svg
Twitter, Instagram simple icon.svg Instagram, dan Telegram logo.svg Telegram
Tutup
Gunung berapi
Gunung berapi Mahameru atau Semeru di belakang. Latar depan adalah Kaldera
Tengger termasuk Bromo, Jawa Timur, Indonesia.
Gunung berapi atau gunung api atau vulkan secara umum adalah istilah yang dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau
lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di bawah permukaan bumi sampai
ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada
saat meletus.[1]
Bahaya dari debu vulkanik adalah terhadap penerbangan khususnya pesawat jet karena
debu tersebut dapat merusak turbin dari mesin jet.[2] Letusan besar dapat
mempengaruhi suhu dikarenakan asap dan butiran asam sulfat yang dimuntahkan
letusan dapat menghalangi matahari dan mendinginkan bagian bawah atmosfer bumi
seperti troposfer, tetapi material tersebut juga dapat menyerap panas yang dipancarkan
dari bumi sehingga memanaskan stratosfer.
Lebih lanjut, istilah "gunung api" juga dipakai untuk menamai fenomena pembentukan
ice volcano (gunung api es) dan mud volcano (gunung api lumpur). Gunung api es biasa
terjadi di daerah garis lintang tinggi yang mempunyai musim dingin bersalju.
Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling
dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific
Ring of Fire).[1] Busur Cincin Api Pasifik merupakan garis bergeseknya antara dua
lempengan tektonik dan lebih, dimana Lempeng Pasifik saling bergesek dengan
lempeng-lempeng tetangganya.
Gunung berapi dapat dijumpai dalam beberapa bentuk sepanjang masa hidupnya.
Gunung berapi yang aktif mungkin berubah fase menjadi separuh aktif, istirahat,
sebelum akhirnya menjadi tidak aktif atau mati.[1] Namun gunung berapi mampu
istirahat dalam waktu yang sangat lama, lebih dari ribuan tahun sebelum berubah
menjadi aktif kembali.[3]
Letusan gunung berapi terjadi apabila magma naik melintasi kerak bumi dan muncul di
atas permukaan. Apabila gunung berapi meletus, magma yang terkandung di dalam
kamar magma di bawah gunung berapi meletus keluar sebagai lava, dimana lava ini
dapat berubah menjadi lahar setelah mengalir dan bercampur dengan material-material
di permukaan bumi. Selain dari aliran lava, kehancuran yang disebabkan oleh letusan
gunung berapi.
Ilmu yang mempelajari gunung berapi dinamakan Vulkanologi, dimana ilmu ini
mempelajari letusan gunung berapi untuk tujuan memperkirakan kemungkinan letusan
yang bisa terjadi dari suatu gunung berapi, sehingga dampak negatif letusan gunung
berapi dapat ditekan.
Daftar isi
1 Wilayah pembentukan
3.1 Aktif
3.2 Tidur
3.3 Mati
7 Material erupsi
7.3 Tefra
9 Lihat pula
10 Referensi
Wilayah pembentukan
Gunung berapi di Bumi terbentuk dari aktivitas lempeng tektonik di kerak yang saling
bergesekan dan menekan satu sama lain. Oleh karenanya gunung berapi banyak
ditemukan dekat dengan perbatasan lempeng tektonik. Secara geologis, Wilayah dimana
gunung berapi terbentuk dibagi tiga, yaitu:
Apabila kedua lempeng tektonik bergerak saling menjauhi satu sama lain, maka kerak
samudra yang baru akan terbentuk dari keluarnya magma ke permukaan dasar laut.
Wilayah antara kedua lempeng yang saling menjauh ini dinamakan dengan batas
divergen.[4] Aktivitas ini lalu akan memunculkan Punggung tengah samudra yang
terbentuk dari pendinginan magma yang muncul ke permukaan. Gunung berapi yang
terbentuk dari aktivitas ini berada di bawah laut, yang ditandai dengan fenomena
Ventilasi hidrotermal. Apabila punggung tengah samudra ini mencuat sampai ke
permukaan laut, maka kepulauan vulkanik akan terbentuk, contohnya adalah Islandia.
Berbeda dengan batas divergen yang tercipta dari pergerakan kedua lempeng tektonik
yang saling menjauh, Batas konvergen antar lempeng merupakan wilayah dimana dua
lempeng atau lebih bertemu lalu saling menekan dan mengalami subduksi sehingga
tepian di satu lempeng menindih tepian yang lain.[4] Penindihan lempeng ini ditandai
dengan terbentuknya bentang alam berupa palung di dasar laut. Fenomena ini
menimbulkan melelehnya material yang terdapat di mantel bumi, sehingga material
tersebut menjadi magma dan naik ke permukaan kerak yang tipis. Gunung berapi di
wilayah ini terbentuk dari pertemuan antara kedua lempeng kerak samudra atau antara
lempeng kerak samudra dan benua. Pertemuan antara kedua lempeng kerak benua
biasanya tidak memicu pembentukan gunung berapi dikarenakan kerak benua memiliki
ketebalan yang tidak dapat ditembus oleh magma di bawah permukaan. Contoh dari
gunung berapi ini adalah jajaran gunung berapi di Cincin Api Pasifik, atau Gunung Etna di
Italia.
Titik panas
Titik panas merupakan suatu wilayah vulkanik dimana magma naik ke permukaan
dikarenakan adanya celah di kerak bumi yang memungkinkan pergerakan tersebut. Titik
panas dapat ditemukan jauh dari batas antar kedua lempeng tektonik. Pergerakan ini
memunculkan gunung berapi yang memiliki ciri letusan efusif yang lemah dimana lava
muncul ke permukaan secara halus. Dikarenakan lempeng tektonik terus bergerak
secara perlahan, wilayah titik panas dapat membentuk gunung berapi yang berbeda-
beda sesuai dengan jalur pergerakan suatu lempeng. Kepulauan Hawaii merupakan
kepulauan yang terbentuk dari aktivitas vulkanik di titik panas di Samudra Pasifik.
Perisai
Tersusun dari batuan aliran lava yang dengan kekentalan rendah yang membeku,
sehingga tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam), bentuknya akan
berlereng landai, dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Gunung
seperti ini umumnya hanya mengalami erupsi efusif yang relatif lemah. Contoh bentuk
gunung berapi ini terdapat di kepulauan Hawai, Islandia, dan Afrika Timur.[5]
Stratovulkan
Dapur magma
Batuan dasar
Pipa kawah
Dasar gunung
Sill
Dike
Kepundan
Kerucut parasit
Aliran lava
Vent
Kawah
Awan debu
Tersusun dari tefra dan lava hasil erupsi dengan tipe letusan berubah-ubah sehingga
dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan. Lapisan lava
tersebut kemudian terakumulasi hingga membentuk suatu kerucut besar (raksasa) yang
terkadang memiliki bentuk tidak beraturan. Gunung Merapi di Yogyakarta, Gunung Fuji
di Jepang, Gunung Mayon di Filipina, Gunung Vesuvius, dan Gunung Stromboli di Italia
merupakan contoh dari gunung berapi jenis ini.
Lava yang berasal dari stratovulkan umumnya mengandung lebih banyak gas dan silika
daripada lava yang dihasilkan oleh gunung berapi tipe perisai. Kombinasi ini
menyebabkan lava dari stratovulkan menjadi lebih kental[6] dan menghasilkan lebih
banyak abu vulkanik. Gunung berapi tipe stratovulkan juga memiliki lereng yang cukup
curam, contohnya Gunung Popocatépetl yang lerengnya memiliki gradien rata-rata
sekitar 14,04° (25%) dan gradien maksimum sebesar 32,21° (63%).[7]
Merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan vulkanik menyebar di
sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk di puncaknya.
Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di sekitarnya.
Kaldera
Gunung berapi jenis ini terbentuk dari ledakan yang sangat kuat di masa lalu yang
melempar bagian atas dan tepi gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo
merupakan jenis ini, dimana kaldera tengger yang ada pada saat ini merupakan hasil
letusan besar di masa lalu.
Maar
Maar merupakan gunung berapi dengan ketinggian rendah dan diameter kepundan yang
lebar, dimana gunung berapi ini terbentuk dari letusan freatomagmatik yang disebabkan
oleh tercampurnya magma dengan air di bawah tanah. Saat tidak aktif, maar biasanya
terisi oleh air sehingga tampak seperti sebuah danau biasa.
Aktif
Tidak ada konsensus yang mampu mendefinisikan kapan gunung berapi dikatakan
"aktif".[10] Umur dari sebuah gunung berapi bervariasi, mulai dari beberapa minggu
hingga jutaan tahun.[11] Umur yang panjang ini terkadang jauh melampaui umur
manusia atau bahkan peradaban di Bumi. Contohnya, sebuah gunung berapi telah
meletus puluhan kali dalam beberapa ribu tahun terakhir, meskipun gunung tersebut
saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda aktivitas vulkanik. Kondisi ini merupakan contoh
gunung yang sebenarnya aktif, tetapi tampak mati bagi manusia yang berumur jauh
lebih pendek dibandingkan gunung tersebut.
Ilmuan biasanya menganggap sebuah gunung berapi mengalami erupsi atau akan
mengalami erupsi berdasarkan beberapa faktor seperti aktivitas kegempaan, emisi gas
dari gunung, dan sebagainya. Sebagian besar ilmuwan menganggap gunung berapi
"aktif" apabila gunung tersebut pernah mengalami erupsi dalam kurun waktu 10.000
tahun (masa holosen)—kriteria yang sama juga digunakan oleh Program Global
Volcanism Smithsonian. Hingga September 2020, program tersebut mencatat 1420
gunung berapi aktif yang pernah mengalami erupsi pada masa Holosen.[12] Sebagian
besar gunung berapi tersebut terletak di Cincin Api Pasifik dan lebih dari 500 juta orang
tinggal di dekat gunung berapi.[13]
Dasar lain yang digunakan dalam menentukan apakah gunung berapi aktif atau tidak
adalah menggunakan catatan sejarah. Dasar ini sebenarnya menimbulkan masalah baru
karena catatan sejarah pada setiap daerah di dunia berbeda-beda. Di Tiongkok dan
daerah Mediterania, catatan sejarah mencatat peristiwa yang terjadi hingga 3000 tahun
yang lalu, tetapi catatan sejarah di barat laut Amerika Serikat dan Kanada hanya
mencatat peristiwa yang terjadi kurang dari 300 tahun yang lalu. Sejarah di Hawaii dan
Selandia Baru bahkan hanya mencatat peristiwa yang terjadi sekitar 200 tahun yang lalu.
[14] Meskipun demikian, Catalogue of the Active Volcanoes of the World yang diterbikan
per bagian oleh Asosiasi Vulkanologi Internasional antara tahun 1951 dan 1975
menggunakan dasar ini untuk menyematkan status aktif pada 500 gunung berapi di
dunia.[14]
Hingga tahun 2021, berikut adalah lima dari gunung berapi paling aktif di Indonesia:[15]
Gunung Merapi
Gunung Sinabung
Gunung Agung
Gunung Karangetang
Gunung Semeru
Tidur
Gunung berapi tidur adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat mengalami erupsi,
tetapi bisa mengalami erupsi lagi di masa mendatang.[16] Gunung berapi dapat tetap
bertahan pada status ini dalam waktu yang lama, seperti Yellowstone yang telah berada
pada masa istirahat sejak 70.000 tahun yang lalu.[17] Contoh lainnya adalah Gunung
Sinabung yang telah beristirahat setidaknya selama 1200 tahun hingga akhirnya kembali
menunjukkan aktivitas vulkanik pada tahun 2010.[18]
Mati
Gunung Fourpeaked di Alaska yang erupsi pada September 2006 setelah disangka
sebagai gunung mati
Gunung berapi mati atau padam adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat
mengalami erupsi dan kemungkinan tidak akan mengalami erupsi karena tidak lagi
memiliki suplai magma.[16] Contoh dari gunung berapi mati adalah, Gunung Hohentwiel
di Jerman, Gunung Shiprock di New Mexico, dan Gunung Zuidwal di Belanda. Istilah
gunung mati sebenarnya masih diperdebatkan karena umur gunung yang jauh lebih
panjang daripada umur manusia yang mengamatinya.[19] Beberapa gunung bahkan
mengalami erupsi setelah dinyatakan sebagai gunung mati, seperti Gunung Fourpeaked
di Alaska yang meletus pada tahun 2006 tanpa adanya catatan aktivitas vulkanik selama
masa holosen.[20]
Gunung api Tipe B: sesudah tahun 1600 belum tercatat lagi mengadakan erupsi
magmatik namun masih memperlihatkan gejala kegiatan vulkanik seperti kegiatan
solfatara.
Gunung api Tipe C: sejarah erupsinya tidak diketahui dalam catatan manusia, tetapi
masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan solfatara/fumarola
pada tingkah lemah.
Tingkatan status gunung berapi di Indonesia menurut Badan Geologi Kementerian ESDM
AWAS
Menandakan gunung berapi yang segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis
yang menimbulkan bencana
Piket penuh
SIAGA
Menandakan gunung berapi yang sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan
bencana
Semua data menunjukkan bahwa aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan atau
menuju pada keadaan yang dapat menimbulkan bencana
Jika tren peningkatan berlanjut, letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu
Koordinasi harian
Piket penuh
WASPADA
Sedikit perubahan aktivitas yang diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik dan
hidrotermal
Penyuluhan/sosialisasi
Penilaian bahaya
Pengecekan sarana
NORMAL
Pengamatan rutin
Jenis erupsi
Secara umum, erupsi gunung berapi dibagi menjadi erupsi magmatik, freatomagmatik,
dan freatik.
Erupsi magmatik
Erupsi magmatik disebabkan oleh pelepasan gas akibat peristiwa dekompresi. Magma
dengan kekentalan rendah dan sedikit kandungan gas akan menghasilkan erupsi yang
relatif lemah. Sebaliknya, magma kental yang memiliki kandungan gas dalam jumlah
yang besar dapat menghasilkan erupsi yang kuat. Jenis erupsi berikut merupakan erupsi
yang namanya berasal dari peristiwa sejarah:[22]
Erupsi Hawaiian adalah erupsi gunung berapi yang memuntahkan lava mafik dengan
kandungan gas yang relatif sedikit. Erupsi ini hanya menghasilkan aliran lava cair, tetapi
hanya sedikit mengeluarkan tefra. Jenis erupsi ini dapat membentuk gunung berapi
landai dengan diameter lebar seperti Gunung Mauna Loa. Nama erupsi ini berasal dari
nama gunung-gunung berapi di Hawaii.
Erupsi Strombolian memuntahkan magma dengan kekentalan dan kandungan gas yang
lebih tinggi daripada erupsi Hawaiian. Erupsi ini memiliki berupa letusan-letusan kecil
yang terjadi tiap beberapa menit. Nama erupsi ini berasal dari Stromboli, nama pulau
dan gunung berapi di Italia.
Erupsi Vulkanian melepaskan magma dengan kekentalan yang lebih tinggi. Nama erupsi
ini berasal dari Vulcano, sebuah pulau gunung berapi kecil di daerah Mediterania.
[23]:150
Erupsi Peléan ditandai dengan aliran piroklastik dari sisi puncak gunung berapi yang
runtuh akibat tekanan tinggi atau gempa bumi. Nama erupsi ini berasal dari nama
Gunung Pelée.[23]:152
Erupsi Plinian merupakan erupsi kuat yang melontarkan tefra dalam jumlah yang besar.
Erupsi ini juga dapat melontarkan sebagian besar kerucut gunung dan menyebabkan
terbentuknya aliran piroklastik. Nama ini berasal dari nama Plinius Muda yang mencatat
erupsi Gunung Vesuvius pada tahun 79 M.
Intensitas erupsi gunung berapi diukur menggunakan Volcanic Explosivity Index (VEI)
yang memiliki rentang skala 0 untuk erupsi Hawaiian, hingga skala 8 untuk erupsi
megakolosal.[8]:27-31
Erupsi freatomagmatik
Erupsi freatomagmatik diawali dengan interaksi antara magma dengan air tanah. Akibat
adanya perbedaan temperatur yang signifikan, terjadi kenaikan tekanan dalam waktu
singkat yang berujung pada ledakan. Ledakan tersebut melontarkan uap air dan pecahan
piroklastik ke udara.[24] Tidak seperti erupsi freatik, erupsi freatomagmatik juga
melontarkan partikel juvenil.[25]
Erupsi freatik
Sama seperti erupsi freatiomagmatik, erupsi freatik disebabkan oleh kontak antara air
tanah dengan batuan panas atau magma. Ledakan kemudian terjadi akibat adanya
peningkatan temperatur air dalam waktu yang singkat. Erupsi ini hanya melontarkan uap
dan bagian dari dinding kawah.[26]
Material erupsi
Material yang dilepaskan oleh gunung berapi saat erupsi dapat diklasifikasikan menjadi
tiga jenis:[27]
Gas vulkanik, campuran dari uap air, karbon dioksida, dan belerang (dapat berupa sulfur
dioksida, SO2, atau hidrogen sulfida, H2S, tergantung temperatur saat letusan)
Gas vulkanik
Konsentrasi gas vulkanik dari erupsi satu gunung bisa berbeda dari gunung lainnya. Gas
vulkanik dapat berupa hidrogen sulfida, sulfur dioksida, hidrogen klorida, dan hidrogen
fluorida. Gas lain berupa hidrogen, nitrogen, dan karbon monoksida juga termasuk gas
vulkanik yang dierupsikan gunung berapi.[28]
Aliran lava
Bentuk dan tipe erupsi gunung berapi bergantung pada komposisi lava yang
dierupsikannya. Karakteristik paling penting dari magma adalah kekentalan dan jumlah
gas yang terlarut di dalamnya. Kedua karakteristik tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah
kandungan silika pada magma. Magma yang mengandung banyak silika cenderung lebih
kental dan mengandung lebih banyak gas daripada magma yang mengandung lebih
sedikit kandungan silikanya.[6]
Tefra
Tefra terbentuk ketika magma yang meletus akibat gas panas yang mengembang dalam
waktu yang cepat. Ledakan kuat ini menghasilkan partikel material yang beterbangan
dari gunung berapi. Partikel padat dengan diameter kurang dari 2 mm disebut sebagai
abu vulkanik.[29]
Erupsi gunung berapi memberikan bahaya besar bagi peradaban manusia. Meskipun
demikian, aktivitas vulkanik juga memberikan manfaat.
Dampak buruk
Terdapat beberapa peristiwa yang merupakan akibat dari erupsi gunung berapi, seperti
aliran piroklastik, lahar, dan emisi karbon dioksida. Aktivitas vulkanik juga menyebabkan
beberapa peristiwa lain seperti gempa bumi, fumarol, kolam lumpur, dan geiser.
Beberapa peristiwa tersebut sering kali memberikan dampak buruk secara langsung bagi
aktivitas manusia.
Gas vulkanik dapat mencapai lapisan stratosfer sehingga dapat membentuk aerosol
asam sulfat yang mampu menghamburkan radiasi dari Matahari dan menurunkan
temperatur di permukaan Bumi.[30] Hal seperti ini kemungkinan pernah terjadi pada
Gunung Huaynaputina sekitar tahun 1600, ketika gas vulkanik di atmosfer menyebabkan
terjadinya bencana kelaparan Rusia antara tahun 1601-1603.[31] Reaksi kimia yang
terjadi pada aerosol sulfat di stratosfer juga dapat merusak lapisan ozon. Zat asam
seperti hidrogen klorida (HCl) dan hidrogen fluorida (HF) dapat jatuh ke permukaan
Bumi sebagai hujan asam.[32] Erupsi eksplosif gunung berapi juga dapat melepaskan gas
rumah kaca seperti karbon dioksida.
Musim dingin vulkanik diduga sempat terjadi 70.000 tahun yang lalu ketika terjadinya
erupsi dahsyat Gunung Toba di Pulau Sumatra.[34] Peristiwa ini mungkin telah
menyebabkan terjadinya leher botol populasi yang memengaruhi genetika manusia
zaman sekarang.[35] Pada tahun 1815, erupsi Gunung Tambora menyebabkan anomali
iklim global yang dikenal sebagai "Year Without a Summer".[36] Erupsi besar gunung
berapi juga kemungkinan telah menyebabkan setidaknya satu peristiwa kepunahan
masal.[37]
Dampak baik
Lihat pula
Gunung
Geografi
Gunung meletus
Referensi
Nuswantoro, Irwan (2011). Top 10 Di Dunia. Jakarta: Penebar Swadaya Grup. hlm. 15.
ISBN 9789797882648.
Budiyati, Dewi Septiana (2020). IPA untuk SMK/ MAK Kelas X. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia. hlm. 32. ISBN 9786020503196.
Bersahabat Dengan Ancaman. 2007: Grasindo. 2007. hlm. 18. ISBN 9789790250468.
Samadi, Samadi (2007). Geografi SMA Kelas X. Bandung: Yudhistira. hlm. 76. ISBN
9789797468361.
Keller, Edward A.; DeVecchio, Duane E. (2019-03-29). Natural Hazards: Earth's Processes
as Hazards, Disasters, and Catastrophes (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 396.
ISBN 978-1-351-67370-9.
Klemetti, Erik (2016-12-07). "Annotated Volcano: A Volcano's Shape Can Tell You How It
Will Erupt". Wired (dalam bahasa Inggris). ISSN 1059-1028. Diakses tanggal 2021-01-29.
Martí Molist, Joan (2017-09-06). Assessing Volcanic Hazard (dalam bahasa Inggris). 1.
Oxford University Press. doi:10.1093/oxfordhb/9780190699420.013.32.
Geikie, Archibald (1882). Textbook of Geology (dalam bahasa Inggris). Macmillan. hlm.
208.
Williams, Matt (19 September 2016). "What is the difference between active and
dormant volcanoes?". phys.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-25.
Cas, R.; Wright, J. (2012-12-06). Volcanic Successions Modern and Ancient: A geological
approach to processes, products and successions (dalam bahasa Inggris). Springer
Science & Business Media. hlm. 294. ISBN 978-94-009-3167-1.
Venzke, E., ed. (2013). "Holocene Volcano List". Global Volcanism Program Volcanoes of
the World (version 4.9.1). Smithsonian Institution. Diakses tanggal 30 Januari 2021.
Doocy, Shannon; Daniels, Amy; Dooling, Shayna; Gorokhovich, Yuri (2013). "The Human
Impact of Volcanoes: a Historical Review of Events 1900-2009 and Systematic Literature
Review". PLoS Currents (dalam bahasa Inggris).
doi:10.1371/currents.dis.841859091a706efebf8a30f4ed7a1901. ISSN 2157-3999. PMC
3644290 alt=Dapat diakses gratis. PMID 23857374. More than 500 million people live
within the potential exposure range of a volcano.
Decker, Robert Wayne; Decker, Barbara (1991). Mountains of Fire: The Nature of
Volcanoes. Cambridge University Press. hlm. 7. ISBN 978-0-521-31290-5.
Kahfi, Kharishar (12 Februari 2019). "Mountains rumbling: Five most active volcanoes in
the archipelago". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-25.
Asyhad, Moh Habib (14 Februari 2014). "Prof. Dr. Katili: Tak Pernah Ada Gunung Api
Mati - Semua Halaman - Intisari". intisari.grid.id. Diakses tanggal 2021-01-25.
Suryana, Dayat (2012). Bali: Bali dan Sekitarnya. CreateSpace Independent Publishing
Platform. hlm. 133. ISBN 9781480078611.
McLeish, Andrew (1992). Geological Science (dalam bahasa Inggris). Nelson Thornes.
hlm. 63–64. ISBN 978-0-17-448221-5.
Dinwiddie, Robert; Lamb, Simon; Reynolds, Ross (2011-10-03). Violent Earth: Volcanoes,
Earthquakes, Hurricanes, Mudslides, Tsunamis (dalam bahasa Inggris). Penguin. hlm.
150–152. ISBN 978-0-7566-8946-9.
Houghton, Bruce; White, James D. L.; Van Eaton, Alexa R. (2015-01-01). Sigurdsson,
Haraldur, ed. The Encyclopedia of Volcanoes (Second Edition) (dalam bahasa Inggris).
Amsterdam: Academic Press. hlm. 538. doi:10.1016/b978-0-12-385938-9.00030-4. ISBN
978-0-12-385938-9. ...but the presence of small amounts of juvenile ejecta suggests that
it was phreatomagmatic.
Naik, Vaishali; Horowitz, Larry W.; Schwarzkopf, M. Daniel; Lin, Meiyun (2017). "Impact
of volcanic aerosols on stratospheric ozone recovery". Journal of Geophysical Research:
Atmospheres (dalam bahasa Inggris). 122 (17): 9515–9516. doi:10.1002/2016JD025808.
ISSN 2169-8996.
Witze, Alexandra (2008-04-11). "The volcano that changed the world". Nature (dalam
bahasa Inggris): news.2008.747. doi:10.1038/news.2008.747. ISSN 0028-0836.
Becker, Rachel (2018-02-20). "Why it's dangerous to fly through volcanic ash". The
Verge (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-30.
Vogel, Gretchen (2018-03-12). "How ancient humans survived global 'volcanic winter'
from massive eruption". Science | AAAS (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-
01-31.
Whitehouse, David (9 Juni 2003). "When humans faced extinction". BBC. Diakses
tanggal 30 Januari 2021.
Klingaman, William K.; Klingaman, Nicholas P. (2013-02-26). The Year Without Summer:
1816 and the Volcano That Darkened the World and Changed History (dalam bahasa
Inggris). St. Martin's Publishing Group. hlm. 1. ISBN 978-1-250-01206-7.
Percival, Lawrence M. E.; Ruhl, Micha; Hesselbo, Stephen P.; Jenkyns, Hugh C.; Mather,
Tamsin A.; Whiteside, Jessica H. (2017-06-19). "Mercury evidence for pulsed volcanism
during the end-Triassic mass extinction". Proceedings of the National Academy of
Sciences (dalam bahasa Inggris). 114 (30): 7929, 7934. doi:10.1073/pnas.1705378114.
ISSN 0027-8424. PMC 5544315 alt=Dapat diakses gratis. PMID 28630294.
Fiantis, Dian; Ginting, Frisa Irawan; Gusnidar; Nelson, M.; Minasny, Budiman (2019/1).
"Volcanic Ash, Insecurity for the People but Securing Fertile Soil for the Future".
Sustainability (dalam bahasa Inggris). 11 (11): 16–17. doi:10.3390/su11113072.
Deamer, Kacey (9 Februari 2017). "Magma Power: Scientists Drill into Volcano to
Harness its Energy". livescience.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-01-31.
lbs
BukitDataran tinggiGunungLembahPegunungan
AreteEskerFyordGletserLembah lorongSirke
BangunanBendungan WadukPolderReklamasiSelokanTambangTerowonganTerusan
Kanal
Menu navigasi
Pembicaraan
Kontribusi
Masuk log
HalamanPembicaraan
BacaLainnyacollapsed
Pencarian
Cari Wikipedia
Halaman Utama
Daftar isi
Perubahan terbaru
Artikel pilihan
Peristiwa terkini
Halaman baru
Halaman sembarang
Komunitas
Warung Kopi
Portal komunitas
Bantuan
Wikipedia
Tentang Wikipedia
Pancapilar
Kebijakan
Menyumbang
Hubungi kami
Bak pasir
Bagikan
Perkakas
Pranala balik
Perubahan terkait
Halaman istimewa
Pranala permanen
Informasi halaman
Butir di Wikidata
Pranala menurut ID
Cetak/ekspor
Buat buku
Versi cetak
Wikimedia Commons
Bahasa lain
English
Esperanto
Eesti
Magyar
Jawa
Lietuvių
Minangkabau
Bahasa Melayu
中文
170 lagi
Sunting pranala