Anda di halaman 1dari 7

How Inverse Distance Weighted (IDW) Works

By: Syam’ani, S.Hut., M.Sc.


Email: syamani_bjb@yahoo.co.id

Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan metode interpolasi geostatistik yang memiliki
formulasi paling sederhana, mudah dipahami dan mudah diimplementasikan. Di samping
itu, metode ini memberikan hasil yang cukup akurat, sehingga penggunaannya cukup luas
pada berbagai bidang ilmu, termasuk Sistem Informasi Geografis (SIG).

IDW menentukan nilai dari suatu titik yang belum diketahui nilainya menggunakan
kombinasi bobot linier dari suatu set titik-titik sampel. Titik-titik sampel yang dimaksud
merupakan titik-titik yang sudah diketahui nilainya dan secara spasial letaknya paling dekat
dengan titik yang akan ditentukan nilainya. Sementara bobot yang dimaksud adalah fungsi
jarak terbalik (inverse distance) titik-titik sampel tersebut terhadap titik yang akan
ditentukan nilainya.

Perhatikan gambar berikut:

125

76
114
85
70 50 m

32 m X 68
15 m 79

40 57 m 48 m 52

28

17

Misalkan telah dilakukan pengukuran ketinggian tempat (elevasi) pada sejumlah titik seperti
terlihat pada gambar di atas. Terdapat sebuah lokasi, yaitu titik X (titik berwarna kuning),
yang tidak diukur ketinggiannya (mungkin karena aksesibilitas lapangan yang sulit). Tetapi
titik X tersebut sangat penting untuk diketahui ketinggiannya. Dengan menggunakan
metode IDW dan sejumlah sampel titik (perhatikan 5 titik yang bewarna merah berikut
jaraknya masing-masing terhadap titik X), tentukan ketinggian di titik X!
Jika nilai ketinggian pada masing-masing titik sampel kita sebut z, sehingga ada z1, z2, z3, z4,
dan z5. Dan jarak masing-masing titik sampel ke titik X kita sebut d, sehingga ada d1, d2, d3,
d4, dan d5. Maka ketinggian di titik X (zx) dapat ditentukan dengan fungsi berikut:
n
F(z x )   w i z i
i 1
Dimana:
p
1
  n

wi  di 
p
dengan syarat: w
i 1
i  1, p  1
n 1
 d
j 1 

 j 

Keterangan:
n adalah jumlah titik sampel, i dan j adalah nomor titik sampel, w adalah bobot (weight),
dan p adalah pangkat (power). Jumlah nilai bobot harus sama dengan 1, dan nilai p harus
lebih dari 1, umumnya nilai p yang digunakan adalah 2.

Fungsi di atas merupakan algoritma IDW yang diformulasikan oleh Shepard (1968).

Pada gambar hasil pengukuran ketinggian di atas, jika z1 = 70, maka d1 (jarak z1 terhadap
titik yang akan dicari ketinggiannya) adalah 32.

Seterusnya, sehingga:

z2 = 85, d2 = 50
z3 = 68, d3 = 15
z4 = 52, d4 = 48
z5 = 40, d5 = 57

Perhitungan IDW:

Jumlah titik (n) adalah 5, dan nilai p yang digunakan adalah 2.

Yang pertama kali dihitung adalah kebalikan jarak (inverse distance) dari masing-masing titik
sampel, dipangkatkan dengan nilai p.

2
1
2
1 2
    32   0,03125  0,0009765625
 d1   

2
1 1
2

      0,02  0,0004
2

 d 2   50 
2
1 1
2

      0,0666666666666667  0,00444444444444444
2

 d 3  15 
2
1 1
2

      0,0208333333333333  0,000434027777777778
2

 4  
d 48

2
1 1
2

      0,0175438596491228  0,000307787011388119
2

 5  
d 57
2
5 1
Selanjutnya adalah mencari nilai    , yaitu total kelima inverse distance di atas.
 d j 
j 1 

2
5  1 
    0,0009765625  0,0004 0,00444444444444444 0,000434027777777778 0,000307787011388119
j 1  d j 
 
= 0,00656282173361034

Berikutnya adalah menghitung nilai bobot masing-masing titik sampel. Nilai bobot (wi)
dihitung dengan cara membagi nilai masing-masing inverse distance kelima titik sampel
dengan total kelima inverse distance. Karena ada 5 titik sampel, maka akan ada 5 bobot.
2
1
 
w1    2 
d1 0,000204081632653062
 0,148802228620459
5   0,00656282173361034

1
 
j 1 
 d j 
2
1 
 
w2    2 
d2 0,000204081632653062
 0,0609493928429399
5   0,00656282173361034

1
 
j 1 
 d j 
2
1
 
w3    2 
d3 0,000204081632653062
 0,677215476032664
5   0,00656282173361034

1
 
 d j 
j 1 

2
1 
 
w4    2 
d4 0,000204081632653062
 0,066134323831315
5   0,00656282173361034

1
 
 d j 
j 1 

2
1
 
w5    2 
d5 0,000204081632653062
 0,0468985786726222
5   0,00656282173361034

1
 
j 1 
 d j 
Nilai kelima bobot di atas jika dijumlahkan hasilnya adalah 1.

Langkah terakhir adalah menghitung nilai ketinggian di titik X.


5
F(z x )  w z
i 1
i i

F(z x )  w1z1  w 2 z 2  w 3 z 3  w 4 z 4  w 5 z 5

        
F(z x )  0,148802228620459 x 70  0,0609493928429399 x 85  0,677215476032664 x 68  0,066134323831315 x 52  0,0468985786726222 x 40 

F(z x )  10,4161560034321 5,18069839164989 46,0506523702212 3,43898483922838 1,87594314690489

F(z x )  66,9624347514365

Jadi nilai ketinggian di titik X adalah 66,9624347514365, atau dibulatkan menjadi 67.

Dengan cara seperti di atas, maka semua ketinggian tempat pada wilayah observasi dapat
dipetakan dengan hanya beberapa titik sampel pengukuran, tidak perlu harus mengukur
ketinggian tempat pada setiap inchi wilayah yang kita amati. Tentunya, IDW hanya salah
satu dari sekian banyak metode interpolasi geostatistik. Disamping IDW ada Spline, Kriging,
Radial Basis Function (RBF), Local Polynomial Interpolation, Global Polynomial Interpolation,
Natural Neighbors, Trend, dan lain sebagainya.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara memetakan ketinggian tempat pada seluruh


wilayah observasi dengan menggunakan interpolasi geostatistik seperti contoh IDW di atas?

Hal pertama yang harus ditentukan adalah, seberapa detail/rinci informasi ketinggian yang
kita inginkan. Jika kita menginginkan data ketinggian tempat setiap 10 meter, maka kita
harus membuat grid dengan ukuran 10 meter x 10 meter. Perhatikan gambar di bawah:
Grid atau cell identik denngan resolusi spasial pada citra satelit, yang merupakan penentu
kerincian informasi keruangan. Setelah ukuran grid kita tentukan, selanjutnya IDW akan
mengukur ketinggian pada setiap grid. Caranya seperti pada contoh perhitungan IDW di
atas, dimana IDW akan mengukur jarak ke setiap titik pusat grid. Perhatikan gambar:

Pada contoh perhitungan sebelumnya, kita hanya menghitung ketinggian menggunakan


IDW hanya pada satu titik. Sedangkan pada pembuatan peta ketinggian (berwujud
raster/grid), perhitungan ketinggian dilakukan pada setiap grid, dengan pusat grid sebagai
acuan pengukuran jarak. Tentunya kita tidak akan melakukan perhitungan secara manual,
semuanya akan dikerjakan oleh tool yang sudah disediakan software Sistem Informasi
Geografis seperti ArcGIS.

Ukuran grid
Nilai p

Radius pencarian (jumlah tetangga


terdekat yang digunakan sebagai
titik sampel pengukuran)
Hasil akhir dari proses IDW di atas dapat dilihat pada gambar berikut:

Setiap grid/cell hasil proses IDW berisi angka yang merupakan data elevasi/ketinggian
tempat, tentu jika titik yang diinterpolasi adalah titik ketinggian. Jika yang diinterpolasi
adalah data curah hujan atau temperatur misalnya, maka data pada setiap grid merupakan
curah hujan atau temperatur. Ukuran grid bisa dirubah sesuai keperluan, misalnya 20, 30,
atau 50 (jika sistem koordinatnya UTM maka satuannya meter). Semakin kecil ukuran grid,
semakin detail peta ketinggian yang dihasilkan, akan tetapi proses interpolasi akan
memakan waktu lama.

Jumlah tetangga terdekat yang akan digunakan sebagai titik sampel dapat kita tentukan
sendiri. Beberapa software SIG memilih angka default 12 titik sampel. Sementara pada
contoh perhitungan sebelumnya, hanya digunakan radius pencarian 5 titik sampel. Jika
dipilih radius pencarian 12 titik, maka setiap grid akan diukur terhadap 12 titik sampel yang
paling dekat dengan grid yang akan diukur. Selain radius dengan jumlah titik sampel
terdekat, kita juga bisa menentukan radius tetap (fixed radius) dalam satuan jarak (meter).

Jumlah titik sampel maksimum adalah sejumlah data titik yang kita miliki pada seluruh
wilayah (artinya semua titik digunakan sebagai sampel untuk setiap grid). Yang perlu
diperhatikan, semakin besar radius pencarian, maka proses interpolasi akan berjalan lebih
lama. Dan jumlah titik sampel yang besar (misalnya 100 titik terdekat), tidak akan menjamin
keakuratan hasil interpolasi. Sebab semuanya tergantung pada variasi data, misalnya variasi
topografi di daerah itu. Lagi pula, jika jumlah titik sampel terlalu besar, algoritma IDW akan
sensitif terhadap outliers. Tentang outliers ini akan dibahas pada bagian berikutnya.

KELEMAHAN IDW KONVENSIONAL

Fungsi IDW yang kita bahas di atas merupakan algoritma IDW konvensional yang pertama
kali diformulasikan oleh Shepard (1968). Formulasi Shepard di atas memiliki sejumlah
kelemahan, diantaranya adalah sangat sensitif terhadap outliers. Outliers adalah titik-titik
sampel terluar (titik-titik sampel yang letaknya paling jauh dari titik yang akan ditentukan
nilainya). Formula bobot (w) yang dikemukakan Shepard di atas akan memberikan terlalu
banyak bobot pada outliers. Meskipun menurut ESRI, pengaruhnya hanya akan terasa jika
jumlah titik sampelnya ada 1.000 titik atau lebih.
Outliers
Semakin jauh dari titik yang
Titik yang diukur diukur, maka nilai bobot (w)
akan semakin kecil. Akan
tetapi, semakin jauh dari titik
yang diukur, jumlah titik
semakin banyak. Sehingga
jika seluruh nilai w milik titik
terjauh (outliers)
dijumlahkan, jumlahnya bisa
lebih besar dari total nilai w
Titik sampel terdekat titik-titik terdekat. Akibatnya
titik yang diukur justru
menerima pengaruh lebih
banyak dari outliers

Perhatikan gambar di atas, yang diberi warna ungu adalah outliers. IDW berasumsi bahwa
semakin dekat jarak suatu titik yang diketahui nilainya (titik sampel) terhadap titik yang akan
ditentukan nilainya, maka akan semakin besar nilai bobot dari titik sampel tersebut.
Sehingga pengaruhnya terhadap titik yang akan ditentukan nilainya juga semakin besar.
Sebaliknya, semakin jauh jarak titik sampel, maka nilai bobotnya akan semakin kecil. Dengan
demikian, nilai-nilai bobot outliers sebenarnya semakin kecil.

Masalahnya adalah, secara logika spasial, jika titik-titik pengukuran tersebar relatif merata,
maka jumlah outliers akan jauh lebih banyak dari pada titik-titik sampel terdekat (perhatikan
gambar di atas). Sehingga jika bobot seluruh outliers dijumlahkan, jumlahnya bisa lebih
besar dari pada titik-titik sampel terdekat. Akibatnya outliers berpotensi memiliki pengaruh
yang lebih besar dalam menentukan nilai titik yang akan dihitung. Hal ini tentunya
kontradiktif dengan asumsi algoritma IDW itu sendiri. Bahwa pengaruh yang terbesar
seharusnya justru datang dari titik-titik sampel terdekat, bukan dari outliers.

Atas dasar kelemahan algoritma IDW konvensional di atas, maka formula bobot (w) IDW
dirubah menjadi:

p
 R - di 
 Rd 
wi   i 
p , dimana R adalah titik sampel terjauh dari titik (pusat grid) yang diukur
n R - d 

 
j 1 
j

 Rd j 
Menurut Franke & Nielson (1980), formula IDW baru di atas memberikan hasil yang lebih
akurat dari pada IDW konvensional. Sebab dengan adanya penambahan parameter R (titik
sampel terjauh) pada formula bobot IDW di atas, maka semakin jauh titik sampel, nilai
bobotnya akan semakin mengecil/tertekan (semakin mendekati nol), bahkan satu titik
terjauh nilai bobotnya sama dengan 0. Sebab titik sampel terjauh adalah R.

Anda mungkin juga menyukai