Anda di halaman 1dari 6

Review Rahwana Putih

Nama : Adela Inayatul Khoiria

NPM : 1606830852

Buku “Rahwana Putih: Sang Kegelapan Pemeram Keagungan Cinta” karya Sri Teddy
Rusdy merupakan novel ketiga setelah bukunya yang berjudul “Ruwatan Sukerta” dan “Jawa,
Betari Sri & Ilmu Bahagia”. Buku ini merupakan cerita Ramayana dengan perspektif baru, di
mana Rahwana yang biasanya digambarkan identik dengan ‘hitam’ karena kemutlakannya
dengan kegelapan, dalam buku ini justru digambarkan sebagai ‘putih’. Rahwana dikenal
dengan sebutan Sang Dasamuka (sepuluh wajah) karena memiliki ragam wajah yang tak
terhitung. Ia dianggap sebagai lambang angkara murka, panji-panji keserakahan, ketamakan,
dan biang pertumpahan darah. Kelahiran Rahwana di muka bumi menjadikan sebagian
manusia di muka bumi seperti tidak rela menerima kehadirannya. Hal ini lantaran Rahwana
lahir dari seorang Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi di luar ikatan perkawinan yang sah
sehingga ia dianggap sebagai anak haram. Ayahanda Rahwana Begawan Wisrawa merupakan
salah seorang yang telah memahami dan menguasai Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu, ilmu yang amat langka bagaikan sebuah kunci semesta. Sedangkan Ibundanya, Dewi
Sukesi ialah seorang putri mahkota dari Prabu Sumali raja dari negeri Alengkadiraja.

Awalnya, Prabu Sumali mengadakan sayembara perang untuk mencarikan Dewi Sukesi
seorang pendamping sekaligus penerus tahta kerajaan Alengkadiraja. Pesona Dewi Sukesi
yang sangat tak terbantahkan membuat banyak putra mahkota dari seluruh penjuru kerajaan di
sekitar Alengkadiraja untuk mengikuti sayembara tersebut. Namun, sayembara perang yang
tanpa sepengetahuan Dewi Sukesi tersebut kemudian diubah menjadi sayembara pewejangan
ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu secara utuh dan menyeluruh. Barangsiapa
yang mampu mewejangkan ilmu Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu secara utuh
dan menyeluruh maka ia berhak atas Dewi Sukesi. Kemudian, Begawan Wisrawa yang pada
awalnya hanya berniat untuk menggantikan putranya Prabu Danapati dalam mewejangkan ilmu
Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagai mas kawin untuk mempersuntingkan
Dewi Sukesi, namun atas campur tangan dari dewa dan dewi kahyangan yang bersikeras untuk
menggagalkan pewejangan ilmu yang sangat rahasia tersebut maka terjadilah peristiwa di luar
kendali Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi. Mereka berdua terlibat dalam perbuatan intim
antara laki-laki dengan perempuan yang kemudian melahirkan seorang Rahwana.
Suasana kelahiran Rahwana saat itu sangat gelap dan kelam. Kelahiran Rahwana
disambut oleh awan yang yang sangat pekat menyelimuti rembulan. Sekitar tiga tahun
kemudian, adik laki-laki Rahwana lahir dan diberi nama Kumbakarna. Pada tahun-tahun
berikutnya, menyusullah kelahiran Dewi Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana. Dari keempat
anak dari Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, hanya Gunawan Wibisana lah yang terlahir
sebagai manusia biasa. Sedangkan ketiga saudaranya yang lain terlahir sebagai raksasa dan
mewarisi darah juang dari kakeknya, Prabu Sumali.

Rahwana yang sejak umur 14 tahun sudah dibekali ilmu Sastrajendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu oleh ayahanda dan ibundanya, membuat ia bisa mengusai dan mengerti
ilmu rahasia alam semesta. Hal ini yang kemudian menyebabkan ia diangkat menjadi raja
penerus negeri Alengkadiraja setelah kakeknya, Prabu Sumali mangkat secara tidak terduga.
Pada awalnya Rahwana enggan untuk menduduki tahta raja, namun dengan penuh
pertimbangan dan bersemedi, akhirnya ia menerima penobatannya sebagai raja Alengkadiraja.
Selama memimpin kerajaan Alengkadiraja, Rahwana merupakan sosok raja yang sangat
berwibawa dan bijaksana. Ia selalu berkomitmen untuk membela rakyatnya dari segala jenis
pengerdilan dan penyeragaman atas nama apapun dan oleh siapapun, termasuk dewa-dewi
kahyangan. Salah satu penegasan Rahwana saat berpidato dalam penobatannya sebagai raja
Alengkadiraja yaitu “bahwa pakem tidak tertulis dalam penyelenggaraan negara
Alengkadiraya adalah dengan tanpa pandang bulu memberikan kemerdekaan terhadap
warganya untuk menjadi orang-orang bebas, yang tak mau diarahkan secara paksa oleh
siapapun, termasuk para dewa kahyangan”. Rahawana menyatakan kesanggupannya sebagai
raja Alengkadiraja tentu dibarengi dengan satu syarat, yaitu ia berharap mendapat dukungan
penuh dari segenap warga Alengkadiraja untuk menundukkan Batara Endra. Batara Endra
adalah seorang putra Batara Guru yang bertanggungjawab atas ketertiban kahyangan,
pemimpin para bidadari yang mengurus berbagai anugerah yang menghundi marcapada
berdasarkan penilaiannya yang seringkali tidak memenuhi rasa keadilan umat manusia secara
umum. Semangat Rahwana untuk menaklukkan Batara Endra semakin bergelora setelah
kematian ayahandanya. Hasrat untuk menundukkan Batara Endra bukan suatu ambisi pribadi
namun Ia ingin membidik kahyangan sebagai sebuah pranata semesta seharusnya bekerja
berlandaskan oleh kejujuran, ketulusan hati, ketabahan dan tidak memihak pada kepentingan
pribadi para dewa yang tercermin pada rasa suka dan tidak suka para punggawanya. Sehingga,
setelah Rahwana dinobatkan menjadi raja Alengkadiraja, ia secara diam-diam mengamati dan
mengukur kekuatan kahyangan.
Bagi Rahwana, seluruh hidupnya adalah titian perjalanan melalui perwujudan semesta
dengan segala adi kodratinya. Ia merasa bahwa segala pernik dunia seperti harta, kuasa dan
takhta telah ia lampaui. Namun, ada satu ruang dalam hatinya yang belum terisi sehingga ia
seperti sosok keperkasaan yang terasa hambar tanpa kelembutan. Tidak lama setelah
penobatannya sebagai raja Alengkadiraja, Rahwana terpesona kepada seorang wanita petapa
belia yang bernama Dewi Widawati. Dewi Widawati merupakan putri Begawan Wersapati dan
merupakan salah stau titisan dari Dewi Sri. Hasrat Rahwana untuk memiliki Dewi Widawati
semakin besar, dan pengabaian Dewi Widawati kepada Rahwana membuat Rahwana semakin
tidak dapat mengontrol nafsu dan emosi dirinya. Rahwana bertindak ceroboh sehingga Dewi
Widawati memutuskan untuk nekat mengakhiri hidupnya dengan membakar diri agar terlepas
dari cengkraman Rahwana. Kematian Dewi Widawati membuat semangat Rahwana hilang dan
terus dibayangi oleh rasa bersalah. Seiring perjalanan waktu, setelah menyadari kesalahan yang
pernah diperbuat kepada Dewi Widawati, Rahwana bersumpah bahwa dalam sisa hidupnya ia
akan berjuang untuk mendapatkan cinta yang tulus dari titisan Dewi Sri selanjutnya.

Dewi Sukesi yang mendengar laporan dari punggawa kerajaan tentang adanya wanita
cantik jelita dari negeri tetangga yang berniat mengabdikan dirinya di Alengkadiraja, langsung
meminta wanita tersebut, Mandodari agar dapat melipur lara hati Rahwana yangs edang patah
hati setelah kematian Dewi Widawati. Seiring berjalannya watu, cinta tumbuh di tengah-tengah
Rahwana dan Mandodari hingga mereka akhirnya menikah. Sumpah Rahwana untuk
mendapatkan cinta yang tulus dari titisan Dewi Sri selanjutnya tetap ia perjuangkan. Pada saat
ia mendapatkan sasmita gaib dari Sang Peguasa Semesta, ia percaya bahwa kelak lewat rahim
seorang bidadari yang bernama Dewi Tari, ia akan mendapatkan anugerah seorang putri yang
akan menjadi titisan Dewi Sri yang ketiga setelah Dewi Widawati. Sehingga setelah Rahwana
berhasil menaklukan kahyangan dan memerintahkan agar seluruh serdadu Alengkadiraja untuk
mengehentikan serangan mereka, sebagai tanda terima kasih Batara Narada memberikan
hadiah tiga bidadari dari kahyangan untuk diboyong ke Alengkadiraja namun Rahwana hanya
menikahi Dewi Tari dari salah satu ketiga bidadari tersebut. Kedua bidadari lainnya yaitu Dewi
Aswani diserahkan kepada Kumbakarna dan Dewi Triwati dipersilahkan untuk diperistri adik
bungsunya, Gunawan Wibisana.

Singkat cerita, saat Dewi Tari melahirkan seorang anak perempuan, Gunawan Wibisana
menyarankan kepada Dewi Tari untuk mengasingkan bayinya agar kelak ketika lahir tidak
diperistri oleh Rahwana karena sumpahnya ingin mendapatkan cinta yang tulus dari salah satu
titisan Dewi Sri. Dewi Tari mengikuti perintah Gunawan Wibisana dan mengganti bayi tersebut
dnegan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Indrajit Megananda oleh Rahwana. Namun,
kegelisahan Rahwana untuk memuliakan titisan Dewi Sri tidak kunjung padam. Hingga Dewi
Sarpakenaka menyampaikan bahwa ada seorang gadis yang kecantikan dan perangainya sangat
mirip dengan Dewi Widawati di Hutan Dandaka, ia bernama Dewi Shinta. Rahwana pun
akhirnya jatuh cinta kepada Dewi Shinta. Namun, Dewi Shinta merupakan istri dari seroang
raja Ayodya, yaitu Prabu Rama Wijaya. Rahwana tidak peduli dengan status Dewi Shinta
sebagai istri Rama Wijaya. Ia menculik Dewi Shinta dan mengurungnya di sebuah
persinggahan dengan jamuan dan perlakuan yang sangat baik. Setiap hari Rahwana
mengungkapkan cintanya kepada Dewi Shinta, namun setiap hari pula Dewi Shinta
menolaknya dengan cara yang halus, hingga kasar. Namun Rahwana tetap tidak menyerah. Ia
selalu mengulangi hal yang ia lakukan setiap hari dengan berharap Dewi Shinta bisa berubah
pikiran. Sampai 11 tahun Dewi Shinta diperlakukan dengan sangat mulia oleh Rahwana di
Taman Argasoka yang megah, namun ia tetap saja menjaga kesetiaan hatinya pada Rama
Wijaya suaminya.

Puncaknya, ketika Rahwana mempertaruhkan seluruh Alengkadiraja hanya untuk


mendapatkan Dewi Shinta. Rahwana menyerukan kepada seluruh warga Alengkadiraja untuk
bersiap menghadapi perang Brubuh dengan kerajaan Ayodya, kerajaan Rama Wijaya yang
didukung oleh kahyangan. Dalam perang Brubuh tersebut Rahwana kehilangan ratusan
tentaranya, orang-orang setia dan orang-orang yang dicintainya. Namun, tidak terkecuali
Rahwana juga terbunuh saat perang Brubuh oleh senjata pamungkas Panah Guhywawijaya
milik Rama Wijaya. Rahwana meninggal dengan setelah mengucapkan kata-kata terakhirnya
sebagai pembuktian bahwa dirinya pantas disebut sebagai lambang keagungan cinta.

Berdasarkan cerita Rahwana tersebut, tentu banyak sekali hal baik yang dapat kita petik
dari sosok Rahwana. Pertama-tama kita bisa tinjau dari penguasaan ilmu Sastrajendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu oleh Rahwana yang secara utuh dan menyeluruh. Rahwana
berhasil mengamalkan ilmu rahasia semesta tersebut dan mengaplikasikannya ke dalam
kehidupan sehari-harinya, sehingga ia tidak lagi memikirkan atau tertarik segala pernak-pernik
dunia. Bagi Rahwana, segala kebaikan merupakan sesuatu yang baik dalam rasa semua orang.
Begitu juga perihal sesuatu yang buruk, seluruh umat manusia di dunia atau bahkan segenap
unsur di alam semesta pun akan menganggapnya buruk. Oleh karena itu, yang disebut buruk
sesungguhnya adalah rasa beda (hlm. 93). Dalam hal ini, tentu kita dapat memahami bahwa
segala sesuatu penilaian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang tidak mutlak. Setiap
hal yang dilakukan oleh manusia atau peristiwa yang terjadi pasti mempunyai alasan tersendiri.
Kebenaran hanya akan dianggap benar oleh orang yang sama, dan kebenaran tetap dianggap
buruk jika kita memiliki rasa beda.

Selain itu, sifat yang baik dari Rahwana lainnya yaitu sifat di mana Rahwana ingin
tampil apa adanya. Meskipun dirinya dianggap sebagai anak haram, lambang kegelapan,
angkara murka, dan segala hal lainnya yang buruk, Rahwana tidak pernah memikirkan
perkataan orang lain tentang dirinya. Ia hanya berusaha menjadi dirinya sendiri dengan
menerima takdirnya sebagai anak yang terlahir dari Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi
meskipun di luar dari ikatan perkawinan yang sah. Ia menerima takdirnya sebagai Sang
Kegelapan yang menyerap semua cahaya. Kegigihan Rahwana dalam tekadnya untuk
menaklukan Batara Endra juga patut dicontoh. Rahwana tidak serta merta ingin menundukkan
Batara Endra karena ambisi pribadinya melainkan karena ia ingin sebagai pranata seharusnya
kahyangan tidak dicemari oleh kepentingan pribadi dan penilaian baik atau buruk para dewa
dan punggawanya. Setelah berhasil menaklukkan kahyangan pun, Rahwana justru
memerintahkan kepada serdadunya untuk menghentikan serangan mereka dan meningalkan
kahyangan. Hal ini tentu merupakan tindakan seorang ksatia yang patut kita contoh dari sosok
Rahwana.

Selama memimpin negeri Alengkadiraja pun Rahwana merupakan sosok yang sangat
berwibawa dan bijaksana. Segala tugas dan pekerjaannya sebagai raja ia kerjakan dengan
sangat baik hanya untuk membela kebebasan rakyatnya agar memperoleh kemerdekaan tanpa
pengerdilan maupun penyeragaman atas nama apapun dan oleh siapapun, termasuk oleh
kahyangan. Rahwana selalu gigih dalam memperjuangkan apapun, ia merupakan sosok yang
sangat berani dan tidak takut pada apapun, dengan gagah berani ia memipin perang Brubuh
melawan kerajaan Ayodya. Ia juga selalu menghormati keputusan saudara-saudarinya dalam
memilih jalan hidupnya tanpa memaksakan dan melarang. Termasuk ketika Gunawan
Wibisana memilih untuk mendukung kerajaan Ayodya karena Gunawan Wibisana tidak setuju
Rahwana menculik Dewi Shinta. Dalam memperjuangkan cinta pun, Rahwana merupakan
sosok yang tulus dan bisa memuliakan Dewi Shinta dengan berharap Dewi Shinta dapat
berubah pikiran dan menerimanya.

Keagungan cinta Rahwana jelas tidak dapat terbantakahkan lagi karena dalam
memperjuangkan cinta Dewi Shinta ia benar-benar telah melakukan pengorbanan yang begitu
luar biasa, termasuk nyawanya. Namun, terlepas dari semua hal baik yang ada pada diri
Rahwana, tetap saja ia mempunyai sisi yang buruk. Rahwana tidak dapat menjaga nafsunya
saat ia jatuh cinta, sehingga ia nekat mencengkram Dewi Widawati dan memaksakan Dewi
Widawati agar mau menerimanya. Dewi Widawati yang memutuskan mengakiri hidupnya
untuk lepas dari Rahwana tentu itu tidak dapat kita contoh. Selain itu, terlepas dari
keinginannya dan sumpahnya untuk memuliakan titisan Dewi Sri selajutnya, perbuatan
Rahwana saat menculik Dewi Shinta dan mengurungnya selama 11 tahun merupakan perbuatan
yang salah. Bagaimana pun, Rahwana tidak berhak memaksakan kebebasan orang lain seperti
tekadnya dalam memperjuangkan kebebasan setiap rakyatnya agar tidak dikerdilkan atau
ditindas orang lain. Namun dalam hal ini, Ia telah memaksakan kehendaknya dengan menculik
Dewi Shinta. Rahwana cukup keras kepala dalam memperjuangkan apa yang ingin ia miliki,
termasuk mengorbankan seluruh kerajaan Alengkadiraja dan keluarganya untuk mengikuti
perang melawan kerajaan Ayodya hanya untuk mendapatkan cintanya Dewi Shinta.

Terlepas dari segala hal baik dan hal buruk yang ada pada diri Rahwana, sekali lagi
ditekankan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan rangkaian peristiwa yang telah
digariskan dan diatur oleh Sang Penguasa Semesta di luar kehendak manusia itu sendiri.
Berdasarkan kalimat “Sejarahku bukanlah rangkaian huruf-huruf yang tertulis atau susunan
kata-kata yang tertutur tentang diriku. Sejarahku adalah gerak hidup yang melintasi ruang
dan waktu. Karena itu, segala tulisan dan tuturan tentang Prabu Rahwana bukanlah sejarah
hidupku”, menunjukkan bahwa segala gerak hidup yang melintasi ruang dan waktu (segala
peristiwa yang telah terjadi), adalah sejarah dari seluruh makhluk di semesta. Dalam cerita
“Rahwana Putih” ini, kita tidak hanya melihat sejarah Prabu Rahwana namun juga sleuruh
manusia yang ada di dunia, termasuk kita.

Anda mungkin juga menyukai