Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH ETIKA BISNIS

BAB V
GCG & STAKEHOLDER

DISUSUN OLEH : M HAIDAR AKBAR


NPM : 10090318336

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BAB II
PEMBAHASAN

 John Elkington tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau


3BL). Atau juga 3P – People, Planet and Profit. Singkat kata, ketiganya merupakan pilar yang
mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan
sosial.
Sebenarnya, pendekatan ini telah banyak digunakan sejak awal tahun 2007 seiring
perkembangan pendekatan akuntansi biaya penuh (full cost accounting) yang banyak digunakan
oleh perusahaan sektor publik. Pada perusahaan sektor swasta, penerapan tanggung jawab sosial
(Corporate Social Responsibility/CSR) pun merupakan salah satu bentuk implementasi TBL.
Konsep TBL mengimplikasikan bahwa perusahaan harus lebih mengutamakan
kepentingan stakeholder (semua pihak yang terlibat dan terkena dampak dari kegiatan yang
dilakukan perusahaan) daripada kepentingan shareholder (pemegang saham).
Mari kita lihat secara detail bagaimana perusahaan di Indonesia bisa mengaplikasi konsep 3P ini
secara riil. Peoplemenekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang mendukung
kepentingan tenaga kerja. Lebih spesifik konsep ini melindungi kepentingan tenaga kerja dengan
menentang adanya eksplorasi yang mempekerjakan anak di bawah umur, pembayaran upah yang
wajar, lingkungan kerja yang aman dan jam kerja yang dapat ditoleransi. Bukan hanya itu,
konsep ini juga meminta perusahaan memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi tenaga kerja.
Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber daya alam
yang tidak dapat diperbarui. Mengurangi hasil limbah produksi dan mengolah kembali menjadi
limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi emisi CO2 ataupun pemakaian energi,
merupakan praktik yang banyak dilakukan oleh perusahaan yang telah menerapkan konsep
ini. The Body Shop, dalam Values Report 2005, mencantumkan salah satu target inisiatif Protect
Our Planet untuk tahun 2006 dengan mengurangi hingga 5% emisi CO2 dari listrik yang
digunakan di  gerainya. Starbucks memiliki program Coffee and Farmer Equity (CAFE) untuk
memperoleh dan mengolah kopi dengan memperhatikan dampak ekonomi, sosial dan
lingkungan. Starbucks mendefinisikan sustainability sebagai model yang layak secara ekonomis
untuk menjawab kebutuhan sosial dan lingkungan dari semua partisipan dalam rantai pasokan
dari petani sampai konsumen.

Profit di sini lebih dari sekadar keuntungan. Profit di sini berarti menciptakan fair


trade dan ethical trade dalam berbisnis. Starbucks dan The Body Shop selalu
mengaplikasikan fair trade – bukan mencari harga termurah – dalam mencari bahan bakunya.

Tidak dapat diingkari, masih banyak perusahaan yang melihat program ini sebagai suatu
program yang menghabiskan banyak biaya dan merugikan. Bahkan, beberapa perusahaan
menerapkan program ini karena “terpaksa” untuk mengantisipasi penolakan dari masyarakat dan
lingkungan sekitar perusahaan. Selain sisi internal perusahaan, hambatan lainnya dari sisi
eksternal karena belum adanya dukungan regulator dan profesi akuntansi tentang penyajian
pelaporan nonfinansial.
Ahli manajemen dari Harvard Business School, Michael Porter, dalam tulisannya yang
berjudul Strategy and Society: The Link Between Competitive Advantage and Corporate Social
Responsibility (Harvard Business Review, Desember 2006), telah melakukan riset dan
mengemukakan bahwa konsep sosial harus menjadi bagian dari strategi perusahaan. Strategi
perusahaan terkait erat dengan program tanggung jawab sosial. Perusahaan tidak akan
menghilangkan program tanggung jawab sosial itu meski dilanda krisis, kecuali ingin mengubah
strateginya secara mendasar. Sementara pada kasus program tanggung jawab sosial pada
umumnya, begitu perusahaan dilanda krisis, program tanggung jawab sosial akan dipotong lebih
dulu.

1.Profit
Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha.
Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi yang memungkinkan
untuk terus beroperasi dan berkembang. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak
profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga
perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal
mungkin.

2. People
Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia. Menyadari
bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi
perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka sebagai bagian yang tak terpisahkan
dengan masyarakat lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan
manfaat sebesarbesarnya kepada masyarakat. Misalnya, pemberian beasiswa bagi pelajar sekitar
perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, serta penguatan kapasitas ekonomi
lokal.
3. Planet
Hubungan perusahaan dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika
perusahaan merawat lingkungan maka lingkungan akan memberikan manfaat kepada
perusahaan. Sudah kewajiban perusahaan untuk peduli terhadap lingkungan hidup dan
berkelanjutan keragaman hayati. Misalnya, penghijauan lingkungan hidup, perbaikan
pemukiman, serta pengembangan pariwisata (ekoturisme). Dalam gagasan tersebut, perusahaan
tidak lagi diharapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek
ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financialnya saja, namun juga harus memperhatikan
aspek sosial dan lingkungannya. Perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang
berpijak hanya pada single bottle lines yaitu, nilai perusahaan (corporate value) yang
direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab perusahaan
harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu berupa: finansial, sosial dan lingkungan. Kondisi
keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan (sustainable development). Keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila
korporasi juga turut memperhatikan demensi sosial dan lingkungan hidup. Konsep CSR
tampaknya dapat memberikan suatu perubahan yang baru dalam dunia bisnis, namun tidak
sedikit pendapat yang meragukannya. Banyak orang berpendapat bahwa sebuah perusahaan yang
kini telah meninggalkan konsep one line reporting dan mulai menggunakan tripple line
reposrting harus diwaspadai dengan ketat karena CSR pada saat itu merupakan suatu trend yang
mungkin saja diikuti perusahaan hanya untuk meningkatkan daya saingnya. CSR dipandang
hanyalah dalih perusahaan untuk menunjukkan citra baik ke publik sehingga beberapa tindakan
kotor dalam perusahaan dapat tertutupi oleh kegiatan CSR. Namun, terlepas dari upaya
pencitraan melalui CSR, perusahaan memang seharusnya tetap giat menyelenggarakan kegiatan
CSR sebagai langkah pastinya dalam bertanggungjawab atas keuntungan yang ia dapatkan dari
lingkungan sosialnya. Pelaksanaan CSR yang baik dan tulus dari perusahaan akan tentunya dapat
menciptakan suatu perkembangan yang terus-menerus bagi perusahaan dan tentunya tidak
merugikan pihak sosial di sekitar perusahaan tersebut.
Tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) adalah suatu
tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut)
sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu
berada. CSR atau TJSL sebagai suatu konsep, berkembang pesat sejak 1980 an hingga 1990 an
sebagai reaksi dan suara keprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringan
tingkat global untuk meningkatkan perilaku etis, fairness dan responsibilitas korporasi yang tidak
hanya terbatas pada korporasi, tetapi juga pada para stakeholder dan komunitas atau masyarakat
sekitar wilayah kerja dan operasinya.

Triple Bottom Line dalam Praktek


Meskipun Anda mungkin atau mungkin tidak mempertimbangkan Triple Bottom Line
yang tepat untuk bisnis Anda, masuk akal untuk mengenali cara di mana tempat kerja berubah,
dan mempertimbangkan apakah Anda perlu menyesuaikan pendekatan Anda untuk bisnis untuk
mencerminkan ini. Jika Anda memutuskan untuk menjelajahi konsep lebih lanjut, mulai dengan
meneliti apa yang perusahaan lain lakukan untuk membuat perubahan positif dalam cara mereka
melakukan bisnis. Melihat langkah-langkah mereka telah diambil akan menghemat waktu Anda
brainstorming tentang cara-cara untuk meningkatkan bisnis Anda sendiri. Beberapa contoh dari
industri yang berbeda termasuk: Sebuah deliverable internasional dan perusahaan kemasan telah
mengambil langkah-langkah drastis untuk mengurangi jejak ekologi, dan saat ini memiliki
sekitar 30% dari toko dengan menggunakan energi terbarukan. Sebuah bisnis es krim telah
menetapkan tujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 10% selama beberapa tahun
mendatang. Hal ini juga telah mulai menyelidiki cara yang lebih ramah lingkungan untuk paket
es krim, dan berencana untuk mengurangi limbah oleh setidaknya 1.000 ton. Sebuah perusahaan
hanya membeli biji kopi dari petani yang menanam kopi dengan cara yang ramah lingkungan,
dan dibutuhkan sakit untuk memastikan bahwa semua pekerja yang diperlakukan dengan adil,
dan menerima upah keterampilan hidup bagi mereka. Sebuah perusahaan komputer berfokus
banyak upaya masyarakat ke arah program pelatihan dan pendidikan. Ini membantu anak-anak
yang kurang mampu dengan memberikan mereka akses ke teknologi, dan memiliki tujuan untuk
mendaur ulang 60% limbah tahunan. Dengan mengambil waktu untuk mulai menggunakan
pendekatan triple bottom line, Anda mungkin akan terkejut betapa positif reaksi akan berasal dari
kolega Anda dan pelanggan Anda.
Latar belakang munculnya GCG
Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata Kelola Perusahaan Yang
Baik (selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan
pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang
menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan
(korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi
ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke
dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut.
Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal-yang dilakukan oleh
para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat besar
disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan pengawasan
atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola perusahaan dan
pemerintahan yang buruk.
Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu negara, dan
timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola
perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana mengakibatkan terjadinya
krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada awal
tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar dan
ternama dunia; disamping juga menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara dunia.
Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan Sarbanes-
Oxley Act tahun 2002; undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali akuntansi
perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh karena itu,
undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai
negara.
Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat dikarenakan GCG
memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam
suatu organisasi yang mencakup :
 hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya,
 peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya,
 pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu,
 transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan,
 tanggungjawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri, kepada para
pemegang saham dan pihak lain yang berkepentingan.

Pengertian GCG
Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali dikenalkan oleh Cadbury
Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan istilah dimaksud dalam laporannya yang
dikenal dengan Cadbury Report (dalam sukrisno Agoes, 2006). Berikut disajikan beberapa
definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber, diantaranya:

Cadbury Committee of United Kingdom


A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the
goverment, employees, and other internal and external stakeholders in respect to their right and
responsibilities, or the system by which companies are directed and controlled.
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury Committee of
United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan”.
Sukrisno Agoes (2006)
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran
dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata
kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan
tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
Organization for Economics Cooperation and Development (OECD)(dalam Tjager dkk, 2004)
The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board objectives
of the company, the means of attaining those objectives and monitoring performance. [Suatu
struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manager, seperangkat tujuan yang
ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan
memantau kinerja.
Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006)
Mekanisme adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen
perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan
(prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta pemantauan atas
kinerja yang dihasilkan.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, pada intinya konsep GCG mengandung
pengertian yang berintikan 4 point, yaitu:
1. Wadah
Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan).
2. Model
Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta nilai-nilai
yang meladasi praktik bisnis yang sehat.

3. Tujuan
a. Meningkatkan kinerja organisasi,
b. Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan,
c. Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam pengelolaan
organisasi,
d. Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan.
4. Mekanisme
Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang,dan tanggung jawab :
a. Dalam arti sempit
Antar pemilik atau pemegang saham, dewan komisaris dan direksi.
b. Dalam arti luas
Antar seluruh pemangku kepentingan.

Prinsip GCG
Good Corporate Governance merupakan gabungan prinsip-prinsip dasar dalam
membangun suatu tatanan etika kerja dan kerjasama agar tercapai rasa kebersamaan, keadilan,
optimasi dan harmonisasi hubungan sehingga dapat menuju kepada tingkat perkembangan yang
penuh dalam suatu organisasi atau badan usaha.
Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut :
Vision
Pengembangan suatu organisasi atau badan usaha harus didasarkan pada adanya visi &
strategi yang jelas dan didukung oleh adanya partisipasi dari seluruh anggota dalam proses
pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengembangan supaya semua pihak akan merasa
memiliki dan tanggungjawab dalam kemajuan organisasi atau usahanya.
Participation
Dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan hasil keputusan suatu organisasi
atau badan usaha sedapat-dapatnya melibatkan pihak-pihak terkait dan relevan melalui sistem
yang terbuka dan dengan jaminan adanya hak berasosiasi dan penyampaian pendapat.

Equality
Suatu badan usaha atau organisasi yang baik selalu akan member dan menyediakan
peluang yang sama bagi semua anggota atau pihak terkait bagi peningkatan kesejahteraan
melalui usaha bersama di dalam etika usaha yang baik.
Professional
Dalam bahasa sehari-hari professional diartikan “One who engaged in alearned vocation
(Seseorang yang terikat dalam suatu lapangan pekerjaan)”. Dalam konteks ini professional lebih
dikaitkan dengan peningkatan kapasitas kompetensi dan juga moral sehingga pelayanan dapat
dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat.
Supervision
Meningkatkan usaha-usaha supervisi terhadap semua aktivitas usaha atau organisasi
sehingga tujuan bersama dapat dicapai secara optimal, efektif dan efisien, serta untuk
meminimalkan potensi kesalahan atau penyimpangan yang mungkin timbul.
Effective & Efficient
Effective berarti “do the things right”, lebih berorientasi pada hasil, sedangkan efficient
berarti “do the right things”, lebih berorientasi pada proses. Apapun yang direncanakan dan
dijalankan oleh suatu organisasi atau badan usaha harus bersifat efektif dan efisien.
Transparent
Dalam konteks good governance, transparency lebih diartikan membangun kepercayaan
yang saling menguntungkan antara pemerintah atau pengelola dengan masyarakat atau
anggotanya melalui ketersediaan informasi yang mudah diakses, lengkap dan up to date.
Accountability/Accountable
Dalam konteks pembicaraan ini accountability lebih difokuskan dalam meningkatkan
tanggungjawab dari pembuat keputusan yang lebih diarahkan dalam menjawab kepentingan
publik atau anggota.
Fairness
Dalam konteks good governance maka fairness lebih diartikan sebagai aturan hukum
harus ditegakan secara adil dan tidak memihak bagi apapun, untuk siapapun dan oleh pihak
manapun.
Honest
Policy, strategi, program, aktivitas dan pelaporan suatu organisasi atau badan usaha harus
dapat dijalankan secara jujur. Segala jenis ketidak-jujuran pada akhirnya akan selalu terbongkar
dan merusak tatanan usaha dan kemitraan yang telah dan sedang dibangun. Tanpa kejujuran
mustahil dapat dibangun trust dan long term partnership.

Responsibility & Social Responsibility


Institusi dan proses pelayanan bagi kepentingan semua pihak terkait harus dijalankan
dalam kerangka waktu yang jelas dan sistematis. Sebagai warga suatu organisasi, badan usaha
dan/atau masyarakat, semua pihak terkait mempunyai tanggungjawab masing-masing dalam
menjalankan tugasnya dan juga harus memberi pertanggungjawaban kepada publik, sehingga di
dalam suatu tatanan atau komunitas dapat terjadi saling mempercayai, membantu, membangun
dan mengingatkan agar terjalin hubungan yang harmonis dan sinergis.
Sedangkan lebih sempit lagi, menurut OECD, prinsip dasar GCG yang dikembangkan
adalah :
a. perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness),
b. transparansi,
c. akuntabilitas, dan
d. responsibilitas
Disamping itu, dalam kaitannya dengan tata kelola BUMN, Menteri Negara BUMN juga
mengeluarkan keputusan KEP-117/M-MBU/2002 tentang prinsip GCG, diantaranya:
Kewajaran
Prinsip agar para pegelola memperlakukan pemangku kepentingan secara adil dan setara,
baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, dan pemodal) maupun
sekunder (pemerintah, masyarakat, dan pihak lain). Prinsip inilah yang memunculkan konsep
pengedepanan kepentingan atas stakeholders dan bukan hanya shareholders.
Transparansi
Kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses
keputusan dan penyampaian informasi. Lebih dalam bahwa, informasi yang disampaikan harus
lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan, tidak boleh ada hal-hal
tertentu yang dirahasiakan, disembunyikan, ditutup-tutupi, maupun ditunda-tunda
pengungkapannya.
Akuntabilitas
Kewajiban bagi para pengelola untuk membina sistem akuntansi yang efektif untuk
menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya (reliable) dan berkualitas.
Responsibilitas
Kewajiban para pengelola untuk memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan
dalam pengelolaan perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan
dan wewenang yang telah diberikan.

Pertanggungjawaban ini setidaknya mencakup dimensi :


a.Ekonomi
Diwujudkan dalam bentuk pemberian keuntungan ekonomis bagi pemangku kepentingan,
b. Hukum
Diwujudkan dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum dan peraturan-peraturan yang
berlaku ,
c. Moral
Diwujudkan dalam bentuk pertanggungjawaban tersebut dapat dirasakansecara
menyeluruh dan adil bagi semua pemangku kepentingan,
d. Sosial
Diwujudkan dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai wujud
kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam di lingkungan perusahaan,
e. Spiritual
Diwujudkan dalam bentuk sejauh mana tindakan manajemen telah mampu mewujudkan
aktualisasi diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran agama yang
diyakininya.
Kemandirian
Suatu keadaan dimana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat
profesional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan, bebas dari tekanan serta pengaruh dari
pihak manapun yang bertentangan dengan perundangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan
yang sehat.
Kebutuhan tata kelola etis tidak hanya baik bagi bisnis perusahaan. Perubahan-perubahan
terkini pada regulasi pemerintahan merubah ekspektasi secara signifikan. Dalam era
meningkatkan pengawasan, dimana perilaku tidak etis dapat mempengaruhi pencapaian tujuan
perusahaan secara keseluruhan, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang
menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentinganshareholders, direktur, dan
eksekutif.
Direktur harus cermat dalam mengatur risiko bisnis dan etika perusahaannya. Mereka
harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan dengan efektif dalam perusahaan. Hal ini
membutuhkan pengembangan code of conduct, dan cara yang paling fundamental dalam
menciptakan pemahaman mengenai perilaku yang tepat, memperkuat perilaku tersebut, dan
meyakinkan bahwa nilai yang mendasarinya dilekatkan pada strategi dan operasi perusahaan.
Konflik kepentingan dalam perusahaan, kekerasan seksual, dan topik–topik serupa perlu diatasi
segera dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya perusahaan sejalan
dengan ekspektasi saat ini.
Peristiwa Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom mengubah fokus akuntan profesional
terhadap perannya sebagai orang yang dipercaya oleh publik. Reputasi dan eksistensi profesi
akuntan di masa depan telah menurun di mata publik, sehingga perbaikan serta kesuksesannya
kembali tergantung pada perubahan yang akan dilakukan.
Profesi akuntan harus mengembangkan pertimbangan, nilai, dan sifat karakter yang
mencakup kepentingan publik, dimana pertimbangan tersebut inheren dengan munculnya
akuntabilitas berorientasi stakeholder dan kerangka tata kelola (governance framework). Standar
code of conduct yang baru muncul untuk menuntun profesi akuntan serta memastikan bahwa
self-interest, bias, dan kesalahpahaman tidak menutupi independensinya.
Globalisasi mulai mempengaruhi perkembangan aturan dan harmonisasi standar akuntan
profesional, dan hal ini akan terus berkelanjutan. Sama seperti mekanisme tata kelola untuk
korporasi yang menghasilkan batasan dan yurisdiksi domestik, stakeholders di seluruh dunia
akan lebih mengutamakan dalam menentukan standar kinerja bagi profesi akuntan. Pekerjaan
mereka akan melayani pasar modal dan korporasi global, dan kesuksesannya membutuhkan
respek dari karyawan dan partner yang lebih banyak dibandingkan dahulu. Dengan kemampuan
dan pengetahuan yang dimiliki, akan menarik apabila akuntan profesional dapat menggunakan
kesempatan yang menunjukkan perannya yang lebih luas.

Manfaat GCG
Penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan
terhadap investor dan institusi terkait di pasar modal. Menurut Tjager dkk (2003) mengatakan
bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
1.Berdasarka survey yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukkan bahwa para
investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang
telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis
financial dan krisis berkepanjangan di Asia denngan lemahnya tata kelola perusahaan.
3.Internasionalisasi pasar – termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal menuntut
perusahaan untuk menerapkan GCG.
4.Kalau GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis system ini dapat menjadi dasar bagi
beberkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah
banyak berubah.
5. Secara teoris, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Menurut Mas Ahmad Daniri (2005;14) jika perusahaan menerapkan mekanisme penerapan Good
Corporate Governance (GCG) secara konsisten dan efektif maka akan dapat memberikan
manfaat antara lain:
6. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung oleh pemegang saham
akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
7. Mengurangi biaya modal (Cost of Capital).
8. Meningkatkan nilai saham perusahaan di mata publik dalam jangka panjang.
9. Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap keberadaan
perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
GCG dan hukum perseroan di Indonesia
Kegiatan perusahaan (perseroan) di Indonesia didasarkan atas paying hokum Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1995 tentan perseroan terbatas. Namun Undang-Undang ini kemudian
dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007. Sebagimana diatur dalam
Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2007, yang dimaksud dengan perseroan adalah badan hokum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, dikatakan
alasan pencabutan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 untuk diganti dengan Undang-Undang
Nomor 40 tahun 2007. pertimbangan tersebut antar alain karena adanya perubahan dan
perkembangan yang cepat berkaitan dengan teknologi, ekonomi, harapan masyarakat tentang
perlunya peningkatan pelayanan dan kepastian hokum, kesadaran social dan lingkungan, serta
tuntutan pengelolaan usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang
baik.
Ketentuan yang disempurnakan ini, antara lain:
1. Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada,
seperti: telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya (Pasal 77).
2. Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan hukum dan
pengesahan Anggran dasar Perseroan.
3. Memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab direksi dan dewan komisaris,
termasuk mengatur mengenai komisaris independent dan komisaris utusan
4. Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan.
Undang-Undang perseroan terbatas Nomor 40 Tahun 2007 tidak mengatur secara
eksplisit tentang GCG. Meskipun begitu, Undang-Undang ini mengatur secara garis besar
tentang mekanisme hubungan, peran, wewenang, tugas dan tanggung jawab, prosedur dan tata
cara rapat, serta proses pengambilan keputusan dan organ minimal yang harus ada dalam
perseroan, yaitu Rapat Umum Pemegang saham (RUPS), direksi, dan Dewan Komisaris.

Wewenang dari ketiga organ ini diatur dalam Bab I Pasal 1 sebagai berikut:
Ayat 4 Rapat umum pemegang saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ
Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau Dewan
Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
Ayat 5 Direksi adalah Organ Perseoran yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuanperseroan
serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggran dasar.
Ayat 6 Dewan komisaris adalan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada
direksi.
Secara spesifik, wewenang, tugas dan tanggung jawab ketiga organ ini dapat diringkas
sebagai berikut:
1. RUPS
a. Menyetujui dan menetapkan Anggaran Dasar Perusahaan (Pasal 19 ayat 1)
b. Menyetujui pembelian kembali dan pengalihan saham Perseroan (Pasal 38 ayat 1)
c. Menyetujui penambahan dan pengurangan modal Perseroan (Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 44
ayat 1)
d. Menyetujui dan mengesahkan laporan tahunan termasuk laporan keuangan Direksi serta
laporan tugas pengawasan Komisaris (Pasal 69)
e. Menyetujui dan menetapkan penggunaan laba bersih, penyisihan cadangan dan dividen,
serta dividen interim (Pasal 71 dan Pasal 72).
f. Menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan, pengajuan pailit,
perpanjang jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan (Pasal 89).
g. Menyetujui pengangkatan dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris (Pasal 94 dan
Pasal 111)
h. Menetapakan besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi dan Komisaris (Psala 96 dan
Pasal 113).
2. Dewan Komisaris
 Melakukan tugas dan tanggung jawab pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, dan memberikan nasehat kepada Direksi (Pasal 108 dan
Pasal 114).
 Bertanggung jawab rentang secara pribadi atas kerugian perseroan bila yang
bersangkutan atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 114 ayat 3 dan ayat 4).
 Bertanggung jawab renteng secara pribadi atas kepailitan perseroan bila disebabkan oleh
kesalahan dan kelalian dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberi nasehat (Pasal
115).
 Diberi wewenang untuk membrntuk komite yang diperlukan untuk mendukung tugas
Dewan Komiaris.

3. Dewan Direksi
 Menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan kebijakan
yang dianggap tepat dalam batas yang ditetapkan Undang-Undang dan Anggaran Dasar
Perseroan (Pasal 92)
 Bertanggung jawab renteng dan penuh secara pribadi atas kerugian perseroan bila yang
bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (Pasal 97)
 Mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98)
 Wajib membuat daftar pemegang saham, risalah RUPS, dan risalah rapat direksi (Pasal
100 ayat 1a)
 Wajib membuat laporan tahunan (Pasal 100 ayat 1b)
 Wajib memelihara seluruh daftar, risalah, dokumen keuangan dan dokumen perseroan
lainnya ditempat kedudukan Perseroan (Pasal 1c dan Pasal 2)
 Wajib meminta peesrtujuan RUPS untuk mengalihkan kekayaan Perseroan atau
menjadikan jaminan utang Perseroan (Pasal 102)
Dengan demikian, RUPS merupakan organ tertinggi dan memegang wewenang tertinggi
dalam perseroan yang berbadan hokum PT. Anggora Dean Komisaris dan Dewan Direksi
diangakt dan diberhentikan oleh RUPS. Dewan komisaris bertugas untuk mengawasi tindakan
Dewan Direksi serta memberikan nasehat dan arahan kepada Dewan Direksi dan menjalankan
operasi perusahaan.dewan Direksi bertugas untuk menjalankan kegiatan operasi perusahaan
berdasarkan arahan dan garis besar kebijakan yang telah ditetapkan oleh RUPS, Dewan
Komisaris, serta Anggaran Dasar Perseroan yang berlaku dalam koridor hokum.

GCG dalam pengawasan pasar modal di Indonesia


Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai instrument
keuangan jangka panjang bisa diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal
sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Keberadaan pasar
modal ditentukan oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal, antara lain:
1. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
2. Bursa Efek;
3. Lembaga Kliring;
4. Investor;
5. Akuntan public;
6. Notaris;
7. Konsultan hukum.

GCG perbankan Indonesia


Menyadari tata kelola perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata kembali
manajemen dan kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan No
8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 januari 2006 tentang implementasi GCG oleh Bank-bank
komersial. Secara garis besar, peraturan ini mengatur tentang:
1. Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung
jawab,independensi dan kesetaraan
2. Tujuan implementasi GCG, minimal untuk merealisasikan:
 Kejelasan tugas dan tanggung jawab Dewan komisaris dan Dewan Dereksi
 Kelengkapan dan implementasi tugas komite dan unit pelaksana fungsi internal audit
bank
 Kinerja ketaan, fungsi auditor internal dan eksternal
 Implementasi manajemen resiko termasuk system pengendalian internal
 Ketentuan dalam pihak-pihak terkait dan dana dalam jumlah besar
 Rencana strategi bank
 Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan

3.Jumlah komposisi, kriteria dan independensi Dewan Komisaris


4.Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Direksi
5.Komite
6.Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal
7.Implementasi Management Resiko
8.Ketentuan Dana
9.Rencana Strategis Bank
10.Aspek Transparansi Kondisi Bank
11.Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal
12.Laporan dan Asesmen Implementasi GCG
13.Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri
14.Sanksi-sanksi
15.Ketentuan Peralihan
16.Ketentuan Penutup

GCG dalam BUMN


Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan penjabaran dan
implementasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.” Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hukum BUMN yaitu
Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan (Perjan). Tjager dkk (2003)
selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN ini ada kaitannya dengan belum
efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN tersebut. Contohnya pemberian
remunerasi yang berlebihan kepada direksi.
Tujuan GCG diatur dalam pasal 4 adalah :
Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,
akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing
yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efesien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemendirian organ.
Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta kesadaran akan adanya tanggung jawab social BUMN terhadap para pemangku
kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
I. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
II. Menyukseskan program privatisasi.

GCG dalam pengawasan pasar modal di Indonesia


Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai instrument
keuangan jangka panjang bisa diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal
sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Keberadaan pasar
modal ditentukan oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal, antara lain:
1. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
2. Bursa Efek;
3. Lembaga Kliring;
4. Investor;
5. Akuntan public;
6. Notaris;
7. Konsultan hukum.
Pengertian Stakeholders
Stakeholders dapat diartikan sebagai segenap pihak yang terkait dengan isu dan
permasalahan yang sedang diangkat. Misalnya bilamana isu perikanan, maka stakeholder dalam
hal ini adalah pihak-pihak yang terkait dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir,
pemilik kapal, anak buah kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah,
pihak swasta di bidang perikanan, dan sebagainya. Stakeholder dalam hal ini dapat juga
dinamakan pemangku kepentingan.
Stakeholders, Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan
berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan
sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan istilah
stakeholder ini secara luas ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan.
Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-
pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Dalam buku Cultivating Peace, Ramizes mengidentifikasi berbagai pendapat mengenai


stakekholder ini. Beberapa defenisi yang penting dikemukakan seperti Freeman (1984) yang
mendefenisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat memengaruhi dan atau
dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) secara singkat
mendefenisikan stekeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada
permasalahan. Stakeholder ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagimana
dikemukakan Freeman (1984), yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder
terhadap issu, Grimble and Wellard (1996), dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki
mereka.
Istilah ‘pemangku kepentingan’ (stakeholders) merujuk kepada semua pihak yang
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan perusahaan. Oleh karena itu, teori pemangku
kepentingan (stakeholders) menjadi relevan untuk menjelaskan pengembangan CG serta CSR di
perusahaan. Gray et al (2001) dalam Ismurniati (2010) menyatakan bahwa stakeholder adalah :
pihak-pihak yang berkepentingan pada perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dapat
dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan, para stakeholder antara lain masyarakat, karyawan,
pemerintah, supplier, pasar modal dan lain-lain.” Freeman dan Reed dalam Solihin(2008:51)
menempatkan para pemangku kepentingan dalam sebuah grid denganmenggunakan dua dimensi.
Freeman dan Reed mengajukan geradi (grid) pemangku kepentingan kontemporeryang
menunjukan realitas pemangku kepentingan masa kini, dimana stake(interest/claim –
kepentingan) yang dimiliki oleh pemangku kepentingan tidak selalukongruen dengan sumber
kekuasaan yang dimiliki pemangku kepentingan (Solihin,2008:52). Contohnya adalah
pemerintah yang secara tradisional hanya memiliki kepentingan sebagai influencer (pemberi
pengaruh pada perusahaan), saat ini juga memiliki kekuasaan yang bersumber dari kekuatan
voting selain kekuasaan yang bersikap politis.
Kelompok Stakeholders
Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh stakeholder terhadap suatu issu
stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok yaitu stakeholder primer, sekunder
dan stakeholder kunci . Sebagai gambaran pengelompokan tersebut pada berbagai kebijakan,
program, dan proyek pemerintah (publik) dapat kemukakan kelompok stakeholder seperti berikut
:
1. Stakeholder Utama (primer)
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara
langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai
penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.

2. Stakeholder Pendukung (sekunder)


Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan
kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki
kepedulian (consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap
sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
3. Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam
hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai
levelnya, legisltif, dan instansi. Misalnya, stekholder kunci untuk suatu keputusan untuk suatu
proyek level daerah kabupaten.

Kode etik terhadap stakeholder


1. Pelanggan
a. Memberikan produk jasa dengan kualitas terbaik sesuai kebutuhan.
b. Memberikan perlakuan yang adil dalam setiap transaksi.
c. Memelihara kesehatan produk dan kesehatan lingkungan konsumen.
d. Tanggap dan hormat terhadap martabat konsumen.
e. Menghormati integritas kultur yang berlaku pada konsumen.
2. Pekerja
a. Memberikan pekerjaan dan imbalan yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
b. Memberikan kondisi yang menghormati kesehatan dan martabat pekerja.
c. Bersikap jujur dalam berkomunikasi dengan pekerja dan terbuka dalam memberikan
informasi.
d. Bersedia mendengarkan dan sejauh mungkin bertindak atas saran, gagasan, permintaan dan
keluhan pekerja.
e. Mengajak bermusyawarah apabila terjadi konflik.
f. Mengindari praktik diskriminasi dan menjamin perlakuan dan kesempatan yang sama pada
pekerja sekalipun berbeda gender, usia, suku, dan agama.
g. Mengembangkan diverfikasi pekerjaan dalam bisnis agar pekerja dapat sungguh-sungguh
bermanfaat.
h. Melindungi pekerja dari kemungkinan terkena penyakit dan kecelakaan di tempat kerja.

i. Mendorong dan membantu pekerja dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilan


yang relevan dan dapat dialihkan.
j. Tanggap terhadap masalah pengangguran dalam pembuatan keputusan bisnis dan bekerjasama
dengan pemerintah, serikat pekerja, dan pihak-pihak lain untuk menangani masalah ini.

3. Pemegang Saham
a. Menetapkan menejemen yang profesional dan tekun.
b. Memperlihatkan informasi yang relefan terhadap investor.
c. Menghemat, melindungi, dan menumbuhkan aset-aset investor.
d. Menghormati permintaan, saran dan keluhan solusi dari investor

4. Pemasok
a. Mengusahakan terwujudnya prinsip keadilan dan kejujuran.
b. Menjamin aktifitas bisnis terbebas dari pemaksaan.
c. Membantu terciptanya stabilitas hubungan jangka panjang dengan pemasok.
d. Berbagi informasi dengan pemasok.
e. Membayar pemasok tepat pada waktunya.
f. Mencari, mendukung dan mengutamakan pemasok.

5. Pesaing
a. Mengembangkan pasar terbuka untuk perdagangan dan investasi.
b. Mengembangkan perilaku yang bersaing dan menguntungkan secara sosisal.
c. Menghindari dari pemberian gaji atau hadiah yang dapat dipertanyakan.
d. Menghormati hak cipta dan hak paten.
e. Menolak untuk mencuri gagasan baik inofasi maupun penciptaan produk.

6. Masyarakat
a. Menghormati hak asasi manusia dan lembaga-lembaga demokrasi.
b. Mengakui kewajiban kepada pemerintah dan masyarakat.
c. Bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat.
d. Mengembangkan pembangunan berkelanjutan.
e. Mendukung perdamaian keamanan, keanekaragaman, dan keutuhan sosial.

Pola Hubungan Stakeholders


Penjelasan mengenai pola hubungan tersebut akan dijelaskan sebagaiberikut:
1. Hubungan tidak aktif (inactive); perusahaan meyakini bahwa mereka dapatmembuat
keputusan secara sepihak tanpa mempertimbangkan dampaknyaterhadap pihak lain.
2. Hubungan yang reaktif (reactive); perusahaan cenderung bersifat mempertahankan diri
(defensif), dan hanya bertindak ketika dipaksa untuk melakukannya.
3. Hubungan yang proaktif (proactive); perusahaan cenderung berusaha untuk mengantisipasi
kepentingan-kepentingan para stakeholders. Biasanya perusahaan memiliki departemen khusus
yang berfungsi untuk mengidentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian para pemangku
kepentingan utama. Namun, perhatian mereka dan para stakeholder dipandang sebagai suatu
permasalahan yang perlu dikelola, bukan dipandang sebagai suatu sumber keunggulan
kompetitif.
4. Hubungan yang interaktif (interactive); perusahaan menggunakan pendekatan bahwa
perusahaan harus memiliki hubungan berkelanjutan yang saling menghormati, terbuka, dan
saling percaya dengan para pemangku kepentingannya. Dengan demikian, perusahaan
menganggap bahwa suatu hubungan yang positif dengan para pemangku kepentingan adalah
sumber nilai dan keunggulan kompetitif bagi perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Pieris, John & Wiryawan, N J. 2007. Etika Bisnis dan Good Corporatr Governance. Jakarta:
Pelangi Cendekia.
Agoes, sukrisno & Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat.
Hartman DesJardins, Jakarta. 2012. Etika Bisnis oleh Erlangga
Ernawan, Erni. 2011. Business Ethics. Bandung: Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai