Anda di halaman 1dari 13

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BERDASARKAN KOMPOSISI

MASERAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS BATUBARA


DI DAERAH BANTI DAN BATUNONI KABUPATEN ENREKANG

DEPOSTIONAL ENVIROMENT BASED ON MACERAL AND ITS


EFFECT TO COAL QUALITY IN THE BANTI AND BATUNONI AREAS
OF ENREKANG REGENCY

Gunawan Muh. Ichsan, 2Meutia Farida, 3Sufriadin

Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin


(email:gunawan.ichsan87@gmail.com)
2
Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
(email:meutia_farida03@yahoo.com)
3
Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
(email: supriadin.as@gmail.com)

Alamat Koresponden:
Gunawan Muh. Ichsan
Perum Nusa Tamalanrea Indah
Jl. Mangga 1 Blok RE No. 08
Makassar 90245
Hp. 085255444519
Email: gunawan.ichsan87@gmail.com
Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara yang ada di daerah Banti dan Batunoni
Kabupaten Enrekang. Penelitian ini menggunakan mikroskop dalam pengamatan maseral secara petrografi, yang
hasilnya dihubungkan dengan kualitas batubara berupa kandungan sulfur dan abu berdasarkan rekonstruksi
lingkungan pengendapannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batubara di lokasi penelitian didominasi oleh
maseral vitrinit dengan kandungan rata-rata di Banti adalah 75,14 % dan di Batunoni adalah 74,27 %. Dominasi
kandungan vitrinit merupakan indikasi bahwa batubara di lokasi penelitian terbentuk dari tumbuhan berkayu. Hasil
pengukuran nilai reflektansi vitrinit rata-rata 0,46 %, hal tersebut menunjukkan bahwa peringkat batubara di daerah
penelitian adalah Subbituminous. Hasil analisis kandungan maseral menunjukkan bahwa batubara yang berada di
lokasi penelitian dapat diinterpretasikan diendapkan pada lingkungan ombrotelmatis dari lingkungan lower delta
plain di daerah Batunoni ke upper delta plain di daerah Banti dengan tipe gambut bog-ombrotrophic. Implikasi dari
lingkungan pengendapan batubara di daerah penelitian berpengaruh terhadap kualitas batubara terutama pada
kandungan sulfur dan abu yakni sulfur dan abu di daerah penelitian bervariasi dari sedang ke rendah. Hal tersebut
disebabkan oleh pengendapan batubara di lokasi penelitian terendapkan pada lower delta plain di Batunoni yang
mendapat pengaruh air laut dan air tanah secara langsung ke upper delta plain di Banti yang tidak dipengaruhi oleh
air laut secara langsung.
Kata kunci: lingkungan pengendapan, Maseral, kualitas batubara.

Abstract
This study aims to determine the depositional environment of coal in the Banti and Batunoni Area of Enrekang
Regency. This study uses a microscope in maceral basis petrographic observations, the results of which are
connected with the quality of the coal in the form of sulfur and ash based on reconstruction of depositional
environment. The results showed that coal in the study area is dominated by vitrinite with the average content in
Banti was 75.14% and in Batunoni was 74.27%. The domination of vitrinite content of indicated that the coal in the
study area was formed by woody plants. The measurement results of vitrinite reflectance value on an average of
0.46%, it shows that the rank of coal in the study area are is sub-bituminous. Maceral of content analysis, exhibit
that coal in the study area can be interpreted to be deposited on ombrotelmatis environment of lower delta plain
environment in the area Batunoni to upper delta plain in the area of peat bog Banti with type-ombrotrophic. The
implications of the depositional environment of coal in the study area affects the quality of coal, particularly sulfur
and ash content wich in the case of study area varies from moderate to low. It is caused by the deposition of coal at
the research area deposited in the lower delta plain in Batunoni under the influence of seawater and groundwater
directly to the upper delta plain in Banti were unaffected by seawater directly.
Keywords: Depositional environment, Maceral, Quality of coal.

PENDAHULUAN
Batubara mempunyai karakteristik dan kualitas yang berbeda dari satu tempat ketempat
lainnya. Faktor tumbuhan pembentuk dan lingkungan pengendapan akan menyebabkan
terbentuknya batubara

yang

memiliki karakteristik dan kualitas

yang berbeda-beda.

Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan pengendapan dan
geologi daerah tersebut. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas batubara banyak
dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya.
Dalam penerapan petrografi batubara,dapat digunakan untuk mengamati maseral yang
ada dalam batubara. Komposisi maseral pada batubara diyakini menunjukkan material organik
yang mengkontribusi pada pengendapan gambut dan kondisi selama pengendapan. Fasies dari
maseral yang diperoleh dari hasil analisis maseral telah digunakan untuk mengetahui lingkungan
pengendapan pada saat pengendapan gambut (Widodo& Antika, 2012). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui komposisi dan jenis maseral yang ada dalam batubara secara petrografis pada
daerah penelitian.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Banti kecamatan Baraka dan Desa Batunoni
Kecamatan Anggeraja yang keduanya berada Di Kabupaten Enrekang dan berjarak sekitar 40
Km dari ibukota kabupaten dan berjarak sekitar 350 km dari kota Makassar yang merupakan
ibukota Provinsi Sulawesi Selatan dengan waktu tempuh sekitar 6 jam perjalanan menggunakan
kendaraan darat. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November Desember 2015 dimana
kondisi cuaca pada waktu tersebut belum memasuki musim penghujan . (Gambar 1)
Metode Dan Analisis Laboratorium
Sampling dilakukan pada singkapan batubara di Desa Batunoni dan Banti Kabupaten
Enrekang. Metode sampling yang digunakan yaitu chanel sampling per ply pada setiap
singkapan, metode ini digunakan karena singkapan batubara yang ditemui secara megaskopis
terlihat homogen. Sampel batubara yang diambil pada mulanya berbentuk bongkah sehingga
untuk dapat melakukan uji kualitas harus dilakukan pengecilan ukuran terlebih dahulu.

Prosedur pembuatan sayatan poles sampel batubara yang telah di preparasi adalah (1)
Sampel dimasukkan ke dalam alat pencetak secukupnya. (2) Persiapkan resin (Buehler-Epo
Kwick resin) sebanyak 10 ml untuk 1 sampel dalam gelas kimia. (3) Teteskan katalis (larutan
pengeras) sebanyak 6 tetes/10 ml kedalam resin. (4) Masukkan campuran katalis+resin kedalam
alat pencetak yang berisi sampel dan diaduk hingga rata lalu diberi label. (5) Keringkan selama 1
jam dalam suhu ruangan dan bila telah padat maka sampel dikeluarkan dari cetakan. (6) Sampel
kemudian dipotong dengan alat potong (grinder polisher) sampai rata. (7) Sampel kemudian
dihaluskan dimulai dengan menggunakan mesin amplas kasar kemudian dilanjutkan dengan
mesin amplas halus untuk membentuk permukaan atas dan bawah sampel hingga mempunyai
bentuk yang baik dan rata dilanjutkan menghaluskan dengan

menggunakan Alpa micropolis

alumina dengan menggunakan cairan alumina oxide kemudian dilakukan levelling. (8) Sampel
poles yang telah selesai dengan bentuk yang baik siap untuk diamati dengan mikroskop.
Analisis proximate
Analisis proximate dilakukan untuk menentukan kadar air ( moisture content) kandungan
abu (ash content), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon). Kadar air (moisture
content ) ditentukan dengan menghitung kehilangan berat sampel batubara yang telah dipanaskan
pada suhu dan kondisi standar dalam oven khusus dan dinyatakan dalam satuan % berat.
Kandungan abu (ash content) merupakan sisa pembakaran batubara yang tidak dapat terbakar,
ditentukan dengan menimbang sisa pembakaran sempurna sampel batubara pada kondisi standar
dan dinyatakan dalam satuan % berat. Zat terbang (volatile matter) terdiri atas gas-gas yang
combustable seperti metan, hidrogen, oksigen, nitrogen, belerang dan karbon monoksida serta
sebagain kecil yang non-combustable seperti uap air dan karbon dioksida. Zat ini ditentukan
dengan menghitung kehilangan berat sampel yang dipanaskan tanpa oksidasi, kemudian
dikoreksi terhadap air lembab dan dinyatakan dalam satuan % berat. Karbon padat (fixed carbon)
merupakan sisa padat dari hasil pemanasan batubara setelah seluruh zat terbangnya habis keluar.
Analisis ultimate (total sulfur)
Analisis ultimate bertujuan untuk menentukan nilai atau unsur-unsur karbon, hidrogen,
oksigen,nitrogen dan Sulfur dalam sampel batubara. Kadar C dan H ditentukan dengan
mengoksidasi sampel batubara yang lolos saringan 60 mesh (0,212 mm) dengan oksigen murni
dalam pipa pembakaran (combustion tube) dimana seluruh hidrogen diubah menjadi air ( H2O)
dan karbon diubah menjadi karbon dioksida (CO2).

Analisis nilai kalori


Nilai Kalori ditentukan dengan membakar sampel batubara dengan oksigen didalam
sebuah Bomb calorimeter yang telah dikalibirasi dalam keadaan terkontrol. Nilai GCV dihitung
dari pengamatan suhu sebelum,selama,dan sesudah pembakaran.
Pengamatan maseral dengan mikroskop
Pengamatan ini merupakan pengamatan kuantitatif untuk menentukan komposisi maseral
dalam batubara. Analisis petrografi dilakukan dengan menggunakan mikroskop sinar pantul
(reflected light microscop) pada pembesaran antara 250 x hingga 500 x, yang memiliki
immersion objective dan eyepiece pembesaran antara 4x dan 12,5x, dengan jumlah pengamatan
500 kali dengan interval pengamatan di set 0,5 mm berdasarkan Standar Auntralia ( AS 28561986). Sampel yang digunakan adalah sampel poles batubara hasil preparasi yang diambil
didaerah penelitian. Identifikasi maseral didasarkan pada warna, morfologi dan karakteristik
flourecencenya.
HASIL
Maseral batubara di Daerah Banti, komposisi maseral pada batubara di daerah penelitian
ini di dominasi oleh telovitrinit dengan persentase kandungan mulai dari 4,93 % sampai 45,80 %.
Tipe maseral yang dominan adalah telecolinite ( 40,23 %- 43,40 %) dengan persentase
kandungan lebih besar dari textinit yang hanya (1,70 % - 3,20 %). Tingginya kehadiran
kandungan telecolinite dibanding textinit dengan nilai bervariasi rata-rata 41,64 % pada hampir
semua sampel, hal tersebut menandakan bahwa material pembentuk batubara di daerah Banti
mengalami gelifikasi yang lemah dan terawetkan dalam kondisi gambut yang lembab namum
tidak tergenangi oleh air. Kandungan detrovitrinit rata rata 27,57% dan gelovitrinit ( 3,38 % 3,65 %) ditemukan lebih kecil dari telovitrinit. Sub grup maseral detrovitrinit terdiri dari tipe
maseral densinit rata-rata 1,17 %, desmocolinite rata-rata 26,40.
Subgrup maseral gelovitrinit yang ditunjukan oleh corpogelinit dengan persentase rendah
pada seluruh sampel (rata-rata 3,50 %) menunjukkan bahwa pengaruh proses gelifikasi tidak
begitu signifikan. Namun dengan demikian tingginya kandungan telecolinit pada seluruh sampel
mengindikasikan bahwa proses gelifikasi tetap terjadi walaupun tidak intensif atau lemah. Grup
maseral inertinit terdiri dari semifusinit (rata-rata 2,77 %), Sclerotinit (rata-rata 1,53 %) dan
Inertodetrinit (rata-rata 1,33 %). Maseral inertinit merupakan komponen yang mengalami

oksidasi akibat berkurangnya kelembaban gambut. Bila kandungan maseral ini relatif rendah
dapat mengindikasikan bahwa batubara berasal dari lingkungan pengendapan yang relatif basah
dengan tingkat oksidasi yang rendah.
Pada sampel batubara di daerah Batunoni, grup maseral yang ada pada batubara yaitu
Telovitrinit dengan persentase mulai dari 9,23 % - 14,54 %. Tipe maseral yang dominan adalah
telecollinit ( 9,23 % - 14,54 %) dimana textinit tidak dijumpai. Tingginya kehadiran kandungan
telecolinit dibanding textinit dengan nilai yang bervariasi pada hampir seluruh sampel
menandakan material pembentuk batubara yang ada di daerah Batunoni telah mengalami
gelifikasi walaupun secara tidak intensif sehingga terawetkan dalam kondisi rawa gambut yang
cenderung lembab. (Gambar 2)
Dari hasil pengamatan maseral, dapat dapat diketahui bahwa batubara

di lokasi

penelitian terdiri dari kelompok grup maseral Vitrinit yang sangat mendominasi sampel batubara
yang diambil di lokasi penelitian. Rata-rata maseral vitrinit di lokasi Banti adalah 75,14 % yang
didominasi oleh sub grup maseral teleovitrinite dengan tipe maseral yang dominan adalah
telecolinite ( 40,23 43,23 %) yang lebih besar dari kandungan textinit yang hanya 1,70 3,20
% kemudian sub grup detrovitrinit dan yang kecil sub grup gelovitrinit dan di lokasi Batunoni
74,27 % yang didominasi oleh subgrup maseral detrovitrinit kemudian teleovitrinit dan yang
lebih kecil adalah gelovitrinit, maseral liptinit di lokasi Banti adalah 8,0 % yang didominasi oleh
sub grup maseral resinit kemudian cutinit, maseral liptinit di lokasi Batunoni 6,33 % yang
didominasi oleh sub grup maseral resinit kemudian cutinit dan suberinit. Maseral inertinit juga
dijumpai walaupun dalam jumlah yang kecil yaitu di lokasi Banti rata-rata inertinit adalah 6,57
% yang didominasi oleh sub grup maseral semifusinit kemudian sclerotinit dan inertodetrinit dan
di lokasi Batunoni 5,77 % yang didominasi oleh sub grup maseral semifusinit kemudian
sclerotinit kemudian inertodetrinit dan fusinit. Dominasi kandungan vitrinit merupakan indikasi
bahwa batubara di lokasi penelitian terbentuk dari maseral tumbuhan berkayu. (Tabel 1).
Interpretasi lingkungan pengendapan
Lingkungan pengendapan telah diketahui yaitu di daerah Banti menunjukkan
lingkunganUpper delta plain pada daerah wet forest swamp dengan kondisi telmatic dengan tipe
gambut bog-ombrotrophic dan di daerah Batunoni menunjukkan lingkungan Lower delta plain
pada daerah Marsh dengan kondisi Limno-telmatic sampai Limnic dengan tipe gambut bogombrotrophic, dari interpretasi lingkungan pengendapan diketahui bahwa lingkungan

pengendapan seam batubara di Enrekang mengalami perubahan dari lower delta plain hingga
Upper delta plain, adanya perubahan tersebut menyebabkan adanya perbedaan pada kualitas
batubara seperti kandungan abu, sulfur, dan nilai kalori sehingga berpengaruh pula pada dan
penggunaan batubara tersebut. Adapun pengaruh dari lingkungan pengendapan batubara terhadap
kualitas batubara itu sendiri, yaitu Kandungan Abu, Kandungan Total Sulfur, Nilai Kalori.
Kandungan abu di lokasi bervariasi dari rendah sampai medium 5,25 % - 13,41 %, pada daerah
Banti komposisi abu rendah sekitar 5,62 %. Pada sampel batubara di lokasi Batunoni, kandungan
abu terlihat sedang yaitu abu sekitar 10 % -13, 41 % berdasarkan rekonstruksi lingkungan
pengendapan batubara pada daerah Banti merupakan lingkungan Upper delta Plain sehingga
kandungan abu lebih rendah dari kandungan abu pada batubara daerah Batunoni sedangkan
batubara di daerah Batunoni terbentuk pada lingkungan lower delta plain yang secara langsung
dipengaruhi oleh air laut, hal inilah yang menyebabkan kandungan abu cukup tinggi pada
batubara di daerah ini dibanding batubara daerah Banti. (Gambar 3)
Manifestasi dari lingkungan pengendapan batubara sangat mempengaruhi komposisi
sulfur yang ada dalam batubara di daerah penelitian, dari hasil analisis terlihat jika kandungan
sulfur di daerah penelitian dan sulfur mempunyai nilai yang rendah kecuali pada roof dan floor
yang mempunyai nilai sampai 1 % hal ini berdasarkan rekonstruksi lingkungan pengendapan
batubara di lokasi di lokasi Banti terendapkan dalam lingkungan upper delta plain yang mana
secara langsung tidak dipengaruhi oleh air laut namun sulfur yang sedang diduga berasal dari
tumbuhan. Sulfur merupakan salah satu unsur yang penting bagi tumbuhan, akan tetapi ketika
tumbuhan itu telah mati dan terdekomposisi, sulfur yang berkonsentrasi di ujung akar dan daun
tidak ikut terdekomposisi, sulfur inilah yang akan tersisa hingga proses pembatubaraan berjalan
dan berakhir.
Nilai kalori batubara di daerah penelitian berada pada kisaran rata-rata sedang - medium
yaitu dari 5.339 5.795 cal/g (adb). Proses pematangan batubara dipengaruhi oleh temperatur,
tekanan, dan waktu, dimana temperatur dan tekanan memegang peranan penting. Semakin dalam
menuju perut bumi, maka semakin besar pula tekanan dan temperatur. Dengan demikian semakin
besar tekanan dan kedalaman maka kandungan moisture semakin kecil dan nilai kalori pun
semakin meningkat.

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa lingkungan pengendapan mempunyai pengaruh
terhadap kualitas batubara terutama pada kandungan sulfur dan abu, dimana sulfur dan abu di
lokasi Banti bervariasi dari rendah ke medium karena lingkungan pada upper delta plain (Banti)
tidak terpengaruh secara langsung oleh air laut sehingga kandungan abu dan sulfur rendah
dibandingkan dengan lingkungan lower delta plain (Batunoni) yang mendapat pengaruh air laut
secara langsung sehingga kandungan abu dan sulfur termasuk medium.
Secara umum, batubara disusun oleh komponen organic dan anorganik yang biasa
diamati dengan miskroskop. Material non organik pada batubara terdiri dari mineral matters
terutama mineral lempung, Karbonat, Sulfida, Silikat dan beberapa mineral lainnya (Widodo &
Antika, 2012). Material organic pembentuk batubara disebut dengan maseral dimana maseral
dalam batubara analog dengan mineral pada batuan (Tayloret al., 1998).
Densinite adalah komponen yang diyakini berasal dari tumbuhan perdu dan kayu yang
mudah terdekomposisi dengan tingkat gelifikasi yang masih rendah (Teichmuller, 1989),
sementara desmocolinite adalah maseral yang terutama tersusun oleh sisa-sisa tumbuhan yang
berasal dari jaringan tumbuhan yang terurai menjadi butiran halus baik secara insitu maupun
selama transportasi ketempatnya diendapkan (Falcon dalam Widayat, 2005), sedangkan menurut
Diessel (1986), menyatakan desmocolinite umumnya berasal dari tumbuhan herbaceous yang
memiliki jaringan lunak karena kandungan cellulosa yang dominan. dan biasanya tumbuh pada
bagian tengah mire ombrogenous dengan pH 3,3-4,6, dengan demikian kandungan desmocolinite
yang besar pada seam batubara di lokasi Banti menunjukkan adanya peningkatan aktifitas bakteri
seiring dengan bertambahnya intensitas air yang masuk kedalam mire.
Grup maseral inertinit terdiri dari semifusinit (rata-rata 2,77 %), Sclerotinit (rata-rata 1,53
%) dan Inertodetrinit (rata-rata 1,33 %). Maseral inertinit merupakan komponen yang mengalami
oksidasi akibat berkurangnya kelembaban gambut. Bila kandungan maseral ini relatif rendah
dapat mengindikasikan bahwa batubara berasal dari lingkungan pengendapan yang relatif basah
dengan tingkat oksidasi yang rendah (Stach,et al., 1982).
Telecolinit adalah sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berasal dari batang, ranting, daun dan
akar berbentuk fragmen fragmen besar yang tergelifikasi lemah dan langsung terawetkan ketika
terjadi akumulasi gambut sedang berlangsung (Falcon dalam Widayat, 2005), sedangkan textinit
tidak mengalami gelifikasi sehingga masih memperlihatkan dinding-dinding sel dari jaringan

tumbuhan. Tingginya kehadiran kandungan telecolinit dibanding textinit dengan nilai yang
bervariasi pada hampir seluruh sampel menandakan material pembentuk batubara yang ada di
daerah Batunoni telah mengalami gelifikasi walaupun secara tidak intensif sehingga terawetkan
dalam kondisi rawa gambut yang cenderung lembab.
Secara regional kualitas batubara biasanya ditinjau dari kandungan sulfur yang secara
langsung dipengaruhi oleh lingkungan pengendapan, sedangkan kandungan abu dan kalori untuk
klasifikasi kelas dari batubara itu sendiri. Sulfur merupakan salah satu unsur yang penting bagi
tumbuhan, akan tetapi ketika tumbuhan itu telah mati, kemudian terdekomposisi, sulfur yang
berkonsentrasi di ujung akar dan daun tidak ikut terdekomposisi, sulfur inilah yang akan tersisa
hingga proses pembatubaraan berjalan dan berakhir. Sulfur juga terbentuk karena proses reduksi
yang diakibatkan oleh bantuan bakteri sulfate, sulfur yang tersisa dari serat-serat tumbuhan itu
sendiri karena proses pembebanan dan fluida dari lingkungan pengendapannya (Riswandi, 2008).
Lower Delta Plain, lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat
pengaruh pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada daerah
batas tertinggi dari air pasang.
Upper Delta Plain, lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial
dengan

dataran

delta,umumnya

melalui

sungai

berstadium

dewasa

yang

memiliki

banyak meander . Permukaan cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau
sehingga menghasilkan endapan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi
serta didominasi oleh maseral telovitrinit/humotelitin dan secara kualiatas memiliki kandungan
abu dan sulfur yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lain.
Fasies batubara berhubungan dengan tipe genetik batubara yang diekspresikan melalui
komposisi maseral dan komposisi kimia serta sifat teksturnya. Maseral yang diperoleh dari hasil
analisis telah digunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan pada saat pengendapan
gambut (Diessel, 1986). Fungsi maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan
batubara dapat didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain sifat atribute dan sifat
skalar. Sifat atribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada atau tidaknya suatu maseral
tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu
lingkungan tertentu (Diessel, 1992).
Sedangkan menurut Diessel (1986), sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas
faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif

antara tiap maseral dalam batubara, Diessel (1986), memperkenalkan dua parameter utama
dalam penentuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu ; TPI
(Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index). Salah satu parameter dalam
pembentukan mire lahan gambut (rhetrophic, mesotrophic dan ombrotrophic) adalah kondisi
pengaruh air tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks Ground water yang secara langsung
berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi/ion-ion yang ada pada air. Rhetropic
mire dapat dibagi menjadi Fen, Swamp dan Marsh yang tergantung pada tingkat genangan air
pada lahan gambut, sedangkan mire dapat diistilahkan sebagai Bogs. Pada aspek ini digunakan
GWI (Ground Water Index) (Calder et al., 1991). Selain dari pengaruh air tanah, aspek vegetasi
juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasikan asal mula suatu lahan gambut
(paleomire). Secara teori lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk
dengan menggunakan parameter keasaman antar maseral. Pada aspek vegetasi ini yang
digunakan adalah indeks vegetasi VI (Vegetation Index) (Calderet al., 1991).
Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman yang
banyak mengandung selulosa (tumbuhan perdu dan angiospermae), namun tanaman yang banyak
mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sukar dihancurkan, sehingga peningkatan TPI
menunjukan peningkatan prosentase kehadiran tumbuh-tumbuhan kayu (jika peningkatan harga
TPI menunjukan peningkatan prosentase kehadiran tumbuh-tumbuhan kayu (jika peningkatan
harga TPI tersebut akibat banyaknya tellinit dan telecollinit). Jika harga TPI tinggi dikarenakan
banyaknya fusinit atau semifusinit maka ini menunjukkan proses dekomposisi yang diakibatkan
oleh proses oksidasi yang berlangsung dengan cepat (Widodo & Antika, 2012).
Gelification Index (GI) merupakan suatu perbandingan maseral yang terbentuk karena
proses gelifikasi (vitrinit dan makrinit) terhadap maseral yang terbentuk karena proses oksidasi
(fusinit, semifusinit dan inertodetrinit). Kondisi yang baik untuk terbentuknya vitrinit dan
makrinit adalah jika gambut selalu dalam kondisi basah dan suplai oksigen terbatas (Lambersont,
et al dalam Widodo & Antika, 2012). Jika muka air tanah berada atau sedikit diatas permukaan
gambut. Sehingga dari harga GI dapat diinterpretasikan muka air tanah relatif tinggi terhadap
permukaan gambut. Kombinasi TPI dan GI dapat digunakan untuk memperkirakan derajat
dekomposisi dan kecepatan akumulasi tumbuh-tumbuhan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan
pengendapan mempunyai pengaruh terhadap kualitas batubara terutama pada kandungan sulfur
dan abu, dimana sulfur dan abu di lokasi Banti bervariasi dari rendah ke medium karena
lingkungan pada upper delta plain (Banti) tidak terpengaruh secara langsung oleh air laut
sehingga kandungan abu dan sulfur rendah dibandingkan dengan lingkungan lower delta plain
(Batunoni) yang mendapat pengaruh air laut secara langsung sehingga kandungan abu dan sulfur
termasuk medium. Dalam pemanfaatan batubara didaerah penelitian, disarankan untuk
menambang di daerah Banti karena kualitas batubara pada daerah tersebut lebih baik dibanding
didaerah Batunoni.
DAFTAR PUSTAKA
Calder J.H.,Gibling M.R.&Mukhopadhay P.K.(1991). Peat Formation in a Westphalian B
Piedmont Setting, Cumberland Basin, Nova Scotia : Implications for the Maceral Based
Interpretation of Rhetrophic and Raised Paleomires. Bulletin of Social Geology France,
Paris.
Diessel C.F.K. (1986).On The Corelation between Coal facies and Depotional Enviroments,
Proceeding of 20th Symposium of Departemen of Geology, Universitas Newcastle.
DiesselC.F.K.(1992). Coal Bearing Depositional Systems, Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. Germany.
Horne J.C.&Ferm.(1978).Depotional Models In Coal exploration and mining Planning in
Appalachian region, AAPG Buletin, USA, 62,2379-2411.
Riswandi H.(2008). Pengaruh Lingkungan Pengendapan Terhadap Kualitas batubara Daerah
Binderang, Lokpaikat, Tapin, Kalimantan selatan, Jurnal ilmiah MTG, Vol. 1 No. 2.
Stach E., Mackwosky M., Teichmuller M., Taylor G.H.& Chandra D.(1982).Coal Petrology 3 th
edition, Gebruder Bontraeger, Berlin, Stuttgar
Taylor G.H., Teichmuller M., Teichmuller R., Davis A., Diessel C.F.K.& Robert L.P.
(1998).Organic Petrology, Gebruder Borntraeger, Berlin Stuttgart
TeichmllerM.(1989). The genesis of coal from the viewpoint of coal petrology. In: Lyons, P.C.
and Alpern, B. (Eds.) Peat and Coal: Origin, Facies and Depositional Models, p.1-87,
Elsevier, Amsterdam.
Widayat A.H.(2005). Hubungan Interpretasi fasies dan Lingkungan Pengendapan Batubara
dengan Variasi Sulfur Seam R dan Q, Sub Cekungan Berau, Cekungan Tarakan,
kalimantan Timur. Departemen Teknik Pertambangan ITB, Bandung.
Widodo S.& Antika R.(2012).Studi Pengendapan Batubara berdasarkan komposisi Maseral di
Kabupaten Barru sulawesi selatan, Jurnal teknik Geologi,volume 6.

Lampiran

Gambar 1. Peta tunjuk lokasi penelitian di daerah Banti dan Batunoni

Gambar 2. Kenampakan Maseral dibawah Mikroskop

Tabel 1. Komposisi maseral hasil analisis pengamatan mikroskop

Gambar 3. Interpretasi lingkungan pengendapan di Banti (A) dan Batunoni (B)

Anda mungkin juga menyukai