Ahkaamul Miin Wan Nuun
Ahkaamul Miin Wan Nuun
َ َ َّ َ ُ ۡ َ ُّ ُ ۡ ُ
ي
ِ يم ٱلمشددت ِ ون وٱل ِم
ِ حكم ٱنل
Hukum Huruf Nûn dan huruf Mîm bertasydid
Bertasydid
Ghunnah Akmal
Idgham bighunnah Ghunnah Kâmilah
Disebut dengan ikhfa syafawi karena ikhfa ini terjadi pada makhraj
bibir (syafatan), juga untuk membedakan dengan ikhfa hakiki pada
Nun mati dan tanwin.
• Ikhfâ secara bahasa bermakna as-satr
(menyembunyikan, menutupi, atau
menghalangi).
• Sedangkan secara istilah bermakna:
ََِّّ ۡشديد َم ۡع َب َقاءِ ٱلۡ ُغنة َ َ َ ۡ ۡ َ َ ۡ ََۡ َ ۡ َ ُ ۡ ُ
ِ ِ َع ٍر ع ِن ٱلت,ٱۡلدَغ ِم ِ نطق ۡ ِِبر ٍف ۡب ِ َ ِصف ٍة بي
ِ ٱۡلظهارِ و
ٱۡل ۡر ِف ٱۡل َّو ِل
َ ِِف
• Mengucapkan huruf dengan sifat di antara izhhâr dan
idghâm. Dengan menanggalkan tasydid disertai adanya
ghunnah yang berasal dari huruf pertama.
1. Makna “di antara sifat izhhar dan idgham” adalah:
menyerupai izh-har pada satu sisi dan menyerupai
idgham pada sisi yang lain.
2. Makna “menanggalkan tasydid”: menetapkan
adanya suara yang samar pada huruf yang
bersangkutan.
3. Makna “menetapkan ghunnah pada huruf yang
pertama”: menetapkan adanya ghunnah
bersamaan dengan samarnya huruf yang
bersangkutan.
Huruf mim di-ikhfa-kan
dengan ghunnah saat
bertemu dengan satu
huruf, yakni huruf “Ba”.
• Al-Qurân mesti dibaca dan diajarkan sebagaimana kita dahulu
mempelajarinya dari guru-guru kita. Sebagaimana guru-guru kita
mengajarkannya kepada kita.
• Maka, siapa yang mendapatkan dari gurunya membaca ikhfâ syafawi
atau iqlab dengan merapatkan bibir, maka hendaklah ia membaca dan
mengajarkan hal tersebut.
• Sedangkan siapa saja yang mendapatkan dari gurunya membaca ikhfâ
syafawi dan iqlab dengan sedikit merenggangkan bibir atau memberikan
celah, maka hendaklah ia membaca dan mengajarkan hal tersebut.
• Terkecuali bagi seseorang yang telah mendapatkan seluruh cara
membacanya, lalu ia kemudian melakukan penelitian, maka berhak
baginya untuk melakukan tarjih (mencari tahu mana pendapat yang
lebih unggul untuk diamalkan).
Tanda untuk ikhfa syafawi adalah
dengan tanpa memberikan tanda sukun
di atas Mim dan tanpa tasydid di atas
huruf Ba.
• Beberapa Kekeliruan yang Sering Terjadi pada
Ikhfâ Syafawi
• Tidak menyempurnakan ghunnah,
• Tidak membaca sesuai dengan apa yang diriwayatkan
dari gurunya,
• Mememberikan celah yang terlalu lebar bagi yang
membacanya dengan celah,
• Merapatkan bibir terlalu rapat sampai menekan kuat
bagi yang membacanya dengan merapatkan bibir.
• Al-Imâm Al-Jamzûriy berkata: َ
َ َ
َ ۡ
ً َِو َس ِم إدَغ ًما َصغ
ريا يَا ف َتى إ ِ ۡد ََغ ٌم ب ِ ِم ۡثل ِ َها أتى:ان
ِ
ََّوٱثل
ۡ َ َِ َ َ ۡ ُ
ل ِقربِها و َِلّتادِ فٱع ِر ِف
1. Memanjangkan ghunnah lebih dari
yang ditetapkan,
2. Memantulkan Mîm,
3. Memberikan jeda antara Mîm
dengan huruf ,
4. Menyamarkan pengucapan “Mîm”
saat bertemu “Fa” atau “Waw”.
• Saat kita bertalaqqi dan menemukan adanya perbedaan dengan apa
yang kita amalkan, maka hendaknya kita mengikuti apa yang
diamalkan guru kita tanpa memperdebatkan persoalan tersebut.
Apabila kita ingin mendiskusikannya maka carilah waku yang tepat,
di luar majlis talaqqi. Kemudian sampaikan permasalahan tersebut
dengan santun dan lemah lembut.
• Saat mendiskusikan permasalahan tersebut, hindari menyebut nama
guru yang memiliki pendapat berbeda denan pendapat guru yang
kita sedang berdiskusi dengannya. Sampaikan hujjah (alasan) yang
syar’i dan tinggalkan keinginan untuk memenangkan diskusi, sebab
diskusi ilmiah bukanlah tempat mencari kemenangan, melainkan
wadah dalam mencari pendapat yang lebih mendekati kebenaran.