Nim : 214110405063 Kelas : 1 PGMI A Mata Kuliah : Sejarah Kebudayaan Islam dan Lokal
TIPOLOGI BUDAYA PENGINYONGAN
A. Asal Usul Budaya Penginyongan
Bahasa Penginyongan berasal dari kata inyong (saya) merupakan bahasa Ibu asli Jawa Banyumasan. Bahsasa Ibu merupakan aset yang melekat pada setiap daerah sehingga penggunaan Bahasa Ibu dianggap memiliki peran penting. Sekarang ini penggunaan bahasa dialek Banyumasan. Khususnya sudah mulai luntur penggunaannya dan tentu saja ini menjadi tanggung jawab generasi penerus untuk menggunakan dan melestarikan bahasa Ibunya. Penginyongan adalah sebuah istilah atau kata yang umumnya digunakan oleh masyarakat Banyumas dalam keseharian untuk menceritakan atau menggambarkan tentang dirinya. Penginyongan sendiri mempresentasikan orang-orang atau bahasa ataupun budaya yang berasal dari wilayah banyumas. B. Filosofi Penginyongan Ada dua tipe orang awam yang tak mengerti filosofi dari penginyongan itu sendiri dan menganggap bahwa bahasa penginyongan merupakan strata terendah atau bahasa kawula alit. 1. Orang yang menjunjung tinggi sistem feodalisme dan kasta. 2. Orang yang menggunakan bahasa penginyongan sendiri termakan oleh streotipdari orang-orang yang menganggap bahwa bahasaa masyarakat kalangan rendah. Sehingga wong Banyumas (orang banyumas) sendiri menjadi “isin” (malu) jika menggunakan bahasa Ibunya sendiri yakni bahasa penginyongan Banyumasan. C. Faktor Berkurangnya Budaya Penginyongan Ada banyak faktor mengapa masyarakat sekarang terutama kaum milenial atau generasi muda enggan menggunakan bahasa Ibunya atau bahasa daerahnya sendiri. Tak terkecuali didaerah Banyumas sendiri. Faktor tersebut dibagi menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Kurangnya kesadaran diri sendiri untuk menguri-uri (melestarikan) bahasa Ibunya sendiri, Ada yang merasa tertekan dan malu jika menggunakan bahasa Ibunya dianggap kuno, kurang gaul, dan ndeso oleh lingkungan sendiri. b. Faktor Eksternal Perkembangan teknologi, modernisasidang globalisasi yang tidak dibarengi dengan kesadaran akan akar daerahnya, Tidak memiliki kecintaan terhadap tanah kelahiran yang membuatnya semakin rapuh untuk mencintai bahasa Ibunya sendiri, Sebagian orang tua Banyumas lebih menyukai anak-anaknya bisa menggunakan bahasa kramaanatau Inggilan yang dianggap memiliki derajat tingkat tinggi dan berunggah -ungguh. Padahal dalam sistem bahasa penginyiongan sifatnya hampir sama dengan Bahasa Indonesia yang egaliter dan tidak mengenal tingkatan entah itu berbicara kepada atasan atau bawahan bahasa penginyongan tetap sama. Ia tidak membeda-bedakan kepada siapa ia berbicara, Jiwa-jiwa dan mindset feodalisme yang masih terus hidup dan dipelihara ini menjadikan basa penginyongan bukan tidak mungkin cepat atau lambat akan punah. D. Sikap Hidup Masyarakat Penginyongan Masyarakat Penginyongan memiliki ciri khas yang apa adanya, terus terang. Tanpa basa-basi serta blak-blakan. Sifat tersebut sering disebut dengan sifat cablaka. Penginyongan tergambarkan dari suatu konsep hidup yang ada dalam masyarakatnya yaitu konsep Cablaka. Cablaka ini merupakan karakter watak khas orang penginyongan yang merupakan perwujudan budaya yang muncul di masyarakat tersebut. Cablaka sendiri memiliki banyak persamaan kata seperti thokmelong, balakasuta, maupun glogok soar yang kurang lebih memiliki arti yang sama dengan cablaka. Menurut penelitian Priyadi (2007) cablaka merupakan karakter yang dicetuskan secara spontan oleh manusia penginyongan terhadap fenomena yang ada didepan mata tanpa ditutup-tutupi. Kehidupan masyarakat penginyongan juga identik dengan kesederhanaan. Pola hidup sederhana mengandung unsur kekuatan, ketabahan, pengendalian diri dalam menghadapi perjuangan hidup dari segala kesulitan dan tantangannya. Pola hidup seperti ini dapat mengembangkan sikap tahu diri, tahu kemampuannya, dan ketidakmampuannya dalam berhadapan dengan orang lain. Sikap tahu diri tercermin pada masyarakat Penginyogan yang sadar akan status mereka sebagai rakyat biasa. Selain itu, kehidupan sederhana masyarakat Penginyongan juga tercermin dari istilah “perek wathu adoh ratu”. Dimana masyarakat penginyongan memang dekat dengan alam dan memanfaatkan alam sebagai sarana pememnuhan kebutuhan sehari-hari.