Anda di halaman 1dari 7

G.

Faktor Pembentuk Akhlak

sama dengan

Berbicara masalah pembentukan akhlak

berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai

pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan

adalah bentukan akhlak. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi misalnya

mengatakn bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa

dan tujuan pendidikan Islam.(Atiyah, tt, hlm. 15). Demikian pula

Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan

islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap muslim yaitu untuk

menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan

diri kepadanya dengan memeluk agama Islam. (Marimba, tt, hlm. 48-

49). Berikut ini faktor-faktor pembentuk akhlak menurut Mahju-

ddin:

Faktor Pembawaan Naiuriyah (Gbarizah atau Instink). Sebagai

makhluk biologis, ada faktor bawaan sejak lahir yang menjadi

1.

pendorong perbuatan setiap manusia. Faktor itu disebut

dengan naluri atau tabiat menurut J.J. Rousseau. Lalu Mansur

Ali Rajab menamakannya dengan tabiat kemanusiaan (al

tubi'ah al-insaniyyab). la menyetir pendapat Plato

menyatakan; bahwa tabiat (bawaan) baik dengan bawaan

buruk dalam diri manusia sangat berdekatan, karena itu sering

muncul perbuatan baiknya dan perbuatan buruknya. Laiu


menyetir lagi pendapat J.J. Rousseau (1712-1778) dari

Perancis dengan mengatakan: Sesungguhnya anak yang baru

lahir memiliki pembawaan baik, lalu sifat buruknya muncul

karena pengaruh dari lingkungannya (pergaulannya). (Rajab,

1961, hlm. 96).

yang

39

Dengan pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa

kecenderungan naluriah dapat dikendalikan oleh akhlaq atau

tuntunan agama, schingga manusia đapat mempertimbangkan

kecenderungannya; apakah itu baik atau buruk. Gharizah atau

naluri tidak pernah berubah sejak manusia itu lahir, tetapi

pengaruh negatifnya yang bisa dikendalikan oleh faktor

pendidikan atau latihan. Karena faktor naluri ini sangat terkait

dengan nafsu (ammarah dan muihmainnah), maka scring ia

dapat membawa manusia kepada kehancuran moral, dan

scring pula menyebabkan manusia mencapai tingkat yang

lebih tinggi, dengan kemampuan nalurinya. Tatkala naluri

cenderung kepada perbuatan baik, maka akał dan tuntunan

agama yang memberikan jalan seluas-luasnya, untuk lebih

meningkatkan intensitas perbuatan itu. Maka di sinilah

perlunya manusia memiliki agama, sebagai pengendali dan

penuntun dalam hidupnya. (Mahjuddin, tt, him. 31-32).

Faktor sifat-sifat keturunan (al-Warithah). Mansur Ali Rajab

2.
mengatakan, bahwa sifat-sifat keturunan adalah sifat-sifat

(bawaan) yang diwariskan oleh orang tua kepada keturunan-

nya (anak dan cucunya). (Rajab, 1961, hlm. 367).

Warisan sifat-sifat orang ta kenada ketununannva ada

Faktor sifat-sifat keturunan (al-Warithah). Mansur Ali Rajab

mengatakan, bahwa sifat-sifat keturunan adalah sifat-sifat

(bawaan) yang diwariskan olch orang tua kepada keturunan-

nya (anak dan cucunya). (Rajab, 1961, hlm. 367).

Warisan sifat-sifat orang tua kepada keturunannya ada

yang sifatnya langsung (mubasharat) dan ada juga yang tidak

langsung (gairn mubasharul), misalnya sifat-sifat itu tidak

langsung turun kepada anaknya, tetapi bisa turun kepada

cucunya. Sifat-sifat ini juga kadang dari ayah atau ibu, dan

kadang anak atau cucu mewarisi kecerdasan (sifah al-

'agliyab) dari ayahnya atau kakeknya, lalu mewarisi sifat

baik (sifah al-khuingiyaah) dari ibunya atau neneknya, atau

2.

dengan sebaliknya.

Di samping adanya sifat bawaan anak scjak lahir (naluri

dan sifat keturunan), sebagai potensi dasar potensi dasar

untuk mempengaruhi perbuatan setiap manusia, dan juga

40

faktor lingkungan yang

pendidikan dan tuntunan agama. Faktor ini, disebut faktor

usaha (al-muktasabah) dalam ilmu akhlak. Semakin besar


mempengaruhinya; misalnya

pengaruh faktor pendidikan atau kemungkinan warisan sifat-

sifat buruk orang tua dapat mempengaruhi sikap dan perilaku

anaknya.

Kemampuan ilmu (kognitif), sikap kejiwaan yang baik

(afektif) dan keterampilan yang didasari oleh ilmu dan sikap

baik manusia (psikomotorik) yang telah diperuleh dari proses

pendidikan dan tuntunan agama, termasuk kemampuan dan

sifat sifat yang telah diusahakan oleh manusia fsifah al

muktasabah). Maka di sinilah peranan orang tua di rumah

tangga, guru di sekolah, dan tokoh agama di masyarakat,

untuk membentuk manusia yang beragama, berilmu, dan

berakhlak mulia.

3.

Faktor Lingkungan dan Adat Istiadat. Pembentukan akhiak

manusia, sangat ditentukan oleh lingkungan alam dan

lingkungan sosial (faktor adat kebiasaan), yang dalam

pendidikan disebut dengan faktor empiris (pengalaman hidup

manusia), terutama sekali dipelopori oleh John Lock.

Pertumbuhan dan perkembangan manusia, ditentukan

juga oleh faktor dari luar dirinya; yaitu faktor pengalaman

yang disengaja, termasuk pendidikan dan pelauhaa,

sedangkan yang tidak disengaja, termasuk lingkungan alam

dan lingkungan sosial. Lingkungan alam disebul "a-briab"

dalam ilmu akhlak, sedangkan lingkungan sosiał discbut


dengan "al 'adah" dalam ilmu akhlak.

Paham empirisme ini, berkembang luas di dunia Barat,

terutama di Amerika Serikat, yang menjelma menjadi liran

behaviorisme dalam ilmu pendidikan. Sedangkan dalam ilmu

akhlak, Mansur Ali Rajab mengemukakan pendapat }

Rosseau yang mengatakan, bahwa faktor dalam diri manusia,

termasuk pembawaannya, selalu membentuk akhlak baik

manusia, sedangkan faktor dari luar, termasuk lingkungan

alam dan lingkungan sosialnya; ada kalanya berpengaruh haik,

dan ada kalanya berpengaruh buruk. Ketika manusia lahir di

lingkungan yang baik,

pembentukan akhlaknya juga baik, dan ketika ia lahir di

lingkungan yang kurang baik, maka pengaruhnya juga menjadi

tidak baik. Maka di sinilah pendidikan dan bimbingan akhlak

sangat diperlukan, untuk membentuk dan mengembangkan

akhlaq manusia. Ini diakui olch Imam al-Ghazali dalam

kitabnya Ilya Ulum al-Din yang mengatakan: seandainya

akhlaq manusia tidak bisa diubah, maka tidak ada gunanya

memberikan pesan-pesan, nasihat-nasihat dan pendidikan

kepada manusia. (Al-Ghazali, Juz III, hlm.54).

Faktor Agama (Kepercayaan). Agama bukan saja kepcreayaan

yang harus dimiliki oleh setiap manusia, tetapi ia harus

berfungsi dalam dirinya, untuk menuntun segala aspek

kehidupannya; misalnya berfungsi sebagai sistem kepercayaan,

sistem ibadah dan sistem kemasyarakatan yang terkait dengan


nilai akhlak (Mahjuddin, tt, hlm. 33).

maka pengaruhnya kepada

4.

Berdasarkan kajian di atas, maka pada kenyataannya

dipraktikkan sebagai pengajaran yang sifatnya verbalistik. Pendidikan

akhlak scharusnya bukan sekadar untuk menghafal, namun

merupakan upaya atau proses, dalam mendidik murid untuk

memahami, mengetahui sekaligus menghayati dan mengamalkan

nilai-nilai Islam dengan cara membiasakan anak mempraktekkan

ajaran Islam dalam kesehariannya. Ajaran Islam sejatinya untuk

diamalkan bukan sekadar di hafal, bahkan lebih dari itu mestinya

sampai pada kepekaan akan amaliah Islam itu sendiri sehingga

mereka mampu berbuat baik dan menghindari berbuat jahat.

42

dandegn

Mclihat fenomena terscbut masih banyak problem yang harus

di selesaikan meliputi metode dan pendekatan untuk menyampaikan

esensi dan klasifikasi ajaran Islam yang harus di utamakan. Ajaran

Islam harus mencerminkan perilaku keseharian dan kepribadian

sekaligus spiritualisme dalam hubungan antara manusia dan khalik-

Nya.

Peran scorang guru sangat penting dalam menentukan

keberhasilan kependidikan yang dilaksanakan, dapat dikatakan

bahwa berhasil tidaknya pendidikan untuk mencapai suatu tujuan

tergantung kepada scorang guru dalam mengelola pendidikan dan


pengajaran. Mengingat peran guru sangat dalam dan luas dalam

pendidikan akhlak bagi para siswanya.

Anda mungkin juga menyukai