Anda di halaman 1dari 12

Gunung berapi

Gunung berapi Mahameru atau Semeru di belakang. Latar depan adalah Kaldera
Tengger termasuk Bromo, Jawa Timur, Indonesia.
Gunung berapi, gunung api atau vulkan secara umum adalah istilah yang dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava)
yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di bawah permukaan bumi sampai ke
permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada saat
meletus.[1]
Gunung berapi di Bumi terbentuk dikarenakan keraknya terpecah menjadi 17
lempeng tektonik utama yang kaku dan mengambang di atas lapisan mantel yang lebih panas
dan lunak. Oleh karena itu, gunung berapi di Bumi sering ditemukan di batas divergen dan
konvergen dari lempeng tektonik. Gunung berapi biasanya tidak terbentuk di wilayah dua
lempeng tektonik bergeser satu sama lain.
Bahaya dari debu vulkanik adalah terhadap penerbangan khususnya pesawat jet
karena debu tersebut dapat merusak turbin dari mesin jet.[2] Letusan besar dapat
mempengaruhi suhu dikarenakan asap dan butiran asam sulfat yang dimuntahkan letusan
dapat menghalangi matahari dan mendinginkan bagian bawah atmosfer bumi seperti
troposfer, tetapi material tersebut juga dapat menyerap panas yang dipancarkan dari bumi
sehingga memanaskan stratosfer.
Lebih lanjut, istilah "gunung api" juga dipakai untuk menamai fenomena
pembentukan ice volcano (gunung api es) dan mud volcano (gunung api lumpur). Gunung api
es biasa terjadi di daerah garis lintang tinggi yang mempunyai musim dingin bersalju.
Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling
dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific
Ring of Fire).[1] Busur Cincin Api Pasifik merupakan garis bergeseknya antara dua
lempengan tektonik dan lebih, dimana Lempeng Pasifik saling bergesek dengan lempeng-
lempeng tetangganya.
Gunung berapi dapat dijumpai dalam beberapa bentuk sepanjang masa hidupnya.
Gunung berapi yang aktif mungkin berubah fase menjadi separuh aktif, istirahat, sebelum
akhirnya menjadi tidak aktif atau mati. [1] Namun gunung berapi mampu istirahat dalam waktu
yang sangat lama, lebih dari ribuan tahun sebelum berubah menjadi aktif kembali. [3]
Letusan gunung berapi terjadi apabila magma naik melintasi kerak bumi dan muncul
di atas permukaan. Apabila gunung berapi meletus, magma yang terkandung di dalam kamar
magma di bawah gunung berapi meletus keluar sebagai lava, dimana lava ini dapat berubah
menjadi lahar setelah mengalir dan bercampur dengan material-material di permukaan bumi.
Selain dari aliran lava, kehancuran yang disebabkan oleh letusan gunung berapi.
Ilmu yang mempelajari gunung berapi dinamakan Vulkanologi, dimana ilmu ini
mempelajari letusan gunung berapi untuk tujuan memperkirakan kemungkinan letusan yang
bisa terjadi dari suatu gunung berapi, sehingga dampak negatif letusan gunung berapi dapat
ditekan.

Wilayah pembentukan
Gunung berapi di Bumi terbentuk dari aktivitas lempeng tektonik di kerak yang
saling bergesekan dan menekan satu sama lain. Oleh karenanya gunung berapi banyak
ditemukan dekat dengan perbatasan lempeng tektonik. Secara geologis, Wilayah dimana
gunung berapi terbentuk dibagi tiga, yaitu:

Batas divergen antar lempeng


Apabila kedua lempeng tektonik bergerak saling menjauhi satu sama lain, maka
kerak samudra yang baru akan terbentuk dari keluarnya magma ke permukaan dasar laut.
Wilayah antara kedua lempeng yang saling menjauh ini dinamakan dengan batas divergen.[4]
Aktivitas ini lalu akan memunculkan Punggung tengah samudra yang terbentuk dari
pendinginan magma yang muncul ke permukaan. Gunung berapi yang terbentuk dari aktivitas
ini berada di bawah laut, yang ditandai dengan fenomena Ventilasi hidrotermal. Apabila
punggung tengah samudra ini mencuat sampai ke permukaan laut, maka kepulauan vulkanik
akan terbentuk, contohnya adalah Islandia.
Batas konvergen antar lempeng
Berbeda dengan batas divergen yang tercipta dari pergerakan kedua lempeng
tektonik yang saling menjauh, Batas konvergen antar lempeng merupakan wilayah dimana
dua lempeng atau lebih bertemu lalu saling menekan dan mengalami subduksi sehingga
tepian di satu lempeng menindih tepian yang lain. [4] Penindihan lempeng ini ditandai dengan
terbentuknya bentang alam berupa palung di dasar laut. Fenomena ini menimbulkan
melelehnya material yang terdapat di mantel bumi, sehingga material tersebut menjadi
magma dan naik ke permukaan kerak yang tipis. Gunung berapi di wilayah ini terbentuk dari
pertemuan antara kedua lempeng kerak samudra atau antara lempeng kerak samudra dan
benua. Pertemuan antara kedua lempeng kerak benua biasanya tidak memicu pembentukan
gunung berapi dikarenakan kerak benua memiliki ketebalan yang tidak dapat ditembus oleh
magma di bawah permukaan. Contoh dari gunung berapi ini adalah jajaran gunung berapi di
Cincin Api Pasifik, atau Gunung Etna di Italia.

Titik panas
Titik panas merupakan suatu wilayah vulkanik dimana magma naik ke permukaan
dikarenakan adanya celah di kerak bumi yang memungkinkan pergerakan tersebut. Titik
panas dapat ditemukan jauh dari batas antar kedua lempeng tektonik. Pergerakan ini
memunculkan gunung berapi yang memiliki ciri letusan efusif yang lemah dimana lava
muncul ke permukaan secara halus. Dikarenakan lempeng tektonik terus bergerak secara
perlahan, wilayah titik panas dapat membentuk gunung berapi yang berbeda-beda sesuai
dengan jalur pergerakan suatu lempeng. Kepulauan Hawaii merupakan kepulauan yang
terbentuk dari aktivitas vulkanik di titik panas di Samudra Pasifik.

Jenis gunung berapi berdasarkan bentuknya


Perisai
Tersusun dari batuan aliran lava yang dengan kekentalan rendah yang membeku,
sehingga tidak sempat membentuk suatu kerucut yang tinggi (curam), bentuknya akan
berlereng landai, dan susunannya terdiri dari batuan yang bersifat basaltik. Gunung seperti ini
umumnya hanya mengalami erupsi efusif yang relatif lemah. Contoh bentuk gunung berapi
ini terdapat di kepulauan Hawai, Islandia, dan Afrika Timur.[5]
Stratovulkan

Potongan melintang sebuah stratovulkan (tidak sesuai skala):


1. Dapur magma
2. Batuan dasar
3. Pipa kawah
4. Dasar gunung
5. Sill
6. Dike
7. Lapisan debu vulkanik
8. Flank
9. Lapisan lava yang dimuntahkan oleh gunung berapi
10. Kepundan
11. Kerucut parasit
12. Aliran lava
13. Vent
14. Kawah
15. Awan debu
Tersusun dari tefra dan lava hasil erupsi dengan tipe letusan berubah-ubah sehingga
dapat menghasilkan susunan yang berlapis-lapis dari beberapa jenis batuan. Lapisan lava
tersebut kemudian terakumulasi hingga membentuk suatu kerucut besar (raksasa) yang
terkadang memiliki bentuk tidak beraturan. Gunung Merapi di Yogyakarta, Gunung Fuji di
Jepang, Gunung Mayon di Filipina, Gunung Vesuvius, dan Gunung Stromboli di Italia
merupakan contoh dari gunung berapi jenis ini.
Lava yang berasal dari stratovulkan umumnya mengandung lebih banyak gas dan
silika daripada lava yang dihasilkan oleh gunung berapi tipe perisai. Kombinasi ini
menyebabkan lava dari stratovulkan menjadi lebih kental [6] dan menghasilkan lebih banyak
abu vulkanik. Gunung berapi tipe stratovulkan juga memiliki lereng yang cukup curam,
contohnya Gunung Popocatépetl yang lerengnya memiliki gradien rata-rata sekitar 14,04°
(25%) dan gradien maksimum sebesar 32,21° (63%).[7]

Kerucut bara (Cinder cone)


Merupakan gunung berapi yang abu dan pecahan kecil batuan vulkanik menyebar di
sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk di puncaknya.
Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di sekitarnya.

Kaldera
Gunung berapi jenis ini terbentuk dari ledakan yang sangat kuat di masa lalu yang
melempar bagian atas dan tepi gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo
merupakan jenis ini, dimana kaldera tengger yang ada pada saat ini merupakan hasil letusan
besar di masa lalu.

Maar
Maar merupakan gunung berapi dengan ketinggian rendah dan diameter kepundan
yang lebar, dimana gunung berapi ini terbentuk dari letusan freatomagmatik yang disebabkan
oleh tercampurnya magma dengan air di bawah tanah. Saat tidak aktif, maar biasanya terisi
oleh air sehingga tampak seperti sebuah danau biasa.

Klasifikasi gunung berapi berdasarkan aktivitas vulkanik


Gunung-gunung berapi memiliki perbedaan pada tingkat aktivitasnya. Beberapa
gunung berapi dapat meletus beberapa kali dalam setahun, tetapi ada pula yang hanya
meletus tiap puluhan ribu tahun sekali. [8]:47 Gunung berapi dapat diklasifikasikan secara
informal sebagai aktif, tidur, atau mati, meskipun batasan dari klasifikasi ini tidak begitu
jelas.[9]
Aktif

Erupsi Gunung Rinjani pada tahun 1994


Tidak ada konsensus yang mampu mendefinisikan kapan gunung berapi dikatakan
"aktif".[10] Umur dari sebuah gunung berapi bervariasi, mulai dari beberapa minggu hingga
jutaan tahun.[11] Umur yang panjang ini terkadang jauh melampaui umur manusia atau bahkan
peradaban di Bumi. Contohnya, sebuah gunung berapi telah meletus puluhan kali dalam
beberapa ribu tahun terakhir, meskipun gunung tersebut saat ini tidak menunjukkan tanda-
tanda aktivitas vulkanik. Kondisi ini merupakan contoh gunung yang sebenarnya aktif, tetapi
tampak mati bagi manusia yang berumur jauh lebih pendek dibandingkan gunung tersebut.
Ilmuan biasanya menganggap sebuah gunung berapi mengalami erupsi atau akan
mengalami erupsi berdasarkan beberapa faktor seperti aktivitas kegempaan, emisi gas dari
gunung, dan sebagainya. Sebagian besar ilmuwan menganggap gunung berapi "aktif" apabila
gunung tersebut pernah mengalami erupsi dalam kurun waktu 10.000 tahun (masa holosen)—
kriteria yang sama juga digunakan oleh Program Global Volcanism Smithsonian. Hingga
September 2020, program tersebut mencatat 1420 gunung berapi aktif yang pernah
mengalami erupsi pada masa Holosen.[12] Sebagian besar gunung berapi tersebut terletak di
Cincin Api Pasifik dan lebih dari 500 juta orang tinggal di dekat gunung berapi.[13]
Dasar lain yang digunakan dalam menentukan apakah gunung berapi aktif atau tidak
adalah menggunakan catatan sejarah. Dasar ini sebenarnya menimbulkan masalah baru
karena catatan sejarah pada setiap daerah di dunia berbeda-beda. Di Tiongkok dan daerah
Mediterania, catatan sejarah mencatat peristiwa yang terjadi hingga 3000 tahun yang lalu,
tetapi catatan sejarah di barat laut Amerika Serikat dan Kanada hanya mencatat peristiwa
yang terjadi kurang dari 300 tahun yang lalu. Sejarah di Hawaii dan Selandia Baru bahkan
hanya mencatat peristiwa yang terjadi sekitar 200 tahun yang lalu. [14] Meskipun demikian,
Catalogue of the Active Volcanoes of the World yang diterbikan per bagian oleh Asosiasi
Vulkanologi Internasional antara tahun 1951 dan 1975 menggunakan dasar ini untuk
menyematkan status aktif pada 500 gunung berapi di dunia.[14]
Hingga tahun 2021, berikut adalah lima dari gunung berapi paling aktif di Indonesia:
 Gunung Merapi
 Gunung Sinabung
 Gunung Anak Krakatau
 Gunung Agung
 Gunung Karangetang
 Gunung Semeru

Tidur
Gunung berapi tidur adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat mengalami
erupsi, tetapi bisa mengalami erupsi lagi di masa mendatang. [16] Gunung berapi dapat tetap
bertahan pada status ini dalam waktu yang lama, seperti Yellowstone yang telah berada pada
masa istirahat sejak 70.000 tahun yang lalu.[17] Contoh lainnya adalah Gunung Sinabung yang
telah beristirahat setidaknya selama 1200 tahun hingga akhirnya kembali menunjukkan
aktivitas vulkanik pada tahun 2010.[18]

Mati

Gunung Fourpeaked di Alaska yang erupsi pada September 2006 setelah disangka
sebagai gunung mati
Gunung berapi mati atau padam adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat
mengalami erupsi dan kemungkinan tidak akan mengalami erupsi karena tidak lagi memiliki
suplai magma.[16] Contoh dari gunung berapi mati adalah, Gunung Hohentwiel di Jerman,
Gunung Shiprock di New Mexico, dan Gunung Zuidwal di Belanda. Istilah gunung mati
sebenarnya masih diperdebatkan karena umur gunung jauh lebih panjang daripada umur
manusia yang mengamatinya.[19] Beberapa gunung bahkan mengalami erupsi setelah
dinyatakan sebagai gunung mati, seperti Gunung Fourpeaked di Alaska yang meletus pada
tahun 2006 tanpa adanya catatan aktivitas vulkanik selama masa holosen.[20]
Klasifikasi gunung berapi berdasarkan frekuensi letusan di Indonesia
Kalangan vulkanologi Indonesia mengelompokkan gunung berapi ke dalam tiga tipe
berdasarkan catatan sejarah letusan/erupsinya.[21]
 Gunung api Tipe A: tercatat pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-
kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.
 Gunung api Tipe B: sesudah tahun 1600 belum tercatat lagi mengadakan
erupsi magmatik namun masih memperlihatkan gejala kegiatan vulkanik
seperti kegiatan solfatara.
 Gunung api Tipe C: sejarah erupsinya tidak diketahui dalam catatan manusia,
tetapi masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan
solfatara/fumarola pada tingkah lemah.
Skema peringatan gunung berapi di Indonesia

Tingkatan status gunung berapi di Indonesia menurut Badan Geologi Kementerian


ESDM

Status Makna Tindakan

Menandakan gunung berapi yang Wilayah yang terancam


segera atau sedang meletus atau ada bahaya direkomendasikan untuk
keadaan kritis yang menimbulkan bencana dikosongkan
AWAS Letusan pembukaan dimulai Koordinasi dilakukan
dengan abu dan asap secara harian
Letusan berpeluang terjadi dalam Piket penuh
waktu 24 jam

Menandakan gunung berapi yang Sosialisasi di wilayah


sedang bergerak ke arah letusan atau terancam
menimbulkan bencana Penyiapan sarana darurat
Peningkatan intensif kegiatan Koordinasi harian
seismik Piket penuh
SIAGA Semua data menunjukkan bahwa
aktivitas dapat segera berlanjut ke letusan
atau menuju pada keadaan yang dapat
menimbulkan bencana
Jika tren peningkatan berlanjut,
letusan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu
Ada aktivitas apa pun bentuknya Penyuluhan/sosialisasi
Terdapat kenaikan aktivitas di atas Penilaian bahaya
level normal Pengecekan sarana
Peningkatan aktivitas seismik dan Pelaksanaan piket
WASPADA
kejadian vulkanis lainnya terbatas
Sedikit perubahan aktivitas yang
diakibatkan oleh aktivitas magma, tektonik
dan hidrotermal

Tidak ada gejala aktivitas tekanan Pengamatan rutin


NORMAL magma Survei dan penyelidikan
Level aktivitas dasar

Jenis erupsi
Secara umum, erupsi gunung berapi dibagi menjadi erupsi magmatik,
freatomagmatik, dan freatik.
Erupsi magmatik
Erupsi magmatik disebabkan oleh pelepasan gas akibat peristiwa dekompresi.
Magma dengan kekentalan rendah dan sedikit kandungan gas akan menghasilkan erupsi yang
relatif lemah. Sebaliknya, magma kental yang memiliki kandungan gas dalam jumlah yang
besar dapat menghasilkan erupsi yang kuat. Jenis erupsi berikut merupakan erupsi yang
namanya berasal dari peristiwa sejarah:[22]
Erupsi Hawaiian adalah erupsi gunung berapi yang memuntahkan lava mafik
dengan kandungan gas yang relatif sedikit. Erupsi ini hanya menghasilkan aliran lava cair,
tetapi hanya sedikit mengeluarkan tefra. Jenis erupsi ini dapat membentuk gunung berapi
landai dengan diameter lebar seperti Gunung Mauna Loa. Nama erupsi ini berasal dari nama
gunung-gunung berapi di Hawaii.
Erupsi Strombolian memuntahkan magma dengan kekentalan dan kandungan gas
yang lebih tinggi daripada erupsi Hawaiian. Erupsi ini memiliki berupa letusan-letusan kecil
yang terjadi tiap beberapa menit. Nama erupsi ini berasal dari Stromboli, nama pulau dan
gunung berapi di Italia.
Erupsi Vulkanian melepaskan magma dengan kekentalan yang lebih tinggi. Nama
erupsi ini berasal dari Vulcano, sebuah pulau gunung berapi kecil di daerah Mediterania.[23]:150
Erupsi Peléan ditandai dengan aliran piroklastik dari sisi puncak gunung berapi
yang runtuh akibat tekanan tinggi atau gempa bumi. Nama erupsi ini berasal dari nama
Gunung Pelée.
Erupsi Plinian merupakan erupsi kuat yang melontarkan tefra dalam jumlah yang
besar. Erupsi ini juga dapat melontarkan sebagian besar kerucut gunung dan menyebabkan
terbentuknya aliran piroklastik. Nama ini berasal dari nama Plinius Muda yang mencatat
erupsi Gunung Vesuvius pada tahun 79 M.
Erupsi Krakatoan merupakan erupsi dahsyat yang mampu melontarkan nyaris
keseluruhan kerucut gunung. Nama erupsi ini berasal dari nama Gunung Krakatau yang
berada di Selat Sunda.
Intensitas erupsi gunung berapi diukur menggunakan Volcanic Explosivity Index
(VEI) yang memiliki rentang skala 0 untuk erupsi Hawaiian, hingga skala 8 untuk erupsi
megakolosal.[8]:27-31

Erupsi freatomagmatik
Erupsi freatomagmatik diawali dengan interaksi antara magma dengan air tanah.
Akibat adanya perbedaan temperatur yang signifikan, terjadi kenaikan tekanan dalam waktu
singkat yang berujung pada ledakan. Ledakan tersebut melontarkan uap air dan pecahan
piroklastik ke udara.[24] Tidak seperti erupsi freatik, erupsi freatomagmatik juga melontarkan
partikel juvenil.[25]

Erupsi freatik
Sama seperti erupsi freatiomagmatik, erupsi freatik disebabkan oleh kontak antara
air tanah dengan batuan panas atau magma. Ledakan kemudian terjadi akibat adanya
peningkatan temperatur air dalam waktu yang singkat. Erupsi ini hanya melontarkan uap dan
bagian dari dinding kawah.
Material erupsi
1. Material yang dilepaskan oleh gunung berapi saat erupsi dapat diklasifikasikan menjadi
tiga jenis:[27]
2. Gas vulkanik, campuran dari uap air, karbon dioksida, dan belerang (dapat berupa sulfur
dioksida, SO2, atau hidrogen sulfida, H2S, tergantung temperatur saat letusan)
3. Lava, magma yang mencapai permukaan Bumi
4. Tefra, material padat dengan berbagai bentuk dan ukuran yang dilontarkan ke udara
5. Gas vulkanik
6. Konsentrasi gas vulkanik dari erupsi satu gunung bisa berbeda dari gunung lainnya. Gas
vulkanik dapat berupa hidrogen sulfida, sulfur dioksida, hidrogen klorida, dan hidrogen
fluorida. Gas lain berupa hidrogen, nitrogen, dan karbon monoksida juga termasuk gas
vulkanik yang dierupsikan gunung berapi.[28]

Aliran lava
Bentuk dan tipe erupsi gunung berapi bergantung pada komposisi lava yang
dierupsikannya. Karakteristik paling penting dari magma adalah kekentalan dan jumlah gas
yang terlarut di dalamnya. Kedua karakteristik tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah
kandungan silika pada magma. Magma yang mengandung banyak silika cenderung lebih
kental dan mengandung lebih banyak gas daripada magma yang mengandung lebih sedikit
kandungan silikanya.
Tefra
Tefra terbentuk ketika magma yang meletus akibat gas panas yang mengembang
dalam waktu yang cepat. Ledakan kuat ini menghasilkan partikel material yang beterbangan
dari gunung berapi. Partikel padat dengan diameter kurang dari 2 mm disebut sebagai abu
vulkanik.[29]

Dampak terhadap manusia


Erupsi gunung berapi memberikan bahaya besar bagi peradaban manusia. Meskipun
demikian, aktivitas vulkanik juga memberikan manfaat.

Dampak buruk
Terdapat beberapa peristiwa yang merupakan akibat dari erupsi gunung berapi,
seperti aliran piroklastik, lahar, dan emisi karbon dioksida. Aktivitas vulkanik juga
menyebabkan beberapa peristiwa lain seperti gempa bumi, fumarol, kolam lumpur, dan
geiser. Beberapa peristiwa tersebut sering kali memberikan dampak buruk secara langsung
bagi aktivitas manusia.
Gas vulkanik dapat mencapai lapisan stratosfer sehingga dapat membentuk aerosol
asam sulfat yang mampu menghamburkan radiasi dari Matahari dan menurunkan temperatur
di permukaan Bumi. Hal seperti ini kemungkinan pernah terjadi pada Gunung Huaynaputina
sekitar tahun 1600, ketika gas vulkanik di atmosfer menyebabkan terjadinya bencana
kelaparan Rusia antara tahun 1601-1603.[31] Reaksi kimia yang terjadi pada aerosol sulfat di
stratosfer juga dapat merusak lapisan ozon. Zat asam seperti hidrogen klorida (HCl) dan
hidrogen fluorida (HF) dapat jatuh ke permukaan Bumi sebagai hujan asam.[32] Erupsi
eksplosif gunung berapi juga dapat melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida.
Abu vulkanik yang dilontarkan ke udara dapat membahayakan pesawat, terutama
pesawat jet. Partikel yang masuk ke dalam mesin jet dapat meleleh akibat temperatur tinggi
dan turbin mesin. Selain itu, abu vulkanik dengan kecepatan tinggi dapat merusak bagian luar
pesawat, instrumen navigasi, dan sistem komunikasi. [33] Gangguan-gangguan seperti dapat
menyebabkan terganggunya penerbangan akibat penundaan dan pengalihan rute
penerbangan.
Musim dingin vulkanik diduga sempat terjadi 70.000 tahun yang lalu ketika
terjadinya erupsi dahsyat Gunung Toba di Pulau Sumatra.[34] Peristiwa ini mungkin telah
menyebabkan terjadinya leher botol populasi yang memengaruhi genetika manusia zaman
sekarang.[35] Pada tahun 1815, erupsi Gunung Tambora menyebabkan anomali iklim global
yang dikenal sebagai "Year Without a Summer".[36] Erupsi besar gunung berapi juga
kemungkinan telah menyebabkan setidaknya satu peristiwa kepunahan masal.[37]

Dampak baik
Meskipun erupsi gunung berapi dianggap sebagai bencana yang membahayakan
manusia, aktivitas vulkanik di masa lalu dapat mendukung perkembangan sumber daya di
sekitarnya. Abu vulkanik yang dilepaskan oleh gunung berapi mengandung zat nutrisi yang
dapat menyuburkan tanah.[38] Aktivitas vulkanik juga disertai dengan aliran panas dari dalam
Bumi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Anda mungkin juga menyukai