Gunung berapi Mahameru atau Semeru di belakang. Latar depan adalah Kaldera
Tengger termasuk Bromo, Jawa Timur, Indonesia.
Gunung berapi, gunung api atau vulkan secara umum adalah istilah yang dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair atau lava)
yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di bawah permukaan bumi sampai ke
permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material yang dikeluarkan pada saat
meletus.[1]
Gunung berapi di Bumi terbentuk dikarenakan keraknya terpecah menjadi 17
lempeng tektonik utama yang kaku dan mengambang di atas lapisan mantel yang lebih panas
dan lunak. Oleh karena itu, gunung berapi di Bumi sering ditemukan di batas divergen dan
konvergen dari lempeng tektonik. Gunung berapi biasanya tidak terbentuk di wilayah dua
lempeng tektonik bergeser satu sama lain.
Bahaya dari debu vulkanik adalah terhadap penerbangan khususnya pesawat jet
karena debu tersebut dapat merusak turbin dari mesin jet.[2] Letusan besar dapat
mempengaruhi suhu dikarenakan asap dan butiran asam sulfat yang dimuntahkan letusan
dapat menghalangi matahari dan mendinginkan bagian bawah atmosfer bumi seperti
troposfer, tetapi material tersebut juga dapat menyerap panas yang dipancarkan dari bumi
sehingga memanaskan stratosfer.
Lebih lanjut, istilah "gunung api" juga dipakai untuk menamai fenomena
pembentukan ice volcano (gunung api es) dan mud volcano (gunung api lumpur). Gunung api
es biasa terjadi di daerah garis lintang tinggi yang mempunyai musim dingin bersalju.
Gunung berapi terdapat di seluruh dunia, tetapi lokasi gunung berapi yang paling
dikenali adalah gunung berapi yang berada di sepanjang busur Cincin Api Pasifik (Pacific
Ring of Fire).[1] Busur Cincin Api Pasifik merupakan garis bergeseknya antara dua
lempengan tektonik dan lebih, dimana Lempeng Pasifik saling bergesek dengan lempeng-
lempeng tetangganya.
Gunung berapi dapat dijumpai dalam beberapa bentuk sepanjang masa hidupnya.
Gunung berapi yang aktif mungkin berubah fase menjadi separuh aktif, istirahat, sebelum
akhirnya menjadi tidak aktif atau mati. [1] Namun gunung berapi mampu istirahat dalam waktu
yang sangat lama, lebih dari ribuan tahun sebelum berubah menjadi aktif kembali. [3]
Letusan gunung berapi terjadi apabila magma naik melintasi kerak bumi dan muncul
di atas permukaan. Apabila gunung berapi meletus, magma yang terkandung di dalam kamar
magma di bawah gunung berapi meletus keluar sebagai lava, dimana lava ini dapat berubah
menjadi lahar setelah mengalir dan bercampur dengan material-material di permukaan bumi.
Selain dari aliran lava, kehancuran yang disebabkan oleh letusan gunung berapi.
Ilmu yang mempelajari gunung berapi dinamakan Vulkanologi, dimana ilmu ini
mempelajari letusan gunung berapi untuk tujuan memperkirakan kemungkinan letusan yang
bisa terjadi dari suatu gunung berapi, sehingga dampak negatif letusan gunung berapi dapat
ditekan.
Wilayah pembentukan
Gunung berapi di Bumi terbentuk dari aktivitas lempeng tektonik di kerak yang
saling bergesekan dan menekan satu sama lain. Oleh karenanya gunung berapi banyak
ditemukan dekat dengan perbatasan lempeng tektonik. Secara geologis, Wilayah dimana
gunung berapi terbentuk dibagi tiga, yaitu:
Titik panas
Titik panas merupakan suatu wilayah vulkanik dimana magma naik ke permukaan
dikarenakan adanya celah di kerak bumi yang memungkinkan pergerakan tersebut. Titik
panas dapat ditemukan jauh dari batas antar kedua lempeng tektonik. Pergerakan ini
memunculkan gunung berapi yang memiliki ciri letusan efusif yang lemah dimana lava
muncul ke permukaan secara halus. Dikarenakan lempeng tektonik terus bergerak secara
perlahan, wilayah titik panas dapat membentuk gunung berapi yang berbeda-beda sesuai
dengan jalur pergerakan suatu lempeng. Kepulauan Hawaii merupakan kepulauan yang
terbentuk dari aktivitas vulkanik di titik panas di Samudra Pasifik.
Kaldera
Gunung berapi jenis ini terbentuk dari ledakan yang sangat kuat di masa lalu yang
melempar bagian atas dan tepi gunung sehingga membentuk cekungan. Gunung Bromo
merupakan jenis ini, dimana kaldera tengger yang ada pada saat ini merupakan hasil letusan
besar di masa lalu.
Maar
Maar merupakan gunung berapi dengan ketinggian rendah dan diameter kepundan
yang lebar, dimana gunung berapi ini terbentuk dari letusan freatomagmatik yang disebabkan
oleh tercampurnya magma dengan air di bawah tanah. Saat tidak aktif, maar biasanya terisi
oleh air sehingga tampak seperti sebuah danau biasa.
Tidur
Gunung berapi tidur adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat mengalami
erupsi, tetapi bisa mengalami erupsi lagi di masa mendatang. [16] Gunung berapi dapat tetap
bertahan pada status ini dalam waktu yang lama, seperti Yellowstone yang telah berada pada
masa istirahat sejak 70.000 tahun yang lalu.[17] Contoh lainnya adalah Gunung Sinabung yang
telah beristirahat setidaknya selama 1200 tahun hingga akhirnya kembali menunjukkan
aktivitas vulkanik pada tahun 2010.[18]
Mati
Gunung Fourpeaked di Alaska yang erupsi pada September 2006 setelah disangka
sebagai gunung mati
Gunung berapi mati atau padam adalah gunung berapi yang tidak pernah tercatat
mengalami erupsi dan kemungkinan tidak akan mengalami erupsi karena tidak lagi memiliki
suplai magma.[16] Contoh dari gunung berapi mati adalah, Gunung Hohentwiel di Jerman,
Gunung Shiprock di New Mexico, dan Gunung Zuidwal di Belanda. Istilah gunung mati
sebenarnya masih diperdebatkan karena umur gunung jauh lebih panjang daripada umur
manusia yang mengamatinya.[19] Beberapa gunung bahkan mengalami erupsi setelah
dinyatakan sebagai gunung mati, seperti Gunung Fourpeaked di Alaska yang meletus pada
tahun 2006 tanpa adanya catatan aktivitas vulkanik selama masa holosen.[20]
Klasifikasi gunung berapi berdasarkan frekuensi letusan di Indonesia
Kalangan vulkanologi Indonesia mengelompokkan gunung berapi ke dalam tiga tipe
berdasarkan catatan sejarah letusan/erupsinya.[21]
Gunung api Tipe A: tercatat pernah mengalami erupsi magmatik sekurang-
kurangnya satu kali sesudah tahun 1600.
Gunung api Tipe B: sesudah tahun 1600 belum tercatat lagi mengadakan
erupsi magmatik namun masih memperlihatkan gejala kegiatan vulkanik
seperti kegiatan solfatara.
Gunung api Tipe C: sejarah erupsinya tidak diketahui dalam catatan manusia,
tetapi masih terdapat tanda-tanda kegiatan masa lampau berupa lapangan
solfatara/fumarola pada tingkah lemah.
Skema peringatan gunung berapi di Indonesia
Jenis erupsi
Secara umum, erupsi gunung berapi dibagi menjadi erupsi magmatik,
freatomagmatik, dan freatik.
Erupsi magmatik
Erupsi magmatik disebabkan oleh pelepasan gas akibat peristiwa dekompresi.
Magma dengan kekentalan rendah dan sedikit kandungan gas akan menghasilkan erupsi yang
relatif lemah. Sebaliknya, magma kental yang memiliki kandungan gas dalam jumlah yang
besar dapat menghasilkan erupsi yang kuat. Jenis erupsi berikut merupakan erupsi yang
namanya berasal dari peristiwa sejarah:[22]
Erupsi Hawaiian adalah erupsi gunung berapi yang memuntahkan lava mafik
dengan kandungan gas yang relatif sedikit. Erupsi ini hanya menghasilkan aliran lava cair,
tetapi hanya sedikit mengeluarkan tefra. Jenis erupsi ini dapat membentuk gunung berapi
landai dengan diameter lebar seperti Gunung Mauna Loa. Nama erupsi ini berasal dari nama
gunung-gunung berapi di Hawaii.
Erupsi Strombolian memuntahkan magma dengan kekentalan dan kandungan gas
yang lebih tinggi daripada erupsi Hawaiian. Erupsi ini memiliki berupa letusan-letusan kecil
yang terjadi tiap beberapa menit. Nama erupsi ini berasal dari Stromboli, nama pulau dan
gunung berapi di Italia.
Erupsi Vulkanian melepaskan magma dengan kekentalan yang lebih tinggi. Nama
erupsi ini berasal dari Vulcano, sebuah pulau gunung berapi kecil di daerah Mediterania.[23]:150
Erupsi Peléan ditandai dengan aliran piroklastik dari sisi puncak gunung berapi
yang runtuh akibat tekanan tinggi atau gempa bumi. Nama erupsi ini berasal dari nama
Gunung Pelée.
Erupsi Plinian merupakan erupsi kuat yang melontarkan tefra dalam jumlah yang
besar. Erupsi ini juga dapat melontarkan sebagian besar kerucut gunung dan menyebabkan
terbentuknya aliran piroklastik. Nama ini berasal dari nama Plinius Muda yang mencatat
erupsi Gunung Vesuvius pada tahun 79 M.
Erupsi Krakatoan merupakan erupsi dahsyat yang mampu melontarkan nyaris
keseluruhan kerucut gunung. Nama erupsi ini berasal dari nama Gunung Krakatau yang
berada di Selat Sunda.
Intensitas erupsi gunung berapi diukur menggunakan Volcanic Explosivity Index
(VEI) yang memiliki rentang skala 0 untuk erupsi Hawaiian, hingga skala 8 untuk erupsi
megakolosal.[8]:27-31
Erupsi freatomagmatik
Erupsi freatomagmatik diawali dengan interaksi antara magma dengan air tanah.
Akibat adanya perbedaan temperatur yang signifikan, terjadi kenaikan tekanan dalam waktu
singkat yang berujung pada ledakan. Ledakan tersebut melontarkan uap air dan pecahan
piroklastik ke udara.[24] Tidak seperti erupsi freatik, erupsi freatomagmatik juga melontarkan
partikel juvenil.[25]
Erupsi freatik
Sama seperti erupsi freatiomagmatik, erupsi freatik disebabkan oleh kontak antara
air tanah dengan batuan panas atau magma. Ledakan kemudian terjadi akibat adanya
peningkatan temperatur air dalam waktu yang singkat. Erupsi ini hanya melontarkan uap dan
bagian dari dinding kawah.
Material erupsi
1. Material yang dilepaskan oleh gunung berapi saat erupsi dapat diklasifikasikan menjadi
tiga jenis:[27]
2. Gas vulkanik, campuran dari uap air, karbon dioksida, dan belerang (dapat berupa sulfur
dioksida, SO2, atau hidrogen sulfida, H2S, tergantung temperatur saat letusan)
3. Lava, magma yang mencapai permukaan Bumi
4. Tefra, material padat dengan berbagai bentuk dan ukuran yang dilontarkan ke udara
5. Gas vulkanik
6. Konsentrasi gas vulkanik dari erupsi satu gunung bisa berbeda dari gunung lainnya. Gas
vulkanik dapat berupa hidrogen sulfida, sulfur dioksida, hidrogen klorida, dan hidrogen
fluorida. Gas lain berupa hidrogen, nitrogen, dan karbon monoksida juga termasuk gas
vulkanik yang dierupsikan gunung berapi.[28]
Aliran lava
Bentuk dan tipe erupsi gunung berapi bergantung pada komposisi lava yang
dierupsikannya. Karakteristik paling penting dari magma adalah kekentalan dan jumlah gas
yang terlarut di dalamnya. Kedua karakteristik tersebut juga dipengaruhi oleh jumlah
kandungan silika pada magma. Magma yang mengandung banyak silika cenderung lebih
kental dan mengandung lebih banyak gas daripada magma yang mengandung lebih sedikit
kandungan silikanya.
Tefra
Tefra terbentuk ketika magma yang meletus akibat gas panas yang mengembang
dalam waktu yang cepat. Ledakan kuat ini menghasilkan partikel material yang beterbangan
dari gunung berapi. Partikel padat dengan diameter kurang dari 2 mm disebut sebagai abu
vulkanik.[29]
Dampak buruk
Terdapat beberapa peristiwa yang merupakan akibat dari erupsi gunung berapi,
seperti aliran piroklastik, lahar, dan emisi karbon dioksida. Aktivitas vulkanik juga
menyebabkan beberapa peristiwa lain seperti gempa bumi, fumarol, kolam lumpur, dan
geiser. Beberapa peristiwa tersebut sering kali memberikan dampak buruk secara langsung
bagi aktivitas manusia.
Gas vulkanik dapat mencapai lapisan stratosfer sehingga dapat membentuk aerosol
asam sulfat yang mampu menghamburkan radiasi dari Matahari dan menurunkan temperatur
di permukaan Bumi. Hal seperti ini kemungkinan pernah terjadi pada Gunung Huaynaputina
sekitar tahun 1600, ketika gas vulkanik di atmosfer menyebabkan terjadinya bencana
kelaparan Rusia antara tahun 1601-1603.[31] Reaksi kimia yang terjadi pada aerosol sulfat di
stratosfer juga dapat merusak lapisan ozon. Zat asam seperti hidrogen klorida (HCl) dan
hidrogen fluorida (HF) dapat jatuh ke permukaan Bumi sebagai hujan asam.[32] Erupsi
eksplosif gunung berapi juga dapat melepaskan gas rumah kaca seperti karbon dioksida.
Abu vulkanik yang dilontarkan ke udara dapat membahayakan pesawat, terutama
pesawat jet. Partikel yang masuk ke dalam mesin jet dapat meleleh akibat temperatur tinggi
dan turbin mesin. Selain itu, abu vulkanik dengan kecepatan tinggi dapat merusak bagian luar
pesawat, instrumen navigasi, dan sistem komunikasi. [33] Gangguan-gangguan seperti dapat
menyebabkan terganggunya penerbangan akibat penundaan dan pengalihan rute
penerbangan.
Musim dingin vulkanik diduga sempat terjadi 70.000 tahun yang lalu ketika
terjadinya erupsi dahsyat Gunung Toba di Pulau Sumatra.[34] Peristiwa ini mungkin telah
menyebabkan terjadinya leher botol populasi yang memengaruhi genetika manusia zaman
sekarang.[35] Pada tahun 1815, erupsi Gunung Tambora menyebabkan anomali iklim global
yang dikenal sebagai "Year Without a Summer".[36] Erupsi besar gunung berapi juga
kemungkinan telah menyebabkan setidaknya satu peristiwa kepunahan masal.[37]
Dampak baik
Meskipun erupsi gunung berapi dianggap sebagai bencana yang membahayakan
manusia, aktivitas vulkanik di masa lalu dapat mendukung perkembangan sumber daya di
sekitarnya. Abu vulkanik yang dilepaskan oleh gunung berapi mengandung zat nutrisi yang
dapat menyuburkan tanah.[38] Aktivitas vulkanik juga disertai dengan aliran panas dari dalam
Bumi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi.