Anda di halaman 1dari 12

Wujud Raden Lesmana Mandrakumara setelah

dewasa.

PRABU DURYUDANA MENCURIGAI KEHAMILAN DEWI BANUWATI

Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap para menteri dan punggawa, sedang
membicarakan kehamilan sang permaisuri Dewi Banuwati, yang saat ini sudah mencapai usia
sembilan bulan. Namun sejujurnya, Prabu Duryudana merasa ada yang mengganjal dalam
hati tentang kehamilan istrinya itu.

Patih Sangkuni yakin arah pembicaraan Prabu Duryudana pasti menjurus ke masalah pribadi.
Ia merasa tidak pantas jika persoalan aib rumah tangga sang raja sampai didengar oleh
banyak orang. Untuk itu, Patih Sangkuni segera membubarkan para menteri dan punggawa
lainnya agar mereka segera keluar meninggalkan balai penghadapan. Kini yang tertinggal
hanyalah orang-orang kepercayaan Prabu Duryudana saja yang masih menghadap, yaitu Resi
Druna, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan Raden Kartawarma.

Prabu Duryudana pun melanjutkan pembicaraan. Sejak awal menikah ia sudah mendengar
desas-desus tentang hubungan asmara antara Dewi Banuwati dengan Raden Arjuna. Desas-
desus ini semakin diperkuat dengan permintaan aneh Dewi Banuwati, yaitu ingin dicarikan
juru rias pengantin yang tampan sempurna tanpa cacat. Siapa lagi yang dimaksud kalau
bukan Raden Arjuna si Panengah Pandawa itu?

Prabu Duryudana juga pernah mendengar cerita bagaimana caranya membedakan wanita
yang masih perawan atau tidak. Wanita jika masih perawan pasti mengeluarkan darah saat
bersetubuh pertama kali. Padahal, saat malam pertama perkawinan mereka, ternyata darah
tersebut tidak keluar dari kemaluan Dewi Banuwati. Hal ini membuat Prabu Duryudana
curiga jangan-jangan istrinya itu memang pernah berbuat zina dengan Raden Arjuna sebelum
menikah dengannya. Itulah sebabnya, ia pun ragu apakah bayi yang dikandung Dewi
Banuwati kali ini benar-benar anaknya atau bukan.

Resi Druna menasihati Prabu Duryudana agar jangan mudah menuduh istri berbuat zina jika
tidak memiliki bukti yang cukup. Tuduhan yang keliru hanya akan merusak keharmonisan
rumah tangga belaka. Tidak hanya itu, menuduh Dewi Banuwati tanpa bukti juga akan
merusak hubungan baik antara Kerajaan Hastina dengan Kerajaan Mandraka. Maka, Prabu
Duryudana sebaiknya tidak buru-buru mencurigai istri hanya karena tidak mengeluarkan
darah di malam pertama.

Adipati Karna membenarkan ucapan Resi Druna. Soal mengeluarkan darah atau tidak itu
tidak boleh digunakan sebagai acuan. Setiap perempuan memiliki riwayat tubuh yang
berbeda-beda. Ada perempuan yang sewaktu muda pernah kecelakaan terjatuh dari kuda atau
kereta, sehingga bisa saja merusak bagian dalam kelaminnya. Atau ada juga perempuan yang
bagian dalam kelaminnya berukuran tebal, sehingga tidak mudah koyak dan mengeluarkan
darah saat berhubungan badan dengan suaminya pertama kali. Oleh sebab itu, suami jangan
mudah termakan mitos soal darah perawan, karena itu hanya akan menjadi beban yang
merugikan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Suami dan istri lebih baik saling percaya
daripada saling menaruh curiga.

Patih Sangkuni berpendapat lain. Prabu Duryudana bukan hanya seorang suami biasa, tetapi
juga seorang raja besar. Apa jadinya jika permaisuri seorang raja agung ternyata pernah
berbuat zina sebelum menikah? Soal dugaan Dewi Banuwati mengandung anak orang lain itu
perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi ini menyangkut soal penerus takhta Kerajaan Hastina
pula. Kalau benar bayi yang dikandung Dewi Banuwati adalah putra Raden Arjuna, maka hal
ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna adalah anggota Pandawa. Apabila benar demikian,
maka si bayi akan menjadi musuh dalam selimut bagi para Kurawa.

Prabu Duryudana menjadi bimbang. Di satu sisi ia menerima nasihat Resi Druna dan Adipati
Karna, namun di sisi lain ia juga percaya pada ucapan Patih Sangkuni. Setelah ditimbang-
timbang, akhirnya ia pun mengambil jalan tengah. Apabila bayi yang dilahirkan Dewi
Banuwati berkelamin laki-laki, maka Prabu Duryudana bersedia mengakuinya sebagai putra.
Namun, apabila bayi yang lahir berkelamin perempuan, maka ia akan mengusir Dewi
Banuwati beserta anaknya itu dari Kerajaan Hastina.

PRABU MANDRAJAYA HENDAK MEREBUT DEWI BANUWATI

Usai Prabu Duryudana mengucapkan sumpah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki datang
menghadap. Laki-laki itu bernama Patih Mandradenta dari Kerajaan Saroja. Kedatangannya
ialah untuk menyampaikan sepucuk surat dari rajanya yang bernama Prabu Mandrajaya.
Prabu Duryudana pun menerima surat itu dan membaca isinya.

Dalam surat tersebut Prabu Mandrajaya menceritakan asal usulnya. Dahulu kala tersebutlah
Kerajaan Mandrapura di tanah seberang yang dipimpin oleh Prabu Barandana. Pada suatu
hari Kerajaan Mandrapura hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Kerajaan Siwandapura.
Prabu Barandana pun tewas dalam serangan tersebut. Kedua putra Prabu Barandana yang
bernama Raden Kardana dan Raden Karjaya terpencar menyelamatkan diri masing-masing.
Raden Kardana lalu mengabdi kepada Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dan
mendapatkan sebidang tanah di Hutan Keling. Raden Kardana lalu membabat hutan tersebut
menjadi negara baru, yang diberi nama Kerajaan Mandraka. Ia pun menjadi raja pertama,
bergelar Prabu Mandrakusuma. Adapun Prabu Salya yang memerintah Kerajaan Mandraka
saat ini adalah keturunan dari Prabu Mandrakusuma tersebut.

Sementara itu, adik Raden Kardana yang bernama Raden Karjaya juga berkelana tetapi tidak
menjadi raja, melainkan hidup berbaur dengan rakyat jelata. Setelah turun-temurun barulah
ada seorang keturunannya yang berhasil mendirikan sebuah negara baru bernama Kerajaan
Saroja. Keturunannya itu tidak lain adalah Prabu Mandrajaya yang kini berkirim surat kepada
Prabu Duryudana.

Prabu Mandrajaya berniat mempersatukan dua cabang keturunan Prabu Barandana dengan
cara melamar putri Prabu Salya di Mandraka. Sayang sekali, ketiga putri Prabu Salya sudah
menikah semua. Prabu Mandrajaya tidak mau menyerah begitu saja. Di antara ketiga putri
tersebut yang paling menarik perhatiannya adalah Dewi Banuwati yang telah menikah
dengan Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Untuk itulah, Prabu Mandrajaya pun berkirim
surat agar Prabu Duryudana menceraikan Dewi Banuwati dan menyerahkan jandanya itu
sebagai permaisuri Kerajaan Saroja.

Prabu Duryudana tersinggung membaca surat tersebut. Ia pun membanting dan memaki Patih
Mandradenta bahwa Dewi Banuwati tidak akan pernah diserahkan kepada siapa pun. Patih
Mandradenta menjawab dirinya sudah mendapat wewenang dari Prabu Mandrajaya, apabila
Prabu Duryudana menolak menyerahkan istrinya, maka harus direbut melalui peperangan.
Mendengar ini, Adipati Karna segera menanggapi bahwa dirinyalah yang akan melayani
tantangan pihak Kerajaan Saroja. Untuk itu, Patih Mandradenta diminta menunggu di luar
dengan mempersiapkan seluruh pasukannya. Patih Mandradenta setuju dan segera pamit
undur diri kembali ke induk pasukannya.

Setelah Patih Mandradenta keluar, Resi Druna menggoda Prabu Duryudana dengan bertanya
mengapa Dewi Banuwati tidak diserahkan saja, bukankah tadi sang permaisuri sudah
dicurigai pernah berbuat serong? Prabu Duryudana menjawab bahwa Dewi Banuwati adalah
permaisurinya. Bagaimanapun juga ini menyangkut wibawanya sebagai raja. Jika sampai
istrinya direbut orang, maka wibawanya akan ikut jatuh pula di mata rakyat. Resi Druna
senang mendengar jawaban ini. Ia pun berdoa semoga pihak Hastina mampu mengalahkan
tantangan Kerajaan Saroja.

PRABU DURYUDANA MENEMUI DEWI BANUWATI

Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Ia lalu masuk ke dalam kedaton menemui
sang permaisuri Dewi Banuwati yang hari ini telah memasuki usia kandungan sembilan
bulan, dan mungkin akan segera melahirkan. Tampak pula Dewi Srutikanti (istri Adipati
Karna) berjaga menemani di sisi Dewi Banuwati.

Melihat Prabu Duryudana datang, Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti segera menyambut
ramah. Prabu Duryudana tampak bermuka masam. Ia pun bercerita bahwa dirinya baru saja
menerima surat dari seorang raja bernama Prabu Mandrajaya di Kerajaan Saroja. Surat itu
berisi permintaan Prabu Mandrajaya agar Prabu Duryudana menyerahkan Dewi Banuwati
kepadanya. Tujuan Prabu Mandrajaya ingin menikahi Dewi Banuwati adalah untuk
mempererat tali kekeluargaan antara sesama cabang keturunan mendiang Prabu Barandana
raja Mandrapura.
Dewi Banuwati sangat marah mendengar berita itu. Ia merasa lebih baik mati daripada Prabu
Duryudana menyerahkan dirinya kepada laki-laki lain. Prabu Duryudana pun bertanya
apakah ucapan istrinya itu tulus dari hati ataukah hanya manis di bibir saja? Dewi Banuwati
pun ditanyai apabila dirinya diserahkan kepada laki-laki lain, dan laki-laki itu adalah Raden
Arjuna lantas bagaimana sikapnya, menolak atau tidak?

Dewi Banuwati pucat pasi tidak bisa menjawab. Dewi Srutikanti segera membela adiknya
dengan menyebut pertanyaan Prabu Duryudana sangatlah tidak pantas. Prabu Duryudana pun
berterus terang bahwa dirinya baru saja mengambil keputusan. Apabila bayi yang dilahirkan
Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai putra.
Sebaliknya, jika Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan, maka itu pastilah anak Raden
Arjuna. Jika benar itu yang terjadi, maka Prabu Duryudana tidak segan-segan mengusir Dewi
Banuwati keluar dari Kerajaan Hastina beserta anaknya sekaligus.

Dewi Banuwati tergetar mendengar keputusan Prabu Duryudana tersebut. Ia pun jatuh lemas
dan segera dipapah Dewi Srutikanti masuk ke dalam. Dewi Srutikanti pun menyesali ucapan
Prabu Duryudana yang melampaui batas. Sebagai suami bukannya menenangkan perasaan
istri yang sedang hamil tua, tetapi justru bersikap kasar seperti itu. Prabu Duryudana merasa
serbasalah. Ia pun pamit keluar ingin menonton Adipati Karna menghancurkan musuh dari
Kerajaan Saroja. Soal bagaimana nanti Dewi Banuwati melahirkan, biarlah Dewi Srutikanti
saja yang mendampingi. Usai berkata demikian, ia pun bergegas keluar meninggalkan
kedaton.

DEWI BANUWATI MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN

Dewi Srutikanti lalu memapah adiknya masuk ke dalam kamar. Dewi Banuwati merasa
dirinya akan segera melahirkan. Menyadari hal itu, Dewi Srutikanti khawatir ucapan Prabu
Duryudana menjadi kenyataan. Maka, ia pun seorang diri membantu Dewi Banuwati
melahirkan tanpa perlu memanggil bidan atau dayang istana. Ternyata benar, Dewi Banuwati
hari itu melahrkan seorang bayi perempuan.

Dewi Banuwati menangis sambil bercerita kepada sang kakak bahwa dirinya memang pernah
berselingkuh dengan Raden Arjuna, yaitu ketika menjelang pernikahan dulu. Saat itu dirinya
dirias di dalam kamar oleh Raden Arjuna hanya berdua saja. Mereka sama-sama terlena
sehingga melakukan hubungan badan. Tak disangka, persetubuhan tersebut membuat Dewi
Banuwati mengandung hingga akhirnya kini melahirkan anak perempuan.

Dewi Srutikanti sangat kesal mendengar ulah adiknya yang sangat memalukan. Namun,
bagaimanapun juga ia tidak rela jika Dewi Banuwati sampai diusir dari Kerajaan Hastina. Ini
semua adalah tanggung jawab Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti pun
menggendong bayi perempuan tersebut keluar melalui pintu belakang istana. Dewi Banuwati
menangis sedih karena harus berpisah dengan putrinya yang baru lahir, hingga akhirnya ia
pun jatuh pingsan.

ADIPATI KARNA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN SAROJA

Sementara itu, Adipati Karna bersama pasukan Hastina telah berhadap-hadapan dengan
musuh dari Kerajaan Saroja yang dipimpin Patih Mandradenta. Tidak lama kemudian, kedua
pihak saling menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi. Adipati Karna dibantu Patih
Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata berhasil memukul mundur pasukan musuh
tersebut.

Prabu Duryudana sangat senang melihat kemenangan kakak iparnya. Namun, ia tidak mau
berhenti sampai di sini saja. Ia ingin peperangan tetap dilanjutkan, yaitu Kerajaan Saroja
harus ditaklukkan menjadi jajahan Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana ingin melihat seperti
apa wajah Prabu Mandrajaya yang berani lancang hendak merebut istrinya.

Usai berkata demikian, Prabu Duryudana pun naik ke punggung Gajah Murdaningkung
kemudian mengajak Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap pasukan Hastina untuk
berangkat menggempur Kerajaan Saroja.

DEWI SRUTIKANTI BERTEMU RADEN ARJUNA

Karena Prabu Duryudana sudah berangkat menyerang Kerajaan Saroja, Dewi Srutikanti pun
dapat leluasa menyelinap keluar meninggalkan istana Kerajaan Hastina sambil menggendong
bayi perempuan yang baru saja dilahirkan adiknya. Belum seberapa jauh kepergiannya, tiba-
tiba ia melihat Raden Arjuna bersama para panakawan sedang berjalan menuju ibu kota
Hastina.

Dewi Srutikanti pun bertanya ada keperluan apa Raden Arjuna hendak berkunjung ke
Kerajaan Hastina. Raden Arjuna mengaku tadi malam ia bermimpi melihat Dewi Banuwati
disiksa Prabu Duryudana karena melahirkan bayi perempuan. Itulah sebabnya dirinya hendak
datang ke istana Hastina untuk menolong Dewi Banuwati.

Dewi Srutikanti membenarkan mimpi tersebut bahwa Dewi Banuwati memang baru saja
melahirkan seorang bayi perempuan. Namun, alangkah baiknya untuk selanjutnya Raden
Arjuna jangan lagi mengganggu kehidupan rumah tangga adiknya dan Prabu Duryudana. Jika
sampai Raden Arjuna muncul di Kerajaan Hastina, maka rumah tangga mereka bisa hancur
berantakan. Dewi Srutikanti menasihati agar Raden Arjuna melupakan kisah cintanya dengan
Dewi Banuwati untuk selamanya, apalagi mereka masing-masing sudah sama-sama menikah.

Kyai Semar membenarkan ucapan Dewi Srutikanti. Di sepanjang jalan tadi dirinya sudah
banyak menasihati Raden Arjuna tetapi sama sekali tidak ditanggapi. Kini Dewi Srutikanti
juga menasihati demikian, alangkah baiknya Raden Arjuna mengurungkan niatnya ingin
menemui Dewi Banuwati.

Dewi Srutikanti lalu menyerahkan bayi perempuan yang ada di gendongannya kepada Raden
Arjuna. Ia berkata bahwa bayi tersebut adalah putri hasil hubungan Dewi Banuwati dengan
Raden Arjuna sesaat sebelum adiknya itu menikah dengan Prabu Duryudana. Ia juga
menceritakan Prabu Duryudana baru saja bersumpah akan mengakui anak apabila Dewi
Banuwati melahirkan bayi laki-laki. Sebaliknya, jika yang lahir perempuan, maka Dewi
Banuwati akan diusir dari Kerajaan Hastina. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti pun membawa
lari bayi perempuan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban Raden Arjuna.

Raden Arjuna berkata dirinya pasti akan bertanggung jawab, jangan sampai Dewi Banuwati
menderita sebagaimana yang ia lihat dalam mimpi. Ia pun menerima bayi perempuan tersebut
dan meminta Dewi Srutikanti agar segera pulang menjaga Dewi Banuwati. Ia berjanji akan
mengamankan bayi perempuan ini, serta mencarikan ganti seorang bayi laki-laki untuk
diselundupkan ke dalam Kerajaan Hastina.
Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun menyuruh para panakawan agar pulang saja ke
Kerajaan Amarta, sedangkan ia sendirian melesat pergi dengan mengerahkan Aji Seipi
Angin, sambil menggendong putrinya yang baru lahir tersebut.

RADEN ARJUNA MENYERAHKAN BAYINYA KEPADA ENDANG MANUHARA

Raden Arjuna teringat bahwa dirinya memiliki seorang istri paminggir yang tinggal di
Padepokan Andongsumawi, yaitu Endang Manuhara putri Resi Sidiwacana. Mereka pertama
kali bertemu saat Raden Arjuna terlempar oleh kesaktian Patih Sekiputantra dalam
pertempuran di Kahyangan Suralaya dulu. Saat itu Raden Arjuna jatuh pingsan dan dirawat
sampai sembuh oleh Resi Sidiwacana dan Endang Manuhara. Kemudian Raden Arjuna pun
menikah dengan gadis itu dan untuk sementara waktu tinggal di Padepokan Andongsumawi.
Hingga pada suatu hari, Adipati Karna datang menjemput Raden Arjuna untuk menjadi juru
rias pengantin Dewi Banuwati di Kerajaan Mandraka. Ketika Raden Arjuna pergi
meninggalkan Padepokan Andongsumawi, saat itu Endang Manuhara sedang mengandung
usia tiga bulan.

Raden Arjuna yakin saat ini istrinya tersebut pasti sudah melahirkan. Ia pun bergegas menuju
Padepokan Andongsumawi dan berhasil sampai di sana. Dilihatnya Endang Manuhara sedang
berdiri di depan bangunan padepokan sambil menggendong seorang bayi perempuan pula.

Raden Arjuna pun disambut hangat oleh istrinya itu. Endang Manuhara segera
memperkenalkan bayi yang ia gendong merupakan putri hasil perkawinan mereka. Bayi
perempuan tersebut telah diberi nama Endang Pregiwa oleh kakeknya. Raden Arjuna sangat
terharu memandang anak pertamanya. Ia pun menggendong bayi tersebut sekaligus dengan
bayi perempuan yang ia bawa, masing-masing di lengan kanan dan kiri.

Endang Manuhara lalu bertanya siapa bayi perempuan yang satunya lagi. Raden Arjuna
menjawab malu-malu bahwa ini adalah putrinya sendiri yang dilahirkan oleh Dewi Banuwati.
Endang Manuhara heran mendengarnya. Ia masih ingat dulu Adipati Karna datang
menjemput suaminya untuk menjadi juru rias Dewi Banuwati yang akan menikah dengan
Prabu Duryudana. Namun, mengapa sekarang justru Dewi Banuwati melahirkan anak
perempuan Raden Arjuna?

Raden Arjuna pun menjelaskan bahwa sebelum dijodohkan dengan Prabu Duryudana, Dewi
Banuwati pernah menjalin hubungan asmara dengannya. Menjelang upacara pernikahannya,
Dewi Banuwati sengaja meminta disediakan seorang juru rias yang tampan tanpa cacat.
Maksudnya ialah, agar Prabu Duryudana menghadirkan Raden Arjuna kepadanya. Rupa-
rupanya Dewi Banuwati ingin berpamitan dengan kekasihnya tersebut.

Demikianlah, Raden Arjuna dan Dewi Banuwati pun hanya berdua di dalam kamar. Dalam
pertemuan itu Dewi Banuwati mengutarakan isi hatinya hingga membuat Raden Arjuna
terharu. Mereka pun saling menangis sedih hingga akhirnya sama-sama terlena oleh nafsu.
Begitulah ceritanya, Dewi Banuwati akhirnya melakukan hubungan badan dengan Raden
Arjuna sesaat sebelum menikah dengan Prabu Duryudana.

Akibat hubungan tersebut, Dewi Banuwati pun mengandung hingga akhirnya kini
melahirkan. Rupa-rupanya Prabu Duryudana merasa curiga apakah benar bayi tersebut adalah
anaknya atau bukan. Maka, ia pun mengambil jalan tengah. Apabila yang lahir bayi laki-laki,
maka ia bersedia menerimanya sebagai putra. Namun, jika yang lahir bayi perempuan, maka
ia akan mengusir Dewi Banuwati karena yakin pasti bayi tersebut adalah anak hasil
perselingkuhan istrinya dengan Raden Arjuna.

Sudah menjadi takdir dewata ternyata bayi yang lahir memang perempuan. Dewi Srutikanti
kakak kandung Dewi Banuwati pun menyelamatkan bayi tersebut dan meminta Raden Arjuna
agar bertanggung jawab, jangan sampai adiknya diusir dari Kerajaan Hastina. Raden Arjuna
menerima bayi tersebut dan berniat menitipkannya kepada Endang Manuhara di Padepokan
Andongsumawi.

Mendengar itu, Endang Manuhara sangat kesal karena dirinya dijadikan sebagai tempat
penitipan belaka. Sang suami berbuat selingkuh dengan wanita lain, namun ia yang harus ikut
bertanggung jawab pula. Endang Manuhara merasa berat jika harus mengasuh anak hasil
perselingkuhan mereka. Namun, tiba-tiba si bayi putri Dewi Banuwati menangis karena lapar.
Seketika sifat keibuan Endang Manuhara pun tergugah. Ia segera mengambil bayi perempuan
tersebut dari tangan Raden Arjuna dan menyusuinya.

Bayi perempuan tersebut langsung diam dan meneguk air susu Endang Manuhara dengan
lahap. Melihat wajah si bayi yang polos dan cantik, Endang Manuhara yang tadinya kesal
berubah menjadi senang, seolah dirinya kini memiliki dua orang anak sekaligus. Ia pun
bersedia merawat bayi tersebut dan menjadikannya sebagai adik Endang Pregiwa. Endang
Manuhara lalu memberi nama putri barunya itu, Endang Pregiwati.

Raden Arjuna setuju dan juga sangat bahagia atas ketulusan hati sang istri. Kini ia merasa
lega karena masalah pertama sudah teratasi. Sekarang tinggal masalah kedua, yaitu mencari
bayi laki-laki untuk diserahkan kepada Dewi Banuwati. Endang Manuhara seketika teringat
bahwa sang ayah, yaitu Resi Sidiwacana hari ini sedang mengunjungi kawan lamanya, yaitu
Nyai Clekutana di Hutan Pringgabaya. Konon kabarnya, putri Nyai Clekutana yang bernama
Mirahdinebak baru saja melahirkan bayi laki-laki tanpa ayah. Mendengar itu, Raden Arjuna
segera mohon pamit kepada sang istri untuk kemudian bergegas menuju Hutan Pringgabaya.

RADEN ARJUNA MEMINTA ANAK MIRAHDINEBAK

Dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, Raden Arjuna pun sampai di tempat tinggal Nyai
Clekutana dalam waktu singkat. Bagaimanapun juga ia pernah datang ke tempat itu bersama
Adipati Karna untuk mencari seekor gajah putih sebagai syarat pernikahan Prabu Duryudana.
Itulah sebabnya, Raden Arjuna dapat langsung menemukan rumah Nyai Clekutana. Tampak
di sana Mirahdinebak sedang menggendong seorang bayi laki-laki. Resi Sidiwacana juga
masih berada di tempat itu untuk mengucapkan selamat atas kelahiran cucu sahabatnya.

Resi Sidiwacana bertanya ada keperluan apa menantunya datang menyusul. Raden Arjuna
berterus terang menceritakan Prabu Duryudana telah mencurigai istrinya, yaitu Dewi
Banuwati berbuat selingkuh. Prabu Duryudana pun bersumpah jika istrinya melahirkan bayi
perempuan maka akan diusir kedua-duanya dari Kerajaan Hastina, namun jika melahirkan
bayi laki-laki maka akan diakui sebagai anak. Sungguh kebetulan yang lahir adalah
perempuan. Maka, Raden Arjuna pun mengambil dan menitipkan bayi itu agar diasuh oleh
Endang Manuhara yang baru saja melahirkan Endang Pregiwa. Bayi tersebut telah diterima
oleh Endang Manuhara dan diberi nama Endang Pregiwati.
Kini kedatangan Raden Arjuna ke Hutan Pringgabaya adalah untuk meminta bayi laki-laki
yang baru saja dilahirkan oleh Mirahdinebak. Bayi tersebut rencananya akan diserahkan
kepada Dewi Banuwati agar diakui sebagai anak Prabu Duryudana. Nyai Clekutana merasa
permintaan ini sangat aneh dan ia tidak rela jika cucunya harus dibawa oleh Raden Arjuna.

Mirahdinebak sendiri tergetar mendengarnya. Selama ini ia menjaga rahasia siapa sebenarnya
ayah dari bayi yang ia lahirkan tersebut. Hari ini ia terpaksa bercerita kepada Nyai Clekutana
dan Resi Sidiwacana bahwa bayinya adalah putra Prabu Duryudana raja Hastina. Awal
mulanya ialah Prabu Duryudana handak meminjam gajah putih peliharaan Mirahdinebak
sebagai syarat pernikahannya dengan Dewi Banuwati. Mirahdinebak bersedia menyerahkan
Gajah Murdaningkung untuk menjadi milik Prabu Duryudana selamanya, asalkan mereka
bersetubuh terlebih dahulu. Prabu Duryudana menerima syarat tersebut. Demikianlah awal
mula mengapa Mirahdinebak dapat mengandung anak Prabu Duryudana.

Raden Arjuna merasa kesal mendengarnya, karena Prabu Duryudana menuduh Dewi
Banuwati berselingkuh, padahal dirinya sendiri juga berhubungan badan dengan
Mirahdinebak. Raden Arjuna lalu memohon agar Mirahdinebak bersedia menyerahkan bayi
laki-laki itu kepadanya demi menyelamatkan nasib Dewi Banuwati.

Sebagai seorang ibu, Mirahdinebak sebenarnya sangat sayang kepada putranya. Namun,
sebagai sesama wanita, ia merasa kasihan pada nasib Dewi Banuwati. Setelah ditimbang-
timbang, ia akhirnya merelakan Raden Arjuna membawa putranya untuk diserahkan kepada
Dewi Banuwati. Lagipula putranya itu adalah anak kandung Prabu Duryudana, tentunya lebih
baik jika mendapat penghidupan yang layak di dalam istana bersama ayahnya.

Raden Arjuna sangat berterima kasih dan menggendong bayi laki-laki tersebut. Ia lalu mohon
pamit kepada Nyai Clekutana dan Mirahdinebak, begitu pula Resi Sidiwacana juga
berpamitan kepada ibu dan anak tersebut. Mereka lalu pergi ke tujuan masing-masing. Raden
Arjuna menuju Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Sidiwacana pulang ke Padepokan
Andongsumawi.

RESI DRUNA MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA

Sementara itu di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa sedang dihadap Arya Wrekodara, si
kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan para panakawan.
Tiba-tiba datang Resi Druna menemui mereka. Prabu Puntadewa pun menyambut kedatangan
sang guru dan bertanya ada keperluan apa. Resi Druna berkata bahwa Prabu Duryudana,
Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap Kurawa telah pergi menyerang Kerajaan Saroja
menghadapi Prabu Mandrajaya yang berniat merebut Dewi Banuwati. Namun, dalam
peperangan itu mereka jatuh ke dalam perangkap musuh yang dipasang secara licik. Kini,
Prabu Duryudana, Adipati Karna, dan Patih Sangkuni menjadi tawanan Prabu Mandrajaya.

Resi Druna yang mengawasi dari kejauhan segera pergi untuk meminta bantuan. Untuk itulah
ia sengaja datang ke istana Indraprasta untuk meminta pertolongan Prabu Puntadewa dan
saudara-saudaranya agar bersedia membebaskan Prabu Duryudana dan yang lain.

Arya Wrekodara menanggapi bahwa itu semua adalah akibat ulah Prabu Duryudana sendiri.
Prabu Duryudana terlalu sombong menyerang Kerajaan Saroja. Kesombongannya itulah yang
membuat dirinya celaka. Selain itu Prabu Duryudana juga sering berbuat licik kepada para
Pandawa, maka pantas jika hari ini mendapat balasan setimpal dari Prabu Mandrajaya yang
sama-sama licik. Oleh sebab itu, ia menyatakan tidak sudi pergi membantu.

Prabu Puntadewa menasihati Arya Wrekodara agar jangan bersikap demikian. Bagaimanapun
juga Kerajaan Hastina adalah tanah air dan kampung halaman para Pandawa. Saat ini raja
Hastina sedang kesusahan, sudah seharusnya para Pandawa turun tangan membantu. Apabila
Prabu Duryudana tidak dibebaskan, Kerajaan Hastina akan menjadi kacau karena tidak
memiliki pemimpin. Keributan bisa terjadi di mana-mana, dan yang paling menderita sudah
pasti rakyat jelata.

Arya Wrekodara menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia membantu membebaskan Prabu


Duryudana dan kawan-kawan. Ia kemudian mohon pamit kepada sang kakak sulung, lalu
berangkat bersama Resi Druna. Para panakawan yang tadi diperintahkan pulang oleh Raden
Arjuna, kini ikut berangkat pula menyertai Arya Wrekodara menuju Kerajaan Saroja.

ARYA WREKODARA MENGALAHKAN PRABU MANDRAJAYA

Arya Wrekodara dan Resi Druna telah sampai di Kerajaan Saroja. Prabu Mandrajaya pun
keluar menghadapi mereka. Resi Druna menantang raja tersebut untuk menghadapi muridnya
yang baru datang ini. Jika Prabu Mandrajaya kalah, maka Prabu Duryudana dan semua
pengikutnya harus dibebaskan. Namun, apabila Arya Wrekodara yang kalah, maka Prabu
Mandrajaya berhak mendapatkan Dewi Banuwati lengkap dengan seluruh Kerajaan Hastina.

Prabu Mandrajaya sepakat. Ia lalu mengangkat gada untuk melayani tantangan Arya
Wrekodara. Di lain pihak, Arya Wrekodara juga sudah siap dengan senjata Gada Rujakpolo
di tangan. Mereka pun maju dan saling menyerang. Pertarungan sengit pun terjadi. Sungguh
dahsyat perkelahian mereka hingga banyak bangunan istana Saroja yang rusak terkena
pukulan gada.

Prabu Mandrajaya akhirnya lengah karena melihat istanya rusak dihantam gada Arya
Wrekodara. Akibatnya, Gada Rujuakpolo pun mendarat di kepalanya. Prabu Mandrajaya
roboh seketika. Ia bersumpah sukmanya akan menyatu dengan putra Prabu Duryudana, agar
selalu menjadi musuh anak-anak para Pandawa. Usai berkata demikian, Prabu Mandrajaya
pun meninggal dunia. Rohnya keluar meninggalkan raga naik ke angkasa dalam wujud
seberkas sinar.

Resi Druna pun bergegas membebaskan Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni,
dan para Kurawa lainnya dari dalam penjara. Prabu Duryudana sangat malu karena dirinya
dibebaskan oleh Arya Wrekodara yang selama ini dianggapnya sebagai musuh. Namun, Resi
Druna menasihati sang raja agar menenangkan diri. Yang terpenting saat ini Kerajaan Saroja
sudah menjadi taklukan Kerajaan Hastina dan itu berarti wilayah Kerajaan Hastina menjadi
jauh lebih luas lagi.

Prabu Duryudana merasa senang. Ia lalu mengajak Arya Wrekodara ikut kembali ke Kerajaan
Hastina di mana ia berniat menjamu sepupunya itu sebagai ungkapan terima kasih. Resi
Druna meminta Arya Wrekodara memenuhi undangan tersebut dan tidak perlu khawatir
karena dirinya yang akan menjamin para Kurawa tidak akan berbuat jahat. Arya Wrekodara
menyatakan bersedia. Ia sama sekali tidak takut Prabu Duryudana meracuni makanannya,
karena sejak meminum air pusaka Tirtamanik Rasakunda pemberian Batara Basuki, dirinya
kini menjadi kebal terhadap segala jenis racun.
Demikianlah, Prabu Duryudana bersama seluruh rombongan kemudian pulang ke Kerajaan
Hastina dengan penuh kegembiraan.

RADEN ARJUNA MENYERAHKAN ANAK MIRAHDINEBAK KEPADA DEWI


BANUWATI

Sementara itu, Raden Arjuna telah menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan Hastina dan
menemui Dewi Srutikanti. Saat itu Dewi Banuwati telah bangun dari pingsan dan bertanya
bagaimana keadaan putrinya. Raden Arjuna menjawab bahwa sang putri kecil baik-baik saja,
dan kini berada dalam asuhan istrinya yang bernama Endang Manuhara. Dewi Banuwati
sangat bersyukur dan berterima kasih atas segala bantuan Raden Arjuna. Dewi Srutikanti
berkata tidak perlu berterima kasih, karena bagaimanapun juga Raden Arjuna adalah ayah
kandung si bayi. Raden Arjuna sudah berbuat, maka harus ikut bertanggung jawab.
Demikianlah, sejak dulu Dewi Srutikanti memang tidak pernah suka kepada Raden Arjuna,
sungguh berbeda dengan para wanita kebanyakan.

Dewi Srutikanti lalu bertanya, siapa bayi laki-laki yang digendong Raden Arjuna sekarang.
Raden Arjuna menjawab, bayi laki-laki ini adalah putra kandung Prabu Duryudana sendiri.
Dahulu ketika hendak menikah, Dewi Banuwati mengajukan syarat agar Prabu Duryudana
menyediakan seekor gajah putih dengan pawang wanita sebagai kendaraan pengantin. Prabu
Duryudana berhasil mendapatkan Gajah Murdaningkung, tetapi syaratnya harus mau
berhubungan badan lebih dulu dengan si pawang yang bernama Mirahdinebak. Demikianlah,
bayi laki-laki ini adalah buah dari persetubuhan mereka.

Dewi Banuwati menerima bayi laki-laki itu sambil menggerutu, bahwa Prabu Duryudana
telah menuduhnya sudah tidak perawan saat menikah, padahal suaminya itu ternyata juga
tidak perjaka saat menikah dengannya.

Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar. Ternyata rombongan Prabu Duryudana telah
tiba di Kerajaan Hastina dan mendapat sambutan meriah atas kemenangannya mengalahkan
Prabu Mandrajaya. Menyadari hal itu, Raden Arjuna segera mohon pamit untuk menghindar
jangan sampai dirinya ketahuan masuk ke dalam kedaton. Dewi Banuwati merasa berat untuk
melepas kepergian mantan kekasihnya itu. Namun, Dewi Srutikanti dengan tegas mengatakan
bahwa Raden Arjuna sudah berjanji untuk tidak lagi mengganggu rumah tangga Dewi
Banuwati dan Prabu Duryudana. Janji tersebut harus dipegang teguh. Raden Arjuna
menjawab dirinya tidak akan melanggar janji ini. Namun kelak, jika Prabu Duryudana sudah
meninggal, maka ia akan datang untuk menjemput dan memboyong Dewi Banuwati.

Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun melesat pergi meninggalkan istana Kerajaan
Hastina.

PRABU DURYUDANA MENGAKUI RADEN LESMANA SEBAGAI PUTRA

Prabu Duryudana dan rombongan telah memasuki istana dan mereka pun disambut Dewi
Banuwati dan Dewi Srutikanti. Prabu Duryudana langsung bertanya apakah Dewi Banuwati
melahirkan bayi laki-laki atau perempuan. Dewi Banuwati menyerahkan bayi yang ia
gendong untuk diperiksa sendiri oleh Prabu Duryudana. Prabu Duryudana pun menerima bayi
itu dan alangkah bahagia dirinya setelah melihat kelamin si bayi ternyata laki-laki.
Patih Sangkuni menanggapi dengan sinis agar Prabu Duryudana jangan buru-buru senang
dulu. Bisa jadi Dewi Banuwati melahirkan bayi perempuan namun kemudian ditukar dengan
bayi laki-laki anak orang lain. Mendengar itu, Dewi Banuwati segera mempersilakan Patih
Sangkuni untuk melihat langsung, wajah bayi tersebut mirip siapa, apakah mirip Prabu
Duryudana ataukah mirip orang lain?

Patih Sangkuni maju dan memeriksa. Alangkah terkejut dirinya ternyata wajah si bayi
memang sangat mirip dengan Prabu Duryudana. Kini ia tidak ragu lagi dan menyarankan
agar Prabu Duryudana menerima bayi tersebut sebagai putra.

Prabu Duryudana sangat bahagia setelah mendapat kepastian dari sang paman. Ia pun
menggendong bayi tersebut dengan penuh kegembiraan. Ia juga meminta maaf karena selama
ini telah mencurigai Dewi Banuwati. Mulai hari ini ia berjanji akan selalu sayang kepada
istrinya itu dan bersumpah tidak akan menikah lagi untuk selamanya, juga tidak akan
mengambil selir sama sekali. Dewi Banuwati merasa sangat bahagia mendengarnya, dan ia
pun menoleh kepada Dewi Srutikanti dengan pandangan penuh rasa terima kasih.

Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan itu menyarankan agar Prabu Duryudana segera
memberi nama putranya. Prabu Duryudana merasa bingung tidak tahu harus memberi nama
apa karena selama ini ia yakin Dewi Banuwati pasti berselingkuh dan melahirkan anak
perempuan. Untuk itu, ia menyerahkan kepada sang istri, terserah putra mereka akan diberi
nama siapa.

Dewi Banuwati pun berkata bahwa di zaman kuno ada seorang kesatria sakti bernama Raden
Lesmana yang selalu melindungi Prabu Sri Rama. Kesatria ini sangat hebat dan juga seorang
pemanah jitu. Bahkan, Prabu Sri Rama yang merupakan titisan Batara Wisnu pun merasa
banyak berhutang budi kepadanya. Oleh sebab itu, Dewi Banuwati mengusulkan agar si bayi
diberi nama Raden Lesmana saja. Prabu Duryudana merasa senang mendengarnya dan
menerima nama tersebut sebagai nama putranya.

Patih Sangkuni tiba-tiba teringat sesuatu dan segera menyela. Ia mengatakan bahwa menurut
dongeng yang pernah ia dengar, Raden Lesmana berwajah sangat tampan dan juga pandai
memanah. Jangan-jangan Dewi Banuwati memilih nama itu karena terbayang-bayang Raden
Arjuna yang juga berwajah tampan dan mahir memanah. Mendengar hasutan sang paman,
Prabu Duryudana menjadi bimbang dan bertanya kepada Dewi Banuwati apa benar memiliki
niat demikian.

Dewi Banuwati merasa bingung hendak menjawab apa. Dalam hati ia membenarkan, bahwa
dirinya memilih nama Raden Lesmana karena kesatria tersebut memang tokoh di zaman kuno
yang kepandaian dan wajahnya mengingatkan pada Raden Arjuna, mantan kekasihnya.

Kyai Semar yang ikut mendampingi Arya Wrekodara segera menengahi. Ia berkata bahwa
Raden Lesmana memang mirip Raden Arjuna dalam hal ketampanan dan kepandaian
memanah. Namun, keduanya berbeda sifat. Raden Lesmana tidak menikah seumur hidup,
sedangkan Raden Arjuna sudah memiliki dua orang istri, yaitu istri paminggir bernama
Endang Manuhara, dan istri padmi bernama Dewi Sumbadra. Maka, tidak sepantasnya Prabu
Duryudana mencurigai Dewi Banuwati hanya karena masalah nama. Lagipula Prabu
Duryudana seorang raja besar. Apa yang sudah diputuskan olehnya tidak baik jika dicabut
kembali.
Mengingat usia Kyai Semar yang sudah ratusan tahun dan juga memiliki wawasan luas,
Prabu Duryudana pun mererima saran darinya. Lagipula ia sudah terlanjur suka pada nama
Raden Lesmana yang dianggapnya sangat bagus, sehingga tidak perlu diganti lagi. Maka, ia
pun menetapkan putranya tetap memakai nama ini, dengan harapan kelak si bayi akan
tumbuh menjadi seorang kesatria hebat seperti adik Prabu Sri Rama tersebut.

ROH PRABU MANDRAJAYA MENITIS KEPADA RADEN LESMANA

Ketika Prabu Duryudana sedang bergembira menggendong putranya, tiba-tiba dari angkasa
melayang turun seberkas sinar yang langsung masuk dan bersatu pada diri Raden Lesmana.
Seketika mata Raden Lesmana menjadi lebih lebar dan melotot, serta raut wajahnya menjadi
tampak bodoh, kadang tertawa sendiri, kadang menangis sendiri.

Menyaksikan hal itu, Resi Druna segera teringat sesuatu. Ia pun bercerita bahwa sebelum
meninggal, Prabu Mandrajaya bersumpah dirinya akan menitis kepada putra Prabu
Duryudana. Maka, seberkas sinar tadi pastilah roh Prabu Mandrajaya tersebut yang datang
untuk memenuhi ucapannya.

Prabu Duryudana merasa gemetar. Itu berarti putranya adalah titisan musuh. Resi Druna
menasihati sang raja agar tidak perlu takut. Prabu Mandrajaya kini terlahir kembali sebagai
Raden Lesmana bukan berarti menjadi musuh, tetapi bisa jadi ini menjadi sarana baginya
untuk menebus dosa. Jika sewaktu hidupnya, Prabu Mandrajaya pernah menangkap dan
memenjarakan Prabu Duryudana, maka kini ia menitis menjadi putra yang selalu melayani
dan menyembah kaki Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana merasa senang mendengar bekas musuhnya kelak akan menyembah
kakinya sebagai putra. Maka, ia pun menambah nama putranya menjadi Raden Lesmana
Mandrakumara, yang memiliki arti yaitu, Raden Lesmana titisan roh Prabu Mandra.

Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar, ternyata Patih Mandradenta datang
membawa pasukan Saroja untuk melakukan bela pati, yaitu ingin bertempur sampai mati
menyusul Prabu Mandrajaya. Arya Wrekodara segera keluar dan menaklukkan pasukan dari
Kerajaan Saroja tersebut. Patih Mandradenta tidak dibunuh, melainkan ditangkap dan
dihadapkan kepada Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana yang hari ini sedang berbahagia atas kelahiran putranya, tidak mau
menjatuhkan hukuman mati kepada pasukan Saroja. Ia pun mengampuni Patih Mandradenta
dan memerintahkannya untuk membangun kembali istana Kerajaan Saroja, dan mengganti
namanya menjadi Sarojabinangun. Artinya ialah, Kerajaan Saroja yang dibangun kembali.
Kelak Sarojabinangun hendaknya menjadi tempat tinggal putranya setelah dewasa, yaitu
Raden Lesmana Mandrakumara. Patih Mandradenta mematuhi dan berterima kasih atas
kemurahan hati Prabu Duryudana kepadanya.

Demikianlah, Prabu Duryudana pun berpesta tujuh hari - tujuh malam merayakan kelahiran
putranya. Arya Wrekodara yang ikut dijamu sebagai pahlawan selalu bersikap waspada dan
berhati-hati, jangan-jangan para Kurawa berbuat licik kepadanya. Setelah dirasa cukup, ia
pun pamit pulang ke Kerajaan Amarta bersama para panakawan.

Anda mungkin juga menyukai