beton tetapi dengan
persentase yang tinggi pada ukuran yang sama akan mempengaruhi compactness dan
packing dari beton serta akan mengakibatkan campuran yang kohesif. Penggilingan
tidak mengalami penurunan ukuran partikel secara signifikan setelan interval 2 jam
ke 4 jam, sehingga akan interval selanjutnya akan menjadi penggilingan yang sia – sia
karena tidak dapat mengurangi ukuran partikel.
2. Scanning Electron Microscopy
SEM dilakukan untuk mengetahui topografi dari masing – masing sample. BA0
mempunyai bentuk yang sangat tidak beraturan dan ber pori. BA1 dan BA2
mengalami penurunan ukuran partikel dan pori yang akan menjadi angular. BA2 dan
BA4 mempunyai bentuk yang mirip dengan semen dimana ukuran partikel dan
bentuknya mulai seragam. FA mempunya bentuk seperti bola – bola bulat yang tidak
berpori, serta CC mempunya bentuk, ukuran, dan pori yang relatif sama.
3. Loss on ingnition
Merupakan test dimana sample akan di furnace pada suhu 9500C untuk mengetahui
seberapa besar penguranan massanya. % LoI pada sample adalah BA0 1,1%, BA1
0,91%, BA2 0,9%, BA4 0,9%, FA 0,9%.
4. Specific Gravity
Untuk mengetahui SG dari masing – masing sample digunakan alat Le Chatelier’s.
SG akan meningkat pada setiat peningkatan interval waktu penggilingan dikarenakan
partikel lebih halus jika semakin lama di giling. SG masing sample adalah BA0 1,93,
BA1 2,5, BA2 2,6, BA4 2,65, FA 2,2.
5. Lime reactivity test
Test dilakukan untuk mengetahui kereaktifan dari FABA berdasarkan IS-1727-1967.
Test dilakukan untuk mengetahui tingkat kereaktifan sifat pozzolan dari material
dengan Ca(OH)2. Rasio campuran untuk uji lime reactivity test adalah lime,
pozzolana, dan pasir standard adalah 1:2M:9. Hasil test menunjukan persentase yang
signifikan pada BA4 jika dibandingkan dengan BA0. Hasil perbandingan dari BA0 ke
BA1 adalah 129%, dari BA1 ke BA2 adalah 40%, dan BA2 ke BA4 adalah 28%. Jadi
penggilingan yang lebih lama tidak akan menjadikan partikel lebih halus dan
meningkatkan aktivitasnya.
C. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini bermuara pada uji test mortar dengan mix proportion ratio w/b adalah
0.42, 0.46, 0.50, 0.54 pada masing – masing sample. BA0 mempunyai keat tekan yang
sangat rendah dimana disebabkan oleh uji lime reactivity test, Kuat tekan BA1 sedikit lebih
besar dari BA0. BA2 dan FA memiliki kuat tekan yang sama pada semua rasio w/b. BA4
memiliki hasil yang mirip dengan CC. pada w/b 0,5 dan 0,54 BA4 memiliki kuat tekan
yang sedikit lebih tinggi dari pada semen. Sedangkan BA2, BA4, CC dan FA mempunya
kuat tekan pada semua w/b berada pada range yang sempit. Sedangkan BA2 sendiri dapat
ditingkatkan reaktivitasnya menjadi seperti FA. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
bottom ash memiliki potensi yang tinggi untuk digunakan sebagai bahan pozzolan yang
baik. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aspek durabilitas. Pemanfaatan
bottom ash dalam industri konstruksi akan mengurangi dampak lingkungan.
Review Jurnal
Judul : Environment-Friendly, Self-Sensing Concrete Blended with Byproduct Wastes
Penulis : Marat Konkanov, Talal Salem , Pengcheng Jiao, Rimma Niyazbekova and Nizar
Lajnef
Tanggal terbit : 30 maret 2020
Hail review :
A. Latar Belakang
Beton merupakan salah satu sumber daya yang paling banyak kedua setelah air. Sehingga
sehingga penggantian sebagian semen dengan bahan yang lebih ramah lingkungan atau
waste reuse seperti FABA, Red Mud, dll merupakan salah satu hal positif dalam produksi
keberlanjutan dari beton. Namun pada decade terakhir ini beton self-sensing telah menjadi
objek para peneliti. Dimana beton dapat merasakan tegangan, regangan, atau kerusakannya
sendiri dengan hambatan listrik. Beton Self-sensing dapat dibuat dengan meningkatkan
konduktivitas listriknya dengan penmabahan fillers. Konduktivitas listrik beton memiliki
pengaruh besar pada self-heating, self-healing dan self-diagnosing pada beton. Hal ini
diperlukan untuk meningkatkan sifat listrik (misalnya, konduktivitas) beton karena
membantu dalam mengatasi kebutuhan industri utama yang terkait dengan, misalnya,
vibration control, SHM, keselematan dan keamanan bangunan dan lost cost pada
pengelolaannya. Namun harga nano-fillers yang terlalu tinggi sehingga peneliti
mempunyai ketertarikan untuk menggantinya dengan limbah atau by-produkt yang
mengandung Al, Si, dan FexOx. Sumber limbah tersebut dari FABA, Blast Furnace Slag
dan Red Mud. Kemudian peneliti melakukan investigasi pengaruh dari limba atau by
product pada sifat listik dan mekanik dari self sensing concrete yang dilakukan pada 3
curing condition yaitu 3, 7, dan 28 hari.
B. Metode
Komposisi bahan kimia dari bahan aditif semen yang berasal dari Fly Ash (FA), Blast
Furnace Slag (BOF) dan Red Mud (RM) diperoleh dari analisis spektrofotometri flouresen
X-RAY (XRF). Rasio kadungan SiO2/AlHAI3 pada FA dan BOF adalah 1,53 dan 4. Serta
rasio SiO2/CaO adlh 3,3 dan 0,35. Dan weight ratio silika terhadap alumina oksida dan
silika terhada kalsium oksida adalah 0,46 dan 0,5. Pengamatan Particle size distribution
(PSD) dengan penganalisis 3071A menghasilkan ukuran partikel pada masing masing
sampel partikel adalah FA 18 μm, BOF 49 μm, dan RM 43 μm. Parikel BOF dan RM
dilakukan penggilingan untuk mendapatkan kehalusan dan luas permukaan yang spesifik.
Perbandingan berat antara semen dengan aditifnya adalah 5%, !5%, 20%, dan 25%. Mixer
yang digunakan adalah Quart tilt-hand stand klasik. Tujuan dari ratio diatas untuk
memberikan konduktivitas listrik yang diinginkan. Ratio air semen yang dihasilkan dari
pengujian standard mortar semen hidrolik berdasarkan ASTM C1437 adalah dalam range
0,5 hingga 0,56. Langkah pembuatan beton self-sensing yaitu menambahkan bahan aditif
kedalam semen dan aduk selama 3 menit. Dan campuran tersebut di campurkan dengan
air sebagai media dispersinya kemudian diaduk 30 detik, dan tambahkan pasir kedalam
paste dan aduk selama 30 detik. Dan diamkan selama 90 detik dan aduk dengan kecepatan
sedang selama 30 detik. Specimen kemudian di cor dalam cetakan 50 mm3. Kemudian
tancapkan foil tembaga 0,07 mm sebagai elektroda eksternal. Setelah itu specimen di
letakkan di meja bergetar untuk mengurangi gelembung dan pemadatan. Setelah 24 jam
specimen dikeluarkan dan ditempatkan di ruang pengawetan 20oC dan kelembapan 95%.
- Pengaturan dan pengujian eksperimental
Pengujian mikrostruktur dari beton dilakukan dengan X-Ray diffraction dan dengan
pendekatan pH. Sedangkan kinerja beton di evaluasi dengan resistivitas listrik, time
setting dan kuat tekan dengan OPC digunakan sebagai referensi pembanding
kunduktivitas listrik. Kemudian kandungan mineral diuji dengan X-Ray Bruker D8
dengan radiasi X-Ray Cu. pH digunakan untuk mengukur 1% kandungan air dalam
larutan material solid dengan menggunakan Fisher Scientific Accument AB15
Instrument.
Pengujian kuat tekan dilakukan berdasarkan ASTM C109 pada 3, 7 dan 28 days waktu
curing dengan menggunakan Forney Compressive Machine dengan 3 spesimen diuji
kemudian diambil rata – rata untuk validasi. Setting time diukur berdasarkan ASTM
C191 dengan menggunakan alat Vicat Needle. Electrical Resistance diukur dengan
BK Precision 4071A signal generator, Tektronik TDS 1002 2 chanel oskiloscop
(akurasi 3%) dan Radio Shack Digital Multimeter (1,2 % akurasi). Pengukuran
dilakukan dengan 2 foil Cu yang ditancapkan untuk mengetahui tegangan, dan arus.
C. Hasil
1. Hasil dari kuat tekan dan electrical resistivity
Berdasarkan data pada jurnal bahwa semakin tinggi dosis aditif maka setting time akan
mengalami peningkatan juga namun berbanding terbalik dengan Red Mud.
Menurut grafik mekanik dan listrik, peningkatan dosis bahan limbah menyebabkan
penurunan kuat tekan untuk semua spesimen pada usia awal dan akhir. Secara khusus,
usia akhir 28 hari baik penggantian 5% semen Portland dengan BOF dan 10% semen
Portland dengan RM—didapatkan hasil yang sama dengan OPC selisih 0,21% dan
0,88%. Penurunan kuat tekan pada BOF dapat disebabkan oleh fase kristal trikalsium
silikat dan dikalsium silikat serta mungkin kandungan MgO yang relative tinggi akan
berefek negatif pada mortar semen. Sedangkan pada kasus FA, kuat tekan meningkat
pada umur 3 hari lebih khususnya pada 25% aditif FA yang memberikan kuat tekan
tertinggi. Peningkatan tersebut dapat disebabkan oleh alum oksida dan kalsium alum
hidrat. Namun berbanding terbalik dengan umur 7 dan 28 hari Hal ini dapat dijelaskan
oleh rendahnya jumlah kalsium oksida, yang membatasi produksi gel CSH selama
hidrasi. Dan penambahan RM menunjukkan tren positif dengan meningkatnya kuat
tekan dikarenankan adanya CaO, FexOx, AlO3, dan TixOx dalam fasa amorf. Semua
spesimen yang diuji dalam menunjukkan sedikit resistivitas listrik (termasuk OPC);
namun, BOF dan RM menunjukkan nilai resistivitas terendah, yang mungkin karena
jenis konduksi elektrolitik dan elektronik dimana kandungan metal oxide yang tinggi
seperti Fe2O3.
2. Self-Sensing Property
Matriks semen yang berbasis sensor dipadatkan dan diberikan beban tekan sehingga
membuat jarak antar electron semakin berjauhan dan menyebabkan penurunan
electrical reactivity. Specimen yang diberikan aditif 25% mempunyai tingkat
resistivitas yang tinggi dari pada aditif 5% yang tidak memperoleh perubahan
reaktivitas. Namun tingkat akurasi dari FCR terjadi apabila beton hancur pada beban
aksial dan kemampuan self-sensing beton mampu hingga 75% tingkat kegagalan. FCR
sangat dipengaruhi oleh penambahan aditif dengan penambahan 20 – 25 % sangat
diharapkan lebih stabil dan dapat menjadi dosis optimum dari aditif lainnya.
Pola FCR pada FA20, BOF20, dan RM20 mulai berfluktuasi setela 50 detik yang
kemudian berkurang setelah waktu 80 detik dan pola peningkatan setelah 400 detik
yang dapat digunakan untuk mendeteksi kondisi beton di bawah pembebanan siklik.
Pada BOF20, FA20 menunjukkan pengulangan terbaik dengan nilai FCR adalah 6%
dan 1,5%. Hasil FCR tertinggi RM berada ketika di bawah amplitudo pembebanan
yang besar (18 MPa). Nilai FCR FA25, BOF25, dan RM25 sebanding FA20 dan
RM20, namun BOF20 diamati dengan pola yang berbeda secara signifikan dengan
waktu loadingnya dari 0 – 300 detik. FCR semua specimen tidak dapak Kembali ke
nilai awal yang dapat dikaitkan dengan rezim elastic dari specimen. Sehingga yang
paling cocok untuk menjadi pengganti sebagian semen adalah FA dalam self-sensing
concrete.

Anda mungkin juga menyukai